Senin, 26 Agustus 2019

Hukum Ketenagakerjaan. Modul 6


MODUL 6
Hubungan Industrial
Purbadi Hardjoprajitno, S.H, M.Hum.
Drs. Saefulloh Tiesnawati Wahyuningsih, S.H.
P E N DA H U L U A N
Hubungan industrial adalah suatu sistern hubungan yang terbentuk antar para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pernerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Prinsip dasar diperlukannya hubungan industrial adalah agar para pihak khususnya pekerja dan pengusaha bisa rnemaksimalkan nilai manfaat dalam bekerja. Pengusaha ingin rnendapatkan keuntungan rnaksirnal dan para pekerja ingin mendapatkan kesejahteraan dan rasa aman. Untuk menciptakan hubungan industrial yang kondusif tersebut maka diaturlah ketentuan hubungan industrial masing­rnasing pihak. Para pihak yang terkait dengan hubungan industrial, rneliputi Serikat PekerjaiBuruh, Organisasi Pengusaha, Lernbaga Kerja sama Bipartit, Lembaga Kerja sarna Tripartit, Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja Bersama, Peraturan Perundang-undangan Ketenagakerjaan, Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Mogok Kerja dan Penutupan Perusahaan (Lock Out).
Para pihak yang akan dibahas dalarn rnodul ini, rneliputi berikut ini.
1.             Lernbaga Kerja sarna Bipartit.
2.             Lernbaga Kerja sarna Tripartit.
3.             Lernbaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
4.             Mogok Kerja.
5.             Penutupan Perusahaan (Lock Out).
Untuk rnengetahui lebih jauh kedudukan para pihak dalarn hubungan industrial, pada Modul 6 ini akan dijelaskan secara lebih rnernadai yang akan dijelaskan dalam dua kelornpok kegiatan belajar.

Kegiatan Belajar 1          : Lernbaga Kerja Sarna Bipartit, Tripartit, dan PPHI. Kegiatan Belajar 2                     :  Ketentuan Mogok Kerja dan Penutupan Perusahaan (Lock Out).
  

KEGIATAN BELAJAR 1
Lembaga Kerja Sarna Bipartit, Tripartit, dan PPHI

Pada Kegiatan Belajar 1 ini akan dijelaskan secara lebih memadai  mengenai pengertian lembaga kerja sarna Bipartit dan Tripartit, serta masalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial (PPHI). Diharapkan setelah membaca uraian pada kegiatan belajar ini, mahasiswa dapat memahami lebih jauh mengenai fungsi dan peran lembaga kerja sarna Bipartit, Tripartit, dan PPHI berkaitan dengan masalah ketenagakerjaan di Indonesia.

A. LEMBAGA KERJA SAMA BIPARTIT
1.             Pengertian Lembaga Kerja Sarna Bipartit
Di dalam suatu perusahaan kerap kali timbul persoalan-persoalan mendasar yang bisa mengganggu produktivitas kerja. Penyebabnya, antara lain komunikasi antara pekerja dan pengusaha atau pihak manajemen yang tidak lancar. Misalnya, secara diam-diam pekerja tidak puas atas pengaturan yang menyangkut jam kerja, upah lembur, PHK atau kenaikan gaji, biaya pengobatan. Ketidakpuasan ini tentu akan mengganggu kinerja mereka di perusahaan. Sebaliknya, pihak pengusaha kerap dianggap kurang tanggap terhadap aspirasi arus bawah. Demikian pula perusahaan juga menganggap tidak didukung penuh oleh karyawannya dalam upaya mencapai target.
Sistem komunikasi yang kurang sehat ini selain menimbulkan dampak menurunnya produktivitas juga akan menghambat aspek manajerial secara umum. Biasanya sistem komunikasi yang tidak lancar disebabkan karena peraturan yang ada di perusahaan, tidak dikomunikasikan dengan baik atau tidak di akomodasi dengan baik oleh karyawan atau bahkan peraturan itu sendiri tidak tegas dan tidak jelas. Nah, untuk melancarkan sistem komunikasi dua arah antara bawahan dengan atasan, antara karyawan dengan pengusaha maka dibuatlah satu forum komunikasi, kemudian dikenal dengan nama lembaga kerja sama Bipartit. Fungsinya sebagai media untuk saling berbagi dan saling mendengarkan aspirasi dari masing-rnasing pihak khususnya untuk mempertemukan dua kepentingan antara kepentingan bawahan dan atasan atau kepentingan karyawan dan pengusaha.

2.              Fungsi dan Tugas Lembaga Kerja Sarna Bipartit
Untuk mernperdalam mengenai kedudukan, fungsi, dan tugas lembaga kerja sarna Bipartit berikut dijelaskan secara singkat mengenai pengertian lembaga kerja sarna Bipartit beserta aturan-aturan yang menyertainya. Secara umum lembaga kerja sarna Bipartit dapat didefinisikan sebagai badan atau forum komunikasi dan konsultasi, berkaitan dengan masalah hubungan industrial di suatu perusahaan. Anggotanya terdiri dari pengusaha dan Serikat Pekerja/Buruh yang sudah tercatat sebagai instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Lembaga kerja sarna Bipartit wajib dibentuk oleh setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/buruh atau lebih, sesuai dengan Pasal 106 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003. Dengan demikian, bagi perusahaan yang jumlah pekerjanya kurang dari 50 orang maka komunikasi dan konsultasi masih dapat dilakukan secara individual dengan baik dan efektif. Sedangkan bagi perusahaan yang jumlah pekerjanya 50 orang atau lebih komunikasi dan konsultasi dilakukan mengunakan sistem perwakilan melalui forum Bipartit. Apabila di satu perusahaan belum terbentuk Serikat Pekerja atau Serikat Buruh maka anggota dari unsur Pekerja/buruh yang ditunjuk oleh pekerja/buruh secara demokratis untuk mewakili kepentingan pekerja/buruh di perusahaan bersangkutan di lembaga kerja sarna Bipartit tersebut.
Susunan keanggotaan lembaga kerja sarna Bipartit terdiri dari berikut ini.
a.              U nsur Pengusaha.
b.              Unsur Pekerja/Buruh yang ditunjuk oleh pekerja/buruh secara dernokratis untuk mewakili kepentingan pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.

Ketentuan mengenai tata cara pembentukan dan susunan lembaga kerja sarna Bipartit diatur berdasarkan Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Pengertian Lembaga Kerja sarna Bipartit
Lembaga kerja sarna yang dibentuk oleh perusahaan yang mernpekeriakan 50 orang atau lebih yang berfungsi sebagai forum komunikasi dan konsultasi mengenai ketenagakerjaan, terdiri atas unsur perwakilan pengusaha dan pekerja/buruh.

3.              Penyelesaian Perselisihan di Tingkat Perusahaan (Bipartit)
Apabila di sebuah perusahaan terjadi perselisihan hubungan industrial antara pekerja dengan pihak pengusaha maka langkah awal haruslah diselesaikan di tingkat perusahaan atau Bipartit. Apa yang dimaksud perselisihan hubungan industrial? Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja atau serikat pekerja karena adanya perselisihan yang menyangkut mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja, serta perselisihan antar Serikat Pekerja dalam satu perusahaan. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial wajib dilaksanakan secara musyawarah untuk mufakat, sebagaimana diatur dalam Pasal 136 ayat (1) UU No 13 Tahun 2003. Apabila penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat tidak tercapai maka pengusaha dan pekerja atau Serikat Pekerja dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dalam Pasal 36 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003.
Sebelum berlakunya UU No. 13 Tahun 2003 telah ada peraturan perundangan yang mengatur tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yaitu UU No. 22 Tahun 1957 (Lembaran Negara Tahun 1957 No. 42) tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yang berlaku mulai 8 April 1957, dan peraturan pelaksanaannya adalah Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep 15A/Men/1994 tentang Petunjuk Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan Pemutusan Hubungan Kerja di Tingkat Perusahaan dan Pemerintah.
Prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial di tingkat perusahaan, dilakukan melalui perundingan secara musyawarah untuk mufakat an tara Serikat Pekerja at au gabungan Serikat Pekerja dengan pengusaha. Setiap perundingan sebanyak-banyaknya dilakukan 3 (tiga) kali dalam jangka waktu paling lama satu bulan, dan setiap kali perundingan dibuat risalah yang akan disampaikan kepada pihak -pihak yang berkepentingan.
Risalah perundingan tersebut harus memuat:
a.              nama dan alamat pekerja;
b.              nama dan alamat serikat pekerja;
c.              nama dan alamat pengusaha atau yang mewakili;
d.              tanggal dan tempat perundingan;
e.              alasan dan masalah pokok perselisihan, pendirian para pihak, kesirnpulan perundingan serta tanggal dan tanda tangan para pihak yang melakukan perundin gan.
Apabila perundingan rnencapai kesepakatan rnaka dibuat persetujuan bersama secara tertulis dan ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh pengurus Serikat Pekerja serta disampaikan hasil-hasilnya pada para pihak yang berkepentingan. Apabila perundingan tidak rnencapai kesepakatan maka perselisihan diajukan ke tingkat perantaraan. Kedua pihak dapat melakukan rnelalui arbitrase atau melalui Departemen Tenaga Kerja dengan pemerantaraan. Jika di tingkat pemerantaraan tidak berhasil maka diselesaikan di tingkat Panitia Daerah (P4D) dan tingkat Panitia Pusat (P4P).

B. LEMBAGA KERJA SAMA TRIPARTIT
1.             Pengertian Lembaga Kerja Sarna Tripartit
Lernbaga kerja sarna Tripartit adalah forum kornunikasi, konsultasi, dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggota-anggotanya terdiri dari un sur pengusaha, Serikat Pekerja atau Serikat Buruh dan pernerintah.
Peran Pernerintah di sini berfungsi rnenetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, rnelaksanakan pengawasan dan rnelaksanakan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
Pekerja atau Buruh dan juga Serikat Pekerja atau Buruh dalam hubungan industrial berfungsi: rnenjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban derni kelangsungan produksi, rnenyalurkan aspirasi secara dernokratis, mernajukan perusahaan, rnernperjuangkan kesejahteraan anggota dan keluarganya.
Pengusaha dalam hubungan industrial berfungsi menciptakan kernitraan, rnengembangkan usaha, rnemperluas lapangan kerja dan rnemberikan kesejahteraan pekerjaiburuh secara terbuka dernokratis dan berkeadilan.

2.             Struktur Lembaga Kerja Sarna Tripartit
Lembaga kerja sarna Tripartit berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 terdiri atas:
a.      Lembaga kerja sarna Tripartit nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota;
b.      Lernbaga kerja sarna Tripartit sektoral nasionaJ, Provinsi, dan KabupateniKota.
Tugas pokok lernbaga kerja sarna Tripartit di antaranya mernberikan masukan-masukan dan pendapat-pendapat dalarn pembuatan peraturan perundang-undangan di bidang Ketenagakerjaan sehingga peraturan perundang-undangan yang di keluarkan tersebut dapat diterirna oleh para pihak yang terkait dengan masalah ketenagakerjaan dan tidak menimbulkan keresahan baik pada pihak pengusaha maupun pekerja atau buruh. Guna mencapai rnaksud tersebut lembaga kerja sarna Tripartit melakukan kegiatan­kegiatan sebagai berikut.
a.             Melakukan konsultasi dan komunikasi dengan pemerintah, organisasi pengusaha, dan Serikat Pekerja atau Serikat Buruh untuk menyelesaikan masalah - masalah ketenagakerj aan.
b.             Menampung dan mengolah usul-usul dan saran-saran dari pemerintah, organisasi pengusaha, dan Serikat Pekerja atau Serikat Buruh.
c.              Mernbina kerja sama yang sebaik-baiknya antara pengusaha, gabungan pengusaha, dan Serikat Pekerja atau Serikat Buruh agar tercipta iklirn ketenagakerjaan yang kondusif.
d.            Menyampaikan masukan-rnasukan kepada pemerintah dalam membuat keputusan agar dapat diterima semua pihak.

C.          PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (PPHI)
1.            Pengertian Perselisihan Hubungan Industrial
Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau Serikat PekerjafSerikat Buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisiban kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar-Serikat Pekerja/Serikat Buruh banya dalam satu perusahaan. Sesuai dengan definisi tersebut maka Perselisihan Hubungan Industrial, meliputi Perselisihan Hak; Perselisihan Kepentingan; Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja; dan Perselisihan antar-Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam satu perusahaan.
Sejak diterbitkannya Undang-undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, pemerintah membentuk:
a.              Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) di Daerah Tingkat 1.
b.            Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) yang berkedudukan di Ibu Kota Negara.
Penyelesaian perselisihan perburuhan dilakukan P4D dan P4P secara musyawarah berdasarkan hukum, perjanjian yang ada, kebiasaan, keadilan, dan kepentingan negara. Keanggotaan P4D dan P4P terdiri atas unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah. Penyelesaian oleh P4D dan P4P bersifat sangat cepat karena hukum acaranya sangat sederhana dan pengusaha maupun buruh dibebaskan dari segala biaya perkara. Putusan P4D yang tidak dimintakan banding ke P4P dan putusan P4P yang tidak diveto Menteri Tenaga Kerja, bersifat mengikat dan final sehingga harus dilaksanakan oleh para pihak yang berselisih.
Pada saat ini, Undang-undang No. 22 Tahun 1957 sudah dianggap tidak sesuai lagi karena hanya mengatur penyelesaian perselisihan hubungan kerja dan tidak mengatur perselisihan hubungan industrial lainnya. Selain itu, undang-undang tersebut juga hanya memperbolehkan pengusaha dan serikat pekerjafserikat buruh sebagai pihak dalam beracara serta tidak mengakui pekerja/buruh perorangan sebagai pihak dalam beracara. Apalagi setelah diberlakukannya Undang-undang No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Us aha Negara, putusan P4D dan P4P dirasakan tidak efisien lagi. Hal ini karena lembaga P4D dan P4P berada di luar Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman sehingga putusannya menjadi bersifat administratif, sarna seperti putusan dari Lembaga Adrninistrasi Negara yang lain, yaitu dapat digugat dan dituntut ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT-TUN). Sementara putusan PT -TUN dapat dimohonkan kasasi ke Mahkamah Agung sehingga proses penyelesaiannya menjadi lebih lama dan berlarut-larut.
Hal ini mengakibatkan penyelesaian perselisihan tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan hubungan industrial yang begitu cepat sehingga perlu dicari mekanisme atau cara penyelesaian lain yang lebih cepat dan lebih baik. Untuk mengakomodasi kelemahan pada undang-undang sebelumnya maka diterbitkan UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Dengan diterbitkannya UU terse but maka dasar hukum PPHI yang berlaku pada saat ini secara keseluruhan mengacu pada UU No.2 Tahun 2004.

2.              Unsur-unsur yang Menimbulkan Perselisihan Hubungan Industrial
Dari hasil pengamatan di lapangan yang dilakukan oleh penulis yang lebih banyak menangani rnasalah ketenagakerjaan, bahwa timbulnya perselisihan hubungan industrial lebih banyak disebabkan oleh faktor adanya keresahan dan perselisihan yang terjadi pada karyawan akibat adanya kebijakan manajemen yang tidak kondusif maupun karena sebab lain. Jika sumber keresahan tidak segera diidentifikasi dan ditangani dengan baik rnaka akan timbul konflik yang dapat berkembang menjadi sumber perselisihan. Ciri khas adanya keresahan di sebuah perusahaan dapat ditandai apabila terjadi keresahan yang menyangkut baik perorangan, kelompok maupun seluruh pekerja karena rasa ketidakpuasan, kegelisahan dan ketakutan. Perselisihan akan timbul jika pernecahan masalah dianggap tidak memuaskan atau tidak mencapai titik temu an tara pekerja/wakil pekerja dengan pengusahalwakil pengusaha.
Beberapa penyebab keresahan, an tara lain berikut ini.
a.              Mutu rnanajemen yang lemah dalam pernbinaan hubungan antarmanusia
di lingkungan perusahaan.
b.              Kesadaran hukum pekerjalserikat pekerja yang semakin meningkat.
c.              Pendapatan pekerja yang relatif rendah.
d.              Persaingan yang tidak sehat antar perusahaan yang sejenis.
e.              Perubahan dalam teknologi, kekhawatiran akan ketidakrnampuan karena tidak menguasai teknologi akan menimbulkan PHK.
f.                Ketidakserasian hubungan antara pekerjaJorganisasi pekerja dengan pengusaha dan perbedaan pola pikir yang terlalu ekstrem.
g.              Peraturan-peraturan bidang ketenagakerjaan yang ditafsirkan secara berbeda-beda,
h.              Kelemahan pembinaan pekerja oleh Organisasi Pekerja atau oleh manajernen.
i.                 Kecemburuan sosial sehubungan dengan adanya perbedaan yang mencolok dalam pendapatan.
Sesuai UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI), jenis perselisihan hubungan industrial dibagi menjadi empat kelompok:
a.               Perselisihan Hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
b.               Perselisihan Kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
c.              Perselisihan PHK adalah perseJisihan yang timbul akibat tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak (pengusaha dan pekerja),
d.             Perselisihan antar-Serikat Pekerja merupakan perselisihan antara Serikat Pekerja yang satu dengan Serikat Pekerja lainnya hanya dalam satu perusahaan, disebabkan karena tidak adanya kesesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban dalam lembaga Serikat Pekerja.

3.             Proses Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Mengingat Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Peradilan hanya mengenal 4 (empat) jenis peradilan, yaitu Pengadilan Umum, Pengadilan Agama, Pengadilan Militer dan Pengadilan Tata Usaha Negara maka tidak mungkin membentuk Peradilan Hubungan Industrial secara tersendiri. Guna menyelesaikan hal ini maka pemerintah bersama DPR telah menerbitkan UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial. Menurut UU tersebut Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dapat dilakukan melalui 2 cara, yaitu sebagai berikut.
a.             Penyelesaian melalui pengadilan, yaitu perselisihan hubungan industrial pada pengadilan negeri.
b.             Penyelesaian di luar pengadilan melalui Bipartit, Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase.
Dengan mengacu pada UU No. 22 Tahun 1957, prosedur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sebelum berlakunya Pengadilan Hubungan Industrial dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut.


Pengusaha
Pekerja/Serikat
Pekerja/Gabungan SP

I


Arbitrase
Mediasi oleh Pegawai Perantara

Kantor Depnaker


!

P 4 Daerah

1

Fiat Eksekusi
P 4 Pusat
Pengadilan Negeri

!


PT. TUN

Pengadilan Tinggi Tata Usaha

Negara Gugatan terhadap

Putusan P4P

I

Mahka';ah Agung

KASASI
Sejak diberlakukannya Undang-undang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yang baru CUU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI), proses Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial secara khusus dijabarkan pada Pasal 124, seperti berikut ini.
a.              Sebelum terbentuk Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat tetap melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.              Dengan terbentuknya Pengadilan Hubungan Industrial berdasarkan undang-undang ini, Perselisihan Hubungan Industrial dan Pemutusan Hubungan Kerja yang telah diajukan kepada:
1)Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah atau lembaga­lembaga lain yang setingkat yang menyelesaikan perselisihan hubungan industrial atau pemutusan hubungan kerja dan belum diputuskan rnaka diselesaikan oleh Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
2)            Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah atau Iernbaga-lembaga lain sebagairnana dimaksud pada angka (1) yang ditolak dan diajukan banding oleb salah satu pibak atau para pihak dan putusan tersebut diterirna rnasih dalarn tenggang waktu 14 (ernpat belas) hari maka diselesaikan oleh Mahkamah Agung.
3)            Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat atau lembaga­lernbaga lain yang setingkat yang menyelesaikan perselisihan hubungan industrial atau pemutusan hubungan kerja dan belurn diputuskan rnaka diselesaikan oleh Mahkamah Agung.
4)            Putusan Panitia Penyelesaian Perselisiban Perburuhan Pusat atau lembaga-Iembaga lain sebagairnana dimaksud pada angka 3 yang ditolak dan diajukan banding oleh salah satu pihak atau para pihak dan putusan tersebut diterirna masih dalam tenggang waktu 90 (sernbilan puluh) hari maka diselesaikan oleh Mahkamah Agung.
Dari ketentuan di atas dapat dilihat bahwa jika Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) ini bel urn terbentuk maka penyelesaian sengketa perburuhan/hubungan industrial rnasih rnenggunakan peraturan perundang­undangan yang berlaku, yakni putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) dapat diajukan banding ke P4P, sementara putusan P4P dapat diajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Us aha Negara (TUN).
Pertanyaan yang mungkin timbul adalah bagaimana jika pada saat putusan P4D dibacakan Pengadilan PHI belurn terbentuk, akan tetapi setelah perkara tersebut dilirnpahkan ke P4P Pengadilan PHI terbentuk? Atas perkara yang demikian maka berdasarkan Pasal 124 ayat (2) c perkara tersebut hams dilirnpahkan ke MA untuk diselesaikan oleh MA (dengan rnenggunakan UU PHI sebagai hukurn acaranya). Jika putusan P4P sudah dikeluarkan dan Pengadilan PHI sudah terbentuk rnaka atas putusan P4P ini dapat diajukan kasasi ke MA, bukan lagi ke PT TUN, tentunya jika batas waktu upaya hukum belum dilewati, yaitu 90 hari.

a.             Penyelesaian di Tingkat Perusahaan/Bipartit
Sebelurn perselisihan diajukan kepada lernbaga penyelesaian perselisihan maka setiap perselisihan wajib diupayakan penyelesaiannya secara Bipartit, yaitu musyawarah antara pekerja dan pengusaha. Proses Bipartit ini harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari. Jika melewati 30 hari salah satu pihak dapat menolak untuk berunding atau perundingan tidak mencapai kesepakatan maka salah satu atau kedua belah pihak harus mencatatkan perselisihannya ke Dinas Tenaga Kerja setempat.
Penyelesaian perselisihan di tingkat perusahaan/Bipartit pada prinsipnya diselesaikan secara musyawarah antara pihak pekerja atau serikat pekerja dengan pihak pengusaha atau yang mewakilinya. Apabila perundingan mencapai kesepakatan maka perlu dibuat persetujuan bersama secara tertulis yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh pengurus Serikat Pekerja atau Organisasi Pekerja lainnya serta disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, Apabila perundingan tidak mencapai kesepakatan di tingkat perusahaan, maka perselisihan diajukan ke tingkat perantaraan. Kedua pihak dapat melakukan melalui arbitrase atau rnelalui kantor Departemen Tenaga Kerja dengan pemerantaraan. Arbitrase adalah bentuk penyelesaian secara mengikat dari suatu perselisihan oleh seorang atau suatu badan yang dipilih oleh pihak-pihak yang berselisih. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase dalam UU No. 22 Tahun 1957 disebut sebagai melalui juru pernisah (satu orang) atau dewan pernisah jika lebih dari satu orang.
Prosedur penyelesaian di tingkat perusahaanIBipartit ketentuannya adalah sebagai berikut.
a.             Bipartit diselesaikan paling lama 30 hari kerja, apabila terjadi dead lock maka Bipartit dianggap gagal dan salah satu atau kedua pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi ketenagakerjaan atau Departemen Tenaga Kerja dengan melampirkan bukti bahwa upaya Bipartit telah gagal. Apabila dalam Bipartit tercapai kesepakatan maka dibuatkan Perjanjian Bersama (PB) yang didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
b.             Instansi ketenagakerjaan menawarkan untuk mernilih penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase. Dalam perundingan Bipartit diperlukan risalah perundingan. Risalah perundingan tersebut harus berisi:
1)          Nama lengkap dan alamat para pihak.
2)           Tanggal dan temp at perundingan.
Pokok masalah atau alasan perselisihan.
4)            Pendapat para pihak.
5)            Kesimpulan atas hasil perundingan.
6)            Tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan.
Prosedur penyelesaian di tingkat perusahaan/Bipartit secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut.


a. Penyelesaian Perselisihan (PPHI) menurut Pasal 6 dan Pasal 7 UU PPHI








Perselisihan Industrial:













1.
Perselisihan Hak












2.
Perselisihan














Kepentingan












3.
Perselisihan PHK












4.
Perselisihan antara













SP/SB































BIPARTIT
























!








!




Tidak Sepakat








Sepakat




!








~




Memilih







Perjanjian Bersama
















Konsili asi atau Arbitrase





Didaftarkan




+








+


















Mediasi








Eksekusi


Catatan:
1        Para pihak mencatatkan perselisihan
2        Menyampaikan bukti -bukti
3        Tawaran untuk penyelesaian dengan arbitrase/konsiliasi
4        Dalam 7 hari harus ada pilihan

b.              Penyelesaian Perselisihan melalui Konsiliasi
Konsiliasi adalah lembaga penyelesaian perselisihan yang berwenang untuk menjadi penengah dalam berbagai bentuk perselisihan, yaitu sebagai berikut.
1)              Perselisihan Kepentingan.
2)              Perselisihan PHK.
3)              Perselisihan antar-Serikat Pekerja.
Orang yang bertugas sebagai penengah disebut konsiliator, yaitu orang yang memenuhi syarat-syarat sesuai ketetapan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang tugasnya memberikan anjuran secara tertulis kepada para pihak yang berselisih. Jika proses konsiliasi tidak mencapai kesepakatan maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan hubungan industrial.

c.               Penyelesaian melalui Arbitrase
Arbitrase adalah lembaga yang berwenang untuk menjadi wasit dalam Perselisihan Kepentingan, dan Perselisihan antar-Serikat Pekerja. Bertugas menjadi wasit adalah arbitrer. Para arbitrer ini dapat dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbitrer yang telah ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transrnigrasi. Penyelesaian perselisihan melalui arbitrase ini sesuai ketentuan yang tercanturn dalarn Pasal 29 sid Pasal 54 UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI. Ringkasan proses penyelesaian perselisihan dapat digambarkan dalam bagan berikut ini.

d.        Penyelesaian melalui Mediasi
Mediasi adalah lembaga penyelesaian perselisihan melalui perantaraan/media perselisihan yang dapat semua jenis perselisihan dapat diselesaikan melalui lembaga ini. Lembaga mediasi ini pada dasarnya hampir sarna dengan lembaga perantaraan di mana penyelesaian dilaksanakan oleh pegawai perantara dan Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) sebagaimana yang telah kita kenaI. Petugas yang melakukan mediasi disebut mediator adalah pegawai Dinas Tenaga Kerja yang akan memberikan anjuran secara tertulis kepada para pihak yang berselisih.
Perbedaannya adalah jika sebelumnya setiap perselisihan wajib melalui proses perantaraan (mediasi) terlebih dahulu maka berdasarkan UU PPHI ini (selain perselisihan hak) , pihak Disnaker terlebih dahulu menawarkan kepada para pihak untuk dapat memilih konsiliasi atau arbitrase (tidak langsung rnelakukan mediasi). Para pihak diberi waktu 7 hari untuk tidak menetapkan pilihan, apakah konsiliasi atau arbitrase jika dalam jangka waktu tersebut para pihak menerapkan pilihannya, maka penyelesaian kasus akan dilimpahkan kepada mediator.
Adapun terhadap perselisihan hak, setelah menerima pencatatan hasil penyelesaian perselisihan secara Bipartit maka Disnaker wajib meneruskan penyelesaian perselisihan kepada mediator. Hal ini dikarenakan Pengadilan Hubungan Industrial hanya dapat menerima gugatan perselisihan hak yang telah melalui proses mediasi. Setelah menerima pelimpahan perselisihan maka mediator wajib menyelesaikan tugasnya selambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan perselisihan. Jika penyelesaian melalui mediasi tidak mencapai kesepakatan maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.
Syarat-syarat penyelesaian melalui mediasi adalah sebagai berikut.
1)            Dilakukan oleh seorang mediator yang ditunjuk.
2)            Paling lambat 7 hari setelah menerima pelimpahan perselisihan harus sudah mengadakan penelitian tentang duduk perkaranya.
3)            Apabila tercapai kesepakatan dibuatkan Perjanjian Bersama (PB).
4)            Apabila tidak tercapai kesepakatan, mediator mengeluarkan anjuran tertulis yakni pendapat atau saran tertulis yang diusulkan mediator kepada para pihak dalam upaya penyelesaian perselisihan para pihak terkait.
5)            Mediator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan.

e.              Penyelesaian di Pengadilan Hubungan Industrial
Pengadilan Hubungan Industrial adalah lembaga peradilan yang berwenang memeriksa dan memutus semua jenis perselisihan, Hakim yang memeriksa dan memutus perselisihan tersebut di at as terdiri dari hakim dari lembaga peradilan dan hakim Ad Hoc. Pad a pengadilan ini, Serikat Pekerja dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum mewakili anggotanya. Untuk pertama kalinya Pengadilan Hubungan Industrial akan dibentuk pada setiap pengadilan negeri yang berada di setiap ibu kota provinsi yang daerah hukumnya meliputi provinsi yang bersangkutan. Adapun di Kabupaten/Kota terutama yang padat industri, berdasarkan Keputusan Presiden harus segera dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan negeri setempat.
Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:
a.               Tingkat pertarna mengenai perselisihan hak.
b.                Tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan.
c.                Tingkat pertama mengenai perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
d.Tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar-Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Dalam hubungan industrial dikenal 2 bentuk, yaitu Lembaga Kerja sarna Bipartit rnenyangkut hubungan dua pihak antara pengusaha dan pekerjanya saja, sedangkan lernbaga kerja sarna Tripartit adalah hubungan yang menyangkut hubungan pernerintah, pekerja dan pengusaha.
Struktur Lembaga Kerja sarna Tripartit, sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2003 terdiri atas berikut ini.
1.                        Lernbaga kerja sarna Tripartit nasional, provinsi dan kabupatenlkota.
2.        Lernbaga kerja sarna Tripartit sektoral nasional, provinsi dan kabupatenlkota.
Pernerintah bersama DPR telah menerbitkan UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial yang mernpunyai tugas utarna untuk rnenengahi penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat dilakukan rnelalui 2 cara, yaitu sebagai berikut.
1.                        Penyelesaian rnelalui pengadilan perselisihan hubungan industrial pada pengadilan negeri.
2.                        Penyelesaian di luar pengadilan melalui Bipartit, Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase.



KEGIATAN BELAJAR 2
Ketentuan Mogok Kerja dan Penutupan Perusahaan

Mogok kerja dan penutupan perusahaan (lock out) merupakan bagian penting dalam hubungan industrial. Mogok kerja bagi pihak pekerja merupakan instrumen penting untuk menolak atau menyampaikan aspirasi terhadap kebijakan perusahaan yang dianggap tidak sesuai dengan kepentingan atau hak-hak pekerja. Demikian sebaliknya, penutupan perusahaan juga dianggap sebagai jalan keluar bagi pengusaha ketika menghadapi kepailitan atau perusahaan dianggap sudah tidak mampu lagi beroperasi karena terus merugi atau karena sebab lain yang menimbulkan perusahaan harus ditutup. Mengingat mogok kerja dan penutupan perusahaan memiliki hubungan timbal balik berupa tarik menarik dari dua kepentingan yang berbeda antara pekerja dan pengusaha maka mogok kerja dan penutupan perusahaan perlu diatur sedemikian rupa agar dampak dari mogok kerja dan penutupan perusahaan dapat diselesaikan dengan baik.

A. KETENTUAN MOGOK KERJA
Dasar hukum mogok kerja diatur pada Pasal 143 UU No. 13 Tahun 2003, yang berbunyi "Siapa pun tidak dapat menghalang-halangi pekerja dan serikat pekerja untuk menggunakan hak mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib dan damai".
Mogok kerja adalah tindakan pekerjalburuh yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh Serikat PekerjaiSerikat Buruh untuk menghentikan at au memperlambat pekerjaan. Penyebabnya sangat beragam, intinya adalah bentuk protes para pekerjalburuh at au Serikat Pekerja/Buruh terhadap kebijakan yang dikeluarkan perusahaan yang tidak bisa diterima oleh pihak pekerjalburuh atau Serikat PekerjalB uruh. Mogok kerja dilakukan apabila perundingan menemui jalan buntu.
Mogok kerja sebagai hak dasar pekerjalburuh dan Serikat PekerjaiSerikat Buruh harus dilakukan secara sah, tertib, dan damai. Ajakan untuk mogok kerja pada saat bekerja berlangsung harus dengan tidak melanggar hukum. Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan tersebut diancam pidana paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) bulan danJatau denda paling sedikit RpIO.OOO.OOO,OO dan paling banyak Rp400.000.000,OO. Pekerja/buruh yang diajak mogok dapat memenuhi atau tidak memenuhi ajakan tersebut. Mogok kerja dikatakan sah jika sekurang­kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum pelaksanaan pekerja/buruh dan Serikat PekerjaJSerikat Buruh memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan setempat tentang maksud dilakukannya mogok kerja.
Surat pemberitahuan mogok kerja itu sekurang-kurangnya memuat, seperti berikut ini.
1.     Waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja.
2.     Tempat mogok kerja dilakukan.
3.     Alasan dan sebab melakukan mogok kerja.
4.              Tanda tangan Ketua dan Sekretaris dan/atau masing-masing Ketua dan Sekretaris Serikat PekerjaJSerikat Buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja. Apabila mogok kerja dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota Serikat PekerjaJSerikat Buruh maka pemberitahuan tersebut dilakukan oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai koordinator danJatau penanggung jawab mogok kerja.
Terhadap mogok kerja yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan­ketentuan tersebut maka untuk menyelamatkan alat produksi dan aset-aset perusahaan, pengusaha dapat mengambil tindakan semen tara sebagai berikut.
I.              Melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi proses produksi.
2.             Apabila dianggap perlu, melarang pekerjaJburuh yang mogok kerja berada di lokasi perusahaan.
Pihak instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan pengusaha yang menerima Surat Pemberitahuan mogok kerja tersebut wajib memberikan tanda terima. Sebelum dan selama mogok kerja berlangsung, instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan (Disnaker) wajib menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya pemogokan dengan cara mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih. Apabila perundingan menghasilkan kesepakatan maka harus dituangkan dalarn Perjanjian Bersama yang ditandatangani para pihak dan pegawai dari Transmigrasi sebagai saksi. Apabila perundingan tidak juga menghasilkan kesepakatan antara para pihak maka pemerintah segera melimpahkan masalah yang menjadi penyebab timbulnya mogok kerja kepada Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI) yang berwenang dengan ketentuan atau saran bahwa mogok kerja dapat diteruskan atau dihentikan untuk sementara waktu atau dihentikan sarna sekali secara permanen.
Untuk mogok kerja yang dilakukan secara sah, pengusaha dilarang melakukan hal, seperti berikut ini.
1.            Mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar perusahaan.
2.              Memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apa pun kepada pekerja/buruh dan pengurus Serikat PekerjaiSerikat Buruh selama dan sesudah melakukan mogok kerja.
Terhadap pelanggaran ketentuan ini pengusaha dapat dikenai sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit RplO.OOO.OOO,OO (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak RplOO.OOO.OOO,OO (seratus juta rupiah). Sedangkan bila mogok kerja secara sah dilakukan oleh pekerja/buruh dalam rangka menuntut hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha maka selama melakukan mogok kerja, pekerja/buruh tetap berhak mendapatkan upah. Mogok kerja merupakan hak dasar pekerja/buruh sehingga siapa pun tidak dapat menghalang-halangi pekerja/buruh dan Serikat PekerjaiSerikat Buruh untuk menggunakan hak mogok kerja serta melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap pekerja/buruh dan pengurus Serikat PekerjaiSerikat Buruh yang melakukan mogok kerja asal dilakukan secara sah, tertib, dan damai sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dianggap menghalang-halangi dalam hal ini adalah sebagai berikut.
1.             Menjatuhkan hukuman.
2.             Mengintimidasi dalam bentuk apa pun.
3.             Melakukan mutasi yang merugikan.
Pelanggaran terhadap ketentuan mogok kerja dapat diancam pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling sedikit Rpl00.000.000,00 dan paling banyak Rp400.000.000,00. Walaupun merupakan hak dasar pekerjalburuh, pelaksanaan mogok kerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan jiwa manusia, seperti rumah sakit, dinas pemadam kebakaran, penjaga pintu perlintasan kereta api, pengontrol pintu air, arus lalu lintas atau pengatur arus lalu lintas laut harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak membahayakan atau menelantarkan kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain.

B. PENUTUPAN PERUSAHAAN (LOCK OUT)
Penutupan perusahaan atau biasa dikenal dengan istilah lock out merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak pekerjalburuh sebagian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat gagalnya perundingan. Penutupan perusahaan tidak dibenarkan dilakukan sebagai tindakan balasan sehubungan adanya tuntutan normatif dari pekerja atau Serikat Pekerja (Pasal146 UU No. 13 Tahun 2003).
Penutupan perusahaan dilarang dilakukan bagi perusahaan yang rnelayani kepentingan umum dan/atau jenis kegiatan yang membahayakan keselamatan jiwa manusia, meliputi rumah sakit, pelayanan jaringan air bersih, pusat pengendali telekomunikasi, pusat penyedia tenaga listrik, pengolahan rninyak, dan gas burni serta kereta api.
Dalam hal rnelakukan penutupan perusahaan, pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerjalburuh dan/atau S eri kat PekerjaiSerikat Buruh serta instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan rnisalnya Dinas Tenaga Kerja seternpat sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum penutupan perusahaan dilakukan. Surat pemberitahuan tersebut sekurang-kurangnya rnernuat, seperti berikut ini.
1.              Waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri penutupan perusahaan.
2.              Alasan dan sebab-sebab melakukan penutupan perusahaan.
3.              Tanda tangan pengusaha dan/atau pimpinan perusahaan.
Pemberitahuan mengenai rencana pemogokan tidak perlu dilakukan, dalam hal berikut ini.

1.               Pekerja atau Serikat Pekerja melanggar prosedur mogok kerja, yaitu tanpa memberitahukan terlebih dahulu kepada pengusaha atau instansi Depnaker dan Transmigrasi.
2.               Pekerja atau Serikat Pekerja melanggar ketentuan normatif yang ditentukan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pekerja/buruh dan/atau Serikat PekerjaiSerikat Buruh dan instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang menerima secara langsung surat pemberitahuan penutupan perusahaan harus memberikan tanda bukti penerimaan dengan mencantumkan hari, tanggal, dan jam penerimaan. Penutupan perusahaan yang dilakukan tanpa pemberitahuan merupakan tindak pidana pelanggaran yang diancam pidana denda paling sedikit Rp5.000.000,OO (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000,OO (lima puluh juta rupiah).
Apabila pengusaha menutup perusahaan karena balas den dam atas tuntutan normatif pekerjaan batasan tersebut dilanggar harus membayar upah pekerja/buruh selama penutupan perusahaan dilakukan. Sebelum dan selama penutupan perusahaan berlangsung Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi berwenang langsung menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya penutupan perusahaan dengan mempertemukan dan merundingkannya para pihak yang berselisih. Apabila perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan maka harus dituangkan dalam perjanjian bersama yang ditandatangani para pihak dan pegawai instansi pemerintah sebagai saksi. Dalam hal perundingan tidak menghasilkan kesepakatan maka pegawai pernerintah tersebut segera rnelirnpahkan rnasalah yang rnenyebabkan penutupan perusahaan kepada Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Selama penyelesaian rnasalah oleh Lernbaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dilakukan maka berdasarkan kesepakatan penutupan perusahaan dapat diteruskan, atau dihentikan sementara waktu atau dihentikan sarna sekali secara perrnanen.

R A N G K U M A N

1.                         Mogok kerja dan penutupan perusahaan (lock out) merupakan bagian terpenting dalam hubungan industrial. Baik mogok kerja maupun penutupan perusahaan merupakan hak dasar yang dirniliki oleh masing-masing pihak.
2.                         Dasar hukum mogok kerja diatur dalam Pasal 143 UU No. 13 Tahun 2003. Buruh atau Serikat Pekerja yang akan merencanakan akan melakukan mogok kerja wajib memberitahukan secara tertulis selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kepada pengusaha dan pihak berwenang lainnya. ApabiJa dilanggar akan dikenakan sanksi denda dan hukum pidana.
Penutupan perusahaan atau lock out merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak pekerjalburuh sebagian at au seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat gagalnya perundingan. Dasar hukum lock out diatur dalam Pasal 146 UU No. 13 Tahun 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar