MODUL 2
Mengenal kaidah Hukum
Kaidah Hukum mempunyai fungsi khusus untuk melindungi
kepentingan-kepentingan manusia dalam hidup bermasyarakat, baik terhadap
kepentingan-kepentingan manusia yang telah dilindungi ataupun yang belum
dilindungi oleh ketiga kaedah sosial yang lain secara tegas.
Untuk mengetahui, memahami dan dapat menghayati hukum,
kita harus mengetahui apa hukum itu, isi, sifat dan perumusan kaidah hukum.
Fungsi lain dari hukum, tugas dan apa tujuan hukum tentunya juga harus
dipelajari. Setelah mempelajari aspek hukum tersebut, kita juga harus
mempelajari bagaimana hubungan hukum dengan keadilan, kekuasan
dan sanksi.
KEGIATAN
BELAJAR 1
Mengenal
Kaidah Hukum
A. DEFINISI
HUKUM
L.j. Van Apeldoorn
berpendapat bahwa Hukum banyak seginya dan demikian luasnya, sehingga tidak
mungkin orang dapat membuat definisi secara memuaskan. Lagi pula pada umumnya
definisi ada ruginya, sebab sebanarnya banyak sisinya, berupa-rupa dan
berganti-ganti, sedangkan definisi itu menyatukan segala-galanya dalam satu
rumus, harus mengabaikan hal yang berupa dan yang banyak bentukya (Apeldorn,
1971 :13)
Kesulitan membuat definisi hukum juga dikemukan oleh G.W. Paton, yang antara lain mengatakan bahwa persoalan mengenai
definisi hukum adalah tidak semudah seperti yang disangka orang semula. Secara
logis haruslah lebih dahulu ditemukan genusnya yaitu pada genus mana res
termasuk. Kemudian sifat-sifat khusus yang membedakannya dari species lain pada
genus yang sama.
Setelah dibandingkan untuk dicari persamaan dan perbedaannya dengan
kaidah-kaidah sosial yang lain, kita dapat mendapatkan
ciri-ciri dari hukum yaitu :
1.
Adanya
perintah dan/ atau larangan;
2.
Perintah
dan/ atau larangan harus ditaati setiap orang;
3.
Adanya
sanksi hukum yang tegas dan dapat dipaksakan oleh instansi yang berwenang.
Dalam bukunya Pengantar Ilmu
dan Tata Hukum Indonesia, C.S.T. Kansil
menyebutkan beberapa rumusan definisi Hukum dari para Ahli Hukum atau Sarjana
Hukum, selanjutnya atas Definisi-defini tersebut ditarik kesimpulan, bahwa
hukum meliputi beberapa unsur, yaitu (Kansil 1980:37):
1.
Peraturan
mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat.
2.
Peraturan
itu diadakan oleh badan resmi yang berwajib.
3.
Peraturan
itu bersifat memaksa.
4.
Sanksi
terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.
Adanya definisi-definisi hukum
yang banyak jumlahnya dan beraneka ragam, disebabkan berbedanya titik-titik
berat metode pendekatan yang digunakan untuk menentukan lahirnya hukum. Ada dua
cara pendekatan yang kontoversial, yaitu :
1.
Yang
dipentingkan adalah norma atau aturannya (body of rulles), meskipun mereka
mengetahui bahwa hukum itu ada hubungannya dengan masyarakat, tetapi tetap yang
dipertimbangkan adalah normanya. Kalau
kita ingin mengetahui batas-batas dari
hukum, yang harus diselidiki lebih dahulu adalah aturan-aturannya.
Selanjutnya, kalau kita hendak membentuk
hukum maka aturan-aturannya harus dipelajari dan diselidiki secara mendalam.
2.
Yang
dipentingkan adalah masyarakat, sebab hukum itu selalu berhubungan dengan
masyarakat sebagai wadahnya. Kalau kita ingin mengetahui batas-batas
dari hukum maka yang perlu diselidiki lebih dahulu adalah masyarakatnya, karena
ini menyangkut masalah sosial.
Pendapat Normatif,
dalam merumuskan hukum, mendasarkan pemikirannya pada anggapan bahwa hukum adalah apa yang datang dari atau dari pemerintah
atau penguasa
yang berwenang. Hukum adalah sengaja dibuat oleh pemerintah, sebagai norma dan sebagai kekuasaan yang biasanya berisi perintah dan/ atau
larangan dan/ atau perkenan, termasuk tokoh pendapat normatif adalah Jeremy
Bentham (1748- 1832),
pendapatnya diikuti oleh John Austin yang menganggap bahwa hukum dibuat oleh
aparatur pemerintah Negara, yaitu dibuat oleh para pembentuk undang-undang dan dibuat oleh hakim dalam proses peradilan (judge made low)
Pendapat Sosiologis,
dalam merumuskan Hukum, mendasarkan pikirannya pada anggapan bahwa hukum adalah kehidupan masyarakat itu
sendiri atau merupakan suatu proses sosial, dan merupakan perilaku
yang timbul secara spontan dari bawah dan bukanlah dibuat oleh pemerintah, tetapi
ditentukan dalam kehidupan sosial, ia lahir dan berkembang dalam masyarakat yang
dinamis sebagai tokoh adalah Von Savigni yang mengajarkan bahwa
hukum tidak sengaja dibuat tetapi lahir dan tumbuh bersama
dengan masyarakat.
Pemberian Arti Hukum
Definisi Hukum dapat dianggap sebagai pemberian arti umum
dari hukum yang cenderung
bersifat teoritis.
Purnadi Purbacarika dan Soerjono
Soekanto menyebutkan ada 9 arti hukum, yaitu :
1.
Hukum
sebagai Ilmu Pengetahuan;
2.
Hukum
sebagai disiplin;
3.
Hukum
sebagai kaidah;
4.
Hukum
sebagai tata hukum;
5.
Hukum
sebagai petugas hukum;
6.
Hukum
sebagai keputusan penguasa;
7.
Hukum
sebagai proses pemerintah;
8.
Hukum
sebagai perilaku yang ajeg atau sikap tindak yang teratur;
9.
Hukum
sebagai jalinan nilai-nilai.
Hukum dalam arti sebagai ilmu pengetahuan/ Ilmu Hukum/
Ilmu Kaidah yaitu Ilmu yang membahas Hukum sebagai kaidah, atau bagian dari
sistim kaidah dengan dogmatic hukum dan sistimatik hukum. Dalam hal ini
hukum diliat sebagai Karya manusia untuk mencapai kebenaran, yang
memiliki ciri-ciri : sistematis, logis, empiris, metodis, umum dan akumulatif.
Hukum dalam arti sebagai disiplin, yaitu sebagai ajaran hukum mengenai fenomena
masyarakat, atau ajaran kenyataan atau gejala-gejala hukum yang ada dan yang hidup dalam masyarakat.
Hukum dalam arti sebagai kaidah, yaitu sebagai peraturan hidup yang menetapkan
bagaimana seharusnya manusia bertingkah laku dalam hidup bermasyarakat,
yang berisa perintah, perkenaan dan larangan, yang tujuannya agar tercipta
masyarakat yang damai.
Hukum dalam arti sebagai Tata Hukum, yaitu sebagai keseluruhan aturan hukum
yang berlaku sekarang, atau yang positif berlaku pada suatu tempat pada waktu
tertentu. Tata Hukum disebut sebagai Hukum positif, atau ada juga yang menyebutnya
sebagai sistim hukum.
Hukum
dalam arti sebagai petugas hukum,
dalam kontek ini lebih banyak merupakan anggapan dari sebagian warga masyarakat yang awam hukum (the man the street) , mereka memanifestasikan hukum seperti apa yang diliat, yaitu
petugas penegak
hukum.
Hukum
dalam arti sebagai keputusan penguasa, yaitu merupakan keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum yang dibuat,
ditetapkan atau diputuskan oleh pihak penguasa yang
berwenang.
Hukum
dalam arti proses pemerintahan,
yaitu merupakan aktifitas dari lembaga administratif dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Dalam hal ini yang dipentingkan adalah tertib aktifitas prosesnya itu sendiri.
Hukum
dalam arti sebagai perilaku yang ajeg atau sikap tindak yang teratus,
yaitu perilaku individu yang satu terhadap yang lain
secara biasa, wajar dan rasional, yang secara terus menerus dilakukan dalam garis
sama akhirnya menimbulkan suatu ikatan yang diterima sebagai suatu
keharusan.
Hukum
dalam arti sebagai jalinan nilai-nilai, tujuan hukum dalam kaitannya
dengan jalinan nilai adalah untuk mewujudkan keseimbangan
atau keserasian
antara pasangan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, yaitu antara nilai objektif
dengan nilai subyektif.
B. ISI,
SIFAT DAN PERUMUSAN KAIDAH HUKUM
Diliat dari isinya, kaidah hukum dapat berisi perintah, perkenaan dan
larangan. Dalam hukum tata negara banyak kita jumpai ketentuan-ketentuan hukum
yang berisikan
perintah atau suruan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan- tindakan tertentu. Satjipto Raharjo
berpendapat bahwa tidak setiap peraturan hukum merupakan
kaidah hukum. Suatu kaidah hukum itu isinya nerupa perintah atau larangan. Tidak semua peraturan hukum itu mengandung Norma Hukum di
dalamnya.
Beberapa peraturan
1.
Peraturan-peraturan yang termasuk kedalam hukum acara.
2.
Peraturan-peraturan yang berisi rumusan-rumusan
pengertian yang dipakai dalam suatu kitab hukum.
3.
Peraturan-peraturan yang memperluas, membatasi atau
merubah isi dari peraturan lain.
4.
Peraturan-peraturan yang hanya menunjuk kepada peraturan
lain
Menurut
sifatnya, kaidah hukum dapat dibedakan menjadi dua :
1. Kaidah hukum yang bersifat memaksa atau imperatif,
yaitu peraturan hukum yang secara a priori mengikat dan harus
dilaksankan, tidak memberi wewenang lain selain dari apa yang diatur dalam
undang-undang.
2. Kaidah hukum yang bersifat pelengkap atau subsidair atau
dispositif, yaitu peraturan hukum yang
tidak secara a priori mengikat, atau peraturan hukum yang sifatnya boleh
digunakan, boleh tidak digunakan.
Soekamto mengemukakan bahwa pada umumnya bentuk perumusan
kaidah hukum ada tiga, yaitu (Soekamto, 1978 : 6):
1.
Larangan;
2.
Instruksi
atau Perintah;
3.
Pernyataan
Hipotesis.
C. FUNGSI,
TUGAS DAN TUJUAN HUKUM
Hukum mempunyai fungsi umum seperti ketiga kaidah sosial uang lain, yaitu
melindungi kepentingan manusia. Dalam hubungannya dengan ketiga kaidah sosial
yang lain, hukum mempunyai fungsi khusus, yaitu untuk mempertegas dan sekaligus
juga untuk melengkapi dalam memberikan perlindungan terhadap
kepentingan-kepentingan manusia.
Disamping itu masih ada fungsi-fungsi lain,
yaitu : sebagai sarana pengendalian sosial; sebagai sarana untuk
melakukan social engineering; dan fungsi integratif.
Penggunaan hukum sebagai alat atau instrumen adalah untuk mengatur
masyarakat, menyelenggarakan tata tertib dan keadilan didalam masyarakat, serta
menyelenggarakan kebahagian material dan spritual bagi seluruh anggota
masyarakat, untuk mencapai tujuan hukum terciptanya kedamaian dalam hidup
bermasyarakat.
Tugas hukum untuk memberikan atau menjamin kepastian hukum (Rechtssicherheit),
dan tersimpul juga tugas lain didalamnya yaitu kemamfaatan dan keadilan. Ketiga
hal tersebut merupakan unsur penegakan hukum, yang dalam penerapannya tidaklah
mudah.
Kepastian Hukum dapat diartikan kepastian bahwa setiap orang akan dapat
memperoleh apa yang diharapkan dalam keadaan tertentu, kepastian hukum itu ada
dua macam, yaitu :
1.
Kepastian
oleh karena hukum, adalah kepastian yang tercapai karena hukum mengenal adanya
lembaga kadaluwarsa (verjaring), misalnya adanya ketentuan hukum yang termuat dalam
Pasal
1963 KUH Perdata, Pasal 78 KUH Pidana.
2.
Kepastian
dalam atau dari Hukum, adalah kepastian hukum yang tercapai apabila hukum
sebanyak-banyaknya berbentuk undang-undang.
Teori Etis
Tujuan Hukum adalah semata-mata untuk mencapai keadilan. Menurut teori ini,
isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran etis kita (etika kita) mengenai
apa yang adil dan apa yang tidak adil.
Yang
pertama-tama mengemukakan pendapat ini adalah Aristoteles dalam karyanya “ Ethica
Nicomachea” dan “Rhetorica”. Menurut Aristoteles,
hukum mepunyai tugas suci, yaitu : memberi kepada tiap-tiap orang apa yang
menjadi haknya (ius suum cuique tribuere), sesuai dengan jasanya
masing-masing, keadilan disini bukan bearti keadilan mutlak dan tidaklah sama
dengan persamaan (Sanusi, 1977: 20)
Aristoles mengajarkan ada dua macam keadilan, yaitu : Keadilan
Distributif dan Keadilan komutatif.
Keadilan
Distributif yaitu Keadilan yang memberikan kepada setiap orang
bagian menurut jasanya masing-masing, tidak menuntut bahwa setiap orang
mendapatkan bagian yang sama banyaknya, bukan persamaan, melainkan kesebandingan.
Sedangkan keadilan komutatif adalah keadilan yang memberikan kepada setiap
orang sama banyaknya dengan tampa mengingat jasa-jasa perseorangan (Apeldoorn,
1971 : 24 -25)
Keadilan
Komutatif lebih menguasai
hubungan antara masyarakat atau pemerintah dengan rakyatnya. Sebagai contoh :
Pasal 27 UUD 1945, yang berbunyi :
1. Segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintah itu dengan tidak ada kecualinya.
2. Tiap-tiap
warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
3.
Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam
upaya pembelaan negara.
Keadilan komutatif lebih menguasai hubungan antara
perorangan, hubungan antara orang yang satu dengan yang lain. Sebagai contoh
hubungan hukum yang bersifat keperdataan : misalnya Perjanjian Jual Beli, Perjanjian
Sewa Menyewa, Perjanjian Tukar Menukar, dan lain sebaginya.
Penganut Teori etis yang lain adalah Geny, yang mengajarkan
bahwa tujuan hukum semata-mata keadilan, tetapi merasa terpaksa juga memasukan
pengertian “Kepentingan Daya guna dan kemamfaatan” sebagai sesuatu unsur
dari pengertian keadilan.
Teori Etis mengandung kelemahan sebab, bersifat berat
sebelah dan bertentangan dengan kenyataan, jika hukum semata-mata mengejar
keadilan dengan memberi kepada setiap orang apa yang patut diterimanya, maka
hasilnya justru ketidak adilan.
Teori
Utilitis
Tujuan Hukum adalah menjamin tercapainya kebahagian
sebesar-besarnya untuk jumlah orang yang sebanyak-banyaknya. Penganut Teori
Utilitis antara lain adalah Jeremy Benthan, yang berpendapat bahwa hukum
bertujuan mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang, tetapi
mengingat apa yang berfaedah bagi orang yang satu mungkin merugikan orang lain,
maka tujuan hukum dirumuskan sebagai berikut : Hukum bertujuan menjamin adanya
kebahagian yang sebesar-besarnya pada orang sebanyak-banyaknya (Utrect,
1961 : 37)
Teori
Campuran
Teori Etis dan teori utilitis ternyata mengandung
kelemahan-kelemahan, maka lahirlah teori ketiga yang mengambil jalan tengah
antara kedua teori tersebut
Beberapa sarjana yang dapat disebut sebagai penganut
teori campuran atau gabungan antara lain adalah :
1. J.H.P Belleroid, berpendapat
bahwa isi hukum harus ditentukan menurut dua azaz, yaitu keadilan dan kefaedaan
2. Van Apeldoorn, berpendapat bahwa tujuan hukum adalah mengatur
pergaulan hidup secara damai dan adil
3. Van Kan, berpendapat bahwa hukum bertujuan menjaga kepentingan tiap-tiap manusia
supaya kepentingan itu tidak dapat di ganggu.
4. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, berpendapat bahwa tujuan Hukum adalah kedamaian hidup
antar pribadi yang meliputi ketertiban ekstern antar pribadi dan ketenangan
intern pribadi.
5. Sudikno Mertokusumo, berpendapat bahwa tujuan hukum pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang
tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan.
KEGIATAN BELAJAR 2
Hubungan Hukum dengan Keadilan
dan
Kekuasaan
A. HUBUNGAN
HUKUM DENGAN KEADILAN
Hukum
dan keadilan dapat kita bedakan, sebab masing-masing mempunyai konsepsi yang
berbeda, Hukum adalah apa yang benar-benar berlaku atau apa yang seharusnya
berlaku sesuai dengan isi kaidah Hukum, dan tidak dipersoalkan apakah baik atau
buruk, sedangkan keadilan adalah suatu cita-cita yang didasarkan pada sifat
moral manusia.
Walaupun
antara hukum dan keadilan dapat dibedakan, tetapi salahlah untuk beranggapan
bahwa hukum dan keadilan sama sekali tidaklah berhubungan. Keadilan berlaku
dalam hukum, serta memberikan ukuran lahir dengan mana hukum dapat
dipertimbangkan, misalnya keadilan menganjurkan kejujuran, dan konsepsi ini
sangat mempengaruhi perkembangan sistim-sistem hukum.
Konsep
bahwa hukummengarah kepada keadilan, dapat kita liat pada dua hal, yaitu :
1.
Undang-undang selalu memberikan ketentuan yang bersifat
umum, artinya berlaku sama terhadap setiap orang.
2.
Didalam suatu proses peradilan berlaku asas bahwa para
pihak didengar dan diperlakukan sama di hadapan hakim.
B. HUBUNGAN
HUKUM DENGAN KEKUASAAN
Keistimewaan
kaidah hukum terletak pada sanksinya yang tegas dan dapat dipaksakan oleh
instansi yang berwenang. Untuk mewujudkan hal tersebut hukum memerlukan adanya
kekuasaan. Namun demikian kekuasaan bukanlah merupakan unsur mutlak atau bukan
unsur pokok/ essensiil dari hukum, artinya hukum itu dapat ada tampa kekuasaan.
Kekuasaan hanya merupakan unsur pelengkap/ accessoir baru dibutuhkan apabila
hukum tidak dilaksanakan dengan sukarela oleh pihak yang kalah, maka atas
permintaan pihak yang menang, putusan hakim tersebut pelaksanaannya dapat
dipaksakan.
Kekuasaan
pada hakekatnya merupakan kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain guna menuruti
kehendak dari pihak pemegang kekuasaan. Dengan kata lain dapat juga dikatakan
bahwa kekuasaan adalah suatu kemampuan untuk memaksakan kehendaknya kepada
orang lain. Kekuasaan dapat dibedakan : Pertama yang cenderung berbentuk
perbuatan phisik atau merupakan kekuatan (power, macht); dan yang kedua
kekuasaan yang bersumber pada wewenang formal atau adanya pembenaran atau
pengakuan dari masyarakat atau dari penguasa yang lebih tinggi, ini dapat
disebut sebagai wewenang.
Hukum
dan kekuasaan mempunyai hubungan yang erat dan hubungan timbal balik. Hukum
tampa didukung kekuasaan, itu hanya akan sepeti kaidah sosial yang lain, hanya
merupan Anjuran atau pedoman saja tampa akibat yang tegas, bahkan dapat
dikatakan hanyalah sebagai angan-angan saja.
Hukum
sendiri sebenarnya juga dapat dianggap sebagai kekuasaan, yaitu apabila hukum
itu dianggap patut oleh warga masyarakat.
C. HUBUNGAN
HUKUM DENGAN SANKI
Kekuasaan
untuk memaksakanberlakunya hukum dalam masyarakat dapat juga diwujudkan dalam
bentuk sanksi. Dalam hal tersebut, sanksi bukan merupakan unsur pokok atau
esensiil dari hukum, tetapi hanyalah sebagai unsur tambahan atau pelengkap.
Sanksi
yang biasa dibicarakan atau sudah dianggap sebagai pendapat umum adalah sanksi
dalam arti negatif, yang baru diterapkan karena terjadi pelanggaran hukum.
D. PENIMPANGAN
KAIDAH HUKUM
Fungsi
Khusus kaidah Hukum dalam hubungannya dengan ketiga kaidah sosial yang lain dan
sekaligus juga merupakan keistimewaan kaidah hukum yaitu terletak pada
sanksinya yang tegas dan dapat dipaksakan oleh instansi yang berwenang.
Penyimpangan
terhadap kaidah hukum dapat dibedakan
menjadi dua : pertama : yang dikualifikasikan sebagai pelanggaran Hukum, dan
kedua yang dikualifikasikan sebagai pengecualian atau dispensasi.
Pengecualian
atau dispensasi pada hakikatnya juga termasuk pelanggarn hukum, tetapi sipelaku
tidak dihukum sebab perbuatannya dibenarkan atau ada dasar pembenaran (rechtvaardigingsgrond), atau sipelaku dibebaskan dari kesalahan (schuldopheffengsgrond),
bearti perbuatan yang pada hakikatnya melanggar Hukum , tetapi
undang-undang membenarkan atau
memaafkan.
Alasan
Pemaaf
Menurut ketentuan Pasal 44 KUHP, tidak dapat
dihukumnya terdakwa berhubung perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya, sebab sipelaku dianggap kurang sempurna akalnya (idiot, buta, tuli
dan bisu sejak lahir).
Pasal 45 KUHP mengatur oerbuatan Pidana yang dilakukan oleh anak yang
belum dewasa, yaitu perbuatan pidana yang dilakukan saat pelaku belum berumur
16 Tahun. Dalam hal ini Hakim dapat menetapkan :
1.
Yang bersalah dikembalikan kepada orang Tuanya, walinya
atau pemeliharanya tampa hukuman; atau
2.
Yang bersalah diserahkan kepada pemerintah untuk
dimasukan ke lembaga pendidikan khusus dan tampa dikenai hukuman; atau
3. Yang
bersalah dihukum, tetapi maksimum hukuman pokok yang akan dijatuhkan, dikurangi
dengan sepertiganya, pida penjara maksimum 15 Tahun apabila ancaman pidana atas
perbuatan yang dituduhkan adalah pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.
Pasal 48 KUHP memuat ketentuan bahwa orang yang melakukan
perbuatan karena pengaruh daya paksa/ force majeure oleh
kekuasaan yang tidak dapat dihindarkan, maka ia tidak dihukum. Pengaruh daya
Paksa sebagai alasan pemaaf dibedakan menjadi 2 yaitu :
1.
Yang bersifat absolut, misal A dipegang
tangannya secara paksa oleh B yang lebih kuat
untuk menulis tanda tangan palsu, atau seseorang yang dihipnotis untuk
melakukan perbuatan pidan;
2.
Yang bersifat relatif, seseorang kasir ditodong pisau disuruh menyerahkan
sejumlah uang tertentu. Dalam hal ini sebenarnya kasir tersebut yang melakukan
perbuatan, tetapi ia tidak mungkin mengadakan perlawanan, karena ancaman
terlalu kuat.
Alasan
Pembenar
Termasuk perbuatan yang pada hakekatnya melanggar hukum,
tetapi dikecualikan dan sipelaku tidak dihukum karena ada unsur pembenar,
adalah :
1.
Perbuatan yang dilakukan dalam keadaan darurat
(noodtoestand);
2.
Pembelaan terpaksa (noodweer);
3.
Melaksanakan ketentuan Undang-undang;
4. Melaksakan
perintah jabatan.
Perbuatan yang dilakukan dalam keadaan darurat (Pasal 48 KUHP)
sebagai alasan pembenar itu berbeda dengan perbuatan yang
dilakukan karena pengaruh daya paksa yang bersifat relatif. Perbuatan yang
dilakukan itu harus sungguh-sungguh dalam keadaan terpaksa untuk membela diri
dan tidak dapat diperhitungkan lebih dahulu (Sudikno Mertokusumo, 1986 : 22).
Pembelaan Terpaksa (Pasal 49 KUHP) atau pembelaan dalam keadaan darurat adalah alasan
pembenar yang membebaskan seseorang dari hukuman, karena sipelaku terpaksa
mempertahankan dirinya sendiri atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan
atau harta benda miliknya sendiri atau milik orang lain, dari serangan yang melawan hak dan
bersifat mendadak atau datangnya sekonyong- konyong.
Syarat
untuk adanya pembelaan terpaksa adalah :
1.
Pembelaan dilakukan harus terpaksa dan amat perlu karena
tidak ada jalan lain, serta harus seimbang dengan datangnya serangan.
2.
Hanya terhadap kepentingan-kepentingan yang disebutkan
dalam pasal itu ialah badan, kehormatan (berkaitan dengan soal sexual), dan
barang (barang berujud termasuk juga binatang). Pembelaan dilaukan bukan hanya
untuk kepentingan sendiri tetapi juga untuk orang lain.
3. Serangan
harus bersifat melawan hak dan mengancam dengan mendadak atau sekonyong-konyong.
Melaksanakan ketentuan undang-undang (Pasal 50 KUHP) sebagai alasan pembenar yang membebaskan seseorang dari
hukuman, karena undang-undang menghalalkan perbuatan yang didasarkan atas
ketentuan undang-undang.
Melaksanakan perintah jabatan dari kekuasaan yang berwenang (Pasal 51 KUHP)sebagai alasan pembenar yang membebaskan hukuman. Disini
diisyaratkan ada hubungan yang bersifat
kepegawaian (negeri) antara yang diperintah dan
yang memerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar