Senin, 26 Agustus 2019

Hukum Ketenagakerjaan. Modul 7


MODUL 7
Pemutusan Hubungan Kerja
Purbadi Hardjoprajitno, S.H, M.Hum.
Drs. Saefulloh Tiesnawati Wahyuningsih, S.H.
      P E N D A H U L U A N
Di awaI Tahun 2006, dan diperkirakan sampai beberapa Tahun ke depan, angka pengangguran dipastikan terus berlanjut karena sejurnIah perusahaan telah dan akan melakukan kebijakan pemutusan hubungan kerja. Di akhir 2005 lalu, industri manufaktur di wilayah Bekasi, Batam dan Kalimantan Timur banyak yang ditutup karena sudah tidak mampu lagi beroperasi. Di akhir Tahun 2005, tercatat di Departemen Tenaga Kerja dan Transrnigrasi jurnIah tenaga kerja yang terkena PHK sudah mencapai 109.000 orang. Penyebab utama mengapa banyak perusahaan melakukan PHK di antaranya karena meningkatnya beban biaya produksi yang tidak diikuti oleh peningkatan harga jual produk yang dihasilkan. Beban biaya produksi bertambah antara lain disebabkan naiknya harga BBM, tuntutan kenaikan upah buruh dan makin sedikitnya bahan baku yang tersedia sehingga harga bahan baku naik. Industri yang mengalarni kesulitan dalam beroperasi terutama pada industri manufaktur, seperti industri baja dan besi, industri kayu, kertas, tekstil, seperti, dan elektronik. Pukulan telak bagi industri manufaktur sebenarnya bukan hanya pada aspek naiknya beban biaya industri tapi juga karena ketatnya persaingan pasar. Masuknya produk Cina baik legal maupun ilegal dengan harga yang sangat murah, telah merontokkan pertahanan industri manufaktur Indonesia. Ditambah lagi situasi krisis sosial yang membuat tidak kondusifnya iklim investasi di Indonesia, membuat para pernilik modal mernilih mernindahkan investasinya ke Malaysia, Vietnam atau Cina. Pindahnya perusahaan Sony yang memproduksi barang elektronik ke Malaysia di Tahun 2004 dan kemudian diikuti oleh berbagai industri lainnya baik di wilayah Bekasi, Batam dan Kalimantan Timur yang jumlahnya mencapai ratusan industri yang sengaja ditutup, makin menambah jurnlah angka yang terkena PHK.
Mengatasi PHK rupanya selalu tidak berjalan mulus jika PHK berlangsung massal seperti karen a tutupnya perusahaan. Mengingat perusabaan yang dalam kondisi defisit, dan biasanya terkena beban hutang yang besar, harus membayar uang pesangon karyawan yang menuntut dibayar cepat. Padahal aset perusahaan harganya jatuh atau bahkan tidak bisa dijual. Sementara masalah besaran biaya pesangon pun kerap menimbulkan pertentangan an tara pihak pemilik perusahaan dan pihak karya wan. Konflik yang berkepanjangan seperti tuntutan karyawan PT. Dirgantara Indonesia yang memproduksi pesawat terbang, yang berlokasi di Bandung itu, bampir dua Tahun tidak menemukan pemecahan yang memuaskan untuk semua pihak. Persoalan PHK dalam kondisi ekonomi makro sangatlah kompleks dan merniliki dampak sosial yang hebat. Sebab itu pemecaban masalah PHK sangat sensitif dan perlu disikapi dan disiasati dengan bijak.
Pada modul ke-7 ini kita akan mernpelajari hal-hal yang terkait dengan masalah pemutusan hubungan kerja (PHK). Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai ketentuan PHK, kita akan mempelajarinya dalam tiga kegiatan kelompok belajar:
       Kegiatan Belajar 1                 :  Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja
       Kegiatan BeJajar 2                 : Uang Pesangon, Uang Penghargaan dan Uang Penggantian
Hak
       Kegiatan Belajar 3                 : Tinjauan Kritis Proses PHK

KEGIATAN BELAJAR 1
Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja
1.             Pemutusan Hubungan Kerja
Pemutusan Hubungan Kerja atau biasa disingkat PHK adalah proses terjadinya pengakhiran hubungan kerja antara pemberi kerja dan penerima kerja. Secara umum PHK dipandang lebih banyak merugikan pekerja. Pada kenyataannya PHK tidak sepenuhnya membuat pekerja yang dirugikan, tetapi pengusaha juga kerap merasa dirugikan. Namun dernikian, ada pula PHK yang dianggap sebagai pilihan terbaik bagi kedua belah pihak dan dianggap sebagai keputusan yang saling menguntungkan.
Secara umum PHK dapat dikategorikan ke dalam lima kelompok:
a.             PHK yang merugikan pekerja.
b.             PHK yang merugikan pengusaha.
c.              PHK yang menguntungkan pekerja.
d.             PHK yang menguntungkan pengusaha.
e.              PHK yang menguntungkan kedua pihak baik pekerja dan pengusaha.
Dengan demikian PHK tidak harus dianggap sebagai stigma yang menakutkan. Akan tetapi karena PHK secara umum dianggap sebagai hilangnya kesempatan bekerja bagi pekerja, dan terutama PHK yang bersifat massal lebih ban yak membawa kerugian di pihak pekerja, maka ketentuan PHK perlu diatur sedernikian rupa agar dampak PHK dapat dikendalikan dengan baik.
2.             Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja.
Berikut ini adalah prosedur yang harus ditempuh pengusaha sebelum melakukan Pemutusan Hubungan Kerja:
a.             Pengusaha terlebih dahulu melakukan pembicaraan atau perundingan dengan pihak serikat pekerja atau wakil pekerja tentang rencana pemutusan hubungan kerja agar menghasilkan keputusan yang terbaik dan dapat diterima oleh pekerja.
b.             Apabila perundingan gagal, pengusaha mengajukan permohonan penetapan pada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Pemutusan hubungan kerja baru dapat dilakukan setelah secara resmi pengusaha memperoleh penetapan perselisihan hubungan industrial. Prosedur yang harus ditempuh pengusaha pada saat mengajukan permohonan penetapan harus diajukan secara tertulis dengan disertai alasan mengapa harus melakukan pemutusan hubungan kerja
c.              Permohonan penetapan dapat diterima bila telah dirundingkan terlebih dahulu antara pengusaha dan pekerja di depan lembaga perselisihan industrial. Jika gagal barulah lembaga perselisihan industrial mengeluarkan penetapan. Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan adalah batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja yang bersangkutan serta membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima, Selama putusan belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja harus tetap melakukan apa yang menjadi kewajibannya.
d.             Pengusaha dapat rnelakukan skorsing kepada pekerja yang sedang dalam proses PHK dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang bisa diterima pekerja (Pasal 155 ayat 3 UU No. 13 Tahun 2003.
Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja hanya dapat dilakukan pengusaha sepanjang disertai alasan-alasan yang diperbolehkan. Berdasarkan Pasal 153 UU No. 13 Tahun 2003, terdapat sejurnlah alas an yang tidak boleh dijadikan dasar permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha yakni:
1.             Pekerjalburuh berhalangan masuk kerja karen a sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melarnpaui 12 bulan secara terus-menerus;
2.             Pekerja/ buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karen a memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan peruandang-undangan yang berlaku;
3.             Pekerjalburuh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
4.             Pekerja/buruh menikah;
5.             Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan atau menyusui bayinya;
6.             Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerjaJ buruh lainnya dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
7.             Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/at au pengurus Serikat Pekerja/Serikat Buruh, pekerjaJburuh melakukan kegiatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh di Iuar jam kerja atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
8.             Pekerja/buruh mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
9.             Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kuIit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
10.         Pekerjalburuh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karen a hubungan yang menurut surat keterangan dokter jangka waktu kesembuhannya belum dapat dipastikan.
11.          Pemutusan hubungan kerja dengan alasan tersebut di atas adalah batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja yang bersangkutan.
Sedangkan sejumlah alas an yang diperbolehkan dalam pengajuan penetapan pemutusan hubungan kerja adalah:
1.              Pekerja melakukan kesalahan berat.
2.               Pekerja ditahan pihak berwajib.
3.              Pekerja telah diberikan surat peringatan ketiga.
4.              Terjadi perubahan status perusahaan.
5.               Perusahaan tutup.
6.              Perusahaan pailit.
7.              Pekerja meninggal dunia.
8.              Pekerja memasuki usia pensiun.
9.              Pekerja mangkir.
10.    Pekerja melakukan perbuatan yang tidak patut.
11.    Pekerja atas dasar kemauan diri sendiri mengundurkan diri dari perusahaan.
12.          Pekerja sakit atau cacat akibat kecelakaan kerja.
Dalam kondisi tertentu, pengusaha dapat melakukan pemutusan bubungan kerja dengan tanpa memerlukan penetapan, apabila kondisinya adalah sebagai berikut:
1.               Pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja sebagaimana telah dipersyaratkan sebelumnya secara tertulis;
2.               Pekerja Iburuh mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekananl intimidasi dari pengusaha;
3.               Berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan waktu perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali;
4.               Pekerjalburuh memasuki usia pensiun sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, dan perjanjian kerja bersama atau peraturan perundang-undangan lainnya;
5.               Pekerja/buruh meninggal dunia;
6.               Pekerja/buruh dinyatakan bersalah melakukan perbuatan pidana oleh pengadilan dan menjalani pidana penjara bukan atas pengaduan pengusaha;
7.               Pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaan karena sedang ditahan dalam proses perkara pidana selama lebih dari 6 (enam) bulan.
3.             Ketentuan Terjadinya PHK
Apapun permasalahan yang timbul antara pengusaha dan pekerja, sebenarnya pemutusan hubungan kerja merupakan upaya terakhir untuk mencari keadilan at au mungkin pembenaran bagi kedua belah pihak.
Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi dengan 4 (empat) cara, yaitu:
a.               PHK demi hukum;
b.               PHK atas putusan pengadilanl ppm;
c.                PHK atas kehendak pekerjalburuh dan
d.               PHK atas kehendak pengusaha.
Masing-masing cara pemutusan hubungan kerja tersebut mernpunyai akibat hukum yang berbeda dalam hal pemberian pesangon dan uang penghargaan masa kerj a.
a.               PHK Demi Hukum
PHK derni hukum adalah PHK yang oleh hukum dianggap sudah tidak ada dan oleh karena itu tidak ada alasan hak yang cukup dan layak bagi salah satu pihak untuk menuntut pihak lainnya guna tetap mengadakan hubungan kerja.
PHK demi hukum dapat terjadi dalam tiga hal:
Pertama, perjanjian kerja jangka waktu tertentu
Perjanjian kerja dalam waktu tertentu, mensyaratkan adanya batas waktu dan tercapainya pekerjaan tertentu yang diperjanjikan. Untuk PHK jenis ini masing-masing pihak bersifat pasif dalam arti tidak perlu melakukan usaha­usaha tertentu untuk melakukan PHK seperti memohon penetapan PHK ke sidang Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial. Pengusaha tidak wajib memberitahukan berakhirnya jangka waktu hubungan kerja dalam tenggang waktu tertentu kecuali bila:
1.             Telah diperjanjikan secara tertulis atau telah diatur dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama;
2.               Menurut peraturan perundang-undangan atau kebiasaan, mengharuskan pengusaha untuk melakukan pemberitahuan sebelumnya dalam tenggang waktu tertentu.
Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum jangka waktu tertentu yang diperjanjikan berakhir dan bukan karena pekerja/buruh melakukan pelanggaran yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, maka pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Kedua, pekerja/buruh meninggal dunia
Menurut Pasal 61 ayat (1) a UU Ketenagakerjaan, perjanjian kerja berakhir bila pekerjafburuh meninggal dunia. Hal ini wajar karena hubungan kerja bersifat sangat pribadi dalam arti melekat pada pribadi pekerja/buruh dan tidak dapat diwariskan. Sebaliknya hubungan kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaba atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan atau hibab. Ahli waris pekerja/burub yang meninggal dunia berhak alas uang pesangon sebesar 2 kali ketentuan, uang penghargaan masa kerja 1 kali ketentuan dan uang penggantian hak 1 kali ketentuan. Apabila dalam perjanjian kerja, peraturan perusabaan, atau perjanjian kerja bersama diatur ketentuan yang lebib baik dari ketentuan tersebut maka ahli waris pekerjafburuh berbak atas ketentuan yang lebih baik tersebut.

Ketiga, Pekerjalburuh memasuki usia pensiun
Pekerja/buruh yang memasuki usia pensiun sebagaimana telah ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama maka hubungan kerjanya berakhir demi hukum. Apabila pengusaha telah mengikutsertakan pekerjaJ buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar pengusaha maka pekerjalburuh tidak berhak atas uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak. Apabila jaminan atau manfaat yang diterima tersebut lebih keeil dari uang pesangon 2 kali ketentuan, uang penghargaan masa kerja 1 kali ketentuan dan uang penggantian hak maka selisihnya harus dibayar pengusaha. Dalam hal program pensiun iuran/preminya dibayar oleh pengusaha dan pekerja buruh maka yang diperhitungkan dengan uang pesangon adalah uang pensiun yang iuran/preminya dibayar oleh pengusaha.
b.              PHK atas Putusan Pengadilan (PPHI)
Apabila perundingan yang dilakukan pengusaha dan serikat pekerja menyangkut masalah PHK tidak menghasilkan kesepakatan maka pengusaha mengajukan permohonan-permohonan penetapan PHK seeara tertulis kepada Lembaga Penyelesaian Perselisihan Industrial (PPHI) disertai alasan yang menjadi dasarnya. Lembaga PPHI setelah menerima permohonan PHK akan rnernanggil para pihak untuk dimintai keterangan di muka persidangan.
Berdasarkan pembuktian yang dilakukan dalam persidangan, lembaga PPHI menetapkan keputusan yang berisi menolak atau mengabulkan PHK yang diajukan. Apabila lembaga PPHI menolak permohonan PHK maka terhadap pekerja/buruh bersangkutan harus tetap dipekerjakan. Apabila permohonan PHK dikabulkan maka hubungan kerja putus terhitung sejak penetapan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Selama putusan oleh lembaga PPHI belum ditetapkan, pengusaha maupun pekerjalburuh harus tetap melaksanakan kewajiban masing-masing. Apabila pengusaha melakukan tindakan skorsing selama proses PHK maka upah beserta hak-hak lain yang biasa diterima pekerjalburuh wajib tetap dibayar oleh pengusaha. Pekerjalburuh yang mengalami PHK karen a melanggar ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, berhak memperoleh pesangon sebesar 1 kali ketentuan, uang penghargaan masa kerja 1 kali ketentuan serta uang penggantian hak.

c.              PHK atas Kehendak Pekerja/Buruh
Buruh/pekerja yang sudah merasakan sesuatu kerja yang tidak kondusif atau mendapatkan lebih banyak kerugian bila diteruskan bekerja di temp at tersebut dapat mengajukan PHK kepada manajemen perusahaan tersebut. PHK atas kehendak pekerja/buruh terdiri atas:

Pertama, pekerja/buruh mengajukan permohonan pengunduran diri karena alasan pribadi.
Hak untuk mengundurkan diri melekat pada setiap pekerja/buruh karena pekerjalburuh tidak boleh dipaksa untuk terus bekerja bila ia sendiri tidak menghendakinya. Pekerjalburuh yang akan mengundurkan diri harus memenuhi persyaratan:
1)            Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat­lambatnya 30 hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
2)             Tidak terikat dalam ikatan dinas;
3)             Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri dilakukan.
Pekerja/buruh yang mengundurkan diri tersebut berhak atas uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Bagi pekerjalburuh yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerirna uang penggantian hak diberikan pula uang pisah yang besar dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Kedua, pekerja dinyatakan mengundurkan diri
Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 hari kerja berturut-turut lebih tanpa keterangan tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan kepadanya telah dipanggil secara patut dan tertulis oleh pengusaha sebanyak 2 kali, dapat diputus hubungan kerjanya karena dikuantifikasikan mengundurkan diri. Keterangan tertulis dengan bukti yang sah tersebut harus diserahkan oleh pekerja/buruh paling lambat pada hari pertama pekerjalburuh tersebut. Dalam PHK dengan sara seperti ini, pekerja/buruh berhak atas uang penggantian hak dan diberikan uang pisah uang besar dan pelaksanaannya diatur dalam petjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Ketiga, pekerja/buruh yang tidak mampu lagi bekerja.
Pekerja yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan berturut-turut, dapat melakukan pemutusan hubungan kerja dan kepadanya diberikan uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan, uang penghargaan masa kerja 2 (dua) kali ketentuan dan uang penggantian hak 1 (satu) kali ketentuan.

Keempat, pekerjalburuh dapat juga mengajukan permohonan PHK kepada lembaga PPHI.
Dasar-dasar yang bisa diajukan pekerjalburuh pada PPHI adalah apabila pengusaha:
1)             menganiaya, mengbina secara kasar atau mengancam pekerjalburuh;
2)             membujuk danJatau menyuruh pekerjalburuh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
3)             tidak membayar upah tepat waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih;
4)             tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh;
5)             memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan , atau;
6)             memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan dan kesusilaan pekerjafburuh sedang pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
Apabila permohonan PHK tersebut dikabulkan oleh lembaga PPHI maka pekerjalburuh berhak mendapat uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan, uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dan uang penggantian hak. Dalam hal pengusaha di muka persidangan PPHI tidak terbukti melakukan perbuatan sebagaimana yang dijadikan alasan oleh pekerjalburuh maka pengusaha dapat melakukan PHK tanpa penetapan lembaga PPHI dan pekerjalburuh bersangkutan tidak berhak atas uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan,
d.              PHK atas Kehendak Pengusaha
Dilain pihak pengusaha sebagai pemilik perusahaan dapat pula melakukan PHK atas pekerjanya.
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, antara lain didasarkan:
Pertama, karena pekerjalburuh melakukan kesalahan berat yang didukung dengan bukti-bukti antar lain: pekerjalburuh tertangkap tangan; ada pengakuan dari pekerjalburuh bersangkutan; dan bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak berwenang di perusahaan bersangkutan yang didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
Pelanggaran yang dikategorikan sebagai kesalahan berat berdasarkan Pasal 158 UU No. 13 Tahun 2003 adalah sebagai berikut:
a.              melakukan penipuan, pencurian atau penggelapan barang danlatau uang milik perusahaan;
b.              memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
c.              mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai danlatau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
d.              melakukan perbuatan asusila dan perjudian di lingkungan kerja, rnisalnya melakukan pencabulan terhadap pekerja wanita;
e.              menyerang, menganiaya, mengancam at au mengintimidasi ternan sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
f.                membujuk ternan kerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g.              dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang rnilik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
h.              dengan ceroboh atau sengaja membiarkan ternan sekerja at au pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
1.              membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
J.               melakukan perbuatan Jainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) Tahun atau lebih.
Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya karena melakukan kesalahan berat banya berhak atas uang penggantian hak tetapi apabila tugas dan fungsinya dalam hubungan kerja tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung diberikan pula uang pisah yang besar dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Apabila pekerja/buruh tidak menerima PHK tersebut maka dapat mengajukan gugatan ke lembaga PPHI dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) Tahun sejak tanggal dilakukan PHK.

Kedua, Pengusaha dapat pula melakukan PHK terhadap pekerja/buruh apabila terjadi perubaban status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerjalburuh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja. Dalam kasus PHK yang seperti ini pekerja/buruh berhak atas uang pesangon 1 (satu) kali ketentuan, uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dan uang penggantian hak sesuai ketentuan. Apabila pihak yang tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja adalah pengusaha, maka hak pesangon pekerjalburuh adalah 2(dua) kali ketentuan, uang penghargaan mas a kerja 1 (satu) kali ketentuan dan uang penggantian hak 1 (satu) kali ketentuan. Hak-hak pekerjalburuh dalam hal terjadi pengalihan perusahaan menjadi tanggung jawab pengusaha baru kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerjalburuh.
Apabila pengusaha tersebut merupakan orang-perorangan dan meninggal dunia maka ahli waris pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkannya dengan pekerjalburuh. Apabila perusahaan tutup yang disebabkan mengalami kerugian terus-menerus selama 2 (dua) Tahun yang dibuktikan dengan laporan keuangan yang telah cliaudit oleh akuntan publik selama 2 (dua) Tahun terakhir, atau karen a perusahaan pailit, atau terjadi keadaan memaksa (force majeure) maka pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja/buruh dan pekerja/buruh berhak: atas uang pesangon I (satu) kali ketentuan, uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dan uang penggantian hak 1 (satu) kali ketentuan. Dalam hal PHK bukan karen a perusahaan tutup atau keadaan memaksa tetapi dilakukan untuk efisiensi maka pekerjalburuh berhak at as pesangon 2 kali ketentuan, uang penghargaan masa kerja 1 kali ketentuan dan uang penggantian hak 1 kali ketentuan.
Ketiga, Pengusaha melakukan PHK karena ditahan pihak berwajib. Apabila pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha maka pengusaha tidak wajib membayar upah tetapi diwajibkan memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya sebagai berikut:
1.             Untuk 1 orang tanggungan sebesar 25% dari upah;
2.             Untuk 2 orang tanggungan sebesar 35% dari upah;
3.             Untuk 3 orang tanggungan sebesar 45% dari upah;
4.             Untuk 4 orang tanggungan sebesar 50% dari upah.
Keluarga pekerjalburuh yang menjadi tanggungan adalah istri/suami, anak atau orang yang sah menjadi tanggungannya berdasarkan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Bantuan yang diberikan tersebut untuk paling lama 6 (en am) bulan tawim terhitung sejak pekerja/buruh ditahan pihak berwajib. Setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan karen a ditahan pihak berwajib, terhadap pekerjalburuh bersangkutan dapat dilakukan PHK oleh pengusaha. Apabila sebelum jangka waktu 6 (enam) bulan terlampaui, perkara pidana tersebut telah diputus oleh pengadilan dan pekerjalburuh dinyatakan tidak bersalah maka pengusaha wajib mempekerjakannya kembali. Akan tetapi jika pekerjalburuh dinyatakan bersalah maka pengusaha dapat melakukan PHK. Terhadap pekerjalburuh yang mengalami PHK karen a kasus pidana seperti ini, pengusaha wajib memberikan uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dan uang penggantian hak 1 (satu) kali ketentuan. Pelanggaran terhadap ketentuan­ketentuan tersebut merupakan perbuatan pidana dan pengusaha yang melanggarnya diancam sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling sedikit RplOO.OOO.OOO,OO dan paling banyak Rp400.000.000,OO.

R A N G K U M A N
l.                          Secara umum PHK dapat dikategorikan ke dalam 5 (lima) kelompok, yaitu PHK yang merugikan pekerja; PHK yang merugikan pengusaha; PHK yang menguntungkan pekerja; PHK yang menguntungkan pengusaha dan PHK yang menguntungkan kedua pihak baik pekerja dan pengusaba.
2.                         Terdapat berbagai prosedur PHK yang diatur oleh UU No. 13 Tahun 2003 tentang PPHI, yaitu PHK yang diajukan oleh pengusaha dan dilakukan oleh pekerjalburuh.
3.Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi dengan 4 cara, yaitu: a) PHK demi hukum; b) PHK atas putusan pengadilan/Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI); c) PHK atas kehendak pekerjalburuh, dan d) PHK alas kehendak pengusaha.
  

KEGIATAN BELAJAR 2
Uang Pesangon, Uang Penghargaan, dan Uang Penggantian Hak

A.              HAK-HAK PEKERJA AKIBAT PHK DAN PENGUNDURAN DIRI
Pekerja atau buruh yang menjalani PHK oleh pengusaha mempunyai hak-hak yang wajib dipenuhi oleh pengusaha.
Hak-hak pekerja yang terkena PHK terdiri atas:
1.               uang pesangon,
2.               uang penghargaan masa kerja dan
3.               uang penggantian hak (namun jika pekerja/buruh melakukan pelanggaran/kesalahan berat, maka pekerjafburuh hanya berhak atas uang penggantian hak).
Sedangkan bila mengundurkan diri, maka yang diterima oleh pekerja/buruh hanyalah uang penggantian hak. Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima uang penggantian hak, juga diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya seharusnya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama (lihat Pasal 162 ayat 2 UUK).
Uang penggantian hak meliputi hak-hak di antaranya:
1.               Cuti Tahunan yang belum diambil;
2.               Ongkos pulang buruh dan keluarga ke tempat di mana buruh diterirna bekerja;
3.               Biaya perumahan, pengobatan, perawatan sebesar 15% dari uang pesangon; dan
4.               Hak-hak lain yang ditetapkan dalam KKB/PKB dan peraturan perusahaan pada perusahaan terkait.

B. KOMPONEN UPAH DAN PERHITUNGAN UANG PESANGON
1.               Komponen Upah
Komponen upah mempunyai peranan yang sangat penting dalam penghitungan penghasilan pegawai atau buruh. Selain itu, komponen upah juga digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang penghargaan mas a kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima, terdiri atas:
a.                upah pokok;
b.                segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada pekerja dan keluarganya, termasuk harga pemberian dari catu yang diberikan kepada pekerja secara cuma-curna, yang bila catu harus dibayar pekerja dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja.
Pekerja atau buruh rnenerima upah sebulan dengan perhitungan sebagai berikut.
1.              bagi pekerja yang rnenerirna upah harian, upah sebulan adalah sarna dengan 30 kali penghasilan sehari;
2.               bagi pekerja yang menerima upah berdasarkan satuan hasil, potonganlborongan atau komisi, maka penghasilan sehari adalah sarna pendapatan rata-rata per hart selama 12 (dua belas) bulan terakhir, dengan ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan upah minimum provinsi atau kabupaten/kota;
3.               bagi pekerja yang menerima penghasilan/upah pada upah borongan dan tergantung pada keadaan cuaca, maka perhitungan upah sebulan dihitung dari upah rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir.
2.               Perhitungan Uang Pesangon
Untuk mengetahui secara detil ten tang besaran uang pesangon, masa penghargaan dan cuti, silakan pelajari UU No. 13 Tahun 2003. Berikut ini informasi ringkas tentang ketentuan uang pesangon, dan penghargaan masa kerja yang diatur dalarn Pasal156 UU No. 13 Tahun 2003.
Perhitungan Uang Pesangon Paling Sedikit adalah:

No
Masa keria
SesarPesanQon
1
Kurano dari 1 Tahun
1 bulan upah
2
1 Tahun sampai kurang dari 2 Tahun
2 bulan upah
3
2 Tahun sampai kurang dari 3 Tahun
3 bulan upah
4
3 Tahun sampai kurang dari 4 Tahun
4 bulan upah
5
4 Tahun sampai kurang dari 5 Tahun
5 bulan upah
6
5 Tahun sampai kurang dari 6 Tahun
6 bulan upah
7
6 Tahun sampai kurang dari 7 Tahun
7 bulan upah
8
7 Tahun sampai kurang dari 8 Tahun
8 bulan upah
9
8 Tahun sampai kurang dari 9 Tahun
9 bulan upah
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena perusahaan hendak melakukan efisiensi dan bukan karena kesalahan pekerj a, harus mengacu pada ketentuan dalam Pasal 164 (3) UUK. Di mana karyawan yang mengalami PHK akan mendapatkan uang pesangon dan uang penggantian hak dan jika karyawan tersebut masa kerjanya kurang dari 3 (tiga) tahun, maka pekerja tersebut tidak mendapat uang penghargaan masa kerja. Perusahaan dapat memberikan skorsing kepada karyawan yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima karyawan (Pasal 155 (3) UUK).
3.               Perhitungan Dang Penghargaan Masa Kerja
Berikut ini adalah ketentuan uang penghargaan yang dihitung dari masa kerja.

No
Masa Kerja
Sesar Uang
Penghargaan
1
3 Tahun sampai kurang dari 6 Tahun
2 bulan upah
2
6 Tahun sampai kurang dari 9 Tahun
3 bulan upah
3
9 Tahun sampai kurang dari 12 Tahun
4 bulan upah
4
12 Tahun sampai kurang dan 15 Tahun
5 bulan upah
5
15 Tahun sampai kurang dan 18 Tahun
6 bulan upah
6
18 Tahun sampai kuranq dan 21 Tahun
7 bulan upah
7
21 Tahun sampai kurang dan 24 Tahun
8 bulan upah
8
24 Tahun atau lebih
10 bulan upah

4.               Ketentuan Uang Penggantian Hak Komponen uang penggantian hak meIiputi:
a.               Cuti Tahunan yang belum diambil dan belum gugur.
b.               Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja dan keluarganya ke tempat di mana pekerja diterima bekerja.
c.               Penggantian peru mahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat.
d.               Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
5.               Contoh Kasus- Kasus PHK
Sebut saja namanya pak Amir. Selama 5 hari berturut-turut ia tidak mas uk kerja tanpa pemberitahuan ke atasan maupun ke bagian personalia. Pada saat mas uk, dia dipanggil bagian personalia dan kepadanya diberikan surat PHK yang di tanda tangani oleh pimpinan perusahaan karena dinilai telah mangkir/bolos masuk kerja. Apakah PHK itu sah menurut UU ketenagakerjaan? Dan hak-hak apa yang harus diterima pak Amir?
Berdasarkan kasus tersebut, menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pekerjalburuh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut dapat diputus hubungan kerjanya dan pemutusan hubungan kerjanya itu dianggap sebagai suatu pengunduran diri.
Namun pengusaha baru dapat memutuskannya setelah pekerjalburuh yang bersangkutan setelah dipanggil 2 (dua) kali secara patut dan tertulis, dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat memberikan keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah (Pasal168 ayat (1) UUK).
Terhadap Pemutusan hubungan tersebut, maka pekerjalburuh yang bersangkutan berhak menerima uang penggantian hak sebagai berikut (Pasal 156 ayat (4) UUK):
a.               cuti Tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b.               biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja;
c.               penggantian peru mahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
d.              hal-hal lain termasuk uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Pertanyaan berikutnya dapat diajukan, misalnya ada seorang karyawan terpaksa di PHK dengan alasan efisiensi, apakah perusahaan harus membayar uang pesangon sebesar 2 kali sesuai Pasal 22, uang penghargaan masa kerja sebesar 2 kali sesuai ketentuan Pasal 23 dan uang ganti kerugian sebesar 2 kali sesuai ketentuan Pasal 24? Dan sesuai Pasal 24 "penggantian peru mahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan sebesar 15% dari uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja apabila masa kerjanya telah mernenuhi syarat untuk mendapatkan uang penghargaan mas a kerja" , 15% tersebut apakah dari total keseluruhan uang pesangon ditambah uang penghargaan? Apakah uang pengobatan termasuk ke dalarn yang 15% juga? Haruskah perusahaan membayar (sesuai Pasal 24) walaupun karyawan tersebut belum diterima kerja diperusahan lain " biaya atau ongkos pulang untuk pekerja dan keluarganya ke tempat di mana pekerja diterima bekerja" , dan sebesar berapa? Apakah perusahaan perlu membayar uang THR dan bagaimana penghitungannya? Apakah THR termasuk dalam penghitungan pembayaran pesangon dan uang penghargaan?
Berkaitan dengan sejumlah persoalan di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.              Berkaitan dengan permasalahan PHK karyawan dengan alasan efisiensi, maka berdasarkan Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan yang pada pokoknya menyatakan bahwa perusahaan wajib memberikan uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
2.              Berkaitan dengan permasalahan penggantian perumahan, serta pengobatan dan perawatan ditetapkan sebesar 15% dari uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja yang telah memenuhi syarat, maka berdasarkan Pasal 156 ayat (4) butir c UU Ketenagakerjaan di mana dinyatakan hal yang sama dengan sebagaimana dimaksud di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.              Ketentuan sebesar 15% tersebut dihitung dari total keseluruhan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja yang memenuhi syarat;
b.              Ketentuan sebesar 15% tersebut dihitung dari jumlah uang pesangon saja;
c.               Ketentuan sebesar 15% tersebut dihitung dari jumlah uang penghargaan masa kerja yang memenuhi syarat.
d.              Sehubungan dengan hal tersebut di atas pula, maka uang pengobatan sebagaimana dimaksud di atas, juga termasuk ke dalam ketentuan sebesar 15% tersebut di atas.
Berkaitan dengan ketentuan mengenai perusahaan memberikan biaya atau ongkos pulang untuk pekerja dan keluarganya ke tempat di mana pekerja diterima bekerja, apakah jika pekerja tersebut belum diterima bekerja perusahaan harus membayar biaya atau ongkos sebagaimana dimaksud di atas? Sehubungan dengan hal tersebut Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan hanya menyatakan bahwa dalam hal terjadi PHK, pengusaha wajib membayar uang pesangon, danlatau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterimanya, di mana permasalahan sebagaimana dimaksud di atas termasuk daJam kategori yang dinyatakan terakhir. Selanjutnya baik bagian isi maupun penjelasan UU Ketenagakerjaan tidak memperinei secara jelas baik ketentuan mengenai perusahaan wajib membayar pekerja dalam hal pekerja tersebut belum diterima bekerja maupun ketentuan mengenai besarnya biaya atau ongkos.
Berkaitan dengan permasalahan mengenai apakah perusahaan perlu membayar uang THR dan bagaimana ketentuan penghitungannya, maka berdasarkan ketentuan pada Pasal 6 Permenaker 0411994 dinyatakan perusahaan wajib memberikan THR kepada pekerjanya dengan status KKWTT yang diputus hubungan kerjanya (PHK) terhitung sejak 30 hari sebelum jatuh tempo Hari Raya. Permenaker 04 Tahun 1994 tidak mengatur lebih rinei lagi mengenai ketentuan apabila pekerja tersebut diputus hubungan kerjanya terhitung sejak lebih dari 30 hari sebelum tanggal jatuh tempo Hari Raya.
Selanjutnya ketentuan mengenai penghitungan THR diatur dalam Pasal 3 Permenaker 04 Tahun 1994, antara lain sebagai berikut:
a)              Pekerja yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan seeara terus menerus atau lebih sebesar 1 (satu) bulan upah;
b)Pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 (tiga) bulan seeara terus menerus tetapi kurang dari 12 bulan diberikan seeara proporsional dengan masa kerja yakni dengan penghitungan masa kerja kali 1 (satu) bulan upah.
Penghitungan uang THR tersebut tidak termasuk dalam penghitungan pembayaran uang pesangon dan uang penghargaan, karena berdasarkan Pasal 157 UU Ketenagakerjaan dinyatakan bahwa komponen upah sebagai dasar penghitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima adalah sebagai berikut:
a.                Upah pokok;
b.                Segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada pekerjalburuh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan kepada pekerjalburuh secara cuma-cuma, yang apabila catu harus dibayar pekerjalburuh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh. Selanjutnya THR berdasarkan SE (Surat Edaran) Menteri Tenaga Kerja RI No. SE- 07/MEN/1990 ten tang Pengelompokan Komponen U pah dan Pendapatan Non Upah menyatakan bahwa THR merupakan komponen yang termasuk pendapatan non upah, bukan upah pokok maupun tunjangan yang bersifat tetap. Sehingga dengan demikian penghitungan THR tidak termasuk dalam penghitungan uang pesangon dan uang penghargaan.
Berkaitan dengan status karyawan part time apabila terjadi PHK, apakah karyawan tersebut tetap menerima uang pesangon, maka berkaitan dengan permasalahan tersebut tidak diperoleh suatu ketentuan pemerintah yang mengatur ataupun memperinci permasalahan tersebut. Namun demikian, menu rut hemat kami ketentuan mengenai hal sebagaimana dimaksud di atas dapat diatur dalam peraturan perusahaan at au dalam kontrak kerja karyawan tersebut dengan perusahaan dengan tidak bertentangan dengan Pasal 1320 KUHPerdata

R A N G K U M A N
1.              Pekerja yang di PHK dan Pengunduran Diri menurut UU No. 13 Tahun 2003 mempunyai hak-hak seperti berikut ini: a. uang pesangon; b. uang penghargaan masa kerja dan c. uang penggantian hak yang besarnya tergantung dari alasan pengunduran diri, apakah di paksa oleh perusahaan atau pengunduran diri karena kepentingan sendiri secara baik-baik.
2.                Komponen Upah, pegawai yang bekerja disuatu perusahaan berhak atas upah. Komponen upah disini mempunyai peranan penting dalam menentukan besamya uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja.
3.               Perhitungan Dang Pesangon diatur dalam Pasal 156 Undang­Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Perhitungan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja pada intinya diberikan kepada pegawai yang merniliki masa kerja minimal kurang dari 1 Tahun
4.               Perhitungan Dang Penghargaan Masa Kerja dihitung dari masa kerja pegawai dengan ketentuan uang penghargaan diberikan hanya kepada pegawai yang telah bekerja minimal 6 Tahun.
5.               Ketentuan Dang Penggantian Hak dihitung berdasarkan komponen berikut ini: a) Cuti Tahunan yang belum diambil dan belum gugur; b) Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja dan keluarganya ke tempat di mana pekerja diterima bekerja; c) Penggantian peru mahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon danJatau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat dan d) Hal-hal lain yang ditetapkan dalarn perjanjian kerja, peraturan perusahaan at au perjanjian kerja bersama.

  
KEGIATAN BELAJAR 3
Tinjauan Kritis Terhadap Masalah PHK
Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada dasarnya telah diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan, yakni UU Nomor 13 Tahun 2003 serta UU Nomor 12 Tahun 1964 yang mengatur tentang PHK di perusabaan swasta. Mengapa UU Nomor 13 Tahun 2003 tidak mencabut secara pasti UU Nomor 12 Tabun 1964, pertimbangannya karena UU Nomor 13 Tabun 2003 belum punya hukum acara. Sehingga hukum acara yang masih digunakan adalah merujuk pada UU Nomor 12 Tabun 1964. Kedua UU tersebut secara umum sama, yaitu bahwa PHK baru sah apabila sudah memiliki izin dari sebuah lembaga yang ditunjuk. Lembaga yang dimaksud, sebelum berlakunya Peradilan Hubungan Industrial (yang pada saat ini masih dipersiapkan) adalah melalui P4D (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerab) untuk perorangan, dan P4P untuk PHK yang jurnlahnya 10 orang ke atas.
1.             Analisa Kritis Berdasarkan Fakta di Lapangan.
Berikut im adalah sejumlah fakta yang sering kali tidak sejalan dengan peraturan yang berlaku. Setidaknya ada 10 masalab utama yang menyangkut mengenai PHK yang menjadi sumber perdebatan.
1)            Lembaga P4D di lapangan mencerminkan lembaga peradilan semu (quasi peradilan). Terbukti lembaga ini tidak terlalu efektif karen a pengaturan lembaga tersebut dalam UU juga tidak terlalu jelas. Ketidakjelasan tersebut kerap memicu terjadinya abuse of power serta mal administrasi dalam lembaga itu sendiri. Hallain yang menyebabkan tidak efektifnya lembaga tersebut adalah karena adanya UU PTUN. Sehingga putusan P4D dan P4P bisa menjadi objek TUN, dan berlanjut ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara CPT TUN) terus kemudian ke MA. Dengan begitu, keberadaan peradilan Tata Usaba Negara menyebabkan putusan P4D dan P4P menjadi blur.
2)Dalam UU yang mengatur mengenai lembaga P4P dan P4D, dikatakan bahwa putusan dari lembaga tersebut dapat dimintakan fiat excecutie. Namun apabila salah satu pihak tidak puas terhadap keputusan P4D dan P4P, maka dapat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Pengajuan banding tersebut menyebabkan perubahan terhadap para pihak yang berkara, di mana dalam P4D/P4P pihak yang beperkara adalah buruh dan pengusaha, namun pada saat diajukan banding ke PT Tata Usaha Negara maka pihak yang berpekara menjadi buruh dengan negara atau pengusaha dengan negara.
3)             Dalam proses PHK ternyata ada yang tidak berimbang. UU tidak mengatur mengenai hal-hal apa yang boleh dilakukan sehubungan dengan pemberian PHK. Namun undang-undang justru mengatur hal-hal apa saja yang tidak boleh dilakukan. Misalnya PHK dilarang apabila menyangkut masalah kehamilan atau menyusui. Hal lainnya adalah bahwa pengusaha dilarang memPHK pekerja yang sedang sakit. Apabila si pekerja sakit selama 12 bulan terus-menerus, maka pengusaha dilarang untuk memPHK pekerja tersebut. Pertanyaannya, bagaimana hak pengusaha terhadap pekerjanya yang sakit terus-menerus dan terlalu banyak mengajukan izin.
4)             Lembaga P4DIP4P terdiri atas tiga elemen, yaitu wakil dari buruh, wakil dari pengusaha, serta wakil dari pemerintah. Diharapkan akan tercipta suatu netralitas dari lembaga itu sendiri. Namun netralitas yang diharapkan akan kembali terbentur oleh masalah klasik yang dialami oleh sistem peradilan kita, yaitu tidak adanya transparansi serta berlakunya KKN. Sehingga netralitas yang diharapkan tidak pernah ada. Dalam mekanisme pemberian izin PHK oleh P4D/P4P, di mana tahap tersebut merupakan garda terakhir perlindungan bagi buruh, nyaris tidak ada izin yang ditolak. Jadi, tahapan tersebut hanya semata-mata hanya untuk menjagal dan kernudian membicarakan berapakah pesangonnya tanpa menelaah alasan-alasan PHK secara lebih mendalam.
5)             Proses pemeriksaan dalam P4PIP4D sering kali tidak membicarakan masalah hukum secara terperinci. Hal dikarenakan para anggotanya belum tentu berlatar belakang hukum. Hal yang lebih diutamakan dalam proses pemeriksaan adalah kronologi, fakta-fakta di lapangan dan pemeriksaan saksi. Dalam hukum acaranya dinyatakan bahwa pertemuan dapat dilaksanakan maksimal tiga kali. Namun hanya dalam sekali pertemuan para panitia akan berpendapat bahwa fakta-fakta yang ada sudah jelas. Selain itu akomodasi kesaksian sangat jarang dilakukan.
6)Departemen Tenaga kerja tidak punya wewenang untuk mengakui keberadaan sebuah serikat pekerja karena UU Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat buruh-Serikat pekerja mengatur bahwa lembaga­lembaga serikat tersebut adalah lembaga independen yang tidak bolehdiintervensi oleh pernerintah. Narnun (lagi-lagi) hal tersebut hanya merupakan judul besar saja. Dalam UU itu sendiri terdapat Pasal-Pasal yang justru rnereduksi independensi dari lernbaga buruh. Misalnya negara hanya mencatat tetapi ban yak lagi aturan-aturan yang mengatakan negara tidak memiliki pencatatan maka lembaga buruh tersebut tidak boleh ikut di komisi pengupahan misalnya. Sehingga pencatatan itu jadi seperti sebuah pengesahan.
7)             Kemudian hubungan serikat buruh dengan buruhnya tercipta apabila si buruh sudah rnenjadi anggota serikat buruh yang bersangkutan. Sehingga pada saat si buruh menjadi anggota serikat, maka otomatis itu serikat buruh tersebut wajib menjadi wakil buruh dan bertindak sebagai pembela kepentingan buruh. Sedangkan untuk buruh yang belum menjadi anggota serikat, serikat buruh tetap dapat mernbela kepentingan buruh non anggota melalui suatu surat kuasa.
8)             Hal lain yang patut mendapat perhatian adalah PHK yang disebabkan oLeh kejahatan (kesalahan berat) seperti mencuri. Pada peraturan perburuhan terdahulu, PHK bagi buruh yang melakukan kesalahan berat tetap harus mendapat izin dari P4PIP4D. Kesalahan berat mas uk dalam lingkup pidana, oleh karena itu tetap harus minta izin. Dengan demikian sebelum PHK diberikan, harus sudah ada putusan pengadilan yang final dan banding sesuai dengan asas praduga tak bersalah. Namun dalam regulasi perburuhan yang berlaku saat ini, PHK bagi buruh yang melakukan kesalahan berat dapat langsung diberikan oleh perusahaan. Pemberian PHK langsung tersebut dapat diberikan dengan syarat bahwa buruh bersangkutan terbukti tertangkap tangan atau ada pengakuan atau ada bukti berupa laporan kejadian dan didukung oleh sekurang­kurangnya 2 (dua) orang saksi. Dengan demikian, UU perburuhan terbaru tidak menghargai asas praduga tak bersalah. Buruh yang di PHK tersebut dapat mengajukan gugatan.
9)Hubungan kerja yang berdasar atas kontrak kerja lebih disenangi oleh pengusaha karena tidak ada keharusan bagi pengusaha untuk memberikan pesangon. Tetapi apabila hubungan kerja kontrak tersebut diberhentikan di tengah jalan, maka izin untuk memberikan PHK tetap diperlukan. Salah satu pihak harus rnelakukan pernbayaran untuk menutupi kekurangan masa kerja tersebut. Kerja Kontrak dilandasi oleh adanya syarat waktu, yaitu apabila pekerjaan tersebut bersifat musiman, tergantung cuaca, atau dapat dipastikan bahwa pekerjaan tersebut tidak memakan waktu lama. Faktanya ban yak pengusaha menerapkan kontrak kerja tanpa melihat unsur waktu. Misalnya, pekerjaan sebagai guru yang saat ini menggunakan kontrak. Padahal pekerjaan sebagai guru bukan merupakan pekerjaan musiman. Selain itu, pekerjaan mengajar merupakan pekerjaan yang tidak akan pernah selesai.
10)           Fakta lain mengenai masa percobaan. Banyak pemberi kerja memberikan klausul masa percobaan dalam kontrak kerja, yaitu masa percobaan adalah 6 (enam) bulan atau setahun, baru kemudian pekerja diangkat sebagai pekerja tetap. Padahal masa percobaan tidak boleh lebih dari 3 (tiga) bulan. Masa percobaan tidak boleh diperpanjang. Sehingga, apabila masa percobaan telah lewat, maka pemberi kerja harus memutuskan apakah akan menerima pekerja tersebut atau tidak. Namun yang sering terjadi adalah bahwa suatu pekerja dikontrak untuk beberapa kali masa kerja dan belum diangkat sebagai pekerja tetap. Fakta ini ternyata tidak hanya terjadi di lingkungan swasta. Di lingkungan PNS sendiri sering diternui fakta bahwa ada pekerja yang teJah digaji secara honorer selama lebih dari 12 tahun. Menilik bahwa pekerja PNS saja mengalami ketidakadilan seperti itu, maka sepertinya kita tidak terlalu berharap pengawasan dapat berjalan dengan baik. Padahal, regulasi perburuhan itu sendiri tidak mengenal pegawai honorer.
11)           Beberapa tahun terakhir ini banyak perusahaan yang menawarkan pensiun dini kepada karyawannya. Penawaran ini harus dilihat dalam konteks negosiasi. Apabila negosiasi tersebut dipandang baik oleh para pihak, maka penawaran tersebut tidak menjadi masalah. Yang menjadi masalah adalah apabila kedudukan para pihak dalam negosiasi itu tidak seimbang, sehingga kebijakan pensiun dini tersebut justru menjadi hal yang dipaksakan.

R A N G K U M A N

Fakta di Lapangan sering kali tidak sejalan dengan peraturan yang berlaku, ditemukan 10 masalah utama yang menyangkut masalah PHK yang menjadi sumber perdebatan, yaitu
1.               Peran Lembaga P4D di lapangan mencerminkan lembaga peradilan semu (quasi peradilan);
2.                Dalam proses PHK ternyata ada yang tidak berimbang. UU tidak mengatur mengenai hal-hal apa yang boleh dilakukan sehubungan dengan pemberian PHK;
3.                Lembaga P4DIP4P terdiri atas tiga elemen, yaitu wakil dari buruh, wakil dari pengusaha, serta wakil dari pemerintah dengan harapan akan tercipta suatu netralitas dari lembaga itu sendiri. Namun netralitas itu terbentur oleh masalah klasik dalam sistem peradilan;
4.                Proses pemeriksaan dalam P4PIP4D sering kali tidak membicarakan masalah hukum secara terperinci.
5.                Departemen Tenaga kerja tidak punya wewenang untuk mengakui keberadaan sebuah serikat pekerja karena UU Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat buruh-Serikat pekerja mengatur bahwa lernbaga-lernbaga serikat tersebut adalah lembaga independen yang tidak boleh diintervensi oleh pemerintah;
6.                Hubungan serikat buruh dengan buruhnya tercipta apabila si buruh sudah menjadi anggota serikat buruh yang bersangkutan, sedangkan buruh yang belum menjadi anggota serikat, serikat buruh tetap dapat membela kepentingan buruh non anggota melalui suatu surat kuasa;
7.                PHK yang disebabkan oleh kejahatan atau kesalahan berat harus minta izin dengan dasar putusan pengadilan yang final dan banding sesuai dengan as as praduga tak bersalah. Namun tidak demikian dengan regulasi perburuhan yang berlaku saat ini.
8.                Hubungan kerja yang berdasar atas kontrak kerja lebih disenangi oleh pengusaha karen a tidak ada keharusan bagi pengusaha untuk memberikan pesangon.
9.                Masa percobaan yang melanggar ketentuan di mana seharusnya hanya 3 bulan, tetapi daJam klausul sering 6 bulan atau 1 Tahun sehingga membingungkan pekerja untuk mengambil keputusan.
10.           Pensiun dini yang dipaksakan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar