MODUL 3
Hubungan Kerja
Purbadi
Hardjoprajitno, S.H, M.Hum.
Drs. Saefulloh
Purwaningdyah, MW, S.H, M.Hum.
PEN DA H U L U A N
Pada Modul 3 ini kita bahas lebih
jauh tentang definisi hubungan kerja, dasar hukum hubungan kerja, perjanjian
kerja, dan hubungan kerja outsourcing.
Untuk membahas lebih lanjut
mengenai bentuk hubungan kerja dan perjanjian kerja di atas, secara spesifik akan
dijabarkan ke dalam dua kelompok kegiatan belajar.
Kegiatan Belajar 1 : Ketentuan
Umum Hubungan Kerja dan Perjanjian Kerja. Pada bagian ini akan dijabarkan
ketentuan perjanjian kerja dalam UU No. 13 Tahun 2003 beserta ketentuan
berakhirnya perjanjian kerja.
Kegiatan Belajar 2 : Jenis-jenis
Perjanjian Kerja. Pada bagian ini akan dijabarkan pengertian Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu (PKWT), Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), Outsourcing
(Pemborongan Pekerjaan), Paruh Waktu (Part Time), dan Honorer.
KEGIATAN BELAJAR
1
Hubungan
Kerja dan Perjanjian Kerja
Sebelum membahas mengenai apa itu
hubungan kerja dan perjanjian kerja, perlu mengetahui batasan-batasan yang ada di
dalam masalah ketenagakerjaan. Masalah ketenagakerjaan dapat dipilahkan menjadi
tiga bagian. Pertama, masa sebelum bekerja. Kedua, masa selama
kerja. Ketiga, mas a pensiun atau sesudah masa kerja.
Masa selama kerja dan sesudah kerja
merupakan bagian yang paling banyak mendapat perhatian dalam UU
Ketenagakerjaan. Masa sebelum kerja belumlah diatur sedemikian rupa karena
belum terkait langsung dengan dunia kerja.
Untuk mengetahui lebih jauh aspek
hukum yang terkait langsung dengan pemberi dan penerima kerja,
sekurang-kurangnya ada empat komponen utama, yaitu menyangkut aspek hubungan
kerja, aspek perjanjian kerja, aspek peraturan perusahaan, dan aspek
Kesepakatan Kerja Bersama/Perjanjian Kerja Bersama (KKBIPKB).
A. HUBUNGAN KERJA
Dimaksud hubungan kerja adalah
hubungan antara pemberi kerja dengan penerima kerja untuk melakukan suatu
pekerjaan dengan menerima imbalan berupa upah. Pemberi kerja bisa berupa
perusahaan atau perorangan.
Sedang yang dimaksud perusahaan sebagaimana
dinyatakan dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 Pasa16 adalah sebagai
berikut.
1.
Setiap bentuk usaha yang berbadan
hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan
hukurn, baik milik swasta maupun milik Negara yang mempekerjakan pekerjalburuh
dengan rnernbayar upah atau imbalan dalarn bentuk lain.
2.
Usaha-usaha sosial dan
usaha-usaha lain yang rnernpunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain.
B. DASAR HUKUM HUBUNGAN KERJA
Dasar
hukum hubungan kerja pada dasarnya atas dasar perjanjian kerja, baik yang
dibuat secara tertulis atau tidak tertulis. Perjanjian yang dibuat secara
tertulis bisa berupa Surat Pengangkatan, Peraturan Perusahaan dan KKBIPKB.
Hubungan
Kerja dalarn UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 diatur pada Pasa150 sampai
dengan Pasal66. Pembagiannya adalah sebagai berikut.
1.
Pasal 50 sid 55= rnengatur tentang Perjanjian
Kerja.
2.
Pasal 56 sid 59= rnengatur tentang Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
3.
Pasal 60 sid 63= rnengatur tentang Perjanjian
Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
4.
Pasal 64 sid 66= mengatur tentang Outsourcing.
C.
ALUR
HUBUNGAN KERJA
D. PERJANJIAN KERJA
1.
Ketentuan Umum Perjanjian Kerja
Secara umum perjanjian kerja yang
dibuat oleh pihak pekerja dan pengusaha, harus didasarkan pada ketentuan yang
diatur dalam Pasal 52 UU No. 13 Tahun 2003, yakni mengandung empat unsur pokok.
Pertama, Adanya kesepakatan kedua belah
pihak, dengan tidak didasari unsur paksaan. Salah satu syarat sahnya perjanjian
kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha adalah didasari oleh kemauan bebas
oleh kedua belah pihak untuk mengikatkan diri dalam perjanjian kerja. Dengan
kata lain, tidak diperkenankan dalam pembuatan perjanjian kerja terdapat unsur
paksaan, kekhilafan, penipuan atau intimidasi.
Kedua, Para pihak memiliki
kemampuan/kecakapan melakukan perbuatan hukum. Syarat sahnya pembuatan
perjanjian kerja apabila kedua belah pihak memiliki kemampuan/kecakapan
melakukan perbuatan hukum. Dengan kata lain, ketentuan mengenai kemampuan atau
kecakapan melakukan perbuatan hukum berlaku baik bagi pekerja/buruh maupun
pengusaha. Bagi pekerja/buruh anak, yang oleh undang-undang dinyatakan belum
cakap melakukan perbuatan hukum maka yang menandatangani perjanjian kerja
adalah orang tua atau walinya.
Di dalam Pasal 1330 KUHP Perdata.
disebutkan siapa-siapa yang tidak cakap, yaitu sebagai berikut.
a.
Orang
yang belum dewasa. Mengingat
orang yang belum dewasa, dipandang keadaan jiwanya atau akal pikirannya belum
mampu untuk dapat memberikan pertanggungan jawab atas perikatan yang dibuatnya
secara hukum.
b.
Mereka
yang ditaruh di bawah peng'ampu 'an. Orang
yang ditaruh di bawah peng'ampu'an adalah orang dewasa dipandang dari segi
usia, tetapi keadaan orang tersebut merniliki sejumlah kekurangan atau
kelemahan, rnisalnya pikirannya kurang waras atau suka menghamburhamburkan
uang sehingga sering tidak mampu dalam mengambil keputusan yang benar. Oleh karena
alasan itulah maka orang dewasa tersebut kedudukannya sama dengan orang yang
belum dewasa sehingga orang tersebut dapat dimintakan untuk di' ampu', artinya
status hukum orang tersebut disamakan dengan orang yang belum dewasa dan tidak
dapat melakukan perikatan. Secara khusus pada Pasal 433 KUH Perdata dinyatakan
setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau
mata gelap harus ditaruh di bawah peng'ampu'an pun jika ia kadang-kadang cakap
mempergunakan pikirannya. Seorang dewasa bolehjuga ditaruh di bawah
peng'ampu'an karena keborosannya.
c.
Orang-orang
perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang. Dijelaskan dalam Pasal 108 KUH
Perdata bahwa seorang perempuan yang bersuami untuk mengadakan suatu perj anj
ian memerlukan akta atau izin tertulis dati suarninya. Namun, ketentuan ini
sekarang sudah tidak berlaku lagi. Hal ini dikuatkan oleh Surat Edaran Mahkamah
Agung No.3 Tahun 1963 tertangga14 Agustus 1963.
Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa setiap orang pada dasarnya cakap atau mampu melakukan
perikatan, kecuali bagi orang yang belum dewasa dan orang yang ditaruh di bawah
pengampunan.
Ketiga, memuat
ketentuan pekerjaan yang diperjanjikan dan waktu masa berlakunya perjanjian.
Keempat, perjanjian
yang dimaksud tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
ketertiban umum dan kesusilaan. Salah satu syarat objektif sahnya perjanjian
kerja adalah adanya pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan
ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila syarat objektif ini tidak dipenuhi maka perjanjian kerja tersebut batal
demi hukum. Artinya, sejak semula perjanjian kerja yang dimaksud sudah batal
dan oleh hukum dianggap tidak pernah ada. Dalam kaitan batal demi hukum, hakim
pengadilan perselisihan hubungan industrial atas dasar jabatannya berwenang
memutuskan pembatalan tersebut meskipun tidak dimintaldituntut oleh salah satu
pihak.
2.
Ketentuan Perjanjian Kerja dalam
UU No. 13 Tahun 2003
Ketentuan Perjanjian Kerja yang
diatur dalam Pasal 54 UU No. 13 Tahun 2003 yang dibuat secara tertulis
mensyaratkan sekurang-kurangnya memuat:
a.
nama, alamat perusahaan dan jenis
usaha;
b.
nama, jenis kelamin, umur dan
alamat pekerjalburuh;
c.
jabatan atau jenis pekerjaan;
d.
tempat pekerjaan;
e.
besarnya upah dan cara
pembayaran;
f.
syarat-syarat kerja yang memuat
hak dan kewajiban pengusaha dan
pekerjalburuh;
g.
mulai dan jangka waktu berlakunya
perjanjian kerja;
h.
temp at dan tanggal perjanjian
kerja dibuat;
i.
tanda tangan para pihak dalam
perjanjian kerja.
Ketentuan dalam perjanjian kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan f, terutama tentang besarnya
upah dan tata cara pembayaran serta syarat-syarat kerja yang memuat hak dan
kewajiban para pihak tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan,
perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perlu diketahui pula bahwa
terdapat ketentuan yang menetapkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 KUH
Perdata). Dengan demikian, perjanjian kerja bersifat mengikat kedua belah pihak
dan tidak dapat ditarik kembali atau diubah tanpa persetujuan kedua belah
pihak, kecuali oleh sebab tertentu yang diatur dengan undang-undang. Perjanjian
kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (I) dibuat sekurang -kurangnya rangkap
dua, yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerjalburuh dan pengusaha
masing-masing mendapat satu perjanjian kerja.
3.
Ketentuan 8erakhirnya Perjanjian
Kerja
Berdasarkan ketentuan Pasal 61
ayat 1 UU No. 13 Tahun 2003, perjanjian kerja dapat berakhir apabila:
a.
pekerja
meninggal dunia;
b.
berakhimya
jangka waktu perjanjian;
c.
adanya
putusan pengadilan dan/atau putusan at au penetapan Jembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
d.
adanya
keadaan atau kejadian tertentu yang dicanturnkan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan
berakhirnya hubungan kerja.
Perjanjian kerja tidak berakhir
karen a meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang
disebabkan penjualan, pewarisan atau hibah. Dalam hal terjadi pengalihan
perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru,
kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi
hak-hak pekerja/buruh. Dalam hal pengusaha, orang perseorangan meninggal dunia,
ahli waris pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan
dengan pekerja/buruh. Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris
pekerja/buruh berhak mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
RANGKUMAN
Untuk
mengetahui lebih jauh aspek hukum yang terkait langsung dengan pemberi dan
penerima kerja, sekurang-kurangnya ada empat komponen utama, yaitu:
1.
menyangkut aspek hubungan kerja,
2.
aspek perjanjian kerja,
3.
aspek peraturan perusahaan, dan
4.
aspek kesepakatan kerja
bersarna/perjanjian kerja bersama.
Dasar
hukum hubungan kerja pada dasamya atas dasar perjanjian kerja baik tertulis
maupun tidak tertulis. Adapun aspek perjanjian kerja mengandung empat unsur
pokok, yaitu:
1.
adanya kesepakatan kedua belah
pihak dengan tidak didasari unsur paksaan;
2.
para pihak merniliki
kemampuan/kecakapan melakukan perbuatan hukum;
3.ketentuan
pekerjaan yang diperjanjikan dan waktu masa berlakunya perjanjian;
4.
perjanjian yang dimaksud tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan
kesusilaan.
KEGIATAN BELAJAR 2
Ketentuan
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan Waktu Tidak Tertentu serta Outsourcing
A. PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT)
1.
Pengertian
Perjanjian Waktu Tertentu
Apa yang dimaksud perjanjian
kerja waktu tertentu adalah perjanjian kerja yang dibatasi oleh masa berlakunya
waktu perjanjian. Artinya, perjanjian kerja tidak bersifat permanen.
Berdasarkan ketentuan Undangundang No. 13 Tahun 2003 bahwa apa yang dimaksud
dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu harus didasarkan pada dua hal
pokok.
Pertama, perjanjian berlaku untuk jangka
waktu tertentu dan memuat batas waktu berlakunya perjanjian.
Kedua, selesainya suatu pekerjaan
tertentu.
PKWT
(Pasal 56 ayat
(2), Pasal 57, Pasal 58)
~ Didasarkan
~ Jangka
waktu tertentu
~ Selesainya
suatu pekerjaan
~ Tidak
boleh ada syarat percobaan 7 batal demi hukum
~ Tidak
tertulis menjadi PKwn
~ Penafsiran
hanya pad a perjanjian versi Bahasa Indonesia
Perjanjian kerja untuk waktu
tertentu disyaratkan harus dibuat secara tertulis dengan menggunakan bahasa
Indonesia dan huruf latin. Kewajiban menuangkan perjanjian kerja waktu tertentu
ke dalam bentuk tertulis adalah untuk melindungi salah satu pihak apabila ada
tuntutan dari pihak lain setelah selesainya perjanjian kerja. Format penulisan
perjanjian kerja bisa dibuat dalam dua bahasa, yakni bahasa Indonesia dan
bahasa Asing. Namun, apabila terjadi perbedaan penafsiran antara keduanya, yang
berlaku adalah perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia, dikarenakan
bahasa yang dipergunakan dalam beracara pada sidang perselisihan hubungan
industrial adalah bahasa Indonesia dan juga karena semua dokumen pendukung
dalam beracara ditulis dalam bahasa Indonesia.
2.
Jenis-jenis Pekerjaan yang dapat
Diperjanjikan dalam Perjanjian Kerja waktu Tertentu
Jenis
pekerjaan yang dapat diperjanjikan dalam perjanjian kerja waktu tertentu adalah jenis pekerjaan yang memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
a.
Pekerjaan yang sekali selesai
atau sementara sifatnya;
b.
Pekerjaan yang diperkirakan dapat
diselesaikan dalam waktu tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) Tahun;
c.
Pekerjaan yang bersifat MusiMan;
yaitu suatu pekerjaan yang tergantung pada cuaca at au kondisi tertentu.
d.
Pekerjaan yang terus menerus,
tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari proses
produksi tetapi tergantung pada cuaca atau apabila pekerjaan tersebut
dibutuhkan bila ada kondisi tertentu maka pekerjaan merupakan pekerjaan musiman;
e.
Pekerjaan yang berhubungan dengan
produksi baru, kegiatan baru atau prod uk tambahan yang masih dalam percobaan
atau penjajagan.
Dalam isi perjanjian kerja waktu
tertentu dilarang mensyaratkan adanya masa percobaan. Apabila syarat masa
percobaan tersebut dicantumkan maka syarat tersebut batal demi hukum.
Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan pada jangka waktu tertentu
dapat diadakan paling lama dua Tahun dan hanya dapat diperpanjang satu kali
untuk jangka waktu satu Tahun. Paling lambat tujuh hari sebelum perjanjian
kerja jangka waktu tertentu berakhir, pengusaha wajib memberitahukan maksudnya
untuk memperpanjang jangka waktu perjanjian kepada pekerja/buruh. Ketentuanketentuan
tentang perjanjian kerja waktu tertentu apabila tidak dipenuhi maka demi hukum
perjanjian kerja waktu tertentu berubah menjadi perjanjian kerja waktu tidak
tertentu. Perjanjian kerja waktu tertentu dapat diperbaharui sebanyak satu kali
untuk paling lama dua Tahun. Pembaharuan ini hanya dapat dilakukan setelah
jangka waktu tiga puluh hari sejak berakhirnya perjanjian kerja bersangkutan
terlampaui. Perjanjian kerja waktu tertentu berakhir setelah selesainya jangka
waktu yang diperjanjikan atau setelah selesainya pekerjaan tertentu yang
diperjanjikan.
B.
KETENTUAN HUKUM PKWT
Perjanjian kerja waktu tertentu
pada awalnya diatur melalui Permen No. 02 Tahun 1993 dan kernudian diperbaharui
dengan terbitnya UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Secara ringkas
perbandingan an tara isi Permen No. 02 Tahun 1993 dan UU Ketenagakerjaan No. 13
Tahun 2003 dapat dilihat pada skema berikut.
Setelah terbit
Undang-undang Ketenagakerjaan No 13 tahun 2003, Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia kemudian mengeluarkan Keputusan No. Kep 100/MEN/VI/2004 yang
mengatur tentang Ketentuanpelaksanaan
perjanjian kerja waktu tertentu. Di dalam SK tersebut mengatur ketentuan
sebagai berikut.
1.
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
yang selanjutnya disebut PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerjalburuh
dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau
untuk pekerja tertentu.
2.
Syarat kerja yang diperjanjikan
dalam PKWT, tidak boleh lebih rendah daripada ketentuan dalam peraturan
perundang -undangan yang berlaku.
3.
Menteri dapat menetapkan
ketentuan PKWT khusus untuk sektor usaha dan atau pekerjaan tertentu.
4.
PKWT untuk pekerjaan yang sekali
selesai atau sementara sifatnya adalah PKWT yang didasarkan atas selesainya
pekerjaan tertentu.
5.
PKWT dibuat untuk paling lama 3
Tahun.
6.
Dalam PKWT yang didasarkan atas
selesainya pekerjaan tertentu harus dicantumkan batasan suatu pekerjaan
dinyatakan selesai.
7.
Dalam hal pekerjaan tertentu yang
diperjanjikan dalam PKWT dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan
maka PKWT tersebut putus demi hukum pada saat selesainya pekerjaan.
8.
Dalarn hal PKWT dibuat
berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu namun karena kondisi tertentu
pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan, dapat dilakukan pembaharuan PKWT.
9.
Pembaharuan dilakukan setelah
melebihi masa tenggang waktu 30 hari setelah berakhirnya perjanjian kerja.
10.
Perjanjian Kerja Waktu Tidak
Tertentu yang selanjutnya disebut PKWTT adalah perjanjian kerja antara
pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat
tetap.
11.
Pengusaha adalah sebagai berikut.
Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusabaan milik sendiri.
a.
Orang perseorangan, persekutuan
atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan
miliknya.
b.
Orang perseorangan, persekutuan
atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusabaan sebagaimana
dimaksud dalam buruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
12.
Perusahaan adalab:
a.
setiap bentuk usaba yang berbadan
hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik bad an
hukum, baik milik
b.
swasta maupun milik negara yang
mempekerjakan pekerjalburuh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain;
c.
usaha-usaha sosial dan
usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
13.
Pekerja/buruh adalah setiap orang
yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
14.
Pekerjaan yang bersifat musiman
adalah pekerjaan yang pelaksanaannya tergantung pada musim atau cuaca.
15.
Pekerjaan-pekerjaan yang harus
dilakukan untuk memenuhi pesanan atau target tertentu dapat dilakukan dengan
PKWT sebagai pekerjaan musiman dan hanya diberlakukan untuk pekerjalburuh yang
melakukan pekerjaan tambahan.
16.
Pengusaha yang mempekerjakan
pekerja/buruh berdasarkan PKWT harus membuat daftar nama pekerjalburuh yang
melakukan pekerjaan tambahan.
17.
PKWT dapat dilakukan dengan
pekerja/buruh untuk melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru,
kegiatan baru at au produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajagan.
PKWT jenis ini hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 Tahun dan
dapat diperpanjang untuk satu kali paling lama 1 Tahun.
18.
Untuk pekerjaan-pekerjaan
tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah
didasarkan pada kehadiran, dapat dilakukan dengan perjanjian kerja harian atau
lepas.
19.
Perjanjian kerja harian lepas
sebagaimana dilakukan dengan ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang dari 21
hari dalam 1 bulan.
20.
Dalam hal pekerja/buruh bekerja
21 hari atau lebih selama 3 bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian
kerja harian lepas berubah menjadi PKWTT.
21.
Pengusaha yang mempekerjakan
pekerja/buruh pada pekerjaan harian lepas wajib membuat perjanjian kerja harian
lepas secara tertulis dengan para pekerja/buruh.
22.
Perjanjian kerja harian lepas
dapat dibuat berupa daftar pekerjalburuh yang melakukan pekerjaan
sekurang-kurangnya memuat:
a.
nama/alamat perusahaan atau
pemberi kerja;
b.
namalalamat pekerjalburuh;
c.
jenis pekerjaan yang dilakukan;
d.
besarnya upah danJatau imbalan
lainnya.
23.
Daftar pekerja/buruh sebagaimana
dimaksud disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat selambat-Iambatnya 7 hari kerja sejak mempekerjakan
pekerja/buruh atau PKWT wajib dicatatkan oleh pengusaha kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupatenikota setempat
selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak penandatanganan.
C. PERJANJIAN KERJA WAKTU TIDAK TERTENTU (PKWTT)
Pengertian Perjanjian Kerja Waktu
Tidak Tertentu
Apa yang dimaksud dengan
perjanjian kerja waktu tidak tertentu adalah perjanjian kerja yang sifatnya
permanen. Perjanjian kerja waktu tidak tertentu dapat dibuat secara tertulis
maupun lisan. Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara
lisan, sebagaimana diatur pada Pasal 63 UU No. 13 Tahun 2003 maka pengusaha
wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan. Surat pengangkatan
yang dimaksud sekurang-kurangnya memuat:
a.
Nama dan alamat pekerjalburuh;
b.
Tanggal mulai bekerja;
c.
Jenis pekerjaan;
d.
Besar upah;
Perjanjian kerja untuk waktu
tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 bulan.
Syarat masa percobaan harus dicanturnkan dalam perjanjian kerja. Apabila
perjanjian kerja dilakukan secara lisan maka syarat masa percobaan kerja harus
diberitahukan kepada pekerja yang bersangkutan dan dicantumkan dalam surat
pengangkatan. Dalam hal tidak dicanturnkan dalam perjanjian kerja atau dalam
surat pengangkatan maka ketentuan masa percobaan kerja dianggap tidak ada.
Secara ringkas aturan mengenai
PKWTT dapat dilihat pada skema berikut ini.
PKWTT (Pasal 60 sId 63) UUK No. 13 Tahun 2003
Lebih Tegas
Mengatur tentang PKWTT
1.Boleh ada masa
percobaan, maksimal 3 (tiga) bulan
2.Tertulis dan
tak tertulis
3.Berakhir:
a.
Meninggal dunia
b.
Berakhirnya masa perjanjian
c.
Putusan pengadilan
d.
Keadaan tertentu yang dicantumkan dalam PK I PP I PKB
4.
Tak berakhir karena pengusaha meninggal, berakhirnya
perusahaan karena penjualan, pewarisan atau hibah.
5.
Pengalihan tanggung jawab pad a pengusaha baru atau
kesepakatan tanpa kurangnya hak buruh.
6.
Pengusaha perorangan meninggal dunia dapat akhiri hubungan keria
dengan perundingan.
7.
Buruh meninggal, ahli waris berhak mendapat hak-haknya
sesuai UU.
8.
Perjanjian lisan, pengusaha wajib membuat surat
pengangkatan.
D.
PERJANJIAN KERJA OUTSOURCING
1.
Pengertian
Outsourcing
Outsourcing adalah istilah populer dari pemborongan
pekerjaan. Bentuk kerja outsourcing ini banyak diminati oleh dunia kerja
saat ini, mengingat pola kerja ini tidak mengandung risiko dibanding dengan
pola hubungan kerja atas dasar perjanjian kerja waktu tertentu. Sebut saja
misalnya sebuah bank dalam mengangkat tenaga sekuriti atau satpam, lebih suka outsourcing
dengan cara melakukan kerja sarna dengan penyedia jasa sekuriti. Pihak bank
tidak tertarik mengangkat secara langsung tenaga sekuriti dengan status sebagai
karyawan kontrak atau tetap, melainkan dengan cara semacam sewa dengan pihak
penyedia jasa. Di mana pihak bank tidak membayar atau menggaji secara langsung
pacta sekuriti terkait melainkan membayar langsung pada perusahaan penyedia
jasa sekuriti. Keuntungannya apabila pihak bank tidak suka dengan kinerja
sekuriti terkait dapat dengan mudah minta ganti pada penyedia jasa sekuriti
tersebut. Di samping itu, pihak bank tidak menanggung risiko apa pun yang
terkait dengan sekuriti tersebut. Oleh karena pihak sekuriti sesungguhnya bukan
karyawan bank terkait melainkan karyawan pihak penyedia jasa. Jadi, sekuriti
tersebut dengan kata lain adalah karyawan pihak penyedia jasa yang dipekerjakan
pad a sebuah bank. Tanggung jawab sekuriti dalam hal gaji dan segal a hal yang
terkait dengan masalah ketenagakerjaan adalah dengan pihak penyedia jasa bukan
dengan pihak bank. Perusahaan jasa sekuriti yang menerapkan pola outsourcing
ini tidak hanya dengan bank, tetapi juga dengan pabrik-pabrik, rumah sakit,
sekolah, dan juga dengan pihak perorangan untuk menjaga rumah atau apartemen.
Selain bidang jasa sekuriti, outsourcing
juga banyak dijumpai, misalnya bidang jasa tenaga Sales Promotion Girls (SPG)
atau Beautician yang bekerja di supermarket, seperti Matahari
Departernen Store, Ramayana, Rimo, dan sejurnlah pertokoan lain. Matahari
Departemen Sore, misalnya tidak secara langsung mengangkat karyawan yang berada
di bawah kepegawaian Matahari
me1ainkan dengan cara kerja sarna dengan pihak penyedia jasa SPG atau Beautician.
Jadi, urusan gaji SPG atau Beautician itu dibayar tidak langsung
dari Matahari melainkan dari perusahaan induknya yang rnenernpatkan mereka di
Matahari. Sebaliknya, manajemen matahari membayar para SPG tersebut lang sung
dengan pihak penyedia jasa. lnilah garnbaran singkat pola hubungan kerja outsourcing.
2.
Dasar Hukum
Outsourcing
Outsourcing atau pemborongan pekerjaan pada
dasarnya mengacu pada ketentuan Pasal 1601 b
KUH Perdata "Pemborongan pekerjaan adalah persetujuan dengan mana
pihak yang satu, si pemborong mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu
pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan dengan menerima suatu
harga yang ditentukan".
Dalam UU Ketenagakerjaan No. 13
Tahun 2003, ketentuan mengenai outsourcing diatur pada Pasal 64
"Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan
jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis".
Dalam perjanjian outsourcing dipersyaratkan
(Pasal 65 UUK No. 13 Tahun 2003), yaitu sebagai berikut.
1.
Perjanjian
dibuat secara tertulis.
2.
Jenis
Pekerjaan.
a.
Terpisah dari kegiatan utama.
b.
Perintah langsung/tak langsung.
c.
Kegiatan penunjang.
d.
Tak hambat produksi secara
langsung.
3.
Pihak
pemberi kerja maupun penerima kerja berbadan hukum.
4.Perlindungan syarat kerja minimal
sarna dengan ketentuan yang berlaku.
3.
Persyaratan menjadi Perusahaan Outsourcing
Berikut ini adalah ketentuan atau
persyaratan untuk menjadi atau mendirikan perusabaan outsourcing.
a.
Memiliki Izin dari Disnaker
(Dinas Tenaga Kerja) sebagai Labour
Supplier.
b.
Berbadan hukum yang dibuktikan
dengan Akta Pendirian Perusahaan
(PT).
c.
Memiliki SHJP (surat izin usaha
perdagangan).
d.
Memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib
Pajak).
e.
Memiliki Perjanjian kerja sarna/Service Agreement an tara
Prinsipal dengan Vendor.
f.
Wajib lapor ketenagakerjaan.
g.
Memiliki Peraturan Perusahaan
yang disahkan oleh Disnaker.
4. Status Hubungan
Kerja Karyawan Perusahaan Outsourcing
Hubungan kerja karyawan
perusabaan outsourcing diatur pada Pasal 65 ayat (6) sId (9) UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 sebagai berikut.
Pertama tanggung
jawab pekerja pada perusahaan outsourcing terkait. Misalnya, seorang SPG
yang dipekerjakan oleb perusahaannya sebut saja PT. Delta untuk bekerja di
Matahari Departemen Store maka hubungan kerja dan tanggung jawab si SPG terkait
tidak dengan manajemen matabari melainkan dengan PT. Delta tersebut.
Kedua bentuk
perjanjian kerja an tara si pekerja dengan perusahaan outsourcing terkait
bisa berupa perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau perjanjian kerja waktu
tidak tertentu (PKWTT).
Ketiga perjanjian
tersebut baik PKWT atau PKWTT harus dibuat tertulis.
Keempat apabila perusahaan outsourcing
tidak memenuhi persyaratan kedua dan ketiga di atas maka hubungan pekerja
beralih ke pemberi pekerjaan. Artinya, pekerja langsung menjadi milik pemberi
kerja bukan lagi menjadi rnilik perusahaan outsourcing terkait. Bentuk
hubungan kerja si pekerja dengan pemberi kerja bisa berupa PKWT atau PKWTT.
Ketentuan beralihnya status pekerjalburuh dari perusahaan outsourcing ke
pemberi kerja sebagaimana dijelaskan di atas, diatur dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 Pasal 65 ayat (8):
"Dalam hal ketentuan dirnaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak
terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerjalburuh dengan
perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerjalburuh
dengan perusahaan pemberi pekerjaan".
Selanjutnya, pada Pasal 66 UU
Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 diatur mengenai ketentuan perlindungan
karyawan pada perusahaan outsourcing sebagai berikut.
1.
Pekerja/buruh
dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan untuk
melaksanakan kegiatan pokok atau yang berhubungan langsung dengan proses
produksi.
2.
S
yarat -s yarat:
a.
Adanya
hubungan kerja an tara pekerjalburuh dan perusahaan penyediaan jasa
pekerjalburuh.
b.
Perjanjian
kerja yang berlaku adalah PKWT dan atau PKWTT dibuat secara tertulis dan di
tandatangani kedua belah pihak.
c.
Perlindungan
upah dan kesejahteraan, syarat kerja serta perselisihan menjadi tanggung jawab
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
d.
Perjanjian
antara perusahaan pengguna jasa dan perusahaan penyedia jasa pekerjalburuh
dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal sebagaimana dimaksud dalam UU.
3.
Penyedia
jasa pekerja/buruh harus bentuk usaha yang berbadan dan memiliki izin dari
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Contoh:
Pertanyaan 1
Saya merencanakan memulai usaha
(perusahaan) yang akan mempekerjakan kurang lebih 100 orang. Saat ini saya
masih memikirkan cara membuat kontrak kerja dengan pekerja. Rencananya saya
mempekerjakan sebagian sebagai pekerja tetap dan sebagian lagi pekerja kontrak
(tidak tetap). Mohon penjelasan apa yang harus diperhatikan dalam kontrak kerja
pekerja tetap dan pekerja tidak tetap?
Jawaban:
Hal yang perlu diperhatikan dalam
membuat perjanjian (kontrak) kerja adalah mengetahui terlebih dahulu jenis
pekerjaan yang akan diperjanjikan antara pihak pengusaha dengan pihak pekerja.
Berdasarkan UU No. l3 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, jenis perjanjian (kontrak) kerja dapat dibagi 2, yaitu
sebagai berikut.
1.
Perjanjian
(kontrak) kerja waktu tertentu.
2.
Pekerjaan
(kontrak) kerja waktu tidak tertentu.
Perjanjian (kontrak) kerja waktu
tertentu adalah perjanjian tentang pekerjaan yang menurut jenis, sifat atau
kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Status pekerjanya
adalah pekerja tidak tetap. Perlu diperhatikan bahwa yang termasuk jenis
pekerjaan ini adalah sebagai berikut.
a.
Pekerjaan
yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya.
b.
Pekerjaan
yang diperkirakan penyelesaiannya dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama
dan paling lama 3 Tahun.
c.
Pekerjaan
yang sifatnya musiman.
d.
Pekerjaan
yang berhubungan dengan produk bal'll, kegiatan baru at au produk tambahan yang
masih dalarn percobaan atau penjajagan.
Perjanjian kerja waktu tertentu
dapat diadakan paling lama 2 Tahun dan dapat diperpanjang 1 kali untuk jangka
waktu paling lama 1 Tahun.
Jika Anda di kemudian hari
berniat memperpanjang perjanjian kerja tersebut maka Anda harus memberitahukan
rencana perpanjangan kontrak tersebut secara tertulis kepada pekerja, paling
lama tujuh hari sebelum kontrak kerja berakhir.
Jika kedua belah pihak sepakat
untuk melanjutkan lagi kontrak kerja (misalnya ada pekerjaan tambahan) maka
bentuk kontraknya adalah pembaruan perjanjian kerja, yang dapat diadakan
setelah melebihi mas a tenggang waktu 30 hari setelah berakhirnya perjanjian
kerja yang lama. Pembaruan perjanjian kerja ini hanya boleh dilakukan 1 kali
dan paJing lama 2 Tahun.
Dari uraian di atas, dapat kita
ketahui bahwa kontrakiperjanjian kerja dalam jenis pekerjaan waktu tertentu
dapat berlangsung selama 5 Tahun, yaitu perjanjian kerja tahap I selama 2
Tahun, perjanjian kerja tahap II/perpanjangan perjanjian 1 Tahun dan perjanjian
kerja tahap III/pembaruan perjanjian 2 Tahun.
Perlu diperhatikan undang-undang
tidak memperkenankan mengadakan masa percobaan terhadap pekerja tidak tetap.
Pekerjaan waktu tidak tertentu
adalah pekerjaan yang bersifat tetap, pekerjaannya tidak dibatasi waktu. Dengan
kata lain, apabila pekerjaannya adalah di luar jenis pekerjaan waktu tertentu
sebagaimana tersebut di atas maka status pekerja tersebut adalah pekerja tetap.
Terhadap pekerja tetap dapat disyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3
bulan.
Pertanyaan 2
1.
Apabila
kami terikat perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT)I Kesepakatan kerja
waktu tertentu (KKWT) selama 4 Tahun terus menerus tanpa terminate/break, apakah dalam
perpanjangan kontrak berikutnya menjadi PKWTTIKKWTT (employee permanent) ataukah
tetap ataukah dapat di outsourcing?
2.
Bila
terjadi outsourcing atau determinasi atau diberhentikan oleh perusahaan
bagaimana sebaiknya sikap kami dan bagaimana dengan uang pesangon.
3.
Dalam
kasus kedua mungkinkah karni mendapat kornpensasi kemahalan yang lebih dari
kriteria Pasal 164 ayat (3) karena menurut kami sebenarnya perusahaan telah
melanggar UUK 131 2003 Pasal 59?
Jawaban:
Sepanjang tidak bertentangan dan
atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003
maka semua peraturan pelaksanaan mengenai ketenagakerjaan tetap berlaku. Dengan
demikian, beberapa ketentuan mengenai Jangka Waktu, Perpanjangan dan
Pembaharuan Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu sebagaimana diatur dalam
Permenaker No. PER-021MEN/1993 tentang
Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu ("Permenaker No. PER-02IMEN/1993")
dinyatakan tidak berlaku lagi karena UU No. 13 Tahun 2003 telah mengatur
ketentuan baru berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas.
Selanjutnya, berkaitan dengan
beberapa pertanyaan yang diajukan maka dapat dijelaskan hal-hal sebagai
berikut.
1.
Berkaitan
dengan permasalahan perpanjangan kontrak bagi pekerja sebagai KKWT selama 4
Tahun terus menerus tanpa pemutusan, apakah akan menjadi KKWTT atau dapat di-outsourcing
maka berdasarkan Pasal 59 ayat (4) UUNo. 13 Tahun 2003 dinyatakanbahwa
suatu KKWT yang didasarkan atas jangka waktu tertentu diadakan paling lama 2
Tahun dan hanya diperbolehkan diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu paling
lama 1 Tahun.
2.
Sesuai permasalahan sebagaimana
dimaksud di atas, sesungguhnya yang harus menjadi titik berat pertimbangan
adalah mengenai apakah sudah benar ketentuan yang digunakan berkaitan dengan
jangka waktu KKWT pekerja tersebut adalah 4 Tahun. Sehubungan dengan hal
tersebut dan berkaitan pula dengan ketentuan pada Pasal 59 ayat (4) tersebut,
maka perusahaan di mana pekerja tersebut bekerja telah melakukan pelanggaran
atas ketentuan UU No. 13 Tahun 2003. Hal ini dikarenakan ketentuan mengenai jangka
waktu KKWT paling lama adalah 2 Tahun, sementara pekerja tersebut dipekerjakan
untuk jangka waktu 4 Tahun.
3.
Berkaitan dengan terjadinya
outsourcing atau diberhentikan oleh perusahaan, apakah pekerja yang merupakan
KKWT tetap akan memperoleh uang pesangon, maka berdasarkan Pasal 16 ayat (2)
Permenaker No. PER-02IMEN/1993 menyatakan bahwa pengusaha atau pekerja yang
mengakhiri KKWT sebelum waktunya berakhir atau selesainya pekerjaan tertentu,
maka pihak yang mengakhiri KKWT tersebut wajib membayar ganti rugi sebesar upah
pekerja sampai waktu atau pekerjaannya seharusnya selesai.
4.
Berdasarkan ketentuan pada pasal
tersebut, memang tidak dinyatakan mengenai uang pesangon, namun demikian
ketentuan tersebut menyatakan mengenai adanya suatu uang ganti kerugian sehingga
berdasarkan hal tersebut pula, dapat disimpulkan bahwa pekerja yang merupakan
KKWT akan memperoleh uang ganti rugi apabila KKWT tersebut dihentikan sebelum
waktunya atau pekerjaan selesai oleh pihak perusahaan. Selain itu perlu
diketahui, bahwa uang ganti rugi tersebut dapat diperoleh, sepanjang KKWT tidak
dihentikan berdasarkan alasan-alasan yang tercantum dalam Pasall7, 19, dan 20
Permenaker No. PER-02/MEN/1993.
5.Berkaitan dengan perusahaan melakukan outsouching
atau pemberhentian, apakah pekerja KKWT dapat diperoleh kompensasi kemahalan
yang lebih sebagaimana tercantum dalam Pasal 164 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003
sernentara pekerja beranggapan bahwa perusahaan telah melakukan pelanggaran
atas Pasal 59 UU No. 13 Tahun 2003 maka berkaitan dengan permasalahan tersebut
baik UU No. 13 Tahun 2003 maupun peraturan pelaksana ketenagakerjaan lainnya
tidak memperinci secara lebih jelas lagi tentang hal tersebut. Telah eliuraikan
dalam Pasal 16 ayat (2) Permenaker No. PER-02/MENI1993 maka pekerja KKWT
tersebut pada dasamya berhak mendapatkan uang ganti rugi sebesar upah pekerja
sampai waktu atau pekerjaannya seharusnya selesai. Selanjutnya, sehubungan
dengan permasalahan tersebut, perlu pula dilihat atau diperhatikan apakah
ketentuan dalam peraturan perusahaan dan atau kontrak kerja pekerja KKWT dengan
perusahaan mengatur hal sebagaimana eli atas. Apabila hal tersebut diatur dalam
peraturan-peraturan dimaksud maka penyelesaian atas permasalahan tersebut dapat
diatur berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam peraturan-peraturan
tersebut.
RANGKUMAN
Perjanjian
kerja waktu tertentu (PKWT) harus didasarkan pada dua hal pokok, yaitu sebagai
berikut.
1.
Perjanjian berlaku untuk jangka
waktu tertentu dan memuat batas waktu berlakunya perjanjian.
2.
Selesainya suatu pekerjaan
tertentu.
PKWT
harus dibuat secara tertulis untuk melindungi salah satu pihak apabila ada
tuntutan dari pihak lain setelah selesainya perjanjian kerja. Dalarn isi PKWT
dilarang mensyaratkan adanya masa percobaan dan apabila syarat tersebut
dicantumkan maka syarat tersebut batal derni hukum.
PKWTT
adalah perjanjian kerja yang sifatnya permanen. PKWTT dapat dibuat secara
tertulis maupun lisan. PKWTT dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling
lama 3 bulan dan syarat masa percobaan harus dicantumkan dalam perjanjian
kerja. Apabila perjanjian kerja dilakukan secara lisan maka syarat masa
percobaan kerja harus diberitahukan kepada pekerja yang bersangkutan dan
dicantumkan dalam surat pengangkatan. Dalam hal tidak dicantumkan dalam perjanjian
kerja atau dalam surat pengangkatan maka ketentuan masa percobaan kerja
dianggap tidak ada.
Bentuk
kerja outsourcing banyak
dirninati oleh dunia kerja saat ini karen a pola kerja ini tidak mengandung
risiko dibanding dengan pola hubungan kerja atas dasar perjanjian kerja waktu
tertentu. Adapun status hubungan kerja karyawan perusahaan outsourcing adalah:
1.
tanggung jawab pekerja pada
perusahaan outsourcing terkait;
2.
bentuk perjanjian kerja antara si
pekerja dengan perusahaan outsourcing terkait berupa PKWT atau PKWTT;
3.
perjanjian PKWT atau PKWTT harus
tertulis;
4.
bila persyaratan 2 dan 3 tidak
dipenuhi, hubungan pekerja beralih ke pemberi pekerjaan artinya pekerja
langsung menjadi rnilik pemberi kerja bukan lagi menjadi rnilik perusahaan
outsourcing terkait.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar