MODUL 1
Sistem Hukum
Harsanto Nursadi, SH. M. Si.
P E N DA H U
L U A N
Untuk memahami Sistem Hukum
Indonesia, perlu terlebih dahulu memahami apa yang dimaksud dengan sistem.
Sistem adalah sesuatu yang saling
berhubungan dan saling ketergantungan dari masing-masing bagian-bagiannya
sehingga merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan satu dengan
yang lainnya.
Untuk dapat memahami keseluruhan
Sistem Hukum Indonesia, maka perlu dijelaskan metode pemahaman yang menjelaskan
tentang sistem hukum. Pemahaman ini disampaikan oleh Lawence M. Friedman, yang
menjelaskan bahwa suatu sistem hukum dapat dibagi ke dalam tiga komponen, yakni
komponen struktural, komponen substansi dan komponen budaya
hukum. Ketiga komponen tersebut saling berhubungan dan saling tergantung.
Pada modul ini, tidak semua komponen akan dibahas secara lengkap, atau
pembahasannya hanya menekankan pada dua komponen struktural dan substansi.
Sebelum sampai pada penjelasan
pengertian dari sistem hukum, perlu dijelaskan berbagai "pengertian"
hukum dan kemudian juga dijelaskan tentang sumber-sumber hukum.
Secara umum setelah mempelajari
modul satu ini, Anda diharapkan mampu memahami pengertian sistem, hukum, sistem
hukum dan sumber-sumbernya
Secara lebih khusus setelah
mempelajari modul ini, Anda diharapkan dapat menjelaskan:
1.
pengertian
sistem;
2.
pengertian
hukum;
3.
pengertian
sistem hukum;
4.
sumber-sumber
hukum dalam arti materiil dan formal, yang tertulis maupun yang tidak tertulis.
KEGIATAN
BELAJAR 1
Pengertian Sistem
Hukum
A.
PENGERTIAN
SISTEM
Pengertian sistem,
dalam kamus bahasa Inggris yang berjudul The American Heritage Dictionary of The
English Language disebutkan bahwa "a group of interacting, interrelated or interdependent elements forming
or regarded as forming a collective entity." Pengertian tersebut
adalah salah satu yang disebutkan dalam kamus tersebut. Dari pengertian
tersebut dapat disimpulkan dua ciri, yaitu pertama, hubungan dan saling
ketergantungan di antara bagian-bagian atau elemen-elemen dalam sistem, dan kedua
merupakan suatu entity.
Berdasarkan
pengertian tersebut, maka tiap-tiap bagian tersebut mempunyai fungsi yang
saling berhubungan dan saling tergantung, dimana bila suatu fungsi tidak dapat
berjalan sebagaimana mestinya, akan terjadi hambatan dan bagian yang lain akan
menjadi tidak berfungsi dengan baik. Sistem tersebut bekerja pada suatu wadah
atau tempat tersendiri yang disebut dengan suatu lingkungan (environment) dan
terdapat batas-batas antara suatu sistem dengan lingkungannya.
Gambaran konkret
bekerja suatu sistem adalah misal dalam suatu kehidupan keluarga, berubahnya
status atau kedudukan seorang ayah sebagai kepala keluarga dapat membawa
perubahan kepada kehidupan keluarga tersebut, terutama pada anak dan istrinya
menjadi lebih makmur dan atau terpandang. Pada kehidupan yang lebih luas di
masyarakat, terjadinya perubahan kebijakan ekonorni, seperti naiknya harga BBM
berdampak sangat besar bagi seluruh sendi-sendi kehidupan, karena kemampuan
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya menjadi sangat berkurang, karena
pendapatan yang tidak naik tetapi barang konsumsi yang dibutuhkan harganya naik
akibat naiknya BBM.
Sudahkah
Anda mengerti apa yang dimaksud dengan sistem? Untuk lebih jelasnya kita lihat
contoh berikut ini
Mobil, sebagai suatu bentuk fisik merupakan gambaran
yang mudah untuk diamati bila kita melihat suatu sistem. Mobil, terdiri dari
banyak komponen-komponen yang satu sama lain saling terikat. Bila komponen ban
tidak berfungsi secara baik (misalnya kempes) maka mobil tersebut tidak dapat
berjalan dengan sempurna. Demikian pula bila komponen lain yang mengalami
kerusakan, seperti aki (accu) yang
tidak sempurna (mati, tidak ada setrumnya) maka mesin mobil tidak dapat
dihidupkan.
Contoh bekerjanya
sistem yang terdapat pada mobil relatif lebih mudah untuk diamati dan dipahami,
tetapi dalam suatu sistem sosial, sistem budaya atau sistem hukum, akan lebih
sulit dipahami, karena pada sisten tersebut banyak menggunakan konsep yang
memerlukan pemahaman dan penjelasan khusus. Selain itu, pada sistem tersebut
batas-batas yang berhubungan dengan fungsinya sering kali tidak jelas dan
bahkan bisa terjadi tumpang tindih sehingga tidak mudah untuk diamati dan
dipahami.
B. PENGERTIAN HUKUM
Menurut
L. J Van Apeldoorn tidak mungkin memberikan suatu definisi tentang apakah yang disebut
hukum itu. Definisi tentang hukum sulit untuk dibuat karena tidak mungkin untuk
mengadakan sesuai dengan kenyataannya.
Manusia dalam
kehidupannya tidak dapat melepaskan diri dari kaidah-kaidah hukum yang ada.
Hukum sebagai salah satu kaidah yang mengatur kehidupan antar pribadi, telah
menguasai kehidupan manusia sejak ia dilahirkan, bahkan waktu ia masih di dalam
kandungan hingga sampai ke liang kubur memberikan arah dan gambaran, akan
tetapi karena bidang hukum itu luas dan mencakup banyak hal maka tidak akan
dapat mencakup secara keseluruhan.
Merupakan suatu
kenyataan bahwa hukum bukanlah satu-satunya kaidah yang mengatur kehidupan
antar pribadi atau bermasyarakat, karena dalam hidupnya manusia tidak hanya
terikat oleh kaidah hukum, tetapi masih ada kaidah lain. Berbagai macam kaidah
yang ada itu dapat dilacak dari sifat kehidupan manusia yang menyangkut aspek
pribadi dan aspek hidup antar pribadi atau bermasyarakat.
Termasuk dalam tata kaidah aspek
pribadi adalah:
1.
Tata Kaidah Kepercayaan.
2.
Tata Kaidah Kesusilaan.
Sedangkan yang
tergolong dalam Tata Kaidah aspek hidup antar pribadi atau bermasyarakat
adalah:
1.
Tata Kaidah Sopan Santun.
2.
Tata Kaidah Hukum.
Memperoleh kejelasan
terhadap berbagai arti dari hukum adalah sangat penting, agar tidak terjadi
kesimpangsiuran di dalam studi terhadap hukum. Dalam hal ini akan dijelaskan
pengertian yang diberikan oleh masyarakat. Beberapa pengertian hukum adalah:
1.
sebagai
ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun
secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran.
2.
sebagai
disiplin, yakni suatu sistem ajaran
tentang kenyataan atau gejala yang dihadapi.
3.
sebagai
kaidah, yakni pedoman atau patokan
sikap tindak atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan.
4.
sebagai
tata hukum, yakni struktur dan proses
perangkat kaidah-kaidah hukum yang berlaku pada suatu waktu dan temp at
tertentu serta berbentuk tertulis.
5.
Hukum
sebagai petugas, yakni pribadi-pribadi yang
merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan hukum (law enforcement officer).
6.
sebagai
keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi
yang menyangkut pembuatan keputusan yang tidak semata-mata diperintahkan oleh
aturan-aturan hukum, tetapi keputusan yang dibuat atas pertimbangan yang
bersifat personal.
7.
sebagai
proses pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal
balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan artinya, hukum dianggap
sebagai suatu perintah atau larangan yang berasal dari badan negara yang
berwenang dan didukung dengan kemampuan serta kewenangan untuk menggunakan
paksaan.
8.
sebagai
sikap tindak ajeg atau perikelakuan yang teratur,
yaitu perikelakuan yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan
untuk mencapai kedamaian.
9.
sebagai
jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsi-konsepsi
abstrak ten tang apa yang dianggap baik dan buruk.
C.
SISTEM
HUKUM
Dalam lingkup hukum,
untuk memahami sistem yang bekerja, maka pendapat dari Lawrence M. Friedman
dapat dijadikan batasan, yaitu sistem hukum dapat dibagi ke dalam tiga komponen
atau fungsi, yaitu komponen struktural, komponen substansi dan
komponen budaya hukum. Ketiga komponen tersebut dalam suatu sistem hukum
saling berhubungan dan saling tergantung.
Pada komponen
struktural akan dijelaskan tentang bagian-bagian sistem hukum yang
berfungsi dalam suatu mekanisme kelembagaan, yaitu lembaga-lembaga pembuat
undang-undang, pengadilan dan lembaga-lembaga lain yang memiliki wewenang
sebagai penegak dan penerap hukum. Hubungan antara lembaga tersebut terdapat
pada UUD 1945 dan amandemennya.
Komponen
substansi berisikan
hasil nyata yang diterbitkan oleh sistem hukum. Hasil nyata ini dapat berwujud in
concerto (kaidah hukum individual)
dan in abstraco (kaidah hukum
umum). Disebut kaidah hukum individual karena kaidah-kaidah tersebut
berlakunya hanya ditujukan pada pihak-pihak atau individu-individu tertentu
saja, contohnya
1.
Putusan
yang ditetapkan oleh pengadilan, misalnya
seseorang diputuskan dihukum selama 5 tahun karena telah melakukan pembunuhan.
2.
Keputusan
(bestuur) yang dikeluarkan oleh
pemerintah, misalnya seseorang yang diberi
izin untuk melakukan impor bahan makanan atau seseorang yang diberi izin untuk
mengemudikan kendaraan bermotor (diberi SIM).
3.
Panggilan
yang dilakukan oleh Kepolisian, yaitu seseorang
yang dipanggil untuk keperluan memberi keterangan kepada polisi.
Persetujuan
dalam suatu perjanjian, misalnya seseorang yang akan menyerahkan haknya (dalam
bentuk jual beli atau sewa), atau seseorang yang harus menyerahkan kewajibannya
(dalam membayar sewa atau piutang).
Pada
kaidah hukum yang in-abstraco, merupakan kaidah umum yang bersifat
abstrak karena berlakunya kaidah semacam itu tidak ditujukan kepada
individu-individu tertentu tetapi kaidah ini ditujukan kepada siapa saja yang
dikenai perumusan kaidah umum tersebut. Kaidah ini dapat dibaca pada perumusan
berbagai UU yang ada.
Dari
contoh kedua kaidah tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum inabstraco adalah
menyangkut aturan-aturan hukum baik yang
berupa UU atau bentuknya yang lain.
Sedangkan hukum in-concreto adalah keputusan
atau putusan dalam kasus-kasus konkret yang mempunyai kekuatan mengikat karena
sah menurut hukum.
Komponen
struktural juga mencakup pembidangan hukum, yaitu yang membagi pembidangan
dengan hukum publik dan hukum perdata serta hukum materiil dan formal, yaitu:
1.
Hukum
Tantra atau Hukum Negara yang terdiri dari
a.
Hukum Tata Tantra atau Hukum Tata
Negara:
1)
Materiil, dan
2)
Formal.
b.
Hukum Administrasi Tantra atau
Hukum Administrasi Negara
1)
Materiil, dan
2)
Formal.
2.
Hukum
Perdata
a.
Hukum Perdata materiil yang
mencakup
1)
Hukum Pribadi
2)
Hukum Harta Kekayaan yang terdiri
dari:
a)
Hukum Benda
(1) Hukum Benda Tetap atau Hukum
Agraria (2) Hukum Benda Lepas
b)
Hukum Perikatan
(1) Hukum Perjanjian
(2)
Hukum Penyelewengan Perdata (3) Hukum Perikatan Lainnya
c)
Hukum Objek Imateriil
3)
Hukum Keluarga
a)
Hukum Kekerabatan
b)
Hukum Perkawinan (hubungan
suami-sitri)
c)
Hukum Hubungan Orang
tualwali-anak
d)
Hukum Perceraian
e)
Hukum Harta Perkawinan
4)
Hukum Waris
b.
Hukum Perdata formal.
3.
Hukum
Pidana
a.
Hukum Pidana materiil.
b.
Hukum Pidana formal.
Pada
hukum Intemasional, yang merupakan hukum yang berhubungan dengan peristiwa
intemasional, dapat berupa
1.
Peristiwa Tantra Intemasional
atau Hukum Tantra Intemasional,
2.
Peristiwa Perdata Intemasional
atau Hukum Perdata Intemasional, dan
3.
Peristiwa Pidana Intemasional
atau Hukum Pidana Intemasional.
Komponen
ketiga yaitu komponen budaya hukum. Sikap-sikap publik atau para warga
masyarakat beserta nilai-nilai yang dipegangnya sangat berpengaruh terhadap
pendayagunaan pengadilan sebagai tempat menyelesaikan sengketa. Sikap-sikap dan
nilai-nilai yang dipegang oleh warga masyarakat tersebut disebut budaya hukum,
sehingga budaya hukum diartikan sebagai keseluruhan nilai-nilai sosial yang
berhubungan dengan hukum beserta sikap-sikap yang mempengaruhi hukum.
Pembagian
sistem hukum dalam tiga komponen yang dilakukan oleh Lawrence M. Friedman
ditujukan untuk menganalisa bekerjanya suatu sistem hukum dalam kajian hukum
dan masyarakat. Sistem hukum sering juga disebut sebagai tata hukum. Kesamaan
pengertian sistem hukum dengan tata hukum dapat kita jumpai dalam buku karangan
Soepomo dengan judul "Sistem Hukum Indonesia sebelum perang dunia ke
dua." Dengan adanya kesamaan tersebut, bukan keliru atau tidak dapat
diterima, hanya saja kesamaan seperti itu merupakan penyempitan arti dari
pengertian sistem hukum.
Menyamakan
sistem hukum dengan tata hukum bukan merupakan kekeliruan atau tidak dapat
diterima, tetapi penyamaan tersebut mengakibatkan penyempitan arti dari
pengertian sistem hukum. Jonathan H.
Turner dalam bukunya Pattern
of Social Organization rnenyebutkan bahwa di dalarn setiap sis tern hukurn
diternukan elernen-elernen adanya:
1.
seperangkat kaidah atau aturan
tingkah laku (axplicit laws or rules
of conduct) yang dapat dikenali.
2.
tata cara penerapan berbagai
kaidah tersebut (mechanism for
enforcing laws).
3.
tata cara untuk rnenyelesaikan
sengketa yang berdasarkan kaidah/aturan hukurn yang berlaku (mechanism for mediating and adjudicating
disputes in accordance with laws).
4.
tata cara pernbuatan atau
perubahan hukurn (mechanism for
enacting new or changing old laws).
Dalarn setiap sistern hukurn akan
selalu kita jurnpai satu kesatuan yang dinarnakan kaidah hukurn, dari sini akan
dapat dikenali beberapa sikap yang diwajibkan, diperbolehkan atau dilarang
dalarn berbagai situasi yang berbeda. Berbagai kaidah hukurn rnasih banyak
diternukan dalarn bentuk yang tidak tertulis. Dalarn rnasyarakat yang rnasih
tradisional, sering kali kaidah hukurn bercampur atau harnpir tak terbedakan
dengan kaidah-kaidah lainnya seperti kebiasaan, kepercayaan atau tradisi. Di samping
kaidah hukurn dapat dijurnpai dalarn bentuk yang tertulis dan tak tertulis,
kaidah hukum juga sering ditemukan dalam keadaan yang tersebar tak
terkurnpulkan dalarn suatu bentuk dan koleksi tertentu.
Berbagai
kaidah hukurn yang tersebar tersebut nampak terpisah-pisah dan berdiri sendiri
dan tak rnenunjukkan saling hubungan satu dengan lain. Kalau keadaan seperti
itu, dapatlah dikatakan sebagai suatu sistem yang sudah tentu harus rnenarnpakkan
adanya kesatuan (entity) yang rnenjadi ciri dari suatu sistem?
Bagian-bagian (berbagai kaidah hukurn yang ada) yang tarnpaknya terlepas dan
berdiri sendiri itu sebenarnya rnerupakan kesatuan yang ada tali pengikatnya.
Kesatuan tersebut diikat oleh beberapa pengertian yang lebih urnurn sifatnya
dan yang rnengandung suatu tuntutan etis berupa asas-asas hukurn. Jadi
asas-asas hukurn yang bersifat urnurn dengan tuntutan etisnya itulah yang
rnerupakan tali pengikat sehingga rnenjadi suatu kesatuan yang terpadu.
Adanya kesatuan atau kebulatan
dari berbagai kaidah hukurn yang narnpaknya terlepas dan berdiri sendiri itu
dapat pula dijelaskan dengan rnenggunakan kerangka teori dari Hans Kelsen.
Menurut Kelsen, bahwa sistem hukum itu merupakan suatu sistem per-tangga-an
(bertingkat-tingkat) kaidah artinya, suatu keadaan hukum yang tingkatnya lebih
rendah haruslah mempunyai dasar atau pegangan pada kaidah hukum yang lebih
tinggi sifatnya. Setiap kaidah hukum haruslah mencerminkan sistem pertanggaan
ini dan yang akhimya kaidah hukum tertinggi yang dinamakan konstitusi itupun
harus bersumber pada suatu norma dasar yang disebut grundnorm. Teori
dari Hans Kelsen ini dinamakan stufenbau teori.
Alasan lain yang dapat mendukung
bahwa hukum itu sebagai suatu sistem adalah kenyataan bahwa sistem hukum tidak
hanya sekumpulan aturan-aturan yang tidak mempunyai sistematika atau ikatan
kesatuan, akan tetapi aturan-aturan tersebut disatukan oleh masalah keabsahan,
aturan ini dianggap sah apabila berasal dari sumber yang sarna sehingga
tercipta pola kesatuan.
Agar kita dapat menjelaskan
adanya suatu sistem hukum, Fuller berpendapat bahwa ukuran tersebut dapat
diletakkan dalam tujuh asas yang dinamakan principles of legality, yang
isinya:
1.
Sistem hukum harus mengandung
aturan-aturan artinya bahwa ia tidak boleh hanya sekedar keputusan-keputusan ad hoc saja.
2.
Peraturan-peraturan yang telah
dibuat harus diumumkan.
3.
Tidak boleh ada peraturan yang
berlaku surut, agar dapat dipakai sebagai pedoman tingkah laku, juga bisa
digunakan sebagai pedoman yang ditujukan untuk masa yang akan datang.
4.
Peraturan-peraturan tersebut
harus disusun dalam rumusan yang mudah dimengerti dan dipahami bersama.
5.
Suatu sistem tidak boleh
bertentangan antara yang satu dengan yang lain.
6.
Peraturan tidak boleh mengandung
tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan.
7.
Tidak boleh ada kebiasaan untuk
mengubah peraturan yang sudah ditetapkan.
Ketujuh
asas tersebut tidak hanya sebagai persyaratan adanya sistem hukum, tetapi juga
merupakan pengkualifikasian terhadap sistem hukum yang memiliki moralitas
budaya hukum tertentu. Istilah hukum dapat diartikan bermacam arti dan isi.
Yang menjadi masalah pokok dari sistem hukum antara lain:
1. Elemen
atau unsur dari sis tern hukum Dalam ilmu hukum terjadi konsensus pragmatis,
bahwa elemen atau un sur tertentu merupakan hukum. Yang dianggap sebagai hukum
adalah aturan hidup yang terjadi karena perundang-undangan, keputusan
hakimlyurisprudensi serta kebiasaan.
2.
Bidang-bidang suatu sistem hukum
Biasanya
dilakukan atas dasar kriteria tertentu, Pembidangan tersebut menghasilkan
bermacam dikotomi sebagai berikut.
a.
Ius
constitutum dan ius constituendum;
b.
Hukum alam dan hukum positif;
c.
Hukum imperatif dan hukum
fakultatif;
d.
Hukum substantif dan hukum
ajektif;
e.
Hukum tertulis dan hukum tidak
tertulis.
3.
Konsistensi sistem hukum.
Kemungkinan
terjadinya pertentangan dalam suatu sistem hukum dapat terjadi, misalnya:
a.
Pertentangan antara satu
peraturan perundangan dengan peraturan perundangan yang lain;
b.
Pertentangan antara peraturan
perundangan dengan hukum kebiasaan;
c.
Pertentangan antara peraturan
perundangan dengan yurisprudensi;
d.
Pertentangan antara yurisprudensi
dengan hukum kebiasaan.
4.
Pengertian dasar suatu sistem
hukum
a.
Subjek Hukum;
b.
Hak dan Kewajiban;
c.
Peristiwa Hukum;
d.
Hubungan Hukum;
e.
Objek Hukum.
5.
Kelengkapan sistem hukum
Dapat digunakan untuk
pengembangan teori hukum, maupun mempersiapkan mereka yang akan berkecimpung di
bidang praktik hukum.
D.
SUMBER-SUMBER HUKUM
Memahami
sumber-sumber hukum adalah penting untuk mempelajari ilmu hukum. Istilah sumber
hukum ban yak memiliki arti, pemberian arti tersebut tergantung dari sisi orang
melihatnya. Oleh sebab itu, memaharni dalam arti yang mana istilah itu
dipergunakan merupakan langkah yang penting. O.W. Paton dalam bukunya A Text
book of Jurisprudence memberikan peringatan bahwa the term sources of
law has many meanings and is frequent cause of erroe unless we scrutinize
carefully the particular meaning given to it in any particular tex.
Para ahli di bidang
kemasyarakatan (para sosiolog) melihat hukum sebagai salah satu gejala sosial
yang tidak dapat dilepaskan dari gejala-gejala sosial lainnya. Hukum adalah
subsistem dari sistem sosial yang lebih luas. Bagi ahli filsafat pandangan
terhadap hukum sudah tentu berbeda dengan ahli kemasyarakatan.
1.
Sumber hukum dalam arti sejarah,
mengandung dua arti yaitu:
a.
arti sumber pengenalan hukum,
yaitu semua bahan tertulis yang dapat mengenali hukum.
b.
arti sumber bahwa pembentuk UU
memperoleh bahan dalam membentuk UU termasuk pengertian dari mana tumbuh hukum
positif suatu negara.
2.
Sumber hukum dalam arti
sosiologis:
Sumber
hukum adalah faktor yang menentukan isi dari hukum. Faktor tersebut dapat
berupa keadaan ekonorni, politik, pandangan agama dan kepercayaan serta faktor
psikologis.
3.
Sumber hukum dalam arti filsafat:
Sumber
hukum dipakai dalam dua arti, yaitu:
a.
Sebagai sumber isi hukum
Aliran
hukum kodrat hukum alam yang rasionalistis memandang sumber isi hukum adalah
kesadaran hukum suatu bangsa.
b.
Sebagai sumber kekuatan mengikat
dari hukum, yang menyangkut mengapa kita harus mengikuti hukum.
Istilah sumber hukum dapat diberi
arti sumber hukum dalam arti materiil dan formal. Dalam arti materiil hukum
sebagai sumber hukum yang menentukan isi hukum. Sedangkan dalam arti formal,
hukum dilihat dari bentuknya, oleh karena bentuknya itulah yang menyebabkan
hukum berlaku dan diketahui serta ditaati. Sumber hukum dalam arti formal
berkaitan dengan masalah prosedur atau cara pembentukannya.
Sumber hukum dalam arti formal
dipandang oleh ahli hukum lebih penting, baru kemudian memperhatikan sumber
hukum dalam arti materiil. Sumber hukum dalam arti formal dapat dibagi menjadi
tertulis dan tidak tertulis.
1. Sumber Hukum dalam Arti
Materiil
Faktor-faktor yang ikut serta
mempengaruhi atau menentukan isi hukum adalah:
a.
Faktor ideal
Pedoman-pedoman yang tetap
mengenai keadilan yang perlu ditaati oleh pembentuk UU atau lembaga hukum yang
lain. Faktor ideal merupakan tujuan langsung dari aturan hukum. Hal ini dapat
berubah karena faktor keadaan dan kebutuhan nyata dari masyarakat.
b.
F aktor kemasyarakatan
Berasal
dari keadaan nyata dalam masyarakat dan berpengaruh terhadap pembentukan
hukum,yaitu:
1)
Struktur ekonorni dan kebutuhan
masyarakat.
2)
Kebiasaan yang berakar dalam
masyarakat.
3)
Hukum yang berlaku.
Hukum
yang berlaku didasarkan pada waktu, tempat dan sasaran tertentu. Hukum yang
berlaku tersebut tidak lepas dari hukum yang ada pada saat, tempat dan sasaran
sebelurnnya, dan dalam perkembangannya seirama dengan proses pertumbuhannya.
1)Tata
hukum negara-negara lain. Hukum tidak selalu merupakan hasil dari suatu negara
tertentu secara terpisah, tetapi hukum pada suatu negara sering kali
terpengaruh oleh hukum yang berlaku di negara lain, yang merupakan proses
"peniruan" secara langsung ataupun tidak, sebagian atau keseluruhan.
2)Keyakinan
tentang agama dan kesusilaan. Agama dan kesusilaan selalu berpengaruh pada
keberadaan hukum. Hal tersebut disebabkan hukum tidaklah dapat dilepaskan dari
nilai-nilai yang dipegang dan diyakini oleh masyarakat.
3)
Kesadaran hukum Kesadaran hukum
yang mempengaruhi pembentukan hukum dimulai dari keyakinan yang dimiliki oleh
tiap-tiap manusia sebagai anggota masyarakat untuk taat kepada hukum. Von
Savigny, sebagai pelopor mazhab sejarah hukum berpendapat bahwa sumber dari
hukum itu terdapat di dalam kesadaran hukum masyarakatnya.
2.
Sumber
Hukum dalam Arti Formal
Menunjuk pada kenyataan yang
menimbulkan hukum yang mempunyai kekuatan berlaku atau mengikat setiap orang.
Sumber hukum formal dapat dibagi dua yaitu:
a.
Sumber
hukum dalam arti formal yang tertulis, terdiri dari
1)
Pancasila.
2)
Undang-undang Dasar 1945 dan
Amandemen ke I sampai dengan ke IV.
3)
Traktat.
4)
Putusan HakimlYurisprudensi.
b.
Sumber
hukum dalam arti formal yang tidak tertulis
Hukum formal yang tidak tertulis
adalah Hukum Adat, kebiasaan yang ada dalam masyarakat melalui proses yang
panjang secara bertahap dapat berubah menjadi hukum ad at.
R A N G K U M A N
Pada bagian ini yang dijelaskan
adalah bagaimana pemahaman tentang suatu sistem hukum, yaitu dimulai dari
pengertian sistem, kemudian unsur-unsur yang harus dipahami dari suatu sistem
hukum, yaitu unsur struktural, substansi dan budaya hukum. Tidak jarang
pembahasan mengenai sistem hukum hanya dibatasi pada komponen struktural dan
substansi saja sehingga dinamakan pembahasan tata hukum. Pada bagian akhir
dibahas mengenai sumber-sumber hukum, yaitu sumber hukum dalam arti materiil
yang terdiri dari ideal dan kemasyarakatan dan dalam arti formal yang tertulis
atau dalam arti formal yang tidak tertulis.
KEGIATAN
BELAJAR 2
Subjek, Objek
Hak dan Kewajiban serta Peristiwa Hukum
A. SUBJEK HUKUM
Subjek hukum adalah segala
sesuatu yang menurut hukum dapat menjadi pendukung (dapat memiliki) hak dan
kewajiban. Dalam kamus Ilmu Hukum disebut juga "orang" atau
"pendukung hak dan kewajiban." Subjek hukum memiliki kewenangan
bertindak menurut tata cara yang ditentukan atau dibenarkan hukum. Subjek hukum
yang dikenal dalam ilmu hukum adalah manusia dan badan hukum.
1.
Manusia
(natuurlijk persoon) menu rut
hukum, adalah setiap orang yang mempunyai kedudukan yang sarna selaku pendukung
hak dan kewajiban. Pada prinsipnya, orang sebagai subjek hukum dimulai sejak ia
lahir dan berakhir setelah meninggal dunia. Terhadap hal tersebut, terdapat
pengecualian, yaitu menurut Pasal 2 KUH Perdata, bahwa bayi yang masih dalam
kandungan ibunya dianggap telah lahir dan menjadi subjek hukum, apabila
kepentingannya menghendaki (dalam hal pembagian warisan). Apabila bayi tersebut
lahir dalam keadaan meninggal dunia, menurut hukum ia dianggap tidak pernah
ada, sehingga ia bukan subjek hukum (tidak menerima pembagian warisan). Akan
tetapi ada golongan manusia yang dianggap tidak cakap bertindak atau melakukan
perbuatan hukum, disebut personae miserabile yang mengakibatkan mereka
tidak dapat melaksanakan sendiri hak-hak dan kewajibannya, harus diwakili oleh
orang tertentu yang ditunjuk, yaitu oleh wali atau pengampu (kuratornya).
a.
Anak
yang masih di bawah umur atau belum dewasa (belum berusia 21 tahun), dan belum
kawinlnikah.
Dalam peraturan
perundang-undangan Indonesia, terdapat berbagai ketentuan usia minimal
seseorang untuk melakukan suatu perbuatan hukum atau memperoleh hak, yaitu :
1)
Pasal
330 KUH Perdata menentukan bahwa untuk melakukan perbuatan hukum di bidang
harta benda, usia 21 tahun atau telah menikah (kawin) atau pemah kawinlnikah.
2)
Pasal
7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menetapkan bahwa untuk dapat melangsungkan perkawinan, usia 19 tahun
bagi pria dan usia 16 tahun bagi wanita. Pada Pasal 6 ayat (1) disebutkan bahwa yang belum berusia 21
tahun harus mendapat izin dari orang tua atau walinya untuk melakukan
perkawinan.
3)
Pasal
45 KUH Pidana, belum dapat dipidana seseorang yang belum berusia 16 tahun.
Hakim berdasarkan Pasal 46 KUH Pidana dapat menjatuhkan hukuman dengan tiga
kemungkinan, yaitu mengembalikan kepada orang tua si anak, memasukkan dalam
pemeliharaan anak negara, atau menjatuhkan pidana tetapi dikurangi sepertiga
dari ancaman maksimal pidana yang dilanggar dan dipenjara pada penjara khusus
anak-anak.
4)
Pasal
28 UU No.3 Tahun 1999 tentang Pernilihan Umum (Pernilu), hak seseorang untuk
mernilih adalah usia 17 tahun atau sudah/pemah ka win pada waktu pendaftaran
pernilih.
5)
Pasal
2 ayat (1) butir d PP No. 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi
menyebutkan bahwa usia untuk memperoleh Surat Izin Mengemudi (SIM) adalah
a)
SIM
C dan SIM D pada usia 16 tahun;
b)
SIM
A pada usia 17 tahun;
c)
SIM
B 1 dan SIM B2 pada usia 20 tahun.
6)
Pasal
33 Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1977 tentang Kependudukan, usia 17 tahun
atau sudahlpemah nikah/kawin, wajib merniliki Kartu Tanda Penduduk (KTP).
b.
Orang
dewasa yang berada di bawah pengampuan (curatele), disebabkan oleh.
1)
Sakit
ingatan: gila, orang dungu, penyakit suka mencuri (kleptomania), khususnya
penyakit.
2)
Pemabuk
dan pemboros (ketidakcakapannya khusus dalam peralihan hak di bidang harta
kekayaan).
3)Istri yang tunduk pada Pasal 110
KUH Perdata. Ketentuan ini dianulir oleh Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.
3 Tahun 1963, bahwa setiap istri sudah dianggap cakap melakukan perbuatan
hukum. Status istri yang ditempatkan di bawah pengampuan berdasarkan penetapan
hakim yang disebut kurandus.
2.
Badan
Hukum (rechts persoon), suatu perkumpulan atau lembaga yang dibuat oleh
hukum dan mempunyai tujuan tertentu. Badan hukum terbagi atas dua mac am,
yaitu:
a.
Badan hukum privat, seperti
perseroan terbatas (PT), firma, CV, badan koperasi, yayasan, PT (Persero) -
BUMNID dan sebagainya
b.Badan
hukum publik, seperti negara, pemerintah daerah, desa, Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB).
Keberadaan suatu badan hukum,
berdasarkan teori hukum ditentukan oleh empat teori yang menjadi syarat suatu
badan hukum (sehingga dapat dikelompokkanldigolongkan) sebagai subjek hukum,
yaitu:
a.
Teori
fictie, yaitu badan hukum dianggap sarna
dengan manusia (orang) sebagai subjek hukum, dan hukum juga memberi hak dan
kewajiban.
b.
Teori
kekayaan bertujuan, yaitu harta kekayaan dari suatu
badan hukum mempunyai tujuan tertentu, dan harus terpisah dari harta kekayaan
para pengurus atau anggotanya.
c.
Teori
pemilikan bersama, yaitu semua harta kekayaan badan
hukum menjadi milik bersama para pengurus atau anggotanya.
d.
Teori
organ, yaitu badan hukum harus mempunyai organisasi atau
alat untuk mengelola dan melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan, yaitu
para pengurus dan aset (modal yang dimiliki).
Konsekuensi dari pemisahan harta
kekayaan badan hukum dengan harta pribadi para pengurus atau anggotanya adalah :
a.
Penagih pribadi terhadap anggota
badan hukum, tidak berhak menuntut harta badan hukum.
b.
Para pengurus/anggota tidak boleh
secara pribadi menagih piutang badan hukum terhadap pihak ketiga.
c.
Tidak dibenarkan kompensasi
(ganti kerugian) utang pribadi dari pengurus atau anggota dengan utang badan
hukum.
d.
Hubungan hukum berupa perjanjian
antara pengurus/anggota dengan badan hukum disamakan hubungan hukum dengan
pihak ketiga.
e.
Jika badan hukum pailit, hanya
para kreditur saja yang dapat menuntut
harta kekayaan badan hukum.
B. OBJEK HUKUM
Objek hukum adalah segala sesuatu
yang bermanfaat bagi subjek hukum, dan dapat menjadi objek dalam suatu hubungan
hukum. Menurut terminologi (istilah) ilmu hukum, objek hukum disebut pula
"benda atau barang," sedangkan "bend a atau barang" menurut
hukum adalah segala barang dan hak yang dapat dimiliki dan bernilai ekonomis,
dan dibedakan atas sebagai berikut.
1. Benda yang Berwujud dan Benda
Tidak Berwujud
a.
Benda yang berwujud, yaitu segala
sesuatu yang dapat dicapai atau dilihat dan diraba oleh panca indera,
contohnya, rumah, meja, kuda, pohon kelapa.
b.
Benda tidak berwujud, yaitu
segala macam benda yang tidak berwujud, berupa segala macam hak yang melekat
pada suatu benda, contoh, hak cipta, hak atas merek, hak atas tanah, hak atas
rumah.
2. Benda Bergerak dan Benda Tidak
Bergerak
a.
Benda bergerak, yaitu benda yang
bergerak, karena:
1)
Sifatnya
dapat
bergerak sendiri, seperti hewan
(kuda, sapi, kambing);
2)
Dapat
dipindahkan, seperti kursi, meja, buku;
3)
Benda bergerak karena penetapan atau ketentuan undang-undang, yaitu
hak pakai atas tanah dan rumah, hak sere, hak bunga yang dijanjikan.
b.
Benda tidak bergerak, yaitu
setiap benda yang tidak dapat bergerak sendiri atau tidak dapat dipindahkan,
karena:
1)
Sifatnya
yang
tidak bergerak, seperti hutan, kebun dan apa yang didirikan di atas tanah,
termasuk apa yang terkandung di dalamnya;
2)
Menurut tujuannya, setiap benda yang dihubungkan dengan benda yang
karena sifatnya tidak bergerak, seperti wastafel di kamar mandi, ubin, alat
percetakan yang besar di pabrik;
3)
Penetapan
undang-undang, yaitu hak atas benda tidak
bergerak dan kapal yang tonasenyalberatnya 20 m3.
Pentingnya
pembedaan benda bergerak dan benda tidak bergerak yang diberikan hukum dalam
kaitannya dengan pengalihan hak, yaitu terhadap benda bergerak, cukup dilakukan
dengan penyerahan langsung, sedangkan benda tidak bergerak dilakukan dengan
penyerahan dengan surat atau akta balik nama.
C. HAK DAN KEWAJIBAAN
Berdasarkan
kodratnya, manusia memiliki hak dan kewajiban atas sesuatu dalam menjalani
kehidupan sosialnya dengan manusia lain. Tidak seorang pun manusia yang tidak
mempunyai hak, tetapi konsekuensinya bahwa orang lain pun memiliki hak yang
sarna dengannya. J adi "hak" pada suatu pihak berakibat timbulnya
"kewajiban" pada pihak lain untuk menghormati hak tersebut. Seseorang
tidak menggunakan haknya secara bebas, sehingga menimbulkan kerugian atau rasa
tidak enak pada orang lain.
Untuk terjadinya "hak dan kewajiban," diperlukan
suatu "peristiwa" yang
oleh hukum dihubungkan sebagai suatu akibat artinya hak seseorang terhadap
sesuatu benda mengakibatkan timbulnya kewajiban pada orang lain, yaitu
menghormati dan tidak boleh mengganggu hak tersebut.
1.
Hak
Terdapat
dua teori atau ajaran yang dapat menjelaskan keberadaan hak, yaitu:
a.
Belangen Theorie (teori kepentingan) menyatakan
bahwa hak adalah kepentingan yang terlindungi. Rudolf von Jhering berpendapat
bahwa "hak itu sesuatu yang penting bagi seseorang yang dilindungi oleh
hukum, atau suatu kepentingan yang terlindungi." Utrecht (van Apeldoom,
1985: 221) membantah teori tersebut dengan mengatakan bahwa hukum itu memang
mempunyai tugas melindungi kepentingan dari yang berhak, tetapi orang tidak
boleh mengacaukan antara hak dan kepentingan, karena hukum senng melindungi
kepentingan dengan tidak memberi hak kepada yang bersangkutan. misalnya
ketentuan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar di jarnin dalam UUD 1945
tidak berarti bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar itu "berhak"
atas pemeliharaan negara.
b.
Wilsmacht Theorie (teori kehendak), yaitu hak itu
suatu kehendak yang dilengkapi dengan kekuatan. Bernhard Winscheid mengatakan
bahwa "hak itu suatu kehendak yang diperlengkapi dengan kekuatan dan
diberi tata tertib hukum kepada seseorang. Berdasarkan kehendak, seseorang
dapat mempunyai rumah, mobil, tanah, dan sebagainya. Misalnya, seseorang anak
kecil dan orang gila yang tidak dapat diberi hak karen a mereka belum atau
tidak dapat menyatakan kehendaknya (belum mempunyai suatu kehendak).
Teori ini dibantah oleh Utrecht
dengan alasan (Van Apeldoorn, 1985: 221):
1)
Meskipun
mereka di bawah pengampuan (kuratele), tetapi mereka tetap masih dapat
memiliki rumah, mobil dan yang menjalankan adalah wali/pengampunya atau
kuratornya.
2)
Menurut
pasal 13 KUH Perdata menyatakan bahwa tidak ada manusia yang tidak mempunyai
hak.
Leon
du Guit (Van Apeldoorn, 1985: 221)
menyebutkan "teori fungsi sosial" yang mengatakan bahwa tidak ada
seorang manusia pun yang mempunyai hak. Sebaliknya, di dalam masyarakat, bagi
manusia hanya ada suatu tugas sosial. Tata tertib hukum tidak didasarkan atas
kehendak manusia, tetapi atas tugas sosial yang harus dijalankan oleh anggota
masyarakat.
Beberapa pengertian hak yang
dikemukakan oleh sejumlah pakar hukum adalah:
1.
Van
Apeldoorn (1985:221)
menyatakan bahwa hak adalah kekuasaan (wewenang) yang oleh hukum diberikan
kepada seseorang (atau suatu badan hukum), dan yang menjadi tantangannya adalah
kewajiban orang lain (badan hukum lain) untuk mengakui kekuasaan itu.
2.
Satjipto
Rahardjo (1982:94)
mengatakan bahwa hak adalah kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada sese
orang dengan maksud melindungi kepentingan seseorang tersebut.
3.
Fitgeraid
(Satjipto Rahardjo, 1985:95)
mengemukakan bahwa suatu hak mempunyai lima ciri, yaitu:
a.
Diletakkan pada seseorang yang
disebut sebagai pemilik atau subjek dari hak tersebut. Disebut juga sebagai
orang yang memiliki titel atas barang yang menjadi sasaran dari hak.
b.
Tertuju kepada orang lain, yaitu
yang menjadi pemegang kewajiban, sehingga antara hak dan kewajiban terdapat
hubungan korelatif.
c.
Hak yang ada pada seseorang
mewajibkan pihak lain melakukan (commision)
atau tidak melakukan suatu perbuatan (ommnision) disebut hak.
d.
Commision
atau
Ommnision menyangkut sesuatu
yang disebut objek hak.
e.
Setiap hak menurut hukum
mempunyai titel, yaitu suatu peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya
hak itu pada pemiliknya.
Berdasarkan pengertian dan teori
tentang hak tersebut dapat disimpulkan bahwa hak itu mengandung tiga unsur yang
substansial, yaitu
a.
Unsur
pelindung, misalnya seseorang tidak boleh dianiaya, artinya setiap orang
mempunyai hak untuk dilindungi oleh hukum dari penganiayaan.
b.
Unsur
pengakuan, misalnya adanya kewajiban untuk melindungi A dari penganiayaan
berarti mengakui hak A untuk tidak dianiaya.
c.
Unsur
kehendak, misalnya A memiliki sebuah rumah, maka hukum memberinya hak atas
rumah tersebut untuk bebas menggunakan kehendaknya atau memakainya dan orang
lain wajib menghormatinya dan tidak mengganggu hak si A.
Timbulnya suatu hak didasarkan
oleh suatu peristiwa hukum, misalnya terjadi jual beli, perjanjian sewa menyewa
rumah, merupakan peristiwa hukum yang dapat menimbulkan atau melahirkan hak dan
kewajiban antar para pihak.
Hak dapat timbul pada seseorang
(subjek hukum) disebabkan oleh beberapa hal yaitu:
a.
Adanya
subjek hukum baru, baik orang maupun badan hukum.
b.
Terjadinya
perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak yang melakukan perjanjian.
c.
Terjadinya
kerugian yang diderita oleh seseorang akibat kesalahan atau kelalaian orang
lain.
d.
Karena
seseorang melakukan kewajiban yang merupakan syarat untuk memperoleh hak.
e.
Terjadinya
daluwarsa (verjaring), biasanya karena acquisitief verjaring yang
dapat melahirkan hak bagi seseorang. Sebaliknya, jika terjadi extinctief
verjaring, justru menghapuskan hak atau kewajiban seseorang (orang lain).
Lenyap atau hapusnya suatu hak
menurut hukum dapat disebabkan empat hal, yaitu:
a.
Apabila
pemegang hak meninggal dunia dan tidak ada pengganti atau ahli waris yang
ditunjuk, baik oleh pemegang hak maupun yang ditunjuk oleh hukum.
b.
Masa
berlakunya hak telah habis dan tidak dapat diperpanjang lagi.
Misalnya, kontrak rumah yang
telah habis waktu kontraknya.
c.
Telah
diterimanya suatu benda yang menjadi objek hak. Misalnya, seseorang yang
mempunyai hak waris atau hak menagih utang, tetapi warisan atau piutang itu
sendiri telah diterima atau dilunasi maka hak waris dan hak menagih utang itu
hapus dengan sendirinya.
d.
Karena
daluwarsa (verjaring), misalnya seseorang yang memiliki sebidang tanah
yang tidak pernah diurus, dan tanah itu ternyata telah dikuasai oleh orang lain
selama lebih 30 tahun maka hak atas tanah itu menjadi hak orang yang telah mengurus
selama lebih 30 tahun.
2.
Kewajiban
Kewajiban sesungguhnya merupakan
beban yang diberikan oleh hukum kepada orang atau badan hukum (subjek hukum),
misalnya kewajiban seseorang atau badan hukum untuk membayar pajak dan lahirnya
karen a ketentuan uu. Dalam teori ilmu
hukum, kewajiban dibedakan dalam enam kelompok, yaitu
a.
Kewajiban
mutlak, yaitu kewajiban yang tidak mempunyai pasangan hak, misalnya kewajiban
yang tertuju pada diri sendiri yang umumnya berasal dari kekuasaan.
b.
Kewajiban
nisbi, yaitu kewajiban yang disertai dengan hak, rnisalnya kewajiban pernilik
kendaraan membayar pajak, sehingga berhak menggunakan fasilitas jalan raya yang
dibuat oleh pemerintah.
c.
Kewajiban
publik, yaitu kewajiban yang berhubungan dengan hak-hak publik, rnisalnya
kewajiban untuk patuh pada aturan hukum yang ada.
d.
Kewajiban
perdata, yaitu kewajiban yang berhubungan dengan hak-hak perdata, rnisalnya
kewajiban mematuhi akibat yang timbul karena perjanjIan.
e.
Kewajiban
positif, yaitu kewajiban yang menghendaki suatu perbuatan positif, rnisalnya
kewajiban penjual untuk menyerahkan barang kepada pembeli.
f.
Kewajiban
negatif, yaitu kewajiban yang menghendaki untuk tidak melakukan sesuatu,
rnisalnya kewajiban seseorang untuk tidak mengambil atau mengganggu hak rnilik
orang lain.
Lahir
atau timbulnya suatu kewajiban, disebabkan oleh beberapa hal, yaitu
a.
Diperolehnya
suatu hak yang membebani syarat untuk memenuhi suatu kewajiban, rnisalnya
seorang pembeli yang berkewajiban membayar harga barang dan berhak menerima
barang yang telah dibayarnya (lunas).
b.
Berdasarkan
suatu perjanjian yang telah disepakati.
c.
Adanya
kesalahan atau kelalaian seseorang yang menimbulkan kerugian bagi orang lain,
sehingga ia wajib membayar ganti rugi.
d.
Telah
dinikmatinya suatu hak tertentu sehingga harus pula diimbangi dengan kewajiban
tertentu pula.
e.
Daluwarsa
tertentu yang telah ditentukan oleh hukum atau karena perjanjian tertentu,
bahwa daluwarsa dapat menimbulkan kewajiban baru, rnisalnya kewajiban membayar
denda atas pajak kendaraan bermotor yang lewat waktu atau daluwarsa (ditentukan
dalam undangundang).
Hapusnya atau berakhimya suatu
kewajiban, disebabkan oleh hal-hal:
a.
Meninggalnya
orang yang mempunyai kewajiban, tanpa ada penggantinya, baik ahli waris maupun
orang lain atau badan hukum lain yang ditunjuk oleh hukum.
b.
Masa
berlakunya telah habis dan tidak diperpanjang lagi.
c.
Kewajibannya
telah dipenuhi oleh yang bersangkutan.
d.
Hak
yang melahirkan kewajiban telah hapus.
e.
Daluwarsa
(verjaring) extinctief
f.
Ketentuan
UU.
g.
Kewajiban
telah beralih atau dialihkan kepada orang lain.
h.
Terjadi
suatu sebab di luar kemampuan manusia, sehingga ia tidak dapat memenuhi
kewajiban itu.
D. PERISTIWA HUKUM
Di dalam pergaulan
hidup sehari-hari mungkin terjadi peristiwa yang membawa akibat-akibat hukum.
Oleh Van Apeldoorn peristiwa tersebut dirumuskan sebagai kejadian yang
menimbulkan atau menghapuskan hak maupun kewajiban, jadi suatu peristiwa hukum
merupakan peristiwa sosial yang bersegi hukum.
Satjipto Rahardjo
mengartikan peristiwa hukum sebagai suatu kejadian dalam masyarakat yang
menggerakkan suatu peraturan hukum tertentu, sehingga ketentuan-ketentuan yang
tercantum di dalamnya lalu diwujudkan. Kata "menggerakkan hukum"
diartikan sebagai "timbulnya kelanjutankelanjutan" artinya, adanya
peristiwa hukum yang tercantum dalam rumusan atau kaidah hukum, menyebabkan
timbulnya kelanjutan-kelanjutan berupa "penciptaan tindakan untuk
melaksanakan kaidah hukum yang dilanggar dalam peristiwa hukum tersebut".
Pada tahap ini, sanksi hukum akan diterapkan bagi pelaku dalam peristiwa hukum
atau pelanggaran hukum tersebut.
Tidak semua
kejadian atau fakta dalam masyarakat merupakan peristiwa hukum. Misalnya,
seorang mahasiswa mengambil motornya yang terparkir di kampus, tetapi motor
tersebut adalah rniliknya sendiri. Hal tersebut merupakan suatu kejadian atau
fakta tetapi bukan suatu peristiwa hukum. Beda halnya bila mahasiswa tadi
mengambil motor di kampus yang bukan rnilik sendiri tanpa izin perniliknya,
maka kejadian tersebut merupakan suatu peristi wa hukum karen a merniliki akibat
hukum dan dirumuskan sebagai pencurian pada Pasal 362 KUH Pidana.
Peristiwa hukum
dibedakan atas dua jenis, yaitu:
a.
Peristiwa
hukurn karena perbuatan subjek hukurn, yaitu suatu peristiwa hukurn yang
terjadi akibat perbuatan hukurn, misalnya peristiwa pernbuatan surat wasiat,
atau peristiwa hibah barang.
b.
Peristiwa
hukurn yang bukan perbuatan subjek hukurn atau pensnwa hukurn lainnya, yaitu
peristiwa hukurn yang terjadi dalarn rnasyarakat yang bukan rnerupakan akibat
dari perbuatan subjek hukurn, misalnya kelahiran, kernatian, daluwarsa.
Daluwarsa terdiri dari dua jenis:
1)
Daluwarsa
aquisitiej, yaitu daluwarsa atau lewat waktu yang rnenirnbulkan hak,
misalnya sewa rnenyewa rurnah yang telah selesai rnasanya rnaka si penyewa
berhak rnengernbalikan rurnah yang disewa kepada pemiliknya.
2)
Daluwarsa
extinctief, yaitu daluwarsa atau lewat waktu yang rnelenyapkan
kewajiban, misalnya A, seorang satpam menjaga gudang, yang pada masa tertentu
digantikan oleh satpam B maka selesailah kewajiban A menjaga gudang.
R
A N G K U M A N
Pembahasan
meliputi pengertian-pengertian dasar dalam ilmu hukum, yaitu subjek hukum,
objek hukum, hak dan kewajiban, dan peristiwa hukum. Masing-masing pengertian
tersebut memiliki kaitan yang erat dalam terlaksananya suatu sistem hukum.
Subjek menjelaskan mengenai segal a sesuatu yang dapat menjadi pendukung hak
dan kewajiban, yaitu manusia dan badan hukum. Objek menjelaskan hubungan yang
terjadi antar subjek-subjek hukum tersebut. Hak dan kewajiban adalah sesuatu
yang diusung oleh subjek hukum dan peristiwa hukum adalah yang menimbulkan atau
menghapuskan hak maupun kewajiban. Keempat pengertian tersebut selalu terjadi
dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat
Kaidah hukum
yang kini berlaku dalam kehidupan masyarakat, ada yang tertulis dan ada pula
yang tidak tertulis yang berasal dari adat dan kebiasaan. Kaidah hukum, yaitu
hasil perundang-undangan yang dibuat melalui proses sah serta tidak tertulis,
yang ditaati oleh warga masyarakat. Kaidah hukum ditujukan pada sikap lahir
manusia atau perbuatan konkret manusia. Dalam hal ini tidak dipersoalkan sikap
batin manusia apakah baik atau buruk, karena yang menjadi objek perhatian
adalah bagaimana sikap dan perbuatan lahiriah manusia.
Selain
kaidah hukum, juga terdapat kaidah-kaidah sosial yang hidup di masyarakat.
Kaidah-kaidah tersebut adalah kaidah agama atau kaidah kepercayaan, adalah
aturan-aturan yang berisi kewajiban, larangan, perintah, dan anjuran yang oleh
pemeluk dan penganutnya diyakini sebagai kaidah yang berasal dari Tuhan. Kaidah
kesusilaan (dalam arti sempit), yaitu kaidah yang dianggap paling asli yang
berasal dari sanubari manusia sendiri. Kaidah kesopanan, yaitu kaidah
yang berasal dari dalam masyarakat untuk mengatur pergaulan warganya agar
masing-masing saling hormat menghormati. Kaidah kesopanan pada hakikatnya
merupakan peraturan hidup yang timbul dari pergaulan dalam masyarakat tertentu.
Pada bagian
kedua, yang akan dibahas adalah pembedaan hukum, yaitu dari sumber hukum
formal, dari eksistensinya, sekarang/sudah atau nantil belum ada, antara hukum
alam yang global internasional dengan hukum positif yang nasional/regional,
hukum imperatif dan fakultatif, dari sisi isinya substantif dan ajektif, dan
perbedaan antara hukum tidak tertulis, hukum tercatat dan hukum tertulis.
A. KAIDAH
HUKUM
1.
Kaidah Hukum dan Kaidah Sosial Lainnya
Kaidah hukum
tidaklah sarna sifat dan macamnya dengan kaidah sosial lainnya. Namun, dalam
kenyataannya kaidah hukum yang kini berlaku dalam kehidupan masyarakat, ada
yang berbentuk tertulis dan ada pula dalam bentuk tidak tertulis yang berasal dari ad at dan
kebiasaan. Sedangkan kaidahkaidah sosial lainnya ada yang berasal dari hidup
berkembang dari dalam masyarakat itu sendiri dan ada pula yang berasal dari
luar masyarakat, dengan tujuan kehidupan sosial aman dan tertib.
Untuk memahami perbedaan antara
kaidah hukum dengan kaidah sosial lainnya, akan terlebih dahulu dibahas
pembagian kaidah sosial, yaitu
a.
Kaidah hukum, yaitu hasil perundang-undangan
atau tertulis yang dibuat melalui proses yang sah serta tidak tertulis, yang
ditaati oleh warga masyarakat. Kaidah hukum ditujukan pada sikap lahir manusia
atau perbuatan konkret manusia. Dalam hal ini tidak dipersoalkan sikap batin
manusia apakah baik atau buruk, karena yang menjadi objek perhatian adalah
bagaimana sikap dan perbuatan lahiriah manusia.
Seseorang yang dalam batinnya
tertanam sifat buruk, tidak menjadi persoalan dan tidak akan dihukum sepanjang
sifat buruk itu tidak diwujudkan dalam perbuatan konkret. Sifat buruk dalam
batin, baru menjadi persoalan bagi kaidah hukum apabila sifat buruk itu menjadi
perbuatan konkret yang dilarang. Hukum dalam wujudnya sebagai kaidah, juga
memberikan hak dan kewajiban. Asal mula dan sanksi atas pelanggaran kaidah
hukum, berasal dari luar diri manusia yang sifatnya heteronom.
Contoh kaidah hukum adalah:
1)
barang
siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang
lain, dengan maksud untuk dirniliki secara melawan hukum, diancam karena
pencurian dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak
enam puluh rupiah (Pasal 362 KUH Pidana).
2)
Guna
kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantu an hukum
dari seseorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat
pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini (Pasal
54 KUHAP).
3)
Perkawinan
dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya (Pasal 2 ayat (1) UU
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
Merek terdaftar mendapat
perlindungan hukum untuk jangka waktu sepuluh tahun dan berlaku surut sejak
tanggal penerimaan permintaan pendaftaran merek yang bersangkutan (Pasal 7 UU
No. 19 Tahun 1992 tentang Merek)
Roscoe Pound (1972:37) menganggap
kaidah hukum merupakan suatu kekangan terhadap kebebasan manusia, dan kekangan
itu walau sedikit, berdasarkan pada "pembenaran yang kuat." Ahmad Ali
(1966:55) menambahkan bahwa kaidah hukum sebagai salah satu kaidah sosial yang
mempunyai dua altematif, yaitu
1)
Sifat
imperatif, yaitu secara apriori wajib ditaati. Kaidah ini dapat dikesampingkan
dalam keadaan konkret, hanya karena para pihak membuat perjanjian.
2)
Bersifat
fakultatif, yaitu tidaklah secara apriori mengikat atau wajib ditaati. Jadi,
kaidah yang bersifat fakultatif ini, merupakan kaidah hukum yang dalam keadaan
konkret dapat dikesampingkan oleh perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
b.
Kaidah agama atau kaidah
kepercayaan,
adalah aturan
yang berisi kewajiban-kewajiban, larangan-larangan, perintah-perintah, dan
anjurananjuran yang oleh pemeluk dan penganutnya diyakini sebagai kaidah yang
berasal dari Tuhan. Pelanggaran terhadap kaidah kepercayaan, sanksi atau
akibatnya akan didapat berupa siksaan kelak di akhirat. Tujuan kaidah
kepercayaan, ialah untuk menyempumakan hidup manusia dan melarang manusia
berlaku jahatlberbuat dosa. Kaidah ini hanya membebani kewajiban menurut
perintah Tuhan dan tidak memberi hak.
Kaidah agama merupakan tuntutan
hidup manusia untuk menuju kepada perbuatan dan kehidupan yang baik dan benar.
Kaidah ini mengatur kewajiban manusia kepada Tuhan dan pada diri sendiri.
Sanksi kaidah agama bersifat internal, yaitu dosa serta bersifat ekstemal yang
bersumber dari Tuhan. Isinya ditujukan pada sikap batin, serta daya kerjanya
menitikberatkan pada kewajiban daripada hak.
Contoh kaidah agama adalah jangan
menyekutukan Allah, melaksanakan shalat, hormat dan berbakti pada orang tua
(bapak-ibu), dilarang membunuh, dilarang berbuat zina, jangan menzalimi orang
lain.
c.
Kaidah kesusilaan (dalam arti sempit), yaitu kaidah
yang dianggap paling asli yang berasal dari sanubari manusia sendiri. Kaidah
kesusilaan juga merupakan kaidah yang tertua dan menyangkut kehidupan pribadi
manusia, bukan dalam kualitasnya sebagai makhluk sosial. Kaidah
kesusilaan bertujuan agar manusia
memiliki akhlak yang baik demi mencapai kesempumaan hidup manusia itu sendiri.
Penerapan sanksinya berasal dari dalam diri manusia itu sendiri, bukan paksaan
dari luar. Sudikno Mertokusumo (1986:7) menyebutkan bahwa kaidah moral atau kesusilaan
berhubungan dengan manusia sebagai individu karena menyangkut kehidupan pribadi
manusia. Salah satu ciri kaidah kesusilaan dibanding dengan kaidah hukum,
adalah sifatnya yang otonom artinya, diikuti atau tidaknya kaidah tersebut
tergantung pada sikap batin manusianya, contohnya mencuri perbuatan yang
dilarang (Pasal 362 KUH Pidana) apabila ditaati oleh manusia, bukan berarti ia
takut pada sanksinya semata, tetapi menurut kata hatinya mencuri itu memang
tidak patut dilakukan atau bertentangan dengan batinnya.
d.
Kaidah Kesopanan, yaitu kaidah yang berasal dari
dalam masyarakat untuk mengatur pergaulan warganya agar masing-masing saling
hormat menghormati. Kaidah kesopanan pada hakikatnya merupakan peraturan hidup
yang timbul dari pergaulan dalam masyarakat tertentu. Kaidah tersebut berdasar
pada kepantasan dan kebiasaan atau kepatutan yang berlaku dalam kehidupan
sosial masyarakat.
Kaidah kesopanan juga ditujukan
pada sikap lahir manusia (sarna dengan kaidah hukum) yang ditujukan pada
pelakunya agar terwujud ketertiban masyarakat dan suasana keakraban dalam
pergaulan. Tujuannya bukan pada manusia sebagai pribadi, melainkan manusia
sebagai makhluk sosial yang hidup bersama dalam kelompok masyarakat. Sanksi
terhadap pelanggaran kaidah kesopanan, adalah mendapat celaan dari masyarakat
sekitarnya, yang berasal dari kekuasaan di luar diri manusia yaitu masyarakat.
Kaidah ini berbeda dengan kaidah
kesusilaan, karena kaidah kesopanan berasal dari luar diri seseorang (berasal
dari masyarakat). Bahkan pada saatnya dapat berubah menjadi
"kebiasaan", apabila masyarakat sudah menilainya sebagai suatu
kewajiban dan pelanggaran terhadapnya telah dipandang suatu kesalahan. Kaidah
ini juga hanya membebani kewajiban, tidak menimbulkan hak, misalnya seseorang
tidak berhak mendapat teguran orang setelah ia menegur lebih dahulu. Begitu
pula dengan contoh seorang wanita yang tidak memperoleh tempat duduk dalam bis,
tidak berhak untuk duduk pada kursi yang telah diduduki seorang pria. Beberapa
contoh kaidah kesopanan adalah
1)
orang
yang berusia muda wajib menghormati orang yang berusia
lebih tua.
2)
mengenakan
pakaian yang pantas di tempat-tempat umum.
3)
meminta
izin apabila akan memasuki rumah orang lain.
4)
Memberikan
tempat duduk kepada wanita hamil bila berada di bus kota.
2.
Perbedaan
Kaidah Hukum dengan Kaidah Sosiallainnya
Dilihat dari segi sumbemya,
perbedaan dari kaidah-kaidah tersebut adalah
a.
Perbedaan
kaidah hukum dengan kaidah agama dan kaidah kesusilaan dalam arti sempit,
sebagai berikut:
1)
Berdasarkan
tujuannya, kaidah hukum bertujuan untuk melindungi manusia beserta
kepentingannya dan mewujudkan tata tertib masyarakat, sedangkan kaidah agama
dan kaidah kesusilaan bertujuan memperbaiki pribadi manusia agar menjadi yang
berakhlak.
2)
Berdasarkan
sasarannya, kaidah hukum mengatur sikap dan perilaku manusia yang diancam
sanksi bagi setiap pelanggarnya, sedangkan kaidah agama dan kesusilaan dalarn arti sernpit mengatur sikap batin manusia
sebagai pribadi. Kaidah hukum menghendaki kesesuaian perilaku manusia dengan
aturan hukum, sedangkan kaidah agama dan kaidah kesusilaan dalam arti sempit
menghendaki agar sikap batin manusia itu baik.
3)
Berdasarkan
isinya, kaidah hukum memberikan hak dan kewajiban; sedangkan kaidah agama dan
kaidah kesusilaan dalam arti sempit hanya memberikan kewajiban.
4)
Berdasarkan
kekuatan mengikatnya, kaidah hukum dipaksakan secara konkret oleh kekuasaan
dari luar, sedangkan kaidah agama dan kaidah kesusilaan dalam arti sempit
bergantung pada yang bersangkutan (dari dalam diri).
5)
Berdasarkan
sumber dan pelaksanaan sanksinya, kaidah hukum dan kaidah agama berasal dan
dipaksakan dari luar diri manusia (heteronom), sedangkan kaidah
kesusilaan dalam arti sempit sumber sanksinya berasal dan bergantung dari dalam
hati masing-masing orang (otonom).
b.
Perbedaan
kaidah hukum dengan kaidah kesopanan
1)
Kaidah
hukum memberikan hak dan kewajiban, sedangkan kaidah kesopanan hanya memberikan
kewajiban.
2)
Sanksi
kaidah hukum dipaksakan oleh masyarakat secara resrni (kekuasaan negara),
sedangkan sanksi kesopanan dipaksakan oleh masyarakat tanpa resrni.
Perbedaan
Kaidah
Agama-Kesusilaan-Kesopanan-Hukum
Perbedaan
|
Kaidah Agama
|
Kaidah
kesusilaan
|
Kaidah
|
Kaidah Hukum
|
|
Kepercayaan
|
|
Kesopanan
|
|
Asal-usul
|
Dari Tuhan
|
Dari diri
sendiri
|
Kekuasaan
dari
|
Kekuasaan
dari
|
|
|
|
luar diri
manusia
|
luar diri
manusia
|
|
|
|
yang
bersifat
|
yang
bersifat
|
|
|
|
memaksa
|
memaksa
|
Sasaran
|
Ditujukan
pada
|
Ditujukan
pada
|
Ditujukan
pada
|
Ditujukan
pada
|
|
sikap batin
manusia
|
sikap batin
manusia
|
sikap lahir
|
sikap lahir
|
|
|
|
manusia
|
manusia
|
Isinya
|
Memberi
kewajiban
|
Memberi kewajiban
|
Memberi
|
Memberi
|
|
Tidak
memberi hak
|
Tidak
memberi hak
|
kewajiban
|
kewajiban
|
|
|
|
Tidak
memberi
|
Memberi hak
|
|
|
|
hak
|
|
Tujuannya
|
Seluruh umat
|
Seluruh umat
|
Pembuat yang
|
Pembuat yang
|
|
manusia
|
manusia
|
konkret
|
konkret
|
|
Menyempurnakan
|
Menyempurnakan
|
Ketertiban
warga
|
Ketertiban
|
|
manusia
|
manusia
|
masyarakat
|
warga
|
|
Mencegah
manusia
|
Mencegah
manusia
|
Mencegah
|
masyarakat
|
|
menjadi
jahat
|
menjadi
jahat
|
adanya
korban
|
Mencegah
|
|
|
|
|
adanya
korban
|
Sanksinya
|
dari Tuhan
|
Dari diri
sendiri
|
Dari
masyarakat
|
Dari penegak
|
|
|
|
|
hukum
|
3.
Asal-usul
Kaidah Hukum
Asal usul suatu kaidah hukum
perlu dikaji sehingga dapat dibuktikan bahwa kaidah hukum berbeda dengan kaidah
sosial pada umumnya karena kaidah sosial pada umumnya merupakan bagian dari
aturan-aturan modal. Asal usul kaidah hukum dapat dibedakan dua macam, yaitu:
a.
Kaidah
hukum yang berasal dari kaidah-kaidah so sial lainnya di dalam masyarakat, yang
menurut Paul Bohannan merupakan kaidah hukum yang berasal dari proses double legitimacy atau pemberian ulang legitimasi
dari suatu kaidah sosial non hukum (moral, agama dan kesopanan) menjadi suatu
kaidah hukum. Paul Bohannan menyebutkan bahwa hukum sebaiknya dipikirkan
sebagai perangkat kewajiban-kewajiban yang mengikat yang dianggap sebagai hak
oleh suatu pihak dan diakui sebagai kewajiban oleh pihak lain, yang telah
dikembangkan lagi dalam lembaga-lembaga hukum supaya masyarakat dapat terus
berfungsi dengan cara yang teratur berdasarkan aturan-aturan yang dipertahankan
melalui cara demikian.
b.
Kaidah
hukum yang ditetapkan oleh otoritas tertinggi dalam suatu negara atau dunia
intemasional sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada saat itu, dan langsung
terwujud dalam wujud kaidah hukum, serta sarna sekali tidak berasal dari kaidah
sosiallain sebelumnya.
Asal usul kaidah hukum sebenamya
berasal dari kaidah-kaidah sosial lainnya dan juga berasal dari otoritas
tertinggi (kekuasasan negara). Teori Paul Bohannan ini dikenal dengan nama re-institutionalization
of norm yang memandang keberadaan suatu lembaga hukum sebagai alat yang
digunakan oleh warga masyarakat untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan
yang terjadi di lembaga-lembaga masyarakat (Soerjono Soekanto, 1976:15).
Kebiasaan-kebiasaan yang
mengalami proses pelembagaan kembali menjadi kaidah hukum, pada akhimya
digunakan oleh warga masyarakat sebagai aturan untuk menata kehidupannya.
Proses inilah yang menurut Satjipto Rahardjo (1980:40) disebut dengan
pelembagaan dari konflik yang terdapat di masyarakat artinya, kaidah hukum
merupakan pelembagaan kembali dari kebiasaan-kebiasaan dapat dipandang sebagai
mekanisme menyelesaikan konflik yang terjadi dalam masyarakat.
Selain proses pelembagaan
tersebut, terdapat juga kaidah-kaidah hukum yang memang diciptakan dan
merupakan kaidah yang baru sarna sekali, paling tidak untuk suatu negara,
wilayah, daerah, area tertentu. Kaidahkaidah dibentuk oleh negara untuk
keperluan tertentu, atau merupakan kaidah yang ada pada negara lain dan karena
berbagai keperluan dan hubungan, maka kaidah tersebut diterapkan menjadi kaidah
yang baru di negara kita.
4.
Sifat
dan lsi Kaidah Hukum
Bila kita melihat kaidah hukum
dari sisi sifatnya, maka dapat dibedakan kaidah hukum yang bersifat imperatif
dan kaidah hukum yang bersifat fakultatif. Disebut imperatif karena sifatnya
mengikat dan memaksa dan harus ditaati oleh setiap orang yang termasuk lokus
dan tempus dari kaidah tersebut. Kaidah hukum fakultatif adalah kaidah yang
sifatnya tidak serta merta harus ditaati karena sifatnya hanya merupakan
pelengkap.
Isi kaidah hukum dapat dibedakan
menjadi tiga jenis, yaitu pertama, kaidah hukum yang berisi perintah (gebod),
yaitu kaidah hukum yang berisi perintah yang harus ditaati, rnisalnya
berdasarkan Pasal 45 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyebutkan bahwa
kedua orang tua agar memelihara dan mendidik anak-anaknya dengan
sebaik-baiknya.
Kedua, kaidah hukum yang berisi larangan
(verbod) yaitu kaidah hukum yang memuat larangan untuk melakukan sesuatu
dengan ancaman sanksi apabila melanggarnya, seperti larangan mencuri. Ketiga,
kaidah hukum yang isinya membolehkan (mogen), yaitu kaidah hukum
yang memuat hal-hal yang boleh dilakukan, tetapi boleh juga untuk tidak
dilakukan. Contohnya, calon suarni-istri yang akan menikah dapat mengadakan
perjanjian tertulis baik sebelum maupun setelah pernikahan sejauh tidak melanggar
batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
5.
Sanksi
Kaidah Hukum
Suatu kaidah hukum dapat dianggap
eksis di masyarakat apabila dilakukan penerapan sanksi terhadap kaidah-kaidah
tersebut. Yang dimaksud sanksi ada beberapa pengertian, yaitu
a.
Sudikno Mertokusumo (1986: 9)
menyebutkan sanksi tidak lain
merupakan reaksi, akibat atau konsekuensi dari pelanggaran kaidah sosial.
b.
Paul Bohannan berpendapat bahwa
sanksi merupakan perangkat aturanaturan yang mengatur bagaimana
lembaga-Iembaga hukum mencampuri suatu masalah untuk dapat memelihara suatu
sistem sosial, sehingga memungkinkan warga masyarakat hidup dalam sistem itu
secara tenang dan dalam cara-cara yang dapat diperhitungkan.
c.
Sedangkan Van Den Steenhoven
menyebutkan sanksi adalah unsurunsur sebagai unsur hukum yaitu ancaman
penggunaan paksaan fisik, otoritas yang resrni, penerapan ketentuan secara
teratur, dan reaksi masyarakat yang tidak spontan sifatnya.
Kaidah hukum sebagai salah satu
jenis kaidah sosial, membutuhkan unsur sanksi sebagai unsur yang esensial.
Sanksi ekstemal atau yang berasal dari luar diri manusia merupakan unsur yang
esensial dari kaidah hukum yang membedakan dengan kaidah-kaidah sosial lainnya.
Sanksi tersebut sifatnya dipaksakan oleh pihak otoritas atau aparat negara yang
melaksanakan penegakan hukum.
B. PEMBEDAAN HUKUM
Pembedaan hukum dilakukan karena
luasnya kajian mengenai hukum, sehingga diperlukan pembidangan dan klasifikasi.
Dari sudut sumber hukum formal, hukum dapat dibedakan menjadi:
1.
Hukum perundang-undangan yaitu hukum
yang dicanturnkan dalam peraturan perundang-undangan (wettenrecht).
2.
Hukum kebiasaan, yaitu
keajegan-keajegan dan keputusan-keputusan (penguasa dan warga masyarakat) yang
didasarkan pada keyakinan dan kedamaian pergaulan hidup (gewoonterecht).
3.
Hukum yurisprudensi mencakup
hukum yang dibentuk dalam keputusankeputusan hakim (yurisprudensi-recht).
4.
Hukum traktat, yakni hukum yang
berbentuk dalam perjanjian-perjanjian intemasional (tractaten-recht).
5.
Hukum ilrniah, merupakan hukum
yang dikonsepsikan oleh kalangan ilmuwan hukum (wetenschapsrecht).
1.
Pembedaan
pada lsi atau Hubungan yang Diatur
Pembedaan hukum dari sisi isi dan
hubungan yang diatur, diperoleh pembidangan hukum publik dan hukum perdata.
Apeldoom (L.I. Apeldoom: 1966) menyebutkan bahwa
hukum publik mengatur kepentingan umum sedangkan hukum perdata mengatur
kepentingan khusus. Untuk membedakan bidang hukum publik dengan hukum perdata,
dengan mengajukan beberapa patokan-patokan, yaitu (Paul Scholten: 1954):
a.
Pribadi yang melakukan hubungan
hukum.
b.
Tujuan hubungan hukum sebagaimana
tercantum dalam peraturan.
c.
Kepentingan-kepentingan yang
diatur.
Kaidah-kaidah hukum yang
terumuskan.
Pada hubungan antarpribadi timbul
kesulitan, apabila negara tersangkut dalam status hubungan hukum (apakah itu
bersifat publik atau perdata). Juga sulit untuk secara tegas dan mutlak membuat
batas antara kepentingan umum dengan kepentingan pribadi.
Hukum mengatur hubungan
antarwarga masyarakat, yang menyangkut hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Keadaan
tersebut dalam suatu masyarakat tertentu biasanya terorganisasi dalam suatu
bentuk yang dinamakan negara. Hukum memerlukan proses penegakan; apabila
terjadi sengketa, diperlukan keputusan yang menyelesaikan persengketaan
tersebut, akan tercapai kedamaian (kembali) dalam masyarakat. Penyelesaian
sengketa tersebut, mungkin diputuskan oleh suatu alat perlengkapan negara,
misalnya pengadilan. Selain memutuskan, organ-organ lain dari negara juga
membentuk hukum, yang pada umumnya didasarkan pada peraturan perundang
-undangan.
Dengan demikian ada dua mac am
bidang hukum yang di satu pihak mengatur hubungan antarwarga masyarakat, dan
yang di lain pihak mengatur organisasi masyarakat tersebut. Terakhir menyangkut
pembentukan hukum dan penegakan hukum, sehingga dapat dibedakan antara hukum
publik dan hukum perdata, atau hukum negara dan hukum masyarakat. Pada hukum
publik atau hukum negara, yang diatur adalah pembentukan perundangundangan,
hubungan antarpemerintah dengan DPR, dan seterusnya. Sedangkan hukum perdata
atau hukum masyarakat mengatur soal perkawinan, jual beli dan lain-lain. Oleh
karena itu, dapat disimpulkan:
a.
Bila
hukum publik dibandingkan dengan hukum perdata, maka hukum publik merupakan
hukum khusus (dengan unsur umum) dan hukum perdata merupakan hukum umum.
b.
Pemisahan
atau batas-batas antara isi hukum publik dengan hukum perdata ditentukan oleh
hukum positif, karena sifatnya yang tidak berbeda.
2. Pembedaan
lain
a.
Ius
Constitutum dan ius constituendum
Pada ensiklopedi umum dijelaskan
bahwa ius constitutum merupakan
hukum yang berlaku dalam suatu negara pada suatu saat. Ius consitutum juga merupakan hukum
positif dari suatu negara. Sedangkan ius
constituendum,
adalah hukum yang dicita-citakan
oleh pergaulan hidup dan negara, tetapi belum menjadi kaidah dalam bentuk undang-undang
atau peristiwa lain.
Sudiman Kartohadiprodjo
berpendapat bahwa hukum positif disebut dengan nama asing ius constitutum, sedangkan
ius constituendum merupakan lawannya, yaitu kesemuanya kaidah hukum yang
kita cita-citakan supaya memberi akibat peristiwa-peristiwa dalam suatu
pergaulan hidup yang tertentu.
Perbedaan an tara ius
constitutum dan ius constituendum terletak pada faktor ruang waktu,
yaitu masa kini dan masa yang akan datang. Dalam hal ini, hukum diartikan
sebagai tata hukum yang diidentikkan dengan istilah hukum positif, karena
setelah diundangkan maka ius constituendum menjadi ius constitutum.
Dengan demikian, ius
constitutum kini, pada masa lampaunya merupakan suatu ius cosntituendum.
Apabila pada saat ini suatu ius constitutum memiliki kekuatan hukum,
maka sebagai ius constituendum mempunyai nilai sejarah. Proses perubahan
tersebut dapat terjadi dengan pelbagai cara, yaitu:
a.
Digantinya
suatu undang-undang dengan undang-undang baru (undangundang baru pada mulanya
sebagai rancangan merupakan ius constituendum).
b.
Perubahan
undang-undang dengan memasukkan unsur-unsur baru (unsur-unsur baru tersebut
pada mulanya merupakan ius constituendum).
c.
Penafsiran
peraturan perundang-undangan. Penafsiran yang terjadi pada masa kini mungkin
tidak sarna dengan penafsiran pada masa lampau. Penafsiran yang ada pada masa
kini, dulunya merupakan suatu penafsiran yang ius constituendum.
d.
Perkembangan
doktrin atau pendapat-pendapat kalangan hukum yang terkemuka di bidang teori
hukum.
Perbedaan antara ius
constitutum dan ius constutuendum merupakan suatu abstraksi dari
fakta, bahwa sesungguhnya segala sesuatu merupakan suatu proses perkembangan
artinya suatu gejala yang ada sekarang akan hilang pada masa mendatang karena
digantikan (atau dilanjutkan) oleh gejala yang semula dicita-citakan.
b. Hukum
alam dan hukum positif
HukumAlam
Sejarah perkembangan ajaran hukum
alam berintikan pada usaha atau kegiatan manusia untuk mencari keadilan yang
mutlak. Selama lebih kurang 2500 tahun, ajaran hukum alam timbul dan tenggelam
sebagai suatu usaha ideal yang lebih tinggi tingkatannya dari hukum positif.
Berbagai kepentingan telah
menggunakan hukum alam untuk tujuan masing-masing. Beberapa di antaranya
adalah:
1)
Ajaran
hukum alam telah dipergunakan sebagai sarana untuk mengubah sistem hukum Romawi
kuno, menjadi sistem hukum kosmopolitan.
2)
Ajaran
hukum alam telah dipergunakan sebagai sarana, dalam pertentangan antara pihak
Gereja dengan kaisar-kaisar Jerman pada abad menengah.
3)
Validitas
hukum internasional telah ditanarnkan, atas dasar ajaran hukum alamo
4)
Ajaran
hukum alam telah dipergunakan dalam memperjuangkan kebebasan individu dalam
perlawanannya terhadap absolutisme.
5)
Ajaran
hukum alam telah dipergunakan oleh hakim-hakim Amerika Serikat, menahan
usaha-usaha lembaga legislatif untuk mengubah dan memperketat kebebasan
individu, dengan cara menafsirkan konstitusi.
Dalam perkembangannya, hukum alam
menjadi bagian yang esensial dari hierarki nilai-nilai hukum. Perwujudannya
nampak:
1)
Sebagai
dasar tertib internasional, ajaran-ajaran hukum alam telah mempunyai ilmu hukum
dan filsafat Romawi, tertib hukum masyarakat Barat pada abad menengah, dan juga
sistem hukum internasional dari Grotius.
2)
Melalui
teori-teori yang dikembangkan oleh Locke dan Paine, ajaran hukum alam menjadi
dasar falsafah individu dari Konstitusi Amerika Serikat dan negara-negara
lainnya.
Usaha-usaha mempengaruhi praktik
peradilan dengan ajaran-ajaran hukum alam tidaklah terlalu berhasil. Tetapi
pengaruh hukum alam menjadi lebih berpengaruh secara tidak langsung terhadap
para hakim dan pembentuk hukum, yang ternyata cukup besar.
Ajaran hukum alam ternyata
membawa pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan hukum internasional.
Selain itu, hukum alam juga berpengaruh pada perubahan hukum publik ke arah
yang lebih demokratis dan terhadap persamaan kedudukan di dalam hukum.
Hukum Positif
Black's Law Dictionary (Henry
Campbell Black's: 1968) menyebutkan arti dari hukum positif (positive law) adalah
law actually and specifically enacted or adopted by proper authority for the
government of an organized jurally society.
Suatu kaidah hukum yang berlaku,
sebenarnya merumuskan suatu hubungan (yang pantas) secara fakta hukum dengan
akibat hukum yang merupakan abstraksi dari keputusan-keputusan (JHA Logemann:
1954). Keputusan-keputusan yang konkret sebagai fakta sosial yang mengatur
hubungan-hubungan, senantiasa terjadi dalam suatu pergaulan hidup.
Kejadian-kejadian tersebut selalu terjadi pada masyarakat-masyarakat tertentu,
misalnya apa yang merupakan hubungan hukum di Indonesia mungkin bukan merupakan
hubungan hukum di Malaysia atau negara-negara lain. Sejalan dengan tertib
pergaulan hidup yang merupakan suatu keseluruhan yang terangkai, maka hukum
positif yang merupakan abstraksi dari pergaulan hidup, juga merupakan
keseluruhan terangkai yang dinamakan tertib hukum.
Hukum positif selalu dikaitkan
dengan tempat tertentu dan waktu tertentu (hier en nu = di sini dan kini) atau daar en toen (di
sana dan dahulu). Waktu tertentu artinya proses kejadian di dalam kenyataan
diambil sebagian pada jangka waktu tertentu, untuk kemudian diabstraksikan
sebagai tertib hukum yang berlaku pada saat itu. Abstraksi kondisi tertentu
pada waktu tertentu tersebut tidak berarti hukum itu statis, karena bisa
merupakan suatu proyeksi ke masa depan.
Kaitan hukum positif dengan
tempat tertentu menunjukkan bahwa hukum positif berlaku dalam suatu pergaulan
hidup tertentu. Berlakunya pada suatu pergaulan tertentu tidak merupakan suatu
batasan bahwa hukum menjadi statis, karena dalam pergaulan tersebut terdiri
dari bermacam-macam kelompok sosial yang juga berarti terdiri dari
bermacam-macam tertib hukum, sehingga kelompok sosial tersebut dinamakan
sebagai masyarakat hukum.
Perbedaan antara hukum alam dan
hukum positif terletak pada ruang lingkup dari hukum. Pada ajaran hukum alam,
terdapat prinsip-prinsip yang (ingin) diberlakukan secara universal artinya
(ingin) diberlakukan di manapun dan pada waktu apapun Juga. Pada hukum positif,
pemberlakuannya pada tempat dan waktu tertentu karena masyarakat selalu berubah
baik menurut waktu maupun tempat. Dari kedua hukum tersebut, hukum alam dan
hukum positif, maka terdapat tiga wawasan, yaitu:
1)
Hukum alam sebagai sarana koreksi
bagi hukum positif (hukum alam berhadapan dengan hukum positif).
2)
Hukum alam menjadi inti hukum
positif seperti hukum internasional (hukum alam terjalin atau menjiwai hukum
positif)
3)
Hukum alam sebagai pembenaran hak
asasi (kebebasan dan kesamaan) manusia.
c.
Hukum imperatif dan hukum
fakultatif
Pada struktur kaidah hukum dikenal
isi dan sifat kaidah hukum. lsi kaidah mencakup suruhan, larangan dan kebolehan
sedangkan dari sudut sifat dikenal pembedaan antara hukum imperatif (hukum
memaksa = idwingend recht) dan
fakultatif (hukum mengatur atau hukum pelengkap = regelend recht atau aanvullend recht). Utrecht
(Utrecht: 1966) menyebutkan, bahwa pembedaan hukum imperatif dan hukum
fakultatif terletak pada perbedaan kekuatan sanksinya. Pembedaan yang lain
menyebutkan bahwa hukum imperatif harus ditaati secara mutlak sedangkan hukum
fakultatif dapat dikesampingkan.
Scholten berpendapat bahwa ciri
hukum pelengkap adalah pembentuk undang-undang hanya melengkapi
kekurangan-kekurangan yang mungkin ada, terutama pada pengaturan
hubungan-hubungan hukum. Pembentuk undang-undang tidak selalu mengatur secara
lengkap pelaksanaan suatu undang-undang dan menyerahkan penggunaan dan
penerapannya pada pihakpihak yang mengadakan hubungan hukum. Hal tersebut oleh
Scholten disebut sebagai hukum dispositif.
Pada hukum fakultatif, pembentuk
undang-undang juga memberikan perintah seperti halnya hukum imperatif, tetapi
sifat perintah tersebut berbeda. Perbedaannya terletak pada perintah yang
ditetapkan hanya terbatas pada petunjuk-petunjuk. Perintah petunjuk tersebut
ditujukan langsung kepada penegak hukum, sedangkan pada hukum imperatif,
perintah ditujukan langsung pada penegak hukum dan kepada pribadi pencari
keadilan.
Pada umumnya, hukum imperatif
dihubungkan dengan hukum publik, sedangkan hukum fakultatif dihubungkan dengan
hukum perdata. Biasanya hukum publik mengatur hubungan antara pribadi dengan
penguasa dan mengatur kepentingan umum, sedangkan hukum perdata mengatur
hubungan antarmasyarakat.
Pada beberapa hukum positif,
tetap terdapat pengaturan hukum perdata yang imperatif. Hal tersebut disebabkan
oleh:
1)
Pembentuk
undang-undang merasa perIu melindungi pribadi-pribadi yang oleh karena kurang
mampu atau tidak dapat dipertanggungjawabkan tindakannya, yang dapat berdampak
merugikan dirinya sendiri.
2)
Pembentuk
undang-undang menganggap perIu melindungi pihak-pihak yang secara ekonomis
lemah.
3)
Dalam
hal border case, terdapat aspek publik dan perdata secara bersamaan.
4)
Kumulatif
terhadap pribadi yang kurang mampu, melindungi pihak yang secara ekonomi lemah
dan border case.
5)
Terdapat
syarat-syarat yang menyangkut kemampuan-kernampuan di bidang hukum sebagai
kriteria perikelakuan yang sah dan mempunyai akibat hukum.
d.
Hukum
substantif dan hukum ajektif
Hukum substantif atau hukum
materiil dan hukum ajektif atau hukum formal dirumuskan sebagai berikut.
"Substantive
law is that part of law which creates, delines, and regulated right...
Adjective law is that part of the law witch provides a method for enforcing or
maintaining rights, or obtaining redress for their invasion. (Henry Campbell
Black: 1968).
Dari rumusan tersebut intinya
adalah pada hak-hak dan kewajibankewajiban subjek hukum. Di dalam hukum
substantif hal tersebut dirumuskan, sedangkan hukum ajektif memberikan pedoman
bagaimana menegakkannya atau mempertahankannya di dalam praktik (termasuk bagaimana
mengatasi pelanggarannya terhadap hak-hak dan kewajibankewajiban tersebut).
Lemaire berpendapat bahwa hukum
materiil mengatur hubungan antar manusia (misalnya perjanjian-perjanjian yang
harus dilaksanakan). Apabila
Pada umumnya, hukum imperatif dihubungkan
dengan hukum publik, sedangkan hukum fakultatif dihubungkan dengan hukum
perdata. Biasanya hukum publik mengatur hubungan antara pribadi dengan penguasa
dan mengatur kepentingan umum, sedangkan hukum perdata mengatur hubungan
antarmasyarakat.
Pada beberapa hukum positif,
tetap terdapat pengaturan hukum perdata yang imperatif. Hal tersebut disebabkan
oleh:
1)
Pembentuk undang-undang merasa
perIu melindungi pribadi-pribadi yang oleh karena kurang mampu atau tidak dapat
dipertanggungjawabkan tindakannya, yang dapat berdampak merugikan dirinya
sendiri.
2)
Pembentuk undang-undang
menganggap perIu melindungi pihak-pihak yang secara ekonomis lemah.
3)
Dalam hal border case, terdapat aspek publik dan perdata secara bersamaan.
4)
Kumulatif terhadap pribadi yang kurang
mampu, melindungi pihak yang secara ekonomi lemah dan border case.
5) Terdapat
syarat-syarat yang menyangkut kemampuan-kernampuan di bidang hukum sebagai
kriteria perikelakuan yang sah dan mempunyai akibat hukum.
e.
Hukum
substantif dan hukum ajektif
Hukum substantif atau hukum
materiil dan hukum ajektif atau hukum formal dirumuskan sebagai berikut.
"Substantive
law is that part of law which creates, delines, and regulated right...
Adjective law is that part of the law witch provides a method for enforcing or
maintaining rights, or obtaining redress for their invasion. (Henry Campbell
Black: 1968).
Dari rumusan tersebut intinya
adalah pada hak-hak dan kewajibankewajiban subjek hukum. Di dalam hukum
substantif hal tersebut dirumuskan, sedangkan hukum ajektif memberikan pedoman
bagaimana menegakkannya atau mempertahankannya di dalam praktik (termasuk
bagaimana mengatasi pelanggarannya terhadap hak-hak dan kewajibankewajiban
tersebut).
Lemaire berpendapat bahwa hukum
materiil mengatur hubungan antar manusia (misalnya perjanjian-perjanjian yang
harus dilaksanakan). Apabila
aturan-aturan semacam itu
dilanggar, harus terjadi sesuatu yaitu hukum materiil harus ditegakkan dan hal
itu terjadi di dalam suatu acara. Cara tersebut diatur dan aturan-aturannya
disebut hukum formal. Hukum formal adalah hukum acara: hukum perdata, hukum
acara pidana, hukum acara peradilan tata usaha negara, hukum acara perdata
peradilan agama dan hukum acara peradilan militer.
Pembedaan hukum materiil dengan
hukum formal didasarkan pada isi struktur tata hukum, yang memungkinkan
dikelompok-kelompokkan, seperti hukum publik dan hukum perdata.
e.
Hukum
tidak tertulis, hukum tercatat dan hukum tertulis hukum tidak tertulis
Hukum tidak tertulis (ongeschereven
recht) merupakan sinonim dari hukum kebiasaan (gewonnte recht), yang
di Indonesia juga disebut dengan nama hukum adat. (adat berarti kebiasaan,
yakni perbuatan yang diulangulang dengan cara atau bentuk yang sarna). Hukum
tertulis merupakan bentuk hukum tertua.
Dari segi bahasa, terdapat kesan
bahwa ada persamaan antara kebiasaan dengan hukum tidak tertulis (= hukum kebiasaan), tetapi ada suatu hal
esensial yang membedakannya. Pada hukum tidak tertulis didukung oleh
teori-teori tentang kesadaran hukum (rechtsbewustzijn). Teori-teori tersebut
bersumber pada mazhab sejarah terutama dari F.e. von Savigny (Soerjono
Soekanto: 1979), yaitu hukum tidak tertulis merupakan bentuk hukum tertua
sehingga kebiasaan bukanlah merupakan sumber hukum, akan tetapi merupakan suatu
bentuk pengenal dari hukum positif.
Ehrlich juga berpendapat bahwa
harus dibedakan antara kaidah-kaidah pergaulan hidup yang bersifat umum dan
dikenal, dengan kaidah-kaidah hukum yang didasarkan pada kesadaran hukum.
Ehrlich termasuk sarjana yang bertitik tolak dari kesadaran hukum yang ada di
masyarakat.
Lemaire menyebutkan bahwa
hubungan antara kesadaran hukum umum dengan hukum tidak tertulis terletak pada
kriteria ada atau terjadinya hukum tidak tertulis, yang terdiri dari elemen
faktual atau materiil dan elemen intelektual atau psikologis. (E.L.G Lemaire:
1952). Yang pertama terdiri dari kebiasaan yang terus menerus. Tidak hanya yang
berhubungan dengan "tindakan" akan tetapi juga dengan "tidak
berbuat," kebiasaan terwujud dengan adanya sikap tindak yang diulang-ulang,
yang dalam masyarakat diartikan sebagai perikelakuan sederajat dalam
keadaan-keadaan yang sarna. Elemen kedua mencakup kesadaran hukum sebagai suatu
kesadaran bahwa suatu kebiasaan merupakan hukum (suatu opinion iuris atau
opinion necessitates) .
Beberapa pertanyaan terhadap
kesadaran hukum dengan hukum tidak tertulis adalah:
1)
Apakah syarat-syaratnya, bahwa
suatu perikelakuan atau sikap tindak yang dilakukan berulang-ulang merupakan
kebiasaan sehingga elemen materiil benar-benar terpenuhi?
2)
bagaimanakah menentukan sudah
terdapat suatu opinio iuris
necessitatis, sehingga elemen psikologis terpenuhi?
3)
Manakah yang terlebih dahulu
terjadi, kebiasaan ataukah kesadaran hukum?
4)
Apakah di dalam proses
selanjutnya, opinio iuris necessitatis
harus selalu menjadi dasar kebiasaan, agar dapat dikualifikasikan
sebagai hukum tidak tertulis.
Hukum Tercatat
Berkaitan dengan hukum tidak
tertulis, ada kemungkinan bahwa hukum tidak tertulis tersebut benar-benar tidak
tertulis (artinya, hukum tersebut hidup dalam masyarakat tidak atas dasar
sesuatu yang tertulis), dan ada pula hukum tidak tertulis yang tercatat
(artinya mungkin dicatat oleh pemimpinpemimpin formal dan informal, atau oleh
para sarjana atas dasar penelitian).
Paul Scholten menyatakan bahwa
ada hukum tidak tertulis yang tidak tercatat dan ada yang tercatat,
terformulasikan. Pencatatan tersebut dapat terjadi dalam keputusan peradilan,
dan dapat terjadi dengan cara yang lain. Pencatatan tersebut mempunyai arti
yang mandiri, akan tetapi hukum tidak tertulis yang tidak tercatat juga
merupakan hukum. (Paul Scholten: 1954).
Apabila hukum tidak tertulis
harus dicari dalam masyarakat, maka hukum yang tercatat dapat diketemukan dalam
naskah-naskah tertentu yang mungkin berupa laporan-laporan resmi pejabat,
keputusan hakim, ataupun laporan hasil-hasil penelitian yang pemah dilakukan.
Terdapat beberapa kondisi untuk
menjelaskan keduanya, yaitu:
1)
Apabila
dipermasalahkan mengenai hukum tercatat, maka kaitannya senantiasa pada hukum
tidak tertulis.
2)
Hukum
tercatat mencakup:
a)
Hukum tercatat yang fungsional
atau hukum yang didokumentasikan yang
merupakan hasil pencatatan para pejabat, seperti pamong praja, hakim, kepala
adat.
b) Hukum
tercatat yang ilmiah (sebagai hasil karya sarjana) adalah hasil-hasil
penelitian para sarjana, terhadap hukum tidak tertulis yang berlaku dalam
masyarakat-masyarakat, atau bagian-bagian masyarakat tertentu.
Hukum
Tertulis
Hukum tertulis atau geschreven
recht mencakup perundang-undangan dan traktat. Pembedaan yang nyata adalah
cara pembuatannya, nasional (undang-undang) dan internasional (traktat),
walaupun, undang-undang dapat berisikan hukum internasional seperti UU No. 5
Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nation Convention Bioligical Diversity yang
merupakan ratifikasi dari United Nation Convention on Biological Diversity
1992.
Kedudukan mana yang lebih tinggi
antara undang-undang dan traktat?
Jawabannya
tergantung pada aliran mana kita melihat, yaitu
1)
Aliran primat hukum internasional
mengakui traktat lebih tinggi derajatnya daripada undang-undang yang harus
mengalah pada traktat apabila isinya bertentangan.
2)
Aliran primat hukum nasional
menganggap bahwa hukum nasional (undang-undang) memiliki derajat yang lebih
tinggi dari hukum internasional (traktat).
3)
Aliran kesamaan derajat yang
menganggap tidak adanya perbedaan kedudukan antara undang-undang dan traktat
karena hanya menunjuk pada perbedaan saat berlakunya masing-masing, lebih baru
yang mana? Apabila terdapat pertentangan, maka ketentuan yang terakhir
membatalkan ketentuan yang terdahulu.
Apabila dibandingkan an tara
hukum tertulis dengan hukum tidak tertulis, maka persamaannya terletak pada
sumber isinya serta kekuatan mengikatnya. Dilihat dari sumber isinya, baik
hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis (harus) bersumber pada cita-cita hukum
masyarakat. Agar isi undang-undang sesuai dengan cita-cita hukum masyarakat,
pembuatannya harus memenuhi beberapa syarat.
Apabila dipandang dari sudut kekuatan mengikatnya, baik hukum
tertulis maupun hukum tidak tertulis didasarkan pada kesadaran hukum
masyarakat. Secara asumtif dapat dikatakan bahwa dengan bentuknya yang
tertulis, maka lebih terjarnin adanya kesatuan (uniforrnitas atau keseragaman),
kepastian dan kesederhanaan dalam hukum, tetapi tidak boleh dikontradiksikan
bahwa ketiga hal tersebut tidak terdapat pada hukum tidak tertulis.
RANGKUMAN
Kaidah
hukum yang kini berlaku di masyarakat ada yang dalam bentuk tertulis dan ada
pula dalam bentuk yang tidak tertulis yang berasal dari ad at dan kebiasaan.
Selain kaidah hukum, terdapat juga kaidah-kaidah lain yang berupa kaidah
sosial, yaitu kaidah agama atau kepercayaan, kaidah kesusilaan, dan kaidah
kesopanan. Selain itu, juga dijelaskan perbedaan kaidah hukum dengan kaidah
sosial lainnya yang dapat dilihat dari unsur asal-usul, sasaran, isi, tujuan
dan sanksinya.
Uraian
tentang pembidangan hukum dapat menghasilkan usaha dikotorni. Apabila uraian
aneka dikotorni yang telah dibahas tersebut disimpulkan maka perbedaan an tara ius constitutum dan ius constituendum mengulas perbedaan
eksistensi yakni sekaranglsudah ada atau nantilbelum ada; perbedaan antara
hukum alam dan hukum positif menujukan perbedaan wilayah berlakunya, yakni
universal/global atau nasional/regional; perbedaan antara hukum imperatif dan
hukum fakultatif menegaskan perbedaan sifat rigid atau fleksibel; perbedaan antara hukum substantif dan
hukum ajektif menguraikan perbedaan isinya, yakni mengenai pengukuhan peranan
(hak dan kewajiban) atau cara penindakan pengingkaran peran; perbedaan
antarhukum tidak tertulis, hukum tercatat dan hukum tertulis dengan melihat
keadaan bentuknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar