MODUL 6
Hubungan
Industrial
Purbadi Hardjoprajitno, S.H, M.Hum.
Drs. Saefulloh Tiesnawati Wahyuningsih, S.H.
P E N DA H U
L U A N
Hubungan
industrial adalah suatu sistern hubungan yang terbentuk antar para pelaku dalam
proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha,
pekerja/buruh, dan pernerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan
UUD 1945. Prinsip dasar diperlukannya hubungan industrial adalah agar para
pihak khususnya pekerja dan pengusaha bisa rnemaksimalkan nilai manfaat dalam
bekerja. Pengusaha ingin rnendapatkan keuntungan rnaksirnal dan para pekerja
ingin mendapatkan kesejahteraan dan rasa aman. Untuk menciptakan hubungan
industrial yang kondusif tersebut maka diaturlah ketentuan hubungan industrial
masingrnasing pihak. Para pihak yang terkait dengan hubungan industrial,
rneliputi Serikat PekerjaiBuruh, Organisasi Pengusaha, Lernbaga Kerja sama
Bipartit, Lembaga Kerja sarna Tripartit, Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja
Bersama, Peraturan Perundang-undangan Ketenagakerjaan, Lembaga Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial, Mogok Kerja dan Penutupan Perusahaan (Lock
Out).
Para pihak yang
akan dibahas dalarn rnodul ini, rneliputi berikut ini.
1.
Lernbaga
Kerja sarna Bipartit.
2.
Lernbaga
Kerja sarna Tripartit.
3.
Lernbaga
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
4.
Mogok
Kerja.
5.
Penutupan
Perusahaan (Lock Out).
Untuk rnengetahui lebih jauh
kedudukan para pihak dalarn hubungan industrial, pada Modul 6 ini akan
dijelaskan secara lebih rnernadai yang akan dijelaskan dalam dua kelornpok
kegiatan belajar.
Kegiatan Belajar 1 : Lernbaga Kerja Sarna Bipartit,
Tripartit, dan PPHI. Kegiatan Belajar 2 : Ketentuan
Mogok Kerja dan Penutupan Perusahaan (Lock Out).
KEGIATAN BELAJAR
1
Lembaga Kerja Sarna Bipartit, Tripartit, dan PPHI
Pada Kegiatan Belajar 1 ini akan
dijelaskan secara lebih memadai mengenai pengertian lembaga kerja sarna
Bipartit dan Tripartit, serta masalah penyelesaian perselisihan hubungan
industrial (PPHI). Diharapkan setelah membaca uraian pada kegiatan belajar ini,
mahasiswa dapat memahami lebih jauh mengenai fungsi dan peran lembaga kerja
sarna Bipartit, Tripartit, dan PPHI berkaitan
dengan masalah ketenagakerjaan di Indonesia.
A.
LEMBAGA KERJA SAMA BIPARTIT
1.
Pengertian Lembaga Kerja Sarna
Bipartit
Di dalam suatu perusahaan kerap
kali timbul persoalan-persoalan mendasar yang bisa mengganggu produktivitas
kerja. Penyebabnya, antara lain komunikasi antara pekerja dan pengusaha atau
pihak manajemen yang tidak lancar. Misalnya, secara diam-diam pekerja tidak
puas atas pengaturan yang menyangkut jam kerja, upah lembur, PHK atau kenaikan
gaji, biaya pengobatan. Ketidakpuasan ini tentu akan mengganggu kinerja mereka
di perusahaan. Sebaliknya, pihak pengusaha kerap dianggap kurang tanggap
terhadap aspirasi arus bawah. Demikian pula perusahaan juga menganggap tidak
didukung penuh oleh karyawannya dalam upaya mencapai target.
Sistem komunikasi yang kurang
sehat ini selain menimbulkan dampak menurunnya produktivitas juga akan
menghambat aspek manajerial secara umum. Biasanya sistem komunikasi yang tidak
lancar disebabkan karena peraturan yang ada di perusahaan, tidak
dikomunikasikan dengan baik atau tidak di akomodasi dengan baik oleh karyawan
atau bahkan peraturan itu sendiri tidak tegas dan tidak jelas. Nah, untuk
melancarkan sistem komunikasi dua arah antara bawahan dengan atasan, antara
karyawan dengan pengusaha maka dibuatlah satu forum komunikasi, kemudian
dikenal dengan nama lembaga kerja sama Bipartit. Fungsinya sebagai media
untuk saling berbagi dan saling mendengarkan aspirasi dari masing-rnasing pihak
khususnya untuk mempertemukan dua kepentingan antara kepentingan bawahan dan
atasan atau kepentingan karyawan dan pengusaha.
2.
Fungsi dan Tugas Lembaga Kerja Sarna Bipartit
Untuk mernperdalam mengenai
kedudukan, fungsi, dan tugas lembaga kerja sarna Bipartit berikut dijelaskan
secara singkat mengenai pengertian lembaga kerja sarna Bipartit beserta
aturan-aturan yang menyertainya. Secara umum lembaga kerja sarna Bipartit dapat
didefinisikan sebagai badan atau forum komunikasi dan konsultasi, berkaitan
dengan masalah hubungan industrial di suatu perusahaan. Anggotanya terdiri dari
pengusaha dan Serikat Pekerja/Buruh yang sudah tercatat sebagai instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Lembaga kerja sarna Bipartit
wajib dibentuk oleh setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang
pekerja/buruh atau lebih, sesuai dengan Pasal 106 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003. Dengan demikian, bagi perusahaan yang
jumlah pekerjanya kurang dari 50 orang maka komunikasi dan konsultasi masih
dapat dilakukan secara individual dengan baik dan efektif. Sedangkan bagi
perusahaan yang jumlah pekerjanya 50 orang atau lebih komunikasi dan konsultasi
dilakukan mengunakan sistem perwakilan melalui forum Bipartit. Apabila di satu
perusahaan belum terbentuk Serikat Pekerja atau Serikat Buruh maka anggota dari
unsur Pekerja/buruh yang ditunjuk oleh pekerja/buruh secara demokratis untuk
mewakili kepentingan pekerja/buruh di perusahaan bersangkutan di lembaga kerja
sarna Bipartit tersebut.
Susunan
keanggotaan lembaga kerja sarna Bipartit terdiri dari berikut ini.
a.
U nsur Pengusaha.
b.
Unsur Pekerja/Buruh yang ditunjuk
oleh pekerja/buruh secara dernokratis untuk mewakili kepentingan pekerja/buruh
di perusahaan yang bersangkutan.
Ketentuan mengenai tata cara
pembentukan dan susunan lembaga kerja sarna Bipartit diatur berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Pengertian Lembaga Kerja sarna Bipartit
Lembaga kerja sarna yang dibentuk oleh
perusahaan yang mernpekeriakan 50 orang atau lebih yang berfungsi sebagai forum
komunikasi dan konsultasi mengenai ketenagakerjaan, terdiri atas unsur
perwakilan pengusaha dan pekerja/buruh.
3.
Penyelesaian
Perselisihan di Tingkat Perusahaan (Bipartit)
Apabila
di sebuah perusahaan terjadi perselisihan hubungan industrial antara pekerja
dengan pihak pengusaha maka langkah awal haruslah diselesaikan di tingkat
perusahaan atau Bipartit. Apa yang dimaksud perselisihan hubungan industrial?
Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja atau
serikat pekerja karena adanya perselisihan
yang menyangkut mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan
pemutusan hubungan kerja, serta perselisihan antar Serikat Pekerja dalam satu
perusahaan. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial wajib dilaksanakan
secara musyawarah untuk mufakat, sebagaimana diatur dalam Pasal 136 ayat (1) UU
No 13 Tahun 2003. Apabila penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat tidak
tercapai maka pengusaha dan pekerja atau Serikat Pekerja dapat menyelesaikan
perselisihan hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian perselisihan
hubungan industrial yang diatur dalam Pasal 36 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003.
Sebelum
berlakunya UU No. 13 Tahun 2003 telah ada peraturan perundangan yang mengatur
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yaitu UU No. 22 Tahun
1957 (Lembaran Negara Tahun 1957 No. 42) tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan yang berlaku mulai 8 April 1957, dan peraturan pelaksanaannya adalah
Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep 15A/Men/1994 tentang Petunjuk
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan Pemutusan Hubungan Kerja di
Tingkat Perusahaan dan Pemerintah.
Prosedur
penyelesaian perselisihan hubungan industrial di tingkat perusahaan, dilakukan
melalui perundingan secara musyawarah untuk mufakat an tara Serikat Pekerja at
au gabungan Serikat Pekerja dengan pengusaha. Setiap perundingan sebanyak-banyaknya
dilakukan 3 (tiga) kali dalam jangka waktu paling lama satu bulan, dan setiap
kali perundingan dibuat risalah yang akan disampaikan kepada pihak -pihak yang
berkepentingan.
Risalah perundingan tersebut
harus memuat:
a.
nama dan alamat pekerja;
b.
nama dan alamat serikat pekerja;
c.
nama dan alamat pengusaha atau
yang mewakili;
d.
tanggal dan tempat perundingan;
e.
alasan dan masalah pokok
perselisihan, pendirian para pihak, kesirnpulan perundingan serta tanggal dan
tanda tangan para pihak yang melakukan perundin gan.
Apabila
perundingan rnencapai kesepakatan rnaka dibuat persetujuan bersama secara
tertulis dan ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh pengurus
Serikat Pekerja serta disampaikan hasil-hasilnya pada para pihak yang
berkepentingan. Apabila perundingan tidak rnencapai kesepakatan maka
perselisihan diajukan ke tingkat perantaraan. Kedua pihak dapat melakukan
rnelalui arbitrase atau melalui Departemen Tenaga Kerja dengan pemerantaraan.
Jika di tingkat pemerantaraan tidak berhasil maka diselesaikan di tingkat
Panitia Daerah (P4D) dan tingkat Panitia Pusat (P4P).
B.
LEMBAGA KERJA SAMA TRIPARTIT
1.
Pengertian Lembaga Kerja Sarna
Tripartit
Lernbaga
kerja sarna Tripartit adalah forum kornunikasi, konsultasi, dan musyawarah
tentang masalah ketenagakerjaan yang anggota-anggotanya terdiri dari un sur
pengusaha, Serikat Pekerja atau Serikat Buruh dan pernerintah.
Peran
Pernerintah di sini berfungsi rnenetapkan kebijakan, memberikan pelayanan,
rnelaksanakan pengawasan dan rnelaksanakan penindakan terhadap pelanggaran
peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
Pekerja
atau Buruh dan juga Serikat Pekerja atau Buruh dalam hubungan industrial
berfungsi: rnenjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga
ketertiban derni kelangsungan produksi, rnenyalurkan aspirasi secara
dernokratis, mernajukan perusahaan, rnernperjuangkan kesejahteraan anggota dan
keluarganya.
Pengusaha
dalam hubungan industrial berfungsi menciptakan kernitraan, rnengembangkan
usaha, rnemperluas lapangan kerja dan rnemberikan kesejahteraan pekerjaiburuh
secara terbuka dernokratis dan berkeadilan.
2.
Struktur Lembaga Kerja Sarna
Tripartit
Lembaga
kerja sarna Tripartit berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 terdiri atas:
a. Lembaga
kerja sarna Tripartit nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota;
b.
Lernbaga kerja sarna Tripartit
sektoral nasionaJ, Provinsi, dan KabupateniKota.
Tugas
pokok lernbaga kerja sarna Tripartit di antaranya mernberikan masukan-masukan
dan pendapat-pendapat dalarn pembuatan peraturan perundang-undangan di bidang
Ketenagakerjaan sehingga peraturan perundang-undangan yang di keluarkan
tersebut dapat diterirna oleh para pihak yang terkait dengan masalah
ketenagakerjaan dan tidak menimbulkan keresahan baik pada pihak pengusaha
maupun pekerja atau buruh. Guna mencapai rnaksud tersebut lembaga kerja sarna
Tripartit melakukan kegiatankegiatan sebagai berikut.
a.
Melakukan konsultasi dan
komunikasi dengan pemerintah, organisasi pengusaha, dan Serikat Pekerja atau
Serikat Buruh untuk menyelesaikan masalah - masalah ketenagakerj aan.
b.
Menampung dan mengolah usul-usul
dan saran-saran dari pemerintah, organisasi pengusaha, dan Serikat Pekerja atau
Serikat Buruh.
c.
Mernbina kerja sama yang
sebaik-baiknya antara pengusaha, gabungan pengusaha, dan Serikat Pekerja atau
Serikat Buruh agar tercipta iklirn ketenagakerjaan yang kondusif.
d.
Menyampaikan masukan-rnasukan
kepada pemerintah dalam membuat keputusan agar dapat diterima semua pihak.
C.
PENYELESAIAN
PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (PPHI)
1.
Pengertian
Perselisihan Hubungan Industrial
Perselisihan
Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan
antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau Serikat
PekerjafSerikat Buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisiban
kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan
antar-Serikat Pekerja/Serikat Buruh banya dalam satu perusahaan. Sesuai dengan
definisi tersebut maka Perselisihan Hubungan Industrial, meliputi Perselisihan
Hak; Perselisihan Kepentingan; Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja; dan
Perselisihan antar-Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam satu perusahaan.
Sejak diterbitkannya
Undang-undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan,
pemerintah membentuk:
a.
Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Daerah (P4D) di Daerah Tingkat 1.
b.
Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Pusat (P4P) yang berkedudukan di Ibu Kota Negara.
Penyelesaian
perselisihan perburuhan dilakukan P4D dan P4P secara musyawarah berdasarkan
hukum, perjanjian yang ada, kebiasaan, keadilan, dan kepentingan negara.
Keanggotaan P4D dan P4P terdiri atas unsur pengusaha, pekerja/buruh dan
pemerintah. Penyelesaian oleh P4D dan P4P bersifat sangat cepat karena hukum
acaranya sangat sederhana dan pengusaha maupun buruh dibebaskan dari segala
biaya perkara. Putusan P4D yang tidak dimintakan banding ke P4P dan putusan P4P
yang tidak diveto Menteri Tenaga Kerja, bersifat mengikat dan final sehingga
harus dilaksanakan oleh para pihak yang berselisih.
Pada saat
ini, Undang-undang No. 22 Tahun 1957 sudah dianggap tidak sesuai lagi karena hanya
mengatur penyelesaian perselisihan hubungan kerja dan tidak mengatur
perselisihan hubungan industrial lainnya. Selain itu, undang-undang tersebut
juga hanya memperbolehkan pengusaha dan serikat pekerjafserikat buruh sebagai
pihak dalam beracara serta tidak mengakui pekerja/buruh perorangan sebagai
pihak dalam beracara. Apalagi setelah diberlakukannya Undang-undang No.5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Us aha Negara, putusan P4D dan P4P dirasakan tidak
efisien lagi. Hal ini karena lembaga P4D dan P4P berada di luar Undang-undang
No.14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman sehingga putusannya
menjadi bersifat administratif, sarna seperti putusan dari Lembaga
Adrninistrasi Negara yang lain, yaitu dapat digugat dan dituntut ke Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara (PT-TUN). Sementara putusan PT -TUN dapat dimohonkan
kasasi ke Mahkamah Agung sehingga proses penyelesaiannya menjadi lebih lama dan
berlarut-larut.
Hal ini mengakibatkan penyelesaian perselisihan
tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan hubungan industrial yang begitu
cepat sehingga perlu dicari mekanisme atau cara penyelesaian lain yang lebih
cepat dan lebih baik. Untuk mengakomodasi kelemahan pada undang-undang
sebelumnya maka diterbitkan UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Dengan diterbitkannya UU terse but
maka dasar hukum PPHI yang berlaku pada saat ini
secara keseluruhan mengacu pada UU No.2 Tahun 2004.
2.
Unsur-unsur yang Menimbulkan
Perselisihan Hubungan Industrial
Dari
hasil pengamatan di lapangan yang dilakukan oleh penulis yang lebih banyak
menangani rnasalah ketenagakerjaan, bahwa timbulnya perselisihan hubungan
industrial lebih banyak disebabkan oleh faktor adanya keresahan dan
perselisihan yang terjadi pada karyawan akibat adanya kebijakan manajemen yang
tidak kondusif maupun karena sebab lain. Jika sumber keresahan tidak segera
diidentifikasi dan ditangani dengan baik rnaka akan timbul konflik yang dapat
berkembang menjadi sumber perselisihan. Ciri khas adanya keresahan di sebuah
perusahaan dapat ditandai apabila terjadi keresahan yang menyangkut baik
perorangan, kelompok maupun seluruh pekerja karena rasa ketidakpuasan,
kegelisahan dan ketakutan. Perselisihan akan timbul jika pernecahan masalah
dianggap tidak memuaskan atau tidak mencapai titik temu an tara pekerja/wakil
pekerja dengan pengusahalwakil pengusaha.
Beberapa
penyebab keresahan, an tara lain berikut ini.
a.
Mutu rnanajemen yang lemah dalam
pernbinaan hubungan antarmanusia
di lingkungan perusahaan.
b.
Kesadaran hukum pekerjalserikat
pekerja yang semakin meningkat.
c.
Pendapatan pekerja yang relatif
rendah.
d.
Persaingan yang tidak sehat antar
perusahaan yang sejenis.
e.
Perubahan dalam teknologi,
kekhawatiran akan ketidakrnampuan karena tidak menguasai teknologi akan
menimbulkan PHK.
f.
Ketidakserasian hubungan antara
pekerjaJorganisasi pekerja dengan pengusaha dan perbedaan pola pikir yang
terlalu ekstrem.
g.
Peraturan-peraturan bidang
ketenagakerjaan yang ditafsirkan secara berbeda-beda,
h.
Kelemahan pembinaan pekerja oleh
Organisasi Pekerja atau oleh manajernen.
i.
Kecemburuan sosial sehubungan dengan adanya perbedaan yang
mencolok dalam pendapatan.
Sesuai UU
No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU
PPHI), jenis perselisihan hubungan industrial dibagi menjadi empat kelompok:
a.
Perselisihan Hak adalah
perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan
pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan perundang-undangan, perjanjian
kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
b.
Perselisihan Kepentingan adalah
perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian
pendapat mengenai pembuatan dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang
ditetapkan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama.
c.
Perselisihan PHK adalah
perseJisihan yang timbul akibat tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai
pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak (pengusaha dan
pekerja),
d.
Perselisihan antar-Serikat
Pekerja merupakan perselisihan antara Serikat Pekerja yang satu dengan Serikat
Pekerja lainnya hanya dalam satu perusahaan, disebabkan karena tidak adanya
kesesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban dalam
lembaga Serikat Pekerja.
3.
Proses Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial
Mengingat
Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Peradilan hanya mengenal 4
(empat) jenis peradilan, yaitu Pengadilan Umum, Pengadilan Agama, Pengadilan
Militer dan Pengadilan Tata Usaha Negara maka tidak mungkin membentuk Peradilan
Hubungan Industrial secara tersendiri. Guna menyelesaikan hal ini maka
pemerintah bersama DPR telah menerbitkan UU No.2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Hubungan Industrial. Menurut UU tersebut Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial dapat dilakukan melalui 2 cara, yaitu sebagai berikut.
a.
Penyelesaian melalui pengadilan,
yaitu perselisihan hubungan industrial pada pengadilan negeri.
b.
Penyelesaian di luar pengadilan
melalui Bipartit, Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase.
Dengan
mengacu pada UU No. 22 Tahun 1957, prosedur Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial sebelum berlakunya Pengadilan Hubungan Industrial dapat digambarkan
dalam bagan sebagai berikut.
|
|
Pengusaha
|
Pekerja/Serikat
|
Pekerja/Gabungan
SP
|
|
|
I
|
|
|
Arbitrase
|
Mediasi oleh
Pegawai Perantara
|
|
Kantor
Depnaker
|
|
|
|
!
|
|
P 4 Daerah
|
|
1
|
|
|
Fiat
Eksekusi
|
P 4 Pusat
|
Pengadilan
Negeri
|
|
|
!
|
|
|
|
PT. TUN
|
|
Pengadilan
Tinggi Tata Usaha
|
|
Negara
Gugatan terhadap
|
|
Putusan P4P
|
|
I
|
|
Mahka';ah
Agung
|
|
KASASI
|
Sejak
diberlakukannya Undang-undang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yang baru
CUU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI), proses Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial secara khusus dijabarkan pada Pasal 124, seperti berikut ini.
a.
Sebelum
terbentuk Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59,
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah dan Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan Pusat tetap melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.
Dengan
terbentuknya Pengadilan Hubungan Industrial berdasarkan undang-undang ini,
Perselisihan Hubungan Industrial dan Pemutusan Hubungan Kerja yang telah
diajukan kepada:
1)Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah atau lembagalembaga lain yang
setingkat yang menyelesaikan perselisihan hubungan industrial atau pemutusan
hubungan kerja dan belum diputuskan rnaka diselesaikan oleh Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
2)
Putusan Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan Daerah atau Iernbaga-lembaga lain sebagairnana dimaksud
pada angka (1) yang ditolak dan diajukan banding oleb salah satu pibak atau
para pihak dan putusan tersebut diterirna rnasih dalarn tenggang waktu 14
(ernpat belas) hari maka diselesaikan oleh Mahkamah Agung.
3)
Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Pusat atau lembagalernbaga lain yang setingkat yang menyelesaikan
perselisihan hubungan industrial atau pemutusan hubungan kerja dan belurn diputuskan
rnaka diselesaikan oleh Mahkamah Agung.
4)
Putusan Panitia Penyelesaian
Perselisiban Perburuhan Pusat atau lembaga-Iembaga lain sebagairnana dimaksud
pada angka 3 yang ditolak dan diajukan banding oleh salah satu pihak atau para
pihak dan putusan tersebut diterirna masih dalam tenggang waktu 90 (sernbilan
puluh) hari maka diselesaikan oleh Mahkamah Agung.
Dari ketentuan di atas dapat
dilihat bahwa jika Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) ini bel urn terbentuk
maka penyelesaian sengketa perburuhan/hubungan industrial rnasih rnenggunakan
peraturan perundangundangan yang berlaku, yakni putusan Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) dapat diajukan banding ke P4P, sementara
putusan P4P dapat diajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Us aha Negara
(TUN).
Pertanyaan
yang mungkin timbul adalah bagaimana jika pada saat putusan P4D dibacakan
Pengadilan PHI belurn terbentuk, akan tetapi setelah perkara tersebut
dilirnpahkan ke P4P Pengadilan PHI terbentuk? Atas perkara yang demikian maka
berdasarkan Pasal 124 ayat (2) c perkara tersebut hams dilirnpahkan ke MA untuk
diselesaikan oleh MA (dengan rnenggunakan UU PHI sebagai hukurn acaranya). Jika
putusan P4P sudah dikeluarkan dan Pengadilan PHI sudah terbentuk rnaka atas
putusan P4P ini dapat diajukan kasasi ke MA, bukan lagi ke PT TUN, tentunya
jika batas waktu upaya hukum belum dilewati, yaitu 90 hari.
a.
Penyelesaian di Tingkat
Perusahaan/Bipartit
Sebelurn perselisihan diajukan
kepada lernbaga penyelesaian perselisihan maka setiap perselisihan wajib
diupayakan penyelesaiannya secara Bipartit, yaitu musyawarah antara pekerja dan
pengusaha. Proses Bipartit ini harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh)
hari. Jika melewati 30 hari salah satu pihak dapat menolak untuk berunding atau
perundingan tidak mencapai kesepakatan maka salah satu atau kedua belah pihak
harus mencatatkan perselisihannya ke Dinas Tenaga Kerja setempat.
Penyelesaian perselisihan di
tingkat perusahaan/Bipartit pada prinsipnya diselesaikan secara musyawarah
antara pihak pekerja atau serikat pekerja dengan pihak pengusaha atau yang
mewakilinya. Apabila perundingan mencapai kesepakatan maka perlu dibuat
persetujuan bersama secara tertulis yang ditandatangani oleh para pihak dan
disaksikan oleh pengurus Serikat Pekerja atau Organisasi Pekerja lainnya serta
disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, Apabila perundingan tidak
mencapai kesepakatan di tingkat perusahaan, maka perselisihan diajukan ke
tingkat perantaraan. Kedua pihak dapat melakukan melalui arbitrase atau
rnelalui kantor Departemen Tenaga Kerja dengan pemerantaraan. Arbitrase adalah
bentuk penyelesaian secara mengikat dari suatu perselisihan oleh seorang atau
suatu badan yang dipilih oleh pihak-pihak yang berselisih. Penyelesaian
perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase dalam UU No. 22 Tahun 1957
disebut sebagai melalui juru pernisah (satu orang) atau dewan pernisah jika
lebih dari satu orang.
Prosedur penyelesaian di tingkat
perusahaanIBipartit ketentuannya adalah sebagai berikut.
a.
Bipartit
diselesaikan paling lama 30 hari kerja, apabila terjadi dead lock maka
Bipartit dianggap gagal dan salah satu atau kedua pihak mencatatkan
perselisihannya kepada instansi ketenagakerjaan atau Departemen Tenaga Kerja
dengan melampirkan bukti bahwa upaya Bipartit telah gagal. Apabila dalam
Bipartit tercapai kesepakatan maka dibuatkan Perjanjian Bersama (PB) yang
didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
b.
Instansi
ketenagakerjaan menawarkan untuk mernilih penyelesaian melalui konsiliasi atau
arbitrase. Dalam perundingan Bipartit diperlukan risalah perundingan. Risalah
perundingan tersebut harus berisi:
1)
Nama
lengkap dan alamat para pihak.
2)
Tanggal
dan temp at perundingan.
Pokok masalah atau alasan
perselisihan.
4)
Pendapat
para pihak.
5)
Kesimpulan
atas hasil perundingan.
6)
Tanggal
serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan.
Prosedur
penyelesaian di tingkat perusahaan/Bipartit secara ringkas dapat dijelaskan
sebagai berikut.
a. Penyelesaian
Perselisihan (PPHI) menurut Pasal 6 dan Pasal 7 UU PPHI
|
|
|
|
|
|
Perselisihan Industrial:
|
|
|
|
|
|
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
1.
|
Perselisihan
Hak
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
2.
|
Perselisihan
|
|
|
|
|
|
|
||
|
|
|
|
|
|
|
|
Kepentingan
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
3.
|
Perselisihan
PHK
|
|
|
|
|
|
|
||
|
|
|
|
|
|
4.
|
Perselisihan antara
|
|
|
|
|
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
|
SP/SB
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BIPARTIT
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
!
|
|
|
|
|
|
|
|
|
!
|
|
|
||
|
|
Tidak Sepakat
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Sepakat
|
|
|
||
|
|
!
|
|
|
|
|
|
|
|
|
~
|
|
|
||
|
|
Memilih
|
|
|
|
|
|
|
|
Perjanjian
Bersama
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Konsili asi atau Arbitrase
|
|
|
|
|
|
Didaftarkan
|
|
|
|||||||
|
|
+
|
|
|
|
|
|
|
|
|
+
|
|
|
||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||
|
|
Mediasi
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Eksekusi
|
|
|
Catatan:
1
Para
pihak mencatatkan perselisihan
2
Menyampaikan
bukti -bukti
3
Tawaran
untuk penyelesaian dengan arbitrase/konsiliasi
4
Dalam
7 hari harus ada pilihan
b.
Penyelesaian Perselisihan melalui
Konsiliasi
Konsiliasi adalah lembaga
penyelesaian perselisihan yang berwenang untuk menjadi penengah dalam berbagai
bentuk perselisihan, yaitu sebagai berikut.
1)
Perselisihan
Kepentingan.
2)
Perselisihan
PHK.
3)
Perselisihan
antar-Serikat Pekerja.
Orang
yang bertugas sebagai penengah disebut konsiliator, yaitu orang yang
memenuhi syarat-syarat sesuai ketetapan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
yang tugasnya memberikan anjuran secara tertulis kepada para pihak yang
berselisih. Jika proses konsiliasi tidak mencapai kesepakatan maka salah satu
pihak dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan hubungan industrial.
c.
Penyelesaian melalui Arbitrase
Arbitrase
adalah lembaga yang berwenang untuk menjadi wasit dalam Perselisihan
Kepentingan, dan Perselisihan antar-Serikat Pekerja. Bertugas menjadi wasit
adalah arbitrer. Para arbitrer ini dapat dipilih oleh para pihak yang
berselisih dari daftar arbitrer yang telah ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja
dan Transrnigrasi. Penyelesaian perselisihan melalui arbitrase ini sesuai
ketentuan yang tercanturn dalarn Pasal 29 sid
Pasal 54 UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI. Ringkasan proses
penyelesaian perselisihan dapat digambarkan dalam bagan berikut ini.
d.
Penyelesaian melalui Mediasi
Mediasi adalah lembaga penyelesaian perselisihan melalui
perantaraan/media perselisihan yang dapat semua jenis perselisihan dapat
diselesaikan melalui lembaga ini. Lembaga mediasi ini pada dasarnya hampir
sarna dengan lembaga perantaraan di mana penyelesaian dilaksanakan oleh pegawai
perantara dan Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) sebagaimana yang telah kita kenaI.
Petugas yang melakukan mediasi disebut mediator adalah pegawai Dinas Tenaga
Kerja yang akan memberikan anjuran secara tertulis kepada para pihak yang
berselisih.
Perbedaannya adalah jika sebelumnya setiap perselisihan
wajib melalui proses perantaraan (mediasi) terlebih dahulu maka berdasarkan UU
PPHI ini (selain perselisihan hak) , pihak Disnaker terlebih dahulu menawarkan
kepada para pihak untuk dapat memilih konsiliasi atau arbitrase (tidak langsung
rnelakukan mediasi). Para pihak diberi waktu 7 hari untuk tidak menetapkan
pilihan, apakah konsiliasi atau arbitrase jika dalam jangka
waktu tersebut para pihak menerapkan pilihannya, maka penyelesaian kasus akan
dilimpahkan kepada mediator.
Adapun terhadap
perselisihan hak, setelah menerima pencatatan hasil penyelesaian perselisihan
secara Bipartit maka Disnaker wajib meneruskan penyelesaian perselisihan kepada
mediator. Hal ini dikarenakan Pengadilan Hubungan Industrial hanya dapat
menerima gugatan perselisihan hak yang telah melalui proses mediasi. Setelah
menerima pelimpahan perselisihan maka mediator wajib menyelesaikan tugasnya
selambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan
perselisihan. Jika penyelesaian melalui mediasi tidak mencapai kesepakatan maka
salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan
Industrial.
Syarat-syarat
penyelesaian melalui mediasi adalah sebagai berikut.
1)
Dilakukan
oleh seorang mediator yang ditunjuk.
2)
Paling
lambat 7 hari setelah menerima pelimpahan perselisihan harus sudah mengadakan
penelitian tentang duduk perkaranya.
3)
Apabila
tercapai kesepakatan dibuatkan Perjanjian Bersama (PB).
4)
Apabila
tidak tercapai kesepakatan, mediator mengeluarkan anjuran tertulis yakni
pendapat atau saran tertulis yang diusulkan mediator kepada para pihak dalam
upaya penyelesaian perselisihan para pihak terkait.
5)
Mediator
menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja terhitung
sejak menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan.
e.
Penyelesaian di Pengadilan
Hubungan Industrial
Pengadilan
Hubungan Industrial adalah
lembaga peradilan yang berwenang memeriksa dan memutus semua jenis
perselisihan, Hakim yang memeriksa dan memutus perselisihan tersebut di at as
terdiri dari hakim dari lembaga peradilan dan hakim Ad Hoc. Pad a pengadilan
ini, Serikat Pekerja dan organisasi pengusaha
dapat bertindak sebagai kuasa hukum mewakili anggotanya. Untuk pertama
kalinya Pengadilan Hubungan Industrial akan dibentuk pada setiap pengadilan
negeri yang berada di setiap ibu kota provinsi yang daerah hukumnya meliputi
provinsi yang bersangkutan. Adapun di Kabupaten/Kota terutama yang padat
industri, berdasarkan Keputusan Presiden harus segera dibentuk Pengadilan
Hubungan Industrial pada pengadilan negeri setempat.
Pengadilan Hubungan Industrial
bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:
a.
Tingkat pertarna mengenai
perselisihan hak.
b.
Tingkat pertama dan terakhir
mengenai perselisihan kepentingan.
c.
Tingkat pertama mengenai
perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
d.Tingkat
pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar-Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Dalam hubungan industrial dikenal
2 bentuk, yaitu Lembaga Kerja sarna Bipartit rnenyangkut hubungan dua pihak
antara pengusaha dan pekerjanya saja, sedangkan lernbaga kerja sarna Tripartit
adalah hubungan yang menyangkut hubungan pernerintah, pekerja dan pengusaha.
Struktur Lembaga Kerja sarna
Tripartit, sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2003 terdiri atas berikut ini.
1.
Lernbaga kerja sarna Tripartit
nasional, provinsi dan kabupatenlkota.
2.
Lernbaga kerja sarna Tripartit
sektoral nasional, provinsi dan kabupatenlkota.
Pernerintah bersama DPR telah
menerbitkan UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial yang
mernpunyai tugas utarna untuk rnenengahi penyelesaian perselisihan hubungan
industrial dapat dilakukan rnelalui 2 cara, yaitu sebagai berikut.
1.
Penyelesaian rnelalui pengadilan
perselisihan hubungan industrial pada pengadilan negeri.
2.
Penyelesaian di luar pengadilan
melalui Bipartit, Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase.
KEGIATAN BELAJAR
2
Ketentuan Mogok Kerja dan
Penutupan Perusahaan
Mogok
kerja dan penutupan perusahaan (lock out) merupakan bagian penting dalam
hubungan industrial. Mogok kerja bagi pihak pekerja merupakan instrumen penting
untuk menolak atau menyampaikan aspirasi terhadap kebijakan perusahaan yang
dianggap tidak sesuai dengan kepentingan atau hak-hak pekerja. Demikian
sebaliknya, penutupan perusahaan juga dianggap sebagai jalan keluar bagi
pengusaha ketika menghadapi kepailitan atau perusahaan dianggap sudah tidak
mampu lagi beroperasi karena terus merugi atau karena sebab lain yang
menimbulkan perusahaan harus ditutup. Mengingat mogok kerja dan penutupan
perusahaan memiliki hubungan timbal balik berupa tarik menarik dari dua
kepentingan yang berbeda antara pekerja dan pengusaha maka mogok kerja dan
penutupan perusahaan perlu diatur sedemikian rupa agar dampak dari mogok kerja
dan penutupan perusahaan dapat diselesaikan dengan baik.
A. KETENTUAN MOGOK KERJA
Dasar
hukum mogok kerja diatur pada Pasal 143 UU No. 13 Tahun 2003, yang berbunyi
"Siapa pun tidak dapat menghalang-halangi pekerja dan serikat pekerja
untuk menggunakan hak mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib dan
damai".
Mogok
kerja adalah tindakan pekerjalburuh yang direncanakan dan dilaksanakan secara
bersama-sama dan/atau oleh Serikat PekerjaiSerikat Buruh untuk menghentikan at
au memperlambat pekerjaan. Penyebabnya sangat beragam, intinya adalah bentuk
protes para pekerjalburuh at au Serikat Pekerja/Buruh terhadap kebijakan yang
dikeluarkan perusahaan yang tidak bisa diterima oleh pihak pekerjalburuh atau
Serikat PekerjalB uruh. Mogok kerja dilakukan apabila perundingan menemui jalan
buntu.
Mogok
kerja sebagai hak dasar pekerjalburuh dan Serikat PekerjaiSerikat Buruh harus
dilakukan secara sah, tertib, dan damai. Ajakan untuk mogok kerja pada saat
bekerja berlangsung harus dengan tidak melanggar hukum. Pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan tersebut diancam pidana paling singkat 1 (satu) bulan dan
paling lama 4 (empat) bulan danJatau denda paling sedikit RpIO.OOO.OOO,OO dan
paling banyak Rp400.000.000,OO. Pekerja/buruh yang diajak mogok dapat memenuhi
atau tidak memenuhi ajakan tersebut. Mogok kerja dikatakan sah jika sekurangkurangnya
dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum pelaksanaan pekerja/buruh dan Serikat
PekerjaJSerikat Buruh memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan
instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan setempat tentang
maksud dilakukannya mogok kerja.
Surat
pemberitahuan mogok kerja itu sekurang-kurangnya memuat, seperti berikut ini.
1. Waktu
(hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja.
2. Tempat mogok kerja dilakukan.
3. Alasan dan sebab melakukan mogok kerja.
4.
Tanda tangan Ketua dan Sekretaris
dan/atau masing-masing Ketua dan Sekretaris Serikat PekerjaJSerikat Buruh sebagai
penanggung jawab mogok kerja. Apabila mogok kerja dilakukan oleh pekerja/buruh
yang tidak menjadi anggota Serikat PekerjaJSerikat Buruh maka pemberitahuan
tersebut dilakukan oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai
koordinator danJatau penanggung jawab mogok kerja.
Terhadap
mogok kerja yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuanketentuan tersebut
maka untuk menyelamatkan alat produksi dan aset-aset perusahaan, pengusaha
dapat mengambil tindakan semen tara sebagai berikut.
I.
Melarang para pekerja/buruh yang
mogok kerja berada di lokasi proses produksi.
2.
Apabila dianggap perlu, melarang
pekerjaJburuh yang mogok kerja berada di lokasi perusahaan.
Pihak
instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan
pengusaha yang menerima Surat Pemberitahuan mogok kerja tersebut wajib
memberikan tanda terima. Sebelum dan selama mogok kerja berlangsung, instansi
pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan (Disnaker) wajib
menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya pemogokan dengan cara
mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih. Apabila
perundingan menghasilkan kesepakatan maka harus dituangkan dalarn Perjanjian
Bersama yang ditandatangani para pihak dan pegawai dari Transmigrasi
sebagai saksi. Apabila perundingan tidak juga menghasilkan kesepakatan antara
para pihak maka pemerintah segera melimpahkan masalah yang menjadi penyebab
timbulnya mogok kerja kepada Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial (LPPHI) yang berwenang dengan ketentuan atau saran bahwa mogok kerja
dapat diteruskan atau dihentikan untuk sementara waktu atau dihentikan sarna
sekali secara permanen.
Untuk
mogok kerja yang dilakukan secara sah, pengusaha dilarang melakukan hal,
seperti berikut ini.
1.
Mengganti pekerja/buruh yang
mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar perusahaan.
2.
Memberikan sanksi atau tindakan
balasan dalam bentuk apa pun kepada pekerja/buruh dan pengurus Serikat
PekerjaiSerikat Buruh selama dan sesudah melakukan mogok kerja.
Terhadap
pelanggaran ketentuan ini pengusaha dapat dikenai sanksi pidana kurungan paling
singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
paling sedikit RplO.OOO.OOO,OO (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak
RplOO.OOO.OOO,OO (seratus juta rupiah). Sedangkan bila mogok kerja secara sah
dilakukan oleh pekerja/buruh dalam rangka menuntut hak normatif yang
sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha maka selama melakukan mogok kerja,
pekerja/buruh tetap berhak mendapatkan upah. Mogok kerja merupakan hak dasar
pekerja/buruh sehingga siapa pun tidak dapat menghalang-halangi pekerja/buruh
dan Serikat PekerjaiSerikat Buruh untuk menggunakan hak mogok kerja serta
melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap pekerja/buruh dan pengurus
Serikat PekerjaiSerikat Buruh yang melakukan mogok kerja asal dilakukan secara
sah, tertib, dan damai sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dianggap menghalang-halangi dalam
hal ini adalah sebagai berikut.
1.
Menjatuhkan
hukuman.
2.
Mengintimidasi
dalam bentuk apa pun.
3.
Melakukan
mutasi yang merugikan.
Pelanggaran
terhadap ketentuan mogok kerja dapat diancam pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling sedikit
Rpl00.000.000,00 dan paling banyak Rp400.000.000,00. Walaupun merupakan hak
dasar pekerjalburuh, pelaksanaan mogok kerja pada perusahaan yang melayani
kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan jiwa
manusia, seperti rumah sakit, dinas pemadam kebakaran, penjaga pintu
perlintasan kereta api, pengontrol pintu air, arus lalu lintas atau pengatur
arus lalu lintas laut harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak membahayakan
atau menelantarkan kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang
lain.
B. PENUTUPAN PERUSAHAAN (LOCK OUT)
Penutupan
perusahaan atau biasa dikenal dengan istilah lock out merupakan hak
dasar pengusaha untuk menolak pekerjalburuh sebagian atau seluruhnya untuk
menjalankan pekerjaan sebagai akibat gagalnya perundingan. Penutupan perusahaan
tidak dibenarkan dilakukan sebagai tindakan balasan sehubungan adanya tuntutan
normatif dari pekerja atau Serikat Pekerja (Pasal146 UU No. 13 Tahun 2003).
Penutupan
perusahaan dilarang dilakukan bagi perusahaan yang rnelayani kepentingan umum
dan/atau jenis kegiatan yang membahayakan keselamatan jiwa manusia, meliputi
rumah sakit, pelayanan jaringan air bersih, pusat pengendali telekomunikasi,
pusat penyedia tenaga listrik, pengolahan rninyak, dan gas burni serta kereta
api.
Dalam hal
rnelakukan penutupan perusahaan, pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis
kepada pekerjalburuh dan/atau S eri kat PekerjaiSerikat Buruh serta instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan rnisalnya Dinas Tenaga Kerja
seternpat sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum penutupan perusahaan
dilakukan. Surat pemberitahuan tersebut sekurang-kurangnya rnernuat, seperti
berikut ini.
1.
Waktu (hari, tanggal, dan jam)
dimulai dan diakhiri penutupan perusahaan.
2.
Alasan dan sebab-sebab melakukan
penutupan perusahaan.
3.
Tanda tangan pengusaha dan/atau
pimpinan perusahaan.
Pemberitahuan
mengenai rencana pemogokan tidak perlu dilakukan, dalam hal berikut ini.
1.
Pekerja atau Serikat Pekerja
melanggar prosedur mogok kerja, yaitu tanpa memberitahukan terlebih dahulu
kepada pengusaha atau instansi Depnaker dan Transmigrasi.
2.
Pekerja atau Serikat Pekerja
melanggar ketentuan normatif yang ditentukan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja
bersama, atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pekerja/buruh
dan/atau Serikat PekerjaiSerikat Buruh dan instansi pemerintah yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan yang menerima secara langsung surat
pemberitahuan penutupan perusahaan harus memberikan tanda bukti penerimaan
dengan mencantumkan hari, tanggal, dan jam penerimaan. Penutupan perusahaan yang
dilakukan tanpa pemberitahuan merupakan tindak pidana pelanggaran yang diancam
pidana denda paling sedikit Rp5.000.000,OO (lima juta rupiah) dan paling banyak
Rp50.000.000,OO (lima puluh juta rupiah).
Apabila
pengusaha menutup perusahaan karena balas den dam atas tuntutan normatif
pekerjaan batasan tersebut dilanggar harus membayar upah pekerja/buruh selama
penutupan perusahaan dilakukan. Sebelum dan selama penutupan perusahaan
berlangsung Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi berwenang langsung menyelesaikan
masalah yang menyebabkan timbulnya penutupan perusahaan dengan mempertemukan
dan merundingkannya para pihak yang berselisih. Apabila perundingan tersebut
menghasilkan kesepakatan maka harus dituangkan dalam perjanjian bersama yang
ditandatangani para pihak dan pegawai instansi pemerintah sebagai saksi. Dalam
hal perundingan tidak menghasilkan kesepakatan maka pegawai pernerintah
tersebut segera rnelirnpahkan rnasalah yang rnenyebabkan penutupan perusahaan
kepada Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Selama
penyelesaian rnasalah oleh Lernbaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial dilakukan maka berdasarkan kesepakatan penutupan perusahaan dapat
diteruskan, atau dihentikan sementara waktu atau dihentikan sarna sekali secara
perrnanen.
R
A N G K U M A N
1.
Mogok kerja dan penutupan
perusahaan (lock out) merupakan bagian terpenting dalam hubungan industrial.
Baik mogok kerja maupun penutupan perusahaan merupakan hak dasar yang dirniliki
oleh masing-masing pihak.
2.
Dasar hukum mogok kerja diatur
dalam Pasal 143 UU No. 13 Tahun 2003. Buruh atau Serikat Pekerja yang akan
merencanakan akan melakukan mogok kerja wajib memberitahukan secara tertulis
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kepada pengusaha dan pihak berwenang lainnya.
ApabiJa dilanggar akan dikenakan sanksi denda dan hukum pidana.
Penutupan
perusahaan atau lock out merupakan
hak dasar pengusaha untuk menolak pekerjalburuh sebagian at au seluruhnya untuk
menjalankan pekerjaan sebagai akibat gagalnya perundingan. Dasar hukum lock out diatur dalam Pasal 146 UU
No. 13 Tahun 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar