MODUL 6
Penegakan Hukum dan Penemuan
Hukum
Dari sejarah
perkembangan kehidupan manusia dapatlah diketahui bahwa usaha memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya, manusia memperoleh pengalaman-pengalaman.
Dalam perkembangan selanjutnya
nilai-nilai tersebut mempengaruhi pola piker. Pola pikir menghasilkan sikap
yang akan menimbulkan keteraturan dan akhirnya menjadi pola prilaku. Pola
perilaku yang baik dan bermamfaat, setelah diabstraksikan, akan menjadi pedoman
atau patokan bagi manusia tentang apa yang bail yang harus dilakukan dan apa
yang dianggap buruk yang harus dihindari.
Penjelas-penjelasan
dalam modul ini :
1.
Pengertian
penegak hukum;
2.
Kekuatan
berlakunya peraturan perundang-undangan;
3.
Budaya
hukum dan kesadaran hukum;
4.
Elemen-elemen
penegak hukum;
5.
Sumber
penemuan hukum;
6.
Metode-metode
penemuan hukum;
7.
Metode
penafsiran;
8.
Metode
argumentasi; dan aliran-aliran dalam penemuan hukum.
KEGIATAN
BELAJAR 1
Penegakan
Hukum, Budaya Hukum, dan
Kesadaran
Hukum
A.
PENGERTIAN
PENEGAKAN HUKUM
System hukum sebagai
satu kesatuan mempunyai 3 Element, yaitu : kelembagaan (institusional), Kaidah Hukum (Instrumental)
dan Subjek penegak hukum sebagai penyandang hak dan kewajiban. Elemen-elemen
tersebut dalam implementasinya ditopang oleh 3 kegiatan, yaitu : Pembuatan peraturan perundang-undangan
(law making), pelaksanaan Hukum (law
administrating) dan Penegakan hukum
(law adjudicating). Berkaitan dengan
ketiga hal tersebut kalau dikonkritkan dan dihubungkan dengan ajaran pembagian
dan pemisah kekuasaan Negara, menjadi 3 fungsi, yaitu : (1) fungsi legislasi dan regulasi ditangani
oleh organ legislative; (2) fungsi
eksekutif dan administrative ditangani oleh organ eksekutif atau birokrasi
pemerintahan;, dan (3) fungsi Yudikatif
atau yudisial ditangani oleh organ yudikatif atau birokrasi aparat penegak
hukum, yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan dapat ditambah
Advokat, Pemasyarakatan dan Pendidikan Hukum.
B.
KEKUATAN
BERLAKUNYA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Diihat dari bentuknya,
hukum ada yang tertulis yang terjadinya memang sengaja dibentuk, dan hukum
tidak tertulis yang timbul dari pergaulan hidup yang berlakunya dan kelangsungan
berlakunya tergantung kesadaran hukum masyarakat.
Pembentukan peraturan
perundang-undangan adalah sebagai suatu proses mulai dari perencanaan,
persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan,
dan penyebarluasan. Pasal 5 UU No. 10 tahun 2004 tentang “pembentukan Peraturan perundang-undangan” menetapkan adanya 7 asas
untuk membuat peraturan perundang-undangan yang baik, yaitu meliputi :
kejelasan tujuan; kelembagaan atau organ
pembentuk yang tepat; kesesuain antara jenis dan materi muatan; dapat
dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; dan
keterbukaan.
Kekuatan berlakunya
peraturan perundang-undangan, atau dalam arti luas kaidah hukum, atau menurut
Purnadi Purbacaraka disebut kelakuan kaidah hukum, atau menurut gustav radbruch
disebut Geltung de recht, adalah berlakunya hukum secara operasional, jadi
bukan tentang saat berlakunya berlakunya hukum atau saat mengikatnya hukum,
dalam teori-teori hukum pada umumnya dibedakan antara tiga macam kekuatan
berlakunya hukum, yaitu kekuatan berlakunya secara yuridis (juristische
Geltung), kekuatan berlakunya secara sosiologis (Soziologische Geltung), dan kekuatan berlakunya secara filosofis
(Filosofische Geltung)(Purbacaraka, 1979 : 113 -120)
1.
Kekuatan berlaku secara yuridis, yaitu
apabila persyaratan formal untuk terbentuknya peraturan hukum terpenuhi.
2.
Kekuatan berlaku secara sosiologis,
yaitu apabila peraturan hukum mempunyai efektifitas dalam kehidupan bersama.
3.
Kekuatan berlakunya secara filosofis,
yaitu apabila peraturan hukum sesuai dengan cita-cita hukum (Rechtsidee)
sebagai nilai positif yang tertinggi.
C. BUDAYA
HUKUM DAN KESADARAN HUKUM
Sitem
Hukum Nasional (SHN) Republik Indonesia, atau dapat juga disebut sebagai Tata
Hukum Negara Republik Indonesia, adanya sejak berdiri Negara RI pada tanggal 17
Agustus 1945. UUD 1945 adalah merupakan ketentuan hukum positif yang tertinggi
di Indonesia.
SHN
tidak hanya terdiri dari kaidah-kaidah hukum, tetapi juga meliputi seluruh
lembaga dan aparatur hukum, organisasi, mekanisme dan prosedur hukum, budaya
hukum, perilaku aparat penegak hukum dan aparat pemerintah dan tentunya juga
perilaku dari warga masyarakat.
UUD
1945 sebenarnya secara tidak langsung sudah mengakui pentingnya budaya hukum
dalam penyelenggaraan Negara, hal tersebut seperti yang dinyatakan dalam
penjelasan Umum butir IV UUD 1945, antara lain dinyatakan bahwa :
“Yang
sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hidup Negara, ialah semangat para
penyelenggara Negara, semangat para pemimpin pemerintahan. Meskipun dibikin
Undang-undang Dasar yang menurut kata-katnya bersifat kekeluargaan, apabila
semangat para penyelenggara Negara, para pemimpin pemerintahan itu bersifat
perseorangan, UUD tadi tentu tidak aka nada artinya dalam praktek. Sebaliknya,
meskipun Undang-undang dasar itu tidak sempurna, akan tetapi jikalau semangat
para penyelenggara pemerintahan baik, UUD itu tentu tidak akan merintangi
jalannya Negara. Jadi yang paling penting ialah semangat. Maka semangat itu
hidup, atau dengan lain perkataan, dinamis”.
Secara
sederhana budaya hukum dapat diartikan sebagai anggapan umum yang sama dari
masyarakat tertentu terhadap fenomena hukum atau terhadap peristiwa hukum.
Tanggapan ini merupakan kesatuan pandangan terhadap nilai-nilai dalam prilaku
hukum. Jadi budaya hukum menunjukan tentang pola perilaku individu sebagai
anggota masyarakat yang menggambarkan tanggapan yang sama terhadap kehidupan
hukum yang dihayati masyarakat bersangkutan (Hadikusuma, 1986 : 51).
Dengan
demikian dapat dikatakan Bahwa Budaya Hukum adalah suatu tuntutan atau
permintaan (Friedman, 1977:7, dan Rahardjo, 1982:168) tentang apa yang harus
ada, atau harus dimiliki, atau yang seharusnya dilakukan.
Kesadaran
hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat dalam diri manusia
tentang hukum yang ada, tentang hukum yang diharapkan ada dan bagaimna
seharusnya ia bertindak dan bertingkah laku menurut hukum.
Selanjutnya
dengan mensitir pendapat Paul Scholten, Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa
kesadaran hukum merupakan suatu kategori, yaitu pandangan yang aprioritis umum
tertentu dalam hidup kejiwaan kita yang menyebabkan kita dapat memisahkan
antara hukum dan kebatilan (tidak hukum), yang tidak ubahnya dengan benar dan
tidak benar, baik dan buruk (Mertokusumo, 1985 : 98-99).
Pringgodigdo
mengatakan bahwa yang dimaksud kesadaran adalah bagian jiwa manusia yang
diketahui dan diinsyafi, atau semua pengalaman yang diketahui dan diinsyafi
pada suatu saat atau juga taraf mental (Ensiklopi Umum, 1973:659).
Kesadaran
Hukum memiliki dua dimensi, yaitu : pengetahuan hukum dan ikut serta atau
berpartisipasi dalam melaksanakan atau menegakkan hukum. Secara lebih lengkap
Pasal 1 Peraturan Menteri Kehakiman RI No. M.05/PR.08.10 Tahun 1988 menentukan
bahwa kesadaran hukum masyarakat adalah nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat
tentang hukum, yang meliputi pengetahuan, pemahaman, penghayatan, kepatuhan/
ketaatan kepada hukum.
D. ELEMEN PENEGAKAN HUKUM
Sebagai
perlindungan kepentingan manusia, yang bertujuan kedamaian dan kesejahteraan
hidup bersama, hukum haruslah dilaksanakan, dan kalau terjadi pelanggaran,
hukum haruslah ditegakkan. Sesuai dengan tujuan hukum, tugas hukum bukan hanya
memberikan kepastian hukum, tetapi juga memberikan kesebandingan dalam hukum
dalam memberikan hak dan kewajiban yang mampu menciptakan ketentraman atau
ketenangan dalam hidup bermasyarakat.
Dilihat
dari bentuknya, aturan-aturan hukum yang tertulis yang terjadi memang sengaja
dibuat oleh pembentukan peraturan perundang-undangan dan ada yang tidak
tertulis yang timbul dari pergaulan hidup bersama sebagai hukum adat atau hukum
kebiasaan.
Pelaku
penegak hukum dalam arti luas tidak hanya mereka yang terkait atau tersangkut
dalam proses peradilan, tetapi juga mereka yang berada diluar pengadilan.
Lingkungan
penegak hukum adalah lingkungan atau tempat berlakunya atau tempat
ditegakkannya hukum. Penegakan hukum yang tepat atau benar dan adil tidak boleh
hanya diliat dari sisi penegak hukumnya, tetapi juga harus diliat dari sisi
atau konteks kenyataannya dalam masyarakat atau lebih mendalam lagi dilihat
dari kesesuainnya dengan nilai-nilai hukum dan kesadaran hukum masyarakat yang
ada dan hidup dalam masyarakat tempat berlakunya atau tempat ditegakannya
hukum. Penegakan hukum yang benar dan adil tidak semata-mata ditentukan oleh
kehendak pelaku hukum sebagai “ratu adil” tetapi juga kemauan dan kemampuan
masyarakat untuk berupaya memperoleh perlakuan hukum yang benar dan adil.
KEGIATAN
BELAJAR 2
PENEMUAN
HUKUM
A.
SUMBER PENEMUAN HUKUM
Melalui proses
peradilan, Hakim adalah sebagai penentu terakhir dari proses penegakan hukum
melalui pengadilan, sehingga muncul anggapan bahwa pengadilan merupakan
terminal terakhir dari suatu proses penegakan hukum. Lembaga pengadilan melalui
melalui para hakimnya adalah merupakan harapan terakhir bagi para pencari
keadilan.
Hakim tidak hanya
diposisikan sebagai penegak hukum, tetapi juga penegak keadilan yang benar.
Dalam memutus perkara tidak cukup hanya mendasarkan pada bunyi suatu
undang-undang, tetapi juga harus mempertimbangkan jiwa dan ratio legis yang
mendasari undang-undang atau pasal-pasal tertentu yang akan dijadikan dasar
untuk menjatuhkan putusan. Bahkan Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman mewajibkan lebih dari itu, bahwa dalam memutuskan perkara
hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat; dan dalam perkara pidana, hakim juga
ahrus memperhatikan pula sifat ayng baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 UU
No. 4 Tahun 2004).
Kebebasan hakim dalam
memutuskan perkara dimaksudkan agar putusan yang dijatuhkan mencerminkan hukum
yang hidup dan rasa keadilan masyarakat. Kebesan hakim dalam memutuskan tidak
mutlak atau tampa batas, kebesan tersebut dibatasi oleh Pancasila,
undang-undang, kepentingan para pihak dan ketertiban umum.
Sebenarnya yang melakukan
kegiatan penemuan hukum bukan hanya bukan hanya hakim, tetapi juga para penegak
hukum yang lain dan pembentuk peraturan perundang-undangan, serta dosen atau
para peneliti hukum, bahkan warga masyarakat yang sedang menghadapi kasus
biasanya juga berusaha mencari apa hukumnya dalam kasus yang dihadapinya
tersebut.
-
Hakim : penemuan hukumnya bersifat
konfliktif, sebab berkaitan dengan peristiwa konkrit atau konflik yang harus
diselesaikan. Hasil penemuan hukumnya berupa hukum increto dan dapat menjadi sumber
hukum;
-
Pembentukan peraturan perundang-undangan
: penemuan hukumnya bersifat preskriptif, sebab yang dihadapi peristiwa abstrak
yang masih akan terjadi. Hasil penemuan hukum adalah hukum in abstracto dan
merupakan sumber hukum;
-
Dosen atau peneliti hukum : penemuan
hukumnya bersifat teoritis. Hasil penemuan hukumnya bukan hukum, namun sebagai
dokrin dapat menjadi sumber hukum.
Van eikema Hommes
antara lain mengatakan bahwa Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses
pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi
tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa konkrit. Ini merupajan
proses konkritisi dan individulisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan
mengingat peristiwa konkrit (Mertokusumo, 1985 : 132 -133).
Ada beberapa pasal dalam UU no. 4 tahun 2004 yang dapat
dijadikan dasar hukum dilakukan penemuan hukum oleh hakim, yaitu :
a.
Pasal
5 Ayat (1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang.
b.
Pasal
16 ayat (1) Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
c.
Pasal
28 ayat (1) hakim wajib mengadili, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dalam memeriksa suatu perkara, ada tiga
tahap kegiatan hakim, yaitu mengkonstatir peristiwanya, mengkualifisir
peristiwa yang terbukti sebagai hubungan hukum apa atau sebagai perbuatan hukum
yang mana, dan yang terakhir mengkonstituir atau memberikan hukumnya atau
keadilannya. Setelah proses pembuktian dan hakim telah mengkonstatir
peristiwanya, hakim wajib melakukan penemuan hukum, dalam hal ini ada beberapa
metode penemuan hukum yang dapat digunakan oleh hakim, yaitu :
(1)
Interpretasi;
(2)
Metode
argumentasi;
(3) Kalau kedua metode tersebut tidak berhasil,
hakim barulah menciptakan sendiri hukumnya berdasarkan fakta positif yang
terlah terbukti.
B.
METODE-METODE
INTERPRETASI
Dalam melakukan
penemuan hukum, setelah mengkonstatir peristiwa, biasanya hakim mencarikan
hukumnya dalam undang-undang. Yang pertama kali diliat hakim biasanya adalah
undang-undang, karena undang-undang bentuknya tertulis, sehingga
diprioritaskan, bahkan dianggap sebagai sumber hukum yang penting dan utama
dalam penemuan hukum (Mertokusumo, 2001 : 48 – 49).
Dalam menafsirkan suatu
pasal dalam peraturan perundang-undangan, hakim perlu juga melihat pasal-pasal
lain karena peraturan perundang-undangan adalah sebagai satu kesatuan, dan jika
perlu dengan melihat peraturan perundang-undangan yang lain, mengingat
tiap-tiap peraturan perundang-undangan adalah sebagai bagian dari suatu sitem
hukum, maka yang dilakukan hakim adalah suatu bentuk penafsiran sistematis atau
logis.
Disamping metode
penafsiran gramatikal, otentik, sistematis atau logis masih banyak metode
penafsiran yang lain, antara lain :
(1)
Penafsiran
Historis yang dibedakan menjadi : penafsiran Historis berdasarkan sejarah
terjadinya undang-undang yang meliputi bagaimana proses pembentukannya; dan
penafsiran historis berdasarkan sejarah hukum yang terpaksa meneliti sejarah
terjadinya lembaga hukum, misalnya kalau itu berkaitan dengan UU No. 1 tahun
1974 terpaksa mempelajari sejarah terjadinya emansipasi wanita, sejarah
terbentuknya KUH Perdata, system perkawinan menurut Hukum adat;
(2)
Penafsiran
teleologis atau sosiologis yang biasanya terpaksa dilakukan terhadap peraturan
perundang-undangan yang sudah ketinggalan atau sudah using;
(3)
Penafsiran
komparatif, ketentuan dalam peraturan perundang-undangan diperbandingkan dengan
ketentuan hukum lain atau ketentuan hukum yang berlaku internasional atau yang berlaku dinegara
lain, metode ini biasa dilakukan dalam menyelesaikan kasus perjanjian
internasional;
(4) Penafsiran restriktif dengan
mempersempit arti suatu peraturan dengan bertitik tolak pada arti menurut
bahasa.
C.
METODE
ARGUMENTASI
Konstruksi hukum adalah
mengumpulkan data secara induktif, menemukan pengertian-pengertian umum melalui
reduksi kemudian secara deduktif menarik kesimpulan-kesimpulan baru (Loudoe,
1985 :112)). Konstruksi hukum mempunyai tujuan membentuk hukum yang konkrit dan
sekaligus dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan hukum.
Hakim mempunyai
kewajiban memutus dan atau menyelesaikan perkara yang diajukan, dan sama sekali
tidak boleh menolak memeriksa perkara dengan dalih hukum tidak ada atau tidak
mengaturnya (pasal 16 ayat 1 UU No. 4 tahun 2004). Untuk menyelesaikan perkara
dalam hal peraturan perundang-undangan tidak mengatur, hakim dibenarkan untuk
melakukan konstruksi hukum atau membentuk hukum in concreto berdasarkan fakta
yang ada dan pasal-pasal peraturan perundang-undangan.
Analogi atau argumentum
per analogiam adalah suatu konstruksi hukum dengan menggunakan pola berfikir
menerapkan suatu ketentuan undang-undang terhadap suatu peristiwa yang
disengketakan yang sebenarnya tidak ada aturan hukumnya.
Penghalusan atau penyempitan
hukum atau rechtsverfijning, berbeda dengan analogi. Kalau pada analogi suatu
ketentuan hukum yang bersifat khusus yang hanya berlaku untuk peristiwa yang
disebutkan dalam pasal undang-undang, diperluas menjadi ketentuan yang bersifat
umum sehingga dapat diterapkan terhadap peristiwa diluar atau yang tidak
diatur.
D.
ALIRAN-ALIRAN
DALAM PENEMUAN HUKUM
Timbulnya aliran dalam
penemuan hukum sebenarnya sebagai akibat gerakan kodifikasi pada abad 19.
Sebelumnya sumber hukum yang pokok adalah hukum kebiasaan, tetapi berdasarkan
fakta bahwa hukum kebiasaan sebagai hukum tidak tertulis sering beraneka ragam,
sehingga dianggap kurang menjamin kepastian hukum, maka ada usaha untuk
menyeragamkan dengan cara membuat hukum dalam susunan kodifikasi.
Persoalan selanjutnya
yang muncul adalah yang mana yang merupakan sumber hukum itu, apakah
undang-undang atau hukum kebiasaan, akibatnya lahirlah aliran-aliran dalam
penemuan hukum. Adanya aliran-aliran tersebut adalah berkaitan dengan hukum
yang mana yang diterima sebagai hukum, yaitu : legisme, begriffsjurisprudenz,
interessenjurisprudenz atau freichtsschhule, soziologische rechtsshule dan
penemuan hukum bebas.
Legisme
Inti dari ajaran Legis mengatakan
bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang; dan diluar undang-undang,
tidak ada hukum. Hukum kebiasaan hanya ada apabila diperbolehkan oleh
undang-undang.
Begriffsjurisprudenz
Ajaran ini masih mendasarkan pada
ajaran legis, namun berusaha memperbaiki kelmahan yang ada, yaitu dengan
mengajarkan bahwa undang-undang memang tidak lengkap tetapi tetap dapat
memenuhi kekurangannya itu sendiri, sebab undang-undang mempunyai daya meluas.
interessenjurisprudenz atau
freichtsschhule
Sebagai ajaran yang tidak menerima
dasar-dasar pikiran Legisme dan Begriffsjurisprudenz, dapat disebut sebagai
ajaran kebebasan hakim mengatakan bahwa undang-undang tidak lengkap dan bukan
merupakan satu-satunya sumber hukum, masih ada sumber hukum lain tempat hakim
menemukan hukumnya.
Interessenjurisprudenz memberikan
kebebasan yang sangat luas kepada hakim, sehingga hakim dapat mengesampingkan
undang-undang, hakim dapat menciptakan sendiri hukumnya, yang mungkin
menyimpang dari ketentuan undang-undang dengan alasan kepentingan dan kesadaran
hukum masyarakat atau mungkin ada alasan subjektif lainnya. Hal tersebut dapat
melahirkan putusan yang sewenang-wenang.
soziologische rechtsshule
ajaran ini tidak setuju dengan apa
yang diajarkan oleh Interessenjurisprudenz. Undang-undang haruslah dihormati,
hakim memang mempunyai kebebasan dalam menyatakan hukum, tetapi kebebasan
tersebut dalam kerangka undang-undang. Dalam memutuskan perkara hakim harus
mendasarkan undang-undang dan juga harus dapat dipertanggung jawabkan terhadap
asaz-asaz keadilan, kesadaran dan perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Aliran Sistem Hukum Terbuka
Aliran system hukum terbuka dianggap
sebagai aliran yang berlaku sekarang. Undang-undang merupakan peraturan hukum
yang bersifat umum yang diciptakan oleh pembentukan undang-undang, dan tidak
mungkin mampu mencakup semua kegiatan dalam kehidupan manusia
Aliran-aliran tersebut diatas
berusaha menjawab apakah yang merupakan sumber hukum. Dalam garis besarnya,
kalau dihubungkan dengan tugas hakim, dapat dikelompokan dalam 3 aliran :
1. Legisme,
sebagai aliran yang menganggap bahwa undang-undang merupakan satu-satunya
sumber hukum, yurisprudensi tidak penting.
2. Freirechtsbewegung
atau aliran kebebasan hukum, yang intinya adalah dalam melaksanakn tugasnya
hakim bebas, apakah akan mengikuti undang-undang atau tidak. Tugas hakim adalah
menciptakan hukum.
3. Rechtsvinding,
sebagai aliran yang mengambil jalan tengah diantara legisme dan
freirechtbewegung, hakim memang terikat pada undang-undang, tetapi hakim juga
mempunyai kebebasan. Dalam melaksanakn tugasnya hakim mempunyai keterikatan dan
kebebasan (Gebonden – Vrijheid).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar