MODUL 1
Sejarah Hukum Ketenagakerjaan dan Ratifikasi Konvensi ILO
P E N DA H U
L U A N
Sebagai langkah awal mempelajari
hukum ketenagakerjaan di Indonesia, pada modul yang pertama ini akan
diperkenalkan secara singkat sejarah perkembangan hukum ketenagakerjaan di
Indonesia. Manfaat mempelajari sejarah perkembangan hukum ketenagakerjaan ini,
selain mengetahui konteks sosial budaya yang berhubungan dengan masalah
ketenagakerjaan, juga untuk mengenal peristiwa-peristiwa penting menyangkut
lahimya sejumlah peraturan dan undang-undang hukum ketenagakerjaan, dan
sekaligus mengetahui aspek kemajuan penting dalam hukum ketenagakerjaan di
Indonesia.
Pembahasan mengenai sejarah
perkembangan hukum ketenagakerjaan di Indonesia
pada modul ini dibagi ke dalam empat kelompok kegiatan belajar. Dua kelompok
Kegiatan Belajar 1 dan 2, mengulas tentang sejarah perkembangan hukum
ketenagakerjaan di Indonesia. Sedangkan kelompok Kegiatan Belajar 3 dan 4,
mengulas sejarah ILO dan Ratifikasi konvensi oleh Pemerintah RI.
Kegiatan
Belajar 1
|
Membahas
Sejarah Ketenagakerj aan Agustus 1945
|
Kegiatan
Belajar 2
|
Membahas
Sejarah Perkembangan Hukum
Ketenagakerjaan
setelah Proklamasi 17 Agustus 1945
|
Kegiatan
Belajar 3
|
Membahas
Sejarah dan Struktur Organisasi ILO.
|
Kegiatan
Belajar 4
|
Membahas
Ratifikasi Konvensi dan Rekomendasi ILO
|
KEGIATAN
BELAJAR 1
Perkembangan
Hukum Ketenagakerjaan sebelum Proklamasi
Kemerdekaan 17
Agustus 1945
Masalah ketenagakerjaan di
Indonesia pada masa penjajahan Belanda dan Jepang hingga masa Proklamasi 17
Agustus 1945, diwarnai oleh sistem kerja berdasarkan sistem kelas sosial. Pada
masa itu dikenal adanya hubungan kerja yang diwarnai oleh sistem perbudakan,
kerja rodi, punale sanksi dan peruluran. Untuk mengetahui lebih jauh mari
kita pelajari satu per satu.
A. SISTEM PERBUDAKAN
Pada masa Pemerintahan Hindia
Belanda hubungan kerja diwarnai oleh berlakunya sistem perbudakan. Apa yang
disebut perbudakan adalah suatu keadaan di mana seseorang yang disebut budak
melakukan pekerjaan di bawah perintah pihak lain, yaitu pemilik budak.
Sementara pihak yang disebut budak tidak mempunyai hak atas kehidupannya. Budak
diwajibkan melaksanakan segala perintah kerja yang diberikan oleh pemilik
budak. Para pemilik budak dalam hal ini adalah satu-satunya pihak yang memiliki
hak untuk mengatur dan memberi kerja serta hak lainnya atas budak yang dimilikinya.
Pendek kata budak tidak memiliki daya tawar atau kebebasan memilih untuk
menerima atau menolak pekerjaan. Dalam hal bekerja, budak tidak memiliki batas
waktu jam kerja. Jam kerja budak sepenuhnya dimiliki oleh si pemilik budak.
Satu-satunya kebaikan yang dapat diterima oleh para budak sangat tergantung
pada kebaikan para pemiliknya.
Jika ditilik dari aspek yuridis,
budak posisinya tidak lebih dari barang milik pihak lain yang dapat diperjual belikan
dan dimiliki secara mutlak kehidupan sosial ekonominya bahkan hidup dan
matinya. Pemberian-pemberian pemilik budak kepada budaknya seperti pemondokan,
makanan serta pemberian lainnya dianggap sebagai kewajiban pemilik budak atau
hak dari budak, tetapi merupakan pemberian yang bersifat kebijaksanaan dan
didasarkan atas keluhuran budi pemilik budak.
Sistem perbudakan pada masa
sebelum proklamasi telah berlangsung lama dan merniliki
akar sejarah dengan berlakunya sistem kelas sosial pada masyarakat
Indonesia. Kebijakan politik Hindia Belanda berkaitan dengan masalah perbudakan
ini, baru mulai diperhatikan. Perbudakan mulai diatur dengan terbitnya
peraturan pada Tahun 1817, yang isinya mengatur pengiriman budak ke pulau Jawa
dari luar pulau Jawa. Pengaturan itu pun masih sebatas pengaturan untuk
membatasi bertambahnya jumlah budak di pulau Jawa. Pengaturan lebih lanjut baru
terjadi pada Tahun 1825, ketika Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan
peraturan untuk mernbatasi jumlah pemilik budak dan kepemilikan budak serta
mengatur kewajiban-kewajiban para pemilik budak terhadap budak yang
dirnilikinya. Dalam peraturan tersebut diatur sekurang-kurangnya ada lima hal
pokok, yaitu sebagai berikut :
I.
Budak
yang telah kawin atau berumah tangga, tidak boleh dipisahkan dari anak dan
istrinya.
II.
Mulai
dilarang adanya perdagangan budak dan mendatangkan budak dari luar Hindia
Belanda.
III.
Mengatur
hal-hal yang dapat membebaskan budak.
IV.
Mengatur
kewajiban untuk memberi makan, pakaian, dan upah.
V.
Mengancam
dengan pidana jika terjadi penganiayaan terhadap budak dan juga ancaman pidana
bagi budak yang meninggalkan pekerjaan atau menolak pekerjaan yang layak.
Setelah terbit peraturan tentang
pengaturan pemilik budak dan kepemilikan budak tersebut, pada Tahun 1854
pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan yang disebut Regeringsreglement
(RR) yang menetapkan penghapusan perbudakan. Pada ketentuan Pasal 115 RR
tersebut menetapkan bahwa paling lambat pada tanggall Januari 1860, perbudakan
di seluruh Hindia Belanda dihapuskan.
B. SISTEM
KERJA PAKSA ATAU RODI
Meskipun Pemerintah Hindia
Belanda menerbitkan peraturan penghapusan perbudakan, namun dalam praktik
sistem perbudakan terus terjadi. Bahkan terdapat pola kerja yang jauh Jebih
kejam ketimbang perbudakan, yakni berlakunya sistem kerja paksa atau kerja
rodi. Sistem kerja paksa atau kerja rodi adalah sistem kerja yang diberlakukan
secara kolektif dalam bentuk satuan desa, suku atau kerajaan atau untuk
keperluan raja.
Pekerjaan ini pada mulanya
berbentuk gotong-royong, namun dalam perkembangannya sistem gotong-royong ini berubah rnenjadi kerja paksa untuk
kepentingan seseorang atau pihak lain dengan tanpa upah. Peristiwa kerja paksa
semasa Pemerintah Hindia Belanda, di antaranya terjadi untuk kepentingan
pembangunan pabrik, benteng, jalan dan perumahan yang semuanya untuk
kepentingan Pemerintahan Hindia Belanda. Sampai kini, kerja paksa yang terus
diingat banyak orang adalah kerja paksa semasa Heandrik William Deandels
menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada Tahun 1807-1811. Pada
saat itu kerja paksa untuk kepentingan pembuatan jalan dari Anyer provinsi Banten
hingga Panarukan di Jawa Timur. Bisa dibayangkan berapa banyak korban yang
meninggal ketika itu.
Pada dasarnya kerja paksa atau
kerja rodi itu lebih kejarn dari perbudakan, mengingat dalam kerja rodi mereka
tidak diberi makan dan pemondokan sebagaimana dalam perbudakan. Pada zaman
penjajahan Jepang kondisi kerja paksa makin parah. Rakyat yang disuruh kerja
paksa (romusa) untuk membangun jalan, jembatan, bandar udara dan
kepentingan pemerintah pendudukan lain tanpa upah. Mereka diberi sanksi fisik
yang keras apabila lamban bekerja, sementara makanan yang diberikan tidak
memadai. Situasi tersebut membuat banyak pekerja/buruh yang jatuh sakit bahkan
meninggal dunia di lokasi pekerjaan.
C. PUNALE SANKSI
Pada masa Pemerintahan Hindia
Belanda, selain perbudakan dan kerja paksa, dikenal pula istilah punale sanksi.
Punale Sanksi adalah hukuman yang diberikan kepada pekerja karen a meninggalkan
atau menolak melakukan pekerjaan tanpa alasan yang dapat diterima dengan pidana
denda an tara Rp 16,00 (enam bel as rupiah) hingga Rp2S,00 (dua puluh lima
rupiah) atau dengan kerja paksa selama 7 hari hingga 12 hari. Punale sanksi
merupakan prod uk dari terbitnya Agrarische wet (Undang-undang Agraria)
Tahun 1870 yang isinya mendorong munculnya perkebunan-perkebunan swasta besar
sehingga membutuhkan pekerja/buruh dalam jumlah banyak. Agar perkebunan
memperoleh jaminan bahwa pekerja/buruh tetap melakukan pekerjaannya maka
dikeluarkan Algemene Polite Strafreglement (Stbl 1872 Nomor 3 ) yang
memuat punale sanksi.
Jika dilihat dari aspek yuridis,
punale sanksi memberi kedudukan yang tinggi pada para pengusaha dan mudah untuk
disalahgunakan karena posisi kerja/buruh yang 1emah dan kurangnya pengawasan
dalam bidang ketenagakerjaan. Melihat punale sanksi yang amat memberatkan bagi
para buruh perkebunan, rnernbuat parlemen Belanda melakukan kecaman terhadap
pernberlakuan punaJe sanksi sehingga pada Tahun 1879 punale sanksi dicabut.
Namun, satu Tahun selepas dicabutnya punale sanksi, yakni pada Tahun 1880 di
Sumatera Timur keluar peraturan yang serupa dengan punale sanksi yang disebut Koeli
Ordonnantie. Pada Tahun-Tahun berikutnya peraturan serupa juga diberlakukan
untuk daerah-daerah lain. Peraturan tersebut baru dicabut pada Tahun 1941 dan
baru mulai diberlakukan pada tanggall Januari 1942.
D. SISTEM PERHAMBAAN & PERULURAN
Selain perbudakan, kerja paksa
dan punale sanksi sebagaimana telah diuraikan di atas, dikenal pula adanya
sistem kerja perhambaan. Perhambaan (pandelingschap) adalah peristiwa di
mana seseorang meminjam sejumlah uang dengan cara menggadaikan dirinya sendiri
atau orang lain yang berada di bawah kekuasaannya, biasanya anaknya, untuk
melakukan pekerjaan di bawah perintah orang yang merninjamkan uang tersebut
hingga hutangnya lunas. Pekerjaan yang dilakukan untuk kepentingan orang yang
merninjamkan uang ini dapat dijadikan cara untuk melunasi hutang atau bisa juga
hanya untuk sekedar membayar bunga hutang.
Sedangkan sistem peruluran
terjadi pada zaman Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen berkuasa. Pada masa
itu pemerintah Hindia Belanda membagi tanah-tanah kosong untuk dijadikan kebun (perk)
kepada orangorang yang disebut perkenir atau ulur. Para perkenir tidak
lain adalah buruh tani yang tidak punya lahan. Selama perkenir berada di kebun
dan menggarapnya maka dia dianggap sebagai perniliknya, tetapi apabila
meninggalkan kebun maka haknya akan hilang. Namun, para perkenir diharuskan
menanam tanaman yang hasilnya harus dijual kepada kompeni yang harganya telah
ditetapkan oleh kompeni secara sepihak.
Dernikianlah gambaran singkat
wajah hitam sistem ketenagakerjaan masa sebelum masa Proklamasi 17 Agustus
1945. Lalu bagaimana perkembangan setelah Proklamasi 17 Agustus 1945. Mari kita
kaji perkembangan ketenagakerjaan setelah masa kemerdekaan.
KEGIATAN
BELAJAR 2
Perkembangan
Hukum Ketenagakerjaan
Setelah
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
Sebelumnya telah kita pelajari
perkembangan hukum ketenagakerjaan masa sebelum proklamasi yang diwarnai oleh
perbudakan, perhambatan, peruluran, kerja paksa, dan punali sanksi. Melihat
wajah hitam system kerja yang berlangsung semasa pejajahan Belanda dan Jepang,
mendorong Pemerintah Indonesia sejalan dengan tujuan proklamasi mulai berusaha
memperbaiki kondisi ketenagakerjaan agar sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusian. Upaya Pemerintah ini tentu saja berpangkal pada tujuan didirikan
Negara Republik Indonesia, yakni melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah
darah Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum. Selain itu juga berpangkal
pada ketentuan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “tiap-tiap
warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian”.
Mengingat dari awal proklamasi
belum ada periodic hukum ketenagakerjaan yang dihasilkan pemerintah maka untuk
menghindari kekosongan hukum dibidang ketenagakerjaan pada waktu itu masih
menggunakan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada masa penjajahan.
Ketentuan ini dicantumkan dalam pasal 1 Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan
segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini. Dengan ketentuan aturan
peralihan ini maka semua peraturan perundang-undangan dibidang ketenagakerjaan
yang berlaku pada saat pengesahan Undang-Undang 1945 tanggal 18 Agustus 1945
masih berlaku sepanjang belum diganti dengan yang baru. Peraturan
perundang-undangan yang masih tetap berlaku tersebut adalah Buku III Bab 7A
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur masalah ketenagakerjaan beserta
peraturan-peraturan lain yang dikeluarkan pada zaman penjajahan Belanda.
A.
PERKEMBANGAN
HUKUM KETENAGAKERJAAN PERIODE 1945-1969
Pada awal berdirinya Negara
Republik Indonesia, ketenagakerjaan belum merupakan masalah serius yang harus
ditangani. Hal ini karena selain
seluruh rakyat masih sibuk pada perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang
telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, perusahaanperusahaan
penting saat itu masih dikuasai oleh negara sehingga masalah ketenagakerjaan
terutama perselisihan antara pengusaha dan pekerja/buruh belum begitu terasa
menonjol. Setelah adanya pengakuan kedaulatan oleh pemerintah Belanda lewat
Konferensi Meja Bundar, perhatian rakyat terutama pekerjalburuh mulai beralih
ke masalah sosial ekonomi. Hingga Tahun 1951 di bidang ketenagakerjaan baru
diundangkan satu undangundang, yaitu UU No. 12 Tahun 1948 yang bertitel
Undang-undang Kerja. Mengingat saat itu negara Republik Indonesia masih
berbentuk negara Serikat maka undang-undang tersebut hanya berlaku untuk Negara
Republik Indonesia. Baru pada Tahun 1951 dengan Undang-undang No.1 Tahun 1951
UU Kerja Tahun 1948 dinyatakan berlaku untuk seluruh Indonesia.
Undang-undang No. 12 Tahun 1948
memuat aturan-aturan dasar tentang pekerjaan yang boleh dilakukan anak, orang
muda dan wanita, aturan tentang waktu kerja, waktu istirahat, dati tempat kerja. Undang-undang ini hanya berlaku untuk pekerjaan yang
dilakukan oleh pekerja/buruh dan tidak berlaku untuk siswa/murid magang yang
bersifat pendidikan, orang yang memborong pekerjaan di perusahaan, dan
narapidana yang dipekerjakan.
Sebelum Tahun 1951, perselisihan
hubungan industrial yang terjadi diselesaikan oleh para pihak yang berselisih
sendiri, yaitu pekerja/buruh dan pengusaha, c amp ur tangan dari pegawai
Kementrian Perburuhan akan dilakukan apabila dianggap perlu berdasarkan
instruksi Menteri Tenaga Kerja (Menteri Perburuban saat itu). Hal ini
mengakibatkan banyak keresaban di kalangan pekerja/burub karena pengusaba
dengan kedudukan sosial ekonomi yang lebih tinggi selalu dapat memaksakan
kehendaknya kepada pekerjalburuh. Akibatnya, pada akhir Tahun 1950 banyak
terjadi pemogokan pekerjalburuh yang mengakibatkan terganggunya perekonomian
dan keamanan nasional.
Guna mengatasi keadaan
ketenagakerjaan yang tidak kondusif tersebut, pemerintah pada tang gal 13
Februari 1951 mengeluarkan Peraturan Kekuasaan Militer No.1 Tahun 1951 yang
membentuk Panitia Penyelesaian
Pertikaian Perburuhan di tingkat
pusat dan daerah. Walaupun keadaannya menjadi sedikit lebih baik temyata
peraturan kekuasaan militer tersebut belum begitu mampu mengatasi
kesulitan-kesulitan yang timbul di bidang ketenagakerjaan. Oleh karena itu,
pada bulan September 1951 pemerintah mengeluarkan Undang-undang Darurat No. 16
Tabun 1951 guna mengganti Peraturan Kekuasaan Militer No.1 Tahun 1951.
Undang-undang Darurat tersebut memberikan aturan-aturan baru tentang
penyelesaian perselisihan perburuhan dan memberikan tugas kepada pemerintah
untuk membentuk Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan di tingkat pusat
dan daerah (P4P dan P4D).
Undang-undang Darurat No. 16
Tahun 1951 tidak bersifat definitif melainkan hanya bersifat peralihan belaka
guna mengatasi keadaan ketenagakerjaan saat itu. Dalam perjalanannya banyak
keberatan yang dilakukan baik oleh pengusaha maupun pekerja/buruh. Berdasarkan
hal tersebut pemerintah pada tanggal 8 April 1957, mengesahkan Undangundang
No. 22 Tahun 1957 tentang Penye1esaian Perselisihan perburuhan yang menetapkan
P4P dan P4D tersebut sebagai orang yang berwenang menyelesaikan perselisihan
perburuhan.
Kondisi ketenagakerjaan saat itu
yang mendasari terbentuknya P4P dan P4D banyak diwamai perselisihan antara
pengusaha dan pekerja/buruh. Mengingat asas yang dianut saat itu adalah
dernokrasi liberal maka para pihak yang berseteru saling memaksakan kehendaknya
masing-masing lewat kekuatan yang dimiliki. Pekerja/buruh selalu menggunakan
kekuatan mogok kerja untuk memaksakan kehendak sementara pengusaha selalu
menggunakan keunggulan sosial ekonomi dalam menekan pekerja/buruh.
Guna mengatasi keadaan ini,
pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan, di antaranya
adalah Undang-undang No. 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara
Serikat Buruh dan Majikan (sekarang disebut Perjanjian Bersama) yang memberikan
kedudukan seimbang antara pekerja/buruh dengan pengusaha dalam menyusun syaratsyarat
kerja di perusahaan. Selain itu juga diundangkan Undang-undang No. 7 Pnps Tahun
1963 ten tang Pencegahan Pemogokan dan Penutupan (LockOut) di Perusahaan, Jawatan, dan Bidang yang Vital, serta
Undang-undang No. 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan
Swasta yang melarang pengusaha memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh
tanpa izin dari P4D dan P4P.
Pada masa setelah Tahun-Tahun
tersebut, kondisi ketenagakerjaan mulai membaik dan jarang ditemui konflik
ketenagakerjaan yang berarti. Hal ini juga disebabkan bangsa Indonesia saat itu
lebih memusatkan perhatiannya pada masalah-masalah politik kenegaraan di mana
terjadi pergantian pemerintahan dari pemerintah Orde Lama ke pemerintah Orde
Baru.
Sejalan
dengan perkembangan kehidupan sosial ekonomi masyarakat, pemerintah orde baru
mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan
guna mengganti ketentuan lama yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
zaman dan untuk memperbaiki kondisi ketenagakerjaan di tanah air dalam rangka
memberikan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan kepada warga
negara.
B.
PERKEMBANGAN
HUKUM KETENAGAKERJAAN PERIODE
1969-2003
Pada Tahun 1969 Pemerintah Orde
Baru mengeluarkan Undang-undang No. 14 Tahun 1969 ten tang Ketentuan-ketentuan
Pokok mengenai Ketenagakerjaan. Undang-Undang ini mengatur tentang Pokok-pokok
yang dijadikan kebijakan dalam mengatur ketenagakerjaan di tanah Air.
Berdasarkan UU ini dikeluarkan Undang-undang No.1 Tabun 1970 tentang
Keselamatan Kerja guna mencegab dan membatasi kecelakaan kerja yang selalu
menimbulkan kerugian pada pihak pekerja/buruh dan mewajibkan pengusaba untuk
melakukan hal-hal yang dapat mencegah terjadinya kecelakaan kerja termasuk
memberikan alat-alat keselamatan kerja secara cuma-cuma kepada pekerja/buruh.
Guna lebih memberikan
perlindungan kepada tenaga kerja, pada Tahun 1977 pemerintah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah (pP No. 33 Tahun 1977 tentang Asuransi Tenaga Kerja
(Astek)). PP ini mewajibkan perusahaan untuk mengikutkan pekerja/buruh pada
program asuransi sosial tenaga kerja, meliputi berikut ini.
1.
Program asuransi kecelakaan kerja.
2. Program tabungan hari tua yang dikaitkan
dengan asuransi kematian.
Dalam perkembangan lebih lanjut
program Astek diperbaiki dengan suatu program jaminan so sial yang lebih baik
dan diatur dalam suatu undangundang, yaitu Undang-undang No.3 Tahun 1992
tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). Undang-undang ini mewajibkan
pengusaha untuk memberikan perlindungan kepada pekerja Iburuh dan keluarga
dalam suatu jaminan sosial yang disebutjaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek),
meliputi berikut ini.
1.
Jaminan kecelakaan kerja.
2. Jarninan kematian.
3. J arninan hari tua.
4. Jaminan pemeliharaan kesehatan.
Program jaminan sosial tersebut
diselenggarakan oleh PT Jamsostek (Persero), sebuah BUMN yang didirikan
berdasarkan PP No. 19 Tabun 1990.
Pada Tahun 1981 pemerintah
mengeluarkan PP No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upab yang mengatur sistem
pengupahan dan hal-hal yang dapat dipotongkan dengan upab. PP ini menegaskan
bahwa upah pekerja merupakan hal yang harus didabulukan sehingga menjarnin
pekerjaJburuh dalam hal penghasilan.
Pada perkembangan lain,
pemerintah mengundangkan UU NO.5 Talmn 1985 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara. Sebagaimana diketahui sistem peradilan di Indonesia men genal 4 macam
pengadilan, yaitu Pengadilan Agama, Pengadilan Umum, Pengadilan Militer, dan
Pengadilan Tata Usaha Negara. Putusan P4D dan P4P bukan merupakan suatu putusan
lembaga pengadilan tetapi putusan yang bersifat administratif. Oleh karena itu,
putusan tersebut merupakan objek yang dapat digugat pada Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara dan dimohonkan kasasi ke Mahkamah Agung. Mekanisme penyelesaian
perselisihan hubungan industrial (dahulu perselisihan perburuhan) dengan
dernikian menjadi tidak efektif dan memerlukan waktu yang lama, yaitu mulai
dari penyelesaian secara bipartit, anjuran tertulis, P4D, P4P, PT TUN, dan MA.
Mengingat masalah ketenagakerjaan merupakan masaiah yang harus diselesaikan
secara cepat maka dengan adanya peradilan tata usaha negara, perlu dilakukan
reformasi di bidang hukum ketenagakerjaan dengan membuat suatu mekanisme penyeiesaian
perselisihan hubungan industrial baru yang lebih cepat dan dapat diterima baik
oleh pengusaha, pekerjalburuh maupun serikat pekerjaJserikat buruh.
Dalam rangka reformasi di bidang
hukum ketenagakerjaan tersebut, pemerintah bersama DPR telah mengundangkan
beberapa undang-undang yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. Undang-undang
tersebut adalah UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat PekerjaJSerikat Buruh dan
UU No. 13
Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. UU No. 21 Tahun 2000 memberikan kebebasan kepada pekerjalburuh
untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi
pengurus serta menjadi atau tidak menjadi anggota Serikat Pekerja/Serikat Buruh
guna memperjuangkan kepentingan-kepentingannya.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan merupakan Undang-undang ketenagakerjaan yang bersifat
komprehensif dan menyeluruh, mengatur berbagai hal di bidang ketenagakerjaan
yang sebelumnya tidak pernah diatur dalam satu undang-undang. Beberapa
ketentuan tentang ketenagakerjaan yang diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan sebelumnya dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman
termasuk yang merupakan produk kolonial, dicabut dan diganti dengan
undang-undang ini. Selain mencabut ketentuan lama, UU ini juga dimaksudkan
untuk menampung perubahan yang sangat mendasar di segala aspek kehidupan bangsa
Indonesia sejak dimulainya era reformasi pada Tahun 1998.
Demikianlah gambaran singkat
perkembangan hukum ketenagakerjaan setelah masa prokiamasi hingga saat ini.
Catatan Penting
Untuk melengkapi dan memperkaya
wawasan tentang hukum ketenagakerjaan Indonesia, sebaiknya Anda membaca isi UU
No. 13 Tahun 2003 ten tang Ketenagakerjaan beserta Penjelasannya.
RANGKUMAN
Pada
awal berdirinya Negara Republik Indonesia, ketenagakerjaan belum merupakan
masalah yang serius ditangani. Baru pada Tahun 1951 di bidang ketenagakerjaan
diundangkan UU Nomor 12 Tahun 1948 yang bertitel Undang-undang Kerja yang
dinyatakan berlaku untuk seluruh Indonesia dengan berlakunya UU Nomor 1 Tahun
1951.
Untuk
mengatasi keadaan ketenagakerjaan yang tidak kondusif, pemerintah mengeluarkan
Peraturan Kekuasaan Militer Nomor 1 Tahun 1951 yang membentuk Panitia
Penyelesaian Pertikaian di tingkat pusat dan daerah. Namun, pada September 1951
pemerintah mengeluarkan UU Darurat Nomor 16 Tahun 1951 untuk mengganti
Peraturan Kekuasaan Militer tersebut yang memberikan aturan baru tentang
penyelesaian perselisihan perburuhan dan memberikan tugas kepada pemerintah
untuk membentuk Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Pada 8 April 1957
disahkan UU tentang P4P dan P4D, yaitu UU Nomor 22 Tahun 1957.
Dengan
UU Nomor 22 Tahun 1957 banyak diwamai perselisihan antara pengusaha dan
pekerja/buruh sehingga guna mengatasi keadaan ini pemerintah mengeluarkan UU
Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan
Majikan yang memberikan kedudukan seimbang. Juga diundangkan UU Nomor 7 Pnps
Tahun 1963 tentang Peneegahan Pemogokan dan Penutupan di Perusahaan, Jawatan,
dan Bidang yang Vital serta diterbitkan UU Nornor 12 Tahun 1964 tentang
Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta.
Pada
Tahun 1969 Orde Baru mengeluarkan UU Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan
Pokok Mengenai Ketenagakerjaan. Berdasar UU tersebut dikeluarkan UU Nomor 1
Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
Guna
lebih memberikan perlindungan kepada tenaga kerja, Tahun 1977 pemerintah
mengeluarkan PP Nornor 33 Tahun 1977 tentang Asuransi Tenaga Kerja. Dengan
perkembangan yang ada, peraturan tentang Astek diatur dalam UU Nomor 3 Tahun
1992 tentang Jarninan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek)
Pada
Tahun 1981, pemerintah mengeluarkan PP Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan
Upah yang mengatur sistem pengupahan dan hal-hal yang dapat dipotongkan dengan
upah. Pada Tahun 1985 pada perkembangan lain, pemerintah mengundangkan UU Nomor
5 Tahun 1985 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Dalam
rangka reformasi di bidang hukum ketenagakerjaan, diundangkan UU Nomor 21 Tahun
2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
KEGIATAN BELAJAR 3
Sejarah
dan Struktur Organisasi ILO
A. SEJARAH ILO
Organisasi Perburuhan
Internasional atau yang biasa disebut dengan ILO didirikan pada Tahun 1919
berdasarkan perjanjian Versailles bersama-sama dengan Liga Bangsa-Bangsa.
Kemudian, dalam Tahun 1946, setelah Liga Bangsa-Bangsa bubar, ILO menjadi badan
khusus yang pertama bergabung dengan PBB. Keanggotaannya semula berjumlah 45
negara kemudian berkembang menjadi 138 negara pada Tahun 1978 dan terus
meningkat menjadi 150 negara pada Tahun 1989. Kantor pusat ILO berada di Geneva
(Swiss) yang merupakan markas besar untuk mengolah dan melancarkan semua
program kerja ILO, termasuk kegiatan konferensi-konferensi ILO,
penelitian-penelitian serta publikasi ILO. Tugas pekerjaan ILO disentralisasi
di kantor-kantor regional, wilayah, dan cabang-cabang yang berada lebih kurang
di 40 negara anggota.
1. Tujuan ILO
Perdamaian bukan hanya tanpa
peperangan. Perdamaian yang benar dan langgeng juga tergantung pada
kesejahteraan sosial ekonorni penduduk dunia tingkat kehidupan yang layak,
kondisi, dan upah kerja yang memuaskan, kesempatan kerja yang memadai. Ini
semua merupakan keprihatinan ILO yang telah berjuang selama 71 Tahun untuk
meningkatkan keadilan sosial bagi buruh/tenaga kerja di manapun. ILO, yang
usaha-usahanya telah diakui dan mendapat penghargaan Nobel untuk perdamaian
dalam Tahun 1969 merupakan suatu organisasi yang unik di antara
organisasi-organisasi dunia karena wakil-wakil pengusaha dan buruh mernpunyai
suara yang sarna, seperti wakil-wakil pemerintah dalarn merumuskan
kebijakannya.
2.
Metode-metode
ILO
ILO terlibat dalam
kegiatan-kegiatan, seperti berikut ini.
1)
Merumuskan
kebijakan dan program-program kerja secara internasional untuk membantu
meningkatkan kondisi kerja dan kondisi hidup, memperluas kesempatan kerja, dan
meningkatkan hak-hak asasi manusia.
2)
Menciptakan
standar perburuhan internasional untuk dijadikan petunjukJ pedoman bagi
penguasa atau pejabat-pejabat nasional dalam melaksanakan kebijakan.
3)
Memperluas
program-program kerja sarna teknik internasional untuk membantu
pemerintahinegara yang menjadi anggota, agar kebijakan tersebut dapat berjalan
dengan efektiflberhasil gun a dalam pelaksanaannya.
4)
Mengadakan
latihan-latihan dan pendidikan, riset dan penerbitan untuk membantu memajukan
usaha-usaha tersebut di atas.
3. Deklarasi Philadelpia
Peristiwa yang sangat penting
dengan kehidupan tenaga kerja khususnya dan masyarakat pada umumnya adalah
dengan diadakannya Konferensi Perburuhan Internasional pada Tahun 1944 di
Philadelpia (Amerika Serikat), yang menetapkan lagi maksud dan tujuan
organisasi. Konferensi tersebut menerima dan mengesahkan pernyataan yang
dikenal dengan nama "Pernyataan Philadelpia" yang memuat
prinsip-prinsip berikut ini.
1) Tenaga kerja bukan komoditi
(barang dagangan).
2) Kebebasan untuk mengeluarkan
pendapat dan berserikat adalah penting untuk menopang kemajuan.
3) Kerniskinan merupakan bahaya bagi
kemakmuran.
4) Semua umat manusia, terlepas dari
ras, kepercayaan, dan jenis kelarnin berhak untuk mengejar kehidupan yang baik
secara materiil dan spiritual dalam keadaan bebas dan bermartabat.
Indonesia masuk menjadi anggota
ILO pada tanggal 12 lull 1950. Pada waktu Indonesia rnenyatakan sebagai
anggota, Indonesia terikat pada 4 Konvensi yang sebelurnnya telah diratifikasi
oleh pemerintah Belanda dan dinyatakan berlaku untuk Indonesia.
B.STRUKTUR
ORGANISASI ILO
ILO terdiri dari berikut ini.
1. Sidang umum ILO.
2.
Badan
pengurus ILO atau Governing Body.
3.
Kantor
Perburuhan Internasional atau lnternational Labour Office.
Konferensi
Perburuhan Internasional
Salah satu tugas penting ILO
adalah menyelenggarakan Konferensi Perburuhan Internasional yang menghasilkan
konvensi dan rekomendasi. ILC adalah Forum Pleno dari ILO yang mempunyai
kekuasaan tertinggi dan memutuskan semua aktivitas ILO. ILC mengadakan sidangnya
sekali seTahun yang dimulai pada Rabu pertama setiap bulan Juni dan yang
berlangsung selama 3 minggu.
Konferensi tersebut dihadiri oleh
delegasi setiap negara anggota yang tersusun secara Tripartit dengan
perbandingan 2 : 1 : 1, yaitu 2 dari unsur pernerintah 1 dari unsur pengusaha
dan 1 dari unsur pekerja.
Setiap unsur delegasi dapat
disertai penasihat sebanyak 2 orang untuk tiap mata acara sidang. Konferensi
juga dihadiri oleh para peninjau yang biasanya berasal dari badan-badan khusus
PBB, organisasi-organisasi Internasional, Pemerintah maupun swasta dan dari
negara-negara yang bukan anggota ILO.
Kegiatan konferensi, antara lain
berikut ini.
a. Setiap Tahun
mengesahkanJmenetapkan standar-standar perburuhan
internasional dalam bentuk
konvensi atau rekomendasi.
b.
Mengesahkan resolusi-resolusi tentang garis-garis besar kebijakan ILO.
c.
Setiap 2 Tahun sekali menetapkan program dan anggaran ILO.
d. Mengangkat direktur jenderal serta memilih
anggota-anggota governing body ILO.
e. Menyelenggarakan forum-forum
diskusi tentang masalah sosial dan ketenagakerjaan
f. Menunjuk komite-komite dalam
konferensi.
Dalam melaksanakan kegiatannya,
ILO menunjuk kornite-komite, yaitu sebagai berikut.
a. Komite seleksi (Selection
Committee)
1)Jumlah anggota: 56, yaitu:
a) 28 Government
b) 14 Employers
c) 14 Workers
2)Tugasnya adalah:
a) mengatur program konferensi;
b) menetapkan waktu dan agenda
sidang pleno;
c) mengajukan usul-usul sehubungan
dengan pembentukan dan komposisi komite-komite lain;
d) membuat laporan kepada konferensi jika ada
rnasalah-rnasalah yang perlu diputuskan.
b. Kornite Surat-surat (Credential
Committee)
1) Jumlah Anggota : 3, yaitu:
a)1 Governments
b)1 Employers
c)1 Workers
2)
Tugasnya adalah:
a. memberikan surat-surat
kepercayaan (credentials) delegasi dan penasihat;
b. mempertimbangkan dan memeriksa
keberatan yang diajukan salah satu delegasi lain terhadap delegasi lainnya
sehubungan dengan penunjukan delegasi dan atau penasihat ke konferensi.
c.
Komite
Pengurus (Conference Drafting Committee)
1) Jumlah Anggota: 3, yaitu:
a) 1 Governments
b) 1 Employers
c) 1 Workers
2) Tugasnya adalah:
Menangani proses pengesahan
konvensi dan rekomendasi serta keputusan yang disahkan oleh ILC.
d.
Komite
Penerapan Konvensi dan Rekomendasi (Committee on the Application of
Convention and Recommendation)
1) Jumlah Anggota: 3, yaitu:
a) Govenments
b) 1 Employers
c) 1 Workers
2) Tugasnya adalah menangani dan
meneliti bagaimana penerapan suatu konvensi dan rekomendasi dari negara-negara
anggota.
3) Komite ini dibantu oleh Komite
Ahli (Committee oj Experts) yang ditunjuk oleh Governing Body/ GB
- ILO.
e. Komite
Keuangan (Finance Committee oj Government Representatives)
1)
Jurnlah
anggota dipilih dari unsur delegasi Pemerintah yang hadir dalam konferensi,
masing-masing 1 orang wakil delegasi.
2)
Tugasnya
adalah menangani dan mempertimbangkan budget dan keuangan organisasi.
f.
Komite-komite lainnya (apabila dianggap perlu untuk dibentuk)
1)
Komite
Apartheid, kornite ini dibentuk berdasarkan Pasal 1 Deklarasi tentang Politik
Apartheid di Afrika. Jurnlah anggota : 50, yaitu 20 Governments, 10 Employers
dan 20 Workers. Tugas/kegiatannya, memonitor aksi-aksi untuk
menentang Apartheid.
2)
Komite
Struktur, Komite ini dibentuk oleh konferensi ILC pada tanggal 2 Juni 1983 (lLC
ke- 69). Jurnlah anggotanya 136, yaitu 79 Governments, 16 Employers dan
41 Workers. Tugas kegiatannya, membahas laporan-laporan sidang Working
Party on Structure yang dibentuk Tahun 1974 pada ILC ke-59 yang bertugas
menyusun suatu rancangan perubahan terhadap Pasal 7 konstitusi ILO tentang
susunan GB (Governing Body) dan sekaligus menyusun pula perubahan
pasal-pasal lain yang berhubungan dengan struktur organisasi ILO, yaitu Pasal 8
(Penunjukan Direktur JenderallAppoinment oj Director General), Pasal 17 (Quorum)
dan Pasal 36 (Amandement).
3)
Komite
Resolusi, kornite ini dibentuk pada
tanggal 2 Juni 1983 (ILC ke-69). Jumlah anggota 215 anggota, yaitu 90 Governments,
42 Employers, dan 83 Workers Kegiatannya membahas draf Resolusi yang
diajukan oleh para delegasi mengenai masalah yang tidak termasuk dalam mata
acara konferensi.
C. BADAN PENGURUS ILO ATAU GOVERNING
BODY (GB-ILO)
Governing Body merupakan dewan
pelaksana ILO, dipilih tiap 3 Tahun sekali pada waktu sidang ILC. Sidang GB
diselenggarakan 3 Tahun sekali, yaitu pada bulan berikut ini.
1. Februari-Maret, selama + 19
hari.
2. Mei-Juni, selama + 7 hari.
3. Oktober-November, selama + 19
hari.
4. Sewaktu-waktu apabila ada
masalah penting yang dibahas (misalnya pemilihan ketua GB) sidang khusus GB
bisa diadakan.
Sebagaimana
halnya dengan ILC, Governing Body ILO keanggotaannya juga berunsurkan TRIPARTIT
(Pemerintah, Pengusaha dan Pekerja). Jurnlah anggotanya 56 orang, dengan
susunan sebagai berikut.
1.
28
orang dari unsur Pemerintah yang terdiri dari 10 orang merupakan anggota
permanen, yaitu wakil dari negara-negara industri maju.
2.
14
orang dari unsur pengusaha.
3.
18
orang dipilih oleh ILC, termasuk 18 anggota pengganti (substitute members) 14
orang dari un sur pekerja.
Governing Body adalah badan
pengambil keputusan (Executive Council) ILO yang mempunyai tugas utama, yaitu
sebagai berikut.
1.
menentukan
kebijakan, Program, dan Anggaran Organisasi.
2.
menyusun
acara Sidang Tahunan (lLC).
3.
mengarahkan
kegiatan-kegiatan kantor Perburuhan Intemasional (International Labour Office).
4.
menunjuk
Direktur Jenderal.
5.
menyusun
acara Sidang-sidang Komite Teknis Industri.
Untuk melaksanakan tugas-tugas
tersebut di atas, GB selalu minta pengesahan dari ILC. Masa kerja GB adalah 3
Tahun dan anggotaanggotanya disahkan oleh ILC. Dalam melaksanakan tugas atau
kegiatannya, GB membentuk kornite-komite yang berjumlah 9 komite ditambah 1
subkornite, yaitu sebagai berikut.
1.
Kornite
Program, Keuangan, dan Administrasi (Programme, Financial and Administrative
Committee), ditambah Sub-Komite Bangunan (Building Sub-Committee) yang
merupakan komite Ad Haus.
2.
Komite
Alokasi (Allocation Committee).
3.
Komite
Anggaran Dasar dan Penerapan Konvensi dan Rekomendasi (Committee on Standing
Orders and the Application of Conventions and Recommendations).
4.
Komite
Kegiatan Industrial (Industrial Activities Committee).
5.
Komite
Organisasi Internasional (International
Organizations Committee ).
6.
Komite
Program-program Operasional (Committee on Operational Programmes).
7.
Komite
Kebebasan Berserikat (Committee on Freedom of Associations).
8.
Komite
Diskriminasi (Committee on Discrimination).
9.
Komite
Perusahaan Multinasional (Committee on Multinational Enterprises ).
D. KANTOR
PERBURUHAN INTERNASIONAL (INTERNATIONAL LABOUR OFFICE)
Kantor Perburuhan Internasional
merupakan Sekretariat Permanen ILO yang dipimpin oleh seorang Direktur
Jenderal, dengan dibantu 3 orang Deputi Dirjen dan 7 orang Asisten Direktur
Jenderal.
Berikut nama-nama Direktur
Jenderal.
Pertama : Albert
Thomas (Perancis) 1919-1932.
Kedua : Harold
B. Butter (Inggris) 1932-1938.
Ketiga : John
G. Winant (Amerika Serikat) 1938-1941.
Keempat : Edward
J. Phelan (Irlandia) 1941-1948.
Kelima : David
A. Morse (Amerika Serikat) 1948-1970.
Keenam : Wilfred
Jenks (Inggris) 1970-1973.
Ketujuh : Francis
Blanchard (Perancis) 1974-1989.
Kedelapan: Michael Hansenne (Belgia) 1989 - …..
Kantor pusat ILO berkedudukan di
Geneva, Swiss. Tugas kantor pus at ILO antara lain menyangkut kegiatan-kegiatan
sebagai berikut.
1.
Mernpersiapkan
dokumen-dokurnen dan laporan untuk bahan sidang.
2.
Menyediakan
sekretariat untuk sidang.
3.
Merekrut
pakar (expert) dan memberikan bimbingan untuk program kerja sarna
teknik.
4.
Melaksanakan
kegiatan-kegiatan penelitian dan pendidikan.
5.
Menerbitkan
publikasi-publikasi khusus di bidang sosial dan perburuhan secara berkala.
Kantor pusat ILO mempunyai
kantor-kantor cabang yang tersebar di beberapa wilayah di dunia. Kantor Cabang
tersebut terdiri dari berikut ini.
1.
Kantor
Wilayah (Regional Office).
2.
Kantor
Lokal (Area Office).
Kantor wilayah ILO berjumlah 5
buah, yaitu sebagai berikut.
I.
Kantor
wilayah Afrika, berkedudukan di Addis Ababa (Ethiopia).
2.
Amerika
dan Karibia, berkedudukan di Lima (Peru).
3.
Asia
dan Pasifik, berkedudukan di Bangkok (Thailand).
4.
Eropa,
berkedudukan di Geneva (Swiss).
5.
Negara-negara
Arab, berkedudukan di Kuwait.
Masing-masing kantor wilayah
tersebut mempunyai kantor-kantor lokal.
Untuk Asia dan Pasifik berjurnlah
9 buah kantor lokal, yaitu sebagai berikut.
1.
New
Delhi (India).
2.
Islamabad
(Pakistan).
3.
Dhacca
(Bangladesh).
4.
Manila
(Philipina).
5.
Jakarta
(Indonesia).
6.
Tokyo
(Jepang).
7.
Colombo
(Srilanka).
8.
Beijing
(China).
9.
Suva
(Fiji).
E. KEGIATAN-KEGIATAN
ILO
Organisasi Perburuhan
Internasional atau ILO mernpunyai tugas utama, yaitu meningkatkan kondisi kerja
dan kesejahteraan pekerja dengan cara membuat peraturan-peraturan atau
standar-standar internasional yang dituangkan dalam bentuk Konvensi dan
Rekomendasi yang dihasilkan atau disetujui dan disahkan oleh Konferensi
Perburuhan Internasional atau International Labour Conference (ILC).
Selain itu, ILO mempunyai kegiatan-kegiatan lainnya, seperti berikut ini.
Kerja
Sarna Teknik Internasional
Untuk membantu meningkatkan
ekonomi nasional dan pengembangan sosial, kira-kira 800 ahli ILO bertugas atas
kira-kira 500 program kerja sarna teknik di lebih dari 100 negara. Mereka
dikerahkan dari banyak negara, untuk membantu negara-negara anggota ILO dalam
proyek-proyek, seperti berikut InI.
a.
Program
pekerjaan umum padat karya di lebih dari 30 negara di Afrika, Asia dan Karibia.
b.
Program
pengembangan keterampilan kejuruan regional se-Afrika, Asia, dan Amerika Latin.
c.
Menerapkan
teknik-teknik manajemen modern pada pengembangan ekonomi dan sosial melalui 85
proyek.
d.
Mengembangkan
hubungan perburuhan di negara-negara Afrika.
e.
Membuat
pola-pola jaminan sosial di negara-negara Afrika, Asia, dan Karibia.
f.
Meningkatkan
kondisi kerja melalui misi-rnisi rnultidisiplin pada lebih dari selusin negara.
g.
Mengembangkan
koperasi di Cina, Irak, Zona Sudan Shalia, dan Amerika Tengah.
h.
Membantu
pendidikan buruh di Pasifik Selatan.
Satu dari tugas-tugas utama para
ahli !LO ialah melatih petugas-petugas setempat untuk mengambil alih dan
memperluas kegiatan proyek apabila tim internasional telah meninggalkan negara
yang bersangkutan. Surnber dana terbesar untuk proyek-proyek kerja sarna teknik
ILO adalah Program Pembangunan PBB, UNDP.
Sarana lain untuk membiayai kerja
sarna teknik adalah trust funds (sebagian besar dari pemerintah dan
badan-badan bantuan multilateral/ dan anggaran tetap ILO untuk jenis-jenis
khusus bantuan teknik). Dana dari semua sumber ini yang disediakan untuk
pengeluaran kerja sarna teknik !LO melebihi US$ 125 juta per Tahun. Sumbangan
pemerintah untuk proyekproyek kerja sarna teknik biasanya melebihi dana
internasional yang dikeluarkan untuk proyek-proyek itu.
Kerja sarna teknik ILO dengan
Indonesia mencakup ban yak hal, terrnasuk latihan teknik dan kejuruan,
informasi pasaran kerja dan angkatan kerja, perencanaan tenaga kerja, hubungan
antara pekerja dan majikan, administrasi pekerja, pengernbangan manajernen,
produktivitas, kondisi dan lingkungan kerja, pemeriksaan tugas dan pabrik,
kebijakan dan langkahlangkah untuk meningkatkan lapangan kerja,
program-program pekerjaan umum, pengelolaan dan pengembangan koperasi pedesaan,
manajemen hotel, rehabilitasi orang eaeat, jarninan sosial dan pendidikan
pekerja.
Proyek-proyek ILO di Indonesia
dapat kita lihat pada tabel di bawah ini.
No.
|
Nama Proyek
|
Tahun
|
Departemen
|
(1 )
|
(2)
|
(3)
|
(4)
|
1.
|
Implementation
of Employment
|
1985 -1989
|
Depnaker
|
|
Creation
Strategy
|
|
|
2.
|
Extention of
Social Security
|
1987 -1990
|
Depnaker
|
|
Protection
|
|
|
3.
|
East Java - Manpower
Development
|
1987 -1990
|
Depnaker
|
|
and Training
|
|
|
4.
|
Manpower
Information System (MIS)
|
1989
|
Depnaker +
|
|
Chemical
Safety and Major Hazards
|
|
BPS
|
|
Control
|
|
|
5.
|
Extention of
Social Security
|
1989 -1991
|
|
|
Protection
|
|
Depnaker
|
6.
|
Information
and Policy Development
|
1990 -1991
|
|
|
Related to
Self - Employment
|
|
Depnaker
|
7.
|
Self-Employment
Programme for
|
1990 -1992
|
+ASTEK
|
|
Training
Institution
|
|
|
8.
|
Local
Enterprise Development
|
1990 -1992
|
Depnaker
|
|
Agency
Programme
|
|
|
9.
|
Information
System for Employment
|
1990 -1992
|
Depnaker
|
|
Development
and Manpower
|
|
|
|
Planning
|
|
Depnaker
|
10.
|
Improvement of Women
Workers
|
1990 -1992
|
|
|
Welfare and
Working Conditions
|
|
|
|
Safety and
Health in the Use of
|
|
Depnaker
|
|
Agrochemica/s
|
|
|
11.
|
Family
Planning for Workers of
|
1990 -1993
|
|
|
Small and
Medium-Scale
|
|
|
|
Enterprises.
|
|
Depnaker
|
12.
|
Contract for
Consulting services for
|
1991 -1993
|
+Men.Neg
|
No.
|
Nama Proyek
|
Tahun
|
Departemen
|
|
(1 )
|
(2)
|
(3)
|
(4)
|
|
|
Contractor
and Mandor Trainning
|
|
Peranan
|
|
|
Strengthening
of Mines Safety
|
|
Wanita
|
|
13.
|
Inspection
|
1991 -1995
|
Depnaker
|
|
|
Hotel
Management Trainning
|
|
|
|
|
Community-Based
Rehabilitation of
|
|
|
|
14.
|
the Disabled
|
1986 -1987
|
Depnaker
|
|
|
Increasing
Productivity of the Mining
|
|
|
|
15.
|
and Energy
Sector Through
|
1987 -1989
|
|
|
|
Employment
and Self- Employment
|
|
Pekerjaan
|
|
16.
|
for Women in
Tourism Industry
|
1986 -1990
|
Umum
|
|
17.
|
Improving
Effiency of Local
|
1988 -1990
|
|
|
|
Resource-
Based Methods for
|
|
Pertambangan
|
|
|
Second Rural
Roads Development
|
|
dan Energi
|
|
18.
|
Project
|
1990 -1991
|
Parpostel
|
|
|
Vocational
Trainning for Rural
|
|
Sosial
|
|
|
Development
and Income
|
|
|
|
19.
|
Generation
|
-
|
|
|
|
Self- Employment
Programme For
|
|
Pertambangan
|
|
|
Trainning
Institutions
|
|
dan Energi
|
|
20.
|
Work Based
Trainning and National
|
1990 -1992
|
|
|
|
Trainning
Standars for Hotel and
|
|
Parpostel
|
|
21.
|
Tourism
Sector
|
1990 -1992
|
|
|
|
Developing of Activities
in the
|
|
|
|
|
Workers
Secondary Cooperative in
|
|
Pekerjaan
|
|
22.
|
Indonesia
|
1990 -1992
|
Umum
|
|
|
Trainning of Mandors and
Small
|
|
|
|
23.
|
Contractors
|
1990 -1992
|
Dalam Negeri
|
|
|
Management
Consultancy and
|
|
|
|
|
Trainning
for Cooperatives, KUDs
|
|
|
|
24.
|
and Women
Groups
|
|
Migrasi
|
|
25.
|
|
|
Parpostel
|
|
26.
|
|
1990 -1993
|
INKOPKAR
|
|
|
|
|
Pekerjaan
|
|
|
|
|
Umum
|
|
|
|
|
Koperasi
|
|
E.PROGRAM
KESEMPATAN KERJA SEDUNIA
ILO sedang melaksanakan suatu
program kesempatan kerja sedunia untuk membantu usaha-usaha nasional dan
internasional dengan menyediakan lapangan kerja yang produktif bagi penduduk
dunia yang terus bertambah dengan cepat.
Ratusan juta penduduk usia kerja
akan bertambah di seluruh duma menjelang Tahun 1990-an, sebagian besar mereka
di Afrika, Asia, dan Amerika latin. Jutaan keluarga di negara-negara berkembang
mengalami kegagalan untuk memperbaiki nasib mereka. Walaupun ada pertumbuhan
ekonomi yang telah dicapai sejauh ini, jutaan lagi akan menderita jika tidak
ditemukan cara untuk memungkinkan mereka rnernperoleh bagian dari hasil
pembangunan nasional.
Berdasarkan program kesempatan
kerja sedunia itu, ILO memberi bantuan praktis kepada negara-negara dalam memilih
kebijakan-kebijakan yang dirancang untuk memberi lebih banyak pekerjaan dalam
bidang industri, pembangunan pedesaan, pekerjaan umum dan rencana-rencana lain,
dan untuk mernilih teknologi-teknologi dan program-program latihan dengan
menggunakan sumber-sumber tenaga manusia sepenuhnya untuk mencapai kemajuan
ekonomi dan sosial.
Untuk memenuhi Program Kesempatan
Kerja Sedunia suatu kerangka yang kontinu, tiga rencana regional, yaitu Rencana
Tenaga Kerja Asia, Program Lapangan Kerja untuk Arnerika Latin dan Karibia, dan
Program Kerja dan Keterampilan untuk Afrika telah ditetapkan. Tim Kesempatan
Kerja Regional di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, pelayanan bantuannya
diberikan oleh para ahli bagi pemerintah dalam masalah-masalah tenaga kerja dan
kesempatan kerja.
Baru-baru ini ILO telah
mengadakan pertemuan dengan wakil-wakil dari Lembaga Keuangan Internasional dan
badan-badan lain yang terkait untuk mencari suatu kepastian bahwa beban
perubahan struktur tidak semena-mena menimpa kaum miskin. Pertemuan Tripartit
Tingkat Tinggi di Tahun 1987 diadakan untuk mempelajari pengaruh bidang
perdagangan, keuangan dan kebiasaan moneter terhadap kesempatan kerja dan
kemiskinan. Pertemuan ini menetapkan suatu persetujuan kembar, yaitu
memperbaiki ketidakseimbangan yang serius pada ekonomi saat ini terutama dengan
usaha menyesuaikan struktur dan mendorong pertumbuhan penciptaan lapangan kerja
secara nasional dan internasional.
F. LINGKUNGAN
KERJA YANG LEBIH BAlK
Sejak awalnya dalam Tahun 1919
ILO secara aktif memperhatikan masalah-masalah keselamatan, kesehatan kerja,
dan kondisi kerja. Semenjak Tahun 1976 masalah ini ditangani dalam kerangka
kerja Program Internasional untuk peningkatan kondisi dan lingkungan kerja
(disebut PIACT, akronim bahasa Prancis), yang dirancang untuk meningkatkan atau
mendukung kegiatan-kegiatan negara-negara anggota. Program 101 memadukan kesinambungan dan pembaharuan,
menangani masalah-masalah kondisi dan lingkungan secara universal, dan
memandang masalah-rnasalah dalam konteks yang lebih luas dari kebijakan
ekonorni dan kebijakan sosial. Program bertujuan untuk mernbantu pernerintah,
organisasi-organisasi pengusaha dan buruh, lernbaga-lernbaga riset dan latihan
bantuan yang diperlukan dalam usaha-usaha mereka untuk meningkatkan keadaan
yang arnan, sehat, dan menguntungkan bagi pekerja pria maupun wanita di seluruh
dunia. PIACT menetapkan standar dan kegiatan-kegiatan operasional, studistudi
dan pertemuan-pertemuan tripartit, juga kegiatan-kegiatan pusat informasi,
serta suatu sistem kesiagaan internasional untuk menemukan bahaya-bahaya
potensial terhadap kesehatan buruh. PlACT menawarkan kepada negara-negara suatu
pilihan bandingan atas fasilitas-fasilitas kerja sama teknik untuk dipilih satu
dari yang paling sesuai dengan kebutuhan khusus mereka; tim rnultidisiplin
untuk negara-negara anggota; seminar nasional tripartit, bantuan diberikan oleh
spesialis tingkat tinggi dalam rnernbentuk pusat-pusat kesehatan dan
keselarnatan kerja dan pernantapan jasa pemeriksaan ketenagakerjaan; latihan
dan kursus-kursus serta bea siswa.
G.LEMBAGA STUDI PERBURUHAN
Lembaga Studi Perburuhan ILO di
Geneva mengkhususkan diri dalam pendidikan lanjutan dan riset mengenai
kebijakan sosial dan ketenagakerjaan. Lembaga ini menghimpun orang-orang yang
berpengalaman untuk studi kelompok dari seluruh bagian dunia. Penyelenggara
Pemerintah, Pejabatpejabat Serikat Buruh, ahli-ahli perindustrian dan
manajemen, sarjana-sarjana dan spesialis-spesialis lainnya. Kegiatan-kegiatan
yang dimulai Tahun 1960, lingkupnya adalah regional dan internasional.
Pusat
Pendidikan Internasional Turin
Pusat internasional untuk Latihan
Kejuruan dan teknik lanjutan ILO di Turin, Italia, menyediakan program-program
setempat yang dirancang untuk para direktur yang memimpin lembaga-lembaga
kejuruan dan teknik, pejabat-pejabat latihan yang terlibat dalam kegiatan
kejuruan dan teknik, pengelola-pengelola swasta dan pemerintah,
pemimpin-pemimpin serikat buruh, instruktur-instruktur dan teknisi-teknisi
latihan kejuruan. Programprogram disesuaikan dengan kebutuhan negara-negara
berkembang. Suatu staf instruktur mu1tinasional dan penceramah-pencerarnah tamu
telah melatih penduduk lebih dari 120 negara dan wilayah semenjak Pusat itu
dibuka Tahun 1965.
RA N G K U M A N
Organisasi Perburuhan
Intemasional (ILO) didirikan pada Tahun 1919 berdasar perjanjian Versailles
bersama-sama dengan Liga Bangsabangsa. Pada Tahun 1946, ILO menjadi badan
khusus yang pertama bergabung dengan PBB. ILO yang usahanya telah diakui dan
mendapat penghargaan Nobel untuk perdamaian dalam Tahun 1969 merupakan suatu
organisasi yang unik di an tara organisasi dunia.
Salah satu tugas penting ILO
adalah menyelenggarakan Konferensi Perburuhan Internasional yang menghasilkan
konvensi dan direkomendasi. Forum Pleno dari ILO adalah ILC yang mempunyai
kekuasaan tertinggi dan memutuskan semua aktivitas ILO. Kantor Perburuhan
Internasional merupakan sekretariat permanen ILO yang dipimpin seorang Direktur
lenderal dengan dibantu 3 orang Deputi Direktur lenderal dan 7 orang Asisten
Direktur lenderal sedang dewan pelaksana ILO adalah Governing Body yang dipilih tiap 3 Tahun sekali.
ILO mempunyai tugas utama yaitu
meningkatkan kondisi kerja dan kesejahteraan pekerja dengan cara membuat
peraturan-peraturan internasional yang dituangkan dalam bentuk konvensi dan
rekomendasi yang dihasilkan oleh ILC.
KEGIATAN
BELAJAR 4
Ratifikasi
Konvensi dan Rekomendasi ILO
Tugas utama International
Labour Organization (ILO) di samping menyelenggarakan
Konferensi Perburuhan Internasional adalah juga meningkatkan kondisi kerja dan
kesejahteraan pekerja dengan cara membuat peraturan-peraturan atau
standar-standar internasional yang dituangkan dalam bentuk konvensi dan
rekomendasi yang dihasilkanldisetujui dan disahkan oleh Konferensi Perburuhan
Internasional. Di samping itu, ILO juga melaksanakan program-program kerja
sarna teknik, penelitian masalahmasalah perburuhan serta program lainnya.
Konvensi adalah perangkat peraturan yang mengatur beberapa aspek, dan dibuat
untuk maksud diratifikasi oleh setiap negara anggota yang dapat mempunyai
kekuatan hukum sebagai undang-undang. Artinya apabila konvensi tersebut
diratifikasi oleh negara anggota maka akan mengikat negara anggota yang
bersangkutan.
Ratifikasi
konvensi menyangkut kewajiban-kewajiban, antara lain berikut ini.
1. Bahwa negara anggota yang meratifikasi
harus bersedia
menerapkan/rnelaksanakan aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan yang tercantum
dalam konvensi.
2. Setiap negara anggota
berkewajiban untuk membuat/menyampaikan laporan tentang pelaksanaan dari
ketentuan-ketentuan konvensi yang telah diratifikasi di negara yang bersangkutan.
3. Bersedia untuk menerima
ketentuan-ketentuan pengawasan internasional (International Supervision).
Rekomendasi ILO pada dasamya
adalah perangkat yang sarna dengan konvensi, tetapi rekomendasi dibuat tidak
untuk diratifikasi, melainkan dimaksudkan untuk memberikan pedoman-pedoman
khusus kepada negaranegara anggota dalam rangka membuat/menyusun peraturan
perundangundangan nasional di negara masing-masing. Sejak ILO berdiri 1919
sampai dengan Tahun 1990 (ILC ke-77) telah diterima dan disetujui sejumlah 171
konvensi dan 178 rekomendasi yang mencakup bidang-bidang, antara lain berikut
ini.
1.
Hak-hak
asasi manusia (seperti kemerdekaan untuk berserikat, penghapusan kerja paksa,
penghapusan diskrirninasi).
2.
Adrninistrasi
perburuhan.
3.
Hubungan
perburuhan.
4.
Kebijakan
ketenagakerjaan.
5.
Syarat-syarat
kerja.
6.
Jaminan
sosial.
7.
Keselamatan
dan kesehatan kerja.
8.
Penggunaan
tenaga kerja wanita, anak, dan orang muda.
9.
Pekerjaan
migran.
Dari sejumlah 171 buah konvensi
ILO, sampai saat ini, Indonesia baru meratifikasi 10 konvensi, dan dari 10
konvensi terse but 4 konvensi diratifikasi oleh Pemerintah Belanda sebelum
kemerdekaan sedangkan 6 konvensi lainnya diratifikasi sesudah kernerdekaan.
A.
KONVENSI
YANG DIRATIFIKASI OLEH PEMERINTAH BELANDA, YANG DITERIMA OLEH PEMERINTAH RI
1.
Konvensi
No. 19 tentang perlakuan yang sama bagi Pekerja Nasional dan Asing Dalarn hal
Tunjangan Kecelakaan Kerja (Equality of Treatment).
Diratifikasi oleh Pemerintah
Belanda pada tanggal 13 September 1927 (Nederlandsch Staatblad 1927) dan
dinyatakan berlaku bagi Indonesia dengan Indonesia Staatblad 1929 No. 53.
Materi Pokok Konvensi adalah
sebagai berikut.
a.
Setiap
anggota mengusahakan supaya kepada warga negara dari setiap anggota lain yang
telah meratifikasi konvensi yang menderita luka karena kecelakaan kerja harus
diberikan tunjangan kecelakaan kerja yang sarna sebagairnana ia rnernberikannya
kepada warga negara sendiri.
b.
Untuk
rnenjalin perlakuan yang sarna tersebut rnaka harus diatur dalarn peraturan
perundang-undangan, jika perlu dengan perjanjian khusus.
2.
Konvensi
No.27 tentang "Pemberian Tanda Berat Pada Barang-Barang Besar yang
diangkut dengan kapal". (Marking of Weight, Packages Transported by
Veesls). Diratifikasi oleh Pemerintah Belanda pada
tanggal 4 Januari 1933
(Nederlandsch Staatblad 1933 No. 34) dan dinyatakan berlaku bagi Indonesia
Staatblad 1933 No. 117.
Materi Pokok Konvensi adalah
sebagai berikut.
a.
Setiap
barang dengan berat 1000 kg at au lebih diangkut dengan kapal baik untuk keluar
negeri maupun dalam negeri, harus memberikan tanda pad a bagian luar barang
tersebut secara jelas dan tahan lama.
b.
Dalam
hal khusus yang diatur oleh peraturan nasional di mana sukar untuk menetapkan
berat yang tepat dapat dicanturnkan angka yang mendekati.
c.
Kewajiban
memberikan tanda berat diatur dengan peraturan perundang-undangan nasional.
3.
Konvensi
No. 29 tentang "Kerja Paksa atau Wajib Kerja" (Forced Labour).
Diratifikasikan oleh Pemerintah
Belanda pada tanggal 31 Maret 1933 (Nederlandsch Staatblaad No. 26) dan
dinyatakan berlaku bagi Indonesia dengan Indonesia Staatblaad 1933 No. 2661.
Materi pokok Konvensi adalah
sebagai berikut.
a.
Menjamin
untuk menghapus penggunaan kerja paksa atau wajib kerja dengan segala bentuk
dalam waktu yang sesingkat mungkin.
b.
Dimaksud
dengan kerja paksa atau wajib kerja adalah semua pekerjaan atau jasa yang
dipaksakan pad a setiap orang dengan ancaman hukuman apapun dan untuk mana
orang tersebut tidak menyediakan diri secara
sukarela.
c.
Tidak
termasuk kerja paksa adalah sebagai berikut.
1)
Wajib
Dinas Militer (Wamil).
2)
Setiap
pekerjaan atau jasa yang merupakan sebagian dari kewajiban biasa warga negara.
3)
Setiap
pekerjaan atau jasa yang dipaksakan pada setiap orang sebagai akibat keputusan
pengadilan.
4.
Konvensi No.
45 tentang "Kerja Wanita Dalam
Semua Macam Tambang di Bawah Tanah"(Underground work, for women). Diratifikasi
oleh Pemerintah Belanda pada Tahun 1937. (Nederlandsch Staatblaad 1937 No. 15)
dan dinyatakan berlaku bagi Indonesia dengan Indonesia Staatblaad 1937 No. 219.
Materi Pokok Konvensi adalah
sebagai berikut.
a.
Dimaksud
istilah " tambang " adalah termasuk setiap perusahaan, baik milik
negara maupun swasta untuk mengambil benda apapun di bawah permukaan tanah.
b.
Setiap
wanita tanpa memandang umurnya tidak boleh melakukan pekerjaan dalam tambang di
bawah tanah, kecuali:
1)
wanita
yang memegangjabatan pimpinan yang tidak melakukan pekerjaan,
2)
wanita
yang bekerja padajabatan kesehatan dan kesejahteraan,
3)
wanita
yang berhubung dengan pelajarannya harus berada di bagian tambang di bawah
tanah dalam rangka latihan dalam waktu tertentu, dan
4)
wanita
yang kadang-kadang harus masuk ke bagian-bagian tambang di bawah tanah untuk
maksud melakukan pekerjaan yang bukan bersifat pekerjaan tangan.
B.
KONVENSI
YANG DIRATIFIKASIKAN OLEH PEMERINTAH RI
1.
Konvensi
No. 98 tentang "Berlakunya Dasar-dasar daripada Hak untuk Berorganisasi
dan untuk Berunding Bersama" (Right to Organise and Collective
Bargaining). Diratifikasi oleh Pemerintah RI dengan Undangundang No. 18
Tahun 1956.
Materi Pokok Konvensi adalah
sebagai berikut.
a.
Buruh
harus mendapat cukup perlindungan terhadap tindakantindakan pembedaan anti
Serikat Buruh (Serikat Buruh) berhubung dengan pekerjaannya.
b.
Perlindungan
harus digunakan terutama terhadap tindakan-tindakan yang bermaksud berikut ini.
1)
Memasyarakatkan
kepada buruh bahwa ia tidak akan masuk suatu Serikat Buruh atau harus
melepaskan keanggotaannya.
2)
Menyebabkan
pemberhentian atau cara lain yang merugikan buruh berdasarkan keanggotaan
Serikat Buruh atau turut serta dalam tindakan-tindakan serikat buruh di luar
jam-jam kerja atau dengan persetujuan majikan (pengusaha) dalam waktu jam
kerja.
3)
Serikat
Buruh dan Serikat Pengusaha harus mendapat perlindungan terhadap tiap-tiap
campur tangan oleh masingmasing pihak dalam hal mendirikan, cara bekerja, cara
men gurus organisasi rnereka.
4)
Tindakan
yang sesuai dengan keadaan nasional harus diarnbil untuk rnendorong dan
rnernajukan tirnbulnya Perjanjian Perburuhan.
2.
Konvensi
No. 100 tentang "Pengupahan yang sarna Bagi Buruh Lakilaki dan Wanita
untuk Pekerjaan yang sarna Nilainya" (Equal Remuneration).
Diratifikasi oleh Pernerintah RI dengan Undang-undang No. 1957.
Materi Pokok Konvensi adalah
sebagai berikut.
a.
Dirnaksud
dengan istilah "pengupahan", rneliputi upah atau gaji bias a, pokok atau minimum dan
pendapatan-pendapatan tarnbahan apa pun juga yang harus dibayar secara tunai
atau dengan barang oleh majikan kepada buruh berhubung dengan pekerjaan buruh.
b.
Istilah
pengupahan yang sarna bagi buruh lab-lab dan wanita untuk pekerjaan yang sarna
nilainya dirnaksudkan adalah nilai pengupahan yang diadakan tanpa diskrirninasi
berdasarkan jenis kelarnin.
c.
Pernerintah
harus rnenjarnin pengupahan yang sarna bagi buruh lablaki dan perernpuan untuk
pekerjaan yang sarna nilainya.
d.
Pemerintah
harus rnenjarnin pelaksanaan pengupahan yang sarna an tara buruh laki-laki
dengan jalan.
1)
Dirnuat
dalarn peraturan perundangan nasional.
2)
Mendirikan
Badan Penetapan Upah.
3)
Membuat
perjanjian perburuhan atau dengan cara lain.
h.
Nilai
pengupahan yang berlainan antara buruh tanpa rnernandang jenis kelamin,
didasarkan atas penilaian pekerjaan yang objektif berdasarkan pekerjaan yang
akan dijalankan, tidak akan dianggap melanggar asas-asas konvensi.
3.
Konvensi
No. lO6 tentang "Istirahat Mingguan Dalarn Perdagangan dan
Kantor-kantor" (Weekly Rest, In Commerce and Offices).
Diratifikasi oleh pernerintah RI
dengan Undang-undang No.3 Tahun 1961.
Materi Pokok Konvensi adalah
sebagai berikut.
a.
Ketentuan
konvensi harus dilaksanakan dengan undang-undang atau peraturan nasional.
b.
Ketentuan
konvensi berlaku terhadap semua orang termasuk magang yang dipekerjakan pada
perusahaan, lembaga atau kantor tata usaha baik milik pemerintah maupun swasta.
c.
Ketentuan
konvensi tidak berlaku terhadap:
1)
Perusahaan
Keluarga.
2)
Orang
yang memegang jabatan pirnpinan tinggi.
d.
Buruh
berhak atas istirahat mingguan terus rnenerus selama tidak
kurang
dari 24 jam dalam tiap jangka
waktu 7 hari.
e.
Waktu
istirahat mingguan harus diberikan pad a waktu yang sarna kepada buruh dalam
tiap perusahaan.
f.
Apabila
pada waktu istirahat mingguan buruh dipekerjakan maka waktu istirahat tersebut
harus diganti dengan hari lain.
4.
Konvensi
No. 120 tentang "Hygiene Dalam Pemiagaan dan Kantorkantor" (Hygiene,
in Commerce and Offices). Diratifikasi oleh pemerintah RI dengan
Undang-undang NO.3 Tahun 1969.
Materi Pokok Konvensi adaJah
sebagai berikut.
a.
Kebersihan,
ventilasi, suhu, penerangan, tempat duduk harus diatur sedemikian sehingga
tidak ada pengaruh yang berbahaya bagi kesehatan kerja, persediaan air minum,
we, tempat mencuci, dan tempat tukar pakaian dalam tempat kerja.
b.
Kegaduhan
(kebisingan) dan getaran-getaran yang mungkin mempunyai pengaruh berbahaya
kepada pekerja harus dikurangi sebanyak mungkin dengan tindakan yang tepat dan
dapat dilaksanakan.
5.
Konvensi
No. 144 tentang "Konsultasi Tripartit" untuk meningkatkan pelaksanaan
standar perburuhan internasional (Tripartite Consultation to Promote the
Implementation of International Labour standards).
Materi Pokok Konvensi adalah
sebagai berikut.
a.
Setiap
negara anggota yang meratifikasi konvensi ini bersedia
membentuk lembaga/badan-badan yang menjamin konsultasi secara efektif an tara
wakil-wakil pemerintah, pengusaha, dan pekerja.
b.
Sifat
dan bentuk lembaga tersebut akan ditetapkan setiap negara sesuai dengan apa
yang berlaku secara nasional.
c.
Perwakilan
Pengusaha dan Pekerja untuk Lembaga/Badan-badan yang ditetapkan dalam konvensi
ini harus dipilih secara bebas oleh organisasi -organisasi perwakilannya.
6.
Konvensi
ILO No. 8711948 yang mengatur Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Atas Hak
Berorganisasi. Diratifikasi oleh pemerintah RI dengan Undang-undang No. 21
Tahun 2000.
Materi Pokok Konvensi adalah
sebagai berikut.
a.
Hak
atas kebebasan dan keamanan orang dan kebebasan dari penangkapan dan penahanan
secara semena-mena.
b.
Kebebasan
berpendapat dan menyatakan pendapat dan terutama kebebasan mernpunyai pendapat
dan tanpa campur tangan serta mencari, menerima dan membagikan informasi serta
buah pikiran melalui media dan tanpa mengenal batas.
c.
Kebebasan
berkumpul.
d.
Hak
mendapatkan peradilan yang adil oleh pengadilan yang mandiri dan tidak
mernihak.
e.
Hak
mendapatkan perlindungan atas kekayaan organisasi serikat pekerja.
Dari apa yang telah diuraikan
tampak bahwa empat buah konvensi diratifikasi pada masa prakemerdekaan, sedang
enam lainnya diratifikasi setelah Indonesia merdeka. Ini berarti bahwa empat
ratifikasi terdahulu diwarisi dari Pernerintah Kolonial Belanda dan enam
lainnya dilaksanakanfdiratifikasi oleh RI. Perlu diketahui bahwa ratifikasi
suatu konvensi terpengaruh atau dipengaruhi oleh kondisi dan situasi pada waktu
ratifikasi dilakukan yang biasanya dikaitkan juga dengan kepentingankepentingan
pihak yang meratifikasi konvensi itu sendiri. Empat buah konvensi yang
diratifikasi oleh Pemerintah RI dilakukan pada mas a sebelum Tahun 1965, pada
saat mana kondisi dan situasi, terutama di bidang politik, berbeda dibandingkan
dengan masa setelah Tahun 1965. Sekalipun situasi dan kondisi mengalami
perubahan nyata, namun terbukti bahwa ratifikasi terhadap ke sepuluh konvensi oleh
pernerintah RI tetap dilaksanakan secara konsekuen.
Dari jumlah konvensi dan
rekomendasi yang telah dilahirkan oleh ILO sampai saat im, yang diratifikasi
oleh Pemerintah RI mungkin kecil jumlahnya dalam angka, tetapi itu tidak
berarti bahwa konvensi dan rekomendasi lain yang belum diratifikasi sepenuhnya
tidak dilaksanakan di Indonesia. Apabila kita teliti peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia maka kita akan banyak menemukan
ketentuan-ketentuan hukum Indonesia yang sejalan dengan konvensi dan
rekomendasi ILO, yang oleh Republik Indonesia belum diratifikasi.
C.
RATIFIKASI KONVENSI ILO
Sejak didirikan Tahun 1919 hingga
Tahun 1990, Organisasi Perburuhan Internasional atau ILO telah menetapkan 171
konvensi. ILO mengharapkan setiap negara meratifikasi konvensi tersebut menjadi
undang-undang.
Ternyata tidak mudah bagi tiap
negara untuk meratifikasi setiap konvensi ILO. Ada negara yang mengemukakan
standar ILO masih terlalu tinggi untuk dilaksanakan terutama di negara
berkembang. Di beberapa negara,
dianggap tidak perlu lagi meratifikasi konvensi tertentu karena sebagian besar
atau seluruh materinya sudah tercakup dalam Undang-undang yang ada. Bagi
sebagian negara lain, timbul keengganan meratifikasi konvensi ILO karena enggan
menyampaikan laporan pelaksanaan konvensi tersebut setiap Tahun.
Dari 150 negara anggota ILO, yang
paling banyak meratifikasi konvensi ILO adalah Spanyol (118), kemudian menyusul
Prancis (113), Italia (lO2), Uruguay (96) dan Norwegia (93). Negara-negara
ASEAN sendiri tidak ban yak meratifikasinya. Malaysia dengan negara bagiannya
baru meratifikasi 30 konvensi, Filipina 21, Singapura 21, Thailand 11 dan
Indonesia sendiri baru 9 konvensi, sedangkan negara Brunai Darussalam belum
masuk menjadi anggota ILO. Negara maju, seperti Arnerika Serikat hanya
meratifikasi 9 konvensi, Jerman 79, Inggris 80, Jepang 39 dan Uni Soviet 46. Di
samping konvensi, Sidang Umum ILO juga menetapkan rekomendasi sebagai petunjuk
pelaksanaan konvensi dan ketentuan ILO. Akibat dari meratifikasi suatu konvensi
adalah setiap negara mernpunyai kewajiban-kewajiban yang rnengikat untuk
melaksanakan ketentuan-ketentuan yang tertera dalam pasalpasal konvensi
tersebut.
D. KEWAJIBAN TERHADAP KONVENSI DAN REKOMENDASI
Setiap negara anggota ILO
rnernpunyai kewajiban-kewajiban untuk menyampaikan Konvensi dan Rekomendasi ILO
kepada Penguasa Berwenang (Submission), yaitu sebagai berikut.
1.
Konvensi (Sesuai dengan Pasal 19
ayat (5) Konstitusi ILO)
a.
Konvensi akan disampaikan kepada
sernua anggota untuk diratifikasi.
b.
Setiap negara anggota
berkewajiban bahwa dalam jangka waktu paling lama satu Tahun sesudah
berakhirnya konferensi (ILC) atau bilamana hal itu tidak mungkin dilakukan
dalam jangka waktu satu Tahun berhubung dengan keadaan-keadaan yang istimewa
maka secepat mungkin harus dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 18 bulan
sejak berakhirnya konferensi, menyampaikan konvensi tersebut kepada pengusaha
atau penguasa yang berwenang terhadap masalah itu untuk dilaksanakan dalam
bentuk perundang-undangan atau ketentuan-ketentuan dan tindakan-tindakan lain.
c.
Setiap anggota berkewajiban untuk
memberitahukan kepada Direktur lenderal Kantor Perburuhan Internasional tentang
tindakan-tindakan yang telah diambil sehubungan dengan penyampaian konvensi itu
kepada pemerintah atau penguasa yang berwenang dan memberikan
penjelasan-penjelasan khusus tentang langkah-langkah atau tindakan-tindakan
yang telah dilakukan.
d.
likalau anggota mendapat
kesepakatan dari penguasa yang berwenang atas hal itu maka ratifikasi resmi
terhadap konvensi itu harus disampaikan kepada Direktur lenderal.
2.
Rekomendasi (Sesuai Pasal19 ayat
(6) Konstitusi ILO)
a.
Rekomendasi
akan disampaikan kepada semua anggota untuk mendapatkan pertimbangan bagaimana
caranya agar dapat mernberikan pengaruh terhadap perundang-undangan nasional
atau peraturan-peraturan lain.
b.
Setiap
negara anggota berusaha agar dalam jangka waktu paling lama satu Tahun sesudah
berakhirnya konferensi atau apabila tidak mungkin dilakukan dalam waktu satu
Tahun berhubung dengan keadaan yang luar biasa maka dalam waktu secepatnya,
tidak lebih dari 18 bulan setelah
berakhirnya konferensi, menyampaikan rekornendasi tersebut kepada
penguasa-penguasa yang berwenang atas hal itu untuk dilaksanakan dalam bentuk
perundang-undangan atau tindakan lain.
c.
Setiap
anggota harus memberi tahu kepada Direktur lenderal Kantor Perburuhan
Internasional tentang langkah-langkah yang telah diambilnya.
E. LAPORAN
TAHUNAN TENTANG KONVENSI-KONVENSI YANG TELAH DIRATIFIKASI (REPORT ON
RATIFIED CONVENTION)
Selain kewajiban-kewajiban submission
yang telah disebutkan dan sesuai dengan Pasal 22 konstitusi ILO setiap
negara anggota juga mempunyai kewajiban lain yang sangat penting, yaitu membuat
dan menyampaikan laporan Tahunan tentang pelaksanaan dari konvensi-konvensi
yang telah diratifikasi oleh negara anggota maupun yang belum diratifikasi.
Laporan Tahunan ini ada yang 2 Tahun sekali dan ada yang 4 Tahun sekali.
Laporanlaporan ini harus disusun dalam suatu bent uk khusus dan harus memuat
halhal yang khusus pula sebagaimana yang dikehendaki. Dalam Pasal 23
konstitusi ILO dikatakan bahwa Direktur lenderal harus menyampaikan kepada
sidang konferensi suatu ringkasan tentang keterangan dan laporanlaporan yang
telah disampaikan oleh negara-negara anggota dan pada ayat (2) nya dinyatakan bahwa setiap negara anggota harus
menyampaikan pula laporan tersebut kepada perwakilan-perwakilan
organisasi pengusaha dan organisasi pekerja.
Dalam masalah ratifikasi harus
diakui bahwa suatu negara yang meratifikasi suatu konvensi tentu akan
meletakkan dasar pertimbangan yang masak sebelum hal itu dilakukan, mengingat
bahwa banyak faktor yang menjadi kendala. Suatu ratifikasi sesuai dengan
ketentuan ILO, akan melahirkan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh
pihak yang meratifikasi. Suatu ratifikasi juga identik dengan keharusan bahwa
peraturan perundang-undangan di negara yang meratifikasi telah sesuai dengan
ketentuan konvensi. Oleh karenanya suatu ratifikasi perlu mendapat pertimbangan
masak-masak dengan tidak melupakan kepentingankepentingan situasi dan kondisi
dari negara yang meratifikasinya.
RANGKUMAN
Konvensi
yang diratifikasi oleh pernerintah Belanda yang diterirna oleh pernerintah RI
adalah sebagai berikut.
1.
Konvensi No. 19 tentang perlakuan
yang sarna bagi pekerja nasional dan asing dalarn hal tunjangan kecelakaan
kerja (equality of Treatment).
2.
Konvensi No. 27 ten tang
pernberian tanda berat pada barang-barang besar yang diangkut dengan kapal
(Marking of weight, Packages Transported by veesls).
3.
Konvensi No. 29 tentang Kerja
Paksa atau wajib kerja (Forced Labour).
4.
Konvensi No. 45 tentang Kerja
wanita dalarn sernua rnacarn tambang di bawah tanah (underground work for
women).
Sedang
konvensi yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia adalah sebagai berikut.
1.
Konvensi No. 98 tentang
berlakunya dasar-dasar daripada hak untuk berorganisasi dan untuk berunding
bersarna (Right to organise and collective bargainning).
2.
Konvensi No. 100 ten tang
pengupahan yang sarna bagi buruh lakilaki dan wanita untuk pekerjaan yang
sarna nilainya (equal remuneration).
3.
Konvensi No. 106 tentang
istirahat mingguan dalam perdagangan dan kantor-kantor (weekly rest, In
commerce and offices).
4.
Konvensi No. 120 ten tang Hygiene
dalam perniagaan dan kantorkantor (Hygiene, in commerce and offices).
5.
Konvensi No. 144 tentang
konsultasi tripartit untuk meningkatkan standar perburuhan internasional
(Tripartite consultation to promote the Implementation of International Labour
Standards).
6.
Konvensi No. 8711948 yang
mengatur kebebasan berserikat dan perlindungan atas hak berorganisasi .
Sejak
didirikan Tahun 1919 hingga Tahun 1990, ILO telah menetapkan 171 konvensi. Dari
150 negara anggota ILO, yang paling banyak meratifikasi konvensi adalah Spanyol
(118), Prancis (113), Italia (102), Uruguay (96), dan Norwegia (93).
Setiap
negara anggota ILO mempunyai kewajiban menyampaikan konvensi dan rekomendasi
ILO kepada penguasa berwenang. Selain kewajiban tersebut dan sesuai Pasal 22
konstitusi ILO setiap negara anggota juga mempunyai kewajiban lain yang sangat
penting, yaitu membuat dan menyampaikan laporan Tahunan tentang pelaksanaan
dari konvensi yang telah diratifikasi oleh negara anggota maupun yang belum
diratifikasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar