Sabtu, 24 Agustus 2019

Hukum Ketenagakerjaan. Modul 1


MODUL 1
Sejarah Hukum Ketenagakerjaan dan Ratifikasi Konvensi ILO
P E N DA H U L U A N
Sebagai langkah awal mempelajari hukum ketenagakerjaan di Indonesia, pada modul yang pertama ini akan diperkenalkan secara singkat sejarah perkembangan hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Manfaat mempelajari sejarah perkembangan hukum ketenagakerjaan ini, selain mengetahui konteks sosial budaya yang berhubungan dengan masalah ketenagakerjaan, juga untuk mengenal peristiwa-peristiwa penting menyangkut lahimya sejumlah peraturan dan undang-undang hukum ketenagakerjaan, dan sekaligus mengetahui aspek kemajuan penting dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia.
Pembahasan mengenai sejarah perkembangan hukum ketenagakerjaan di Indonesia pada modul ini dibagi ke dalam empat kelompok kegiatan belajar. Dua kelompok Kegiatan Belajar 1 dan 2, mengulas tentang sejarah perkembangan hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Sedangkan kelompok Kegiatan Belajar 3 dan 4, mengulas sejarah ILO dan Ratifikasi konvensi oleh Pemerintah RI.

 Kegiatan Belajar 1
Membahas Sejarah Ketenagakerj aan Agustus 1945
Kegiatan Belajar 2
Membahas       Sejarah            Perkembangan             Hukum
Ketenagakerjaan setelah Proklamasi 17 Agustus 1945
 Kegiatan Belajar 3
Membahas Sejarah dan Struktur Organisasi ILO.
 Kegiatan Belajar 4
Membahas Ratifikasi Konvensi dan Rekomendasi ILO



KEGIATAN BELAJAR 1
Perkembangan Hukum Ketenagakerjaan sebelum Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945  
Masalah ketenagakerjaan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda dan Jepang hingga masa Proklamasi 17 Agustus 1945, diwarnai oleh sistem kerja berdasarkan sistem kelas sosial. Pada masa itu dikenal adanya hubungan kerja yang diwarnai oleh sistem perbudakan, kerja rodi, punale sanksi dan peruluran. Untuk mengetahui lebih jauh mari kita pelajari satu per satu.

A. SISTEM PERBUDAKAN
Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda hubungan kerja diwarnai oleh berlakunya sistem perbudakan. Apa yang disebut perbudakan adalah suatu keadaan di mana seseorang yang disebut budak melakukan pekerjaan di bawah perintah pihak lain, yaitu pemilik budak. Sementara pihak yang disebut budak tidak mempunyai hak atas kehidupannya. Budak diwajibkan melaksanakan segala perintah kerja yang diberikan oleh pemilik budak. Para pemilik budak dalam hal ini adalah satu-satunya pihak yang memiliki hak untuk mengatur dan memberi kerja serta hak lainnya atas budak yang dimilikinya. Pendek kata budak tidak memiliki daya tawar atau kebebasan memilih untuk menerima atau menolak pekerjaan. Dalam hal bekerja, budak tidak memiliki batas waktu jam kerja. Jam kerja budak sepenuhnya dimiliki oleh si pemilik budak. Satu-satunya kebaikan yang dapat diterima oleh para budak sangat tergantung pada kebaikan para pemiliknya.
Jika ditilik dari aspek yuridis, budak posisinya tidak lebih dari barang milik pihak lain yang dapat diperjual belikan dan dimiliki secara mutlak kehidupan sosial ekonominya bahkan hidup dan matinya. Pemberian-­pemberian pemilik budak kepada budaknya seperti pemondokan, makanan serta pemberian lainnya dianggap sebagai kewajiban pemilik budak atau hak dari budak, tetapi merupakan pemberian yang bersifat kebijaksanaan dan didasarkan atas keluhuran budi pemilik budak.
Sistem perbudakan pada masa sebelum proklamasi telah berlangsung lama dan merniliki akar sejarah dengan berlakunya sistem kelas sosial pada masyarakat Indonesia. Kebijakan politik Hindia Belanda berkaitan dengan masalah perbudakan ini, baru mulai diperhatikan. Perbudakan mulai diatur dengan terbitnya peraturan pada Tahun 1817, yang isinya mengatur pengiriman budak ke pulau Jawa dari luar pulau Jawa. Pengaturan itu pun masih sebatas pengaturan untuk membatasi bertambahnya jumlah budak di pulau Jawa. Pengaturan lebih lanjut baru terjadi pada Tahun 1825, ketika Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan untuk mernbatasi jumlah pemilik budak dan kepemilikan budak serta mengatur kewajiban-kewajiban para pemilik budak terhadap budak yang dirnilikinya. Dalam peraturan tersebut diatur sekurang-kurangnya ada lima hal pokok, yaitu sebagai berikut :
I.                   Budak yang telah kawin atau berumah tangga, tidak boleh dipisahkan dari anak dan istrinya.
II.                Mulai dilarang adanya perdagangan budak dan mendatangkan budak dari luar Hindia Belanda.
III.             Mengatur hal-hal yang dapat membebaskan budak.
IV.             Mengatur kewajiban untuk memberi makan, pakaian, dan upah.
V.                Mengancam dengan pidana jika terjadi penganiayaan terhadap budak dan juga ancaman pidana bagi budak yang meninggalkan pekerjaan atau menolak pekerjaan yang layak.
Setelah terbit peraturan tentang pengaturan pemilik budak dan kepemilikan budak tersebut, pada Tahun 1854 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan yang disebut Regeringsreglement (RR) yang menetapkan penghapusan perbudakan. Pada ketentuan Pasal 115 RR tersebut menetapkan bahwa paling lambat pada tanggall Januari 1860, perbudakan di seluruh Hindia Belanda dihapuskan.

B. SISTEM KERJA PAKSA ATAU RODI
Meskipun Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan peraturan penghapusan perbudakan, namun dalam praktik sistem perbudakan terus terjadi. Bahkan terdapat pola kerja yang jauh Jebih kejam ketimbang perbudakan, yakni berlakunya sistem kerja paksa atau kerja rodi. Sistem kerja paksa atau kerja rodi adalah sistem kerja yang diberlakukan secara kolektif dalam bentuk satuan desa, suku atau kerajaan atau untuk keperluan raja.
Pekerjaan ini pada mulanya berbentuk gotong-royong, namun dalam perkembangannya sistem gotong-royong ini berubah rnenjadi kerja paksa untuk kepentingan seseorang atau pihak lain dengan tanpa upah. Peristiwa kerja paksa semasa Pemerintah Hindia Belanda, di antaranya terjadi untuk kepentingan pembangunan pabrik, benteng, jalan dan perumahan yang semuanya untuk kepentingan Pemerintahan Hindia Belanda. Sampai kini, kerja paksa yang terus diingat banyak orang adalah kerja paksa semasa Heandrik William Deandels menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada Tahun 1807-1811. Pada saat itu kerja paksa untuk kepentingan pembuatan jalan dari Anyer provinsi Banten hingga Panarukan di Jawa Timur. Bisa dibayangkan berapa banyak korban yang meninggal ketika itu.
Pada dasarnya kerja paksa atau kerja rodi itu lebih kejarn dari perbudakan, mengingat dalam kerja rodi mereka tidak diberi makan dan pemondokan sebagaimana dalam perbudakan. Pada zaman penjajahan Jepang kondisi kerja paksa makin parah. Rakyat yang disuruh kerja paksa (romusa) untuk membangun jalan, jembatan, bandar udara dan kepentingan pemerintah pendudukan lain tanpa upah. Mereka diberi sanksi fisik yang keras apabila lamban bekerja, sementara makanan yang diberikan tidak memadai. Situasi tersebut membuat banyak pekerja/buruh yang jatuh sakit bahkan meninggal dunia di lokasi pekerjaan.

C. PUNALE SANKSI
Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, selain perbudakan dan kerja paksa, dikenal pula istilah punale sanksi. Punale Sanksi adalah hukuman yang diberikan kepada pekerja karen a meninggalkan atau menolak melakukan pekerjaan tanpa alasan yang dapat diterima dengan pidana denda an tara Rp 16,00 (enam bel as rupiah) hingga Rp2S,00 (dua puluh lima rupiah) atau dengan kerja paksa selama 7 hari hingga 12 hari. Punale sanksi merupakan prod uk dari terbitnya Agrarische wet (Undang-undang Agraria) Tahun 1870 yang isinya mendorong munculnya perkebunan-perkebunan swasta besar sehingga membutuhkan pekerja/buruh dalam jumlah banyak. Agar perkebunan memperoleh jaminan bahwa pekerja/buruh tetap melakukan pekerjaannya maka dikeluarkan Algemene Polite Strafreglement (Stbl 1872 Nomor 3 ) yang memuat punale sanksi.
Jika dilihat dari aspek yuridis, punale sanksi memberi kedudukan yang tinggi pada para pengusaha dan mudah untuk disalahgunakan karena posisi kerja/buruh yang 1emah dan kurangnya pengawasan dalam bidang ketenagakerjaan. Melihat punale sanksi yang amat memberatkan bagi para buruh perkebunan, rnernbuat parlemen Belanda melakukan kecaman terhadap pernberlakuan punaJe sanksi sehingga pada Tahun 1879 punale sanksi dicabut. Namun, satu Tahun selepas dicabutnya punale sanksi, yakni pada Tahun 1880 di Sumatera Timur keluar peraturan yang serupa dengan punale sanksi yang disebut Koeli Ordonnantie. Pada Tahun-Tahun berikutnya peraturan serupa juga diberlakukan untuk daerah-daerah lain. Peraturan tersebut baru dicabut pada Tahun 1941 dan baru mulai diberlakukan pada tanggall Januari 1942.
D. SISTEM PERHAMBAAN & PERULURAN
Selain perbudakan, kerja paksa dan punale sanksi sebagaimana telah diuraikan di atas, dikenal pula adanya sistem kerja perhambaan. Perhambaan (pandelingschap) adalah peristiwa di mana seseorang meminjam sejumlah uang dengan cara menggadaikan dirinya sendiri atau orang lain yang berada di bawah kekuasaannya, biasanya anaknya, untuk melakukan pekerjaan di bawah perintah orang yang merninjamkan uang tersebut hingga hutangnya lunas. Pekerjaan yang dilakukan untuk kepentingan orang yang merninjamkan uang ini dapat dijadikan cara untuk melunasi hutang atau bisa juga hanya untuk sekedar membayar bunga hutang.
Sedangkan sistem peruluran terjadi pada zaman Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen berkuasa. Pada masa itu pemerintah Hindia Belanda membagi tanah-tanah kosong untuk dijadikan kebun (perk) kepada orang­orang yang disebut perkenir atau ulur. Para perkenir tidak lain adalah buruh tani yang tidak punya lahan. Selama perkenir berada di kebun dan menggarapnya maka dia dianggap sebagai perniliknya, tetapi apabila meninggalkan kebun maka haknya akan hilang. Namun, para perkenir diharuskan menanam tanaman yang hasilnya harus dijual kepada kompeni yang harganya telah ditetapkan oleh kompeni secara sepihak.
Dernikianlah gambaran singkat wajah hitam sistem ketenagakerjaan masa sebelum masa Proklamasi 17 Agustus 1945. Lalu bagaimana perkembangan setelah Proklamasi 17 Agustus 1945. Mari kita kaji perkembangan ketenagakerjaan setelah masa kemerdekaan.

KEGIATAN BELAJAR 2
Perkembangan Hukum Ketenagakerjaan
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945

Sebelumnya telah kita pelajari perkembangan hukum ketenagakerjaan masa sebelum proklamasi yang diwarnai oleh perbudakan, perhambatan, peruluran, kerja paksa, dan punali sanksi. Melihat wajah hitam system kerja yang berlangsung semasa pejajahan Belanda dan Jepang, mendorong Pemerintah Indonesia sejalan dengan tujuan proklamasi mulai berusaha memperbaiki kondisi ketenagakerjaan agar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusian. Upaya Pemerintah ini tentu saja berpangkal pada tujuan didirikan Negara Republik Indonesia, yakni melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum. Selain itu juga berpangkal pada ketentuan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian”.
Mengingat dari awal proklamasi belum ada periodic hukum ketenagakerjaan yang dihasilkan pemerintah maka untuk menghindari kekosongan hukum dibidang ketenagakerjaan pada waktu itu masih menggunakan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada masa penjajahan. Ketentuan ini dicantumkan dalam pasal 1 Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini. Dengan ketentuan aturan peralihan ini maka semua peraturan perundang-undangan dibidang ketenagakerjaan yang berlaku pada saat pengesahan Undang-Undang 1945 tanggal 18 Agustus 1945 masih berlaku sepanjang belum diganti dengan yang baru. Peraturan perundang-undangan yang masih tetap berlaku tersebut adalah Buku III Bab 7A Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur masalah ketenagakerjaan beserta peraturan-peraturan lain yang dikeluarkan pada zaman penjajahan Belanda.

A.           PERKEMBANGAN HUKUM KETENAGAKERJAAN PERIODE 1945-1969
Pada awal berdirinya Negara Republik Indonesia, ketenagakerjaan belum merupakan masalah serius yang harus ditangani. Hal ini karena selain seluruh rakyat masih sibuk pada perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, perusahaan­perusahaan penting saat itu masih dikuasai oleh negara sehingga masalah ketenagakerjaan terutama perselisihan antara pengusaha dan pekerja/buruh belum begitu terasa menonjol. Setelah adanya pengakuan kedaulatan oleh pemerintah Belanda lewat Konferensi Meja Bundar, perhatian rakyat terutama pekerjalburuh mulai beralih ke masalah sosial ekonomi. Hingga Tahun 1951 di bidang ketenagakerjaan baru diundangkan satu undang­undang, yaitu UU No. 12 Tahun 1948 yang bertitel Undang-undang Kerja. Mengingat saat itu negara Republik Indonesia masih berbentuk negara Serikat maka undang-undang tersebut hanya berlaku untuk Negara Republik Indonesia. Baru pada Tahun 1951 dengan Undang-undang No.1 Tahun 1951 UU Kerja Tahun 1948 dinyatakan berlaku untuk seluruh Indonesia.
Undang-undang No. 12 Tahun 1948 memuat aturan-aturan dasar tentang pekerjaan yang boleh dilakukan anak, orang muda dan wanita, aturan tentang waktu kerja, waktu istirahat, dati tempat kerja. Undang-undang ini hanya berlaku untuk pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja/buruh dan tidak berlaku untuk siswa/murid magang yang bersifat pendidikan, orang yang memborong pekerjaan di perusahaan, dan narapidana yang dipekerjakan.
Sebelum Tahun 1951, perselisihan hubungan industrial yang terjadi diselesaikan oleh para pihak yang berselisih sendiri, yaitu pekerja/buruh dan pengusaha, c amp ur tangan dari pegawai Kementrian Perburuhan akan dilakukan apabila dianggap perlu berdasarkan instruksi Menteri Tenaga Kerja (Menteri Perburuban saat itu). Hal ini mengakibatkan banyak keresaban di kalangan pekerja/burub karena pengusaba dengan kedudukan sosial ekonomi yang lebih tinggi selalu dapat memaksakan kehendaknya kepada pekerjalburuh. Akibatnya, pada akhir Tahun 1950 banyak terjadi pemogokan pekerjalburuh yang mengakibatkan terganggunya perekonomian dan keamanan nasional.
Guna mengatasi keadaan ketenagakerjaan yang tidak kondusif tersebut, pemerintah pada tang gal 13 Februari 1951 mengeluarkan Peraturan Kekuasaan Militer No.1 Tahun 1951 yang membentuk Panitia Penyelesaian
Pertikaian Perburuhan di tingkat pusat dan daerah. Walaupun keadaannya menjadi sedikit lebih baik temyata peraturan kekuasaan militer tersebut belum begitu mampu mengatasi kesulitan-kesulitan yang timbul di bidang ketenagakerjaan. Oleh karena itu, pada bulan September 1951 pemerintah mengeluarkan Undang-undang Darurat No. 16 Tabun 1951 guna mengganti Peraturan Kekuasaan Militer No.1 Tahun 1951. Undang-undang Darurat tersebut memberikan aturan-aturan baru tentang penyelesaian perselisihan perburuhan dan memberikan tugas kepada pemerintah untuk membentuk Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan di tingkat pusat dan daerah (P4P dan P4D).
Undang-undang Darurat No. 16 Tahun 1951 tidak bersifat definitif melainkan hanya bersifat peralihan belaka guna mengatasi keadaan ketenagakerjaan saat itu. Dalam perjalanannya banyak keberatan yang dilakukan baik oleh pengusaha maupun pekerja/buruh. Berdasarkan hal tersebut pemerintah pada tanggal 8 April 1957, mengesahkan Undang­undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penye1esaian Perselisihan perburuhan yang menetapkan P4P dan P4D tersebut sebagai orang yang berwenang menyelesaikan perselisihan perburuhan.
Kondisi ketenagakerjaan saat itu yang mendasari terbentuknya P4P dan P4D banyak diwamai perselisihan antara pengusaha dan pekerja/buruh. Mengingat asas yang dianut saat itu adalah dernokrasi liberal maka para pihak yang berseteru saling memaksakan kehendaknya masing-masing lewat kekuatan yang dimiliki. Pekerja/buruh selalu menggunakan kekuatan mogok kerja untuk memaksakan kehendak sementara pengusaha selalu menggunakan keunggulan sosial ekonomi dalam menekan pekerja/buruh.
Guna mengatasi keadaan ini, pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan, di antaranya adalah Undang-undang No. 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan (sekarang disebut Perjanjian Bersama) yang memberikan kedudukan seimbang antara pekerja/buruh dengan pengusaha dalam menyusun syarat­syarat kerja di perusahaan. Selain itu juga diundangkan Undang-undang No. 7 Pnps Tahun 1963 ten tang Pencegahan Pemogokan dan Penutupan (Lock­Out) di Perusahaan, Jawatan, dan Bidang yang Vital, serta Undang-undang No. 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta yang melarang pengusaha memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh tanpa izin dari P4D dan P4P.
Pada masa setelah Tahun-Tahun tersebut, kondisi ketenagakerjaan mulai membaik dan jarang ditemui konflik ketenagakerjaan yang berarti. Hal ini juga disebabkan bangsa Indonesia saat itu lebih memusatkan perhatiannya pada masalah-masalah politik kenegaraan di mana terjadi pergantian pemerintahan dari pemerintah Orde Lama ke pemerintah Orde Baru.
Sejalan dengan perkembangan kehidupan sosial ekonomi masyarakat, pemerintah orde baru mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan guna mengganti ketentuan lama yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan untuk memperbaiki kondisi ketenagakerjaan di tanah air dalam rangka memberikan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan kepada warga negara.
B.            PERKEMBANGAN HUKUM KETENAGAKERJAAN PERIODE 1969-2003
Pada Tahun 1969 Pemerintah Orde Baru mengeluarkan Undang-undang No. 14 Tahun 1969 ten tang Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Ketenagakerjaan. Undang-Undang ini mengatur tentang Pokok-pokok yang dijadikan kebijakan dalam mengatur ketenagakerjaan di tanah Air. Berdasarkan UU ini dikeluarkan Undang-undang No.1 Tabun 1970 tentang Keselamatan Kerja guna mencegab dan membatasi kecelakaan kerja yang selalu menimbulkan kerugian pada pihak pekerja/buruh dan mewajibkan pengusaba untuk melakukan hal-hal yang dapat mencegah terjadinya kecelakaan kerja termasuk memberikan alat-alat keselamatan kerja secara cuma-cuma kepada pekerja/buruh.
Guna lebih memberikan perlindungan kepada tenaga kerja, pada Tahun 1977 pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (pP No. 33 Tahun 1977 tentang Asuransi Tenaga Kerja (Astek)). PP ini mewajibkan perusahaan untuk mengikutkan pekerja/buruh pada program asuransi sosial tenaga kerja, meliputi berikut ini.
1.   Program asuransi kecelakaan kerja.
2.   Program tabungan hari tua yang dikaitkan dengan asuransi kematian.
Dalam perkembangan lebih lanjut program Astek diperbaiki dengan suatu program jaminan so sial yang lebih baik dan diatur dalam suatu undang­undang, yaitu Undang-undang No.3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). Undang-undang ini mewajibkan pengusaha untuk memberikan perlindungan kepada pekerja Iburuh dan keluarga dalam suatu jaminan sosial yang disebutjaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek), meliputi berikut ini.
1.  Jaminan kecelakaan kerja.
2.  Jarninan kematian.
3.  J arninan hari tua.
4.  Jaminan pemeliharaan kesehatan.
Program jaminan sosial tersebut diselenggarakan oleh PT Jamsostek (Persero), sebuah BUMN yang didirikan berdasarkan PP No. 19 Tabun 1990.
Pada Tahun 1981 pemerintah mengeluarkan PP No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upab yang mengatur sistem pengupahan dan hal-hal yang dapat dipotongkan dengan upab. PP ini menegaskan bahwa upah pekerja merupakan hal yang harus didabulukan sehingga menjarnin pekerjaJburuh dalam hal penghasilan.
Pada perkembangan lain, pemerintah mengundangkan UU NO.5 Talmn 1985 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Sebagaimana diketahui sistem peradilan di Indonesia men genal 4 macam pengadilan, yaitu Pengadilan Agama, Pengadilan Umum, Pengadilan Militer, dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Putusan P4D dan P4P bukan merupakan suatu putusan lembaga pengadilan tetapi putusan yang bersifat administratif. Oleh karena itu, putusan tersebut merupakan objek yang dapat digugat pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan dimohonkan kasasi ke Mahkamah Agung. Mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial (dahulu perselisihan perburuhan) dengan dernikian menjadi tidak efektif dan memerlukan waktu yang lama, yaitu mulai dari penyelesaian secara bipartit, anjuran tertulis, P4D, P4P, PT TUN, dan MA. Mengingat masalah ketenagakerjaan merupakan masaiah yang harus diselesaikan secara cepat maka dengan adanya peradilan tata usaha negara, perlu dilakukan reformasi di bidang hukum ketenagakerjaan dengan membuat suatu mekanisme penyeiesaian perselisihan hubungan industrial baru yang lebih cepat dan dapat diterima baik oleh pengusaha, pekerjalburuh maupun serikat pekerjaJserikat buruh.
Dalam rangka reformasi di bidang hukum ketenagakerjaan tersebut, pemerintah bersama DPR telah mengundangkan beberapa undang-undang yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. Undang-undang tersebut adalah UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat PekerjaJSerikat Buruh dan UU No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. UU No. 21 Tahun 2000 memberikan kebebasan kepada pekerjalburuh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus serta menjadi atau tidak menjadi anggota Serikat Pekerja/Serikat Buruh guna memperjuangkan kepentingan-kepentingannya.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan merupakan Undang-undang ketenagakerjaan yang bersifat komprehensif dan menyeluruh, mengatur berbagai hal di bidang ketenagakerjaan yang sebelumnya tidak pernah diatur dalam satu undang-undang. Beberapa ketentuan tentang ketenagakerjaan yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan sebelumnya dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman termasuk yang merupakan produk kolonial, dicabut dan diganti dengan undang-undang ini. Selain mencabut ketentuan lama, UU ini juga dimaksudkan untuk menampung perubahan yang sangat mendasar di segala aspek kehidupan bangsa Indonesia sejak dimulainya era reformasi pada Tahun 1998.
Demikianlah gambaran singkat perkembangan hukum ketenagakerjaan setelah masa prokiamasi hingga saat ini.
Catatan Penting
Untuk melengkapi dan memperkaya wawasan tentang hukum ketenagakerjaan Indonesia, sebaiknya Anda membaca isi UU No. 13 Tahun 2003 ten tang Ketenagakerjaan beserta Penjelasannya.

RANGKUMAN
Pada awal berdirinya Negara Republik Indonesia, ketenagakerjaan belum merupakan masalah yang serius ditangani. Baru pada Tahun 1951 di bidang ketenagakerjaan diundangkan UU Nomor 12 Tahun 1948 yang bertitel Undang-undang Kerja yang dinyatakan berlaku untuk seluruh Indonesia dengan berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1951.
Untuk mengatasi keadaan ketenagakerjaan yang tidak kondusif, pemerintah mengeluarkan Peraturan Kekuasaan Militer Nomor 1 Tahun 1951 yang membentuk Panitia Penyelesaian Pertikaian di tingkat pusat dan daerah. Namun, pada September 1951 pemerintah mengeluarkan UU Darurat Nomor 16 Tahun 1951 untuk mengganti Peraturan Kekuasaan Militer tersebut yang memberikan aturan baru tentang penyelesaian perselisihan perburuhan dan memberikan tugas kepada pemerintah untuk membentuk Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Pada 8 April 1957 disahkan UU tentang P4P dan P4D, yaitu UU Nomor 22 Tahun 1957.
Dengan UU Nomor 22 Tahun 1957 banyak diwamai perselisihan antara pengusaha dan pekerja/buruh sehingga guna mengatasi keadaan ini pemerintah mengeluarkan UU Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan yang memberikan kedudukan seimbang. Juga diundangkan UU Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Peneegahan Pemogokan dan Penutupan di Perusahaan, Jawatan, dan Bidang yang Vital serta diterbitkan UU Nornor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta.
Pada Tahun 1969 Orde Baru mengeluarkan UU Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok Mengenai Ketenagakerjaan. Berdasar UU tersebut dikeluarkan UU Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
Guna lebih memberikan perlindungan kepada tenaga kerja, Tahun 1977 pemerintah mengeluarkan PP Nornor 33 Tahun 1977 tentang Asuransi Tenaga Kerja. Dengan perkembangan yang ada, peraturan tentang Astek diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jarninan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek)
Pada Tahun 1981, pemerintah mengeluarkan PP Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah yang mengatur sistem pengupahan dan hal-hal yang dapat dipotongkan dengan upah. Pada Tahun 1985 pada perkembangan lain, pemerintah mengundangkan UU Nomor 5 Tahun 1985 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Dalam rangka reformasi di bidang hukum ketenagakerjaan, diundangkan UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
  

KEGIATAN BELAJAR 3
Sejarah dan Struktur Organisasi ILO
A. SEJARAH ILO
Organisasi Perburuhan Internasional atau yang biasa disebut dengan ILO didirikan pada Tahun 1919 berdasarkan perjanjian Versailles bersama-sama dengan Liga Bangsa-Bangsa. Kemudian, dalam Tahun 1946, setelah Liga Bangsa-Bangsa bubar, ILO menjadi badan khusus yang pertama bergabung dengan PBB. Keanggotaannya semula berjumlah 45 negara kemudian berkembang menjadi 138 negara pada Tahun 1978 dan terus meningkat menjadi 150 negara pada Tahun 1989. Kantor pusat ILO berada di Geneva (Swiss) yang merupakan markas besar untuk mengolah dan melancarkan semua program kerja ILO, termasuk kegiatan konferensi-konferensi ILO, penelitian-penelitian serta publikasi ILO. Tugas pekerjaan ILO disentralisasi di kantor-kantor regional, wilayah, dan cabang-cabang yang berada lebih kurang di 40 negara anggota.
1.  Tujuan ILO
Perdamaian bukan hanya tanpa peperangan. Perdamaian yang benar dan langgeng juga tergantung pada kesejahteraan sosial ekonorni penduduk dunia tingkat kehidupan yang layak, kondisi, dan upah kerja yang memuaskan, kesempatan kerja yang memadai. Ini semua merupakan keprihatinan ILO yang telah berjuang selama 71 Tahun untuk meningkatkan keadilan sosial bagi buruh/tenaga kerja di manapun. ILO, yang usaha-usahanya telah diakui dan mendapat penghargaan Nobel untuk perdamaian dalam Tahun 1969 merupakan suatu organisasi yang unik di antara organisasi-organisasi dunia karena wakil-wakil pengusaha dan buruh mernpunyai suara yang sarna, seperti wakil-wakil pemerintah dalarn merumuskan kebijakannya.
2.    Metode-metode ILO
ILO terlibat dalam kegiatan-kegiatan, seperti berikut ini.
1)            Merumuskan kebijakan dan program-program kerja secara internasional untuk membantu meningkatkan kondisi kerja dan kondisi hidup, memperluas kesempatan kerja, dan meningkatkan hak-hak asasi manusia.
2)            Menciptakan standar perburuhan internasional untuk dijadikan petunjukJ pedoman bagi penguasa atau pejabat-pejabat nasional dalam melaksanakan kebijakan.
3)            Memperluas program-program kerja sarna teknik internasional untuk membantu pemerintahinegara yang menjadi anggota, agar kebijakan tersebut dapat berjalan dengan efektiflberhasil gun a dalam pelaksanaannya.
4)            Mengadakan latihan-latihan dan pendidikan, riset dan penerbitan untuk membantu memajukan usaha-usaha tersebut di atas.
3. Deklarasi Philadelpia
Peristiwa yang sangat penting dengan kehidupan tenaga kerja khususnya dan masyarakat pada umumnya adalah dengan diadakannya Konferensi Perburuhan Internasional pada Tahun 1944 di Philadelpia (Amerika Serikat), yang menetapkan lagi maksud dan tujuan organisasi. Konferensi tersebut menerima dan mengesahkan pernyataan yang dikenal dengan nama "Pernyataan Philadelpia" yang memuat prinsip-prinsip berikut ini.
1)   Tenaga kerja bukan komoditi (barang dagangan).
2)   Kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dan berserikat adalah penting untuk menopang kemajuan.
3)   Kerniskinan merupakan bahaya bagi kemakmuran.
4)   Semua umat manusia, terlepas dari ras, kepercayaan, dan jenis kelarnin berhak untuk mengejar kehidupan yang baik secara materiil dan spiritual dalam keadaan bebas dan bermartabat.
Indonesia masuk menjadi anggota ILO pada tanggal 12 lull 1950. Pada waktu Indonesia rnenyatakan sebagai anggota, Indonesia terikat pada 4 Konvensi yang sebelurnnya telah diratifikasi oleh pemerintah Belanda dan dinyatakan berlaku untuk Indonesia.

B.STRUKTUR ORGANISASI ILO
ILO terdiri dari berikut ini.
1.    Sidang umum ILO.
2.    Badan pengurus ILO atau Governing Body.
3.    Kantor Perburuhan Internasional atau lnternational Labour Office.
Konferensi Perburuhan Internasional
Salah satu tugas penting ILO adalah menyelenggarakan Konferensi Perburuhan Internasional yang menghasilkan konvensi dan rekomendasi. ILC adalah Forum Pleno dari ILO yang mempunyai kekuasaan tertinggi dan memutuskan semua aktivitas ILO. ILC mengadakan sidangnya sekali seTahun yang dimulai pada Rabu pertama setiap bulan Juni dan yang berlangsung selama 3 minggu.
Konferensi tersebut dihadiri oleh delegasi setiap negara anggota yang tersusun secara Tripartit dengan perbandingan 2 : 1 : 1, yaitu 2 dari unsur pernerintah 1 dari unsur pengusaha dan 1 dari unsur pekerja.
Setiap unsur delegasi dapat disertai penasihat sebanyak 2 orang untuk tiap mata acara sidang. Konferensi juga dihadiri oleh para peninjau yang biasanya berasal dari badan-badan khusus PBB, organisasi-organisasi Internasional, Pemerintah maupun swasta dan dari negara-negara yang bukan anggota ILO.
Kegiatan konferensi, antara lain berikut ini.
a.    Setiap Tahun mengesahkanJmenetapkan standar-standar perburuhan
internasional dalam bentuk konvensi atau rekomendasi.
b.  Mengesahkan resolusi-resolusi tentang garis-garis besar kebijakan ILO.
c.   Setiap 2 Tahun sekali menetapkan program dan anggaran ILO.
d.    Mengangkat direktur jenderal serta memilih anggota-anggota governing body ILO.
e.    Menyelenggarakan forum-forum diskusi tentang masalah sosial dan ketenagakerjaan
f.     Menunjuk komite-komite dalam konferensi.

Dalam melaksanakan kegiatannya, ILO menunjuk kornite-komite, yaitu sebagai berikut.
a.       Komite seleksi (Selection Committee)
1)Jumlah anggota: 56, yaitu:
a) 28 Government
b) 14 Employers
c) 14 Workers
2)Tugasnya adalah:
a) mengatur program konferensi;
b) menetapkan waktu dan agenda sidang pleno;
c)    mengajukan usul-usul sehubungan dengan pembentukan dan komposisi komite-komite lain;
d)   membuat laporan kepada konferensi jika ada rnasalah-rnasalah yang perlu diputuskan.
b.      Kornite Surat-surat (Credential Committee)
1)  Jumlah Anggota : 3, yaitu:
a)1 Governments
b)1 Employers
c)1 Workers
2)  Tugasnya adalah:
a.       memberikan surat-surat kepercayaan (credentials) delegasi dan penasihat;
b.      mempertimbangkan dan memeriksa keberatan yang diajukan salah satu delegasi lain terhadap delegasi lainnya sehubungan dengan penunjukan delegasi dan atau penasihat ke konferensi.
c.         Komite Pengurus (Conference Drafting Committee)
1) Jumlah Anggota: 3, yaitu:
a) 1 Governments
b) 1 Employers
c) 1 Workers
2) Tugasnya adalah:
Menangani proses pengesahan konvensi dan rekomendasi serta keputusan yang disahkan oleh ILC.
d.        Komite Penerapan Konvensi dan Rekomendasi (Committee on the Application of Convention and Recommendation)
1) Jumlah Anggota: 3, yaitu:
a)      Govenments
b)      1 Employers
c)      1 Workers
2)   Tugasnya adalah menangani dan meneliti bagaimana penerapan suatu konvensi dan rekomendasi dari negara-negara anggota.
3)   Komite ini dibantu oleh Komite Ahli (Committee oj Experts) yang ditunjuk oleh Governing Body/ GB - ILO.
e.    Komite Keuangan (Finance Committee oj Government Representatives)
1)        Jurnlah anggota dipilih dari unsur delegasi Pemerintah yang hadir dalam konferensi, masing-masing 1 orang wakil delegasi.
2)        Tugasnya adalah menangani dan mempertimbangkan budget dan keuangan organisasi.
f.    Komite-komite lainnya (apabila dianggap perlu untuk dibentuk)
1)        Komite Apartheid, kornite ini dibentuk berdasarkan Pasal 1 Deklarasi tentang Politik Apartheid di Afrika. Jurnlah anggota : 50, yaitu 20 Governments, 10 Employers dan 20 Workers. Tugas/kegiatannya, memonitor aksi-aksi untuk menentang Apartheid.
2)        Komite Struktur, Komite ini dibentuk oleh konferensi ILC pada tanggal 2 Juni 1983 (lLC ke- 69). Jurnlah anggotanya 136, yaitu 79 Governments, 16 Employers dan 41 Workers. Tugas kegiatannya, membahas laporan-laporan sidang Working Party on Structure yang dibentuk Tahun 1974 pada ILC ke-59 yang bertugas menyusun suatu rancangan perubahan terhadap Pasal 7 konstitusi ILO tentang susunan GB (Governing Body) dan sekaligus menyusun pula perubahan pasal-pasal lain yang berhubungan dengan struktur organisasi ILO, yaitu Pasal 8 (Penunjukan Direktur JenderallAppoinment oj Director General), Pasal 17 (Quorum) dan Pasal 36 (Amandement).
3)        Komite Resolusi, kornite ini dibentuk pada tanggal 2 Juni 1983 (ILC ke-69). Jumlah anggota 215 anggota, yaitu 90 Governments, 42 Employers, dan 83 Workers Kegiatannya membahas draf Resolusi yang diajukan oleh para delegasi mengenai masalah yang tidak termasuk dalam mata acara konferensi.

C.  BADAN PENGURUS ILO ATAU GOVERNING BODY (GB-ILO)
Governing Body merupakan dewan pelaksana ILO, dipilih tiap 3 Tahun sekali pada waktu sidang ILC. Sidang GB diselenggarakan 3 Tahun sekali, yaitu pada bulan berikut ini.

1. Februari-Maret, selama + 19 hari.

2. Mei-Juni, selama + 7 hari.

3. Oktober-November, selama + 19 hari.

4. Sewaktu-waktu apabila ada masalah penting yang dibahas (misalnya pemilihan ketua GB) sidang khusus GB bisa diadakan.

Sebagaimana halnya dengan ILC, Governing Body ILO keanggotaannya juga berunsurkan TRIPARTIT (Pemerintah, Pengusaha dan Pekerja). Jurnlah anggotanya 56 orang, dengan susunan sebagai berikut.
1.    28 orang dari unsur Pemerintah yang terdiri dari 10 orang merupakan anggota permanen, yaitu wakil dari negara-negara industri maju.
2.    14 orang dari unsur pengusaha.
3.    18 orang dipilih oleh ILC, termasuk 18 anggota pengganti (substitute members) 14 orang dari un sur pekerja.

Governing Body adalah badan pengambil keputusan (Executive Council) ILO yang mempunyai tugas utama, yaitu sebagai berikut.
1.         menentukan kebijakan, Program, dan Anggaran Organisasi.
2.         menyusun acara Sidang Tahunan (lLC).
3.         mengarahkan kegiatan-kegiatan kantor Perburuhan Intemasional (International Labour Office).
4.         menunjuk Direktur Jenderal.
5.         menyusun acara Sidang-sidang Komite Teknis Industri.

Untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut di atas, GB selalu minta pengesahan dari ILC. Masa kerja GB adalah 3 Tahun dan anggotaanggotanya disahkan oleh ILC. Dalam melaksanakan tugas atau kegiatannya, GB membentuk kornite-komite yang berjumlah 9 komite ditambah 1 subkornite, yaitu sebagai berikut.
1.         Kornite Program, Keuangan, dan Administrasi (Programme, Financial and Administrative Committee), ditambah Sub-Komite Bangunan (Building Sub-Committee) yang merupakan komite Ad Haus.
2.         Komite Alokasi (Allocation Committee).
3.         Komite Anggaran Dasar dan Penerapan Konvensi dan Rekomendasi (Committee on Standing Orders and the Application of Conventions and Recommendations).
4.         Komite Kegiatan Industrial (Industrial Activities Committee).
5.         Komite     Organisasi       Internasional   (International Organizations Committee ).
6.         Komite Program-program Operasional (Committee on Operational Programmes).
7.         Komite Kebebasan Berserikat (Committee on Freedom of Associations).
8.         Komite Diskriminasi (Committee on Discrimination).
9.         Komite Perusahaan Multinasional (Committee on Multinational Enterprises ).

D.   KANTOR PERBURUHAN INTERNASIONAL (INTERNATIONAL LABOUR OFFICE)
Kantor Perburuhan Internasional merupakan Sekretariat Permanen ILO yang dipimpin oleh seorang Direktur Jenderal, dengan dibantu 3 orang Deputi Dirjen dan 7 orang Asisten Direktur Jenderal.
Berikut nama-nama Direktur Jenderal.
                 Pertama     :             Albert Thomas (Perancis) 1919-1932.
                 Kedua       :             Harold B. Butter (Inggris) 1932-1938.
                 Ketiga       :             John G. Winant (Amerika Serikat) 1938-1941.
                 Keempat   :             Edward J. Phelan (Irlandia) 1941-1948.
                 Kelima      :             David A. Morse (Amerika Serikat) 1948-1970.
                 Keenam     :             Wilfred Jenks (Inggris) 1970-1973.
                 Ketujuh     :             Francis Blanchard (Perancis) 1974-1989.
Kedelapan:             Michael Hansenne (Belgia) 1989 - …..

Kantor pusat ILO berkedudukan di Geneva, Swiss. Tugas kantor pus at ILO antara lain menyangkut kegiatan-kegiatan sebagai berikut.
1.            Mernpersiapkan dokumen-dokurnen dan laporan untuk bahan sidang.
2.            Menyediakan sekretariat untuk sidang.
3.            Merekrut pakar (expert) dan memberikan bimbingan untuk program kerja sarna teknik.
4.             Melaksanakan kegiatan-kegiatan penelitian dan pendidikan.
5.             Menerbitkan publikasi-publikasi khusus di bidang sosial dan perburuhan secara berkala.
Kantor pusat ILO mempunyai kantor-kantor cabang yang tersebar di beberapa wilayah di dunia. Kantor Cabang tersebut terdiri dari berikut ini.
1.            Kantor Wilayah (Regional Office).
2.             Kantor Lokal (Area Office).
Kantor wilayah ILO berjumlah 5 buah, yaitu sebagai berikut.
I.            Kantor wilayah Afrika, berkedudukan di Addis Ababa (Ethiopia).
2.             Amerika dan Karibia, berkedudukan di Lima (Peru).
3.             Asia dan Pasifik, berkedudukan di Bangkok (Thailand).
4.             Eropa, berkedudukan di Geneva (Swiss).
5.             Negara-negara Arab, berkedudukan di Kuwait.
Masing-masing kantor wilayah tersebut mempunyai kantor-kantor lokal.
Untuk Asia dan Pasifik berjurnlah 9 buah kantor lokal, yaitu sebagai berikut.
1.             New Delhi (India).
2.             Islamabad (Pakistan).
3.            Dhacca (Bangladesh).
4.            Manila (Philipina).
5.            Jakarta (Indonesia).
6.             Tokyo (Jepang).
7.             Colombo (Srilanka).
8.            Beijing (China).
9.             Suva (Fiji).
E. KEGIATAN-KEGIATAN ILO
Organisasi Perburuhan Internasional atau ILO mernpunyai tugas utama, yaitu meningkatkan kondisi kerja dan kesejahteraan pekerja dengan cara membuat peraturan-peraturan atau standar-standar internasional yang dituangkan dalam bentuk Konvensi dan Rekomendasi yang dihasilkan atau disetujui dan disahkan oleh Konferensi Perburuhan Internasional atau International Labour Conference (ILC). Selain itu, ILO mempunyai kegiatan-kegiatan lainnya, seperti berikut ini.

Kerja Sarna Teknik Internasional
Untuk membantu meningkatkan ekonomi nasional dan pengembangan sosial, kira-kira 800 ahli ILO bertugas atas kira-kira 500 program kerja sarna teknik di lebih dari 100 negara. Mereka dikerahkan dari banyak negara, untuk membantu negara-negara anggota ILO dalam proyek-proyek, seperti berikut InI.
a.             Program pekerjaan umum padat karya di lebih dari 30 negara di Afrika, Asia dan Karibia.
b.             Program pengembangan keterampilan kejuruan regional se-Afrika, Asia, dan Amerika Latin.
c.             Menerapkan teknik-teknik manajemen modern pada pengembangan ekonomi dan sosial melalui 85 proyek.
d.             Mengembangkan hubungan perburuhan di negara-negara Afrika.
e.              Membuat pola-pola jaminan sosial di negara-negara Afrika, Asia, dan Karibia.
f.              Meningkatkan kondisi kerja melalui misi-rnisi rnultidisiplin pada lebih dari selusin negara.
g.             Mengembangkan koperasi di Cina, Irak, Zona Sudan Shalia, dan Amerika Tengah.
h.             Membantu pendidikan buruh di Pasifik Selatan.
Satu dari tugas-tugas utama para ahli !LO ialah melatih petugas-petugas setempat untuk mengambil alih dan memperluas kegiatan proyek apabila tim internasional telah meninggalkan negara yang bersangkutan. Surnber dana terbesar untuk proyek-proyek kerja sarna teknik ILO adalah Program Pembangunan PBB, UNDP.
Sarana lain untuk membiayai kerja sarna teknik adalah trust funds (sebagian besar dari pemerintah dan badan-badan bantuan multilateral/ dan anggaran tetap ILO untuk jenis-jenis khusus bantuan teknik). Dana dari semua sumber ini yang disediakan untuk pengeluaran kerja sarna teknik !LO melebihi US$ 125 juta per Tahun. Sumbangan pemerintah untuk proyek­proyek kerja sarna teknik biasanya melebihi dana internasional yang dikeluarkan untuk proyek-proyek itu.
Kerja sarna teknik ILO dengan Indonesia mencakup ban yak hal, terrnasuk latihan teknik dan kejuruan, informasi pasaran kerja dan angkatan kerja, perencanaan tenaga kerja, hubungan antara pekerja dan majikan, administrasi pekerja, pengernbangan manajernen, produktivitas, kondisi dan lingkungan kerja, pemeriksaan tugas dan pabrik, kebijakan dan langkah­langkah untuk meningkatkan lapangan kerja, program-program pekerjaan umum, pengelolaan dan pengembangan koperasi pedesaan, manajemen hotel, rehabilitasi orang eaeat, jarninan sosial dan pendidikan pekerja.
Proyek-proyek ILO di Indonesia dapat kita lihat pada tabel di bawah ini.

No.
Nama Proyek
Tahun
Departemen
(1 )
(2)
(3)
(4)
1.
Implementation of Employment
1985 -1989
Depnaker

Creation Strategy


2.
Extention of Social Security
1987 -1990
Depnaker

Protection


3.
East Java - Manpower Development
1987 -1990
Depnaker

and Training


4.
Manpower Information System (MIS)
1989
Depnaker +

Chemical Safety and Major Hazards

BPS

Control


5.
Extention of Social Security
1989 -1991


Protection

Depnaker
6.
Information and Policy Development
1990 -1991


Related to Self - Employment

Depnaker
7.
Self-Employment Programme for
1990 -1992
+ASTEK

Training Institution


8.
Local Enterprise Development
1990 -1992
Depnaker

Agency Programme


9.
Information System for Employment
1990 -1992
Depnaker

Development and Manpower



Planning

Depnaker
10.
Improvement of Women Workers
1990 -1992


Welfare and Working Conditions



Safety and Health in the Use of

Depnaker

Agrochemica/s


11.
Family Planning for Workers of
1990 -1993


Small and Medium-Scale



Enterprises.

Depnaker
12.
Contract for Consulting services for
1991 -1993
+Men.Neg


No.
Nama Proyek
Tahun
Departemen
(1 )
(2)
(3)
(4)

Contractor and Mandor Trainning

Peranan

Strengthening of Mines Safety

Wanita
13.
Inspection
1991 -1995
Depnaker

Hotel Management Trainning



Community-Based Rehabilitation of


14.
the Disabled
1986 -1987
Depnaker

Increasing Productivity of the Mining


15.
and Energy Sector Through
1987 -1989


Employment and Self- Employment

Pekerjaan
16.
for Women in Tourism Industry
1986 -1990
Umum
17.
Improving Effiency of Local
1988 -1990


Resource- Based Methods for

Pertambangan

Second Rural Roads Development

dan Energi
18.
Project
1990 -1991
Parpostel

Vocational Trainning for Rural

Sosial

Development and Income


19.
Generation
-


Self- Employment Programme For

Pertambangan

Trainning Institutions

dan Energi
20.
Work Based Trainning and National
1990 -1992


Trainning Standars for Hotel and

Parpostel
21.
Tourism Sector
1990 -1992


Developing of Activities in the



Workers Secondary Cooperative in

Pekerjaan
22.
Indonesia
1990 -1992
Umum

Trainning of Mandors and Small


23.
Contractors
1990 -1992
Dalam Negeri

Management Consultancy and



Trainning for Cooperatives, KUDs


24.
and Women Groups

Migrasi
25.


Parpostel
26.

1990 -1993
INKOPKAR



Pekerjaan



Umum



Koperasi

E.PROGRAM KESEMPATAN KERJA SEDUNIA

ILO sedang melaksanakan suatu program kesempatan kerja sedunia untuk membantu usaha-usaha nasional dan internasional dengan menyediakan lapangan kerja yang produktif bagi penduduk dunia yang terus bertambah dengan cepat.
Ratusan juta penduduk usia kerja akan bertambah di seluruh duma menjelang Tahun 1990-an, sebagian besar mereka di Afrika, Asia, dan Amerika latin. Jutaan keluarga di negara-negara berkembang mengalami kegagalan untuk memperbaiki nasib mereka. Walaupun ada pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai sejauh ini, jutaan lagi akan menderita jika tidak ditemukan cara untuk memungkinkan mereka rnernperoleh bagian dari hasil pembangunan nasional.
Berdasarkan program kesempatan kerja sedunia itu, ILO memberi bantuan praktis kepada negara-negara dalam memilih kebijakan-kebijakan yang dirancang untuk memberi lebih banyak pekerjaan dalam bidang industri, pembangunan pedesaan, pekerjaan umum dan rencana-rencana lain, dan untuk mernilih teknologi-teknologi dan program-program latihan dengan menggunakan sumber-sumber tenaga manusia sepenuhnya untuk mencapai kemajuan ekonomi dan sosial.
Untuk memenuhi Program Kesempatan Kerja Sedunia suatu kerangka yang kontinu, tiga rencana regional, yaitu Rencana Tenaga Kerja Asia, Program Lapangan Kerja untuk Arnerika Latin dan Karibia, dan Program Kerja dan Keterampilan untuk Afrika telah ditetapkan. Tim Kesempatan Kerja Regional di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, pelayanan bantuannya diberikan oleh para ahli bagi pemerintah dalam masalah-masalah tenaga kerja dan kesempatan kerja.
Baru-baru ini ILO telah mengadakan pertemuan dengan wakil-wakil dari Lembaga Keuangan Internasional dan badan-badan lain yang terkait untuk mencari suatu kepastian bahwa beban perubahan struktur tidak semena-mena menimpa kaum miskin. Pertemuan Tripartit Tingkat Tinggi di Tahun 1987 diadakan untuk mempelajari pengaruh bidang perdagangan, keuangan dan kebiasaan moneter terhadap kesempatan kerja dan kemiskinan. Pertemuan ini menetapkan suatu persetujuan kembar, yaitu memperbaiki ketidakseimbangan yang serius pada ekonomi saat ini terutama dengan usaha menyesuaikan struktur dan mendorong pertumbuhan penciptaan lapangan kerja secara nasional dan internasional.

F. LINGKUNGAN KERJA YANG LEBIH BAlK
Sejak awalnya dalam Tahun 1919 ILO secara aktif memperhatikan masalah-masalah keselamatan, kesehatan kerja, dan kondisi kerja. Semenjak Tahun 1976 masalah ini ditangani dalam kerangka kerja Program Internasional untuk peningkatan kondisi dan lingkungan kerja (disebut PIACT, akronim bahasa Prancis), yang dirancang untuk meningkatkan atau mendukung kegiatan-kegiatan negara-negara anggota. Program 101 memadukan kesinambungan dan pembaharuan, menangani masalah-masalah kondisi dan lingkungan secara universal, dan memandang masalah-rnasalah dalam konteks yang lebih luas dari kebijakan ekonorni dan kebijakan sosial. Program bertujuan untuk mernbantu pernerintah, organisasi-organisasi pengusaha dan buruh, lernbaga-lernbaga riset dan latihan bantuan yang diperlukan dalam usaha-usaha mereka untuk meningkatkan keadaan yang arnan, sehat, dan menguntungkan bagi pekerja pria maupun wanita di seluruh dunia. PIACT menetapkan standar dan kegiatan-kegiatan operasional, studi­studi dan pertemuan-pertemuan tripartit, juga kegiatan-kegiatan pusat informasi, serta suatu sistem kesiagaan internasional untuk menemukan bahaya-bahaya potensial terhadap kesehatan buruh. PlACT menawarkan kepada negara-negara suatu pilihan bandingan atas fasilitas-fasilitas kerja sama teknik untuk dipilih satu dari yang paling sesuai dengan kebutuhan khusus mereka; tim rnultidisiplin untuk negara-negara anggota; seminar nasional tripartit, bantuan diberikan oleh spesialis tingkat tinggi dalam rnernbentuk pusat-pusat kesehatan dan keselarnatan kerja dan pernantapan jasa pemeriksaan ketenagakerjaan; latihan dan kursus-kursus serta bea siswa.

G.LEMBAGA STUDI PERBURUHAN
Lembaga Studi Perburuhan ILO di Geneva mengkhususkan diri dalam pendidikan lanjutan dan riset mengenai kebijakan sosial dan ketenagakerjaan. Lembaga ini menghimpun orang-orang yang berpengalaman untuk studi kelompok dari seluruh bagian dunia. Penyelenggara Pemerintah, Pejabat­pejabat Serikat Buruh, ahli-ahli perindustrian dan manajemen, sarjana-sarjana dan spesialis-spesialis lainnya. Kegiatan-kegiatan yang dimulai Tahun 1960, lingkupnya adalah regional dan internasional.
Pusat Pendidikan Internasional Turin
Pusat internasional untuk Latihan Kejuruan dan teknik lanjutan ILO di Turin, Italia, menyediakan program-program setempat yang dirancang untuk para direktur yang memimpin lembaga-lembaga kejuruan dan teknik, pejabat-pejabat latihan yang terlibat dalam kegiatan kejuruan dan teknik, pengelola-pengelola swasta dan pemerintah, pemimpin-pemimpin serikat buruh, instruktur-instruktur dan teknisi-teknisi latihan kejuruan. Program­program disesuaikan dengan kebutuhan negara-negara berkembang. Suatu staf instruktur mu1tinasional dan penceramah-pencerarnah tamu telah melatih penduduk lebih dari 120 negara dan wilayah semenjak Pusat itu dibuka Tahun 1965.
RA N G K U M A N
Organisasi Perburuhan Intemasional (ILO) didirikan pada Tahun 1919 berdasar perjanjian Versailles bersama-sama dengan Liga Bangsa­bangsa. Pada Tahun 1946, ILO menjadi badan khusus yang pertama bergabung dengan PBB. ILO yang usahanya telah diakui dan mendapat penghargaan Nobel untuk perdamaian dalam Tahun 1969 merupakan suatu organisasi yang unik di an tara organisasi dunia.
Salah satu tugas penting ILO adalah menyelenggarakan Konferensi Perburuhan Internasional yang menghasilkan konvensi dan direkomendasi. Forum Pleno dari ILO adalah ILC yang mempunyai kekuasaan tertinggi dan memutuskan semua aktivitas ILO. Kantor Perburuhan Internasional merupakan sekretariat permanen ILO yang dipimpin seorang Direktur lenderal dengan dibantu 3 orang Deputi Direktur lenderal dan 7 orang Asisten Direktur lenderal sedang dewan pelaksana ILO adalah Governing Body yang dipilih tiap 3 Tahun sekali.
ILO mempunyai tugas utama yaitu meningkatkan kondisi kerja dan kesejahteraan pekerja dengan cara membuat peraturan-peraturan internasional yang dituangkan dalam bentuk konvensi dan rekomendasi yang dihasilkan oleh ILC.
KEGIATAN BELAJAR 4
Ratifikasi Konvensi dan Rekomendasi ILO
Tugas utama International Labour Organization (ILO) di samping menyelenggarakan Konferensi Perburuhan Internasional adalah juga meningkatkan kondisi kerja dan kesejahteraan pekerja dengan cara membuat peraturan-peraturan atau standar-standar internasional yang dituangkan dalam bentuk konvensi dan rekomendasi yang dihasilkanldisetujui dan disahkan oleh Konferensi Perburuhan Internasional. Di samping itu, ILO juga melaksanakan program-program kerja sarna teknik, penelitian masalah­masalah perburuhan serta program lainnya. Konvensi adalah perangkat peraturan yang mengatur beberapa aspek, dan dibuat untuk maksud diratifikasi oleh setiap negara anggota yang dapat mempunyai kekuatan hukum sebagai undang-undang. Artinya apabila konvensi tersebut diratifikasi oleh negara anggota maka akan mengikat negara anggota yang bersangkutan.
Ratifikasi konvensi menyangkut kewajiban-kewajiban, antara lain berikut ini.
1.      Bahwa            negara anggota           yang    meratifikasi     harus    bersedia menerapkan/rnelaksanakan aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam konvensi.
2.      Setiap negara anggota berkewajiban untuk membuat/menyampaikan laporan tentang pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan konvensi yang telah diratifikasi di negara yang bersangkutan.
3.      Bersedia untuk menerima ketentuan-ketentuan pengawasan internasional (International Supervision).
Rekomendasi ILO pada dasamya adalah perangkat yang sarna dengan konvensi, tetapi rekomendasi dibuat tidak untuk diratifikasi, melainkan dimaksudkan untuk memberikan pedoman-pedoman khusus kepada negara­negara anggota dalam rangka membuat/menyusun peraturan perundang­undangan nasional di negara masing-masing. Sejak ILO berdiri 1919 sampai dengan Tahun 1990 (ILC ke-77) telah diterima dan disetujui sejumlah 171 konvensi dan 178 rekomendasi yang mencakup bidang-bidang, antara lain berikut ini.
1.            Hak-hak asasi manusia (seperti kemerdekaan untuk berserikat, penghapusan kerja paksa, penghapusan diskrirninasi).
2.              Adrninistrasi perburuhan.
3.             Hubungan perburuhan.
4.             Kebijakan ketenagakerjaan.
5.             Syarat-syarat kerja.
6.             Jaminan sosial.
7.             Keselamatan dan kesehatan kerja.
8.             Penggunaan tenaga kerja wanita, anak, dan orang muda.
9.             Pekerjaan migran.
Dari sejumlah 171 buah konvensi ILO, sampai saat ini, Indonesia baru meratifikasi 10 konvensi, dan dari 10 konvensi terse but 4 konvensi diratifikasi oleh Pemerintah Belanda sebelum kemerdekaan sedangkan 6 konvensi lainnya diratifikasi sesudah kernerdekaan.

A.           KONVENSI YANG DIRATIFIKASI OLEH PEMERINTAH BELANDA, YANG DITERIMA OLEH PEMERINTAH RI
1.             Konvensi No. 19 tentang perlakuan yang sama bagi Pekerja Nasional dan Asing Dalarn hal Tunjangan Kecelakaan Kerja (Equality of Treatment).
Diratifikasi oleh Pemerintah Belanda pada tanggal 13 September 1927 (Nederlandsch Staatblad 1927) dan dinyatakan berlaku bagi Indonesia dengan Indonesia Staatblad 1929 No. 53.
Materi Pokok Konvensi adalah sebagai berikut.
a.             Setiap anggota mengusahakan supaya kepada warga negara dari setiap anggota lain yang telah meratifikasi konvensi yang menderita luka karena kecelakaan kerja harus diberikan tunjangan kecelakaan kerja yang sarna sebagairnana ia rnernberikannya kepada warga negara sendiri.
b.            Untuk rnenjalin perlakuan yang sarna tersebut rnaka harus diatur dalarn peraturan perundang-undangan, jika perlu dengan perjanjian khusus.
2.             Konvensi No.27 tentang "Pemberian Tanda Berat Pada Barang-Barang Besar yang diangkut dengan kapal". (Marking of Weight, Packages Transported by Veesls). Diratifikasi oleh Pemerintah Belanda pada
tanggal 4 Januari 1933 (Nederlandsch Staatblad 1933 No. 34) dan dinyatakan berlaku bagi Indonesia Staatblad 1933 No. 117.
Materi Pokok Konvensi adalah sebagai berikut.
a.            Setiap barang dengan berat 1000 kg at au lebih diangkut dengan kapal baik untuk keluar negeri maupun dalam negeri, harus memberikan tanda pad a bagian luar barang tersebut secara jelas dan tahan lama.
b.            Dalam hal khusus yang diatur oleh peraturan nasional di mana sukar untuk menetapkan berat yang tepat dapat dicanturnkan angka yang mendekati.
c.            Kewajiban memberikan tanda berat diatur dengan peraturan perundang-undangan nasional.
3.             Konvensi No. 29 tentang "Kerja Paksa atau Wajib Kerja" (Forced Labour).
Diratifikasikan oleh Pemerintah Belanda pada tanggal 31 Maret 1933 (Nederlandsch Staatblaad No. 26) dan dinyatakan berlaku bagi Indonesia dengan Indonesia Staatblaad 1933 No. 2661.
Materi pokok Konvensi adalah sebagai berikut.
a.            Menjamin untuk menghapus penggunaan kerja paksa atau wajib kerja dengan segala bentuk dalam waktu yang sesingkat mungkin.
b.             Dimaksud dengan kerja paksa atau wajib kerja adalah semua pekerjaan atau jasa yang dipaksakan pad a setiap orang dengan ancaman hukuman apapun dan untuk mana orang tersebut tidak menyediakan diri secara sukarela.
c.            Tidak termasuk kerja paksa adalah sebagai berikut.
1)            Wajib Dinas Militer (Wamil).
2)             Setiap pekerjaan atau jasa yang merupakan sebagian dari kewajiban biasa warga negara.
3)            Setiap pekerjaan atau jasa yang dipaksakan pada setiap orang sebagai akibat keputusan pengadilan.
4.             Konvensi No. 45 tentang "Kerja Wanita Dalam Semua Macam Tambang di Bawah Tanah"(Underground work, for women). Diratifikasi oleh Pemerintah Belanda pada Tahun 1937. (Nederlandsch Staatblaad 1937 No. 15) dan dinyatakan berlaku bagi Indonesia dengan Indonesia Staatblaad 1937 No. 219.

Materi Pokok Konvensi adalah sebagai berikut.
a.             Dimaksud istilah " tambang " adalah termasuk setiap perusahaan, baik milik negara maupun swasta untuk mengambil benda apapun di bawah permukaan tanah.
b.            Setiap wanita tanpa memandang umurnya tidak boleh melakukan pekerjaan dalam tambang di bawah tanah, kecuali:
1)            wanita yang memegangjabatan pimpinan yang tidak melakukan pekerjaan,
2)             wanita yang bekerja padajabatan kesehatan dan kesejahteraan,
3)             wanita yang berhubung dengan pelajarannya harus berada di bagian tambang di bawah tanah dalam rangka latihan dalam waktu tertentu, dan
4)             wanita yang kadang-kadang harus masuk ke bagian-bagian tambang di bawah tanah untuk maksud melakukan pekerjaan yang bukan bersifat pekerjaan tangan.
B.            KONVENSI YANG DIRATIFIKASIKAN OLEH PEMERINTAH RI
1.            Konvensi No. 98 tentang "Berlakunya Dasar-dasar daripada Hak untuk Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama" (Right to Organise and Collective Bargaining). Diratifikasi oleh Pemerintah RI dengan Undang­undang No. 18 Tahun 1956.
Materi Pokok Konvensi adalah sebagai berikut.
a.             Buruh harus mendapat cukup perlindungan terhadap tindakan­tindakan pembedaan anti Serikat Buruh (Serikat Buruh) berhubung dengan pekerjaannya.
b.            Perlindungan harus digunakan terutama terhadap tindakan-tindakan yang bermaksud berikut ini.
1)             Memasyarakatkan kepada buruh bahwa ia tidak akan masuk suatu Serikat Buruh atau harus melepaskan keanggotaannya.
2)             Menyebabkan pemberhentian atau cara lain yang merugikan buruh berdasarkan keanggotaan Serikat Buruh atau turut serta dalam tindakan-tindakan serikat buruh di luar jam-jam kerja atau dengan persetujuan majikan (pengusaha) dalam waktu jam kerja.
3)            Serikat Buruh dan Serikat Pengusaha harus mendapat perlindungan terhadap tiap-tiap campur tangan oleh masing­masing pihak dalam hal mendirikan, cara bekerja, cara men gurus organisasi rnereka.
4)             Tindakan yang sesuai dengan keadaan nasional harus diarnbil untuk rnendorong dan rnernajukan tirnbulnya Perjanjian Perburuhan.
2.             Konvensi No. 100 tentang "Pengupahan yang sarna Bagi Buruh Laki­laki dan Wanita untuk Pekerjaan yang sarna Nilainya" (Equal Remuneration).
Diratifikasi oleh Pernerintah RI dengan Undang-undang No. 1957.

Materi Pokok Konvensi adalah sebagai berikut.
a.             Dirnaksud dengan istilah "pengupahan", rneliputi upah atau gaji bias a, pokok atau minimum dan pendapatan-pendapatan tarnbahan apa pun juga yang harus dibayar secara tunai atau dengan barang oleh majikan kepada buruh berhubung dengan pekerjaan buruh.
b.             Istilah pengupahan yang sarna bagi buruh lab-lab dan wanita untuk pekerjaan yang sarna nilainya dirnaksudkan adalah nilai pengupahan yang diadakan tanpa diskrirninasi berdasarkan jenis kelarnin.
c.              Pernerintah harus rnenjarnin pengupahan yang sarna bagi buruh lab­laki dan perernpuan untuk pekerjaan yang sarna nilainya.
d.             Pemerintah harus rnenjarnin pelaksanaan pengupahan yang sarna an tara buruh laki-laki dengan jalan.
1)            Dirnuat dalarn peraturan perundangan nasional.
2)             Mendirikan Badan Penetapan Upah.
3)            Membuat perjanjian perburuhan atau dengan cara lain.
h.             Nilai pengupahan yang berlainan antara buruh tanpa rnernandang jenis kelamin, didasarkan atas penilaian pekerjaan yang objektif berdasarkan pekerjaan yang akan dijalankan, tidak akan dianggap melanggar asas-asas konvensi.
3.             Konvensi No. lO6 tentang "Istirahat Mingguan Dalarn Perdagangan dan Kantor-kantor" (Weekly Rest, In Commerce and Offices).
Diratifikasi oleh pernerintah RI dengan Undang-undang No.3 Tahun 1961.
Materi Pokok Konvensi adalah sebagai berikut.
a.              Ketentuan konvensi harus dilaksanakan dengan undang-undang atau peraturan nasional.
b.             Ketentuan konvensi berlaku terhadap semua orang termasuk magang yang dipekerjakan pada perusahaan, lembaga atau kantor tata usaha baik milik pemerintah maupun swasta.
c.              Ketentuan konvensi tidak berlaku terhadap:
1)            Perusahaan Keluarga.
2)            Orang yang memegang jabatan pirnpinan tinggi.
d.            Buruh berhak atas istirahat mingguan terus rnenerus selama tidak
                         kurang dari              24 jam dalam tiap jangka waktu 7 hari.
e.             Waktu istirahat mingguan harus diberikan pad a waktu yang sarna kepada buruh dalam tiap perusahaan.
f.              Apabila pada waktu istirahat mingguan buruh dipekerjakan maka waktu istirahat tersebut harus diganti dengan hari lain.
4.             Konvensi No. 120 tentang "Hygiene Dalam Pemiagaan dan Kantor­kantor" (Hygiene, in Commerce and Offices). Diratifikasi oleh pemerintah RI dengan Undang-undang NO.3 Tahun 1969.
Materi Pokok Konvensi adaJah sebagai berikut.
a.             Kebersihan, ventilasi, suhu, penerangan, tempat duduk harus diatur sedemikian sehingga tidak ada pengaruh yang berbahaya bagi kesehatan kerja, persediaan air minum, we, tempat mencuci, dan tempat tukar pakaian dalam tempat kerja.
b.             Kegaduhan (kebisingan) dan getaran-getaran yang mungkin mempunyai pengaruh berbahaya kepada pekerja harus dikurangi sebanyak mungkin dengan tindakan yang tepat dan dapat dilaksanakan.
5.             Konvensi No. 144 tentang "Konsultasi Tripartit" untuk meningkatkan pelaksanaan standar perburuhan internasional (Tripartite Consultation to Promote the Implementation of International Labour standards).
Materi Pokok Konvensi adalah sebagai berikut.
a.             Setiap negara anggota yang meratifikasi konvensi ini bersedia membentuk lembaga/badan-badan yang menjamin konsultasi secara efektif an tara wakil-wakil pemerintah, pengusaha, dan pekerja.
b.             Sifat dan bentuk lembaga tersebut akan ditetapkan setiap negara sesuai dengan apa yang berlaku secara nasional.
c.             Perwakilan Pengusaha dan Pekerja untuk Lembaga/Badan-badan yang ditetapkan dalam konvensi ini harus dipilih secara bebas oleh organisasi -organisasi perwakilannya.
6.             Konvensi ILO No. 8711948 yang mengatur Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Atas Hak Berorganisasi. Diratifikasi oleh pemerintah RI dengan Undang-undang No. 21 Tahun 2000.
Materi Pokok Konvensi adalah sebagai berikut.
a.             Hak atas kebebasan dan keamanan orang dan kebebasan dari penangkapan dan penahanan secara semena-mena.
b.              Kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat dan terutama kebebasan mernpunyai pendapat dan tanpa campur tangan serta mencari, menerima dan membagikan informasi serta buah pikiran melalui media dan tanpa mengenal batas.
c.              Kebebasan berkumpul.
d.            Hak mendapatkan peradilan yang adil oleh pengadilan yang mandiri dan tidak mernihak.
e.             Hak mendapatkan perlindungan atas kekayaan organisasi serikat pekerja.
Dari apa yang telah diuraikan tampak bahwa empat buah konvensi diratifikasi pada masa prakemerdekaan, sedang enam lainnya diratifikasi setelah Indonesia merdeka. Ini berarti bahwa empat ratifikasi terdahulu diwarisi dari Pernerintah Kolonial Belanda dan enam lainnya dilaksanakanfdiratifikasi oleh RI. Perlu diketahui bahwa ratifikasi suatu konvensi terpengaruh atau dipengaruhi oleh kondisi dan situasi pada waktu ratifikasi dilakukan yang biasanya dikaitkan juga dengan kepentingan­kepentingan pihak yang meratifikasi konvensi itu sendiri. Empat buah konvensi yang diratifikasi oleh Pemerintah RI dilakukan pada mas a sebelum Tahun 1965, pada saat mana kondisi dan situasi, terutama di bidang politik, berbeda dibandingkan dengan masa setelah Tahun 1965. Sekalipun situasi dan kondisi mengalami perubahan nyata, namun terbukti bahwa ratifikasi terhadap ke sepuluh konvensi oleh pernerintah RI tetap dilaksanakan secara konsekuen.
Dari jumlah konvensi dan rekomendasi yang telah dilahirkan oleh ILO sampai saat im, yang diratifikasi oleh Pemerintah RI mungkin kecil jumlahnya dalam angka, tetapi itu tidak berarti bahwa konvensi dan rekomendasi lain yang belum diratifikasi sepenuhnya tidak dilaksanakan di Indonesia. Apabila kita teliti peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia maka kita akan banyak menemukan ketentuan-ketentuan hukum Indonesia yang sejalan dengan konvensi dan rekomendasi ILO, yang oleh Republik Indonesia belum diratifikasi.

C. RATIFIKASI KONVENSI ILO
Sejak didirikan Tahun 1919 hingga Tahun 1990, Organisasi Perburuhan Internasional atau ILO telah menetapkan 171 konvensi. ILO mengharapkan setiap negara meratifikasi konvensi tersebut menjadi undang-undang.
Ternyata tidak mudah bagi tiap negara untuk meratifikasi setiap konvensi ILO. Ada negara yang mengemukakan standar ILO masih terlalu tinggi untuk dilaksanakan terutama di negara berkembang. Di beberapa negara, dianggap tidak perlu lagi meratifikasi konvensi tertentu karena sebagian besar atau seluruh materinya sudah tercakup dalam Undang-undang yang ada. Bagi sebagian negara lain, timbul keengganan meratifikasi konvensi ILO karena enggan menyampaikan laporan pelaksanaan konvensi tersebut setiap Tahun.
Dari 150 negara anggota ILO, yang paling banyak meratifikasi konvensi ILO adalah Spanyol (118), kemudian menyusul Prancis (113), Italia (lO2), Uruguay (96) dan Norwegia (93). Negara-negara ASEAN sendiri tidak ban yak meratifikasinya. Malaysia dengan negara bagiannya baru meratifikasi 30 konvensi, Filipina 21, Singapura 21, Thailand 11 dan Indonesia sendiri baru 9 konvensi, sedangkan negara Brunai Darussalam belum masuk menjadi anggota ILO. Negara maju, seperti Arnerika Serikat hanya meratifikasi 9 konvensi, Jerman 79, Inggris 80, Jepang 39 dan Uni Soviet 46. Di samping konvensi, Sidang Umum ILO juga menetapkan rekomendasi sebagai petunjuk pelaksanaan konvensi dan ketentuan ILO. Akibat dari meratifikasi suatu konvensi adalah setiap negara mernpunyai kewajiban-kewajiban yang rnengikat untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang tertera dalam pasal­pasal konvensi tersebut.

D. KEWAJIBAN TERHADAP KONVENSI DAN REKOMENDASI
Setiap negara anggota ILO rnernpunyai kewajiban-kewajiban untuk menyampaikan Konvensi dan Rekomendasi ILO kepada Penguasa Berwenang (Submission), yaitu sebagai berikut.

1.             Konvensi (Sesuai dengan Pasal 19 ayat (5) Konstitusi ILO)
a.             Konvensi akan disampaikan kepada sernua anggota untuk diratifikasi.
b.             Setiap negara anggota berkewajiban bahwa dalam jangka waktu paling lama satu Tahun sesudah berakhirnya konferensi (ILC) atau bilamana hal itu tidak mungkin dilakukan dalam jangka waktu satu Tahun berhubung dengan keadaan-keadaan yang istimewa maka secepat mungkin harus dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 18 bulan sejak berakhirnya konferensi, menyampaikan konvensi tersebut kepada pengusaha atau penguasa yang berwenang terhadap masalah itu untuk dilaksanakan dalam bentuk perundang-undangan atau ketentuan-ketentuan dan tindakan-tindakan lain.
c.              Setiap anggota berkewajiban untuk memberitahukan kepada Direktur lenderal Kantor Perburuhan Internasional tentang tindakan-tindakan yang telah diambil sehubungan dengan penyampaian konvensi itu kepada pemerintah atau penguasa yang berwenang dan memberikan penjelasan-penjelasan khusus tentang langkah-langkah atau tindakan-tindakan yang telah dilakukan.
d.             likalau anggota mendapat kesepakatan dari penguasa yang berwenang atas hal itu maka ratifikasi resmi terhadap konvensi itu harus disampaikan kepada Direktur lenderal.
2.             Rekomendasi (Sesuai Pasal19 ayat (6) Konstitusi ILO)
a.              Rekomendasi akan disampaikan kepada semua anggota untuk mendapatkan pertimbangan bagaimana caranya agar dapat mernberikan pengaruh terhadap perundang-undangan nasional atau peraturan-peraturan lain.
b.             Setiap negara anggota berusaha agar dalam jangka waktu paling lama satu Tahun sesudah berakhirnya konferensi atau apabila tidak mungkin dilakukan dalam waktu satu Tahun berhubung dengan keadaan yang luar biasa maka dalam waktu secepatnya, tidak lebih dari 18 bulan setelah berakhirnya konferensi, menyampaikan rekornendasi tersebut kepada penguasa-penguasa yang berwenang atas hal itu untuk dilaksanakan dalam bentuk perundang-undangan atau tindakan lain.
c.               Setiap anggota harus memberi tahu kepada Direktur lenderal Kantor Perburuhan Internasional tentang langkah-langkah yang telah diambilnya.

E.  LAPORAN TAHUNAN TENTANG KONVENSI-KONVENSI YANG TELAH DIRATIFIKASI (REPORT ON RATIFIED CONVENTION)
Selain kewajiban-kewajiban submission yang telah disebutkan dan sesuai dengan Pasal 22 konstitusi ILO setiap negara anggota juga mempunyai kewajiban lain yang sangat penting, yaitu membuat dan menyampaikan laporan Tahunan tentang pelaksanaan dari konvensi-konvensi yang telah diratifikasi oleh negara anggota maupun yang belum diratifikasi. Laporan Tahunan ini ada yang 2 Tahun sekali dan ada yang 4 Tahun sekali. Laporan­laporan ini harus disusun dalam suatu bent uk khusus dan harus memuat hal­hal yang khusus pula sebagaimana yang dikehendaki. Dalam Pasal 23 konstitusi ILO dikatakan bahwa Direktur lenderal harus menyampaikan kepada sidang konferensi suatu ringkasan tentang keterangan dan laporan­laporan yang telah disampaikan oleh negara-negara anggota dan pada ayat (2) nya dinyatakan bahwa setiap negara anggota harus menyampaikan pula laporan tersebut kepada perwakilan-perwakilan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja.
Dalam masalah ratifikasi harus diakui bahwa suatu negara yang meratifikasi suatu konvensi tentu akan meletakkan dasar pertimbangan yang masak sebelum hal itu dilakukan, mengingat bahwa banyak faktor yang menjadi kendala. Suatu ratifikasi sesuai dengan ketentuan ILO, akan melahirkan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak yang meratifikasi. Suatu ratifikasi juga identik dengan keharusan bahwa peraturan perundang-undangan di negara yang meratifikasi telah sesuai dengan ketentuan konvensi. Oleh karenanya suatu ratifikasi perlu mendapat pertimbangan masak-masak dengan tidak melupakan kepentingan­kepentingan situasi dan kondisi dari negara yang meratifikasinya.
        
         RANGKUMAN
Konvensi yang diratifikasi oleh pernerintah Belanda yang diterirna oleh pernerintah RI adalah sebagai berikut.
1.             Konvensi No. 19 tentang perlakuan yang sarna bagi pekerja nasional dan asing dalarn hal tunjangan kecelakaan kerja (equality of Treatment).
2.             Konvensi No. 27 ten tang pernberian tanda berat pada barang-barang besar yang diangkut dengan kapal (Marking of weight, Packages Transported by veesls).
3.             Konvensi No. 29 tentang Kerja Paksa atau wajib kerja (Forced Labour).
4.             Konvensi No. 45 tentang Kerja wanita dalarn sernua rnacarn tambang di bawah tanah (underground work for women).
Sedang konvensi yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia adalah sebagai berikut.
1.             Konvensi No. 98 tentang berlakunya dasar-dasar daripada hak untuk berorganisasi dan untuk berunding bersarna (Right to organise and collective bargainning).
2.             Konvensi No. 100 ten tang pengupahan yang sarna bagi buruh laki­laki dan wanita untuk pekerjaan yang sarna nilainya (equal remuneration).
3.              Konvensi No. 106 tentang istirahat mingguan dalam perdagangan dan kantor-kantor (weekly rest, In commerce and offices).
4.              Konvensi No. 120 ten tang Hygiene dalam perniagaan dan kantor­kantor (Hygiene, in commerce and offices).
5.              Konvensi No. 144 tentang konsultasi tripartit untuk meningkatkan standar perburuhan internasional (Tripartite consultation to promote the Implementation of International Labour Standards).
6.             Konvensi No. 8711948 yang mengatur kebebasan berserikat dan perlindungan atas hak berorganisasi .
Sejak didirikan Tahun 1919 hingga Tahun 1990, ILO telah menetapkan 171 konvensi. Dari 150 negara anggota ILO, yang paling banyak meratifikasi konvensi adalah Spanyol (118), Prancis (113), Italia (102), Uruguay (96), dan Norwegia (93).
Setiap negara anggota ILO mempunyai kewajiban menyampaikan konvensi dan rekomendasi ILO kepada penguasa berwenang. Selain kewajiban tersebut dan sesuai Pasal 22 konstitusi ILO setiap negara anggota juga mempunyai kewajiban lain yang sangat penting, yaitu membuat dan menyampaikan laporan Tahunan tentang pelaksanaan dari konvensi yang telah diratifikasi oleh negara anggota maupun yang belum diratifikasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar