Minggu, 25 Agustus 2019

Hukum Ketenagakerjaan. Modul 3


MODUL 3
Hubungan Kerja
Purbadi Hardjoprajitno, S.H, M.Hum.
Drs. Saefulloh Purwaningdyah, MW, S.H, M.Hum.
PEN DA H U L U A N
Pada Modul 3 ini kita bahas lebih jauh tentang definisi hubungan kerja, dasar hukum hubungan kerja, perjanjian kerja, dan hubungan kerja outsourcing.
Untuk membahas lebih lanjut mengenai bentuk hubungan kerja dan perjanjian kerja di atas, secara spesifik akan dijabarkan ke dalam dua kelompok kegiatan belajar.
Kegiatan Belajar 1 : Ketentuan Umum Hubungan Kerja dan Perjanjian Kerja. Pada bagian ini akan dijabarkan ketentuan perjanjian kerja dalam UU No. 13 Tahun 2003 beserta ketentuan berakhirnya perjanjian kerja.
Kegiatan Belajar 2 : Jenis-jenis Perjanjian Kerja. Pada bagian ini akan dijabarkan pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), Outsourcing (Pemborongan Pekerjaan), Paruh Waktu (Part Time), dan Honorer.


KEGIATAN BELAJAR 1
Hubungan Kerja dan Perjanjian Kerja
Sebelum membahas mengenai apa itu hubungan kerja dan perjanjian kerja,  perlu mengetahui batasan-batasan yang ada di dalam masalah ketenagakerjaan. Masalah ketenagakerjaan dapat dipilahkan menjadi tiga bagian. Pertama, masa sebelum bekerja. Kedua, masa selama kerja. Ketiga, mas a pensiun atau sesudah masa kerja.


Masa selama kerja dan sesudah kerja merupakan bagian yang paling banyak mendapat perhatian dalam UU Ketenagakerjaan. Masa sebelum kerja belumlah diatur sedemikian rupa karena belum terkait langsung dengan dunia kerja.
Untuk mengetahui lebih jauh aspek hukum yang terkait langsung dengan pemberi dan penerima kerja, sekurang-kurangnya ada empat komponen utama, yaitu menyangkut aspek hubungan kerja, aspek perjanjian kerja, aspek peraturan perusahaan, dan aspek Kesepakatan Kerja Bersama/Perjanjian Kerja Bersama (KKBIPKB).

A.   HUBUNGAN KERJA
Dimaksud hubungan kerja adalah hubungan antara pemberi kerja dengan penerima kerja untuk melakukan suatu pekerjaan dengan menerima imbalan berupa upah. Pemberi kerja bisa berupa perusahaan atau perorangan.

Sedang yang dimaksud perusahaan sebagaimana dinyatakan dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 Pasa16 adalah sebagai berikut.
1.             Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukurn, baik milik swasta maupun milik Negara yang mempekerjakan pekerjalburuh dengan rnernbayar upah atau imbalan dalarn bentuk lain.
2.             Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang rnernpunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan  membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

B.  DASAR HUKUM HUBUNGAN KERJA
Dasar hukum hubungan kerja pada dasarnya atas dasar perjanjian kerja, baik yang dibuat secara tertulis atau tidak tertulis. Perjanjian yang dibuat secara tertulis bisa berupa Surat Pengangkatan, Peraturan Perusahaan dan KKBIPKB.
Hubungan Kerja dalarn UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 diatur pada Pasa150 sampai dengan Pasal66. Pembagiannya adalah sebagai berikut.
1.    Pasal 50 sid 55= rnengatur tentang Perjanjian Kerja.
2.    Pasal 56 sid 59= rnengatur tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
3.    Pasal 60 sid 63= rnengatur tentang Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
4.     Pasal 64 sid 66= mengatur tentang Outsourcing.

C.   ALUR HUBUNGAN KERJA


D.   PERJANJIAN KERJA

1.             Ketentuan Umum Perjanjian Kerja

Secara umum perjanjian kerja yang dibuat oleh pihak pekerja dan pengusaha, harus didasarkan pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 52 UU No. 13 Tahun 2003, yakni mengandung empat unsur pokok.

Pertama, Adanya kesepakatan kedua belah pihak, dengan tidak didasari unsur paksaan. Salah satu syarat sahnya perjanjian kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha adalah didasari oleh kemauan bebas oleh kedua belah pihak untuk mengikatkan diri dalam perjanjian kerja. Dengan kata lain, tidak diperkenankan dalam pembuatan perjanjian kerja terdapat unsur paksaan, kekhilafan, penipuan atau intimidasi.
Kedua, Para pihak memiliki kemampuan/kecakapan melakukan perbuatan hukum. Syarat sahnya pembuatan perjanjian kerja apabila kedua belah pihak memiliki kemampuan/kecakapan melakukan perbuatan hukum. Dengan kata lain, ketentuan mengenai kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum berlaku baik bagi pekerja/buruh maupun pengusaha. Bagi pekerja/buruh anak, yang oleh undang-undang dinyatakan belum cakap melakukan perbuatan hukum maka yang menandatangani perjanjian kerja adalah orang tua atau walinya.
Di dalam Pasal 1330 KUHP Perdata. disebutkan siapa-siapa yang tidak cakap, yaitu sebagai berikut.
a.              Orang yang belum dewasa. Mengingat orang yang belum dewasa, dipandang keadaan jiwanya atau akal pikirannya belum mampu untuk dapat memberikan pertanggungan jawab atas perikatan yang dibuatnya secara hukum.
b.             Mereka yang ditaruh di bawah peng'ampu 'an. Orang yang ditaruh di bawah peng'ampu'an adalah orang dewasa dipandang dari segi usia, tetapi keadaan orang tersebut merniliki sejumlah kekurangan atau kelemahan, rnisalnya pikirannya kurang waras atau suka menghambur­hamburkan uang sehingga sering tidak mampu dalam mengambil keputusan yang benar. Oleh karena alasan itulah maka orang dewasa tersebut kedudukannya sama dengan orang yang belum dewasa sehingga orang tersebut dapat dimintakan untuk di' ampu', artinya status hukum orang tersebut disamakan dengan orang yang belum dewasa dan tidak dapat melakukan perikatan. Secara khusus pada Pasal 433 KUH Perdata dinyatakan setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah peng'ampu'an pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Seorang dewasa bolehjuga ditaruh di bawah peng'ampu'an karena keborosannya.
c.              Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang­undang. Dijelaskan dalam Pasal 108 KUH Perdata bahwa seorang perempuan yang bersuami untuk mengadakan suatu perj anj ian memerlukan akta atau izin tertulis dati suarninya. Namun, ketentuan ini sekarang sudah tidak berlaku lagi. Hal ini dikuatkan oleh Surat Edaran Mahkamah Agung No.3 Tahun 1963 tertangga14 Agustus 1963.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa setiap orang pada dasarnya cakap atau mampu melakukan perikatan, kecuali bagi orang yang belum dewasa dan orang yang ditaruh di bawah pengampunan.
Ketiga, memuat ketentuan pekerjaan yang diperjanjikan dan waktu masa berlakunya perjanjian.
Keempat, perjanjian yang dimaksud tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan. Salah satu syarat objektif sahnya perjanjian kerja adalah adanya pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila syarat objektif ini tidak dipenuhi maka perjanjian kerja tersebut batal demi hukum. Artinya, sejak semula perjanjian kerja yang dimaksud sudah batal dan oleh hukum dianggap tidak pernah ada. Dalam kaitan batal demi hukum, hakim pengadilan perselisihan hubungan industrial atas dasar jabatannya berwenang memutuskan pembatalan tersebut meskipun tidak dimintaldituntut oleh salah satu pihak.
2.              Ketentuan Perjanjian Kerja dalam UU No. 13 Tahun 2003
Ketentuan Perjanjian Kerja yang diatur dalam Pasal 54 UU No. 13 Tahun 2003 yang dibuat secara tertulis mensyaratkan sekurang-kurangnya memuat:
a.             nama, alamat perusahaan dan jenis usaha;
b.              nama, jenis kelamin, umur dan alamat pekerjalburuh;
c.              jabatan atau jenis pekerjaan;
d.              tempat pekerjaan;
e.              besarnya upah dan cara pembayaran;
f.                syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan
pekerjalburuh;
g.             mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h.             temp at dan tanggal perjanjian kerja dibuat;
i.               tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan f, terutama tentang besarnya upah dan tata cara pembayaran serta syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban para pihak tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perlu diketahui pula bahwa terdapat ketentuan yang menetapkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 KUH Perdata). Dengan demikian, perjanjian kerja bersifat mengikat kedua belah pihak dan tidak dapat ditarik kembali atau diubah tanpa persetujuan kedua belah pihak, kecuali oleh sebab tertentu yang diatur dengan undang-undang. Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (I) dibuat sekurang -kurangnya rangkap dua, yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerjalburuh dan pengusaha masing-masing mendapat satu perjanjian kerja.

3.              Ketentuan 8erakhirnya Perjanjian Kerja
Berdasarkan ketentuan Pasal 61 ayat 1 UU No. 13 Tahun 2003, perjanjian kerja dapat berakhir apabila:
a.              pekerja meninggal dunia;
b.              berakhimya jangka waktu perjanjian;
c.              adanya putusan pengadilan dan/atau putusan at au penetapan Jembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
d.             adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicanturnkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

Perjanjian kerja tidak berakhir karen a meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan atau hibah. Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh. Dalam hal pengusaha, orang perseorangan meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh. Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/buruh berhak mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

RANGKUMAN

Untuk mengetahui lebih jauh aspek hukum yang terkait langsung dengan pemberi dan penerima kerja, sekurang-kurangnya ada empat komponen utama, yaitu:
1.                         menyangkut aspek hubungan kerja,
2.                         aspek perjanjian kerja,
3.                         aspek peraturan perusahaan, dan
4.                         aspek kesepakatan kerja bersarna/perjanjian kerja bersama.
Dasar hukum hubungan kerja pada dasamya atas dasar perjanjian kerja baik tertulis maupun tidak tertulis. Adapun aspek perjanjian kerja mengandung empat unsur pokok, yaitu:
1.                         adanya kesepakatan kedua belah pihak dengan tidak didasari unsur paksaan;
2.                         para pihak merniliki kemampuan/kecakapan melakukan perbuatan hukum;
3.ketentuan pekerjaan yang diperjanjikan dan waktu masa berlakunya perjanjian;
4.                         perjanjian yang dimaksud tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan kesusilaan.
  
KEGIATAN BELAJAR 2
Ketentuan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan Waktu Tidak Tertentu serta Outsourcing

A. PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT)
1.             Pengertian Perjanjian Waktu Tertentu
Apa yang dimaksud perjanjian kerja waktu tertentu adalah perjanjian kerja yang dibatasi oleh masa berlakunya waktu perjanjian. Artinya, perjanjian kerja tidak bersifat permanen. Berdasarkan ketentuan Undang­undang No. 13 Tahun 2003 bahwa apa yang dimaksud dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu harus didasarkan pada dua hal pokok.
Pertama, perjanjian berlaku untuk jangka waktu tertentu dan memuat batas waktu berlakunya perjanjian.
Kedua, selesainya suatu pekerjaan tertentu.
PKWT
(Pasal 56 ayat (2), Pasal 57, Pasal 58)
                                         ~       Didasarkan
                                         ~      Jangka waktu tertentu
                                         ~       Selesainya suatu pekerjaan
                                         ~      Tidak boleh ada syarat percobaan 7 batal demi hukum
                                         ~      Tidak tertulis menjadi PKwn
                                         ~       Penafsiran hanya pad a perjanjian versi Bahasa Indonesia
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu disyaratkan harus dibuat secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. Kewajiban menuangkan perjanjian kerja waktu tertentu ke dalam bentuk tertulis adalah untuk melindungi salah satu pihak apabila ada tuntutan dari pihak lain setelah selesainya perjanjian kerja. Format penulisan perjanjian kerja bisa dibuat dalam dua bahasa, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Asing. Namun, apabila terjadi perbedaan penafsiran antara keduanya, yang berlaku adalah perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia, dikarenakan bahasa yang dipergunakan dalam beracara pada sidang perselisihan hubungan industrial adalah bahasa Indonesia dan juga karena semua dokumen pendukung dalam beracara ditulis dalam bahasa Indonesia.

2.              Jenis-jenis Pekerjaan yang dapat Diperjanjikan dalam Perjanjian Kerja waktu Tertentu
Jenis pekerjaan yang dapat diperjanjikan dalam perjanjian kerja waktu tertentu adalah jenis pekerjaan yang memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
a.             Pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya;
b.             Pekerjaan yang diperkirakan dapat diselesaikan dalam waktu tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) Tahun;
c.              Pekerjaan yang bersifat MusiMan; yaitu suatu pekerjaan yang tergantung pada cuaca at au kondisi tertentu.
d.              Pekerjaan yang terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari proses produksi tetapi tergantung pada cuaca atau apabila pekerjaan tersebut dibutuhkan bila ada kondisi tertentu maka pekerjaan merupakan pekerjaan musiman;
e.              Pekerjaan yang berhubungan dengan produksi baru, kegiatan baru atau prod uk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajagan.
Dalam isi perjanjian kerja waktu tertentu dilarang mensyaratkan adanya masa percobaan. Apabila syarat masa percobaan tersebut dicantumkan maka syarat tersebut batal demi hukum. Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan pada jangka waktu tertentu dapat diadakan paling lama dua Tahun dan hanya dapat diperpanjang satu kali untuk jangka waktu satu Tahun. Paling lambat tujuh hari sebelum perjanjian kerja jangka waktu tertentu berakhir, pengusaha wajib memberitahukan maksudnya untuk memperpanjang jangka waktu perjanjian kepada pekerja/buruh. Ketentuan­ketentuan tentang perjanjian kerja waktu tertentu apabila tidak dipenuhi maka demi hukum perjanjian kerja waktu tertentu berubah menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Perjanjian kerja waktu tertentu dapat diperbaharui sebanyak satu kali untuk paling lama dua Tahun. Pembaharuan ini hanya dapat dilakukan setelah jangka waktu tiga puluh hari sejak berakhirnya perjanjian kerja bersangkutan terlampaui. Perjanjian kerja waktu tertentu berakhir setelah selesainya jangka waktu yang diperjanjikan atau setelah selesainya pekerjaan tertentu yang diperjanjikan.

B. KETENTUAN HUKUM PKWT
Perjanjian kerja waktu tertentu pada awalnya diatur melalui Permen No. 02 Tahun 1993 dan kernudian diperbaharui dengan terbitnya UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Secara ringkas perbandingan an tara isi Permen No. 02 Tahun 1993 dan UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 dapat dilihat pada skema berikut.

Setelah terbit Undang-undang Ketenagakerjaan No 13 tahun 2003, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia kemudian mengeluarkan  Keputusan No. Kep 100/MEN/VI/2004 yang mengatur tentang Ketentuanpelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu. Di dalam SK tersebut mengatur ketentuan sebagai berikut.

1.            Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang selanjutnya disebut PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerjalburuh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu.
2.             Syarat kerja yang diperjanjikan dalam PKWT, tidak boleh lebih rendah daripada ketentuan dalam peraturan perundang -undangan yang berlaku.
3.            Menteri dapat menetapkan ketentuan PKWT khusus untuk sektor usaha dan atau pekerjaan tertentu.
4.            PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya adalah PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu.
5.             PKWT dibuat untuk paling lama 3 Tahun.
6.            Dalam PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu harus dicantumkan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai.
7.             Dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan maka PKWT tersebut putus demi hukum pada saat selesainya pekerjaan.
8.            Dalarn hal PKWT dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu namun karena kondisi tertentu pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan, dapat dilakukan pembaharuan PKWT.
9.            Pembaharuan dilakukan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 hari setelah berakhirnya perjanjian kerja.
10.        Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu yang selanjutnya disebut PKWTT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap.
11.         Pengusaha adalah sebagai berikut. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusabaan milik sendiri.
a.             Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya.
b.             Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusabaan sebagaimana dimaksud dalam buruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
12.         Perusahaan adalab:
a.        setiap bentuk usaba yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik bad an hukum, baik milik
b.        swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerjalburuh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
c.         usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
13.        Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
14.        Pekerjaan yang bersifat musiman adalah pekerjaan yang pelaksanaannya tergantung pada musim atau cuaca.
15.         Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi pesanan atau target tertentu dapat dilakukan dengan PKWT sebagai pekerjaan musiman dan hanya diberlakukan untuk pekerjalburuh yang melakukan pekerjaan tambahan.
16.         Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh berdasarkan PKWT harus membuat daftar nama pekerjalburuh yang melakukan pekerjaan tambahan.
17.         PKWT dapat dilakukan dengan pekerja/buruh untuk melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru at au produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajagan. PKWT jenis ini hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 Tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali paling lama 1 Tahun.
18.         Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat dilakukan dengan perjanjian kerja harian atau lepas.
19.        Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dilakukan dengan ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 hari dalam 1 bulan.
20.         Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 hari atau lebih selama 3 bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi PKWTT.
21.         Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh pada pekerjaan harian lepas wajib membuat perjanjian kerja harian lepas secara tertulis dengan para pekerja/buruh.
22.        Perjanjian kerja harian lepas dapat dibuat berupa daftar pekerjalburuh yang melakukan pekerjaan sekurang-kurangnya memuat:
a.        nama/alamat perusahaan atau pemberi kerja;
b.        namalalamat pekerjalburuh;
c.         jenis pekerjaan yang dilakukan;
d.        besarnya upah danJatau imbalan lainnya.
23.         Daftar pekerja/buruh sebagaimana dimaksud disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat selambat-Iambatnya 7 hari kerja sejak mempekerjakan pekerja/buruh atau PKWT wajib dicatatkan oleh pengusaha kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupatenikota setempat selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak penandatanganan.

C.      PERJANJIAN KERJA WAKTU TIDAK TERTENTU (PKWTT)
Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu
Apa yang dimaksud dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu adalah perjanjian kerja yang sifatnya permanen. Perjanjian kerja waktu tidak tertentu dapat dibuat secara tertulis maupun lisan. Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, sebagaimana diatur pada Pasal 63 UU No. 13 Tahun 2003 maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan. Surat pengangkatan yang dimaksud sekurang-kurangnya memuat:
a.              Nama dan alamat pekerjalburuh;
b.               Tanggal mulai bekerja;
c.               Jenis pekerjaan;
d.              Besar upah;
Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 bulan. Syarat masa percobaan harus dicanturnkan dalam perjanjian kerja. Apabila perjanjian kerja dilakukan secara lisan maka syarat masa percobaan kerja harus diberitahukan kepada pekerja yang bersangkutan dan dicantumkan dalam surat pengangkatan. Dalam hal tidak dicanturnkan dalam perjanjian kerja atau dalam surat pengangkatan maka ketentuan masa percobaan kerja dianggap tidak ada.
Secara ringkas aturan mengenai PKWTT dapat dilihat pada skema berikut ini.

PKWTT (Pasal 60 sId 63) UUK No. 13 Tahun 2003
Lebih Tegas Mengatur tentang PKWTT
1.Boleh ada masa percobaan, maksimal 3 (tiga) bulan
2.Tertulis dan tak tertulis
3.Berakhir:
a.              Meninggal dunia
b.             Berakhirnya masa perjanjian
c.              Putusan pengadilan
d.             Keadaan tertentu yang dicantumkan dalam PK I PP I PKB
4.              Tak berakhir karena pengusaha meninggal, berakhirnya perusahaan karena penjualan, pewarisan atau hibah.
5.              Pengalihan tanggung jawab pad a pengusaha baru atau kesepakatan tanpa kurangnya hak buruh.
6.              Pengusaha perorangan meninggal dunia dapat akhiri hubungan keria dengan perundingan.
7.              Buruh meninggal, ahli waris berhak mendapat hak-haknya sesuai UU.
8.               Perjanjian lisan, pengusaha wajib membuat surat pengangkatan.

D. PERJANJIAN KERJA OUTSOURCING
1.            Pengertian Outsourcing
Outsourcing adalah istilah populer dari pemborongan pekerjaan. Bentuk kerja outsourcing ini banyak diminati oleh dunia kerja saat ini, mengingat pola kerja ini tidak mengandung risiko dibanding dengan pola hubungan kerja atas dasar perjanjian kerja waktu tertentu. Sebut saja misalnya sebuah bank dalam mengangkat tenaga sekuriti atau satpam, lebih suka outsourcing dengan cara melakukan kerja sarna dengan penyedia jasa sekuriti. Pihak bank tidak tertarik mengangkat secara langsung tenaga sekuriti dengan status sebagai karyawan kontrak atau tetap, melainkan dengan cara semacam sewa dengan pihak penyedia jasa. Di mana pihak bank tidak membayar atau menggaji secara langsung pacta sekuriti terkait melainkan membayar langsung pada perusahaan penyedia jasa sekuriti. Keuntungannya apabila pihak bank tidak suka dengan kinerja sekuriti terkait dapat dengan mudah minta ganti pada penyedia jasa sekuriti tersebut. Di samping itu, pihak bank tidak menanggung risiko apa pun yang terkait dengan sekuriti tersebut. Oleh karena pihak sekuriti sesungguhnya bukan karyawan bank terkait melainkan karyawan pihak penyedia jasa. Jadi, sekuriti tersebut dengan kata lain adalah karyawan pihak penyedia jasa yang dipekerjakan pad a sebuah bank. Tanggung jawab sekuriti dalam hal gaji dan segal a hal yang terkait dengan masalah ketenagakerjaan adalah dengan pihak penyedia jasa bukan dengan pihak bank. Perusahaan jasa sekuriti yang menerapkan pola outsourcing ini tidak hanya dengan bank, tetapi juga dengan pabrik-pabrik, rumah sakit, sekolah, dan juga dengan pihak perorangan untuk menjaga rumah atau apartemen.
Selain bidang jasa sekuriti, outsourcing juga banyak dijumpai, misalnya bidang jasa tenaga Sales Promotion Girls (SPG) atau Beautician yang bekerja di supermarket, seperti Matahari Departernen Store, Ramayana, Rimo, dan sejurnlah pertokoan lain. Matahari Departemen Sore, misalnya tidak secara langsung mengangkat karyawan yang berada di bawah kepegawaian Matahari me1ainkan dengan cara kerja sarna dengan pihak penyedia jasa SPG atau Beautician. Jadi, urusan gaji SPG atau Beautician itu dibayar tidak langsung dari Matahari melainkan dari perusahaan induknya yang rnenernpatkan mereka di Matahari. Sebaliknya, manajemen matahari membayar para SPG tersebut lang sung dengan pihak penyedia jasa. lnilah garnbaran singkat pola hubungan kerja outsourcing.

2.             Dasar Hukum Outsourcing
Outsourcing atau pemborongan pekerjaan pada dasarnya mengacu pada ketentuan Pasal 1601 b KUH Perdata "Pemborongan pekerjaan adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu, si pemborong mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan dengan menerima suatu harga yang ditentukan".
Dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, ketentuan mengenai outsourcing diatur pada Pasal 64 "Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis".
Dalam perjanjian outsourcing dipersyaratkan (Pasal 65 UUK No. 13 Tahun 2003), yaitu sebagai berikut.
1.            Perjanjian dibuat secara tertulis.
2.            Jenis Pekerjaan.
a.             Terpisah dari kegiatan utama.
b.             Perintah langsung/tak langsung.
c.             Kegiatan penunjang.
d.             Tak hambat produksi secara langsung.
3.            Pihak pemberi kerja maupun penerima kerja berbadan hukum.
4.Perlindungan syarat kerja minimal sarna dengan ketentuan yang berlaku.
3.             Persyaratan menjadi Perusahaan Outsourcing
Berikut ini adalah ketentuan atau persyaratan untuk menjadi atau mendirikan perusabaan outsourcing.
a.             Memiliki Izin dari Disnaker (Dinas Tenaga Kerja) sebagai Labour Supplier.
b.             Berbadan hukum yang dibuktikan dengan Akta Pendirian Perusahaan
(PT).
c.              Memiliki SHJP (surat izin usaha perdagangan).
d.             Memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak).
e.             Memiliki Perjanjian kerja sarna/Service Agreement an tara Prinsipal dengan Vendor.
f.               Wajib lapor ketenagakerjaan.
g.             Memiliki Peraturan Perusahaan yang disahkan oleh Disnaker.

4.      Status Hubungan Kerja Karyawan Perusahaan Outsourcing
Hubungan kerja karyawan perusabaan outsourcing diatur pada Pasal 65 ayat (6) sId (9) UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 sebagai berikut.
Pertama        tanggung jawab pekerja pada perusahaan outsourcing terkait. Misalnya, seorang SPG yang dipekerjakan oleb perusahaannya sebut saja PT. Delta untuk bekerja di Matahari Departemen Store maka hubungan kerja dan tanggung jawab si SPG terkait tidak dengan manajemen matabari melainkan dengan PT. Delta tersebut.
Kedua          bentuk perjanjian kerja an tara si pekerja dengan perusahaan outsourcing terkait bisa berupa perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT).
Ketiga         perjanjian tersebut baik PKWT atau PKWTT harus dibuat tertulis.
Keempat       apabila perusahaan outsourcing tidak memenuhi persyaratan kedua dan ketiga di atas maka hubungan pekerja beralih ke pemberi pekerjaan. Artinya, pekerja langsung menjadi milik pemberi kerja bukan lagi menjadi rnilik perusahaan outsourcing terkait. Bentuk hubungan kerja si pekerja dengan pemberi kerja bisa berupa PKWT atau PKWTT. Ketentuan beralihnya status pekerjalburuh dari perusahaan outsourcing ke pemberi kerja sebagaimana dijelaskan di atas, diatur dalam UU Ketenagakerjaan  No. 13 Tahun 2003 Pasal 65 ayat (8): "Dalam hal ketentuan dirnaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerjalburuh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerjalburuh dengan perusahaan pemberi pekerjaan".
Selanjutnya, pada Pasal 66 UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 diatur mengenai ketentuan perlindungan karyawan pada perusahaan outsourcing sebagai berikut.
1.            Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan untuk melaksanakan kegiatan pokok atau yang berhubungan langsung dengan proses produksi.
2.             S yarat -s yarat:
a.             Adanya hubungan kerja an tara pekerjalburuh dan perusahaan penyediaan jasa pekerjalburuh.
b.            Perjanjian kerja yang berlaku adalah PKWT dan atau PKWTT dibuat secara tertulis dan di tandatangani kedua belah pihak.
c.             Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat kerja serta perselisihan menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
d.            Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa dan perusahaan penyedia jasa pekerjalburuh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal sebagaimana dimaksud dalam UU.
3.            Penyedia jasa pekerja/buruh harus bentuk usaha yang berbadan dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Contoh:
Pertanyaan 1
Saya merencanakan memulai usaha (perusahaan) yang akan mempekerjakan kurang lebih 100 orang. Saat ini saya masih memikirkan cara membuat kontrak kerja dengan pekerja. Rencananya saya mempekerjakan sebagian sebagai pekerja tetap dan sebagian lagi pekerja kontrak (tidak tetap). Mohon penjelasan apa yang harus diperhatikan dalam kontrak kerja pekerja tetap dan pekerja tidak tetap?
Jawaban:
Hal yang perlu diperhatikan dalam membuat perjanjian (kontrak) kerja adalah mengetahui terlebih dahulu jenis pekerjaan yang akan diperjanjikan antara pihak pengusaha dengan pihak pekerja.


Berdasarkan UU No. l3 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, jenis perjanjian (kontrak) kerja dapat dibagi 2, yaitu sebagai berikut.
1.            Perjanjian (kontrak) kerja waktu tertentu.
2.             Pekerjaan (kontrak) kerja waktu tidak tertentu.

Perjanjian (kontrak) kerja waktu tertentu adalah perjanjian tentang pekerjaan yang menurut jenis, sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Status pekerjanya adalah pekerja tidak tetap. Perlu diperhatikan bahwa yang termasuk jenis pekerjaan ini adalah sebagai berikut.
a.              Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya.
b.             Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 Tahun.
c.              Pekerjaan yang sifatnya musiman.
d.             Pekerjaan yang berhubungan dengan produk bal'll, kegiatan baru at au produk tambahan yang masih dalarn percobaan atau penjajagan.
Perjanjian kerja waktu tertentu dapat diadakan paling lama 2 Tahun dan dapat diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu paling lama 1 Tahun.
Jika Anda di kemudian hari berniat memperpanjang perjanjian kerja tersebut maka Anda harus memberitahukan rencana perpanjangan kontrak tersebut secara tertulis kepada pekerja, paling lama tujuh hari sebelum kontrak kerja berakhir.
Jika kedua belah pihak sepakat untuk melanjutkan lagi kontrak kerja (misalnya ada pekerjaan tambahan) maka bentuk kontraknya adalah pembaruan perjanjian kerja, yang dapat diadakan setelah melebihi mas a tenggang waktu 30 hari setelah berakhirnya perjanjian kerja yang lama. Pembaruan perjanjian kerja ini hanya boleh dilakukan 1 kali dan paJing lama 2 Tahun.
Dari uraian di atas, dapat kita ketahui bahwa kontrakiperjanjian kerja dalam jenis pekerjaan waktu tertentu dapat berlangsung selama 5 Tahun, yaitu perjanjian kerja tahap I selama 2 Tahun, perjanjian kerja tahap II/perpanjangan perjanjian 1 Tahun dan perjanjian kerja tahap III/pembaruan perjanjian 2 Tahun.
Perlu diperhatikan undang-undang tidak memperkenankan mengadakan masa percobaan terhadap pekerja tidak tetap.
Pekerjaan waktu tidak tertentu adalah pekerjaan yang bersifat tetap, pekerjaannya tidak dibatasi waktu. Dengan kata lain, apabila pekerjaannya adalah di luar jenis pekerjaan waktu tertentu sebagaimana tersebut di atas maka status pekerja tersebut adalah pekerja tetap. Terhadap pekerja tetap dapat disyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 bulan.
Pertanyaan 2
1.            Apabila kami terikat perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT)I Kesepakatan kerja waktu tertentu (KKWT) selama 4 Tahun terus menerus tanpa terminate/break, apakah dalam perpanjangan kontrak berikutnya menjadi PKWTTIKKWTT (employee permanent) ataukah tetap ataukah dapat di outsourcing?
2.            Bila terjadi outsourcing atau determinasi atau diberhentikan oleh perusahaan bagaimana sebaiknya sikap kami dan bagaimana dengan uang pesangon.
3.            Dalam kasus kedua mungkinkah karni mendapat kornpensasi kemahalan yang lebih dari kriteria Pasal 164 ayat (3) karena menurut kami sebenarnya perusahaan telah melanggar UUK 131 2003 Pasal 59?
Jawaban:
Sepanjang tidak bertentangan dan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 maka semua peraturan pelaksanaan mengenai ketenagakerjaan tetap berlaku. Dengan demikian, beberapa ketentuan mengenai Jangka Waktu, Perpanjangan dan Pembaharuan Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu sebagaimana diatur dalam Permenaker No. PER-021MEN/1993 tentang Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu ("Permenaker No. PER-02IMEN/1993") dinyatakan tidak berlaku lagi karena UU No. 13 Tahun 2003 telah mengatur ketentuan baru berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas.
Selanjutnya, berkaitan dengan beberapa pertanyaan yang diajukan maka dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut.
1.            Berkaitan dengan permasalahan perpanjangan kontrak bagi pekerja sebagai KKWT selama 4 Tahun terus menerus tanpa pemutusan, apakah akan menjadi KKWTT atau dapat di-outsourcing maka berdasarkan Pasal 59 ayat (4) UUNo. 13 Tahun 2003 dinyatakanbahwa suatu KKWT yang didasarkan atas jangka waktu tertentu diadakan paling lama 2 Tahun dan hanya diperbolehkan diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu paling lama 1 Tahun.
2.            Sesuai permasalahan sebagaimana dimaksud di atas, sesungguhnya yang harus menjadi titik berat pertimbangan adalah mengenai apakah sudah benar ketentuan yang digunakan berkaitan dengan jangka waktu KKWT pekerja tersebut adalah 4 Tahun. Sehubungan dengan hal tersebut dan berkaitan pula dengan ketentuan pada Pasal 59 ayat (4) tersebut, maka perusahaan di mana pekerja tersebut bekerja telah melakukan pelanggaran atas ketentuan UU No. 13 Tahun 2003. Hal ini dikarenakan ketentuan mengenai jangka waktu KKWT paling lama adalah 2 Tahun, sementara pekerja tersebut dipekerjakan untuk jangka waktu 4 Tahun.
3.            Berkaitan dengan terjadinya outsourcing atau diberhentikan oleh perusahaan, apakah pekerja yang merupakan KKWT tetap akan memperoleh uang pesangon, maka berdasarkan Pasal 16 ayat (2) Permenaker No. PER-02IMEN/1993 menyatakan bahwa pengusaha atau pekerja yang mengakhiri KKWT sebelum waktunya berakhir atau selesainya pekerjaan tertentu, maka pihak yang mengakhiri KKWT tersebut wajib membayar ganti rugi sebesar upah pekerja sampai waktu atau pekerjaannya seharusnya selesai.
4.            Berdasarkan ketentuan pada pasal tersebut, memang tidak dinyatakan mengenai uang pesangon, namun demikian ketentuan tersebut menyatakan mengenai adanya suatu uang ganti kerugian sehingga berdasarkan hal tersebut pula, dapat disimpulkan bahwa pekerja yang merupakan KKWT akan memperoleh uang ganti rugi apabila KKWT tersebut dihentikan sebelum waktunya atau pekerjaan selesai oleh pihak perusahaan. Selain itu perlu diketahui, bahwa uang ganti rugi tersebut dapat diperoleh, sepanjang KKWT tidak dihentikan berdasarkan alasan-alasan yang tercantum dalam Pasall7, 19, dan 20 Permenaker No. PER-02/MEN/1993.
5.Berkaitan dengan perusahaan melakukan outsouching atau pemberhentian, apakah pekerja KKWT dapat diperoleh kompensasi kemahalan yang lebih sebagaimana tercantum dalam Pasal 164 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 sernentara pekerja beranggapan bahwa perusahaan telah melakukan pelanggaran atas Pasal 59 UU No. 13 Tahun 2003 maka berkaitan dengan permasalahan tersebut baik UU No. 13 Tahun 2003 maupun peraturan pelaksana ketenagakerjaan lainnya tidak memperinci secara lebih jelas lagi tentang hal tersebut. Telah eliuraikan dalam Pasal 16 ayat (2) Permenaker No. PER-02/MENI1993 maka pekerja KKWT tersebut pada dasamya berhak mendapatkan uang ganti rugi sebesar upah pekerja sampai waktu atau pekerjaannya seharusnya selesai. Selanjutnya, sehubungan dengan permasalahan tersebut, perlu pula dilihat atau diperhatikan apakah ketentuan dalam peraturan perusahaan dan atau kontrak kerja pekerja KKWT dengan perusahaan mengatur hal sebagaimana eli atas. Apabila hal tersebut diatur dalam peraturan-peraturan dimaksud maka penyelesaian atas permasalahan tersebut dapat diatur berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam peraturan-peraturan tersebut.

RANGKUMAN
Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) harus didasarkan pada dua hal pokok, yaitu sebagai berikut.
1.               Perjanjian berlaku untuk jangka waktu tertentu dan memuat batas waktu berlakunya perjanjian.
2.                Selesainya suatu pekerjaan tertentu.
PKWT harus dibuat secara tertulis untuk melindungi salah satu pihak apabila ada tuntutan dari pihak lain setelah selesainya perjanjian kerja. Dalarn isi PKWT dilarang mensyaratkan adanya masa percobaan dan apabila syarat tersebut dicantumkan maka syarat tersebut batal derni hukum.
PKWTT adalah perjanjian kerja yang sifatnya permanen. PKWTT dapat dibuat secara tertulis maupun lisan. PKWTT dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 bulan dan syarat masa percobaan harus dicantumkan dalam perjanjian kerja. Apabila perjanjian kerja dilakukan secara lisan maka syarat masa percobaan kerja harus diberitahukan kepada pekerja yang bersangkutan dan dicantumkan dalam surat pengangkatan. Dalam hal tidak dicantumkan dalam perjanjian kerja atau dalam surat pengangkatan maka ketentuan masa percobaan kerja dianggap tidak ada.
Bentuk kerja outsourcing banyak dirninati oleh dunia kerja saat ini karen a pola kerja ini tidak mengandung risiko dibanding dengan pola hubungan kerja atas dasar perjanjian kerja waktu tertentu. Adapun status hubungan kerja karyawan perusahaan outsourcing adalah:
1.               tanggung jawab pekerja pada perusahaan outsourcing terkait;
2.                bentuk perjanjian kerja antara si pekerja dengan perusahaan outsourcing terkait berupa PKWT atau PKWTT;
3.                perjanjian PKWT atau PKWTT harus tertulis;
4.                bila persyaratan 2 dan 3 tidak dipenuhi, hubungan pekerja beralih ke pemberi pekerjaan artinya pekerja langsung menjadi rnilik pemberi kerja bukan lagi menjadi rnilik perusahaan outsourcing terkait.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar