MODUL
12
HUKUM
ACARA
PENDAHULUAN
Hukum materiil merupakan serangkaian peraturan yang
member hak dan membebani kewajiban-kewajiban. Dalam hal interaksi kehidupan
sehari-hari hampir bisa dipastikan bahwa setiap orang bersinggungan dengan hukum materiil. Karena
dalam kehidupan sehari-hari, tindakan apapun yang dilakukan seseorang biasanya
adalah dalam kerangka memenuhi hak dan kewajibannya.
Untuk melaksanakan atau mempertahankan hukum materiil
maka diperlukan sebuah serana yang diasumsikan bisa menjadi tool untuk itu.
Hukum formal adalah seperangkat peraturan yang menjadi fasilitasi untuk
melaksanakan dan mempertahankan hukum materiil. Hukum Acara Pidana, Hukum Acara
Perdata dan Hukum Acara PTUN , adalah beberapa hukum formal yang akan menjadi
sarana mempertahankan dan menegakan hukum materiil .
Modul ini akan menjelaskan terkait :
1. Mendifinisikan pengertian sekaligus
memahami posisi hukum acara Pidana sebagai hukum formal dari hukum Pidana
materiil;
2. Mengetahui sumber-sumber hukum
acara pidana;
3. Memahami proses dan tahapan hukum
acara pidana;
4. Mengenal secara umum konsepsi
tentang bantuan hukum;
5. Mendifinisikan pengertian sekaligus
memahami posisi hukum acara Perdata sebagai hukum formal dari hukum perdata
materiil;
6. Mengetahui sumber-sumber hukum
acara perdata;
7. Memahami proses dan tahapan hukum
acara perdata;
8. Mengenal beberapa asas penting dalam
hukum acara perdata;
9. Mengidentifikasi bentuk-bentuk
putusan acara perdata dan proses eksekusinya;
10. Mendefinisikan peradilan tata usaha
Negara (PTUN) sekaligus memahami posisinya sebagai hukum formal dari hukum
materiil TUN;
11. Mengetahui objek-objek sengketa
yang bisa diajukan di PTUN;
12. Kewenangan dari PTUN;
13.
Subjek
hukum dari PTUN dan ketentuan beracara dari peradilan tentang permasalahan
terkait tata usaha Negara.
KEGIATAN
BELAJAR 1
HUKUM
ACARA PERDATA
A. PENGERTIAN
Hukum sebagai suatu sitem yang terdiri
dari peraturan perundang-undangan yang begitu komplek baik diliat dari segi
tingkatan, materi pengaturan, saat pembuatan dan lain sebagainya, pada dasarnya
dapat di klasifikasi. Salah satu kriteria untuk melakukan klasifikasi adalah
dengan mendasarkan pada fungsi hukum yang dibagi menjadi hukum materiil
(substantive law) dan hukum formal (objective law).
Berkaitan dengan kategori hukum
berdasarkan fungsinya ini, hukum acara perdata dimasukan sebagai hukum perdata
formal karena ia merupakan ketentuan hukum yang mengatur bagaimana caranya
mempertahankan, menjamin, sekaligus menegakan hukum perdata materiil melalui
hakim dipengadilan (Sudikno Mertokusumo, 1993:2). Dengan kata lain hukum acara
perdata tidak lain dan tidak bukan adalah semua kaidah hukum yang menentukan
dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
perdata sebagaimana diatur dalam hukum perdata materiil.
Melalui proses hukum acara perdata
seperti ini, maka orang dapat memulihkan kembali haknya yang telah dirugikan
dan terhindar dari tindakan main hakim sendiri (eigenrichting), sesuatu yang
oleh hukum itu sendiri dilarang.
Wirjono Prodjodikoro menyatakan
bahwa hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara
bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara
bagaimana pengadilan itu bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan
berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata (Abdul Kadir Muhammad,
1996:17). Dalam hukum acara Perdata,
inisiatif ada atau tidanya suatu perkara berada ditangan pihak-pihak yang
merasa mempunyai hak atau merasa haknya dilanggar, yaitu penggugat.
Hak ini berbeda dengan hukum acara
pidana, yang umumnya tidak mengantungkan adanya inisiasi berperkara dari orang
yang dirugikan atau menjadi korban suatu perbuatan criminal. Missalnya terjadi
suatu perampokan, tampa menunggu pengaduanpun, pihak yang berwajib sudah bisa
melakukan tindakan hukum yang diperlukan.
B. SUMBER HUKUM ACARA PERDATA
Ada beberapa sumber hukum acara
perdata Indonesia. Sumber-sumber hukum tersebut adalah sebagai berikut :
1. Het
Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dan Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg.)
HIR untuk daerah Jawa dan Madura dan Rbg untuk daerah luar Jawa dan Madura, ini
berdasarkan pada ketentuan Pasal 5 Ayat 1 UU darurat No. 1 tahun 1951 yang
menentukan bahwa hukum acara perdata pada Pengadilan Negeri berdasarkan
peraturan-peraturan Republik Indonesia terdahulu, yang sudah ada dan berlakuk
untuk Pengadilan Negeri dalam daerah republic Indonesia (Sudikno Mertokusumo,
1993:6).
2. Reglement
tentang Organisasi Kehakiman (Reglement op de
rechterlijke Organisatie in her beleid der justitie in Indonesia) yang
disingkat RO.
3. Burgerlijk
wetboek voor Indonesie (disingkat BW) buku ke IV.
4. Reglement
Catatan sipil yang memuat peraturan-peraturan hukum acara perdata yang sejak
semula hanya berlaku untuk golongan tertentu yang baginya berlaku hukum perdata
barat.
5. Beberapa
undang-undang yang relevan, anatara lain :
a. UU
No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman;
b. UU
No 1.Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP no 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaannya;
c. UU
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dimana didalamnya ada ketentuan
pemberlakuan HIR;
d. UU
No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan UU No. 5 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas UU No. 14 tahun1985.
e. UU
No.2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan UU No. 8 tahun 2004 tentang
Perubahan atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum;
f. UU
No. 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan Peradilan Ulangan yang mengatur tentang
Persoalan Banding khusus untuk wilayah Jawa dan Madura, sedangkan diluar Jawa
dan Madura diatur dengan Rbg. (Pasal 199-205).
6. Yurisprudensi.
Misalnya Putusan MA tanggal 14 April 1974 No. 99 K/Sip?1971.
7. Adat
Kebiasaan.
8. Perjanjian
Internasional.
9. Doktrin.
10. Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA). Catatan untuk SEMA
sepanjang mengatur hukum acara perdata dan hukum perdata materiil tidaklah
mengikat hakim sebagaimana sebua Undang-undang. Akan tetapi ia merupakan sumber
tempat hakim dapat menggali hukum secara perdata maupun hukum perdata materiil.
C. ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA
Dalam proses acara Perdata ada
beberapa asas penting yang harus diperhatikan, yaitu :
1. Beracara
dengan hadir sendiri, diatur dalam pasal 123 HIR dan 147 Rbg.
2. Beracara
dikenakan biaya
3. Pemeriksaan
perkara dalam siding pengadilan terbuka. Tercantum dalam pasal 19 ayat 1 UU No.
4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman “setiap
pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum dan tidak dipenuhi asas ini
berakibat putusan batal demi hukum”
4. Hakim
mendengar kedua belah pihak, dalam acara perdata dikenal asas audit et alteram
partem yang bearti bahwa baik pihak penggugat ataupun tergugat harus sama-sama
didengar keterangan-keterangannya oleh hakim dan hakim tidak boleh memihak
kepada salah satu pihak yang berperkara.
5. Terikatnya
hakim kepada alat pembuktian, ketentuan mengenai alat pembuktian diatur dalam
pasal 164 HIR, dan pasal 284 Rbg, dan Pasal 1866 KUH Perdata meliputi :
a.
Alat
Bukti tulisan;
b.
Alat
bukti saksi;
c.
Persangkaan;
d.
Pengakuan;
e. Sumpah.
Didalam praktek masih ada alat bukti lain yang sering dipergunakan yaitu
pemeriksaan setempat (decentee) dan keterangan Ahli.
6. Putusan
hakim harus memuat alasan-alasannya, berkenaan dengan hal ini Pasal 184 ayat 1
HIR dan Pasal 195 ayat 1 Rbg serta Pasal 25 ayat 1 UU No. 4 tahun 2005
menetukan bahwa semua Putusan Pengadilan harus memuat alasan-alasan yang
dijadikan alasan mengadili atau memutus.
D. SIFAT KEPUTUSAN HAKIM
Putusan Hakim ini sebenarnya bukan
satu-satunya bentuk penyelesaian perkara karena disamping putusan hakim
(Penyelesaian dalam peradilan contentious) ada pula penetapan hakim yang
merupakan penyelesaian dalam peradilan volunteer.
Putusan hakin adalah pernyataan
hakim sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan
dipersidangan dengan tujuan untuk menyelesaikan sengketa. Putusan Hakim
mempunyai kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian dan kekuatan eksekutorial.
Pada dasarnya suatu putusan hakim dapat diperinci menjadi bagian tentang kepala
putusan, identitas para pihak yang berperkara, pertimbangan (considerans) dan
dictum (amar).
Ada tiga macam putusan yang bisa
dijatuhkan oleh hakim dalam muara akhir proses acara perdata, yaitu :
1. Putusan
Comdemnatoir (Comdemnatoir vonnis,
Condemnatory judgement), yaitu Putusan yang bersifat menghukum.
Seperti MENGADILI……
2. Putusan
Declaratoir, putusan yang bersifat menyatakan hukum, atau menegaskan suatu
keadaan hukum semata-mata. Dalam Putusan ini dinyatakan bahwa keadaan hukum
yang dimohonkan itu ada atau tidak ada, misalnya…..MENETAPKAN : menerima
permohonan, bahwa……..
3. Putusan
Constitutief, yaitu Putusan yang bersifat menghentikan atau menimbulkan keadaan
hukum baru.
E. PELAKSANAAN PUTUSAN
Perlu diketahui bahwa tidak semua
putusan yang berkekuatan hukum tetap (in
kracht van gewijsde) harus dilaksanakan (dieksekusi), karena yang perlu
dilaksanakan hanyalah putusan-putusan yang bersifat comdemnatoir, yaitu yang mengandung suatu perintah kepada salah satu
pihak untuk melakukan suatu perbuatan.
Untuk melaksanakan putusan hakim
sering diperlukan upaya-upaya tertentu sebagai berikut :
1. Eksekusi
riil, yaitu sungguh-sungguh dijalankan seperti yang diputuskan.
2. Pensitaan
barang milik terhukum untuk dilelang dalam hal putusan hakim itu menghukum
untuk membayar sejumlah uang.
3. Uang
pemaksa (dwangsom).
Diluar
3 macam eksekusi diats, pasal 1155 dan Pasal 1175 (2) KUH Perdata masih
mengenal satu macam eksekusi lagi yang disebut dengan istilah “parate executie”
(eksekusi langsung). Menurut ketentuan Pasal 195 (1) HIR, Pasal 206 (1) Rbg
disebutkan bahwa Pejabat yang memerintahkan dan memimpin eksekusi adalah Ketua
Pengadilan Negeri. Wewenang ini adalah wewenang ex officio, proses eksekusi ini
dumulai dengan diajukannya permohonan
oleh Penggugat baik secara lisan maupun tertulis kepada ketua PN. Atas permohonan
tersebut Ketua PN akan membuat surat Penetapan untuk melakukan panggilan kepada
Tergugat untuk diberikan aanmaning (tegoran) maksimal 8 hari. Dalam hal
tergugat dating dan masa aanmaning sudah terlewati maka dalam eksekusi riil
segera akan dikeluarkan surat Perintah Eksekusi, sedangkan dalam eksekusi
pembayarn uang akan dikeluarkan Surat Perintah Sita Eksekusi (termasuk eksekusi
melakukan perbuatan sepanjang digunakan penggantian prestasi sebagaimana diatur
dalam Pasal 225 HIR).
KEGIATAN
BELAJAR 2
HUKUM
ACARA PIDANA
A.
PENGERTIAN
Sesuai
judul Undang-undang No. 8 tahun 1981, nama Hukum acara Pidana di Indonesia
adalah Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana yang diundangkan dalam Lembaran Negara Indonesia Tahun 1981 Nomor
76, Tambahan Lembaran Negara RI nomor 3209 ini mencabut dan menggantikan
Undang-undang tentang Acara Pidana yang berlaku sebelumnya (Het Herziene
Inlandsch Reglement atau H.I.R) setelah berlakunya KUHAP maka H.I.R (staatsblad
Tahun 1941 Nomor 44 dihubungkan dengan Undang-undang nomor 1 Drt. Tahun 1951 (Lembaran Negara tahun 1951 Nomor 9,
tambahan Lembaran Negara Nomor 81) beserta semua peraturan pelaksanaannya
dinyatakan tidak berlaku.
Berdasarkan
cara kerjanya, pengertian hukum pidana meliputi hukum pidana materiil dan
Formal. Hukum Pidana Materiil merupakan sekumpulan kaidah yang mengatur
larangan dan keharusan yang disertai sanksi Pidana bagi pelanggarnya. Hukum
Pidana Materiil juga disebut sebagai hukum in abstracto. Sedangkan Hukum Pidana
Formal, merupakan sekumpulan kaidah yang mengatur tentang tata cara alat Negara
(penegak huku) untuk menegakkan hukum materiil bagi pelanggarnya. Hukum Formal
juga disebut hukum pidana dalam arti in konkrito atau hukum acara pidana.
Hukum
pidana identik dengan adanya saksi yang berupa pidana, oleh karena itu
penerapannya harus betul-betul cermat dan sesuai dengan kejadian yang
sesungguhnya. Terpidana harus benar-benar sebagai pelakunya dan dia juga hanya
boleh dihukum sesuai dengan tingkat kesalahan, kebenaran yang dituju adalah
kebenaran materiil, yaitu untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya
mendekati kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari sutu perkara pidana.
Dalam
proses pembuktian tersebut hakim berkewajiban menggali kebenaran yang
sebenarnya, sehingga yakin bahwa terdakwa sebagai pelakunya dan dapat
dipersalahkan (dipertanggung jawabkan). Berdasarkan ketentuan pasal 183 KUHAP,
hakim dapat menjatuhkan putusan yang berupa sanksi pidana apabila dirinya yakin
bahwa terdakwa sebagai orang yang bersalah dan terdapat minimum 2 alat bukti
yang sah (negatief wetelike bewijst theorie), sedangkan alat bukti yang sah
menurut KUHAP (pasal 184 KUHAP) ada 5, yaitu :
1.
Keterangan
saksi.
2.
Keterangan
Ahli.
3.
Surat.
4.
Petunjuk.
5.
Keterangan
Terdakwa.
B.
SUMBER
HUKUM ACARA PIDANA
Peraturan
perundang-undangan merupakan sumber hukum yang utama, namun demikian isi
peraturan perundang-undangan kadang tidak lengkap dan oleh karena itu
diperlukan sumber hukum diluar Undang-undang. KUHAP merupakan ketentuan umum
yang berlaku dalam setiap pemeriksaan perkara pidana umum demikian KUHAP bukan
satu-satunya sumber hukum acara pidana. Secara garis besar disebutkan dalam
pasal 284 KUHAP bahwa “terhadap semua perkara diperlukan ketentuan
dalam KUHAP, kecuali diberlakukan secara khusus dalam peraturan
perundang-undangan tersendiri”. (Lex specialis derogate legi generalis)
C.
TUJUAN
KUHAP
Tujuan
KUHAP antara lain adalah sebagai berikut :
1. Mengganti
Hukum Acara Pidana lama (HIR), yang sudah tidak sesuai lagi dengan jiwa
kemerdekaan dan hak asasi manusia.
2. Peningkatan
kesadaran umum masyarakat, yaitu agar setiap anggota masyarakat dapat
menghayati, melaksanakan hak dan kewajiban yang dimiliki.
3. Meningkatkan
SDM (Intelektual dan moral) para penegak hukum, yaitu berupa peningkatan
manajemen penanganan perkara, profesionalisme dan sikap mental penegak hukum.
4. Tegaknya
keadilan, ketertiban dan kepastian hukum, yaitu hukum sebagai sarana untuk
memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat yang mendapat perlakuan melawan hukum dengan sauatu penjatuhan sanksi
pidana sesuai dengan hukum yang berlaku, melalui proses peradilan jujur dan
adil serta terjaminnya hak-hak korban maupun tersangka.
5. Melindungi
Harkat dan Martabat manusia.
D.
PENYELIDIKAN
DAN PENUNTUTAN
Penyelidikan,
adalah tindakan penyelidik, untuk mencari dan menemukan sesuatu keadaan atau
peristiwa yang diduga sebagai tindakan pidana, guna menetukan dapat atau
tidaknya dilakukan penyelidikan (Pasal 1 butir 5 jo Pasal 4 KUHAP). Setiap
anggota polisi adalah penyelidik, jadi polisi punya kewenangan melakukan
penyelidikan atas suatu peristiwa yang diduga mengandung unsure pidana. Selain
POLRI kewenangan dibidang penyelidikan juga dapat dilakukan oleh Pejabat
tertentu untuk melakukan penyelidikan perkara tertentu, misalnya oleh pejabat
pada Pusat pelaporan dan Analisis Transaksi keuangan (PPATK) pada dugaan
transaksi keuangan yang mencurigakan
(Tindak Pidana Pencucian uang), serta anggota Komnas HAM dalam pelaporan
pelanggaran HAM.
Penyidik
adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengumpulkan alat bukti guna membuat
terang/ menemukan tersangkanya (Pasal 1 ke 2 KUHAP). Tugas penyidikan dilakukan
oleh Polri dengan pangkat paling rendah
Ajun Inspektur Polisis Dua (Aipda) dan mendapatkan atau diangkat untuk melakukan tugas penyidikan, serta
Pejabat Pegawai negeri Sipil (PPNS) yang diangkat dan mempunyai kewenangan
dalam menangani perkara tertentu
Untuk
memperlancar tugas-tuganya, penyidik mempunyai hak dan kewajiban sebagai
berikut :
1. Melakukan
tindakan yang menjadi kewenagan penyidik.
2. Melakukan
penangkapan, penahanan,penyitaan, penggeledahan.
3. Mengambil
sidik jari dan memotrek seseorang.
4. Memanggil
seseorang sebagai saksi atau tersangka untuk didengar keterangannya sebagai
tersangka.
5. Mendatangkan
seorang ahli untuk dimintai keterangannya.
6. Mengeluarkan
surat penetapan penghentian penyidikan (SP3).
7. Mengadakan
tindakan tertentu menurut hukum yang dapat dipertanggung jawabkan.
E.
UPAYA
PAKSA
Guna
kepentingan kelancaran pemeriksaan maupun pembuktian dalam perkara Pidana, penyidik,
penuntut umum maupun hakim diberi kewenangan
oleh Undang-undang untuk melakukan upaya paksa. Namun sesuai dengan asas
legalitas, praduga tak bersalah maupun perlindungan hukum terhadap tersangka.
Penggunaan upaya paksa tetap dibatasi oleh ketentuan Undang-undang. Jenis Upaya
paksa yang dapat dilakukan oleh penegak hukum adalah penangkapan, penahanan,
penggeledahan dan penyitaan.
F.
PRA
PENUNTUTAN
Setelah
penyidikan dinilai cukup, maka penyidik menyerahkan berkas perkara penyidikan
kepada jaksa, dalam waktu 7 hari jaksa menilai tentang kelengkapan alat bukti
maupun berkas perkara yang diserahkan oleh penyidik. Pemeriksaan berkas perkara
oleh jaksa meliputi :
1. Waktu
dan tempat kejadian perkara (tempus dan
locus delicti).
2. Kedudukan
tersangka (usia, keterlibatan dalam perkara).
3. Perbuatan
pidana yang dilakukan serta peraturan perundang-undangan maupun pasal-pasal
yang dilanggar.
4. Syarat
Formal yang dibutuhkan (misalnya terhadap delik aduan).
5. Alat
bukti yang dikumpulkan dan atau diperlukan untuk pembuktian di depan
pemeriksaan siding pengadilan.
G.
PENUNTUTAN
Penuntutan
adalah tindakan penuntut umum (jaksa) untuk melimpahkan perkara pidana ke
pengadilan negeri yang berwenang memeriksa perkara, dengan permintaan supaya
diperiksa dan diputus oleh hakim disidang pengadilan. Surat dakwaan harus
memenuhi persyaratan :
1. Formal,
yaitu berupa identitas terdakwa seperti nama lengkap, tempat tinggal, tempat
dan tanggal lahir atau umur, agama dan pekerjaan.
2. Materiil,
yaitu uraian singkat namun cermat, jelas dan lengkap tentang tindak pidana yang
didakwakan serta uraian tentang waktu dan tempat tidak pidana dilakukan.
Bentuk surat dakwaan dapat dibuat dalam
bentuk :
1. Tunggal,
yaitu apabila hanya ada satu perbuatan pidana yang didakwakan terhadap terdakwa, misalnya terdakwa hanya sekali
membeli barang hasil kejahatan, maka
pasal yang diterapkan 480 KUHP.
2. Alternatif,
yaitu apabila terdakwa hanya satu perbuatan pidana saja, namun kurang yakin ats
penerapan pasal yang paling tepat, sesuai dengan perbuatan yang dilakukan.
Misalnya korban mati, maka terdakwa diancam pidana pokok pembunuhan dengan
sengaja (Pasal 338 KUHP), alternatifnya penganiayaan yang menyebabkan mati
(Pasal 351 ayat 3).
3. Subsider,
yaitu apabila terdakwa melakukan 1 perbuatan saja namun ada beberapa pasal yang
mengancam dengan sanksi pidana. Misalnya pemalsuan Ijasah, terdakwa diancam
dengan sanksi pidana dalam Undang-undang SISDIKNAS (UU No. 20 Tahun 2003),
subside KUHP 263.
4. Kumulatif,
yaitu apabila terdakwa melakukan beberapa perbuatan pidana, dan satu perbuatan
dengan perbuatan lainnya belum diperiksa oleh badan yang berwenang. Misalnya
terdakwa merampok, menyimpan bahan peledak, peledakan bom disuatu tempat dan
baru ketangkap, maka kepada terdakwa didakwa atas beberapa perbuatan yang
pernah dilakukan.
5. Kombinasi
antara komulatif dan subsidier atau komulatif dengan alternative.
H.
PRAPERADILAN
Praperadilan,
merupakan kewenangan peradilan untuk memeriksa dan mengadili sah atau tidaknya
penangkapan, sah atau tidaknya penahanan, sah atau tidaknya penghentian
penyidikan, sah atau tidaknya penghentian penuntutan serta rehabilitasi dan
atau ganti rugi sebagai akibat dari :
1. Ditangkap,
ditahan, dituntut, dan diadili atau tindakan lain tampa alasan yang sah
berdasarkan undang-undang.
2. Sahnya
penghentian penyidikan atau penuntutan.
3. Akibat
kekeliruan mengenai orang.
Permohonan
praperadilan dapat diajukan oleh :
1. Tersangka
atau keluarganya atau kuasa hukumnya, dalam hal ada penangkapan atau penahanan
atau tindakan lain tampa alasan UU atau kekeliruan mengenai orangnya, serta
permohonan reabilitasi dang anti kerugian atas sahnya penghentian penyidikan,
penuntutan atau karena adanya tindakan lain yang tidak berdasarkan UU.
2. Pihak
ketiga yang berkepentingan dalam hal adanya penghentian penyidikan atau
penuntutan.
3. Penyidik
dalam hal dihentikan perkara oleh penuntut umum.
4. Penuntut
umum dalam hal dihentikan perkara oleh penyidik.
Acara siding praperadilan :
1. Siding
praperadilan diperiksa oleh hakim tunggal.
2. Dalam
waktu 3 hari setelah diterimanya berkas permohonan, harus sudah ditentukan
waktu siding.
3. Dalam
waktu 7 hari hakim sudah harus menjatuhkan putusan.
4. Dalam
hal perkara pokoknya sudah disidangkan, maka permohonan praperadilan dinyatakan
gugur.
5. Permohonan
praperadilan ditingkat penyidikan , memungkinkan untuk diajukan kembali pada
tingkat penuntutan sepanjang diajukan permohonan baru.
6. Putasan
praperadilan tidak ada upaya hukum kecuali atas putusan tentang tidak sahnya
penghentian penyidikan atau penuntutan.
I.
PEMERIKSAAN
SIDANG
Beberapa
prinsip yang harus diutamakan pada pemeriksaan sidang diantaranya sebagai
berikut :
1. Cepat,
sederhana dan biaya ringan.
2. Terbuka
untuk umum, kecuali dalam perkara kesusilaan dan anak, jalannya pemeriksaan
berlangsung secara tertutup, namun pada waktu pembukaan maupun pembacaan harus
dinyatakan terbuka untuk umum.
3. Mengutamakan
kehadiran terdakwa, kecuali dalam perkara tertentu, dapat dilakukan tampa
kehadiran terdakwa (in absentia), yaitu dalam perkara lalu lintas atau tindak
pidana tertentu.
4. Diperiksa
oleh hakim majelis, kecuali dalam perkara dengan pemeriksaan cepat dan
pemeriksaan permohonan praperadilan, dapat diperiksa oleh hakim tunggal.
5. Hakim
tidak boleh memiliki tali persaudaraan dengan hakim lain, penuntut umum,
panitera, penasehat hukum, dan terdakwa karena pertalian darah maupun sumenda
sampai derajat ke tiga, maupun hubungan suami isteri walaupun sudah bercerai.
6. Lebih
dahulu mendengarkan keterangan saksi.
7. Pemeriksaan
terhadap tersangka maupun keterangan saksi diberikan secara langsung.
8. Keterangan
terdakwa maupun saksi diberikan secara bebas.
J.
ACARA
PEMERIKSAAN BIASA
Dalam
perkara pidana pada prinsipnya harus menghadirkan terdakwa, kecuali oleh
Undang-undang ditentukan khusus dapat diperiksa diluar kehadiran terdakwa
(pemeriksaan secara in absensia) misalnya dalam perkara korupsi, pencucian
uang, penyelundupan, perkara pelanggaran lalu lintas dan lain-lain sebagainya.
Setelah
terdakwa dihadirkan didepan persidangan,
kemudian hakim memeriksa identitas terdakwa, apabila sudah sesuai dengan
identitas terdakwa yang diperiksa, maka hakim akan memberikan kesempatan untuk
membacakan surat dakwaannya. Berikutnya terdakwa atau penasehat hukumnya diberi
kesempatan untuk membacakan nota pembelaan (Eksepsi). Apabila terdakwa atau
penasehat hukumnya belum siap, maka sidang ditunda, waktu penundaan biasanya
antara 3 hari sampai 2 minggu
Materi
eksepsi berkisar tentang kewenangan pengadilan (kompetensi) untuk memeriksa
perkara, kejelasan tentang materi dakwaan, maupun sepintas alasan tentang
adanya penghentian perkara, dakwaan yang tidak memenuhi unsure formal maupun
materiil, terdapat alasan pemaaf, pembenar maupun dihentikan demi hukum.
Giliran
selanjutnya hakim member kesempatan kepa jaksa untuk membuat jawaban atas
eksepsi. Berdasarkan kedua hal tersebut maka hakim akan menjatuhkan putusan
sela yang berisi penolakan atau
penerimaan eksepsi. Kepada pihak yang ditolak
diberi kesempatan mengajukan upaya hukum kepengadilan tinggi, dalam
waktu 7 hari, setelah putusan disampaikan kepada para pihak. Pengadilan tinggi
mengambil keputusan yang dapat berisi :
1. Menerima
Putusan Pengadilan Negeri.
2. Menolak
Putusan Pengadilan Negeri.
3. Menyerahkan
langsung ke Pengadilan negeri lain yang masih dalam wilayah hukumnya.
4. Mengembalikan
berkas perkara ke Kejaksaan agar disidangkan ke Pengadilan Negeri lain diluar
wilayah hukumnya.
Dalam
pemeriksaan dilanjutkan oleh pengadilan negeri, maka hakim memeriksa alat-alat
bukti yang diajukan baik oleh jaksa ataupun terdakwa/ penasehat hukumnya. Alat
bukti pertama yang diperiksa adalah alat bukti yang diajukan oleh penuntut
umum, setelah selesai maka alat bukti yang diajukan oleh terdakwa. Apabila
pemeriksaan alat bukti selesai , hakim member kesempatan kepada jaksa untuk
membuat dan membacakan surat tuntutan.
Berdasarkan
surat tuntutan, hakim member kesempatan kepada terdakwa untuk mengajukan
pledoi. Setelah itu hakim member kesempatan kepada jaksa untuk mengajukan
jawaban atau pendapat atas adanya pledoi (replik), berikut hakim memberikan
kesempatan kepada terdakwa untuk mengajukan duplik dan seterusnya, hingga
menurut penuntut umum maupun hakim, persidangan dianggap cukup.
Setelah
replik-duplik selesai, acara sidang berikutnya adalah putusan. Tata cara
pengambilan putusan diatur sebagai berikut :
1. Hakim
ketua majelis memberikan kesempatan pertama kepada anggota hakim majelis yang
termuda untuk mengumumkan pendapat dan alasannya, dan seterusnya.
2. Pada
prinsipnya putusan diambil dengan musawarah, namun bila tidak terjadi
kesepakatan dilakukan dengan pengambilan suara.
3. Apabila
masih tidak terjadi perbedaan pendapat yang seimbang, maka akan diambil
keputusan yang paling menguntungkan terdakwa.
K.
ACARA
PEMERIKSAAN SINGKAT
Pemeriksaan
sidang perkara pidana dengan acara pemeriksaan singkat diajukan/ dilakukan oleh
jaksa maupun hakim apabila perkara pidana baik berupa kejahatan atau
pelanggaran yang menurut jaksa penuntut umum cara pembuktian maupun penerapan
hukum mudah dan sifatnya sederhana. Pemeriksaan perkara singkat dilakukan tampa
perlu adanya surat dakwaan khusus dari jaksa.
L.
ACARA
PEMERIKSAAN CEPAT
Dilakukan
terhadap perkara yang dikategorikan sebagai perkara ringan, yaitu perbuatan
pidana yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lebih 3 bulan
dan atau denda paling banyak Rp 7.500 penghinaan ringan, serta tindak pidana
dalam pelanggaran lalu lintas.
M.
JENIS
PUTUSAN
Jenis
putusan yang ada dalam hukum pidana adalah :
1. Putusan bebas,
apabila seluruh dakwaan jaksa tidak terbukti.
2. Putusan lepas,
apabila dakwaan jaksa terbukti, tetapi bukan merupakan perbuatan pidana, serta
terdapat alasan penghapus pidana dan penghapus penuntutan.
3. Putusan Pidana,
apabila :
a. Perbuatan
yang dilakukan merupan perbuatan pidana.
b. Dakwaan
terbukti atau terdapat alat bukti yang cukup.
c. Tidak
ada alasan penghapus pidana.
N.
UPAYA
HUKUM
Upaya
hukum diberikan kepada terdakwa, jaksa, terpidana dan keluarganya atas putusan
hakim baik yang sudah berkekuatan hukum tetap maupun belum, dalam hal terdapt alasan-alasan yang
dibenarkan oleh hukum. Upaya hukum terdiri dari :
1. Verset
(perlawanan), Verset diajukan karena
adanya putusan verstek
2.
Biasa.
a. Banding,
banding dapat diajukan untuk semua putusan hakim PN, kecuali untuk putusan
bebas, putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dan putusan dalam acara cepat
(kecuali putusan berupa perampasan kemerdekaan). Alasan mengajukan banding
bahwa hakim khilaf atau kurang perhatian, kurang sempurna dalam hal-hal yang
terungkap dalam persidangan, dan jika hakim tidak tepat mempergunakan istilah
atau keliru dalam menafsirkan unsure-unsur perbuatan pidana.
b. Kasasi,
putusan bebas tidak dapat diajukan banding, tetapi dapat diajukan kasasi dengan
alasan demi hukum, keadilan dan kebenaran. Alasan yang dapat digunakan untuk
mengajukan kasasi adalah adanya penerapan hukum yang tidak tepat, salah atau
ada aturan hukum tetapi tidak diterapkan, terdapat kesalahan dalam penerapan
hukum acara, maupun jika hakim dianggap telah melampaui batas wewenang.
3.
Luar
biasa
a. Peninjauan
Kembali (PK) dilakukan dengan syarat : diajukan
untuk semua Putusan pemidanaan, kecuali putusan bebas dan lepas dapat diajukan
PK oleh terpidana atau keluarganya (penasehat hukum). Pengajuan PK hanya untuk
1 kali namun tidak ada batasan waktu. Alasan PK dapat diajukan jika ada novum
(bukti baru) yang apabila diketemukan pada saat pemeriksaan sedang berlangsung
akan menyebabkan : Perkara diputus bebas, perkara diputus lepas dari segala
tuntutan hukum, tuntutan tidak bisa diterima, atau kemungkinan adanya pidana yang
lebih ringan.
b. Kasasi
demi kepentingan hukum : dalam kasasi ini pemohon adalah jaksa Agung
yang memiliki hak untuk mengajukan 1 kali dengan syarat putusan kasasi tidak
boleh merugikan kepentingan pihak lain. Adapun tujuan untuk mencari atau
menemukan persamaan persepsi atas ketentuan hukum positif (yang diterapkan),
atau terdapat kekeliruan/ keteledoran atas keputusan yang sudah berlaku tetap.
O.
BANTUAN
HUKUM
Bantuan
hukum adalah pemberian jasa hukum kepada klien (perorangan, badan hukum,
lembaga lainnya) baik diluar maupun di dalam pengadilan. Jasa hukum meliputi,
memberikan Konsultasi hukum, Bantuan Hukum, menjalankan Kuasa, mewakili,
mendampingi, membela dan melakukan tindakan lain untuk kepentingan klien.
Pemberi jasa bantuan hukum disebut Advokat, pengangkatan Advokat dilakukan oleh
Organisasi Profesi Advokat (Peradi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar