Modul 2
Teori Asal Mula Negara
Aminoto, S.H., M.Si.
PENDAHULUAN
Dalam modul ini mahasiswa akan diberikan pengetahuan dan penjelasan mengenai pengertian negara dan unsur-unsurnya, hakikat negara, dan tujuan negara, serta teori-teori asal mula negara. Untuk mengantarkan Mahasiswa mendalami pengertian dan definisi tentang negara, sebelumnya akan diberikan penjelasan mengenai pengertian secara umum tentang negara beserta unsur-unsur negara. Selanjutnya, diberikan penjelasan lebih mendalam tentang pengertian dan definisi tentang negara dari waktu ke waktu yang selalu berubah, menurut zaman dan kondisi yang berbeda, serta berdasarkan pengertian negara menurut para ahli negara.
Istilah negara yang dikenal sekarang ini merupakan istilah yang muncul pada zaman Renaissance di Eropa, yaitu pada abad Pertengahan. Pada masa itu mulai dipergunakan istilah Lo Stato yang berasal dari bahasa Italia yang kemudian menjelma menjadi L‟etat dalam bahasa Prancis, The State dalam bahasa Inggris, der Staat dalam bahasa Jerman, dan de Staat dalam bahasa Belanda.
Pengertian dan definisi tentang negara dari waktu ke waktu selalu berubah. Pengertian negara di zaman Aristoteles, Augustinus, Machiavelli, Rousseau, Max Weber, Mac Iver, Harold J. Laski, Logemann, sampai dengan pengertian negara yang diberikan oleh Miriam Budiardjo. Masing-masing ahli memiliki pandangan atau pendapat berbeda tentang pengertian negara. Hal ini karena pengertian-pengertian tersebut dilahirkan menurut zaman dan kondisi yang berbeda. Terlebih jika dikaitkan dengan para penciptanya yang tidak lepas dari kenyataan-kenyataan hidup di sekitarnya sehingga melahirkan pengertian yang berbeda-beda pula.
Mahasiswa juga akan dapat menjelaskan kembali mengenai hakikat dan tujuan negara berdasarkan berbagai pendapat para ahli sesuai dengan mazhabnya. Hakikat negara adalah suatu penggambaran tentang sifat daripada negara. Sebagai wadah dari suatu bangsa tentunya negara memiliki karakteristik dan gambarannya masing-masing, Pandangan mengenai hakikat negara sebanyak aliran filsafat yang ada. Bahkan lebih dari itu, sebab kadang sarjana termasuk dalam satu aliran, tetapi pandangannya mengenai hakikat negara berlainan. Hal ini disebabkan karena pengaruh keadaan atau sifat pemerintahan yang dialaminya. Dengan demikian, pandangannya tentang hakikat negara juga berlainan.
Untuk memperoleh gambaran utuh berbagai pendapat ahli tentang negara maka dijelaskan pula pada Modul 2 ini teori-teori asal mula negara. Asal mula negara yang dimaksud adalah asal mula atau terbentuknya atau terjadinya apa atau sesuatu yang dinamakan negara, negara dalam pengertiannya yang umum, abstrak, dan universal saja. Jadi, tegasnya hal yang dinamakan negara itu adanya hanya dalam pikiran, dalam angan-angan, artinya kita memikirkan adanya sesuatu, sesuatu itu, kemudian kita angkat ke alam pikir kita, dan disinilah kita membayangkan adanya hal yang dinamakan negara itu. Berdasar pendekatan teoritis, asal mula negara terbagi dalam beberapa teori.
Secara sistematis, untuk memahami materi dalam modul ini maka pembahasan terbagi dalam 3 (tiga) kegiatan belajar sebagai berikut:
1. Kegiatan Belajar 1: pengertian negara dan unsur-unsurnya, seperti adanya rakyat, wilayah, dan pemerintah yang berdaulat;
2. Kegiatan Belajar 2: hakikat dan tujuan negara;
3. Kegiatan Belajar 3: teori-teori asal mula negara;
Kegiatan Belajar 1
Pengertian Negara dan Unsur-Unsurnya
A. PENGERTIAN NEGARA
Apa yang sekarang disebut negara dahulu biasa disebut kerajaan, atau ada kalanya disebut imperium. Misalnya imperium Romawi, yang berarti daerah kekuasaan atau negara Romawi (Situmorang, 1987: 14). Istilah negara yang dikenal sekarang ini merupakan istilah yang baru muncul pada zaman Renaissance di Eropa, yaitu pada abad Pertengahan. Pada masa itu mulai dipergunakan istilah Lo Stato yang berasal dari bahasa Italia yang kemudian menjelma menjadi L‟etat dalam bahasa Prancis, The State dalam bahasa Inggris, der Staat dalam bahasa Jerman dan de Staat dalam bahasa Belanda (Kansil dan Kansil, 2007: 10-11). Beberapa referensi menyebutkan bahwa yang mengenalkan istilah Lo Stato (negara) adalah Niccolo Machiavelli dalam bukunya yang sangat monumental, yakni Il Principle (buku yang mengajarkan para raja bagaimana sebaiknya memerintah) yang mengartikan negara sebagai sebuah kekuasaan (Astawa, 2009: 4). Kata Lo Stato yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi negara, pada waktu itu diartikan sebagai suatu sistem tugas atau fungsi publik dan alat-alat perlengkapan yang teratur, dan lebih luas lagi dalam arti kesatuan wilayah (daerah) yang dikuasai (Kansil dan Kansil, 2007: 10-11).
Satu pertanyaan yang sering mengusik para ahli pikir kenegaraan adalah apa sebenarnya negara itu? Pengertian tentang negara banyak diulas dan disebutkan oleh para sarjana. Definisi tentang negara berjumlah hampir sebanyak para pemikirnya. Jika melihat pengertian tentang negara dari para sarjana dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian negara dari waktu ke waktu berbeda dan selalu berubah. Pengertian negara di zaman Yunani Kuno misalnya, tidaklah sama dengan pengertian negara di zaman modern. Hal ini dikarenakan pengertian-pengertian tersebut dilahirkan menurut zaman dan kondisi yang berbeda. Terlebih jika dikaitkan dengan para penciptanya yang tidak lepas dari kenyataan-kenyataan hidup di sekitarnya sehingga melahirkan pengertian yang berbeda-beda pula. Berikut ini akan diuraikan pengertian negara menurut pendapat para sarjana.
1. Aristoteles
Arsitoteles merupakan salah satu sarjana di zaman Yunani Kuno. Ia adalah murid terbesar dari Plato. Pandangannya mengenai negara dirumuskan dalam bukunya yang berjudul Politica. Aristoteles mengatakan bahwa yang dimaksud dengan negara adalah suatu persekutuan yang mempunyai tujuan tertentu. Pandangan Aristoteles tentang negara masih terikat pada wilayah kecil yang disebut dengan polis, yang kalau ditinjau dari kacamata sekarang adalah negara. Menurutnya negara terjadi karena penggabungan keluarga keluarga menjadi suatu kelompok yang lebih besar, kelompok itu bergabung lagi menjadi desa. Kumpulan desa bergabung lagi, demikian seterusnya hingga timbul negara yang sifatnya masih merupakan suatu kota atau polis. Aristoteles juga merumuskan negara sebagai negara hukum yang di dalamnya terdapat sejumlah warga negara yang ikut serta dalam permusyawaratan negara (ecclesia). Hal yang dimaksud negara hukum ialah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya (Kusnardi dan Saragih, 1995: 46).
2. Epicurus
Epicurus adalah pencipta ajaran individualisme/atomisme, yang menganggap bahwa elemen atau bagian yang terpenting bukanlah negara atau masyarakat, melainkan individu sebagai anggota masyarakat. Menurut Epicurus, negara adalah hasil dari perbuatan manusia yang diciptakan untuk menyelenggarakan kepentingan anggotanya. Masyarakat tidak memiliki dasar kehidupan sendiri. Manusia sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat yang mempunyai dasar-dasar kehidupan yang mandiri dan yang merupakan realita. Jadi, menurut Epicurus yang hidup itu adalah individunya, sedangkan negara atau masyarakat adalah buatan daripada individu-individu tersebut (Soehino, 1980: 30-31).
3. Cicero
Cicero adalah seorang ahli pemikir terbesar tentang negara dan hukum dari bangsa Romawi. Karya-karya Cicero yang sangat terkenal antaranya de Republika (tentang negara) dan de Legibus (tentang hukum atau tentang undang-undang). Negara menurut Cicero adanya itu merupakan suatu keharusan dan yang harusnya didasarkan atas ratio manusia. Ajaran Cicero ini sebetulnya meniru dan disesuaikan dengan kaum Stoa. Pengertian ratio yang dimaksud adalah ratio yang murni, yaitu yang didasarkan atau menurut hukum alam kodrat. Jadi, tidak seperti ajaran Epicurus yang menganggap negara merupakan hasil dari perbuatan manusia dan fungsinya hanya sebagai alat saja daripada manusia untuk memenuhi kebutuhannya (Soehino, 1980: 41).
4. Augustinus
Augustinus adalah seorang ahli pemikir besar pada zaman abad Pertengahan. Ia hidup pada tahun 354-430 dimana pada masa itu kekuasaan gereja sangatlah kuat. Hal inilah yang menjadikan ajaran Augustinus bersifat teokrasi. Dimana kedudukan gereja yang diperintah oleh Paus lebih tinggi daripada kedudukan negara yang diperintah oleh raja. Dalam ajarannya negara dibagi atas dua bagian, yaitu Civitas Dei yang berarti negara Tuhan dan Civitas Terrena atau Civitas Diaboli yang artinya negara-negara duniawi dan iblis (Kusnardi dan Saragih, 1995: 47). Negara Tuhan bukanlah negara dari dunia ini, akan tetapi jiwanya sebagian dimiliki oleh beberapa orang di dunia untuk mencapainya. Yang melaksanakan itu adalah gereja yang mewakili negara Tuhan. Keadilan hanya dapat dicapai jika negara diperintah oleh seorang Kristen dalam Civitas Dei. Hanya dengan mengejar ke arah negara Tuhan orang dapat mencapai hidup bahagia selama-lamanya. Negara Tuhan ini sangat diangan-angankan dan dicita-citakan oleh agama demi terbentuknya Kerajaan Tuhan. Sementara itu, dalam negara duniawi yang merupakan Civitas Diaboli pemerintahannya bertindak sewenang-wenang oleh karena negara duniawi itu dipegang oleh orang-orang yang terjerumus dalam keadaan dosa. Kehancuran negara Romawi disebabkan nafsu akan kemegahan dan keduniawian (Huda, 2010: 9). Negara iblis atau negara duniawi ini sangat dikecam dan ditolak oleh Augustinus.
5. Niccolo Machiavelli
Machiavelli dalam bukunya Il Principle mengartikan negara sebagai negara kekuasaan. Ia mengajarkan cara raja harus memerintah sebaik baiknya. Apabila timbul kekacauan maka pertama-tama dicari sebabnya pada raja yang memerintah negaranya. Kelemahan raja dalam memerintah terletak pada pengaruh agama yang menanamkan rasa susila dan rasa keadilan kepadanya. Dalam keadaan demikian justru raja harus kuat untuk mengatasi segala kekacauan dan apabila perlu ia harus kejam untuk menindasnya. Kekuatan yang mengatasi segala-galanya itu dan kejamnya yang harus dimiliki oleh seorang raja itu akan membuat ia menjadi penguasa tunggal di dalam negara (Huda, 2010: 48). Ajaran dari Machiavelli tentang negara mengakibatkan raja-raja bertindak dengan sewenang-wenang.
6. Jean Bodin
Jean Bodin adalah seorang ahli pemikir besar tentang negara dan hukum dari Perancis. Ia hidup pada tahun 1530-1596, tepatnya pada zaman Renaissance. Sama halnya dengan Niccolo Machiaelli, Jean Bodin menyatakan bahwa negara adalah kekuasaan. Menurutnya, negara adalah keseluruhan dari keluarga dengan segala miliknya yang dipimpin oleh akal dari seorang penguasa yang berdaulat. Penguasa yang berdaulat itu berasal dari pemimpin militer yang memperlihatkan kekuasaannya. Ini semata-mata untuk mewujudkan tujuan negara, yakni kekuasaan. Sebagai seorang ahli pemikir tentang negara, Jean Bodin terkenal dengan ajarannya mengenai kedaulatan (Soehino, 1980: 78). Pembahasan lebih lanjut mengenai teori kedaulatan akan diuraikan di bab berikutnya.
7. Rousseau
Menurut Rousseau, negara adalah suatu badan atau organisasi yang timbul atas perjanjian masyarakat (kontrak sosial). Rousseau mengatakan bahwa sejak lahir manusia memiliki hak-hak. Jadi, kalau hak-hak itu diserahkan kepada penguasa dimaksudkan agar penguasa mempunyai wewenang untuk menjalankan tugasnya melindungi hak-hak dari rakyat (Cholisin, 2007: 24).
8. Max Webber
Negara adalah satu-satunya lembaga yang memiliki keabsahan untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap warga negaranya (The state is a human society that (successfully) claims the monopoly of the legitimate use of a physical force within a given territory) (Cholisin, 2007: 6).
9. Robert Mac Iver
Negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa (The state is an association which, acting through law as promulgated by a government endowed to this end with coercive power, maintains within a community territorially demarcated the universal external conditions of social order) (Huda, 2012: 12). Dari definisi ini dapat dikatakan bahwa Mac Iver memahami negara sebagai organisasi yang berada dalam suatu wilayah, memiliki kekuasaan memaksa sesuai dengan tata hukum yang berlaku. Pengertian negara yang dikemukakan Mac Iver mendekati pengertian suatu negara hukum materiil.
10. Harold J. Laski
Negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu (The state is a society which is integrated by possessing a coercive authority legally supreme over any individual or group which is part of the society. A society is a group of human beings living together and working together for the satisfaction of the mutual wants. Such a society is a state when the way of live to which both individuals and associations must conform is defined by a coercive authority blinding upon the time all) (Budiardjo, 1991: 39).
11. Logemann
Dalam bukunya Over de Theorie van Een Stellig Staatsrecht, Logemann mengartikan negara sebagai organisasi kewibawaan. Kewibawaan yang menyebabkan negara sebagai organisasi dapat hidup abadi. Kewibawaan itu tidak tergantung kepada yang memerintahkannya, apakah yang memerintah itu bangsa lain atau bangsa sendiri. Hal yang menjadi pokok adalah bahwa negara itu berwibawa dan buktinya segala perintahnya dipatuhi dan ditaati oleh rakyatnya (Gustomi, 2004: 133).
12. Roger H. Soltau
Negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat (the state is an agency or authority managing or controlling these (common) affairs on behalf of and in the name the community).
13. Wirjono Prodjodikoro
Negara adalah suatu organisasi di antara sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang bersama-sama mendiami suatu wilayah (teritori) tertentu dengan mengakui suatu pemerintahan yang mengurus tata tertib dan keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok tadi. Sekumpulan manusia-manusia ini merupakan suatu masyarakat tertentu yang di dalamnya negara, tidak merupakan satu-satunya organisasi. Dijelaskan pula bahwa ada organisasi lain di dalam organisasi negara seperti organisasi keagamaan, kesusilaan, kepartaian, perdagangan yang terlepas dari soal kenegaraan (Atmadja, 2012: 21-22).
14. Miriam Budiardjo
Negara adalah suatu daerah territorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undangannya melalui penguasaan (control) monopolistis dari kekuasaan yang sah (Budiardjo, 1981: 40).
B. UNSUR-UNSUR NEGARA
Untuk mengetahui hal-hal apa sajakah yang diperlukan bagi terbentuknya negara, maka diperlukan elemen-elemen (unsur-unsur). Unsur unsur negara adalah bagian-bagian yang menjadikan negara itu ada. Untuk mengetahui unsur-unsur negara ada tiga sudut pandangan, yaitu: (1) Unsur-unsur negara secara klasik; (2) Unsur-unsur negara secara yuridis; dan (3) Unsur-unsur negara secara sosiologis.
1. Unsur-Unsur Negara Secara Klasik
a. Wilayah
Unsur wilayah secara historis merupakan unsur yang primer dan utama adanya suatu negara (Wahjono, 1999: 209). Hal yang dimaksud wilayah disini adalah wilayah tertentu (a defined territory). Wilayah tertentu adalah batas wilayah dimana kekuasaan negara itu berlaku (Huda, 2010: 29). Unsur wilayah haruslah dipersyaratkan, antara lain tidak ada kekuasaan lain dari kekuasaan negara yang bersangkutan atau dengan perkataan lain kekuasaan tersebut harus secara efektif diakui di seluruh wilayah negara yang bersangkutan. Adapun wilayah suatu negara itu dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: (a) Wilayah darat; (b) Wilayah laut; (c) Wilayah udara.
Mengenai batas wilayah suatu negara, orang tidak dapat melihatnya dalam Undang-Undang Dasar, melainkan merupakan ketentuan dalam perjanjian antara dua negara atau lebih yang berkepentingan dan biasanya merupakan negara tetangga. Perjanjian batas wilayah antar dua negara disebut dengan perjanjian bilateral. Apabila perjanjian tersebut dilakukan oleh lebih dari dua negara maka disebut dengan perjanjian multilateral. Penyebutan kata-kata wilayah di dalam Undang-Undang Dasar tidak memiliki arti yuridis sama sekali. Oleh karena penentuan wilayah tidak bisa ditentukan secara sepihak. Penentuan dalam Undang-Undang Dasar hanya suatu peringatan saja bahwa negara memiliki wilayah yang berbatas.
Jellinek berpendapat unsur wilayah dapat pula dipandang dari segi negatif dan positif. Wilayah dari segi positif adalah setiap orang yang berada di atas wilayah tertentu itu tunduk kepada penguasanya.
Sementara itu, wilayah dari segi negatif pengertiannya tidak ada organisasi kekuasaan lain yang berpengaruh di atas wilayah tertentu itu. Kecuali dalam hal (Busroh, 2001: 76-77):
1. Adanya perjanjian tertentu (kondorminium).
2. Susunan negara serikat.
3. Negara protektorat dimana negara yang lemah menyerahkan kekuasaan tertentu (urusan luar negeri dan pertahanan) kepada negara yang kuat.
4. Negara yang kalah berperang (occupation).
Mengenai wilayah ini di samping pandangan yang sifatnya tradisional ada pula pandangan yang lebih modern, yaitu wilayah yang dimaksud merupakan lebensrtum (ruang hidup suatu negara). Teori ini termasuk pengetahuan tentang geopolitik, di samping chnopolitik, ekopolitik, dan kraftpolitik. Dari segi hukum, wilayah merupakan wilayah hukum, yang dapat berupa wilayah ruang, wilayah orang, dan wilayah soal/bidang (Kansil dan Kansil, 2007: 24-25).
b. Rakyat
Hal yang dimaksud dengan rakyat adalah sekumpulan manusia dari kedua jenis kelamin yang hidup bersama sehingga merupakan masyarakat, meskipun mereka ini mungkin berasal dari keturunan, kepercayaan, dan kulit yang berlainan (Huda, 2010: 18). Pendek kata rakyat diartikan sebagai kumpulan orang yang hidup di suatu tempat. Istilah lain yang kerap muncul adalah rumpun (ras), bangsa (natie), dan suku yang erat pengertiannya rakyat. Rumpun (ras) adalah kumpulan orang yang mempunyai ciri-ciri jasmaniah yang sama (warna kulit rambut, bentuk muka, dan lain-lain). Suku adalah orang yang berkesamaan dalam kebudayaan. Sementara itu, bangsa (natie) adalah rakyat yang sudah berkesadaran membentuk negara (Busroh: 2001: 77).
Apabila dilihat secara orang per orang maka disebut sebagai warga negara. Mulanya untuk menentukan masuk tidaknya seseorang dalam rakyat digunakan asas keturunan (ius sanguinis), yaitu asas dimana seseorang menjadi rakyat berdasarkan keturunan. Misalnya, seorang disebut rakyat Indonesia apabila dilahirkan dari orang tua yang merupakan rakyat/warga negara Indonesia. Dalam perkembangannya sejak wilayah negara itu didatangi oleh orang-orang dari negara lain dan mempunyai nenek moyang yang lain pula dan mereka ini bertempat tinggal dan tunduk di bawah kekuasaan negara itu maka faktor tempat tinggal bersama itu juga menentukan pula masuk tidaknya seseorang dalam rakyat negara tersebut. Misalnya, seseorang dapat disebut rakyat Indonesia apabila ia dilahirkan di Indonesia. Masuk tidaknya seseorang dalam rakyat berdasarkan tempat kelahiran disebut dengan ius soli (Busroh: 2001: 38).
c. Pemerintah yang berdaulat
Sebagai unsur yang ketiga, pemerintah merupakan badan negara dalam menyelenggarakan segala kepentingan rakyatnya dan merupakan alat dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sementara itu, fungsinya disebut dengan pemerintahan. Menurut Lauterpacht, pemerintah merupakan syarat terpenting untuk adanya suatu negara. Jika pemerintah tersebut ternyata secara hukum atau secara faktanya menjadi negara boneka atau negara satelit dari suatu negara lainnya maka negara tersebut tidak dapat digolongkan sebagai negara (Adolf: 4-5).
Menurut Miriam Budiardjo, pemerintah adalah organisasi yang berwenang untuk merumuskan dan melaksanakan keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluruh penduduk di dalam wilayahnya. Keputusan keputusan itu antara lain berbentuk undang-undang dan peraturan lain.
Dalam hal ini pemerintah bertindak atas nama negara dan menyelenggarakan kekuasaan dari negara (Budiardjo, 1991: 44).
Istilah pemerintah menurut Utrecht diklasifikasikan dalam 3 (tiga) pengertian yang berbeda, yaitu (Lubis, 1975: 23):
1. Sebagai gabungan seluruh badan kenegaraan yang berkuasa memerintah, dalam arti kata luas. Jadi, termasuk seluruh badan kenegaraan yang bertugas menyelenggarakan kesejahteraan umum, yakni badan yang bertugas membuat peraturan perundang-undangan, badan yang bertugas menjalankan peraturan perundang-undangan, dan badan yang bertugas mengawasi cara peraturan perundang-undangan tersebut dijalankan. Dengan demikian, badan badan tersebut meliputi legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
2. Pengertian pemerintah tersebut di atas dalam bahasa Belanda disebut “overhead”, “gouvernement”, dalam bahasa Inggris “government” atau “authorities”, yang biasa disebut dalam istilah Indonesia sekarang “Penguasa”. Pengertian ini sangatlah luas dibandingkan pengertian pemerintah yang akan dibahas di bawah ini.
3. Pemerintah sebagai gabungan badan kenegaraan tertinggi yang berkuasa memerintah di wilayah suatu negara, misalnya: Raja, Presiden, Yang Dipertuan Agung.
4. Pemerintah dalam arti kepala negara (Presiden) bersama-sama dengan menteri-menterinya, yang berarti organ eksekutif, yang biasa disebut dengan dewan menteri atau kabinet.
Dalam berbagai pustaka pemerintah dibagi dalam dua pengertian yang berbeda, yakni pemerintah dalam arti luas dan pemerintah dalam arti sempit. Dalam arti luas, pemerintah mencakup semua kekuasaan yang meliputi seluruh fungsi negara. Apabila merujuk pada ajaran Montesquieu, meliputi keseluruhan lembaga negara yang menjalankan kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif.
Ketiga lembaga tersebut merupakan unsur-unsur kekuasaan negara. Dalam arti sempit, pemerintahan kerap kali dipahami sebagai aktivitas dari lembaga kekuasaan eksekutif. Termasuk dalam pengertian ini adalah keseluruhan unsur-unsur yang tercakup di dalam pengertian lembaga eksekutif tersebut misalnya: kepala pemerintahan, menteri-menteri departemen-departemen, pemerintah daerah, dinas-dinas daerah dan unit-unit kerja pemerintahan lainnya.
Pemerintah atau penguasa adalah Gaetanomosca, yang artinya suatu kelompok tertentu dari masyarakat itu yang menguasai mereka. Kelompok ini disebut dengan Ruling Class (Wahjono, 1999: 214).
Sebagai salah satu unsur negara, keberadaan pemerintah haruslah diakui oleh rakyatnya. Karena pada hakikatnya pemerintah adalah pembawa suara rakyat sehingga pemerintah dapat berdiri dengan stabil (Huda, 2010: 32).
Kedaulatan adalah kekuasaan yang tertinggi, yaitu kekuasaan yang tidak berada di bawah kekuasaan yang lain. Pemerintah yang berdaulat berarti:
1. Ke dalam, pemerintah tersebut ditaati oleh rakyatnya, dapat melaksanakan recthsorde (ketertiban hukum) dalam negara sehingga kesejahteraan rakyat terjamin;
2. Ke luar, pemerintah negara tersebut mampu mempertahankan kemerdekaannya terhadap serangan dari pihak lain.
d. Pengakuan dari negara lain
Unsur ini bukan merupakan syarat mutlak bagi adanya suatu negara, karena unsur ini bukan merupakan unsur pembentuk bagi badan negara, melainkan hanya bersifat menerangkan saja tentang adanya negara. Jadi hanya deklaratif, bukan konstitutif. Tanpa pengakuan dari negara lain suatu negara tetap dapat berdiri. Meskipun, bukan merupakan unsur pembentuk, namun diperlukan sebagai pernyataan dalam tata hubungan internasional. Alasannya karena dalam tata hubungan internasional diperlukan kemampuan melakukan hubungan dengan negara.
Mengapa Montevideo Convention mensyaratkan kemampuan melakukan hubungan dengan negara lain? Negara dalam konsep Montevideo Convention adalah negara sebagai subjek hukum internasional. Untuk menjadi subjek hukum internasional, pemerintah negara yang bersangkutan harus mempunyai kemampuan melakukan hubungan internasional dengan negara lain. Apakah negara dimaksud hanya sebatas negara merdeka? Negara yang belum merdeka, seperti negara dominion, negara mandat, atau negara di bawah perwalian termasuk pengertian negara sebagai subjek hukum internasional. Walaupun masih terbatas, negara-negara tersebut memiliki kemampuan dan dapat melakukan hubungan dengan negara lain (Manan, 2009: 2). Dengan kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain maka eksistensi suatu negara akan diakui.
Lebih lanjut pengakuan dari negara lain ada 3 macam, di antaranya (Busroh, 2001: 46-47):
1) Pengakuan de facto (sementara)
Hal yang dimaksud dengan pengakuan de facto adalah pengakuan yang bersifat sementara terhadap munculnya atau terbentuknya suatu negara baru. Diberikannya pengakuan de facto yang bersifat sementara karena masih dalam penelitian apakah prosedurnya melalui hukum atau tidak. Pengakuan de facto ini dapat meningkat menjadi pengakuan de jure apabila prosedur munculnya negara baru itu melalui prosedur hukum yang sebenarnya.
2) Pengakuan de jure
Hal yang dimaksud dengan pengakuan de jure adalah pengakuan seluas-luasnya dan bersifat tetap terhadap muncul dan timbulnya suatu negara baru. Pemberian pengakuan de jure ini haruslah berdasarkan hukum 3) Pengakuan atas Pemerintahan de facto Hal yang dimaksud dengan pengakuan terhadap pemerintahan de facto adalah suatu pengakuan hanya terhadap pemerintahan dari suatu negara. Jadi, yang diakui adalah pemerintahannya saja, sedangkan wilayahnya tidak diakui.
2. Unsur-Unsur Negara Secara Yuridis
Unsur-unsur ini dikemukakan oleh Logemann yang terdiri dari (Sinamo, 2011:13-14):
a. Gebiedsleer (wilayah hukum), Wilayah hukum disini meliputi darat, laut, udara, serta orang dan batas wewenangnya.
b. Peroonsleer (subjek hukum), Unsur subjek hukum daripada negara adalah pemerintahan yang berdaulat.
c. De leer van de rechtsbetrekking (hubungan hukum), Maksudnya adalah hubungan hukum antara penguasa dan dikuasai termasuk hubungan hukum ke luar dengan negara lainnya secara internasional.
3. Unsur-Unsur Negara Secara Sosiologis
Unsur-unsur ini dikemukakan oleh Rudolf Kjellin yang melanjutkan ajaran Ratzel dalam bukunya Der Staat als Lebensform. Menurutnya unsur-unsur negara adalah (Busroh, 2001: 81-82):
1) Faktor sosial yang meliputi:
a. Unsur masyarakat.
b. Unsur ekonomis.
c. Unsur kultural.
2) Faktor Alam yang meliputi:
a. Unsur wilayah.
b. Unsur bangsa.
RANGKUMAN
Istilah negara baru muncul pada zaman Renaissance di Eropa, yaitu pada abad Pertengahan. Pada masa itu mulai dipergunakan istilah Lo Stato yang berasal dari bahasa Italia yang kemudian menjelma menjadi L‟etat dalam bahasa Prancis, The State dalam bahasa Inggris, der Staat dalam bahasa Jerman dan de Staat dalam bahasa Belanda. Beberapa referensi menyebutkan bahwa yang mengenalkan istilah Lo Stato (negara) adalah Niccolo Machiavelli. Kata Lo Stato yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi negara, pada waktu itu diartikan sebagai suatu sistem tugas atau fungsi publik dan alat-alat perlengkapan yang teratur, dan lebih luas lagi dalam arti kesatuan wilayah (daerah) yang dikuasai.
Pengertian dan definisi tentang negara dari waktu ke waktu selalu berubah. Hal ini disebabkan pengertian-pengertian tersebut dilahirkan menurut zaman dan kondisi yang berbeda. Terlebih jika dikaitkan dengan para penciptanya yang tidak lepas dari kenyataan-kenyataan hidup di sekitarnya sehingga melahirkan pengertian yang berbeda-beda pula. Secara umum para sarjana mendefinisikan negara sesuai dengan kondisi yang terjadi pada masanya.
Unsur-unsur negara adalah bagian-bagian yang menjadikan negara itu ada. Terdapat tiga sudut pandang mengenai unsur-unsur negara:
1. Unsur-unsur klasik
a. Wilayah, yakni batas-batas dimana kekuasaan negara itu berlaku.
b. Rakyat, yakni sekumpulan manusia dari kedua jenis kelamin yang hidup bersama di suatu wilayah.
c. Pemerintah, badan negara dalam menyelenggarakan segala kepentingan rakyatnya dan merupakan alat dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pemerintah yang berdaulat berarti:
1) Ke dalam, pemerintah tersebut ditaati oleh rakyatnya, dapat melaksanakan recthsorde (ketertiban hukum) dalam negara sehingga kesejahteraan rakyat terjamin.
2) Ke luar, pemerintah negara tersebut mampu mempertahankan kemerdekaannya terhadap serangan dari pihak lain.
d. Pengakuan dari negara lain, Pengakuan dari negara lain bukan merupakan syarat mutlak bagi adanya suatu negara karena unsur ini bukan merupakan unsur pembentuk bagi badan negara, melainkan hanya bersifat menerangkan saja tentang adanya negara. Jadi, hanya deklaratif, bukan konstitutif. Pengakuan dari negara lain dapat dibedakan dalam 2 macam yakni, pengakuan de facto, pengakuan de jure, dan pengakuan atas pemerintahan de facto.
2. Unsur-unsur negara secara yuridis
Unsur-unsur ini dikemukakan oleh Logemann yang terdiri dari:
a. Gebiedsleer (wilayah hukum)
Wilayah hukum disini meliputi darat, laut, udara, serta orang dan batas wewenangnya.
b. Peroonsleer (subjek hukum)
Unsur subjek hukum daripada negara adalah pemerintahan yang berdaulat.
c. De leer van de rechtsbetrekking (hubungan hukum)
Maksudnya adalah hubungan hukum antara penguasa dan dikuasai termasuk hubungan hukum dengan negara luar secara internasional.
3. Unsur-unsur negara secara sosiologis
Unsur-unsur negara secara sosiologi terdiri dari 2, yakni:
a. Faktor sosial yang meliputi:
1) Unsur masyarakat.
2) Unsur ekonomis.
3) Unsur kultural.
b. Faktor Alam yang meliputi:
1) Unsur wilayah.
2) Unsur bangsa.
Kegiatan Belajar 2
Hakikat Negara dan Tujuan Negara
A. HAKIKAT NEGARA
Sejak orang mendapatkan kebebasan dalam pemikiran tentang Negara dan hukum, sejak itu pula orang sudah memikirkan tentang hakikat negara. Hakikat negara adalah suatu penggambaran tentang sifat daripada negara. Sebagai wadah dari suatu bangsa tentunya negara memiliki karakteristik dan gambarannya masing-masing, negara memiliki sifat-sifat khusus yang merupakan manifestasi dari kedaulatan yang dimilikinya dan yang hanya terdapat pada negara saja, tidak pada organisasi atau asosiasi lainnya.
Pandangan mengenai hakikat negara boleh dikatakan sebanyak aliran filsafat yang ada. Bahkan lebih dari itu, sebab kadang sarjana termasuk dalam satu aliran, tetapi pandangannya mengenai hakikat negara berlainan. Hal ini disebabkan oleh pengaruh keadaan atau sifat pemerintahan yang dialaminya.
Dengan demikian, pandangannya tentang hakikat negara juga berlainan (Busroh, 2001: 81-82). Berikut akan diuraikan pandangan para sarjana tentang hakikat negara.
1. Socrates
Socrates adalah seorang pemikir besar pada jaman Yunani Kuno. Dalam pandangannya mengenai hakikat negara Socrates mengatakan bahwa semua manusia menginginkan kehidupan yang aman, tenteram, dan lepas dari gangguan yang memusnahkan harkat manusia. Waktu itu orang-orang yang menginginkan ketenteraman menuju bukit dan membangun benteng serta mereka berkumpul disana menjadi kelompok. Kelompok inilah yang oleh Socrates dinamakan polis (satu kota saja). Organisasi yang mengatur hubungan antara orang-orang yang ada di dalam Polis itu tidak hanya mempersoalkan organisasinya saja, tetapi juga tentang kepribadian orang-orang di sekitarnya. Dengan kata lain, negara bukanlah semata-mata merupakan suatu keharusan yang bersifat obyektif, namun berpangkal dari budi pekerti manusia. Negara adalah suatu susunan yang objektif yang bersandar pada sifat hakikat manusia dan bertugas untuk melaksanakan hukum yang objektif yang memuat keadilan bagi masyarakat umum. Oleh karena itu, negara harus berdasarkan keadilan sejati agar manusia mendapatkan keamanan, ketenteraman, dan ketenangan. Disinilah letak hakikat negara menurut Socrates.
2. Plato
Seperti diketahui bersama Plato adalah murid terbesar dari Socrates. Ia menulis buku yang sangat terkenal, yakni politiea (negara), politikos (ahli negara), dan nomoi (undang-undang). Paham Plato mengenal negara sangatlah sederhana. Menurut Plato, negara itu timbul atau ada karena adanya kebutuhan dan keinginan manusia yang beraneka macam, yang menyebabkan mereka harus bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan mereka. Hal ini disebabkan oleh masing-masing orang itu tidak mampu memenuhi kebutuhannya. Karena itu, sesuai dengan kecakapan mereka masing-masing, tiap-tiap orang itu mempunyai tugas-tugas sendiri dan bekerja sama untuk memenuhi kepentingan mereka bersama. Kesatuan inilah yang kemudian disebut masyarakat atau negara. Mengenai hakikat negara Plato mengatakan bahwa luas negara harus diukur atau disesuaikan dengan dapat atau tidaknya, mampu atau tidaknya negara memelihara kesatuan di dalam negara itu. Oleh karena itu, pada hakikatnya merupakan suatu keluarga yang besar maka negara tidak boleh mempunyai luas daerah yang tidak tertentu. Dengan kata lain negara tidak boleh terlalu kecil atau besar (Busroh: 15-17).
3. Aristoteles
Aristoteles adalah murid terbesar dari Plato. Karya terkenal dari Aristoteles adalah Ethica yang berisi ajaran keadilan dan Politica yang isinya mengenai negara. Jika Plato terkenal dengan ajaran idealismenya, maka Aristoteles mengembangkan ajaran Realisme (kenyataan). Menurut Aristoteles negara itu adalah merupakan suatu kesatuan yang tujuannya mencapai kebaikan yang tertinggi, yaitu kesempurnaan diri manusia sebagai anggota dari negara. Lebih lanjut Aristoteles mengatakan bahwa adanya negara itu sudah berdasarkan kodrat. Manusia sebagai anggota keluarga menurut kodratnya tidak dapat dipisahkan dari negara. Hal ini disebabkan manusia adalah suatu makhluk sosial atau zoon politicon. Sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat dipisahkan dari masyarakat atau negara.
Aristoteles juga mengatakan bahwa manusia pada dasarnya merupakan binatang atau dewa. Manusia menjadi baik karena pergaulannya di dalam masyarakat atau di dalam negara. Kemudian, timbul kebutuhan yang bersifat kebendaan, yakni mencapai kebahagiaan. Jika manusia ingin bahagia ia harus bernegara karena manusia saling membutuhkan satu sama lainnya. Disini kebahagiaan seseorang sangatlah tergantung dari kebahagiaan negara. Kebahagiaan negara menjadi tolak ukur kebahagiaan warga negara. Jadi, manusia hanyalah dapat berbahagia apabila ia berada dalam negara, dan hidup bernegara. Dengan demikian, dalam perimbangan antara negara dengan manusia, negaralah yang primer, negaralah yang diutamakan. Dengan terpenuhi dan terpeliharanya kepentingan negara, dengan sendirinya kepentingan manusia sebagai warga negara akan demikian pula keadaannya.
Paham yang mengutamakan kepentingan negara disebut dengan collectivism. Hakikat negara menurut Aristoteles bahwa negara merupakan suatu organisme, yaitu suatu keutuhan yang mempunyai dasar-dasar hidup sendiri. Dengan demikian, negara itu selalu mengalami timbul, kembang, pasang, surut, dan bahkan mati. Hal ini persis dengan keadaan manusia, tumbuh-tumbuhan, atau binatang. Manusia atau individu hanyalah merupakan bagian saja dari organisme tadi, dan yang tidak mempunyai dasar hidup sendiri, serta tidak dapat terlepas dari kesatuannya tadi, yaitu negara. Oleh karena negara sebagai sebuah keutuhan dan manusia merupakan bagian saja yang tidak dapat dilepaskan maka nasib warga negara tergantung daripada nasib negaranya. Bila negaranya makmur, maka warga negaranya juga akan makmur (Busroh: 23-25).
4. Polybius
Polybius adalah salah seorang pemikir besar tentang negara dan hukum pada zaman Romawi. Polybius dikenal sebagai seorang sarjana yang menemukan teori perubahan bentuk negara. Menurut Polybius bentuk negara atau pemerintahan yang satu merupakan akibat daripada bentuk negara yang lain. Bentuk-bentuk negara itu berubah-ubah sedemikian rupa, sehingga perubahannya merupakan suatu lingkaran. Ajarannya kemudian terkenal dengan nama cycles theory. Cycles itu dimulai dari Monarki – Tirani – Aristokasi – Oligarkhi – Demokrasi – Okhlorasi - Monarki. Menurut Polybius hakikat negara sangatlah tergantung dari penguasa atau siapa yang memimpinnya. Hakikat negara dengan bentuk Monarki tentu tidak sama dengan hakikat negara dengan bentuk Tirani ataupun demokrasi. Masing masing bentuk negara memiliki hakikatnya masing-masing tergantung siapa yang menjalankan kekuasaannya (Busroh: 38-39).
5. Augustinus
Seperti telah dikemukakan di muka bahwa Augustinus adalah seorang ahli pikir pada zaman abad pertengahan. Ia menjadi jembatan antara dua masa dalam sejarah, yaitu masa zaman abad pertengahan dengan masa-masa sebelumnya. Menurut Augustinus segala sesuatu yang ada di dunia adanya atas kehendak Tuhan, tidak terkecuali negara. Negara pada hakikatnya adalah atas kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan hanya dapat dimengerti melalui wakil Tuhan di muka bumi, yakni Paus sebagai pemimpin gereja. Gereja pada masa itu tidak hanya mengurusi soal-soal agama saja, melainkan juga mempersoalkan soal-soal keduniawian. Kekuasaan (keduniawian) negara diperoleh dari pemberian gereja. Negara sifatnya hanyalah sebagai alat dari gereja untuk membasmi musuh-musuh gereja (Soehino, 1980: 51-52).
6. Marsillius
Marsillius adalah ahli pemikir tentang negara dan hukum di zaman abad pertengahan. Pada tahun 1324 Marsillius menerbitkan sebuah buku yang berjudul Defensor Pacis (Pembela Perdamaian). Buku tentang negara dan hukum ini merupakan buku yang paling menakjubkan dari seluruh buku yang ada pada zaman pertengahan. Buku ini terdiri dari tiga bagian yang disebut dictions. Buku yang pertama menguraikan tentang dasar-dasar negara. Buku yang kedua berisi tentang dasar-dasar gereja dan sifat-sifat hubungan antara negara dengan gereja. Sementara itu, buku ketiga hanya memuat kesimpulan kesimpulan saja.
Meskipun Marsillius adalah seorang sarjana di zaman abad pertengahan, namun pandangannya sangat dipengaruhi oleh ajaran Aristoteles. Menurutnya, hakikat negara adalah suatu badan atau organisme yang mempunyai dasar-dasar hidup dan mempunyai tujuan tertinggi yakni menyelenggarakan perdamaian. Negara lahir karena adanya perjanjian dari orang-orang yang hidup bersama untuk menyelenggarakan perdamaian (Soehino, 1980: 64).
7. Oppenheimer
F.Oppenheimer dalam bukunya De Sache menguraikan bahwa hakikat negara adalah suatu alat dari golongan yang kuat untuk melaksanakan suatu tertib masyarakat. Golongan yang kuat tadi dilaksanakan kepada golongan yang lemah. Maksudnya untuk menyusun dan membela kekuasaan dari penguasa (Soehino, 1980: 133).
8. Leon Duguit
Bukunya Traite de Troit Constitusional berisikan ajaran hukum dan negara yang bersifat realistis. Negara menurut Leon Duguit pada hakikatnya adalah kekuasaan orang-orang kuat memerintah orang-orang yang lemah. Bahkan dalam negara modern kekuasaan orang-orang yang kuat diperoleh dari faktor-faktor politik (Busroh, 2001: 22).
9. Hans Kelsen
Hans Kelsen adalah seorang pemikir besar tentang negara dan hukum dari Austria yang kemudian menjadi warga negara Amerika. Kelsen merupakan salah satu penganut ajaran positivism. Bukunya yang terkenal antara lain Allgemeine Staatslehre dan Der Soziologische und der juristische Staatsbegriff. Menurut ajaran Hans Kelsen, negara itu identik dengan hukum, namun demikian, Hans Kelsen juga mengakui bahwa negara itu terikat oleh hukum. Negara itu pada hakikatnya adalah suatu Zangsordnung, yaitu suatu tertib hukum ataupun suatu tertib masyarakat yang bersifat memaksa. Di satu pihak menimbulkan hak untuk memerintah dan di pihak lain adanya kewajiban untuk tunduk terhadap yang memerintahnya (Soehino, 1980: 139- 141).
10. Kranenburg
Mengenai pendapatnya tentang negara, Kranenburg mengatakan bahwa negara itu pada hakikatnya adalah suatu organisasi kekuasaan, diciptakan oleh sekelompok manusia yang disebut bangsa. Jadi, menurut Kranenburg terlebih dahulu harus ada sekelompok manusia yang mempunyai kesadaran untuk mendirikan suatu organisasi, dengan tujuan untuk memelihara kepentingan dari kelompok tersebut. Maka disini yang primer adalah kelompok manusianya. Sementara itu, negara itu adalah sekunder, artinya adanya itu menyusul kemudian. Dengan demikian, sifat hakikat negara disini adalah yang utama kelompok masyarakatnya membentuk negara bangsa.
Pendapat Kranenburg itu didasarkan atas formasi kerja sama internasional PBB atau UNO. Meskipun anggotanya negara-negara tetapi namanya bukan United States, tetapi United Nation. Hal ini menunjukkan bahwa menurut pandangan modern, bangsa adalah primaire, sedangkan negara adalah sekunder. Jadi, bangsa adalah sendi adanya negara (Busroh 2001: 22-23).
11. Logemann
Berbeda dengan pendapatnya Kranenburg, Logemann mengatakan bahwa negara itu pada hakikatnya adalah suatu organisasi kekuasaan yang meliputi atau menyatukan kelompok manusia yang kemudian disebut bangsa. Jadi, pertama-tama negara itu adalah suatu organisasi kekuasaan yang memiliki kewibawaan dan dapat memaksakan kehendaknya kepada semua orang yang diliputi oleh organisasi itu. Disini tiap-tiap organisasi belumlah tentu suatu negara, misalnya organisasi mahasiswa, organisasi buruh, organisasi politik. Organisasi-organisasi tersebut tidaklah memiliki kekuasaan seperti halnya organisasi bernama negara. Oleh karena itu, Logemann berpendapat bahwa yang primair adalah organisasi kekuasaannya, yaitu negara. Sementara itu, kelompok manusianya yaitu bangsa adalah sekunder. Maka perbedaannya dengan pendapat Kranenburg adalah menurut sistem Kranenburg bangsa itu menciptakan organisasi, jadi adanya atau terbentuknya organisasi itu tergantung pada bangsa. Sementara itu, menurut Logemann, organisasi itu menciptakan bangsa maka bangsa inilah yang tergantung dari organisasi (Busroh 2001: 24-25).
12. Miriam Budiardjo
Menurut Miriam Budiardjo, negara mempunyai sifat khusus yang merupakan manifestasi dari kedaulatan yang dimilikinya dan hanya terdapat pada negara saja dan tidak terdapat pada asosiasi atau organisasi lainnya.
Anggapan umum bahwa setiap negara memiliki memaksa, sifat monopoli, dan sikap mencakup semua.
a. Sifat memaksa, Negara memiliki sifat memaksa agar peraturan perundang-undangan ditaati, penertiban dalam masyarakat tercapai dan timbulnya anarki dapat dicegah. Dengan memiliki sifat memaksa negara juga memiliki kekuasaan untuk memakai kekerasan fisik secara legal. Sarana untuk itu adalah polisi, tentara, dan sebagainya. Organisasi dan asosiasi yang lain dari negara juga mempunyai aturan, akan tetapi aturan-aturan yang dikeluarkan oleh negara lebih mengikat. Unsur paksa dari negara dapat dilihat misalnya pada ketentuan tentang pajak. Setiap warga negara harus membayar pajak dan orang yang menghindari kewajiban ini dapat dikenakan denda, atau disita miliknya atau di beberapa negara malahan dapat dikenai hukuman kurungan. Disinilah kekuatan memaksa dari negara.
b. Sifat Monopoli, Negara memiliki sifat monopoli dalam menetapkan tujuan bersama dari masyarakat. Sebagai contoh adalah negara dapat menyatakan bahwa suatu aliran kepercayaan atau aliran politik tertentu dilarang hidup dan disebarluaskan karena bertentangan dengan tujuan masyarakat.
c. Sifat mencakup semua (all-encompassing, all-embracing), Negara memiliki kekuasaan untuk memberlakukan semua peraturan perundang-undangan berlaku untuk semua orang tanpa terkecuali. Keadaan ini dirasa perlu sebab jika seseorang dibiarkan berada di luar ruang lingkup aktivitas negara maka usaha negara ke arah tercapainya masyarakat yang dicita-citakan akan gagal. Lagipula, menjadi warga negara tidak berdasarkan kemauan sendiri (involuntary-membership) dan hal ini berbeda dengan asosiasi lain ketika keanggotaanya bersifat sukarela (Budiardjo, 1991: 50).
Dalam Ilmu Negara terdapat 5 teori mengenai hakikat negara, yakni:
a) Teori Sosiologis
Menurut teori ini, negara dipandang sebagai suatu institusi sosial yang tumbuh dalam masyarakat karena diperlukan untuk mengurus, mengatur, dan menyelenggarakan kepentingan masyarakat. Penganutnya adalah Rudolf Smend yang menyatakan bahwa hakikat negara adalah ikatan keinginan kelompok masyarakat yang diusahakan selalu tetap (statis) dengan mengadakan faktor-faktor integrasi (pemersatu). Dengan demikian, negara akan tetap exist dalam menghadapi perubahan.
b) Teori Organis
Dalam teori ini, negara dipandang sebagai suatu organisasi yang hidup dan mempunyai kehidupan sendiri yang dalam berbagai hal menunjukkan persamaan dengan organisme manusia, bahkan mempunyai kehendak sebagai manusia, dipengaruhi oleh teori evolusi kehidupan, lahir, muda, tua, dan akhirnya mati. Oleh karena itu, negara memerlukan ruang hidup (lebensraum) yang tumbuh dan berkembang secara dinamik. Kehendak negara itu dilaksanakan oleh organ-organ negara seperti parlemen, presiden, menteri-menteri, dan lembaga negara lainnya. Penganut teori organis tentang hakikat negara ini adalah Johann Kaspar Bluntscli dari Swiss.
c) Teori Ikatan Golongan
Hakikat negara dipandang sebagai ikatan atau gabungan kelompok masyarakat untuk mencapai tujuan bersama. Negara mengikat gabungan kelompok masyarakat itu ke arah perumusan kehendak bersama dan bukan kepentingan golongan atau kelompok tertentu. Kehendak bersama atau kepentingan bersama (common interest) itulah merupakan tujuan negara dioperasionalkan berdasarkan atas kesepakatan bersama di dalam suatu organisasi negara.
d) Teori Dua Isi (Zwizeitenteori)
Di dalam teori ini negara ini dipandang dari dua segi, yaitu:
1. Negara dipandang sebagai sosial fact atau suatu kenyataan sosial.
2. Negara dipandang sebagai rechtliche institution atau sebagai suatu lembaga hukum.
Negara jika dipandang dari segi social fact maka negara dari luar tampak sebagai suatu kebulatan dan totalitas sebagai suatu kesatuan kehidupan bermasyarakat. Metode yang digunakan dalam meninjau aspek ini adalah metode sosiologis. Sementara itu, dilihat dari segi yuridis, negara ditinjau dari dalam nampak sebagai suatu struktur atau organisasi yang terdiri dari lembaga-lembaga negara, seperti MPR, DPR, Presiden, menteri-menteri dan lembaga negara lainnya. Lembaga negara ditetapkan melalui peraturan-peraturan hukum seperti UUD atau UU. Dan juga melaksanakan tugasnya berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum itu pula. Karena itu, metode yang dipergunakan adalah metode yuridis. Penganut dari teori ini adalah Jellinek.
e) Teori Hukum Murni (Reine Rechsleer),
Teori ini memandang negara sebagai suatu sistem hukum semata-semata, dimana ketertiban negara tiada lain merupakan ketertiban masyarakat.
Negara merupakan tatanan dari tertib norma-norma hukum yang mengikat yang disebut tata hukum (legal order) maka sebagai konsekuensi logisnya negara mempunyai kekuasaan. Oleh karena itu, negara identik dengan hukum, dan sama dengan tata hukum. Pelopor penganut teori ini adalah Hans Kelsen dari aliran filsafat Neo Kantian.
Menarik pula pendapat S.W. Couwenberg yang menyatakan negara pada hakikatnya merupakan suatu proses interaksi politis-yuridis. Menurut pandangan Padmo Wahyono, dari tinjauan hukum (yuridis) maka hakikat negara dapat dicermati dari tiga aspek, yaitu (Atmadja, 2012: 42-44):
1) Negara sebagai obyek hukum (recht objek). Objek atau alat yang dikuasai penguasa. Contoh dalam abad pertengahan negara adalah obyek yang dikuasai oleh tuan tanah berarti tuan tanah tidak hanya memiliki tanah, tetapi menguasai orang-orang atau penduduk diatas tanah milikinya. Jadi, tuan tanah juga memiliki hak untuk memungut pajak.
2) Negara sebagai recht verhaltnis, memandang hakikat negara sebagai hasil perjanjian masyarakat. Setelah ada perjanjian masyarakat timbul ikatan (verhaltinis), dan ikatan inilah yang dinamakan negara.
3) Negara sebagai rechts subjek yang memandang hakikat Negara sebagai subyek hukum (rechtpersoon), dimana negara dapat mengadakan hubungan hukum dengan individu dalam masyarakat, dan dalam kedudukannya sebagai yang memerintah berhak membentuk hukum.
B. TUJUAN NEGARA
Kemana arah organisasi negara itu akan dibawa akan terjawab dari tujuan negara tersebut. Tidak ada suatu negara yang tidak mempunyai tujuan. Setiap negara dibentuk pastilah memiliki tujuan dan arah tertentu. Dalam teori dan kenyataan tidak satupun negara yang tidak mempunyai tujuan. Beraneka tujuan negara itu, setiap penguasa dapat saja mengemukakannya. Tujuan negara adalah kepentingan utama daripada tatanan suatu negara. Tujuan negara pada dasarnya merupakan cita-cita atau hal yang diinginkan darinya adanya suatu negara. Dengan mengetahui tujuan negara persoalan mengenai legitimasi dan sifat dari negara akan terjawab. Karena legitimasi ataupun sifat dari negara haruslah bersesuaian dengan tujuan negara. Tujuan negara dalam banyak hal tergantung dari tempat, keadaan, waktu, serta sifat dari kekuasaan penguasa. Tujuan negara 10 abad atau 20 abad yang lalu tentunya tidak sama dengan tujuan negara pada masa sekarang. Para sarjana sebagian berpendapat bahwa tujuan negara dihubungkan dengan tujuan akhir dari manusia dan ada pula yang menghubungkannya dengan kekuasaan. Secara garis besar ada beberapa ajaran mengenai tujuan negara, diantaranya adalah (Kansil dan Kansil, 2007: 69-74):
1. Ajaran Kekuasaan
Pencetus ajaran ini adalah Machiavelli dan Shang Yang. Menurut Shang Yang tujuan negara adalah membentuk kekuasaan. Untuk pembentukan kekuasaan ini perlu diadakan perbedaan tajam antara negara dan rakyat. Perbedaan ini diartikan sebagai perlawanan/kebalikan satu terhadap yang lainnya. Shang Yang mengatakan kalau orang ingin membuat negara kuasa dan berkuasa penuh maka ia harus membuat rakyatnya lemah dan miskin. Sebaliknya, jika rakyatnya kuat dan makmur maka negara akan lemah. (A weak people means a strong state and a strong means a weak people therefore a country, which has the right way, if concerned with weakening the people). Untuk membuat negara kuat dan sejahtera, satu-satunya jalan ialah tentaranya yang kuat, sederhana, dan sanggup menghadapi bahaya. Menurutnya, kebudayaan justru melemahkan rakyat karena dengan kebudayaan rakyat tidak berani berperang terlebih karena ilmu pengetahuan rakyat tidak berani mati. Oleh karena itu, untuk menjadikan negara kuat rakyat harus diperlemah. Ajaran dari Shang Yang ini tentu kontradiktif yang menganggap hal-hal seperti kebudayaan, moral, ilmu pengetahuan yang sangat berharga sebagai sesuatu yang merugikan rakyat.
Adapun tujuan negara menurut Machiavelli adalah untuk mengusahakan terselenggaranya ketertiban, keamanan, dan ketenteraman. Oleh karena itu, kedudukan pemerintahan harus ditempatkan di atas segala aliran yang ada, Bagaimanapun lemahnya pemerintahan haruslah diperlihatkan sebagai yang lebih berkuasa. Dengan demikian, rakyat berharap banyak pada negara dan pemerintahan (Lubis, 1981: 35). Machiavelli tidak setuju dengan moral, kebudayaan, agama, dan sebagainya karena semua hal tersebut akan melemahkan raja dalam memerintah negaranya. Penguasa sebagai pemimpin negara harus mempunyai sifat sebagai serigala dan singa. Sebagai serigala ia dapat mengetahui dan membongkar rahasia yang bisa merobohkan negara karena kelicikannya. Sebagai singa ia bisa menaklukkan binatang-binatang buas lainnya. Seorang raja yang hanya memiliki sifat-sifat sebagai singa saja dianggapnya belum sempurna untuk memerintah. Ia masih harus licik dan kalau perlu ia harus memungkiri janji untuk menyelamatkan negaranya. Raja yang lemah tentu tidak akan dapat bertahan lama dan akhirnya jatuh juga.
Kesamaan pendapat antara Shang Yang dengan Machiavelli terletak pada sifat-sifat kekuasaan yang harus dimiliki negara. Perbedaannya ialah bagi Machiavelli di belakang tujuan negara kekuasaan, masih tersembunyi tujuan yang lebih jauh lagi, yaitu untuk kepentingan, kehormatan, dan kebahagiaan bangsa. Sementara itu, bagi Shang Yang tujuan negara adalah kekuasaan untuk kekuasaan itu, tidak ada yang lain (Huda, 2010: 55). Jika diselidiki latar belakang ajaran ini karena keadaan yang hidup di sekitarnya. Orang akan membenarkan ajaran ini oleh karena pada waktu itu masyarakat hidup di negara yang serba kacau dan peperangan. Untuk dapat meredam dan mengatasi kekacauan yang terjadi pada masa itu dilahirkan ajaran kekuasaan.
2. Ajaran Perdamaian Dunia
Dalam bukunya yang berjudul De Monarchia Libri III, Dante Alleghiere menyatakan bahwa tujuan negara adalah untuk mewujudkan perdamaian dunia. Perdamaian dunia akan terwujud apabila semua negara merdeka meleburkan diri dalam satu imperium di bawah kepemimpinan seorang penguasa tertinggi. Di bawah seorang mahakuat dan bijaksana, pembuat undang-undang yang seragam bagi seluruh dunia, keadilan dan perdamaian akan terwujud di seluruh dunia. Munculnya ajaran ini dilatarbelakangi oleh adanya pertentangan antara kaisar dengan Paus mengenai siapa yang paling berhak dalam kekuasaan negara. Dante kagum akan cara kaisar Jerman yang berhasil memerintah Jerman dengan tertib dan aman. Salah satu keberhasilan Kaisar itu adalah kemampuannya memisahkan urusan pemerintahan negara dengan urusan kerohanian, dan dia berhasil memadukan keduanya untuk tujuan perdamaian. Dante berpendapat bahwa Kaisar Jerman seharusnya menjadi raja Italia karena berhasil menundukkan imperium Roma. Undang-undang dan imperium Roma itulah yang seharusnya dijalankan demi perdamaian bangsa-bangsa di bawah kekuasaan Roma. Oleh karena itu, peperangan yang dapat membuat perpecahan dalam negara perlu dihindari dengan cara mendirikan satu imperium dunia agar tercipta ketenteraman dan kedamaian di bawah imperium tadi (Pakpahan, 2006: 121).
3. Ajaran Kesusilaan
Pencetus dan penganut ajaran ini adalah Plato. Menurut Plato, negara bertujuan untuk memajukan kesusilaan manusia, baik sebagai perorangan (individu) maupun sebagai makhluk sosial (Naning, 1983: 33). Di samping itu, tujuan dari negara adalah untuk mencapai, mempelajari, dan mengetahui cita (idea) yang sebenarnya. Idea yang sesungguhnya hanyalah dapat diketahui oleh ahli-ahli filsafat saja maka dari itu pimpinan negara atau pemerintahan negara sebaiknya dipegang oleh ahli-ahli filsafat (Soehino, 1980: 17).
4. Ajaran Kebahagiaan
Tujuan negara yang utama adalah memberikan manfaat yang sebesar besarnya bagi kepentingan masyarakat sehingga mereka dapat hidup tenteram dan bahagia. Menurut Aristoteles, negara itu merupakan kesatuan yang tujuannya adalah mencapai kebahagiaan. Bahkan John Stuart dan Jeremy Bentham menekankan bahwa tujuan negara adalah mencapai the greatest happiness of the greatest number. Tujuan kebahagiaan itu semakin dipertegas lagi oleh Hartman seorang ahli filsafat yang menyatakan bahwa tujuan mendirikan negara tidak hanya mencapai kebesaran negara saja, melainkan juga mencapai kebahagiaan hidup bagi rakyatnya (bonum publicum, common good, common weal) (Naning, 1983: 33-34).
5. Ajaran Teokrasi
Tujuan negara ini adalah untuk mencapai penghidupan dan kehidupan aman dan tenteram dengan taat kepada Tuhan. Pemimpin negara menjalankan kekuasaan hanyalah berdasarkan kekuasaan Tuhan yang diberikan kepadanya. Penganut ajaran dan teori ini adalah Thomas Aquinas, Augustinus, dan sebagainya. Augustinus bahkan secara tegas menyebutkan bahwa tujuan negara adalah dihubungkan dengan cita-cita manusia hidup di alam kekal, yaitu sesuai yang diinginkan Tuhan.
6. Ajaran Keamanan dan Ketertiban
Tujuan negara ini semata-mata untuk mengatur, menjaga keamanan dan ketertiban dalam negara. Negara harus dipandang sebagai alat belaka yang dibuat manusia untuk melindungi dirinya dari segala ancaman dan bahaya. Negara hanyalah sebagai penjaga malam (negara polisi). Penganut ajaran ini adalah Epicurus, Dante Alleghieri, Thomas Hobbes, dan Montesquieu.
7. Ajaran Negara Hukum
Negara bertujuan menyelenggarakan ketertiban hukum dengan berdasarkan dan berpedoman pada hukum. Dalam negara hukum segala kekuasaan dari alat-alat pemerintahannya didasarkan atas hukum. Semua orang tanpa terkecuali harus tunduk pada hukum. Hanya hukumlah yang berkuasa dalam negara tersebut. Rakyat tidak boleh bertindak semaunya sendiri dan menentang hukum. Di dalam negara hukum, hak-hak rakyat dijamin sepenuhnya oleh negara, sebaliknya rakyat berkewajiban mematuhi seluruh peraturan pemerintah/negaranya. Salah satu penganut dan pendukung ajaran negara hukum adalah Immanuel Kant. Menurut Kant, tujuan Negara adalah membentuk dan mempertahankan hukum. Negara haruslah menjamin kedudukan hukum dari individu-individu di dalam masyarakat. Jaminan itu meliputi kebebasan dari negara yang tidak boleh ada paksaan dari penguasa agar warga negaranya tunduk pada undang-undang yang belum disetujuinya. Selain itu, negara haruslah memperlakukan setiap warga negara sama di dalam hukum dan tidak boleh sewenang-wenang (Huda, 2010: 56).
8. Ajaran Negara Kesejahteraan (Welfare State)
Tujuan negara ini adalah mewujudkan kesejahteraan umum. Dalam hal ini negara dipandang sebagai alat belaka yang dibentuk manusia untuk mencapai tujuan bersama, yakni kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat (Naning, 1983: 35). Salah satu penganut ajaran negara kesejahteraan adalah Kranenburg. Menurutnya, tujuan negara bukan sekadar memelihara ketertiban hukum, melainkan juga aktif mengupayakan kesejahteraan warganya. Kesejahteraan pun meliputi berbagai bidang yang luas cakupannya sehingga selayaknya tujuan negara itu disebut secara plural: tujuan-tujuan negara. Ia juga menyatakan bahwa upaya pencapaian tujuan tujuan negara itu dilandasi oleh keadilan secara merata, seimbang. Teori kesejahteraan secara garis besar dibagi dalam dua kelompok, yaitu Aliran Liberalis Kapitalis dan Aliran Solidaritas Sosialis. Menurut aliran liberalis kapitalis, kesejahteraan akan terwujud apabila setiap individu diberikan kemerdekaan. Penganut aliran ini antara lain Adam Smith, Jeremy Bentham, dan Herbert Spencer. Menurut mereka kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat harus dicapai lewat persaingan bebas dan sistem liberal. Dengan sistem perekonomian yang bebas akan terbuka peluang dan kesempatan kerja yang lebih luas sehingga pendapatan rakyat bertambah dan rakyat akan sejahtera dengan sendirinya.
Sedangkan dalam aliran solidaritas sosialis, kesejahteraan akan terwujud bilamana masyarakat mempunyai pekerjaan dan penghasilan yang patut untuk kehidupannya dan dijamin hak-hak mereka oleh undang-undang. Bertolak belakang dengan sistem liberal, ajaran ini menuntut pendapatan yang merata di dalam masyarakat. Akibatnya, terjadi pengurangan dan pengekangan hak-hak pribadi. Alat-alat produksi dan distribusi menjadi miliki negara supaya terjadi pemerataan. Penganut aliran solidaritas sosialis adalah Karl Marx, Max Webber, Louis Blanc, Henry de Saint Simon dan sebagainya (Naning, 1983: 36-37). Dalam ilmu negara umum, tujuan negara untuk mencapai kemakmuran melahirkan tipikal negara yang berbeda, yaitu: (a) Polizei Staat; tujuan negara adalah untuk mencapai kemakmuran bagi raja/negara; (b) Formele Rechtstaat; tujuan negara adalah mencapai kemakmuran individu; (c) Materiele Rechtstaat; tujuan negara adalah mencapai kemakmuran rakyat (Social Service State – negara kesejahteraan).
R A N G K U M A N
Hakikat negara adalah suatu penggambaran tentang sifat daripada negara. Sebagai wadah dari suatu bangsa tentunya negara memiliki karakteristik dan gambarannya masing-masing. Pandangan mengenai hakikat negara sangat beraneka ragam. Dalam modul ini disajikan pandangan beberapa sarjana tentang hakikat negara mulai dari Yunani Kuno sampai abad ke-21, diantaranya: Socrates, Plato, Aristoteles Polybius, Augustinus, Marsillius, F. Oppenheimer, Leon Duguit, Hans Kelsen, R. Kranenburg, Logemann, dan Miriam Budiardjo. Secara umum, negara memiliki sifat memaksa, sifat monopoli, dan mencakup semua.
Dalam ilmu negara terdapat 5 teori mengenai hakikat negara:
1) Teori sosiologis
Negara dipandang sebagai suatu institusi sosial yang tumbuh dalam masyarakat karena diperlukan untuk mengurus, mengatur, dan menyelenggarakan kepentingan masyarakat
2) Teori organis
Negara dipandang sebagai suatu organisasi yang hidup dan mempunyai kehidupan sendiri yang dalam berbagai hal menunjukkan persamaan dengan organisme manusia, yakni proses lahir, muda, tua, dan akhirnya mati
3) Teori ikatan golongan
Negara dipandang sebagai ikatan atau gabungan kelompok masyarakat untuk mencapai tujuan bersama
4) Teori hukum murni (reine rechsleer)
Di dalam teori ini negara ini dipandang dari dua segi, yaitu:
a. Negara dipandang sebagai sosial fact atau suatu kenyataan sosial.
b. Negara dipandang sebagai rechtliche institution atau sebagai suatu lembaga hukum.
5) Teori dua isi (zwizeitenteori)
Negara dipandang semata-mata sebagai suatu sistem hukum, dimana ketertiban negara tiada lain merupakan ketertiban masyarakat. Dalam teori dua isi negara identik dengan hukum, dan sama dengan tata hukum.
Kegiatan Belajar 3
Teori-Teori Asal Mula Negara
Mengenai asal mula negara yang dimaksud bukanlah asal mula atau terbentuknya suatu negara yang kongkret seperti asal mula negara Indonesia, Amerika Serikat atau sebagainya. Asal mula negara yang dimaksud adalah asal mula atau terbentuknya atau terjadinya hal atau sesuatu yang dinamakan negara, negara dalam pengertiannya yang umum, abstrak, dan universal saja. Jadi, tegasnya hal yang dinamakan negara itu adanya hanya dalam pikiran, dalam angan-angan, artinya kita memikirkan adanya sesuatu, sesuatu itu kemudian kita angkat ke alam pikir kita, dan disinilah kita membayangkan adanya hal yang dinamakan negara itu (Soehino, 1980: 7). Terjadinya suatu negara pada umumnya dapat dilihat dari 3 pendekatan, yakni pendekatan teoritis, proses pertumbuhannya, dan pendekatan faktual.
Pendekatan teoritis adalah tentang asal mula terbentuknya suatu negara berdasarkan pandangan para ahli tanpa mencari bukti-bukti sejarah yang mendukung. Berdasar pendekatan teoritis, asal mula negara terbagi dalam beberapa teori (Kansil dan Kansil, 2007: 49):
1. Teori Kenyataan
Timbulnya suatu negara adalah soal kenyataan. Apabila pada suatu ketika telah terpenuhi unsur-unsur negara (daerah, rakyat, dan pemerintah yang berdaulat) maka pada saat itu juga negara itu sudah menjadi suatu kenyataan.
2. Teori Ketuhanan
Timbulnya suatu negara adalah atas kehendak Tuhan. Segala sesuatu tidak akan terjadi apabila Tuhan tidak memperkenankannya. Kalimat-kalimat yang berikut menunjuk ke arah teori ini: “Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa (by the grace of God)”. Munculnya paham yang mengemukakan bahwa negara itu berasal dari Tuhan, karena orang pada waktu itu meyakini bahwa Tuhanlah Maha Pencipta langit dan bumi serta segala isinya berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada satupun kekuasaan di bumi ini yang tidak berasal dari pada-Nya. Demikian juga suatu negara tidak akan terbentuk tampak kehendak dan campur tangan dari Tuhan. Karena itu, kekuasaan yang ada pada negara berasal dari anugerah Tuhan, yang dianugerahkan dan diamanatkan kepada pemerintah. Berdasar alam pikiran inilah, maka raja-raja pada zaman purbakala sampai abad pertengahan tetap dipandang rakyat sebagai wakil Tuhan atau bayang-bayang Allah di muka bumi. Menurut aliran teokrasi ini asal-usul raja-raja yang memerintah adalah penjelmaan dari dewa-dewa, misalnya Raja Iskandar Dzulkarnaen dinyatakan sebagai putera Zeus Ammon, Mikaado di Jepang sebagai turunan dewa Matahari. Maka dengan demikian, diterima sajalah bahwa kekuasaan itu dipindahkan oleh Tuhan atau dewa-dewa. Beberapa penganut teori teokratik antara lain:
a. Santo Augustinus
Kedudukan gereja yang dipimpin Sri Paus lebih tinggi dari kedudukan negara yang dipimpin oleh raja karena paus merupakan wakil dari Tuhan. Augustinus membagi ada dua macam negara, yaitu: Civitate Dei (Kerajaan Tuhan) dan Civitate Diabolis/Terrana (Kerajaan Setan) yang ada di dunia fana.
b. Thomas Aquinas
Negara merupakan lembaga alamiah yang lahir karena kebutuhan social manusia, sebagai lembaga yang bertujuan menjamin ketertiban dan kehidupan masyarakat serta penyelenggara kepentingan umum, negara merupakan penjelmaan yang tidak sempurna. Kedudukan raja dan Sri Paus sama tinggi, keduanya merupakan wakil Tuhan yang masing masing mempunyai tugas berlainan yaitu raja mempunyai tugas di bidang keduniawian yaitu mengusahakan agar rakyatnya hidup bahagia dan sejahtera di dalam negara, sedangkan Paus mempunyai tugas dibidang kerohanian yaitu membimbing rakyatnya agar kelak dapat hidup bahagia di akhirat.
3. Teori Perjanjian
Timbulnya suatu negara karena perjanjian yang diadakan antara orang yang tadinya hidup bebas merdeka, terlepas satu sama lain tanpa ikatan kenegaraan. Perjanjian ini diadakan supaya kepentingan bersama dapat terpelihara dan terjamin. Perjanjian ini disebut sebagai perjanjian masyarakat (Contract Social menurut ajaran Rousseau). Perjanjian yang dimaksud juga bisa terjadi antara pemerintah dari negara penjajah dengan rakyat daerah jajahan misalnya kemerdekaan Filipina pada tahun 1946 dan India pada tahun 1947. Pencetus dari teori perjanjian adalah Thomas Hobbes yang berpendapat bahwa negara yang dibuat berdasarkan perjanjian masyarakat itu harus berbentuk kerajaan (monarchie), John Locke yang menghendaki bentuk kerajaan konstitusional dan Jean Jaques Rousseau yang menghendaki organisasi negara itu berdasarkan kedaulatan rakyat. Ketiga tokoh tersebut berpendapat bahwa asal-usul negara karena adanya perjanjian masyarakat.
Teori perjanjian masyarakat yang dikemukakan oleh ketiga sarjana tersebut mendapat kritikan tajam dari sarjana lainnya. Adapun para sarjana yang menentang teori ini antara lain:
a. David Hume
Ia menolak doktrin social contract (perjanjian kemasyarakatan). Menurut Hume, the state of nature is only a creation of the imagination. Maksudnya adalah keadaan alam bebas itu adalah semata-mata kreasi imaginasi (khayalan). Menurut Hume yang benar ialah bahan masyarakat itu didirikan atas dorongan naluri seksual. Dorongan seksual itu ada 3 tahap: (a) Tahap I: naluri seksual dikendalikan oleh spontan; (b) Tahap II: naluri seksual disokong oleh kebiasaan; (c) Tahap III: timbul keinsyafan perlunya bermasyarakat. Dasar terbentuknya masyarakat menurut Hume adalah keluarga. Lingkungan keluarga itu makin lama makin besar maka diperlukan adanya pemerintah untuk mengendalikan egoisme anggota-anggotanya. Pemerintahan itu tidak terbentuk atas dasar perjanjian tetapi tumbuh dengan jalan kekerasan (Atmadja, 2012: 31).
b. Utreht
Utreht merupakan salah satu sarjana yang menolak adanya teori perjanjian sebagai asal mula negara. Negara terjadinya bukanlah karena suatu perjanjian yang dilakukan dengan sengaja pada suatu rapat raksasa, tetapi karena proses yang ada dalam suatu bangsa. Apabila dalam masyarakat bangsa ada ikatan sosial yang lebih kuat maka masyarakat bangsa itu akan mengenal suatu organisasi yang disebut negara (Atmadja, 2012: 31).
c. Nasroen
Menurutnya ada persamaan pendapatnya dengan teori perjanjian masyarakat, yakni bahwa asal mula negara itu adalah kemauan bersama dari orang-orang yang bersangkutan. Perbedaannya adalah selain mengenai pangkal permulaan (sebelum adanya negara), saatnya serta tempat lahirnya negara, juga berpendapat mengenai asal negara yang tidaklah abstrak, melainkan sebagai suatu kenyataan. negara itu adalah hasil usaha manusia dalam menyusun dan menghadapi soal hidup dan pergaulan hidupnya. Negara itu lahir dalam masyarakat yang langsung ada sebelum negara itu ada. Pendapat M. Nasroen mengenai asal mula negara adalah sebagai berikut (Atmadja, 2012: 32):
1) Asal mula negara itu adalah kemauan bersama dari rakyat dalam negara tersebut.
2) Tempat timbulnya kemauan bersama itu sebagai asal mula Negara ialah suatu pergaulan hidup yang terdapat sebelum negara itu lahir atau ada.
3) Saat lahir dan adanya negara itu adalah suatu soal yang gaib yang tidak dapat dipastikan dan dijamin dari semula, tetapi dapat ditentukan sesudah adanya sesuatu negara.
4) Manusia yang mengadakan negara itu adalah manusia biasa, yakni manusia yang sesungguhnya terdapat dalam kenyataan.
4. Teori Penaklukan.
Negara itu timbul karena kelompok manusia menaklukkan daerah dan kelompok manusia lainnya. Negara terbentuk dari penaklukan dan pendudukan. Dengan penaklukan dari suatu kelompok yang lebih kuat atas kelompok yang lebih rendah dimulailah proses pembentukan negara. Negara merupakan resultante positif dari sengketa dan penaklukan. Agar kelompok dan daerah itu tetap dapat dikuasai, dibentuklah suatu organisasi yang berupa negara.
Asal mula atau terjadinya suatu negara dapat juga dilihat dari pertumbuhan atau perkembangannya, yaitu (Busroh: 2010: 44-47):
a. Terjadinya negara secara primer (Primaire Staats Wording)
Yang dimaksud dengan terjadinya negara secara primer adalah teori yang membahas tentang terjadinya negara yang tidak dihubungkan dengan negara yang telah ada sebelumnya. Terjadinya negara secara primer dimulai dari masyarakat yang paling sederhana kemudian berevolusi ke tingkat yang lebih maju. Menurut teori ini perkembangan negara secara primer melalui 5 (lima) phase:
1) Phase Ghenootshap (Genoossenschaft)
Fase ini merupakan pengelompokan dari orang-orang yang menggabungkan dirinya untuk kepentingan bersama, dan disandarkan pada persamaan. Dalam fase ini belum terjadi negara atau belum dirasa perlu adanya gezag (wibawa) dari penguasa. Hal yang diperlukan dalam fase Ghenootshap ini adalah kelompoknya. Mereka menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan yang sama dan kepemimpinan disini dipilih secara Primus Inter Pares atau yang terkemuka di antara yang sama.
2) Phase Reich (Rijk)
Fase ini dapat dilihat pada negara di abad menengah atau abad pertengahan. Negara dalam fase ini terjadinya didasarkan atas hak milik. Disini terjadi penggabungan diri dari kelompok-kelompok yang telah sadar akan hak milik atas tanah hingga muncul Tuan yang berkuasa atas tanah dan orang-orang yang menyewa tanah sehingga timbul sistem feodalisme. Jadi, yang penting pada masa ini adalah unsur wilayah. Pada bentuk ini tak ada lagi keseimbangan antara anggota masyarakat di dalam kelompok itu sehingga kita jumpai persaingan di antara sesama mereka. Keadaan yang demikian oleh para sarjana disebutnya sebagai fase Rijk atau Rich.
3) Phase Staat
Pada fase ini masyarakat telah sadar dari tidak bernegara menjadi bernegara dan mereka telah sadar bahwa mereka berada pada satu kelompok. Jadi, yang penting pada masa ini adalah bahwa ketiga unsur daripada negara yaitu bangsa, wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat sudah terpenuhi.
4) Phase Democratische Natie
Fase ini merupakan perkembangan lebih lanjut daripada phase staat, dimana democratische natie ini terbentuk atas dasar kesadaran demokrasi nasional, kesadaran akan adanya kedaulatan di tangan rakyat.
5) Phase Dictatuur (Dictatum)
Mengenai phase dictatuur ini timbul 2 pendapat, yaitu:
a) Menurut Sarjana Jerman, mereka berpendapat bahwa bentuk dictatuur ini merupakan perkembangan lebih lanjut daripada Demokratische Natie.
b) Menurut Sarjana lainnya, mereka berpendapat bahwa dictatuur ini bukanlah merupakan perkembangan lebih lanjut daripadaDemokratische Natie tetapi merupakan variasi atau penyelewengan daripada Demokratische Natie.
b. Terjadinya negara secara sekunder (Secundaire Staats Wording)
Hal yang dimaksud dengan terjadinya negara secara sekunder adalah teori yang membahas tentang terjadinya negara yang dihubungkan dengan negara-negara yang telah ada sebelumnya. Namun, karena adanya revolusi, intervensi, dan penaklukan, timbul negara yang menggantikan negara yang telah ada tersebut. Kenyataannya terjadinya negara secara sekunder tidak dapat dipungkiri meskipun cara terbentuknya kadang tidak sah menurut hukum. Jadi, yang penting dalam pembahasan terjadinya negara sekunder ini adalah masalah pengakuan atau erkening. Mengenai masalah pengakuan atau erkening ini ada 3 macam sebagai berikut:
1) Pengakuan de facto (sementara).
Hal yang dimaksud dengan pengakuan de facto adalah pengakuan yang bersifat sementara terhadap munculnya atau terbentuknya suatu negara baru karena kenyataannya negara baru itu memang ada, namun apakah prosedurnya melalui hukum, hal ini masih dalam penelitian hingga akibatnya pengakuan yang diberikan adalah bersifat sementara. Pengakuan de facto dapat meningkat kepada pengakuan de jure apabila prosedur munculnya negara baru itu melalui prosedur hukum yang sebenarnya.
2) Pengakuan de jure (Pengakuan Yuridis)
Hal yang dimaksud dengan pengakuan de jure adalah pengakuan yang seluas-luasnya dan bersifat tetap terhadap munculnya atau timbulnya atau terbentuknya suatu negara karena terbentuknya negara baru adalah berdasarkan yuridis atau berdasarkan hukum.
3) Pengakuan atas pemerintahan de facto
Pengakuan atas pemerintahan de facto ini diciptakan oleh seorang sarjana Belanda yang bernama Van Haller pada saat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Hal yang dimaksudkan dengan pengakuan terhadap pemerintahan de facto adalah suatu pengakuan hanya terhadap pemerintahan daripada suatu negara. Jadi, yang diakui hanya terhadap pemerintahan, sedangkan terhadap wilayahnya tidak diakui. Unsur-unsur adanya negara adalah pemerintahan, wilayah, dan rakyat. Jadi, kalau hanya pemerintahan saja yang ada maka itu bukanlah merupakan negara karena tidak ada unsur-unsurnya.
Hal yang terakhir adalah pendekatan faktual, yaitu berdasarkan kenyataan yang sungguh terjadi (sudah menjadi pengalaman sejarah). Berdasar pendekatan faktual, asal mula negara terjadi karena:
1. Occupation (Pendudukan)
Hal ini terjadi ketika suatu wilayah yang tidak bertuan dan tidak dikuasai kemudian diduduki dan dikuasai oleh suku, kelompok tertentu. Contoh: Liberia yang diduduki oleh budak-budak Negro dimerdekakan pada tahun 1847.
2. Fuse (Peleburan)
Fusi merupakan gabungan dua negara atau lebih. Hal ini terjadi ketika negara-negara kecil yang mendiami suatu wilayah mengadakan perjanjian untuk saling melebur menjadi negara baru. Contoh: terbentuknya federasi negara Jerman pada tahun 1871, yaitu Jerman Barat-Jerman Timur.
3. Cessie (Penyerahan)
Hal ini terjadi ketika suatu wilayah diserahkan kepada negara lain berdasarkan suatu perjanjian tertentu. Contoh: Wilayah Sleeswijk diserahkan oleh Austria kepada Prusia (Jerman) karena ada perjanjian bahwa negara yang kalah perang harus memberikan negara yang dikuasainya kepada negara yang menang. Austria adalah salah satu negara yang kalah dalam Perang Dunia I.
4. Accession (Penaikan)
Hal ini terjadi ketika suatu wilayah terbentuk akibat penaikan lumpur sungai atau timbul dari dasar laut atau delta. Kemudian, wilayah tersebut dihuni oleh sekelompok orang sehingga terbentuklah negara. Contoh wilayah negara Mesir terbentuk dari delta sungai Nil.
5. Annexation (Pencaplokan)
Suatu bangsa berdiri di suatu wilayah yang dikuasai (dicaplok) oleh bangsa lain tanpa reaksi berarti. Contoh: Ketika pembentukan Negara Israel, pada tahun 1948 wilayahnya banyak mencaplok daerah Palestina, Suriah, Yordania, dan Mesir.
6. Proclamation (Proklamasi)
Hal ini terjadi karena ketika penduduk pribumi dari suatu wilayah yang diduduki oleh bangsa lain mengadakan perjuangan (perlawanan) sehingga berhasil merebut wilayahnya kembali, dan menyatakan kemerdekaannya. Contoh: Negara Indonesia yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 dari penjajahan Belanda dan Jepang.
7. Innovation (Pembentukan baru)
Munculnya suatu negara baru diatas wilayah suatu negara yang pecah karena suatu hal yang kemudian lenyap. Contoh: Negara Columbia yang pecah dan lenyap kemudian di wilayah tersebut muncul negara baru, yaitu Venezuela dan Columbia baru.
8. Separatische (Pemisahan)
Suatu wilayah negara yang memisahkan diri dari negara yang semula menguasainya kemudian mengatakan kemerdekaannya. Contoh: Pada tahun 1939, Belgia memisahkan diri dari Belanda dan menyatakan kemerdekaannya.
I Gede Pantja Astawa membedakan teori asal mula negara ke dalam 8 phase atau 8 zaman, yaitu (Sinamo, 2011: 36):
a. zaman Yunani kuno;
b. zaman Romawi kuno;
c. zaman abad pertengahan;
d. zaman Renaissance;
e. zaman berkembangnya hukum alam;
f. zaman berkembangnya teori kekuatan;
g. zaman berkembangnya teori positivism Kelsen;
h. zaman berkembangnya teori modern.
Sedangkan menurut C.S.T Kansil, asal mula terjadinya negara ada empat macam teori, yaitu (Kansil dan Kansil, 2007: 134):
a. teori Kenyataan,
b. teori Ketuhanan (Teokrasi),
c. teori Perjanjian, dan
d. teori Penaklukan.
R A N G K U M A N
Asal mula negara adalah asal mula terbentuknya atau terjadinya sesuatu yang dinamakan negara. Negara disini dalam pengertiannya yang umum, abstrak, dan universal saja, bukan yang sifatnya khusus dan kongkret seperti negara Indonesia atau Amerika Serikat. Terjadinya suatu negara pada umumnya dapat dilihat dari 3 pendekatan, yakni pendekatan teoritis, proses pertumbuhannya, dan pendekatan faktual.
Berdasar pendekatan teoritis, asal mula negara terbagi dalam beberapa teori:
a. Teori Kenyataan
Timbulnya suatu negara adalah ketika telah terpenuhi unsur-unsur negara (daerah, rakyat, dan pemerintah yang berdaulat) maka pada saat itu juga negara itu sudah menjadi suatu kenyataan.
b. Teori Ketuhanan
Timbulnya suatu negara adalah atas kehendak dan keinginan Tuhan.
c. Teori Perjanjian
Timbulnya negara karena perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat sehingga jamak disebut dengan kontrak sosial.
d. Teori Penaklukan
Negara itu timbul karena serombongan manusia menaklukkan daerah dan rombongan manusia lain.
Berdasarkan proses pertumbuhannya, asal mula terjadinya negara dapat dilihat dalam berbagai fase, yaitu:
1) Terjadinya negara secara primer (Primaire Staats Wording) Teori ini berisi tentang terjadinya negara yang tidak dihubungkan dengan negara yang telah ada sebelumnya. Menurut teori ini perkembangan negara secara primer melalui 5 (lima) fase:
a. Phase Ghenootshap (Genoossenschaft)
b. Phase Reich (Rijk)
c. Phase Staat
d. Phase Democratische Natie
e. Phase Dictatuur (Dictatum)
2) Terjadinya negara secara sekunder (Secundaire Staats Wording)
Teori ini membahas tentang terjadinya negara yang dihubungkan dengan negara-negara yang telah ada sebelumnya. Jadi, yang penting dalam pembahasan terjadinya negara sekunder ini adalah masalah pengakuan atau erkening. Pengakuan ada 3 macam:
a. Pengakuan de facto (sementara)
b. Pengakuan de jure
c. Pengakuan atas pemerintahan de facto
Berdasar pendekatan faktual, asal mula negara terjadi karena beberapa hal, diantaranya:
a. Occupation (Pendudukan)
b. Fuse (Peleburan)
c. Cessie (Penyerahan)
d. Accession (Penaikan)
e. Annexation (Pencaplokan)
f. Proclamation (Proklamasi)
g. Innovation (Pembentukan baru)
h. Separatische (Pemisahan)
Daftar Pustaka
Ø Adolf, Huala. (1996). Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, Cetakan Kedua. Jakarta: RajaGrasindo Persada.
Ø Astawa, I Gde Pantja. (2009). Memahami Ilmu Negara dan Teori Negara. Bandung: Refika Aditama.
Ø Atmadja, I Dewa Gede. (2012). Ilmu Negara. Malang: Setara Press.
Ø Budiardjo, Miriam. (1991). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ø Budiman, Arief. (1996). Teori Negara: Negara, Kekuasaan, dan Ideologi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ø Busroh, Abu Daud. (2001). Ilmu Negara. Jakarta: Bumi Aksara.
Ø Cholisin. (2007). Ilmu Negara. Jakarta: Universitas Terbuka.
Ø Gustomi, R., “Tentang Negara dan Bangsa Sesuatu yang Belum Selesai di Antara Kita”, Jurnal Transformasi, Vol. 1, Nomor 2, Februari 2004.
Ø Huda, Ni‘matul. (2010). Ilmu Negara. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Ø Kansil, C.S.T., dan Christine Kansil. (2007). Latihan Ujian Ilmu Negara. Jakarta: Sinar Grafika.
Ø Kusnardi, Moh., dan Bintan R. Saragih. (1995). Ilmu Negara, Edisi Revisi. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Ø Lubis, M. Solly. (1975). Ilmu Negara. Bandung: Alumni.
Ø Manan, Bagir. 2009. Hukum Kewarganegaraan Menurut UU Nomor Tahun 2006. Yogyakarta: FH UII Press.
Ø Naning, Ramdlon. (1983). Gatra Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty.
Ø Pakpahan, Mochtar. (2006). Ilmu Negara dan Politik. Jakarta: Bumi Intitama Sejahtera.
Ø Sinamo, Nomensen. (2011). Ilmu Negara. Jakarta: Permata Aksara.
Ø Situmorang, Victor. (1987). Intisari Ilmu Negara. Jakarta: Bina Aksara.
Ø Soehino. (1980). Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty. _______. (2005). Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty.
Ø Wahjono, Padmo. (1977). Ilmu Negara Suatu Sistematik dan Penjelasan 14Teori Ilmu Negara dari Jellinek. Jakarta: Melati Study Group. ______________. (1999). Ilmu Negara, Cetakan Kedua. Jakarta: Indo Hill.