Kamis, 29 Agustus 2019

Sistem Hukum Indonesia. Modul 1


MODUL 1
Sistem Hukum
Harsanto Nursadi, SH. M. Si.
P E N DA H U L U A N
Untuk memahami Sistem Hukum Indonesia, perlu terlebih dahulu memahami apa yang dimaksud dengan sistem.
Sistem adalah sesuatu yang saling berhubungan dan saling ketergantungan dari masing-masing bagian-bagiannya sehingga merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan satu dengan yang lainnya.
Untuk dapat memahami keseluruhan Sistem Hukum Indonesia, maka perlu dijelaskan metode pemahaman yang menjelaskan tentang sistem hukum. Pemahaman ini disampaikan oleh Lawence M. Friedman, yang menjelaskan bahwa suatu sistem hukum dapat dibagi ke dalam tiga komponen, yakni komponen struktural, komponen substansi dan komponen budaya hukum. Ketiga komponen tersebut saling berhubungan dan saling tergantung. Pada modul ini, tidak semua komponen akan dibahas secara lengkap, atau pembahasannya hanya menekankan pada dua komponen struktural dan substansi.
Sebelum sampai pada penjelasan pengertian dari sistem hukum, perlu dijelaskan berbagai "pengertian" hukum dan kemudian juga dijelaskan tentang sumber-sumber hukum.
Secara umum setelah mempelajari modul satu ini, Anda diharapkan mampu memahami pengertian sistem, hukum, sistem hukum dan sumber­-sumbernya
Secara lebih khusus setelah mempelajari modul ini, Anda diharapkan dapat menjelaskan:
1.              pengertian sistem;
2.              pengertian hukum;
3.              pengertian sistem hukum;
4.              sumber-sumber hukum dalam arti materiil dan formal, yang tertulis maupun yang tidak tertulis.














KEGIATAN BELAJAR 1
Pengertian Sistem Hukum

A.    PENGERTIAN SISTEM
Pengertian sistem, dalam kamus bahasa Inggris yang berjudul The American Heritage Dictionary of The English Language disebutkan bahwa "a group of interacting, interrelated or interdependent elements forming or regarded as forming a collective entity." Pengertian tersebut adalah salah satu yang disebutkan dalam kamus tersebut. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan dua ciri, yaitu pertama, hubungan dan saling ketergantungan di antara bagian-bagian atau elemen-elemen dalam sistem, dan kedua merupakan suatu entity.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka tiap-tiap bagian tersebut mempunyai fungsi yang saling berhubungan dan saling tergantung, dimana bila suatu fungsi tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya, akan terjadi hambatan dan bagian yang lain akan menjadi tidak berfungsi dengan baik. Sistem tersebut bekerja pada suatu wadah atau tempat tersendiri yang disebut dengan suatu lingkungan (environment) dan terdapat batas-batas antara suatu sistem dengan lingkungannya.
Gambaran konkret bekerja suatu sistem adalah misal dalam suatu kehidupan keluarga, berubahnya status atau kedudukan seorang ayah sebagai kepala keluarga dapat membawa perubahan kepada kehidupan keluarga tersebut, terutama pada anak dan istrinya menjadi lebih makmur dan atau terpandang. Pada kehidupan yang lebih luas di masyarakat, terjadinya perubahan kebijakan ekonorni, seperti naiknya harga BBM berdampak sangat besar bagi seluruh sendi-sendi kehidupan, karena kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya menjadi sangat berkurang, karena pendapatan yang tidak naik tetapi barang konsumsi yang dibutuhkan harganya naik akibat naiknya BBM.
Sudahkah Anda mengerti apa yang dimaksud dengan sistem? Untuk lebih jelasnya kita lihat contoh berikut ini
Mobil,  sebagai suatu bentuk fisik merupakan gambaran yang mudah untuk diamati bila kita melihat suatu sistem. Mobil, terdiri dari banyak komponen-komponen yang satu sama lain saling terikat. Bila komponen ban tidak berfungsi secara baik (misalnya kempes) maka mobil tersebut tidak dapat berjalan dengan sempurna. Demikian pula bila komponen lain yang mengalami kerusakan, seperti aki (accu) yang tidak sempurna (mati, tidak ada setrumnya) maka mesin mobil tidak dapat dihidupkan.
Contoh bekerjanya sistem yang terdapat pada mobil relatif lebih mudah untuk diamati dan dipahami, tetapi dalam suatu sistem sosial, sistem budaya atau sistem hukum, akan lebih sulit dipahami, karena pada sisten tersebut banyak menggunakan konsep yang memerlukan pemahaman dan penjelasan khusus. Selain itu, pada sistem tersebut batas-batas yang berhubungan dengan fungsinya sering kali tidak jelas dan bahkan bisa terjadi tumpang tindih sehingga tidak mudah untuk diamati dan dipahami.

B. PENGERTIAN HUKUM
Menurut L. J Van Apeldoorn tidak mungkin memberikan suatu definisi tentang apakah yang disebut hukum itu. Definisi tentang hukum sulit untuk dibuat karena tidak mungkin untuk mengadakan sesuai dengan kenyataannya.
Manusia dalam kehidupannya tidak dapat melepaskan diri dari kaidah­-kaidah hukum yang ada. Hukum sebagai salah satu kaidah yang mengatur kehidupan antar pribadi, telah menguasai kehidupan manusia sejak ia dilahirkan, bahkan waktu ia masih di dalam kandungan hingga sampai ke liang kubur memberikan arah dan gambaran, akan tetapi karena bidang hukum itu luas dan mencakup banyak hal maka tidak akan dapat mencakup secara keseluruhan.
Merupakan suatu kenyataan bahwa hukum bukanlah satu-satunya kaidah yang mengatur kehidupan antar pribadi atau bermasyarakat, karena dalam hidupnya manusia tidak hanya terikat oleh kaidah hukum, tetapi masih ada kaidah lain. Berbagai macam kaidah yang ada itu dapat dilacak dari sifat kehidupan manusia yang menyangkut aspek pribadi dan aspek hidup antar pribadi atau bermasyarakat.

Termasuk dalam tata kaidah aspek pribadi adalah:
1.             Tata Kaidah Kepercayaan.
2.             Tata Kaidah Kesusilaan.

Sedangkan yang tergolong dalam Tata Kaidah aspek hidup antar pribadi atau bermasyarakat adalah:
1.              Tata Kaidah Sopan Santun.
2.              Tata Kaidah Hukum.
Memperoleh kejelasan terhadap berbagai arti dari hukum adalah sangat penting, agar tidak terjadi kesimpangsiuran di dalam studi terhadap hukum. Dalam hal ini akan dijelaskan pengertian yang diberikan oleh masyarakat. Beberapa pengertian hukum adalah:
1.              sebagai ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran.
2.              sebagai disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala yang dihadapi.
3.              sebagai kaidah, yakni pedoman atau patokan sikap tindak atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan.
4.              sebagai tata hukum, yakni struktur dan proses perangkat kaidah-kaidah hukum yang berlaku pada suatu waktu dan temp at tertentu serta berbentuk tertulis.
5.              Hukum sebagai petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan hukum (law enforcement officer).
6.              sebagai keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi yang menyangkut pembuatan keputusan yang tidak semata-mata diperintahkan oleh aturan-aturan hukum, tetapi keputusan yang dibuat atas pertimbangan yang bersifat personal.
7.              sebagai proses pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan artinya, hukum dianggap sebagai suatu perintah atau larangan yang berasal dari badan negara yang berwenang dan didukung dengan kemampuan serta kewenangan untuk menggunakan paksaan.
8.              sebagai sikap tindak ajeg atau perikelakuan yang teratur, yaitu perikelakuan yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.
9.              sebagai jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak ten tang apa yang dianggap baik dan buruk.

C.       SISTEM HUKUM
Dalam lingkup hukum, untuk memahami sistem yang bekerja, maka pendapat dari Lawrence M. Friedman dapat dijadikan batasan, yaitu sistem hukum dapat dibagi ke dalam tiga komponen atau fungsi, yaitu komponen struktural, komponen substansi dan komponen budaya hukum. Ketiga komponen tersebut dalam suatu sistem hukum saling berhubungan dan saling tergantung.
Pada komponen struktural akan dijelaskan tentang bagian-bagian sistem hukum yang berfungsi dalam suatu mekanisme kelembagaan, yaitu lembaga­-lembaga pembuat undang-undang, pengadilan dan lembaga-lembaga lain yang memiliki wewenang sebagai penegak dan penerap hukum. Hubungan antara lembaga tersebut terdapat pada UUD 1945 dan amandemennya.
Komponen substansi berisikan hasil nyata yang diterbitkan oleh sistem hukum. Hasil nyata ini dapat berwujud in concerto (kaidah hukum individual) dan in abstraco (kaidah hukum umum). Disebut kaidah hukum individual karena kaidah-kaidah tersebut berlakunya hanya ditujukan pada pihak-pihak atau individu-individu tertentu saja, contohnya
1.               Putusan yang ditetapkan oleh pengadilan, misalnya seseorang diputuskan dihukum selama 5 tahun karena telah melakukan pembunuhan.
2.                 Keputusan (bestuur) yang dikeluarkan oleh pemerintah, misalnya seseorang yang diberi izin untuk melakukan impor bahan makanan atau seseorang yang diberi izin untuk mengemudikan kendaraan bermotor (diberi SIM).
3.                Panggilan yang dilakukan oleh Kepolisian, yaitu seseorang yang dipanggil untuk keperluan memberi keterangan kepada polisi.
Persetujuan dalam suatu perjanjian, misalnya seseorang yang akan menyerahkan haknya (dalam bentuk jual beli atau sewa), atau seseorang yang harus menyerahkan kewajibannya (dalam membayar sewa atau piutang).
Pada kaidah hukum yang in-abstraco, merupakan kaidah umum yang bersifat abstrak karena berlakunya kaidah semacam itu tidak ditujukan kepada individu-individu tertentu tetapi kaidah ini ditujukan kepada siapa saja yang dikenai perumusan kaidah umum tersebut. Kaidah ini dapat dibaca pada perumusan berbagai UU yang ada.
Dari contoh kedua kaidah tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum in­abstraco adalah menyangkut aturan-aturan hukum baik yang berupa UU atau bentuknya yang lain. Sedangkan hukum in-concreto adalah keputusan atau putusan dalam kasus-kasus konkret yang mempunyai kekuatan mengikat karena sah menurut hukum.
Komponen struktural juga mencakup pembidangan hukum, yaitu yang membagi pembidangan dengan hukum publik dan hukum perdata serta hukum materiil dan formal, yaitu:
1.              Hukum Tantra atau Hukum Negara yang terdiri dari
a.              Hukum Tata Tantra atau Hukum Tata Negara:
1)             Materiil, dan
2)             Formal.
b.              Hukum Administrasi Tantra atau Hukum Administrasi Negara
1)             Materiil, dan
2)             Formal.
2.              Hukum Perdata
a.              Hukum Perdata materiil yang mencakup
1)             Hukum Pribadi
2)             Hukum Harta Kekayaan yang terdiri dari:
a)              Hukum Benda
(1) Hukum Benda Tetap atau Hukum Agraria (2) Hukum Benda Lepas
b)              Hukum Perikatan
(1) Hukum Perjanjian
(2) Hukum Penyelewengan Perdata (3) Hukum Perikatan Lainnya
c)              Hukum Objek Imateriil
3)             Hukum Keluarga
a)              Hukum Kekerabatan
b)              Hukum Perkawinan (hubungan suami-sitri)
c)              Hukum Hubungan Orang tualwali-anak
d)              Hukum Perceraian
e)              Hukum Harta Perkawinan
4)              Hukum Waris
b.                      Hukum Perdata formal.
3.              Hukum Pidana
a.              Hukum Pidana materiil.
b.              Hukum Pidana formal.

Pada hukum Intemasional, yang merupakan hukum yang berhubungan dengan peristiwa intemasional, dapat berupa
1.              Peristiwa Tantra Intemasional atau Hukum Tantra Intemasional,
2.              Peristiwa Perdata Intemasional atau Hukum Perdata Intemasional, dan
3.              Peristiwa Pidana Intemasional atau Hukum Pidana Intemasional.
Komponen ketiga yaitu komponen budaya hukum. Sikap-sikap publik atau para warga masyarakat beserta nilai-nilai yang dipegangnya sangat berpengaruh terhadap pendayagunaan pengadilan sebagai tempat menyelesaikan sengketa. Sikap-sikap dan nilai-nilai yang dipegang oleh warga masyarakat tersebut disebut budaya hukum, sehingga budaya hukum diartikan sebagai keseluruhan nilai-nilai sosial yang berhubungan dengan hukum beserta sikap-sikap yang mempengaruhi hukum.
Pembagian sistem hukum dalam tiga komponen yang dilakukan oleh Lawrence M. Friedman ditujukan untuk menganalisa bekerjanya suatu sistem hukum dalam kajian hukum dan masyarakat. Sistem hukum sering juga disebut sebagai tata hukum. Kesamaan pengertian sistem hukum dengan tata hukum dapat kita jumpai dalam buku karangan Soepomo dengan judul "Sistem Hukum Indonesia sebelum perang dunia ke dua." Dengan adanya kesamaan tersebut, bukan keliru atau tidak dapat diterima, hanya saja kesamaan seperti itu merupakan penyempitan arti dari pengertian sistem hukum.
Menyamakan sistem hukum dengan tata hukum bukan merupakan kekeliruan atau tidak dapat diterima, tetapi penyamaan tersebut mengakibatkan penyempitan arti dari pengertian sistem hukum. Jonathan H.
Turner dalam bukunya Pattern of Social Organization rnenyebutkan bahwa di dalarn setiap sis tern hukurn diternukan elernen-elernen adanya:
1.             seperangkat kaidah atau aturan tingkah laku (axplicit laws or rules of conduct) yang dapat dikenali.
2.             tata cara penerapan berbagai kaidah tersebut (mechanism for enforcing laws).
3.              tata cara untuk rnenyelesaikan sengketa yang berdasarkan kaidah/aturan hukurn yang berlaku (mechanism for mediating and adjudicating disputes in accordance with laws).
4.              tata cara pernbuatan atau perubahan hukurn (mechanism for enacting new or changing old laws).
Dalarn setiap sistern hukurn akan selalu kita jurnpai satu kesatuan yang dinarnakan kaidah hukurn, dari sini akan dapat dikenali beberapa sikap yang diwajibkan, diperbolehkan atau dilarang dalarn berbagai situasi yang berbeda. Berbagai kaidah hukurn rnasih banyak diternukan dalarn bentuk yang tidak tertulis. Dalarn rnasyarakat yang rnasih tradisional, sering kali kaidah hukurn bercampur atau harnpir tak terbedakan dengan kaidah-kaidah lainnya seperti kebiasaan, kepercayaan atau tradisi. Di samping kaidah hukurn dapat dijurnpai dalarn bentuk yang tertulis dan tak tertulis, kaidah hukum juga sering ditemukan dalam keadaan yang tersebar tak terkurnpulkan dalarn suatu bentuk dan koleksi tertentu.
Berbagai kaidah hukurn yang tersebar tersebut nampak terpisah-pisah dan berdiri sendiri dan tak rnenunjukkan saling hubungan satu dengan lain. Kalau keadaan seperti itu, dapatlah dikatakan sebagai suatu sistem yang sudah tentu harus rnenarnpakkan adanya kesatuan (entity) yang rnenjadi ciri dari suatu sistem? Bagian-bagian (berbagai kaidah hukurn yang ada) yang tarnpaknya terlepas dan berdiri sendiri itu sebenarnya rnerupakan kesatuan yang ada tali pengikatnya. Kesatuan tersebut diikat oleh beberapa pengertian yang lebih urnurn sifatnya dan yang rnengandung suatu tuntutan etis berupa asas-asas hukurn. Jadi asas-asas hukurn yang bersifat urnurn dengan tuntutan etisnya itulah yang rnerupakan tali pengikat sehingga rnenjadi suatu kesatuan yang terpadu.
Adanya kesatuan atau kebulatan dari berbagai kaidah hukurn yang narnpaknya terlepas dan berdiri sendiri itu dapat pula dijelaskan dengan rnenggunakan kerangka teori dari Hans Kelsen. Menurut Kelsen, bahwa sistem hukum itu merupakan suatu sistem per-tangga-an (bertingkat-tingkat) kaidah artinya, suatu keadaan hukum yang tingkatnya lebih rendah haruslah mempunyai dasar atau pegangan pada kaidah hukum yang lebih tinggi sifatnya. Setiap kaidah hukum haruslah mencerminkan sistem pertanggaan ini dan yang akhimya kaidah hukum tertinggi yang dinamakan konstitusi itupun harus bersumber pada suatu norma dasar yang disebut grundnorm. Teori dari Hans Kelsen ini dinamakan stufenbau teori.
Alasan lain yang dapat mendukung bahwa hukum itu sebagai suatu sistem adalah kenyataan bahwa sistem hukum tidak hanya sekumpulan aturan-aturan yang tidak mempunyai sistematika atau ikatan kesatuan, akan tetapi aturan-aturan tersebut disatukan oleh masalah keabsahan, aturan ini dianggap sah apabila berasal dari sumber yang sarna sehingga tercipta pola kesatuan.
Agar kita dapat menjelaskan adanya suatu sistem hukum, Fuller berpendapat bahwa ukuran tersebut dapat diletakkan dalam tujuh asas yang dinamakan principles of legality, yang isinya:
1.              Sistem hukum harus mengandung aturan-aturan artinya bahwa ia tidak boleh hanya sekedar keputusan-keputusan ad hoc saja.
2.              Peraturan-peraturan yang telah dibuat harus diumumkan.
3.              Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, agar dapat dipakai sebagai pedoman tingkah laku, juga bisa digunakan sebagai pedoman yang ditujukan untuk masa yang akan datang.
4.              Peraturan-peraturan tersebut harus disusun dalam rumusan yang mudah dimengerti dan dipahami bersama.
5.              Suatu sistem tidak boleh bertentangan antara yang satu dengan yang lain.
6.              Peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan.
7.              Tidak boleh ada kebiasaan untuk mengubah peraturan yang sudah ditetapkan.
Ketujuh asas tersebut tidak hanya sebagai persyaratan adanya sistem hukum, tetapi juga merupakan pengkualifikasian terhadap sistem hukum yang memiliki moralitas budaya hukum tertentu. Istilah hukum dapat diartikan bermacam arti dan isi. Yang menjadi masalah pokok dari sistem hukum antara lain:
1.      Elemen atau unsur dari sis tern hukum Dalam ilmu hukum terjadi konsensus pragmatis, bahwa elemen atau un sur tertentu merupakan hukum. Yang dianggap sebagai hukum adalah aturan hidup yang terjadi karena perundang-undangan, keputusan hakimlyurisprudensi serta kebiasaan.
2.      Bidang-bidang suatu sistem hukum
Biasanya dilakukan atas dasar kriteria tertentu, Pembidangan tersebut menghasilkan bermacam dikotomi sebagai berikut.
a.               Ius constitutum dan ius constituendum;
b.              Hukum alam dan hukum positif;
c.               Hukum imperatif dan hukum fakultatif;
d.              Hukum substantif dan hukum ajektif;
e.               Hukum tertulis dan hukum tidak tertulis.
3.              Konsistensi sistem hukum.
Kemungkinan terjadinya pertentangan dalam suatu sistem hukum dapat terjadi, misalnya:
a.              Pertentangan antara satu peraturan perundangan dengan peraturan perundangan yang lain;
b.              Pertentangan antara peraturan perundangan dengan hukum kebiasaan;
c.               Pertentangan antara peraturan perundangan dengan yurisprudensi;
d.              Pertentangan antara yurisprudensi dengan hukum kebiasaan.
4.        Pengertian dasar suatu sistem hukum
a.              Subjek Hukum;
b.              Hak dan Kewajiban;
c.               Peristiwa Hukum;
d.              Hubungan Hukum;
e.               Objek Hukum.
5.              Kelengkapan sistem hukum
Dapat digunakan untuk pengembangan teori hukum, maupun mempersiapkan mereka yang akan berkecimpung di bidang praktik hukum.

D. SUMBER-SUMBER HUKUM
Memahami sumber-sumber hukum adalah penting untuk mempelajari ilmu hukum. Istilah sumber hukum ban yak memiliki arti, pemberian arti tersebut tergantung dari sisi orang melihatnya. Oleh sebab itu, memaharni dalam arti yang mana istilah itu dipergunakan merupakan langkah yang penting. O.W. Paton dalam bukunya A Text book of Jurisprudence memberikan peringatan bahwa the term sources of law has many meanings and is frequent cause of erroe unless we scrutinize carefully the particular meaning given to it in any particular tex.
Para ahli di bidang kemasyarakatan (para sosiolog) melihat hukum sebagai salah satu gejala sosial yang tidak dapat dilepaskan dari gejala-gejala sosial lainnya. Hukum adalah subsistem dari sistem sosial yang lebih luas. Bagi ahli filsafat pandangan terhadap hukum sudah tentu berbeda dengan ahli kemasyarakatan.

1.              Sumber hukum dalam arti sejarah, mengandung dua arti yaitu:
a.              arti sumber pengenalan hukum, yaitu semua bahan tertulis yang dapat mengenali hukum.
b.               arti sumber bahwa pembentuk UU memperoleh bahan dalam membentuk UU termasuk pengertian dari mana tumbuh hukum positif suatu negara.
2.              Sumber hukum dalam arti sosiologis:
Sumber hukum adalah faktor yang menentukan isi dari hukum. Faktor tersebut dapat berupa keadaan ekonorni, politik, pandangan agama dan kepercayaan serta faktor psikologis.
3.              Sumber hukum dalam arti filsafat:
Sumber hukum dipakai dalam dua arti, yaitu:
a.              Sebagai sumber isi hukum
Aliran hukum kodrat hukum alam yang rasionalistis memandang sumber isi hukum adalah kesadaran hukum suatu bangsa.
b.              Sebagai sumber kekuatan mengikat dari hukum, yang menyangkut mengapa kita harus mengikuti hukum.
Istilah sumber hukum dapat diberi arti sumber hukum dalam arti materiil dan formal. Dalam arti materiil hukum sebagai sumber hukum yang menentukan isi hukum. Sedangkan dalam arti formal, hukum dilihat dari bentuknya, oleh karena bentuknya itulah yang menyebabkan hukum berlaku dan diketahui serta ditaati. Sumber hukum dalam arti formal berkaitan dengan masalah prosedur atau cara pembentukannya.
Sumber hukum dalam arti formal dipandang oleh ahli hukum lebih penting, baru kemudian memperhatikan sumber hukum dalam arti materiil. Sumber hukum dalam arti formal dapat dibagi menjadi tertulis dan tidak tertulis.

1. Sumber Hukum dalam Arti Materiil
Faktor-faktor yang ikut serta mempengaruhi atau menentukan isi hukum adalah:
a.               Faktor ideal
Pedoman-pedoman yang tetap mengenai keadilan yang perlu ditaati oleh pembentuk UU atau lembaga hukum yang lain. Faktor ideal merupakan tujuan langsung dari aturan hukum. Hal ini dapat berubah karena faktor keadaan dan kebutuhan nyata dari masyarakat.

b.              F aktor kemasyarakatan
Berasal dari keadaan nyata dalam masyarakat dan berpengaruh terhadap pembentukan hukum,yaitu:
1)             Struktur ekonorni dan kebutuhan masyarakat.
2)              Kebiasaan yang berakar dalam masyarakat.
3)        Hukum yang berlaku.

Hukum yang berlaku didasarkan pada waktu, tempat dan sasaran tertentu. Hukum yang berlaku tersebut tidak lepas dari hukum yang ada pada saat, tempat dan sasaran sebelurnnya, dan dalam perkembangannya seirama dengan proses pertumbuhannya.
1)Tata hukum negara-negara lain. Hukum tidak selalu merupakan hasil dari suatu negara tertentu secara terpisah, tetapi hukum pada suatu negara sering kali terpengaruh oleh hukum yang berlaku di negara lain, yang merupakan proses "peniruan" secara langsung ataupun tidak, sebagian atau keseluruhan.
2)Keyakinan tentang agama dan kesusilaan. Agama dan kesusilaan selalu berpengaruh pada keberadaan hukum. Hal tersebut disebabkan hukum tidaklah dapat dilepaskan dari nilai-nilai yang dipegang dan diyakini oleh masyarakat.
3)              Kesadaran hukum Kesadaran hukum yang mempengaruhi pembentukan hukum dimulai dari keyakinan yang dimiliki oleh tiap-tiap manusia sebagai anggota masyarakat untuk taat kepada hukum. Von Savigny, sebagai pelopor mazhab sejarah hukum berpendapat bahwa sumber dari hukum itu terdapat di dalam kesadaran hukum masyarakatnya.

2.                 Sumber Hukum dalam Arti Formal
Menunjuk pada kenyataan yang menimbulkan hukum yang mempunyai kekuatan berlaku atau mengikat setiap orang. Sumber hukum formal dapat dibagi dua yaitu:
a.                Sumber hukum dalam arti formal yang tertulis, terdiri dari
1)                Pancasila.
2)                Undang-undang Dasar 1945 dan Amandemen ke I sampai dengan ke IV.
3)                Traktat.
4)                Putusan HakimlYurisprudensi.

b.                Sumber hukum dalam arti formal yang tidak tertulis
Hukum formal yang tidak tertulis adalah Hukum Adat, kebiasaan yang ada dalam masyarakat melalui proses yang panjang secara bertahap dapat berubah menjadi hukum ad at.

R A N G K U M A N
Pada bagian ini yang dijelaskan adalah bagaimana pemahaman tentang suatu sistem hukum, yaitu dimulai dari pengertian sistem, kemudian unsur-unsur yang harus dipahami dari suatu sistem hukum, yaitu unsur struktural, substansi dan budaya hukum. Tidak jarang pembahasan mengenai sistem hukum hanya dibatasi pada komponen struktural dan substansi saja sehingga dinamakan pembahasan tata hukum. Pada bagian akhir dibahas mengenai sumber-sumber hukum, yaitu sumber hukum dalam arti materiil yang terdiri dari ideal dan kemasyarakatan dan dalam arti formal yang tertulis atau dalam arti formal yang tidak tertulis.





























KEGIATAN BELAJAR 2
Subjek, Objek Hak dan Kewajiban serta Peristiwa Hukum

A. SUBJEK HUKUM
Subjek hukum adalah segala sesuatu yang menurut hukum dapat menjadi pendukung (dapat memiliki) hak dan kewajiban. Dalam kamus Ilmu Hukum disebut juga "orang" atau "pendukung hak dan kewajiban." Subjek hukum memiliki kewenangan bertindak menurut tata cara yang ditentukan atau dibenarkan hukum. Subjek hukum yang dikenal dalam ilmu hukum adalah manusia dan badan hukum.

1.               Manusia (natuurlijk persoon) menu rut hukum, adalah setiap orang yang mempunyai kedudukan yang sarna selaku pendukung hak dan kewajiban. Pada prinsipnya, orang sebagai subjek hukum dimulai sejak ia lahir dan berakhir setelah meninggal dunia. Terhadap hal tersebut, terdapat pengecualian, yaitu menurut Pasal 2 KUH Perdata, bahwa bayi yang masih dalam kandungan ibunya dianggap telah lahir dan menjadi subjek hukum, apabila kepentingannya menghendaki (dalam hal pembagian warisan). Apabila bayi tersebut lahir dalam keadaan meninggal dunia, menurut hukum ia dianggap tidak pernah ada, sehingga ia bukan subjek hukum (tidak menerima pembagian warisan). Akan tetapi ada golongan manusia yang dianggap tidak cakap bertindak atau melakukan perbuatan hukum, disebut personae miserabile yang mengakibatkan mereka tidak dapat melaksanakan sendiri hak-hak dan kewajibannya, harus diwakili oleh orang tertentu yang ditunjuk, yaitu oleh wali atau pengampu (kuratornya).
a.                Anak yang masih di bawah umur atau belum dewasa (belum berusia 21 tahun), dan belum kawinlnikah.
Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, terdapat berbagai ketentuan usia minimal seseorang untuk melakukan suatu perbuatan hukum atau memperoleh hak, yaitu :
1)              Pasal 330 KUH Perdata menentukan bahwa untuk melakukan perbuatan hukum di bidang harta benda, usia 21 tahun atau telah menikah (kawin) atau pemah kawinlnikah.
2)              Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan bahwa untuk dapat melangsungkan perkawinan, usia 19 tahun bagi pria dan usia 16 tahun bagi wanita. Pada Pasal 6 ayat (1) disebutkan bahwa yang belum berusia 21 tahun harus mendapat izin dari orang tua atau walinya untuk melakukan perkawinan.
3)              Pasal 45 KUH Pidana, belum dapat dipidana seseorang yang belum berusia 16 tahun. Hakim berdasarkan Pasal 46 KUH Pidana dapat menjatuhkan hukuman dengan tiga kemungkinan, yaitu mengembalikan kepada orang tua si anak, memasukkan dalam pemeliharaan anak negara, atau menjatuhkan pidana tetapi dikurangi sepertiga dari ancaman maksimal pidana yang dilanggar dan dipenjara pada penjara khusus anak-anak.
4)              Pasal 28 UU No.3 Tahun 1999 tentang Pernilihan Umum (Pernilu), hak seseorang untuk mernilih adalah usia 17 tahun atau sudah/pemah ka win pada waktu pendaftaran pernilih.
5)              Pasal 2 ayat (1) butir d PP No. 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi menyebutkan bahwa usia untuk memperoleh Surat Izin Mengemudi (SIM) adalah
a)              SIM C dan SIM D pada usia 16 tahun;
b)              SIM A pada usia 17 tahun;
c)              SIM B 1 dan SIM B2 pada usia 20 tahun.
6)              Pasal 33 Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1977 tentang Kependudukan, usia 17 tahun atau sudahlpemah nikah/kawin, wajib merniliki Kartu Tanda Penduduk (KTP).
b.              Orang dewasa yang berada di bawah pengampuan (curatele), disebabkan oleh.
1)             Sakit ingatan: gila, orang dungu, penyakit suka mencuri (kleptomania), khususnya penyakit.
2)             Pemabuk dan pemboros (ketidakcakapannya khusus dalam peralihan hak di bidang harta kekayaan).
3)Istri yang tunduk pada Pasal 110 KUH Perdata. Ketentuan ini dianulir oleh Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 3 Tahun 1963, bahwa setiap istri sudah dianggap cakap melakukan perbuatan hukum. Status istri yang ditempatkan di bawah pengampuan berdasarkan penetapan hakim yang disebut kurandus.
2.              Badan Hukum (rechts persoon), suatu perkumpulan atau lembaga yang dibuat oleh hukum dan mempunyai tujuan tertentu. Badan hukum terbagi atas dua mac am, yaitu:
a.              Badan hukum privat, seperti perseroan terbatas (PT), firma, CV, badan koperasi, yayasan, PT (Persero) - BUMNID dan sebagainya
b.Badan hukum publik, seperti negara, pemerintah daerah, desa, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Keberadaan suatu badan hukum, berdasarkan teori hukum ditentukan oleh empat teori yang menjadi syarat suatu badan hukum (sehingga dapat dikelompokkanldigolongkan) sebagai subjek hukum, yaitu:
a.              Teori fictie, yaitu badan hukum dianggap sarna dengan manusia (orang) sebagai subjek hukum, dan hukum juga memberi hak dan kewajiban.
b.               Teori kekayaan bertujuan, yaitu harta kekayaan dari suatu badan hukum mempunyai tujuan tertentu, dan harus terpisah dari harta kekayaan para pengurus atau anggotanya.
c.               Teori pemilikan bersama, yaitu semua harta kekayaan badan hukum menjadi milik bersama para pengurus atau anggotanya.
d.        Teori organ, yaitu badan hukum harus mempunyai organisasi atau alat untuk mengelola dan melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan, yaitu para pengurus dan aset (modal yang dimiliki).

Konsekuensi dari pemisahan harta kekayaan badan hukum dengan harta pribadi para pengurus atau anggotanya adalah :
a.              Penagih pribadi terhadap anggota badan hukum, tidak berhak menuntut harta badan hukum.
b.              Para pengurus/anggota tidak boleh secara pribadi menagih piutang badan hukum terhadap pihak ketiga.
c.               Tidak dibenarkan kompensasi (ganti kerugian) utang pribadi dari pengurus atau anggota dengan utang badan hukum.
d.              Hubungan hukum berupa perjanjian antara pengurus/anggota dengan badan hukum disamakan hubungan hukum dengan pihak ketiga.
e.         Jika badan hukum pailit, hanya para kreditur saja yang dapat menuntut harta kekayaan badan hukum.

B. OBJEK HUKUM
Objek hukum adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi subjek hukum, dan dapat menjadi objek dalam suatu hubungan hukum. Menurut terminologi (istilah) ilmu hukum, objek hukum disebut pula "benda atau barang," sedangkan "bend a atau barang" menurut hukum adalah segala barang dan hak yang dapat dimiliki dan bernilai ekonomis, dan dibedakan atas sebagai berikut.

1. Benda yang Berwujud dan Benda Tidak Berwujud
a.               Benda yang berwujud, yaitu segala sesuatu yang dapat dicapai atau dilihat dan diraba oleh panca indera, contohnya, rumah, meja, kuda, pohon kelapa.
b.               Benda tidak berwujud, yaitu segala macam benda yang tidak berwujud, berupa segala macam hak yang melekat pada suatu benda, contoh, hak cipta, hak atas merek, hak atas tanah, hak atas rumah.

2. Benda Bergerak dan Benda Tidak Bergerak
a.               Benda bergerak, yaitu benda yang bergerak, karena:
1)             Sifatnya dapat bergerak sendiri, seperti hewan (kuda, sapi, kambing);
2)               Dapat dipindahkan, seperti kursi, meja, buku;
3)               Benda bergerak karena penetapan atau ketentuan undang-undang, yaitu hak pakai atas tanah dan rumah, hak sere, hak bunga yang dijanjikan.
b.               Benda tidak bergerak, yaitu setiap benda yang tidak dapat bergerak sendiri atau tidak dapat dipindahkan, karena:
1)             Sifatnya yang tidak bergerak, seperti hutan, kebun dan apa yang didirikan di atas tanah, termasuk apa yang terkandung di dalamnya;
2)              Menurut tujuannya, setiap benda yang dihubungkan dengan benda yang karena sifatnya tidak bergerak, seperti wastafel di kamar mandi, ubin, alat percetakan yang besar di pabrik;
3)     Penetapan undang-undang, yaitu hak atas benda tidak bergerak dan kapal yang tonasenyalberatnya 20 m3.

Pentingnya pembedaan benda bergerak dan benda tidak bergerak yang diberikan hukum dalam kaitannya dengan pengalihan hak, yaitu terhadap benda bergerak, cukup dilakukan dengan penyerahan langsung, sedangkan benda tidak bergerak dilakukan dengan penyerahan dengan surat atau akta balik nama.

C. HAK DAN KEWAJIBAAN
Berdasarkan kodratnya, manusia memiliki hak dan kewajiban atas sesuatu dalam menjalani kehidupan sosialnya dengan manusia lain. Tidak seorang pun manusia yang tidak mempunyai hak, tetapi konsekuensinya bahwa orang lain pun memiliki hak yang sarna dengannya. J adi "hak" pada suatu pihak berakibat timbulnya "kewajiban" pada pihak lain untuk menghormati hak tersebut. Seseorang tidak menggunakan haknya secara bebas, sehingga menimbulkan kerugian atau rasa tidak enak pada orang lain.
Untuk terjadinya "hak dan kewajiban," diperlukan suatu "peristiwa" yang oleh hukum dihubungkan sebagai suatu akibat artinya hak seseorang terhadap sesuatu benda mengakibatkan timbulnya kewajiban pada orang lain, yaitu menghormati dan tidak boleh mengganggu hak tersebut.
1.              Hak
Terdapat dua teori atau ajaran yang dapat menjelaskan keberadaan hak, yaitu:
a.             Belangen Theorie (teori kepentingan) menyatakan bahwa hak adalah kepentingan yang terlindungi. Rudolf von Jhering berpendapat bahwa "hak itu sesuatu yang penting bagi seseorang yang dilindungi oleh hukum, atau suatu kepentingan yang terlindungi." Utrecht (van Apeldoom, 1985: 221) membantah teori tersebut dengan mengatakan bahwa hukum itu memang mempunyai tugas melindungi kepentingan dari yang berhak, tetapi orang tidak boleh mengacaukan antara hak dan kepentingan, karena hukum senng melindungi kepentingan dengan tidak memberi hak kepada yang bersangkutan. misalnya ketentuan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar di jarnin dalam UUD 1945 tidak berarti bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar itu "berhak" atas pemeliharaan negara.
b.              Wilsmacht Theorie (teori kehendak), yaitu hak itu suatu kehendak yang dilengkapi dengan kekuatan. Bernhard Winscheid mengatakan bahwa "hak itu suatu kehendak yang diperlengkapi dengan kekuatan dan diberi tata tertib hukum kepada seseorang. Berdasarkan kehendak, seseorang dapat mempunyai rumah, mobil, tanah, dan sebagainya. Misalnya, seseorang anak kecil dan orang gila yang tidak dapat diberi hak karen a mereka belum atau tidak dapat menyatakan kehendaknya (belum mempunyai suatu kehendak).
Teori ini dibantah oleh Utrecht dengan alasan (Van Apeldoorn, 1985: 221):
1)             Meskipun mereka di bawah pengampuan (kuratele), tetapi mereka tetap masih dapat memiliki rumah, mobil dan yang menjalankan adalah wali/pengampunya atau kuratornya.
2)             Menurut pasal 13 KUH Perdata menyatakan bahwa tidak ada manusia yang tidak mempunyai hak.
Leon du Guit (Van Apeldoorn, 1985: 221) menyebutkan "teori fungsi sosial" yang mengatakan bahwa tidak ada seorang manusia pun yang mempunyai hak. Sebaliknya, di dalam masyarakat, bagi manusia hanya ada suatu tugas sosial. Tata tertib hukum tidak didasarkan atas kehendak manusia, tetapi atas tugas sosial yang harus dijalankan oleh anggota masyarakat.
Beberapa pengertian hak yang dikemukakan oleh sejumlah pakar hukum adalah:
1.              Van Apeldoorn (1985:221) menyatakan bahwa hak adalah kekuasaan (wewenang) yang oleh hukum diberikan kepada seseorang (atau suatu badan hukum), dan yang menjadi tantangannya adalah kewajiban orang lain (badan hukum lain) untuk mengakui kekuasaan itu.
2.              Satjipto Rahardjo (1982:94) mengatakan bahwa hak adalah kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada sese orang dengan maksud melindungi kepentingan seseorang tersebut.
3.              Fitgeraid (Satjipto Rahardjo, 1985:95) mengemukakan bahwa suatu hak mempunyai lima ciri, yaitu:
a.  Diletakkan pada seseorang yang disebut sebagai pemilik atau subjek dari hak tersebut. Disebut juga sebagai orang yang memiliki titel atas barang yang menjadi sasaran dari hak.
b.  Tertuju kepada orang lain, yaitu yang menjadi pemegang kewajiban, sehingga antara hak dan kewajiban terdapat hubungan korelatif.
c.   Hak yang ada pada seseorang mewajibkan pihak lain melakukan (commision) atau tidak melakukan suatu perbuatan (ommnision) disebut hak.
d.  Commision atau Ommnision menyangkut sesuatu yang disebut objek hak.
e.   Setiap hak menurut hukum mempunyai titel, yaitu suatu peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada pemiliknya.
Berdasarkan pengertian dan teori tentang hak tersebut dapat disimpulkan bahwa hak itu mengandung tiga unsur yang substansial, yaitu
a.               Unsur pelindung, misalnya seseorang tidak boleh dianiaya, artinya setiap orang mempunyai hak untuk dilindungi oleh hukum dari penganiayaan.
b.              Unsur pengakuan, misalnya adanya kewajiban untuk melindungi A dari penganiayaan berarti mengakui hak A untuk tidak dianiaya.
c.               Unsur kehendak, misalnya A memiliki sebuah rumah, maka hukum memberinya hak atas rumah tersebut untuk bebas menggunakan kehendaknya atau memakainya dan orang lain wajib menghormatinya dan tidak mengganggu hak si A.
Timbulnya suatu hak didasarkan oleh suatu peristiwa hukum, misalnya terjadi jual beli, perjanjian sewa menyewa rumah, merupakan peristiwa hukum yang dapat menimbulkan atau melahirkan hak dan kewajiban antar para pihak.
Hak dapat timbul pada seseorang (subjek hukum) disebabkan oleh beberapa hal yaitu:
a.               Adanya subjek hukum baru, baik orang maupun badan hukum.
b.               Terjadinya perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak yang melakukan perjanjian.
c.                Terjadinya kerugian yang diderita oleh seseorang akibat kesalahan atau kelalaian orang lain.
d.               Karena seseorang melakukan kewajiban yang merupakan syarat untuk memperoleh hak.
e.                Terjadinya daluwarsa (verjaring), biasanya karena acquisitief verjaring yang dapat melahirkan hak bagi seseorang. Sebaliknya, jika terjadi extinctief verjaring, justru menghapuskan hak atau kewajiban seseorang (orang lain).
Lenyap atau hapusnya suatu hak menurut hukum dapat disebabkan empat hal, yaitu:
a.                Apabila pemegang hak meninggal dunia dan tidak ada pengganti atau ahli waris yang ditunjuk, baik oleh pemegang hak maupun yang ditunjuk oleh hukum.
b.               Masa berlakunya hak telah habis dan tidak dapat diperpanjang lagi.
Misalnya, kontrak rumah yang telah habis waktu kontraknya.
c.                Telah diterimanya suatu benda yang menjadi objek hak. Misalnya, seseorang yang mempunyai hak waris atau hak menagih utang, tetapi warisan atau piutang itu sendiri telah diterima atau dilunasi maka hak waris dan hak menagih utang itu hapus dengan sendirinya.
d.               Karena daluwarsa (verjaring), misalnya seseorang yang memiliki sebidang tanah yang tidak pernah diurus, dan tanah itu ternyata telah dikuasai oleh orang lain selama lebih 30 tahun maka hak atas tanah itu menjadi hak orang yang telah mengurus selama lebih 30 tahun.
2.               Kewajiban
Kewajiban sesungguhnya merupakan beban yang diberikan oleh hukum kepada orang atau badan hukum (subjek hukum), misalnya kewajiban seseorang atau badan hukum untuk membayar pajak dan lahirnya karen a ketentuan uu. Dalam teori ilmu hukum, kewajiban dibedakan dalam enam kelompok, yaitu
a.                Kewajiban mutlak, yaitu kewajiban yang tidak mempunyai pasangan hak, misalnya kewajiban yang tertuju pada diri sendiri yang umumnya berasal dari kekuasaan.
b.               Kewajiban nisbi, yaitu kewajiban yang disertai dengan hak, rnisalnya kewajiban pernilik kendaraan membayar pajak, sehingga berhak menggunakan fasilitas jalan raya yang dibuat oleh pemerintah.
c.                Kewajiban publik, yaitu kewajiban yang berhubungan dengan hak-hak publik, rnisalnya kewajiban untuk patuh pada aturan hukum yang ada.
d.               Kewajiban perdata, yaitu kewajiban yang berhubungan dengan hak-hak perdata, rnisalnya kewajiban mematuhi akibat yang timbul karena perjanjIan.
e.                Kewajiban positif, yaitu kewajiban yang menghendaki suatu perbuatan positif, rnisalnya kewajiban penjual untuk menyerahkan barang kepada pembeli.
f.                Kewajiban negatif, yaitu kewajiban yang menghendaki untuk tidak melakukan sesuatu, rnisalnya kewajiban seseorang untuk tidak mengambil atau mengganggu hak rnilik orang lain.
Lahir atau timbulnya suatu kewajiban, disebabkan oleh beberapa hal, yaitu
a.              Diperolehnya suatu hak yang membebani syarat untuk memenuhi suatu kewajiban, rnisalnya seorang pembeli yang berkewajiban membayar harga barang dan berhak menerima barang yang telah dibayarnya (lunas).
b.              Berdasarkan suatu perjanjian yang telah disepakati.
c.               Adanya kesalahan atau kelalaian seseorang yang menimbulkan kerugian bagi orang lain, sehingga ia wajib membayar ganti rugi.
d.              Telah dinikmatinya suatu hak tertentu sehingga harus pula diimbangi dengan kewajiban tertentu pula.
e.              Daluwarsa tertentu yang telah ditentukan oleh hukum atau karena perjanjian tertentu, bahwa daluwarsa dapat menimbulkan kewajiban baru, rnisalnya kewajiban membayar denda atas pajak kendaraan bermotor yang lewat waktu atau daluwarsa (ditentukan dalam undang­undang).
Hapusnya atau berakhimya suatu kewajiban, disebabkan oleh hal-hal:
a.              Meninggalnya orang yang mempunyai kewajiban, tanpa ada penggantinya, baik ahli waris maupun orang lain atau badan hukum lain yang ditunjuk oleh hukum.
b.              Masa berlakunya telah habis dan tidak diperpanjang lagi.
c.              Kewajibannya telah dipenuhi oleh yang bersangkutan.
d.             Hak yang melahirkan kewajiban telah hapus.
e.              Daluwarsa (verjaring) extinctief
f.               Ketentuan UU.
g.              Kewajiban telah beralih atau dialihkan kepada orang lain.
h.              Terjadi suatu sebab di luar kemampuan manusia, sehingga ia tidak dapat memenuhi kewajiban itu.
D. PERISTIWA HUKUM
Di dalam pergaulan hidup sehari-hari mungkin terjadi peristiwa yang membawa akibat-akibat hukum. Oleh Van Apeldoorn peristiwa tersebut dirumuskan sebagai kejadian yang menimbulkan atau menghapuskan hak maupun kewajiban, jadi suatu peristiwa hukum merupakan peristiwa sosial yang bersegi hukum.
Satjipto Rahardjo mengartikan peristiwa hukum sebagai suatu kejadian dalam masyarakat yang menggerakkan suatu peraturan hukum tertentu, sehingga ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalamnya lalu diwujudkan. Kata "menggerakkan hukum" diartikan sebagai "timbulnya kelanjutan­kelanjutan" artinya, adanya peristiwa hukum yang tercantum dalam rumusan atau kaidah hukum, menyebabkan timbulnya kelanjutan-kelanjutan berupa "penciptaan tindakan untuk melaksanakan kaidah hukum yang dilanggar dalam peristiwa hukum tersebut". Pada tahap ini, sanksi hukum akan diterapkan bagi pelaku dalam peristiwa hukum atau pelanggaran hukum tersebut.
Tidak semua kejadian atau fakta dalam masyarakat merupakan peristiwa hukum. Misalnya, seorang mahasiswa mengambil motornya yang terparkir di kampus, tetapi motor tersebut adalah rniliknya sendiri. Hal tersebut merupakan suatu kejadian atau fakta tetapi bukan suatu peristiwa hukum. Beda halnya bila mahasiswa tadi mengambil motor di kampus yang bukan rnilik sendiri tanpa izin perniliknya, maka kejadian tersebut merupakan suatu peristi wa hukum karen a merniliki akibat hukum dan dirumuskan sebagai pencurian pada Pasal 362 KUH Pidana.
Peristiwa hukum dibedakan atas dua jenis, yaitu:
a.                Peristiwa hukurn karena perbuatan subjek hukurn, yaitu suatu peristiwa hukurn yang terjadi akibat perbuatan hukurn, misalnya peristiwa pernbuatan surat wasiat, atau peristiwa hibah barang.
b.                Peristiwa hukurn yang bukan perbuatan subjek hukurn atau pensnwa hukurn lainnya, yaitu peristiwa hukurn yang terjadi dalarn rnasyarakat yang bukan rnerupakan akibat dari perbuatan subjek hukurn, misalnya kelahiran, kernatian, daluwarsa. Daluwarsa terdiri dari dua jenis:
1)               Daluwarsa aquisitiej, yaitu daluwarsa atau lewat waktu yang rnenirnbulkan hak, misalnya sewa rnenyewa rurnah yang telah selesai rnasanya rnaka si penyewa berhak rnengernbalikan rurnah yang disewa kepada pemiliknya.
2)               Daluwarsa extinctief, yaitu daluwarsa atau lewat waktu yang rnelenyapkan kewajiban, misalnya A, seorang satpam menjaga gudang, yang pada masa tertentu digantikan oleh satpam B maka selesailah kewajiban A menjaga gudang.

R A N G K U M A N

Pembahasan meliputi pengertian-pengertian dasar dalam ilmu hukum, yaitu subjek hukum, objek hukum, hak dan kewajiban, dan peristiwa hukum. Masing-masing pengertian tersebut memiliki kaitan yang erat dalam terlaksananya suatu sistem hukum. Subjek menjelaskan mengenai segal a sesuatu yang dapat menjadi pendukung hak dan kewajiban, yaitu manusia dan badan hukum. Objek menjelaskan hubungan yang terjadi antar subjek-subjek hukum tersebut. Hak dan kewajiban adalah sesuatu yang diusung oleh subjek hukum dan peristiwa hukum adalah yang menimbulkan atau menghapuskan hak maupun kewajiban. Keempat pengertian tersebut selalu terjadi dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat

  
Kaidah hukum yang kini berlaku dalam kehidupan masyarakat, ada yang tertulis dan ada pula yang tidak tertulis yang berasal dari adat dan kebiasaan. Kaidah hukum, yaitu hasil perundang-undangan yang dibuat melalui proses sah serta tidak tertulis, yang ditaati oleh warga masyarakat. Kaidah hukum ditujukan pada sikap lahir manusia atau perbuatan konkret manusia. Dalam hal ini tidak dipersoalkan sikap batin manusia apakah baik atau buruk, karena yang menjadi objek perhatian adalah bagaimana sikap dan perbuatan lahiriah manusia.
Selain kaidah hukum, juga terdapat kaidah-kaidah sosial yang hidup di masyarakat. Kaidah-kaidah tersebut adalah kaidah agama atau kaidah kepercayaan, adalah aturan-aturan yang berisi kewajiban, larangan, perintah, dan anjuran yang oleh pemeluk dan penganutnya diyakini sebagai kaidah yang berasal dari Tuhan. Kaidah kesusilaan (dalam arti sempit), yaitu kaidah yang dianggap paling asli yang berasal dari sanubari manusia sendiri. Kaidah kesopanan, yaitu kaidah yang berasal dari dalam masyarakat untuk mengatur pergaulan warganya agar masing-masing saling hormat menghormati. Kaidah kesopanan pada hakikatnya merupakan peraturan hidup yang timbul dari pergaulan dalam masyarakat tertentu.
Pada bagian kedua, yang akan dibahas adalah pembedaan hukum, yaitu dari sumber hukum formal, dari eksistensinya, sekarang/sudah atau nantil belum ada, antara hukum alam yang global internasional dengan hukum positif yang nasional/regional, hukum imperatif dan fakultatif, dari sisi isinya substantif dan ajektif, dan perbedaan antara hukum tidak tertulis, hukum tercatat dan hukum tertulis.

A. KAIDAH HUKUM
1.              Kaidah Hukum dan Kaidah Sosial Lainnya
Kaidah hukum tidaklah sarna sifat dan macamnya dengan kaidah sosial lainnya. Namun, dalam kenyataannya kaidah hukum yang kini berlaku dalam kehidupan masyarakat, ada yang berbentuk tertulis dan ada pula dalam bentuk tidak tertulis yang berasal dari ad at dan kebiasaan. Sedangkan kaidah­kaidah sosial lainnya ada yang berasal dari hidup berkembang dari dalam masyarakat itu sendiri dan ada pula yang berasal dari luar masyarakat, dengan tujuan kehidupan sosial aman dan tertib.
Untuk memahami perbedaan antara kaidah hukum dengan kaidah sosial lainnya, akan terlebih dahulu dibahas pembagian kaidah sosial, yaitu
a.               Kaidah hukum, yaitu hasil perundang-undangan atau tertulis yang dibuat melalui proses yang sah serta tidak tertulis, yang ditaati oleh warga masyarakat. Kaidah hukum ditujukan pada sikap lahir manusia atau perbuatan konkret manusia. Dalam hal ini tidak dipersoalkan sikap batin manusia apakah baik atau buruk, karena yang menjadi objek perhatian adalah bagaimana sikap dan perbuatan lahiriah manusia.
Seseorang yang dalam batinnya tertanam sifat buruk, tidak menjadi persoalan dan tidak akan dihukum sepanjang sifat buruk itu tidak diwujudkan dalam perbuatan konkret. Sifat buruk dalam batin, baru menjadi persoalan bagi kaidah hukum apabila sifat buruk itu menjadi perbuatan konkret yang dilarang. Hukum dalam wujudnya sebagai kaidah, juga memberikan hak dan kewajiban. Asal mula dan sanksi atas pelanggaran kaidah hukum, berasal dari luar diri manusia yang sifatnya heteronom.
Contoh kaidah hukum adalah:
1)             barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dirniliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah (Pasal 362 KUH Pidana).
2)             Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantu an hukum dari seseorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini (Pasal 54 KUHAP).
3)             Perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya (Pasal 2 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
Merek terdaftar mendapat perlindungan hukum untuk jangka waktu sepuluh tahun dan berlaku surut sejak tanggal penerimaan permintaan pendaftaran merek yang bersangkutan (Pasal 7 UU No. 19 Tahun 1992 tentang Merek)
Roscoe Pound (1972:37) menganggap kaidah hukum merupakan suatu kekangan terhadap kebebasan manusia, dan kekangan itu walau sedikit, berdasarkan pada "pembenaran yang kuat." Ahmad Ali (1966:55) menambahkan bahwa kaidah hukum sebagai salah satu kaidah sosial yang mempunyai dua altematif, yaitu
1)             Sifat imperatif, yaitu secara apriori wajib ditaati. Kaidah ini dapat dikesampingkan dalam keadaan konkret, hanya karena para pihak membuat perjanjian.
2)              Bersifat fakultatif, yaitu tidaklah secara apriori mengikat atau wajib ditaati. Jadi, kaidah yang bersifat fakultatif ini, merupakan kaidah hukum yang dalam keadaan konkret dapat dikesampingkan oleh perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
b.              Kaidah agama atau kaidah kepercayaan, adalah aturan yang berisi kewajiban-kewajiban, larangan-larangan, perintah-perintah, dan anjuran­anjuran yang oleh pemeluk dan penganutnya diyakini sebagai kaidah yang berasal dari Tuhan. Pelanggaran terhadap kaidah kepercayaan, sanksi atau akibatnya akan didapat berupa siksaan kelak di akhirat. Tujuan kaidah kepercayaan, ialah untuk menyempumakan hidup manusia dan melarang manusia berlaku jahatlberbuat dosa. Kaidah ini hanya membebani kewajiban menurut perintah Tuhan dan tidak memberi hak.
Kaidah agama merupakan tuntutan hidup manusia untuk menuju kepada perbuatan dan kehidupan yang baik dan benar. Kaidah ini mengatur kewajiban manusia kepada Tuhan dan pada diri sendiri. Sanksi kaidah agama bersifat internal, yaitu dosa serta bersifat ekstemal yang bersumber dari Tuhan. Isinya ditujukan pada sikap batin, serta daya kerjanya menitikberatkan pada kewajiban daripada hak.
Contoh kaidah agama adalah jangan menyekutukan Allah, melaksanakan shalat, hormat dan berbakti pada orang tua (bapak-ibu), dilarang membunuh, dilarang berbuat zina, jangan menzalimi orang lain.
c.               Kaidah kesusilaan (dalam arti sempit), yaitu kaidah yang dianggap paling asli yang berasal dari sanubari manusia sendiri. Kaidah kesusilaan juga merupakan kaidah yang tertua dan menyangkut kehidupan pribadi manusia, bukan dalam kualitasnya sebagai makhluk sosial. Kaidah
kesusilaan bertujuan agar manusia memiliki akhlak yang baik demi mencapai kesempumaan hidup manusia itu sendiri. Penerapan sanksinya berasal dari dalam diri manusia itu sendiri, bukan paksaan dari luar. Sudikno Mertokusumo (1986:7) menyebutkan bahwa kaidah moral atau kesusilaan berhubungan dengan manusia sebagai individu karena menyangkut kehidupan pribadi manusia. Salah satu ciri kaidah kesusilaan dibanding dengan kaidah hukum, adalah sifatnya yang otonom artinya, diikuti atau tidaknya kaidah tersebut tergantung pada sikap batin manusianya, contohnya mencuri perbuatan yang dilarang (Pasal 362 KUH Pidana) apabila ditaati oleh manusia, bukan berarti ia takut pada sanksinya semata, tetapi menurut kata hatinya mencuri itu memang tidak patut dilakukan atau bertentangan dengan batinnya.
d.              Kaidah Kesopanan, yaitu kaidah yang berasal dari dalam masyarakat untuk mengatur pergaulan warganya agar masing-masing saling hormat menghormati. Kaidah kesopanan pada hakikatnya merupakan peraturan hidup yang timbul dari pergaulan dalam masyarakat tertentu. Kaidah tersebut berdasar pada kepantasan dan kebiasaan atau kepatutan yang berlaku dalam kehidupan sosial masyarakat.
Kaidah kesopanan juga ditujukan pada sikap lahir manusia (sarna dengan kaidah hukum) yang ditujukan pada pelakunya agar terwujud ketertiban masyarakat dan suasana keakraban dalam pergaulan. Tujuannya bukan pada manusia sebagai pribadi, melainkan manusia sebagai makhluk sosial yang hidup bersama dalam kelompok masyarakat. Sanksi terhadap pelanggaran kaidah kesopanan, adalah mendapat celaan dari masyarakat sekitarnya, yang berasal dari kekuasaan di luar diri manusia yaitu masyarakat.
Kaidah ini berbeda dengan kaidah kesusilaan, karena kaidah kesopanan berasal dari luar diri seseorang (berasal dari masyarakat). Bahkan pada saatnya dapat berubah menjadi "kebiasaan", apabila masyarakat sudah menilainya sebagai suatu kewajiban dan pelanggaran terhadapnya telah dipandang suatu kesalahan. Kaidah ini juga hanya membebani kewajiban, tidak menimbulkan hak, misalnya seseorang tidak berhak mendapat teguran orang setelah ia menegur lebih dahulu. Begitu pula dengan contoh seorang wanita yang tidak memperoleh tempat duduk dalam bis, tidak berhak untuk duduk pada kursi yang telah diduduki seorang pria. Beberapa contoh kaidah kesopanan adalah
1)             orang yang berusia muda wajib menghormati orang yang berusia
lebih tua.
2)              mengenakan pakaian yang pantas di tempat-tempat umum.
3)             meminta izin apabila akan memasuki rumah orang lain.
4)             Memberikan tempat duduk kepada wanita hamil bila berada di bus kota.

2.              Perbedaan Kaidah Hukum dengan Kaidah Sosiallainnya
Dilihat dari segi sumbemya, perbedaan dari kaidah-kaidah tersebut adalah
a.              Perbedaan kaidah hukum dengan kaidah agama dan kaidah kesusilaan dalam arti sempit, sebagai berikut:
1)             Berdasarkan tujuannya, kaidah hukum bertujuan untuk melindungi manusia beserta kepentingannya dan mewujudkan tata tertib masyarakat, sedangkan kaidah agama dan kaidah kesusilaan bertujuan memperbaiki pribadi manusia agar menjadi yang berakhlak.
2)             Berdasarkan sasarannya, kaidah hukum mengatur sikap dan perilaku manusia yang diancam sanksi bagi setiap pelanggarnya, sedangkan kaidah agama dan kesusilaan dalarn arti sernpit mengatur sikap batin manusia sebagai pribadi. Kaidah hukum menghendaki kesesuaian perilaku manusia dengan aturan hukum, sedangkan kaidah agama dan kaidah kesusilaan dalam arti sempit menghendaki agar sikap batin manusia itu baik.
3)             Berdasarkan isinya, kaidah hukum memberikan hak dan kewajiban; sedangkan kaidah agama dan kaidah kesusilaan dalam arti sempit hanya memberikan kewajiban.
4)             Berdasarkan kekuatan mengikatnya, kaidah hukum dipaksakan secara konkret oleh kekuasaan dari luar, sedangkan kaidah agama dan kaidah kesusilaan dalam arti sempit bergantung pada yang bersangkutan (dari dalam diri).
5)             Berdasarkan sumber dan pelaksanaan sanksinya, kaidah hukum dan kaidah agama berasal dan dipaksakan dari luar diri manusia (heteronom), sedangkan kaidah kesusilaan dalam arti sempit sumber sanksinya berasal dan bergantung dari dalam hati masing-masing orang (otonom).
b.              Perbedaan kaidah hukum dengan kaidah kesopanan
1)             Kaidah hukum memberikan hak dan kewajiban, sedangkan kaidah kesopanan hanya memberikan kewajiban.
2)              Sanksi kaidah hukum dipaksakan oleh masyarakat secara resrni (kekuasaan negara), sedangkan sanksi kesopanan dipaksakan oleh masyarakat tanpa resrni.
Perbedaan Kaidah
Agama-Kesusilaan-Kesopanan-Hukum

Perbedaan
Kaidah Agama
Kaidah kesusilaan
Kaidah
Kaidah Hukum

Kepercayaan

Kesopanan

Asal-usul
Dari Tuhan
Dari diri sendiri
Kekuasaan dari
Kekuasaan dari



luar diri manusia
luar diri manusia



yang bersifat
yang bersifat



memaksa
memaksa
Sasaran
Ditujukan pada
Ditujukan pada
Ditujukan pada
Ditujukan pada

sikap batin manusia
sikap batin manusia
sikap lahir
sikap lahir



manusia
manusia
Isinya
Memberi kewajiban
Memberi kewajiban
Memberi
Memberi

Tidak memberi hak
Tidak memberi hak
kewajiban
kewajiban



Tidak memberi
Memberi hak



hak

Tujuannya
Seluruh umat
Seluruh umat
Pembuat yang
Pembuat yang

manusia
manusia
konkret
konkret

Menyempurnakan
Menyempurnakan
Ketertiban warga
Ketertiban

manusia
manusia
masyarakat
warga

Mencegah manusia
Mencegah manusia
Mencegah
masyarakat

menjadi jahat
menjadi jahat
adanya korban
Mencegah




adanya korban
Sanksinya
dari Tuhan
Dari diri sendiri
Dari masyarakat
Dari penegak




hukum
3.              Asal-usul Kaidah Hukum
Asal usul suatu kaidah hukum perlu dikaji sehingga dapat dibuktikan bahwa kaidah hukum berbeda dengan kaidah sosial pada umumnya karena kaidah sosial pada umumnya merupakan bagian dari aturan-aturan modal. Asal usul kaidah hukum dapat dibedakan dua macam, yaitu:
a.              Kaidah hukum yang berasal dari kaidah-kaidah so sial lainnya di dalam masyarakat, yang menurut Paul Bohannan merupakan kaidah hukum yang berasal dari proses double legitimacy atau pemberian ulang legitimasi dari suatu kaidah sosial non hukum (moral, agama dan kesopanan) menjadi suatu kaidah hukum. Paul Bohannan menyebutkan bahwa hukum sebaiknya dipikirkan sebagai perangkat kewajiban-kewajiban yang mengikat yang dianggap sebagai hak oleh suatu pihak dan diakui sebagai kewajiban oleh pihak lain, yang telah dikembangkan lagi dalam lembaga-lembaga hukum supaya masyarakat dapat terus berfungsi dengan cara yang teratur berdasarkan aturan-aturan yang dipertahankan melalui cara demikian.
b.              Kaidah hukum yang ditetapkan oleh otoritas tertinggi dalam suatu negara atau dunia intemasional sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada saat itu, dan langsung terwujud dalam wujud kaidah hukum, serta sarna sekali tidak berasal dari kaidah sosiallain sebelumnya.
Asal usul kaidah hukum sebenamya berasal dari kaidah-kaidah sosial lainnya dan juga berasal dari otoritas tertinggi (kekuasasan negara). Teori Paul Bohannan ini dikenal dengan nama re-institutionalization of norm yang memandang keberadaan suatu lembaga hukum sebagai alat yang digunakan oleh warga masyarakat untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan yang terjadi di lembaga-lembaga masyarakat (Soerjono Soekanto, 1976:15).
Kebiasaan-kebiasaan yang mengalami proses pelembagaan kembali menjadi kaidah hukum, pada akhimya digunakan oleh warga masyarakat sebagai aturan untuk menata kehidupannya. Proses inilah yang menurut Satjipto Rahardjo (1980:40) disebut dengan pelembagaan dari konflik yang terdapat di masyarakat artinya, kaidah hukum merupakan pelembagaan kembali dari kebiasaan-kebiasaan dapat dipandang sebagai mekanisme menyelesaikan konflik yang terjadi dalam masyarakat.
Selain proses pelembagaan tersebut, terdapat juga kaidah-kaidah hukum yang memang diciptakan dan merupakan kaidah yang baru sarna sekali, paling tidak untuk suatu negara, wilayah, daerah, area tertentu. Kaidah­kaidah dibentuk oleh negara untuk keperluan tertentu, atau merupakan kaidah yang ada pada negara lain dan karena berbagai keperluan dan hubungan, maka kaidah tersebut diterapkan menjadi kaidah yang baru di negara kita.

4.              Sifat dan lsi Kaidah Hukum
Bila kita melihat kaidah hukum dari sisi sifatnya, maka dapat dibedakan kaidah hukum yang bersifat imperatif dan kaidah hukum yang bersifat fakultatif. Disebut imperatif karena sifatnya mengikat dan memaksa dan harus ditaati oleh setiap orang yang termasuk lokus dan tempus dari kaidah tersebut. Kaidah hukum fakultatif adalah kaidah yang sifatnya tidak serta merta harus ditaati karena sifatnya hanya merupakan pelengkap.
Isi kaidah hukum dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu pertama, kaidah hukum yang berisi perintah (gebod), yaitu kaidah hukum yang berisi perintah yang harus ditaati, rnisalnya berdasarkan Pasal 45 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyebutkan bahwa kedua orang tua agar memelihara dan mendidik anak-anaknya dengan sebaik-baiknya.
Kedua, kaidah hukum yang berisi larangan (verbod) yaitu kaidah hukum yang memuat larangan untuk melakukan sesuatu dengan ancaman sanksi apabila melanggarnya, seperti larangan mencuri. Ketiga, kaidah hukum yang isinya membolehkan (mogen), yaitu kaidah hukum yang memuat hal-hal yang boleh dilakukan, tetapi boleh juga untuk tidak dilakukan. Contohnya, calon suarni-istri yang akan menikah dapat mengadakan perjanjian tertulis baik sebelum maupun setelah pernikahan sejauh tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.

5.               Sanksi Kaidah Hukum
Suatu kaidah hukum dapat dianggap eksis di masyarakat apabila dilakukan penerapan sanksi terhadap kaidah-kaidah tersebut. Yang dimaksud sanksi ada beberapa pengertian, yaitu
a.    Sudikno Mertokusumo (1986: 9) menyebutkan         sanksi tidak lain merupakan reaksi, akibat atau konsekuensi dari pelanggaran kaidah sosial.
b.    Paul Bohannan berpendapat bahwa sanksi merupakan perangkat aturan­aturan yang mengatur bagaimana lembaga-Iembaga hukum mencampuri suatu masalah untuk dapat memelihara suatu sistem sosial, sehingga memungkinkan warga masyarakat hidup dalam sistem itu secara tenang dan dalam cara-cara yang dapat diperhitungkan.
c.    Sedangkan Van Den Steenhoven menyebutkan sanksi adalah unsur­unsur sebagai unsur hukum yaitu ancaman penggunaan paksaan fisik, otoritas yang resrni, penerapan ketentuan secara teratur, dan reaksi masyarakat yang tidak spontan sifatnya.
Kaidah hukum sebagai salah satu jenis kaidah sosial, membutuhkan unsur sanksi sebagai unsur yang esensial. Sanksi ekstemal atau yang berasal dari luar diri manusia merupakan unsur yang esensial dari kaidah hukum yang membedakan dengan kaidah-kaidah sosial lainnya. Sanksi tersebut sifatnya dipaksakan oleh pihak otoritas atau aparat negara yang melaksanakan penegakan hukum.

B. PEMBEDAAN HUKUM
Pembedaan hukum dilakukan karena luasnya kajian mengenai hukum, sehingga diperlukan pembidangan dan klasifikasi. Dari sudut sumber hukum formal, hukum dapat dibedakan menjadi:
1.              Hukum perundang-undangan yaitu hukum yang dicanturnkan dalam peraturan perundang-undangan (wettenrecht).
2.              Hukum kebiasaan, yaitu keajegan-keajegan dan keputusan-keputusan (penguasa dan warga masyarakat) yang didasarkan pada keyakinan dan kedamaian pergaulan hidup (gewoonterecht).
3.              Hukum yurisprudensi mencakup hukum yang dibentuk dalam keputusan­keputusan hakim (yurisprudensi-recht).
4.              Hukum traktat, yakni hukum yang berbentuk dalam perjanjian-perjanjian intemasional (tractaten-recht).
5.              Hukum ilrniah, merupakan hukum yang dikonsepsikan oleh kalangan ilmuwan hukum (wetenschapsrecht).

1.        Pembedaan pada lsi atau Hubungan yang Diatur
Pembedaan hukum dari sisi isi dan hubungan yang diatur, diperoleh pembidangan hukum publik dan hukum perdata.
Apeldoom (L.I. Apeldoom: 1966) menyebutkan bahwa hukum publik mengatur kepentingan umum sedangkan hukum perdata mengatur kepentingan khusus. Untuk membedakan bidang hukum publik dengan hukum perdata, dengan mengajukan beberapa patokan-patokan, yaitu (Paul Scholten: 1954):
a.              Pribadi yang melakukan hubungan hukum.
b.              Tujuan hubungan hukum sebagaimana tercantum dalam peraturan.
c.               Kepentingan-kepentingan yang diatur.

Kaidah-kaidah hukum yang terumuskan.
Pada hubungan antarpribadi timbul kesulitan, apabila negara tersangkut dalam status hubungan hukum (apakah itu bersifat publik atau perdata). Juga sulit untuk secara tegas dan mutlak membuat batas antara kepentingan umum dengan kepentingan pribadi.
Hukum mengatur hubungan antarwarga masyarakat, yang menyangkut hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Keadaan tersebut dalam suatu masyarakat tertentu biasanya terorganisasi dalam suatu bentuk yang dinamakan negara. Hukum memerlukan proses penegakan; apabila terjadi sengketa, diperlukan keputusan yang menyelesaikan persengketaan tersebut, akan tercapai kedamaian (kembali) dalam masyarakat. Penyelesaian sengketa tersebut, mungkin diputuskan oleh suatu alat perlengkapan negara, misalnya pengadilan. Selain memutuskan, organ-organ lain dari negara juga membentuk hukum, yang pada umumnya didasarkan pada peraturan perundang -undangan.
Dengan demikian ada dua mac am bidang hukum yang di satu pihak mengatur hubungan antarwarga masyarakat, dan yang di lain pihak mengatur organisasi masyarakat tersebut. Terakhir menyangkut pembentukan hukum dan penegakan hukum, sehingga dapat dibedakan antara hukum publik dan hukum perdata, atau hukum negara dan hukum masyarakat. Pada hukum publik atau hukum negara, yang diatur adalah pembentukan perundang­undangan, hubungan antarpemerintah dengan DPR, dan seterusnya. Sedangkan hukum perdata atau hukum masyarakat mengatur soal perkawinan, jual beli dan lain-lain. Oleh karena itu, dapat disimpulkan:
a.              Bila hukum publik dibandingkan dengan hukum perdata, maka hukum publik merupakan hukum khusus (dengan unsur umum) dan hukum perdata merupakan hukum umum.
b.              Pemisahan atau batas-batas antara isi hukum publik dengan hukum perdata ditentukan oleh hukum positif, karena sifatnya yang tidak berbeda.

2. Pembedaan lain
a.              Ius Constitutum dan ius constituendum
Pada ensiklopedi umum dijelaskan bahwa ius constitutum merupakan hukum yang berlaku dalam suatu negara pada suatu saat. Ius consitutum juga merupakan hukum positif dari suatu negara. Sedangkan ius constituendum,
adalah hukum yang dicita-citakan oleh pergaulan hidup dan negara, tetapi belum menjadi kaidah dalam bentuk undang-undang atau peristiwa lain.
Sudiman Kartohadiprodjo berpendapat bahwa hukum positif disebut dengan nama asing ius constitutum, sedangkan ius constituendum merupakan lawannya, yaitu kesemuanya kaidah hukum yang kita cita-citakan supaya memberi akibat peristiwa-peristiwa dalam suatu pergaulan hidup yang tertentu.
Perbedaan an tara ius constitutum dan ius constituendum terletak pada faktor ruang waktu, yaitu masa kini dan masa yang akan datang. Dalam hal ini, hukum diartikan sebagai tata hukum yang diidentikkan dengan istilah hukum positif, karena setelah diundangkan maka ius constituendum menjadi ius constitutum.
Dengan demikian, ius constitutum kini, pada masa lampaunya merupakan suatu ius cosntituendum. Apabila pada saat ini suatu ius constitutum memiliki kekuatan hukum, maka sebagai ius constituendum mempunyai nilai sejarah. Proses perubahan tersebut dapat terjadi dengan pelbagai cara, yaitu:
a.              Digantinya suatu undang-undang dengan undang-undang baru (undang­undang baru pada mulanya sebagai rancangan merupakan ius constituendum).
b.              Perubahan undang-undang dengan memasukkan unsur-unsur baru (unsur-unsur baru tersebut pada mulanya merupakan ius constituendum).
c.               Penafsiran peraturan perundang-undangan. Penafsiran yang terjadi pada masa kini mungkin tidak sarna dengan penafsiran pada masa lampau. Penafsiran yang ada pada masa kini, dulunya merupakan suatu penafsiran yang ius constituendum.
d.              Perkembangan doktrin atau pendapat-pendapat kalangan hukum yang terkemuka di bidang teori hukum.
Perbedaan antara ius constitutum dan ius constutuendum merupakan suatu abstraksi dari fakta, bahwa sesungguhnya segala sesuatu merupakan suatu proses perkembangan artinya suatu gejala yang ada sekarang akan hilang pada masa mendatang karena digantikan (atau dilanjutkan) oleh gejala yang semula dicita-citakan.

b.       Hukum alam dan hukum positif

HukumAlam
Sejarah perkembangan ajaran hukum alam berintikan pada usaha atau kegiatan manusia untuk mencari keadilan yang mutlak. Selama lebih kurang 2500 tahun, ajaran hukum alam timbul dan tenggelam sebagai suatu usaha ideal yang lebih tinggi tingkatannya dari hukum positif.
Berbagai kepentingan telah menggunakan hukum alam untuk tujuan masing-masing. Beberapa di antaranya adalah:
1)             Ajaran hukum alam telah dipergunakan sebagai sarana untuk mengubah sistem hukum Romawi kuno, menjadi sistem hukum kosmopolitan.
2)             Ajaran hukum alam telah dipergunakan sebagai sarana, dalam pertentangan antara pihak Gereja dengan kaisar-kaisar Jerman pada abad menengah.
3)             Validitas hukum internasional telah ditanarnkan, atas dasar ajaran hukum alamo
4)             Ajaran hukum alam telah dipergunakan dalam memperjuangkan kebebasan individu dalam perlawanannya terhadap absolutisme.
5)             Ajaran hukum alam telah dipergunakan oleh hakim-hakim Amerika Serikat, menahan usaha-usaha lembaga legislatif untuk mengubah dan memperketat kebebasan individu, dengan cara menafsirkan konstitusi.
Dalam perkembangannya, hukum alam menjadi bagian yang esensial dari hierarki nilai-nilai hukum. Perwujudannya nampak:
1)             Sebagai dasar tertib internasional, ajaran-ajaran hukum alam telah mempunyai ilmu hukum dan filsafat Romawi, tertib hukum masyarakat Barat pada abad menengah, dan juga sistem hukum internasional dari Grotius.
2)             Melalui teori-teori yang dikembangkan oleh Locke dan Paine, ajaran hukum alam menjadi dasar falsafah individu dari Konstitusi Amerika Serikat dan negara-negara lainnya.
Usaha-usaha mempengaruhi praktik peradilan dengan ajaran-ajaran hukum alam tidaklah terlalu berhasil. Tetapi pengaruh hukum alam menjadi lebih berpengaruh secara tidak langsung terhadap para hakim dan pembentuk hukum, yang ternyata cukup besar.
Ajaran hukum alam ternyata membawa pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan hukum internasional. Selain itu, hukum alam juga berpengaruh pada perubahan hukum publik ke arah yang lebih demokratis dan terhadap persamaan kedudukan di dalam hukum.

Hukum Positif
Black's Law Dictionary (Henry Campbell Black's: 1968) menyebutkan arti dari hukum positif (positive law) adalah law actually and specifically enacted or adopted by proper authority for the government of an organized jurally society.
Suatu kaidah hukum yang berlaku, sebenarnya merumuskan suatu hubungan (yang pantas) secara fakta hukum dengan akibat hukum yang merupakan abstraksi dari keputusan-keputusan (JHA Logemann: 1954). Keputusan-keputusan yang konkret sebagai fakta sosial yang mengatur hubungan-hubungan, senantiasa terjadi dalam suatu pergaulan hidup. Kejadian-kejadian tersebut selalu terjadi pada masyarakat-masyarakat tertentu, misalnya apa yang merupakan hubungan hukum di Indonesia mungkin bukan merupakan hubungan hukum di Malaysia atau negara-negara lain. Sejalan dengan tertib pergaulan hidup yang merupakan suatu keseluruhan yang terangkai, maka hukum positif yang merupakan abstraksi dari pergaulan hidup, juga merupakan keseluruhan terangkai yang dinamakan tertib hukum.
Hukum positif selalu dikaitkan dengan tempat tertentu dan waktu tertentu (hier en nu = di sini dan kini) atau daar en toen (di sana dan dahulu). Waktu tertentu artinya proses kejadian di dalam kenyataan diambil sebagian pada jangka waktu tertentu, untuk kemudian diabstraksikan sebagai tertib hukum yang berlaku pada saat itu. Abstraksi kondisi tertentu pada waktu tertentu tersebut tidak berarti hukum itu statis, karena bisa merupakan suatu proyeksi ke masa depan.
Kaitan hukum positif dengan tempat tertentu menunjukkan bahwa hukum positif berlaku dalam suatu pergaulan hidup tertentu. Berlakunya pada suatu pergaulan tertentu tidak merupakan suatu batasan bahwa hukum menjadi statis, karena dalam pergaulan tersebut terdiri dari bermacam-macam kelompok sosial yang juga berarti terdiri dari bermacam-macam tertib hukum, sehingga kelompok sosial tersebut dinamakan sebagai masyarakat hukum.
Perbedaan antara hukum alam dan hukum positif terletak pada ruang lingkup dari hukum. Pada ajaran hukum alam, terdapat prinsip-prinsip yang (ingin) diberlakukan secara universal artinya (ingin) diberlakukan di manapun dan pada waktu apapun Juga. Pada hukum positif, pemberlakuannya pada tempat dan waktu tertentu karena masyarakat selalu berubah baik menurut waktu maupun tempat. Dari kedua hukum tersebut, hukum alam dan hukum positif, maka terdapat tiga wawasan, yaitu:
1)   Hukum alam sebagai sarana koreksi bagi hukum positif (hukum alam berhadapan dengan hukum positif).
2)   Hukum alam menjadi inti hukum positif seperti hukum internasional (hukum alam terjalin atau menjiwai hukum positif)
3)   Hukum alam sebagai pembenaran hak asasi (kebebasan dan kesamaan) manusia.

c.               Hukum imperatif dan hukum fakultatif
Pada struktur kaidah hukum dikenal isi dan sifat kaidah hukum. lsi kaidah mencakup suruhan, larangan dan kebolehan sedangkan dari sudut sifat dikenal pembedaan antara hukum imperatif (hukum memaksa = idwingend recht) dan fakultatif (hukum mengatur atau hukum pelengkap = regelend recht atau aanvullend recht). Utrecht (Utrecht: 1966) menyebutkan, bahwa pembedaan hukum imperatif dan hukum fakultatif terletak pada perbedaan kekuatan sanksinya. Pembedaan yang lain menyebutkan bahwa hukum imperatif harus ditaati secara mutlak sedangkan hukum fakultatif dapat dikesampingkan.
Scholten berpendapat bahwa ciri hukum pelengkap adalah pembentuk undang-undang hanya melengkapi kekurangan-kekurangan yang mungkin ada, terutama pada pengaturan hubungan-hubungan hukum. Pembentuk undang-undang tidak selalu mengatur secara lengkap pelaksanaan suatu undang-undang dan menyerahkan penggunaan dan penerapannya pada pihak­pihak yang mengadakan hubungan hukum. Hal tersebut oleh Scholten disebut sebagai hukum dispositif.
Pada hukum fakultatif, pembentuk undang-undang juga memberikan perintah seperti halnya hukum imperatif, tetapi sifat perintah tersebut berbeda. Perbedaannya terletak pada perintah yang ditetapkan hanya terbatas pada petunjuk-petunjuk. Perintah petunjuk tersebut ditujukan langsung kepada penegak hukum, sedangkan pada hukum imperatif, perintah ditujukan langsung pada penegak hukum dan kepada pribadi pencari keadilan.
Pada umumnya, hukum imperatif dihubungkan dengan hukum publik, sedangkan hukum fakultatif dihubungkan dengan hukum perdata. Biasanya hukum publik mengatur hubungan antara pribadi dengan penguasa dan mengatur kepentingan umum, sedangkan hukum perdata mengatur hubungan antarmasyarakat.
Pada beberapa hukum positif, tetap terdapat pengaturan hukum perdata yang imperatif. Hal tersebut disebabkan oleh:
1)             Pembentuk undang-undang merasa perIu melindungi pribadi-pribadi yang oleh karena kurang mampu atau tidak dapat dipertanggung­jawabkan tindakannya, yang dapat berdampak merugikan dirinya sendiri.
2)             Pembentuk undang-undang menganggap perIu melindungi pihak-pihak yang secara ekonomis lemah.
3)             Dalam hal border case, terdapat aspek publik dan perdata secara bersamaan.
4)             Kumulatif terhadap pribadi yang kurang mampu, melindungi pihak yang secara ekonomi lemah dan border case.
5)             Terdapat syarat-syarat yang menyangkut kemampuan-kernampuan di bidang hukum sebagai kriteria perikelakuan yang sah dan mempunyai akibat hukum.
d.              Hukum substantif dan hukum ajektif
Hukum substantif atau hukum materiil dan hukum ajektif atau hukum formal dirumuskan sebagai berikut.
"Substantive law is that part of law which creates, delines, and regulated right... Adjective law is that part of the law witch provides a method for enforcing or maintaining rights, or obtaining redress for their invasion. (Henry Campbell Black: 1968).
Dari rumusan tersebut intinya adalah pada hak-hak dan kewajiban­kewajiban subjek hukum. Di dalam hukum substantif hal tersebut dirumuskan, sedangkan hukum ajektif memberikan pedoman bagaimana menegakkannya atau mempertahankannya di dalam praktik (termasuk bagaimana mengatasi pelanggarannya terhadap hak-hak dan kewajiban­kewajiban tersebut).
Lemaire berpendapat bahwa hukum materiil mengatur hubungan antar manusia (misalnya perjanjian-perjanjian yang harus dilaksanakan). Apabila
Pada umumnya, hukum imperatif dihubungkan dengan hukum publik, sedangkan hukum fakultatif dihubungkan dengan hukum perdata. Biasanya hukum publik mengatur hubungan antara pribadi dengan penguasa dan mengatur kepentingan umum, sedangkan hukum perdata mengatur hubungan antarmasyarakat.
Pada beberapa hukum positif, tetap terdapat pengaturan hukum perdata yang imperatif. Hal tersebut disebabkan oleh:
1)      Pembentuk undang-undang merasa perIu melindungi pribadi-pribadi yang oleh karena kurang mampu atau tidak dapat dipertanggung­jawabkan tindakannya, yang dapat berdampak merugikan dirinya sendiri.
2)      Pembentuk undang-undang menganggap perIu melindungi pihak-pihak yang secara ekonomis lemah.
3)      Dalam hal border case, terdapat aspek publik dan perdata secara bersamaan.
4)      Kumulatif terhadap pribadi yang kurang mampu, melindungi pihak yang secara ekonomi lemah dan border case.
5)      Terdapat syarat-syarat yang menyangkut kemampuan-kernampuan di bidang hukum sebagai kriteria perikelakuan yang sah dan mempunyai akibat hukum.
e.              Hukum substantif dan hukum ajektif
Hukum substantif atau hukum materiil dan hukum ajektif atau hukum formal dirumuskan sebagai berikut.
"Substantive law is that part of law which creates, delines, and regulated right... Adjective law is that part of the law witch provides a method for enforcing or maintaining rights, or obtaining redress for their invasion. (Henry Campbell Black: 1968).
Dari rumusan tersebut intinya adalah pada hak-hak dan kewajiban­kewajiban subjek hukum. Di dalam hukum substantif hal tersebut dirumuskan, sedangkan hukum ajektif memberikan pedoman bagaimana menegakkannya atau mempertahankannya di dalam praktik (termasuk bagaimana mengatasi pelanggarannya terhadap hak-hak dan kewajiban­kewajiban tersebut).
Lemaire berpendapat bahwa hukum materiil mengatur hubungan antar manusia (misalnya perjanjian-perjanjian yang harus dilaksanakan). Apabila
aturan-aturan semacam itu dilanggar, harus terjadi sesuatu yaitu hukum materiil harus ditegakkan dan hal itu terjadi di dalam suatu acara. Cara tersebut diatur dan aturan-aturannya disebut hukum formal. Hukum formal adalah hukum acara: hukum perdata, hukum acara pidana, hukum acara peradilan tata usaha negara, hukum acara perdata peradilan agama dan hukum acara peradilan militer.
Pembedaan hukum materiil dengan hukum formal didasarkan pada isi struktur tata hukum, yang memungkinkan dikelompok-kelompokkan, seperti hukum publik dan hukum perdata.
e.              Hukum tidak tertulis, hukum tercatat dan hukum tertulis hukum tidak tertulis
Hukum tidak tertulis (ongeschereven recht) merupakan sinonim dari hukum kebiasaan (gewonnte recht), yang di Indonesia juga disebut dengan nama hukum adat. (adat berarti kebiasaan, yakni perbuatan yang diulang­ulang dengan cara atau bentuk yang sarna). Hukum tertulis merupakan bentuk hukum tertua.
Dari segi bahasa, terdapat kesan bahwa ada persamaan antara kebiasaan dengan hukum tidak tertulis (= hukum kebiasaan), tetapi ada suatu hal esensial yang membedakannya. Pada hukum tidak tertulis didukung oleh teori-teori tentang kesadaran hukum (rechtsbewustzijn). Teori-teori tersebut bersumber pada mazhab sejarah terutama dari F.e. von Savigny (Soerjono Soekanto: 1979), yaitu hukum tidak tertulis merupakan bentuk hukum tertua sehingga kebiasaan bukanlah merupakan sumber hukum, akan tetapi merupakan suatu bentuk pengenal dari hukum positif.
Ehrlich juga berpendapat bahwa harus dibedakan antara kaidah-kaidah pergaulan hidup yang bersifat umum dan dikenal, dengan kaidah-kaidah hukum yang didasarkan pada kesadaran hukum. Ehrlich termasuk sarjana yang bertitik tolak dari kesadaran hukum yang ada di masyarakat.
Lemaire menyebutkan bahwa hubungan antara kesadaran hukum umum dengan hukum tidak tertulis terletak pada kriteria ada atau terjadinya hukum tidak tertulis, yang terdiri dari elemen faktual atau materiil dan elemen intelektual atau psikologis. (E.L.G Lemaire: 1952). Yang pertama terdiri dari kebiasaan yang terus menerus. Tidak hanya yang berhubungan dengan "tindakan" akan tetapi juga dengan "tidak berbuat," kebiasaan terwujud dengan adanya sikap tindak yang diulang-ulang, yang dalam masyarakat diartikan sebagai perikelakuan sederajat dalam keadaan-keadaan yang sarna. Elemen kedua mencakup kesadaran hukum sebagai suatu kesadaran bahwa suatu kebiasaan merupakan hukum (suatu opinion iuris atau opinion necessitates) .
Beberapa pertanyaan terhadap kesadaran hukum dengan hukum tidak tertulis adalah:
1)             Apakah syarat-syaratnya, bahwa suatu perikelakuan atau sikap tindak yang dilakukan berulang-ulang merupakan kebiasaan sehingga elemen materiil benar-benar terpenuhi?
2)             bagaimanakah menentukan sudah terdapat suatu opinio iuris necessitatis, sehingga elemen psikologis terpenuhi?
3)             Manakah yang terlebih dahulu terjadi, kebiasaan ataukah kesadaran hukum?
4)             Apakah di dalam proses selanjutnya, opinio iuris necessitatis harus selalu menjadi dasar kebiasaan, agar dapat dikualifikasikan sebagai hukum tidak tertulis.

Hukum Tercatat
Berkaitan dengan hukum tidak tertulis, ada kemungkinan bahwa hukum tidak tertulis tersebut benar-benar tidak tertulis (artinya, hukum tersebut hidup dalam masyarakat tidak atas dasar sesuatu yang tertulis), dan ada pula hukum tidak tertulis yang tercatat (artinya mungkin dicatat oleh pemimpin­pemimpin formal dan informal, atau oleh para sarjana atas dasar penelitian).
Paul Scholten menyatakan bahwa ada hukum tidak tertulis yang tidak tercatat dan ada yang tercatat, terformulasikan. Pencatatan tersebut dapat terjadi dalam keputusan peradilan, dan dapat terjadi dengan cara yang lain. Pencatatan tersebut mempunyai arti yang mandiri, akan tetapi hukum tidak tertulis yang tidak tercatat juga merupakan hukum. (Paul Scholten: 1954).
Apabila hukum tidak tertulis harus dicari dalam masyarakat, maka hukum yang tercatat dapat diketemukan dalam naskah-naskah tertentu yang mungkin berupa laporan-laporan resmi pejabat, keputusan hakim, ataupun laporan hasil-hasil penelitian yang pemah dilakukan.
Terdapat beberapa kondisi untuk menjelaskan keduanya, yaitu:
1)             Apabila dipermasalahkan mengenai hukum tercatat, maka kaitannya senantiasa pada hukum tidak tertulis.
2)             Hukum tercatat mencakup:
a)      Hukum    tercatat yang   fungsional atau  hukum yang didokumentasikan yang merupakan hasil pencatatan para pejabat, seperti pamong praja, hakim, kepala adat.
b)      Hukum tercatat yang ilmiah (sebagai hasil karya sarjana) adalah hasil-hasil penelitian para sarjana, terhadap hukum tidak tertulis yang berlaku dalam masyarakat-masyarakat, atau bagian-bagian masyarakat tertentu.

Hukum Tertulis

Hukum tertulis atau geschreven recht mencakup perundang-undangan dan traktat. Pembedaan yang nyata adalah cara pembuatannya, nasional (undang-undang) dan internasional (traktat), walaupun, undang-undang dapat berisikan hukum internasional seperti UU No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nation Convention Bioligical Diversity yang merupakan ratifikasi dari United Nation Convention on Biological Diversity 1992.
Kedudukan mana yang lebih tinggi antara undang-undang dan traktat?
Jawabannya tergantung pada aliran mana kita melihat, yaitu
1)             Aliran primat hukum internasional mengakui traktat lebih tinggi derajatnya daripada undang-undang yang harus mengalah pada traktat apabila isinya bertentangan.
2)             Aliran primat hukum nasional menganggap bahwa hukum nasional (undang-undang) memiliki derajat yang lebih tinggi dari hukum internasional (traktat).
3)             Aliran kesamaan derajat yang menganggap tidak adanya perbedaan kedudukan antara undang-undang dan traktat karena hanya menunjuk pada perbedaan saat berlakunya masing-masing, lebih baru yang mana? Apabila terdapat pertentangan, maka ketentuan yang terakhir membatalkan ketentuan yang terdahulu.
Apabila dibandingkan an tara hukum tertulis dengan hukum tidak tertulis, maka persamaannya terletak pada sumber isinya serta kekuatan mengikatnya. Dilihat dari sumber isinya, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis (harus) bersumber pada cita-cita hukum masyarakat. Agar isi undang-undang sesuai dengan cita-cita hukum masyarakat, pembuatannya harus memenuhi beberapa syarat.
Apabila dipandang dari sudut kekuatan mengikatnya, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis didasarkan pada kesadaran hukum masyarakat. Secara asumtif dapat dikatakan bahwa dengan bentuknya yang tertulis, maka lebih terjarnin adanya kesatuan (uniforrnitas atau keseragaman), kepastian dan kesederhanaan dalam hukum, tetapi tidak boleh dikontradiksikan bahwa ketiga hal tersebut tidak terdapat pada hukum tidak tertulis.

RANGKUMAN

Kaidah hukum yang kini berlaku di masyarakat ada yang dalam bentuk tertulis dan ada pula dalam bentuk yang tidak tertulis yang berasal dari ad at dan kebiasaan. Selain kaidah hukum, terdapat juga kaidah-kaidah lain yang berupa kaidah sosial, yaitu kaidah agama atau kepercayaan, kaidah kesusilaan, dan kaidah kesopanan. Selain itu, juga dijelaskan perbedaan kaidah hukum dengan kaidah sosial lainnya yang dapat dilihat dari unsur asal-usul, sasaran, isi, tujuan dan sanksinya.
Uraian tentang pembidangan hukum dapat menghasilkan usaha dikotorni. Apabila uraian aneka dikotorni yang telah dibahas tersebut disimpulkan maka perbedaan an tara ius constitutum dan ius constituendum mengulas perbedaan eksistensi yakni sekaranglsudah ada atau nantilbelum ada; perbedaan antara hukum alam dan hukum positif menujukan perbedaan wilayah berlakunya, yakni universal/global atau nasional/regional; perbedaan antara hukum imperatif dan hukum fakultatif menegaskan perbedaan sifat rigid atau fleksibel; perbedaan antara hukum substantif dan hukum ajektif menguraikan perbedaan isinya, yakni mengenai pengukuhan peranan (hak dan kewajiban) atau cara penindakan pengingkaran peran; perbedaan antarhukum tidak tertulis, hukum tercatat dan hukum tertulis dengan melihat keadaan bentuknya.