Sabtu, 24 Agustus 2019

Pengantar Ilmu Hukum.UT. Modul 6


MODUL 6

Penegakan Hukum dan Penemuan
Hukum
Dari sejarah perkembangan kehidupan manusia dapatlah diketahui bahwa usaha memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, manusia memperoleh pengalaman-pengalaman.
Dalam perkembangan selanjutnya nilai-nilai tersebut mempengaruhi pola piker. Pola pikir menghasilkan sikap yang akan menimbulkan keteraturan dan akhirnya menjadi pola prilaku. Pola perilaku yang baik dan bermamfaat, setelah diabstraksikan, akan menjadi pedoman atau patokan bagi manusia tentang apa yang bail yang harus dilakukan dan apa yang dianggap buruk yang harus dihindari.
Penjelas-penjelasan dalam modul ini :
1.             Pengertian penegak hukum;
2.             Kekuatan berlakunya peraturan perundang-undangan;
3.             Budaya hukum dan kesadaran hukum;
4.             Elemen-elemen penegak hukum;
5.             Sumber penemuan  hukum;
6.             Metode-metode penemuan hukum;
7.             Metode penafsiran;
8.             Metode argumentasi; dan aliran-aliran dalam penemuan hukum.


  

KEGIATAN BELAJAR 1
Penegakan Hukum, Budaya Hukum, dan
Kesadaran Hukum
A.      PENGERTIAN PENEGAKAN HUKUM
System hukum sebagai satu kesatuan mempunyai 3 Element, yaitu : kelembagaan (institusional), Kaidah Hukum (Instrumental) dan Subjek penegak hukum sebagai penyandang hak dan kewajiban. Elemen-elemen tersebut dalam implementasinya ditopang oleh 3 kegiatan, yaitu : Pembuatan peraturan perundang-undangan (law making), pelaksanaan Hukum (law administrating) dan Penegakan hukum (law adjudicating). Berkaitan dengan ketiga hal tersebut kalau dikonkritkan dan dihubungkan dengan ajaran pembagian dan pemisah kekuasaan Negara, menjadi 3 fungsi, yaitu : (1) fungsi legislasi dan regulasi ditangani oleh organ legislative; (2) fungsi eksekutif dan administrative ditangani oleh organ eksekutif atau birokrasi pemerintahan;, dan (3) fungsi Yudikatif atau yudisial ditangani oleh organ yudikatif atau birokrasi aparat penegak hukum, yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan dapat ditambah Advokat, Pemasyarakatan dan Pendidikan Hukum.

B.       KEKUATAN BERLAKUNYA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Diihat dari bentuknya, hukum ada yang tertulis yang terjadinya memang sengaja dibentuk, dan hukum tidak tertulis yang timbul dari pergaulan hidup yang berlakunya dan kelangsungan berlakunya tergantung kesadaran hukum masyarakat.
Pembentukan peraturan perundang-undangan adalah sebagai suatu proses mulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. Pasal 5 UU No. 10 tahun 2004 tentang “pembentukan Peraturan perundang-undangan” menetapkan adanya 7 asas untuk membuat peraturan perundang-undangan yang baik, yaitu meliputi : kejelasan  tujuan; kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; kesesuain antara jenis dan materi muatan; dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; dan keterbukaan.
Kekuatan berlakunya peraturan perundang-undangan, atau dalam arti luas kaidah hukum, atau menurut Purnadi Purbacaraka disebut kelakuan kaidah hukum, atau menurut gustav radbruch disebut Geltung de recht, adalah berlakunya hukum secara operasional, jadi bukan tentang saat berlakunya berlakunya hukum atau saat mengikatnya hukum, dalam teori-teori hukum pada umumnya dibedakan antara tiga macam kekuatan berlakunya hukum, yaitu kekuatan berlakunya secara yuridis (juristische Geltung), kekuatan berlakunya secara sosiologis (Soziologische Geltung),  dan kekuatan berlakunya secara filosofis (Filosofische Geltung)(Purbacaraka, 1979 : 113 -120)
1.         Kekuatan berlaku secara yuridis, yaitu apabila persyaratan formal untuk terbentuknya peraturan hukum terpenuhi.
2.         Kekuatan berlaku secara sosiologis, yaitu apabila peraturan hukum mempunyai efektifitas dalam kehidupan bersama.
3.         Kekuatan berlakunya secara filosofis, yaitu apabila peraturan hukum sesuai dengan cita-cita hukum (Rechtsidee) sebagai nilai positif yang tertinggi.
C.  BUDAYA HUKUM DAN KESADARAN HUKUM
Sitem Hukum Nasional (SHN) Republik Indonesia, atau dapat juga disebut sebagai Tata Hukum Negara Republik Indonesia, adanya sejak berdiri Negara RI pada tanggal 17 Agustus 1945. UUD 1945 adalah merupakan ketentuan hukum positif yang tertinggi di Indonesia.
SHN tidak hanya terdiri dari kaidah-kaidah hukum, tetapi juga meliputi seluruh lembaga dan aparatur hukum, organisasi, mekanisme dan prosedur hukum, budaya hukum, perilaku aparat penegak hukum dan aparat pemerintah dan tentunya juga perilaku dari warga masyarakat.
UUD 1945 sebenarnya secara tidak langsung sudah mengakui pentingnya budaya hukum dalam penyelenggaraan Negara, hal tersebut seperti yang dinyatakan dalam penjelasan Umum butir IV UUD 1945, antara lain dinyatakan bahwa :
“Yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hidup Negara, ialah semangat para penyelenggara Negara, semangat para pemimpin pemerintahan. Meskipun dibikin Undang-undang Dasar yang menurut kata-katnya bersifat kekeluargaan, apabila semangat para penyelenggara Negara, para pemimpin pemerintahan itu bersifat perseorangan, UUD tadi tentu tidak aka nada artinya dalam praktek. Sebaliknya, meskipun Undang-undang dasar itu tidak sempurna, akan tetapi jikalau semangat para penyelenggara pemerintahan baik, UUD itu tentu tidak akan merintangi jalannya Negara. Jadi yang paling penting ialah semangat. Maka semangat itu hidup, atau dengan lain perkataan, dinamis”.
Secara sederhana budaya hukum dapat diartikan sebagai anggapan umum yang sama dari masyarakat tertentu terhadap fenomena hukum atau terhadap peristiwa hukum. Tanggapan ini merupakan kesatuan pandangan terhadap nilai-nilai dalam prilaku hukum. Jadi budaya hukum menunjukan tentang pola perilaku individu sebagai anggota masyarakat yang menggambarkan tanggapan yang sama terhadap kehidupan hukum yang dihayati masyarakat bersangkutan (Hadikusuma, 1986 : 51).
Dengan demikian dapat dikatakan Bahwa Budaya Hukum adalah suatu tuntutan atau permintaan (Friedman, 1977:7, dan Rahardjo, 1982:168) tentang apa yang harus ada, atau harus dimiliki, atau yang seharusnya dilakukan.
Kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat dalam diri manusia tentang hukum yang ada, tentang hukum yang diharapkan ada dan bagaimna seharusnya ia bertindak dan bertingkah laku menurut hukum.
Selanjutnya dengan mensitir pendapat Paul Scholten, Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa kesadaran hukum merupakan suatu kategori, yaitu pandangan yang aprioritis umum tertentu dalam hidup kejiwaan kita yang menyebabkan kita dapat memisahkan antara hukum dan kebatilan (tidak hukum), yang tidak ubahnya dengan benar dan tidak benar, baik dan buruk (Mertokusumo, 1985 : 98-99).
Pringgodigdo mengatakan bahwa yang dimaksud kesadaran adalah bagian jiwa manusia yang diketahui dan diinsyafi, atau semua pengalaman yang diketahui dan diinsyafi pada suatu saat atau juga taraf mental (Ensiklopi Umum, 1973:659).
Kesadaran Hukum memiliki dua dimensi, yaitu : pengetahuan hukum dan ikut serta atau berpartisipasi dalam melaksanakan atau menegakkan hukum. Secara lebih lengkap Pasal 1 Peraturan Menteri Kehakiman RI No. M.05/PR.08.10 Tahun 1988 menentukan bahwa kesadaran hukum masyarakat adalah nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tentang hukum, yang meliputi pengetahuan, pemahaman, penghayatan, kepatuhan/ ketaatan kepada hukum.
D.   ELEMEN PENEGAKAN HUKUM
Sebagai perlindungan kepentingan manusia, yang bertujuan kedamaian dan kesejahteraan hidup bersama, hukum haruslah dilaksanakan, dan kalau terjadi pelanggaran, hukum haruslah ditegakkan. Sesuai dengan tujuan hukum, tugas hukum bukan hanya memberikan kepastian hukum, tetapi juga memberikan kesebandingan dalam hukum dalam memberikan hak dan kewajiban yang mampu menciptakan ketentraman atau ketenangan dalam hidup bermasyarakat.
Dilihat dari bentuknya, aturan-aturan hukum yang tertulis yang terjadi memang sengaja dibuat oleh pembentukan peraturan perundang-undangan dan ada yang tidak tertulis yang timbul dari pergaulan hidup bersama sebagai hukum adat atau hukum kebiasaan.
Pelaku penegak hukum dalam arti luas tidak hanya mereka yang terkait atau tersangkut dalam proses peradilan, tetapi juga mereka yang berada diluar pengadilan.
Lingkungan penegak hukum adalah lingkungan atau tempat berlakunya atau tempat ditegakkannya hukum. Penegakan hukum yang tepat atau benar dan adil tidak boleh hanya diliat dari sisi penegak hukumnya, tetapi juga harus diliat dari sisi atau konteks kenyataannya dalam masyarakat atau lebih mendalam lagi dilihat dari kesesuainnya dengan nilai-nilai hukum dan kesadaran hukum masyarakat yang ada dan hidup dalam masyarakat tempat berlakunya atau tempat ditegakannya hukum. Penegakan hukum yang benar dan adil tidak semata-mata ditentukan oleh kehendak pelaku hukum sebagai “ratu adil” tetapi juga kemauan dan kemampuan masyarakat untuk berupaya memperoleh perlakuan hukum yang benar dan adil.



KEGIATAN BELAJAR 2
PENEMUAN HUKUM
A.      SUMBER  PENEMUAN HUKUM

Melalui proses peradilan, Hakim adalah sebagai penentu terakhir dari proses penegakan hukum melalui pengadilan, sehingga muncul anggapan bahwa pengadilan merupakan terminal terakhir dari suatu proses penegakan hukum. Lembaga pengadilan melalui melalui para hakimnya adalah merupakan harapan terakhir bagi para pencari keadilan.
Hakim tidak hanya diposisikan sebagai penegak hukum, tetapi juga penegak keadilan yang benar. Dalam memutus perkara tidak cukup hanya mendasarkan pada bunyi suatu undang-undang, tetapi juga harus mempertimbangkan jiwa dan ratio legis yang mendasari undang-undang atau pasal-pasal tertentu yang akan dijadikan dasar untuk menjatuhkan putusan. Bahkan Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mewajibkan lebih dari itu, bahwa dalam memutuskan perkara hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat; dan dalam perkara pidana, hakim juga ahrus memperhatikan pula sifat ayng baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 UU No. 4 Tahun 2004).
Kebebasan hakim dalam memutuskan perkara dimaksudkan agar putusan yang dijatuhkan mencerminkan hukum yang hidup dan rasa keadilan masyarakat. Kebesan hakim dalam memutuskan tidak mutlak atau tampa batas, kebesan tersebut dibatasi oleh Pancasila, undang-undang, kepentingan para pihak dan ketertiban umum.
Sebenarnya yang melakukan kegiatan penemuan hukum bukan hanya bukan hanya hakim, tetapi juga para penegak hukum yang lain dan pembentuk peraturan perundang-undangan, serta dosen atau para peneliti hukum, bahkan warga masyarakat yang sedang menghadapi kasus biasanya juga berusaha mencari apa hukumnya dalam kasus yang dihadapinya tersebut.
-       Hakim : penemuan hukumnya bersifat konfliktif, sebab berkaitan dengan peristiwa konkrit atau konflik yang harus diselesaikan. Hasil penemuan hukumnya berupa hukum increto dan dapat menjadi sumber hukum;
-       Pembentukan peraturan perundang-undangan : penemuan hukumnya bersifat preskriptif, sebab yang dihadapi peristiwa abstrak yang masih akan terjadi. Hasil penemuan hukum adalah hukum in abstracto dan merupakan sumber hukum;
-       Dosen atau peneliti hukum : penemuan hukumnya bersifat teoritis. Hasil penemuan hukumnya bukan hukum, namun sebagai dokrin dapat menjadi sumber hukum.
Van eikema Hommes antara lain mengatakan bahwa Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa konkrit. Ini merupajan proses konkritisi dan individulisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit (Mertokusumo, 1985 : 132 -133).
            Ada beberapa pasal dalam UU no. 4 tahun 2004 yang dapat dijadikan dasar hukum dilakukan penemuan hukum oleh hakim, yaitu :
a.      Pasal 5 Ayat (1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang.
b.      Pasal 16 ayat (1) Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
c.       Pasal 28 ayat (1) hakim wajib mengadili, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dalam memeriksa suatu perkara, ada tiga tahap kegiatan hakim, yaitu mengkonstatir peristiwanya, mengkualifisir peristiwa yang terbukti sebagai hubungan hukum apa atau sebagai perbuatan hukum yang mana, dan yang terakhir mengkonstituir atau memberikan hukumnya atau keadilannya. Setelah proses pembuktian dan hakim telah mengkonstatir peristiwanya, hakim wajib melakukan penemuan hukum, dalam hal ini ada beberapa metode penemuan hukum yang dapat digunakan oleh hakim, yaitu :
(1)   Interpretasi;
(2)   Metode argumentasi;
(3)    Kalau kedua metode tersebut tidak berhasil, hakim barulah menciptakan sendiri hukumnya berdasarkan fakta positif yang terlah terbukti.

B.       METODE-METODE INTERPRETASI

Dalam melakukan penemuan hukum, setelah mengkonstatir peristiwa, biasanya hakim mencarikan hukumnya dalam undang-undang. Yang pertama kali diliat hakim biasanya adalah undang-undang, karena undang-undang bentuknya tertulis, sehingga diprioritaskan, bahkan dianggap sebagai sumber hukum yang penting dan utama dalam penemuan hukum (Mertokusumo, 2001 : 48 – 49).
Dalam menafsirkan suatu pasal dalam peraturan perundang-undangan, hakim perlu juga melihat pasal-pasal lain karena peraturan perundang-undangan adalah sebagai satu kesatuan, dan jika perlu dengan melihat peraturan perundang-undangan yang lain, mengingat tiap-tiap peraturan perundang-undangan adalah sebagai bagian dari suatu sitem hukum, maka yang dilakukan hakim adalah suatu bentuk penafsiran sistematis atau logis.
Disamping metode penafsiran gramatikal, otentik, sistematis atau logis masih banyak metode penafsiran yang lain, antara lain :
(1)   Penafsiran Historis yang dibedakan menjadi : penafsiran Historis berdasarkan sejarah terjadinya undang-undang yang meliputi bagaimana proses pembentukannya; dan penafsiran historis berdasarkan sejarah hukum yang terpaksa meneliti sejarah terjadinya lembaga hukum, misalnya kalau itu berkaitan dengan UU No. 1 tahun 1974 terpaksa mempelajari sejarah terjadinya emansipasi wanita, sejarah terbentuknya KUH Perdata, system perkawinan menurut Hukum adat;
(2)   Penafsiran teleologis atau sosiologis yang biasanya terpaksa dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ketinggalan atau sudah using;
(3)   Penafsiran komparatif, ketentuan dalam peraturan perundang-undangan diperbandingkan dengan ketentuan hukum lain atau ketentuan hukum yang berlaku  internasional atau yang berlaku dinegara lain, metode ini biasa dilakukan dalam menyelesaikan kasus perjanjian internasional;
(4)   Penafsiran restriktif dengan mempersempit arti suatu peraturan dengan bertitik tolak pada arti menurut bahasa.

C.      METODE ARGUMENTASI

Konstruksi hukum adalah mengumpulkan data secara induktif, menemukan pengertian-pengertian umum melalui reduksi kemudian secara deduktif menarik kesimpulan-kesimpulan baru (Loudoe, 1985 :112)). Konstruksi hukum mempunyai tujuan membentuk hukum yang konkrit dan sekaligus dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan hukum.
Hakim mempunyai kewajiban memutus dan atau menyelesaikan perkara yang diajukan, dan sama sekali tidak boleh menolak memeriksa perkara dengan dalih hukum tidak ada atau tidak mengaturnya (pasal 16 ayat 1 UU No. 4 tahun 2004). Untuk menyelesaikan perkara dalam hal peraturan perundang-undangan tidak mengatur, hakim dibenarkan untuk melakukan konstruksi hukum atau membentuk hukum in concreto berdasarkan fakta yang ada dan pasal-pasal peraturan perundang-undangan.
Analogi atau argumentum per analogiam adalah suatu konstruksi hukum dengan menggunakan pola berfikir menerapkan suatu ketentuan undang-undang terhadap suatu peristiwa yang disengketakan yang sebenarnya tidak ada aturan hukumnya.
Penghalusan atau penyempitan hukum atau rechtsverfijning, berbeda dengan analogi. Kalau pada analogi suatu ketentuan hukum yang bersifat khusus yang hanya berlaku untuk peristiwa yang disebutkan dalam pasal undang-undang, diperluas menjadi ketentuan yang bersifat umum sehingga dapat diterapkan terhadap peristiwa diluar atau yang tidak diatur.

D.      ALIRAN-ALIRAN DALAM PENEMUAN HUKUM

Timbulnya aliran dalam penemuan hukum sebenarnya sebagai akibat gerakan kodifikasi pada abad 19. Sebelumnya sumber hukum yang pokok adalah hukum kebiasaan, tetapi berdasarkan fakta bahwa hukum kebiasaan sebagai hukum tidak tertulis sering beraneka ragam, sehingga dianggap kurang menjamin kepastian hukum, maka ada usaha untuk menyeragamkan dengan cara membuat hukum dalam susunan kodifikasi.

Persoalan selanjutnya yang muncul adalah yang mana yang merupakan sumber hukum itu, apakah undang-undang atau hukum kebiasaan, akibatnya lahirlah aliran-aliran dalam penemuan hukum. Adanya aliran-aliran tersebut adalah berkaitan dengan hukum yang mana yang diterima sebagai hukum, yaitu : legisme, begriffsjurisprudenz, interessenjurisprudenz atau freichtsschhule, soziologische rechtsshule dan penemuan hukum bebas.

Legisme
            Inti dari ajaran Legis mengatakan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang; dan diluar undang-undang, tidak ada hukum. Hukum kebiasaan hanya ada apabila diperbolehkan oleh undang-undang.

Begriffsjurisprudenz
            Ajaran ini masih mendasarkan pada ajaran legis, namun berusaha memperbaiki kelmahan yang ada, yaitu dengan mengajarkan bahwa undang-undang memang tidak lengkap tetapi tetap dapat memenuhi kekurangannya itu sendiri, sebab undang-undang mempunyai daya meluas.

interessenjurisprudenz atau freichtsschhule
            Sebagai ajaran yang tidak menerima dasar-dasar pikiran Legisme dan Begriffsjurisprudenz, dapat disebut sebagai ajaran kebebasan hakim mengatakan bahwa undang-undang tidak lengkap dan bukan merupakan satu-satunya sumber hukum, masih ada sumber hukum lain tempat hakim menemukan hukumnya.
            Interessenjurisprudenz memberikan kebebasan yang sangat luas kepada hakim, sehingga hakim dapat mengesampingkan undang-undang, hakim dapat menciptakan sendiri hukumnya, yang mungkin menyimpang dari ketentuan undang-undang dengan alasan kepentingan dan kesadaran hukum masyarakat atau mungkin ada alasan subjektif lainnya. Hal tersebut dapat melahirkan putusan yang sewenang-wenang.

soziologische rechtsshule
            ajaran ini tidak setuju dengan apa yang diajarkan oleh Interessenjurisprudenz. Undang-undang haruslah dihormati, hakim memang mempunyai kebebasan dalam menyatakan hukum, tetapi kebebasan tersebut dalam kerangka undang-undang. Dalam memutuskan perkara hakim harus mendasarkan undang-undang dan juga harus dapat dipertanggung jawabkan terhadap asaz-asaz keadilan, kesadaran dan perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat.

Aliran Sistem Hukum Terbuka
            Aliran system hukum terbuka dianggap sebagai aliran yang berlaku sekarang. Undang-undang merupakan peraturan hukum yang bersifat umum yang diciptakan oleh pembentukan undang-undang, dan tidak mungkin mampu mencakup semua kegiatan dalam kehidupan manusia
            Aliran-aliran tersebut diatas berusaha menjawab apakah yang merupakan sumber hukum. Dalam garis besarnya, kalau dihubungkan dengan tugas hakim, dapat dikelompokan dalam 3 aliran :
1.      Legisme, sebagai aliran yang menganggap bahwa undang-undang merupakan satu-satunya sumber hukum, yurisprudensi tidak penting.
2.      Freirechtsbewegung atau aliran kebebasan hukum, yang intinya adalah dalam melaksanakn tugasnya hakim bebas, apakah akan mengikuti undang-undang atau tidak. Tugas hakim adalah menciptakan hukum.
3.      Rechtsvinding, sebagai aliran yang mengambil jalan tengah diantara legisme dan freirechtbewegung, hakim memang terikat pada undang-undang, tetapi hakim juga mempunyai kebebasan. Dalam melaksanakn tugasnya hakim mempunyai keterikatan dan kebebasan (Gebonden – Vrijheid).

     






























Tidak ada komentar:

Posting Komentar