MODUL 4
Jam Kerja dan Pengupahan
Purbadi
Hardjoprajitno, S.H, M.Hum.
Drs. Saefulloh
Purwaningdyah, MW, S.H, M.Hum.
PEN DA H U L U A N
Pada modul sebelumnya kita telah
membahas mengenai ruang lingkup, hubungan kerja dan perjanjian kerja an tara
pekerja dan pengusaha. Dalam hal hubungan kerja, sebagaimana telah dibahas
sebelumnya, terdapat hak utama pekerja yang akan dibahas secara khusus dalam
bagian ini yakni masalah waktu kerja dan pengupahan. Kedudukan waktu kerja dan
pengupahan dalam hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja sangat istimewa.
Pokok utama isi perjanjian kerja adalah menyangkut ketentuan waktu kerja dan
pengupahan. Sebab itu setelah menguasai ketentuan perjanjian kerja, sebaiknya
diperdalam dengan ketentuan waktu kerja dan pengupahan. Pada modul ini kita
akan memperdalam dua hal pokok meliputi:
Kegiatan Belajar 1 : Mengenal Waktu Kerja dan Waktu
Istirahat.
Kegiatan Belajar 2 : Mengenal Pengupahan.
KEGIATAN BELAJAR 1
Mengenal
waktu Kerja dan Waktu Istirahat
A.
WAKTU KERJA
Pengertian waktu kerja secara
definitif tidak dijumpai dalam perundang-undangan nasional. Pengertian waktu
kerja hanya dijumpai dalam Bijblad Nomor 14136 yang didefinisikan sebagai
jangka waktu antara saat pekerja harus hadir untuk memenuhi pekerjaannya dan
saat pekerja dapat meninggalkan pekerjaannya untuk menikmati waktu istirahat
dikurangi waktu mengaso antara permulaan dan akhir waktu kerja (Pasal 64 ayat
(1) butir (a) Bijblad No. 14136). Secara sederhana waktu kerja dapat pula
diartikan sebagai batas waktu dimana seorang pekerja wajib menjalankan
pekerjaannya sesuai dengan yang diperjanjikan.
Dengan dilakukannya pembatasan
waktu kerja, diharapkan dalam melakukan pekerjaan yang bersifat terus-rnenerus,
pekerja akan dapat melakukan tugasnya semaksimal mungkin, produktif dan aman
dari pengaruh buruk akibat pekerjaan. Perlindungan itu bertujuan pula agar
dalam melakukan pekerjaan, pekerja dapat terlindungi dirinya, jasmani dan
rohani, dari kejadian yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja
(K3). Disamping itu, pembatasan waktu kerja juga untuk menjarnin agar pekerja
tetap dapat bergaul dalam kehidupan sosial kemasyarakatan sebagai makhluk
sosial. Perlindungan lainnya dengan dibatasinya waktu kerja, agar pekerja mempunyai
kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya diluar perusahaan,
serta dapat pula mernbina kehidupan kerohaniannya, karen a tersedianya cukup
waktu untuk beribadah atau berbuat amal kebaikan bagi sesamanya.
B.
SUMBER HUKUM YANG MENGATUR WAKTU KERJA
Sumber hukum yang mengatur waktu
kerja untuk yang pertama kalinya diatur dalam Undang-undang No. 12 Tahun 1948
jo. Undang-undang No.1 Tahun 1951. Dalam Undang-undang tersebut, pembatasan
waktu kerja ditujukan kepada pekerja. Dinyatakan bahwa pekerja tidak boleh
menjalankan pekerjaan lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu (Pasal 10 sid Pasal 15). Seperti diketahui,
ketentuan ini merubah ketentuan waktu kerja yang ada sebelumnya di dalam Pasal
1601 jo KUH Perdata, yang mengatur bahwa dianggap satu hari kerja adalah 10
jam.
Selain Undang-undang No. 12 Tahun
1948 jo. Undang-undang Nornor 1 Tahun 1951, kemudian terbit Undang-undang Nomor
13 Tahun 2003 (UUKK). Dalam UUKK yang baru ini, konsep pembatasan waktu kerja
yang semula ditujukan kepada pekerja itu dirubah. Dalam UU Ketenagakerjaan No.
13 Tahun 2003 itu pengusahalah yang diwajibkan untuk mentaati dan melaksanakan
waktu kerja terhadap pekerjanya.
Pada mulanya hukum
ketenagakerjaan hanya mengenal satu kesatuan waktu kerja, yaitu tujuh jam sehari
dan empat puluh jam seminggu untuk enam hari kerja. Namun dalarn praktek, telah
banyak pula perusahaan yang menggunakan sistem delapan jam kerja sehari dan
empat puluh jam seminggu dalam lima hari kerja, dengan hari istirahat dua hari
dalarn satu pekan/mingguan. Melihat kenyataan itu pemerintah kemudian mengakui
dan mengatur sistem waktu kerja yang telah berlangsung dalam praktek hubungan
kerja di Indonesia ke dalam peraturan nasional. Dimulai dengan dikeluarkannya
Instruksi Direktur Jenderal Pembinaan Norma-Norma Perlindungan Tenaga Kerja
Nomor : 8/3/Skr.4011970. Dalam
instruksi yang ditujukan kepada para pegawai pengawas ketenagakerjaan tersebut,
bagi perusahaan yang ingin mengubah waktu kerjanya menjadi lima hari seminggu
selama delapan jam, diberi petunjuk penyelesaian sebagai berikut:
a.
Perusahaan diwajibkan membuat
pengaturan (arbeidsreglement) mengenai waktu kerja menjadi delapan jam sehari
dan lima hari serninggu yang disetujui pekerja yang bersangkutan,
b.
Upahnya didasarkan pada kerja
delapan jam dan kerja lembur adalah kerja yang dilakukan sesudah delapan jam
kerja, dan
c. Apabila
sebelurnnya upah istirahat rningguan dibayar, upah istirahat mingguan menjadi
dua hari dan wajib tetap dibayar, apabila upah istirahat mingguannya memang
tidak dibayar, harus dijaga agar penerimaan pekerja dalam waktu satu rninggu
tidak boleh kurang dari kerja wajib seminggu dalam enam hari kerja.
Instruksi tersebut kemudian
diatur kembali dalam Permenaker Nomor Per.06IMenl1993. Pilihan untuk
melaksanakan waktu kerja selama delapan jam sehari dalam seminggu, terakhir
diatur secara tegas dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 Pasal 77 ayat
(2) butir b. Sejak itu, di Indonesia dikenal dua sistem satuan waktu kerja,
yaitu tujuh jam sehari dan empat puluh jam seminggu, enam hari kerja, dan/atau
delapan jam sehari dan empat puluh jam seminggu, lima hari kerja. Untuk sistem
satuan waktu kerja tujuh jam sehari,dan enam hari kerja seminggu, ada hari
kerja terpendek yaitu selama lima jam kerja. Hari kerja terpendek ini biasanya
dalam praktek ditempatkan pada hari keenam dari hari kerja satu minggu. Namun
dalam menentukan hari kerja terpendek dimaksud, dapat dilakukan melalui
kebijakan dan kebutuhan perusahaan atau kesepakatan. Perlunya ditetapkan hari
kerja terpendek, untuk menentukan adanya kerja lembur, apabila pekerja
dipekerjakan melebihi jam kerja wajibnya.
Sedangkan untuk pekerjaan dengan
sistem delapan jam kerja sehari dan lima hari kerja serninggu, tidak ada hari
kerja terpendek. Bagi yang menggunakan sis tern lima hari kerja, waktu kerja
dimaksud akan berpengaruh pada lamanya hari cuti dan perhitungan hak cuti yang
didasarkan pada kehadiran pekerja. Mengenai pengertian satu hari, adalah waktu
selama 24 jam, jadi selama waktu itu pekerja tidak boleh dipekerjakan lebih dari
jam kerja wajibnya, tujuh atau delapan jam, dan kelebihan jam kerja selama
waktu kurang dari 24 jam dihitung sebagai lembur.
Di dalam Undang-undang Kerja
Tahun 1948 Nomor 12, diatur apabila pekerjaan itu dijalankan pada malam hari
atau pekerjaan itu berbahaya bagi kesehatan atau keselamatan pekerja, waktu
kerja dalam sehari tidak boleh lebih dari enam jam (Pasal 10 ayat 1). Namun
ketentuan ini sampai kemudian
Undang-undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 dicabut, tetap dinyatakan belum
berlaku. Dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, tidak diatur lagi adanya
ketentuan seperti diatas, artinya undang-undang tidak lagi bermaksud hendak
membedakan waktu kerja apabila dilakukan pada siang atau malam hari.
C. WAKTU KERJA TERUS MENERUS
Pekerjaan yang dijalankan secara
terus menerus adalah pekerjaan yang menurut jenis dan sifatnya harus
dilaksanakan dijalankan secara terus menerus, atau dalam keadaan lain
berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja. Pengusaha dapat
mempekerjakan pekerja pada hari libur resmi, untuk pekerjaan yang menurut jenis
dan sifatnya harus dilaksanakan/dijalankan secara terus menerus. Pekerjaan
dimaksud yakni pekerjaan di bidang:
a.
pelayanan jasa kesehatan;
b.
pelayanan transportasi;
c.
jasa perbaikan alat transportasi;
d.
usaha pariwisata;
e.
jasa pos dan telekomunikasi;
f.
penyediaan tenaga, jaringan
pelayanan air bersih, dan penyediaan bahan bakar
minyak dan gas bumi;
g.
usaha swalayan, pusat
perbelanjaan, dan isnya;
h.
media masa;
i.
pengamanan;
j.
lembaga konservasi;
k.
pekerjaan-pekerjaan yang apabila
dihentikan akan menghanggu proses produksi, merusak bahan, dan terrnasuk
pernelihraan/perbaikan alat produksi.
Dalarn keadaan tertentu pengusaha dapat
mempekerjakan pekerja pada hari libur resmi didasarkan kesepakatan. Pengusaha
yang mempekerjakan pekerja terus-menerus, apabila mempekerjakan seorang pekerja
dari 40 jam seminggu, wajib membayar upah kerja lembur pada pekerja yang
bersangkutan.
D. WAKTU KERJA YANG BERSIFAT
KHUSUS
Ketentuan lain yang pada mulanya juga diatur dalam Undang-Undang Kerja
tetapi belum berlaku, adalah pengaturan lanjut mengenai waktu kerja dan waktu
istirahat untuk pekerjaan atau perusahaan tertentu guna menjaga kesehatan dan
keselamatan pekerja (Pasal 10 ayat 5). Walaupun ketentuan dimaksud belum
dicabut secara tegas, namun selama ini di sub sektor angkutan jalan raya dan di
sub sektor minyak dan gas bumi telah ada aturan secara khusus. Barulah kemudian
dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 diatur secara tegas ketentuan waktu
kerja yang bersifat khusus dapat berlaku bagi
sektor usaha atau pekerjaan tertentu. Dalam penjelasannya diuraikan.
Yang dimaksud dengan sektor usaha
tertentu, dicontohkan pengeboran minyak lepas pantai dan contoh pekerjaan
tertentu, sopir angkutan jarak jauh, kapal laut dan penebangan hutan. Di cantumkannya
ketentuan ini berikut penjelasannya karena, walaupun Undang-undang Kerja Tahun
1948 Nomor 12 mengatur bahwa ketentuan dimaksud belum berlaku, namun dalam prakteknya
telah lama ada pengaturan seeara khusus, seperti di sub sektor perhubungan darat
dan minyak dan gas bumi.
Di sub sektor perhubungan darat,
dalam Bijblad Hindia Belanda Nomor: 14136, Peraturan tentang Lalu Lintas di
Jalan (Wegverkeers Besluit Verkeer en Waterstaat) sebagai peraturan
pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah (Wegverkeers Verordening) (Stb1
1936 No. 451) jo. Undang-undang tentang Lalu Lintas di Jalan (Stbl 1933 No.
sb), diatur waktu kerja bagi pengemudi. Waktu kerja bagi pengemudi kendaraan
bermotor pada umurnnya tidak boleh lebih dari 12 jam, dalam keadaan luar biasa batas
maksimum tidak lebih dari dua waktu kerja berturut-turut, Pembatasan itu dapat
dilampaui apabila jurnlah dua waktu kerja berikutnya tidak boleh lebih dari 24
jam, yaitu dikurangi dengan jumlah jam dari dua waktu kerja terdahulu yang
melebihi 24 jam. Oalam menjalankan pekerjaan tersebut, seorang pengemudi
dilarang dalam waktu kerja mengemudikan otobis lebih dari delapan jam dan
perahu motor lebih dari sepuluh jam.
Ketentuan khusus di sub sektor
perhubungan darat ini, diatur terakhir dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang mewajibkan perusahaan angkutan
umum untuk mematuhi ketentuan mengenai waktu kerja dan waktu istirahat bagi
pengemudi, yang pelaksanaannya diatur dalam suatu Peraturan Pemerintah (PP).
Oalam PP Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengernudi, mengatur
mengenai waktu kerja pengemudi kendaraan angkutan umum adalah 8 jam sehari,
dalam hal-hal tertentu dapat dipekerjakan menyimpang lebih dari 8 jam, akan
tetapi tidak boleh lebih 2 jam, terrnasuk istirahat satu jam. Ketentuan
penyimpangan tidak berlaku bagi pengemudi kendaraan umum angkutan kota. Bagi
setiap perusahaan angkutan, menyediakan pengemudi pengganti (Pasal 240 sid
242). Di sub sektor migas, pada Tahun 1983 untuk yang pertama diatur ketentuan
kerja khusus di perusahaan minyak dan gas bumi untuk daerah lepas pantai dan
daerah terpeneil. Oitetapkan waktu kerja di sub sektor ini adalah 12 jam kerja
sehari selama 14 hari berturut-turut, dilanjutkan dengan tujuh hari istirahat
dengan berupah. Pengaturan khusus ini diberikan kepada perusahaan minyak dan
gas bumi dan perusahaan yang kegiatannya bersifat penunjang kegiatan dimaksud,
mernerlukan waktu istirahat khusus. mengingat kondisi kerjanya
(Kepmenaker Nomor: KEP-100/MEN/1983)
Ketentuan tersebut diatas
kemudian dirubah, ada 14 macam pilihan waktu kerja yang dapat dilakukan oleh
perusahaan dibidang Energi dan Sumber Daya Mineral, termasuk perusahaan
penunjang yang melakukan kegiatan di daerah operasi tertentu. Pilihan waktu
kerja dimaksud, adalah sebagai berikut:
a.
jam sehari 40 jam seminggu untuk
kerja 6 hari dalam seminggu;
b.
jam sehari dan 40 jam serninggu
untuk waktu kerja 5 hari dalam semmggu;
c.
jam sehari dan maksimum 45 jam
dalam 5 hari kerja untuk satu periode kerja;
d.
jam sehari dan maksimum 50 jam
dalam 5 hari kerja untuk satu periode kerja;
e.
jam sehari dan maksimum 55 jam
dalam 5 hari kerja untuk satu periode kerja;
f.
9 jam sehari dan maksimum 63 jam
dalam 7 hari kerja untuk satu periode kerja;
g.
10 jam sehari dan maksimum 70 jam
dalam 7 hari kerja untuk satu periode kerja;
h.
jam sehari dan maksimum 77 jam
dalam 7 hari kerja untuk satu periode kerja;
1.
9 jam sehari clan maksimum 90
puluh jam dalam sepuluh hari kerja untuk satu periode kerja;
J.
10 jam sehari dan maksimum 100
jam dalam 10 hari kerja untuk satu peri ode kerja;
k.
11 jam sehari dan maksimum 110
jam dalam 10 hari kerja untuk satu periode kerja;
1.
9 jam sehari dan maksimum 126 jam
dalam 14 hari kerja untuk satu periode kerja;
m.
10 jam sehari dan maksimum 140
jam dalam 14 hari kerja untuk satu periode kerja;
n.
11 jam sehari dan maksimum 154
jam dalam 14 hari kerja untuk satu periode kerja.
Waktu kerja dimaksud tidak
termasuk waktu istirahat sekurangkurangnya selama satu jam, akan tetapi sudah
termasuk waktu kerja lembur tetap sebagai kelebihan tujuh jam satu hari.
Sedangkan mengenai pelaksanaan
waktu istirahat, diatur dalam perjanjian kerja, PP, atau PKB sesuai dengan
kebutuhan perusahaan. Perusahaan dapat melakukan pergantian dan atau perubahan
waktu kerja dengan memilih dan menetapkan kembali waktu kerjanya sesuai dengan
kebutuhan. Pergantian dan/atau perubahan waktu kerja dimaksud wajib
diberitahukan terlebih dahulu oleh pengusaha kepada pekerja, sekurangkurangnya
30 hari sebelum tanggal perubahan dilaksanakan. Apabila peru sahaan akan
melakukan perubahan waktu kerja, memberitahukan secara tertulis atas perubahan
tersebut kepada instansi ketenagakerjaan di KabupateniKota.
Perusahaan yang menggunakan waktu
kerja seperti diatas, wajib memberikan waktu istirahat sebagai berikut, setelah
pekerja bekerja secara terus menerus selama enam hari dalam satu minggu atau
tujuh jam satu hari dan 40 jam satu minggu, kepada pekerja wajib diberikan satu
hari istirahat, dan setelah pekerja bekerja secara terus menerus selama lima
hari dalam satu minggu atau delapan jam satu hari dan 40 jam satu minggu,
kepada pekerja wajib diberikan dua hari istirahat. Untuk perusahaan yang
menggunakan waktu kerja lebih dari sembilan jam sehari, menggunakan
perbandingan waktu kerja dengan waktu istirahat dua banding satu untuk satu
periode kerja, dengan ketentuan maksimum 14 hari kerja terus menerus dan
istirahat minimum lima hari dengan berupah. Waktu yang dipergunakan pekerja
dalam perjalanan dari tempat tinggal yang diakui oleh perusahaan ke tempat
kerja, termasuk waktu kerja, apabila perjalanan memerlukan waktu 24 jam atau
lebih.
Apabila perusahaan telah mernilih
dan menetapkan salah satu dan/atau beberapa waktu kerja dan ternyata pekerja
dipekerjakan kurang dari waktu kerja tersebut, perusahaan tetap wajib membayar
upah sesuai dengan waktu kerja yang dipilih dan ditetapkan. Dalarn hal
perusahaan memilih dan menetapkan waktu tujuh atau delapan jam sehari dan
mempekerjakan pekerja hari libur resmi, perusabaan wajib membayar upah kerja
lembur. Untuk hari libur resmi yang jatuh pada satu periode kerja yang telah
dipilih dan ditetapkan oleh perusahaan berdasarkan waktu kerja yang sembi Ian
jam atau lebih dalam sehari, hari libur resmi tersebut dianggap hari kerja
biasa.
Bagi perusahaan yang menggunakan
waktu kerja khusus wajib membayar upah kerja lembur sebagai berikut:
a.
Apabila kerja lembur dilakukan
pada hari biasa:
1.
untuk jam kerja lembur pertama
selebihnya dari tujuh jam satu hari dan 40 jam satu minggu untuk enam hari
kerja atau delapan jam satuhari dan 40 jam satu minggu untuk lima hari kerja
wajib dibayar upah kerja lembur sebesar satu setengah x (kali) upah sejam;
2.
untuk setiap jam kerja lembur
berikutnya, wajib dibayar upah kerja lembur sebesar dua x (kali) upah sejam;
b.
Apabila kerja lernbur dilakukan
pada hari istirahat mingguan dan bari libur resrni:
1.
untuk setiap jam dalam batas
tujuh jam, wajib dibayar upah kerja lembur sekurang-kurangnya dua x upah sejam;
2.
untuk jam kerja pertama
selebihnya tujuh jam, wajib dibayar upah kerja lembur sebesar tiga x upah sejam;
3.
untuk jam kerja kedua selebihnya
tujub jam dan seterusnya, wajib dibayar upah kerja lembur sebesar empat x upah
sejam.
Perhitungan upah kerja lembur
didasarkan pada upah bulanan. Untuk menghitung upah sejam, dihitung 11173 dari
upah sebulan. Dalam hal upah terdiri dari upah pokok dan tun jangan tetap,
dasar perhitungan upah kerja lembur adalah 100% dari upah. Dalam hal upah
terdiri dari upah pokok, tunjangan tetap, dan tunjangan tidak tetap,
perhitungan upah kerja Iembur didasarkan pada hasil perhitungan yang lebih
besar antara 100% upah pokok ditambab tunjangan tetap, atau 75% dari upab
keseluruhan.
Bagi perusahaan yang menggunakan
waktu kerja sernbilan jam atau lebih dalam sehari, membayar upah kerja lembur
setelah tujuh jam kerja dengan perhitungan sebagai berikut:
1.
Untuk waktu kerja 9 jam satu
bari, wajib membayar upah kerja lembur untuk setiap hari kerja sebesar 3 112 x
upah sejam;
2.
Untuk waktu, kerja 10 jam satu
hari, wajib membayar upah kerja lembur untuk setiap hari kerja sebesar 5 112 x
upab sejam;
3.
Untuk waktu kerja II jam satu hari, wajib membayar upah
kerja 1embur untuk setiap hari kerja sebesar 7 112 x upah sejam.
Perusahaan yang menggunakan waktu
kerja khusus, melaporkan pelaksanaannya tiga bulan sekali kepada instansi
ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Menteri, yang memuat:
a)
waktu kerja yang dipilih dan
ditetapkan serta waktu istirahat,
b)
jurnlah pekerja yang
dipekerjakan;
c)
daftar upah kerja lembur tetap;
dan
d)
perubahan pelaksanaan waktu kerja
(Kepmenakertrans No. KEP.234/ MEN12003).
Dari uraian diatas, dapat
dipahami bahwa, mengenai pelaksanaan waktu kerja, bagi masing-masing
perusahaan, tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
Kapan jam kerja dimulai, jam istirahat dan berakhirnya jam kerja, diserahkan
kepada para pihak untuk diatur dalam perjanjian kerja, PP atau PKB.
E.
WAKTU ISTlRAHAT
Tujuan utama ditetapkannya waktu
istirahat adalah untuk memberi ketentuan agar pekerja diperlakukan secara
proporsional dan merniliki waktu untuk pengembangan diri. Dan juga dengan
pemberian istirahat yang cukup secara berkala dan teratur, pekerja diharapkan
akan memiliki waktu yang lapang dan kehidupan teratur untuk menjaga dan
meningkatkan kesehatan jasmani rohaninya. Dengan jiwa raga yang sehat,
diharapkan pekerja dapat mengembangkan dirinya melalui pendidikan dan latihan
atau melalui pergaulan dalam masyarakat. Selain itu pekerja akan rnempunyai
waktu yang cukup pula untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinannya,
sehingga dapat mengembangkan dirinya menjadi orang yang berkualitas.
Pengertian waktu istirahat secara
definitif tidak dijelaskan dalam undang-undang. Pengertian waktu istirahat
secara definitif hanya dapat kita lihat dalam Bijblad Nomor 1.4136 (Pasal 64
ayat (1) butir (b)). Dalam Bijblad dimaksud pengertian tentang waktu istirahat
adalah, jangka waktu an tara dua waktu kerja selama sedikit-dikitnya 20 jam.
Selama menjalani waktu istirahat itu pekerja dibebaskan dari seluruh urusan
pekerjaan. Dari Bijblad dimaksud, dapat pula diketahui adanya pembedaan
pengertian antara waktu istirahat dengan waktu mengaso. Pengertian waktu
istirahat adalah waktu antara waktu kerja dengan waktu kerja berikutnya.
Sedangkan untuk menyebutkan waktu istirahat di dalam waktu kerja disebut dengan
waktu mengaso, yaitu tiap jangka waktu terus menerus selama
sedikit-dikitnya setengah jam antara permulaan dan akhir waktu kerja, dimana
pada waktu itu pekerja dibebaskan dari unsur pekerjaan. Pengertian waktu mengaso
(waktu istirahat diantara jam kerja) yang dirumuskan di dalam Bijblad
diatas, masih tetap dapat dipakai sebagai pedoman dalam memaharni waktu
istirahat yang dipergunakan dalam peraturan perundangan ketenagakerjaan yang
berlaku sekarang. Tentunya pemahaman itu harus disesuaikan dengan ketentuan
yang berlaku sekarang, misalnya waktu kerja wajib adalah tujuh atau delapan
jam, sedangkan yang dimaksud dengan satu hari adalah 24 jam.
Ada sembilan macam bentuk waktu
istirahat yang diatur dalam Undangundang Ketenagakerjaan, yaitu:
1.
istirahat kerja;
2.
istirahat mingguan;
3.
istirahat pada hari libur resrni
(hari raya);
4.
istirahat Tahunan);
5.
istirahat tertentu bagi pekerja
wanita;
6.
istirahat karena alasan tertentu;
7.
istirahat panjang;
8.
istirahat sakit; dan
9.
istirahat rnenjalankan ibadah.
F. KETENTUAN WAKTU ISTlRAHAT
Untuk mengetahui lebih jauh
mengenai ketentuan 9 waktu istirahat, berikut dijelaskan masing-masing waktu
istirahat.
1.
Istirahat
Kerja
Pada pengaturan pertama di dalam
KUH Perdata, tidak diatur secara tegas mengenai pelaksanaan waktu istirahat.
Para pihak diberi kebebasan sepenuhnya untuk mengatur sendiri pelaksanaannya.
Pasa1 1602 KUH Perdata secara umum hanya mengatur kewajiban majikan untuk
memberi kesempatan kepada pekerja yang bertempat tinggal bersamanya, untuk
diberi kesempatan menikmati istirahat dari pekerjaannya. Istirahat itu harus
diberikan tanpa memotong upahnya, yang dalam pelaksanaannya di1akukan dengan
suatu tata cara yang diperjanjikan atau menurut kebiasaan setempat.
Sejak Undang-undang Kerja Tahun
1948 Nomor 12 jo. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951, pengaturan waktu istirahat
sudah diatur secara tegas. Dalam ketentuan itu ditetapkan bahwa setelah
menjalankan pekerjaan selama empat jam terus menerus, pekerja harus diberi
waktu istirahat sedikitdikitnya setengah jam lamanya. Waktu istirahat itu tidak
termasuk jam kerja.
Pengaturan yang pernah ada
tentang waktu istirahat, menyebutnya dengan kata-kata sekurang-kurangnya atau
sedikitiya. lni berarti peraturan hanya mengatur ketentuan waktu minimal. Para
pihak dalam hubungan kerja diberi kebebasan untuk mengatur istirahat kerja
lebih dari setengah jam sesuai dengan sifat pekerjaan atau kondisi perusahaan.
Namun lamanya waktu istirahat itu hendaknya dilakukan secara wajar, mengingat
jika waktu istirahat itu terlalu lama, akan memberatkan pihak pekerja karena
mereka akan lebih lama berada di perusahaan,
Selain itu, tujuan pemberian
istirahat kerja an tara lain untuk mengatasi kelelahan dan kejenuhan dalam
bekerja sehingga terpe1ihara keamanan, ketertiban dan kelancaran dalam
berproduksi. Dengan demikian, istirahat kerja ini tentunya tidak perlu
diberikan terlalu lama tetapi tidak boleh pula sampai ditiadakan. Dalam praktek
yang paling ban yak dilakukan untuk waktu kerja siang hari, waktu istirahat
diberikan satu jam antara jam 12 sid 13.00, untuk memberi kesempatan
bagi pekerja, selain istirahat juga untuk makan siang dan beribadah shalat
zuhur pekerja yang beragama Islam.
Dalam pengaturan terakhir
mengenai waktu kerja dan waktu istirahat di sub sektor migas, lepas pantai dan
daerah tertentu, tidak dinyatakan secara tegas mengenai pengaturan istirahat
kerja setelah empat jam kerja. Dalarn ketentuan yang ada, hanya ditetapkan
bahwa selama melakukan pekerjaan dalam waktu yang diatur secara khusus itu, di
dalam waktu kerja tidak termasuk waktu istirahat sekurang-kurangnya selarna
satu jam. Dengan demikian dalam pelaksanaannya, istirahat kerja dapat dilakukan
dua kali rnasing-masing setengah jam, atau satu kali sekurang-kurangnya satu
jam.
Di dalam UU Ketenagakerjaan No.
13 Tahun 2003 pengusaha diwajibkan memberikan waktu istirahat antara jam kerja,
sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama empat jam terus menerus
dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja. Sedangkan pengaturan
pelaksanaannya dilakukan dengan kesepakatan oleh para pihak yang di muat dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau PKB. Dengan demikian pada dasarnya
waktu istirahat kerja dari waktu ke waktu diatur lamanya paling sedikit
setengah jam setelah empat jam kerja dan pelaksanaannya diserahkan untuk diatur
bersama oleh pengusaha dan pekerja (Pasal 79 ayat (2) butir a UUKK).
2.
Istirahat
Mingguan
Pengusaha diwajibkan untuk
memberikan istirahat mmgguan. Untuk enam hari kerja dalam seminggu istirahat
minggu diberikan selama satu hari istirahat dan dua hari istirahat apabila
menggunakan sistem kerja lima hari dalam serninggu. Selama istirahat mingguan,
pekerja tetap berhak upah penuh. Dalam Undang-undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12
yang dicabut oleh UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 , diatur bahwa istirahat
mingguan itu diberikan sedikit-dikitnya satu hari, artinya boleh diberikan
lebih dari satu hari dalam seminggu. Hal ini tentunya dimaksudkan agar
ketentuan undang-undang yang bersifat luwes ini dapat menampung segala
kemungkinan dalam pelaksanaan istirahat mingguan.
Dalam Undang-undang Kerja, tidak
ada pengaturan secara tegas bahwa upah selama pekerja menjalani istirahat
rningguan wajib dibayar oleh pengusaha, karena rupanya pembuat undang-undang
menyadari bahwa, dalam kenyataannya pada waktu itu, ada hubungan kerja yang
bersifat sementara dan singkat seperti pekerja harian lepas, yang bekerja
kurang dari tiga bulan berturut-turut dan dalam satu bulan kurang dari 20 hari
kerja, yang dalam prakteknya kepada mereka diperlakukan asas tidak ada upah
bila pekerja tidak bekerja (no work no pay), yang membedakannya dengan
hubungan kerja tetap lainnya.
Dengan menetapkan kewajiban
membayar upah selama pekerja menjalani istirahat mingguan ini, UU
Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 hendak meningkatkan perlindungan terhadap
pekerja, terutama pekerja di kelas bawah, yang hubungan kerjanya selalu tidak
jelas. Ada dua hal dapat kita paharni dari ketentuan yang baru ini. Pertama,
undang-undang hendak mengarah pada sistem upah dengan satuan bulan, seperti
yang selama ini telah diberlakukan melalui kebijakan upah minimum. Kedua,
hendak membatasi praktek hubungan kerja yang kurang memberi kepastian
perlindungan kepada pekerja. Hal ini dapat kita lihat dari pembatasan yang
dilakukan oleh undang-undang mengenai bentuk hubungan kerja, untuk waktu
tertentu atau untuk waktu tidak tertentu saja (Pasal 56 UU Ketenagakerjaan No.
13 Tahun 2003).
Untuk pekerja harian lepas
dimasukkan dalam pengertian hubungan kerja waktu tertentu. Ketentuan UU
Ketenagakerjaan No. 13 Tabun 2003 di atas dapat tafsirkan bahwa mereka berhak
atas istirahat rningguan apabila dalam satu minggu telah bekerja selama enam
hari (tujuh jam atau lima hari kerja (delapan jam kerja), karena undang-undang
tidak mengadakan pembedaan dalam pemberlakuannya. Hal lain yang dapat dicatat dalam
pelaksanaan istirahat mingguan In} adalah
bahwa dalam hukum ketenagakerjaan nasional dibuat setelah kemerdekaan, tidak
lagi mewajibkan beristirahat mingguan harus dilaksanakan pada hari minggu,
seperti yang pernah diatur dalam peraturan perundang-undangan masa Hindia
Belanda.
Dalam Pasal 1602v KUH Perdata
diatur bahwa, pekerja tidak harus bekerja pada hari minggu dan hari yang
dipersamakan dengan hari minggu menurut kebiasaan setempat. Apabila dilakukan
penyimpangan, dalam satu bulan tetap diberikan istirahat sekurang-kurangnya dua
kali istirahat pada hari rrunggu.
3.
Istirahat Hari Raya
Pengaturan hari libur hari raya
bagi pekerja, secara khusus baru mulai ditetapkan sejak Tahun 1953, dengan
Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 55 Tahun 1953. Diatur dalam ketetapan
tersebut, jika hari libur itu jatuh pada hari minggu pekerja mendapat upah
penuh. Jikalau pada hari libur itu harus tetap bekerja, upahnya dua kali upah
biasa. Ketentuan tersebut kemudian diperbaharui dengan Permenaker Nomor PER.03IMEN/1987. Dalam ketentuan yang
ini, perlindungan terhadap pekerja ditingkatkan, dengan mewajibkan pengusaha
untuk membayar upah pada hari libur resmi baik yang jatuh pad a hari minggu
atau istirahat mingguan atau tidak. Apabila di pekerjakan pada hari libur
resmi, dibayarkan upah lemburnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Ketentuan ini untuk mengatasi kenyataan bahwa telah banyak perusahaan pada saat
itu yang melaksanakan istirahat mingguan yang tidak diadakan pada hari minggu.
Ketentuan dalam UU
Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 mengatur bahwa, pekerja tidak wajib bekerja
pada hari libur resmi (Pasal 85 ayat 1). Prinsip perlindungan hak asasi pekerja
iui, telah lama diatur, yaitu dalam Pasal 1602v KUH Perdata. Dalam
Undang-undang Ketja Tahun 1948 Nomor 12, hal itu ditemukan dalam Pasal 11, yang
mengatur bahwa pekerja tidak boleh menjalankan pekerjaan pada hari raya yang
ditetapkan dalam peraturan pemerintah.
Sayangnya, sampai dengan
dicabutnya Undang-undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 oleh UUKK, PP dimaksud tidak
pernah diterbitkan. Tindak lanjut dari amanat Pasal 11 dimaksud dilakukan
dengan Keputusan Presiden (Keppres Nomor 251 Tahun 1967, Keppres Nomor 3 Tahun
1983, dan terakhir Keppres Nomor 14 Tahun 2002). Sampai dengan Keppres yang
terakhir, hari-hari yang dinyatakan sebagian Hari Libur Nasional (Hari Raya)
adalah sebagai berikut:
1
|
Tahun Baru 1 Januari
|
satu hari
|
2
|
Proklamasi Kemerdekaan
|
satu hari
|
3
|
Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad
S.A.W
|
satu hari
|
4.
|
Maulid Nabi Muhammah S.A.W.
|
satu hari
|
5.
|
Tahun Baru Hijriyah
|
satu hari
|
6.
|
Idul Adha
|
satu hari
|
7.
|
Idul Fitri
|
dua hari
|
8.
|
Hari Raya Natal
|
satu hari
|
9.
|
Kenaikan Yesus Kristus
|
satu hari
|
10.
|
Wafat Yesus Kristus
|
satu hari
|
11.
|
Hari Raya Nyepi
|
satu hari
|
12.
|
Hari Raya Waisak
|
satu hari
|
13.
|
Iahun Baru Imlek
|
satu hari
|
Dari hari-hari yang ditetapkan
sebagai hari raya dimaksud jelas terlihat bahwa hari raya itu diberikan untuk
menghormati bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beragama. Hal ini terlihat
dari sebagian besar hari libur resmi tersebut berhubungan dengan hari ray a
dari agama-agama yang diakui oleh pemerintah. Ketentuan ini menunjukkan bahwa
Pernerintah menghormati dan mengakui warganya untuk beribadah menurut keyakinan
agamanya, dengan memberikan kesempatan yang cukup bagi pemeluknya untuk merayakan
hari raya keagamaannya.
Dalam pelaksanaannya, mengingat
adanya sifat pekerjaan tertentu di perusahaan, hari-hari raya dapat digeser
pelaksanaannya. Apabila dilakukan penggeseran pelaksanaannya, perbedaan upah
yang dibayar adalah pada hari penggeseran hari raya apabila pada hari
penggeseran itu pekerja di pekerjakan, disamping mendapat upah pada hari raya,
juga mendapat pembayaran upah lembur untuk bekerja pada hari raya. Sedangkan
apabila ada pekerja yang dipekerjakan pada hari-hari pelaksanaan cuti bersama,
pada hari itu dianggap pekerja bekerja seperti hari biasa dan apabila bekerja
lembur, upah lemburnya juga dengan upah lembur pada hari kerja biasa (SE
Menakerirans No. 1M. 02. 23. 2002 dan SE Dirjen Binawas No. SE.02IDPHII02).
4.
Istirahat
Tahunan
Undang-undang Kerja Tahun 1948
menetapkan bahwa bagi pekerja yang menjalankan pekerjaan untuk satu atau
beberapa majikan dari satu organisasi, harus diberi ijin untuk beristirahat
sedikit-dikitnya dua minggu tiap-tiap Tahun. Dalam pengertian seminggu, adalah
waktu selama tujuh hari. Dengan demikian pelaksanaan istirahat Tahunan menurut
ketentuan dimaksud adalah 14 hari. Ketentuan ini sarna dengan ketentuan yang
dikeluarkan pada rnasa Hindia Belanda, dimana cuti Tahunan ditetapkan selama 14
hari, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 409 KUH Dagang dan Pasal 7
Peraturan Perburuhan di Perusahaan perkebunan. Tujuan pemberian istirahat
Tahunan, untuk memberikan kesempatan bagi pekerja mengunjungi keluarganya atau
mengadakan perjalanan peninjauan atau rekreasi
untuk rnenyegarkan badan dan pikiran serta rneluaskan pandangan rnereka.
Sejalan dengan pemberian istirahat ini, undang-undang
mendorong kepada pengusaha dan rnasyarakat untuk mengadakan ternpat-ternpat
istirahat dan rekreasi bagi pekerja. Dengan demikian, tidak tepat apabila
dengan alas an untuk kepentingan perusahaan at au atas alasan permintaan
pekerja, pelaksanaan cuti Tahunan diganti dengan uang.
Dalam PP Nornor 21 Tahun 1954
sebagai peraturan pelaksana Undangundang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 diatur pentahapan
pernberlakuan pemberian istirahat Tahunan, dan tata-cara pelaksanaan istirahat
Tahunan. Dari ketentuan ini kita dapat mengetahui bahwa, pada awal
pemberlakuannya cuti Tahunan dibatasi berlakunya, hanya terhadap perusahaan
tertentu yaitu:
a.
yang menggunakan mesin dengan
kekuatan paling sedikit tiga PK akan tetapi kurang dari empat PK dan mempunyai
pekerja 20 orang atau lebih;
b.
yang menggunakan tenaga mesin
dengan kekuatan paling sedikit empat PK akan tetapi kurang dari lima PK dan
mernpunyai pekerja 10 orang atau lebih;
c.
yang menggunakan tenaga mesin
dengan kekuatan lima PK lebih, dan d) mernpunyai pekerja 50 orang atau lebih,
Walaupun sebenarnya Undangundang
Kerja Tahun 1948 sendiri tidak mengamanatkan lebih ataupun bermaksud membatasi
pemberlakuannya. Hanya karena melihat kondisi perusahaan pada waktu itu,
Pernerintah melakukan pembatasan pemberlakuannya. Barulab kemudian dengan
Kepmenakertrans Nomor: KEP. 69IMEN/1980 terhitung
tanggal 10 Mei 1980 ketentuan rnengenai istirahat Tahunan diperlakukan kepada
semua perusahaan lainya.
Mengenai cara menghitung
istirahat Tahunan ini, untuk 23 hari kerja dalam satu bulan kalender, setiap
hari pekerja hadir bekerja, dihitung satu hari istirahat, sampai paling banyak
dua belas hari kerja dalam setahun. Oleh Undang-undang ditetapkan bahwa di
hitung sebagai hari kerja adalah harihari:
a.
istirahat berdasarkan peraturan
perundang-undangan;
b.
mendapat kecelakaan kerja;
c.
sakit yang diberitahu secara sah;
d.
yang selayaknya menjadi
tanggungan pengusaha; dan
e.
mogok kerja yang dan
alasan-alasan lain yang sah.
Tidak dianggap sebagai hari
kerja, hari istirahat mingguan dan hari libur resmi yang ditetapkan oleh
pemerintah. Di dalam Peraturan Perburuhan di Perusahaan Perkebunan dicantumkan
secara tegas bahwa termasuk perhitungan satu Tahun masa kerja apabila pada
waktu mernulai hubungan kerja ada masa percobaan, walaupun dalam PP Nomor 21
Tahun 1954 hal seperti itu tidak dicantumkan.
Dalam pelaksanaan cuti Tahunan,
pada dasarnya dilakukan secara terus menerus, namun dengan kesepakatan dapat
dilakukan dalarn beberapa bagian, dengan ketentuan harus ada satu bagian yang
sedikit-dikitnya enam hari terus menerus. Selama menjalani istirahat Tahunan,
pekerja berhak atas upah penuh. Apabila upahnya tidak tentu, untuk menghitung
pembayaran upah selama istirahat adalah upah rata-rata dalam enam bulan yang
mendahului, terhitung sejak saat dimulainya istirahat Tahunan. Bagi pekerja
harian, upah itu dibayarkan sebelum istirahat Tahunan dilaksanakan. Dalam
pelaksananaannya, pengusaha diwajibkan untuk menetapkan jumlah hari istirahat
Tahunan dan memberitahu kepada pekerja. Dalam waktu paling lama enam bulan
setelal lahirnya hak istirahat Tahunan, pekerja harus menggunakannya. Apabila
dalam waktu tersebut pekerja tidak menggunakannya tanpa alasan yang sah atau
alasan istimewa, hak istirahat Tahunan itu menjadi gugur. Namun pengusaha dapat
menunda pelaksanaan istirahat Tahunan, karena kewenangan menetapkan pelaksanaan
istirahat, merupakan kewenangan perusahaan (marcagernent right), walaupun
penundaan itu harus dilakukan dengan tetap memperbatikan kepentingan pekerja.
Untuk itu, demi menjaga
kepentingan pengusaha, misalnya perusahaan dalam produksi puncak, pengusaba
dapat,menunda pelaksanaan cuti pekerja untuk waktu paling lama enam bulan
terhitung sejak timbulnya hak istirahat Tahunan dimaksud. Dalam peraturan yang
pernah ada sebelumnya, apabila terjadi PHK, yang bukan disebabkan oleb
kesalahan besar atau alasan mendesak, bagi pekerja yang di PHK yang sudah
mempunyai sekurangkurangnya enam bulan masa kerja dari istirahat Tahunan yang
terakhir,
berhak atas istirahat Tahunan
secara proporsional, yang dalam pelaksanaannya dapat diberikan penggantian
berupa uang. Oleh UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 untuk mendapatkan hak
atas cuti Tahunan tidak lagi dipermasalahkan penyebab terjadinya PHK. Semua
pekerja yang di PHK berhak atas uang penggantian hak, salah satu dian tara uang
penggantian hak adalah cuti Tahunan yang belum diambil dan belum gugur.
Dalarn UU Ketenagakerjaan No. 13
Tahun 2003, khusus untuk istirahat Tahunan disebut dengan istilah cuti Tahunan,
sedangkan untuk istirahat lainnya tetap dengan sebutan istirahat, bukan dengan
kata cuti. Cuti Tahunan sekurang-kurangnya 12 hari kerja setelah pekerja yang
bersangkutan bekerja selama 12 bulan terus-menerus (Pasal79 ayat (2). Ketentuan
ini sarna dengan bunyi ketentuan dalam PP Nomor 21 Tahun 1954 (Pasal 2 ayat 2).
Bedanya adalah apabila PP Nomor 21 Tahun 1954 dalam menghitung hari istirahat
dalam satu Tahun menyebut dengan kata-kata paling banyak 12 hari kerja,
sedangkan UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 rnenggunakan kata
sekurang-kurangnya 12 hari kerja sama dengan ketentuan dalam Undang-undang
Kerja Tahun 1948 Nomor 12. Perbedaannya dengan Undang-undang Kerja, mengenai
lamanya disebut dengan waktu dua minggu (empat belas hari), sementara dalam UU
Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 disebut dengan dua belas hari sarna dengan
yang diatur dalam PP Nomor 21 Tahun 1954.
Dalam beberapa Tahun terakhir
ini, telah berlangsung suatu bentuk baru dalam pelaksanaan istirahat Tahunan
secara bersama kepada semua pekerja (cuti mas sal) , yang dilaksanakan dengan
cara perusahaan menghentikan produksinya untuk semen tara. Praktek cuti massal
ini telah berlangsung di banyak perusahan, hal ini dimaksudkan guna memberi
kesempatan kepada pekerja untuk mudik lebaran ke kampung halamannya dengan
waktu yang cukup. Pelaksanaan cuti massal ini rnernang sejak lama dapat
dibenarkan, karena berdasarkan Pasal 5 PP Nomor 21 Tahun 1954, dimana pada
intinya mengatur bahwa pelaksanaan cuti dilakukan dengan memperhatikan
kepentingan bersama antara pengusaha dan pekerja dan dilakukan dengan
persetujuan bersama antara kedua belah pihak.
Sejak Tahun 2003, cuti massal
(istirahat Tahunan secara nasional) ini di forrnalkan oleh Pernerintah, dengan
rnengatur norrnatif libur hari ray a dan hari cuti massal, melalui SKB tiga
Menteri, yaitu Menteri Agarna, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan
Menteri Pembinaan Aparatur Negara.
5.
Istirahat
Tertentu Bagi Pekerja Wanita
Pemberian istirahat karena
hal-hal tertentu kepada wanita merupakan bentuk-bentuk perlindungan terhadap
kodrat wanita, seperti menjalani mas a haid, fungsi reproduksi, seperti hamil
dan bersalin, dan fungsinya sebagai ibu, seperti menyusui dan mengasuh anak.
Dalam melindungi kodrat
kewanitaannya, pekerja wanita tidak boleh diwajibkan bekerja pada hari pertama
dan kedua waktu haid (Pasal 13 ayat (1) Undang-undang
Kerja 1948). Ketentuan seperti ini, oleh UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003
dirubah, sehingga pengaturannya menjadi berbunyi bagi pekerja perempuan yang
dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak
wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid. Pelaksanaannya
diatur dalam perjanjian kerja, PP at au PKB.
Bentuk perlindungan terhadap
fungsi reproduksi pekerja wanita di tempuh dengan melindungi mereka menjelang
masa melahirkan anak dan setelah melahirkan atau gugur kandungan. Dalam
ketentuan yang lama, pekerja wan ita harus diberi istirahat selama satu
setengah bulan sebelum saatnya menurut perhitungan akan melahirkan anak, dan
waktu istirahat itu dapat diperpanjang sampai selama-lamanya tiga bulan jikalau
dokter menerangkan bahwa istirahat yang lebih panjang itu perlu untuk menjaga
kesehatan. Secara umum undang-undang melindungi pekerja wanita agar bulan
kedelapan dari kehamilan diberi kesempatan istirahat dan dalam keadaan
tertentu, waktu itu dapat diperpanjang paling lama tiga bulan. Ini berarti
bahwa dalam kasus tertentu, menurut pandangan dokter, kepada pekerja wanita dapat
diberikan istirahat sejak kehamilan bulan kesembilan dari perkiraan kehamilan
normal yaitu sembilan setengah bulan (Pasal 82 UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun
2003 )
Kemudian bagi pekerja wanita yang
melahirkan atau gugur kandungan, juga diberi waktu untuk beristirahat selama
satu setengah bulan sesudahnya. Dengan dernikian, dalam melindungi pekerja
wanita sebagai ibu bangsa, undang-undang telah sangat menjarnin perlindungan
atas kesehatan dan keselamatan pekerja wanita dan anaknya. Perlindungan itu
terus berlanjut pada saat pekerja wanita dimaksud kembali bekerja, dengan
menjarnin pernberian kesempatan kepada pekerja wanita untuk menjalankan
kewajibannya kepada anaknya. Bentuk perlindungan itu berupa mewajibkan
pengusaha untuk memberi kesempatan sepatutnya kepada pekerja wanita untuk
menyusukan anaknya di dalam jam kerja. Bahkan sangat dianjurkan bagi perusahaan
yang memungkinkan untuk mengadakan temp at penitipan dan pemeliharaan anak
pekerja wanita. Anjuran ini telah sejak lama dilaksanakan dibanyak perusahaan
perkebunan, karena hal yang dernikian memang sangat memungkinkan, karen a
tempat dan lingkungan kerja sub sektor perkebunan nyaman dan sejuk, sehingga
sangat sesuai bagi kehidupan anak-anak.
6.
Istirahat Karena Alasan Tertentu
Undang-undang melindungi pula
kehidupan sosial dan kerohanian pekerja, dengan mewajibkan pengusaha untuk
memberi istirahat dengan berupah agar pekerja dapat memenuhi kewajiban sosial
dan kerohanian dimaksud. Beberapa hal yang diwajibkan oleh undang-undang adalah
sebagai berikut:
Pekerja Menikah
|
3 Hari
|
Menikahkan anak
|
2 Hari
|
Menghitankan anak
|
2 Hari
|
Membaptis anak
|
2 Hari
|
Istri Melahirkan atau gugur kandungan
|
2 Hari
|
Orang Tua/ Mertua/ anak/ menantu
meninggal dunia
|
2 Hari
|
Anggota Keluarga dan satu rumah
meninggal dunia
|
1 Hari
|
(Pasal 93 ayat (4) UU Ketenagakerjaan No. 13
Tahun 2003 ).
Perlindungan pernberian istirahat dari pekerjaannya karena melaksanakan kehidupan sosial dan keagarnaan bagi pekerja
telah diatur untuk yang pertama sekali dalam Pasal 1602u H Perdata, yang
mewajibkan pengusaha untuk memberi kesempatan kepada pekerja yang bertempat
tinggal padanya, menjakan kewajiban agamanya dengan tetap menerima upah.
Kegiatan-kegiatan so sial keagamaan dimaksud kemudian diatur dalam aturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang perlindungan upah (Pasal 5 ayat (1) butir
(b)). Tujuan utama perlindungan ini adalah dalam rangka menjarnin pengupahan,
agar upah tetap diperoleh, dalam hal pekerja melaksanakan kegiatan atau
menghadapi kewajiban sosial dan spiritual seperti hal-hal diatas.
7.
Istirahat Panjang
Seperti diketahui, bahwa sejarah
pertumbuhan industri di Indonesia (Hindia Belanda) dimulai dari sub sektor
perkebunan. Sebagai konsekwensinya, banyak peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan di sub sektor ini, telah terlebih dahulu mengatur perlindungan
yang lebih baik dibanding dengan sektor usaha lainnya. Ketentuan mengenai
istirahat panjang misalnya, telah diatur dalam Peraturan Perkebunan di
Perusahaan Perkebunan (A.M.v.B 1938 Stbl 98 jo. Stbl No. 224 Tahun 1948). Bagi
pekerja di sub sektor perkebunan yang diterima bekerja dari luar negeri atau di
pekerjakan di luar Indonesia, atau yang menerima upah sekurangkurangnya 350
gulden sebulan, setiap kali setelah mencapai masa kerja tujuh Tahun (tennasuk
masa percobaan) berhak atas istirahat enam bulan yang dijalankan di luar negeri
dengan upah penuh.
Dalam Undang-undang Kerja Tahun
1948, materi istirahat panjang ini juga
telah diatur. Bagi pekerja yang telah bekerja enam Tahun berturut-turut pada
satu pengusaha yang sarna atau bebera pa pengusaha yang tergabung dalam satu
organisasi, berhak atas istirahat tiga bulan lamanya. Hal ini dimaksudkan
hendak memberi kesempatan kepada pekerja yang berasal dari kepulauan lain untuk
mengunjungi daerah asalnya.
Dari dua ketentuan dimaksud kita
melihat adanya perbedaan maksud dan tujuan, antara yang diatur oleh hukum
Hindia Belanda dengan hukum nasional kita. Kalau hukum Hindia Belan da
mengaturnya dengan maksud hendak menarik pekerja asing untuk mau bekerja pada
sektor perkebunan di Indonesia danJatau ingin mensejahterakan pekerja kelas
atas (yang bergaji diatas 350 gulden), yang dipeketjakan diluar negeri.
Sedangkan hukum nasional bermaksud hendak mensejahterakan kehidupan sosial
kemasyarakatan semua pekerja, agar terjaga hubungannya dengan daerah asal dan
kerabatnya (bukan berpergian keluar negeri). Sayangnya ketentuan ini belum
berlaku, kecuali dilaksanakan di sebagian perusabaan melalui peraturan
perusahaan atau PKB, sampai kemudian Undang-undang Kerja dicabut.
Dalam UU Ketenagakerjaan No. 13
Tahun 2003 yang antara lain mencabut Undang-undang Kerja, ketentuan mengenai
istirahat panjang ini kembali diatur, tetapi dengan perubahan. Bagi pekerja
yang telah bekerja sekurang-kurangnya enam Tahun dan berlaku bagi setiap
kelipatan enam Tahun berhak atas istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 bulan.
Pelaksanaannya pada Tahun ketujuh selama satu bulan dan Tahun kedelapan selama
satu bulan. Selama menjalankan istirahat panjang Tahun ke delapan pekerja
diberi kompensasi hak istirahat Tahunan Tahun kedelapan sebesar setengah bulan
upah. (Pasal 79 ayat (2) butir d).
8.
Istirahat
Sakit
Perlindungan dalam bentuk
pemberian pengupahan walaupun pekerja tidak dapat melakukan prestasinya seperti
biasa dari waktu ke waktu terus diperluas oleh undang-undang. Dalarn hal sakit
misalnya, pada awalnya KUH Perdata mengatur perlindungan istirahat karena
pekerja menderita sakit, hanya diwajibkan kepada pengusaha untuk rnengurus
perawatan dan pengobatan pekerja yang tinggal bersamanya. Kernudian pengusaha diwajibkan
membayar upah pekerja yang tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sakit
sebagai berikut:
a.
untuk tiga bulan pertama 100% dad
upah;
b.
untuk tiga bulan kedua, 75% dari
upah;
c.
untuk tiga bulan ketiga, 50% dari
upah;
d.
untuk tiga bulan keempat, 25% dari
upah. (Pasal 5 ayat 1 butir a PP No. 8 Tahun 1981).
Sedangkan dalam UU
Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, perlindungan upah selama sakit ditentukan
sebagai berikut:
a.
untuk empat bulan pertama 100%
dari upah;
b.
untuk empat bulan kedua 75% dari
upah;
c.
untuk empat bulan ketiga, 50%
dari upah;
d.
untuk empat bulan ke empat, 25%
dari upah sebelum dilakukan PHK (Pasal 93 ayat 3).
9.
Istirahat
Menjalankan Ibadah
Perlindungan untuk memberikan
istirahat untuk menjalankan ibadah dengan berupah, semula diatur dalam Pasal
1602u KUH Perdata, agar pekerja dapat memenuhi kewajiban agamanya. Dari waktu
ke waktu perlindungan mengenai hal ini juga terus berkembang. Walaupun titik
berat perlindungan kesempatan untuk beribadah ini berkaitan dengan perlindungan
upah, kita dapat melihatnya pula dari pendekatan istirahat. Pengusaha wajib
memberikan kesempatan kepada pekerja yang akan memenuhi kewajiban ibadah
menurut agamanya selama waktu yang diperlukan, dengan ketentuan tidak lebih
dari tiga bulan dan hanya berlaku satu kali di dalam satu hubungan kerja. Untuk
kegiatan yang kedua, rnungkin istirahatnya dapat diberikan tetapi tidak lagi
berupah (Pasa16 PP Nomor 8 Tahun 1981).
Pengusaha wajib meberikan hak
istirahat kepada peketja dengan berupah, untuk menjalankan ibadah yang diperintahkan
agamanya, apabila pelaksanaan ibadah itu telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan (Pasal 93 ayat (2) butir e UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun
2003 ). Selain itu, pekerja dijamin pula untuk beristirahat guna menjalankan
ibadahnya sehari-hari. Dalam pelaksanaannya pengusaha wajib memberikan
kesempatan yang secukupnya kepada pekerja, untuk melaksanakan ibadah agamanya
sesuai dengan kondisi dan kemampuan perusahaan, yang memungkinkan pekerja dapat
beribadah secara baik (Pasal 80 UU Ketenagakerjaan
No. 13 Tahun 2003
G. RINGKASAN
KETENTUAN W AKTU ISTIRAHAT DAN CUTI
Sebagaimana telah dijelaskan
dimuka, ketentuan waktu istirahat dapat jelaskan secara garis besar adalah
sebagai berikut:
a.
Istirahat antara jam kerja,
sekurang-kurangnya 1f2 jam setelah bekerja
4 (empat) jam berturut-turut dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam
kerja.
b.
Istirahat mingguan 1 (hari) untuk
6 (enam) han kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 hari untuk 5 (lima) han kerja
dalam 1 (satu) minggu. Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak cuti istirahat
rningguan ini berhak atas upah yang penuh.
c.
Cuti Tahunan, sekurang-kurangnya
12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja
selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus. Setiap pekerja yang menggunakan
hak cuti Tahunan ini berhak mendapat upah penuh. Pelaksanaan waktu cuti Tahunan
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau peerjanjian kerja
bersama.
d.
Pekerja/buruh perempuan berhak
memperoleh istirahat selama 1 1f2 bulan
sebelum saatnya melahirkan anak dan 1 1f2 bulan
sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandunganlbidan.
e.
Istirahat panjang
sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada Tahun ketujuh dan
kedelapan masing-rnasing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja
selama 6 (enam) Tahun berturut-turut di perusahaan yang sarna dengan ketentuan:
pekerja/buruh tersebut tidak
berhak
lagi atas cuti Tahunan dalam 2 (dua) Tahun berjalan. Dan selanjutnya berlaku
untuk kelipatan en am Tahun berikutnya. Selama menjalankan istirahat panjang
pekerja/buruh diberi uang kornpensasi hak istirahat Tahunan Tahun kedelapan
sebesar Y2 (setengah)
bulan gaji, kecuali bagi perusahaan yang telah memberlakukan ketentuan yang
lebih baik dan ketentuan undang-undang ini. Dan pekerja/buruh yang menggunakan
hak istirahat panjang berhak mendapat upah penuh.
f.
Selain dari waktu istirahat dan
cuti yang ditetapkan, para pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari libur
resmi. Pengusaha boleh mempekerjakan pekerja pada hari libur resmi sepanjang
ada persetujuan dari pihak pekerja/buruh.
H.
JAM KERJA DALAM PERA TURAN PERUSAHAAN (PP).
Di tiap-tiap perusahaan yang
telah memiliki Peraturan Perusahaan, ketentuan mengenai waktu kerja dan jam
kerja sudah diatur dalam PP terkait. Berikut ini contoh ketentuan jam kerja di
sebuah perusahaan yang menerapkan pola kerja shift. Dalam salah satu Pasal
tentang jam kerja biasanya dinyatakan sebagai berikut:
Jam kerja diperusahaan adalah 8
jam sehari atau 40 jam seminggu. Han dan jam kerja bagi karyawanl wati:
Ketentuan Kerja Non shift
Senin sId Kamis 08.00 sId 16.50,
dengan waktu istirahat 50 menit. Jumat 08.00 sId 17.00, dengan waktu istirahat 60 menit. Sabtu dan Minggu
libur.
Ketentuan Kerja shift terdiri
dari:
1)
ShiftI : 07.00-14.30
Wibistirahat 11.30-12.00 Wib
Shift
II : 14.30-22.00 Wib
istirahat 18.00-18.30 Wib
Shift
III : 22.00-07.00 Wib istirahat 02.30-03.00 Wib
2)
ShiftI : 06.30-15.00
Wibistirahat 11.30-12.00 Wib
Shift
II : 14.30-23.00 Wib istirahat 18.00-18.30 Wib
Shift III : 22.30-07.00 Wib istirahat 02.30-03.00 Wib
Dengan istirahat 30 menit setiap shifnya.
Ketentuan-ketentuan khusus:
1.
Karyawanfwati yang bekerja secara
shift mempunyai hari kerja dan istirahat sesuai dengan jadwal yang telah
ditetapkan.
2.
Perusahaan sewaktu-waktu dapat membuat
jam kerja shift secara bergilir pagi, siang dan malam sesuai dengan kebutuhan
perusahaan.Apabila terdapat perubahan jam kerja shift akan diberitahukan
terlebih dahulu kepada SPSI tentang alasannya dan jadwal kerja yang baru.
Perubahan jadwal kerja shift didasarkan atas kondisi dan situasi perusahaan
yang disesuaikan dengan target atau rencana produksi.
3.
Perusahaan akan rninta izin
penyimpangan waktu ke Kantor Departemen Tenaga Kerja, apabila diperlukan.
4.
Serikat Pekerja mengakui hak
Direksi untuk melaksanakan dinasa regu (shift work) tersebut.
5.
Perusahaan tidak dapat
mempekerjakan karyawanJ wati yang mempunyai hubungan keluarga sebagai suarni
isteri dalam satu perusahaan. Apabila hal ini terjadi, salah satu diantaranya
wajib mengundurkan diri.
6.
Dalam keadan darurat, Perusaan
dapat meliburkan dan atau menghentikan kegiatan untuk semen tara waktu dan
menugaskan karyawan, yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi Perusahaan
pada waktu itu.
I.
KETENTUAN
KERJA LEMBUR DALAM UU NO. 13 TAHUN 2003.
Ketentuan kerja lembur diatur
dalam UU Ketenagakerjaa No. 13 Tahun 2003 Pasal
Pasal 78, intinya bahwa upah
lembur wajib dibayar. Tapi upah lembur tidak berlaku bagi sektor usaha atau
pekerjaan tertentu. Di sejurolab perusahaan, ketentuan lembur juga diatur dalam
PP atau PKB. Berikut adalah contoh ketentuan peraturan lembur yang dituangkan
dalam PP.
Ketentunnya antara lain sebagai
berikut:
1.
Setiap karyawan dirninta
senantiasa untuk bersedia bekerja lembur menurut kebutuhan Perusahaan, dalam
hal ini:
a.
Untuk memenuhi rencana kerja
perusahaan
b.
Suatu pekerjaan yang jika tidak
dilaksanakan akan menimbulkan kerugian bagi perusahaan.
c.
Jika
sewaktu ada pekerjaan yang harus diselesaikan segera, serta tidak dapat
ditundaJditangguhkan lagi.
d.
Jika
seorang pekerja regu harus melanjutkan pekerjaannya karena penggantinya
berhalangan masuk bekerja.
2.
Karyawan
yang diminta kerja lembur, kepadanya diharuskan mengisi formulir lembur yang
disetujui oleh atasannya dan diketahui atau oleh Bagian Personalia.
3.
Kerja
lembur ialah pekerjaan yang dilakukan pada hari-hari libur resmilistirahat
mingguan atau dalam waktu yang lebih dari 8 (delapan) jam sehari dan atau 40
(empat puluh) jam dalam seminggu.
4.
Untuk
karyawan yang melakukan kerja lembur (yang telah mengisi formulir lembur), akan
diberikan gaji lembur kecuali karyawan yang karena kedudukannya atau jabatannya
digolongkan sebagai karyawan inti atau manajemen staff, sesuai dengan ketentuan
Direksi dan Surat Edaran Dirjen Binawas No. 02/M/BWIl987.
5.
Karyawan
dan staff management yang tidak berhak mendapat penggantian uang lembur, yang
bekerja pada hari-hari libur resmilistirahat akan mendapat penggantian hari
libur.
6.
Karyawan
yang bekerja lembur melewati jam 20.00 pada hari-hari kerja biasa atau melewati
jam 13.00 pada hari-hari istirahat mingguan/hari libur resmi, diberikan waktu
istirahat selama maksimum 1 (satu) jam. Yang bersangkutan akan mendapatkan
makan yang layak dan cukup memenuhi syarat kesehatan atau dapat diganti dengan
uang makan yang sarna nilainya. Waktu istirahat tidak diperhitungkan sebagai
jam lembur.
7.
Bagi
karyawan atau group yang mendapat giliran kerja (shift) berlaku ketentuan jam
kerja biasa, kecuali pada hari-hari libur resmi.
Selain mengenai ketentuan jam lembur dalam PP juga
dituangkan ketentuan perhitungan uang lembur. Ketentuannya an tara lain sebagai
berikut:
1.
Perhitungan uang lembur diatur sesuai dengan ketentuan
perundangan yang berlaku yaitu sebagai berikut :
a.
Pada hari kerja biasa
1)
Untuk jam lembur pertama dibayar 1 Y2 X gaji satu jam.
2)
Untuk jam lembur selebihnya dibayar 2 x gaji satu jam.
3)
Pada hari-hari istirahat mingguan/hari libur resmi
b.
Untuk tiap jam lembur sampai batas 7 jam dibayar:
1)
2 x gaji 1 jam (atau jam pertama bila hari libur jatuh pada
hari kerja terpendek diantara 6 hari kerja).
2)
untuk kerja lembur jam ke 8 (delapan) dibayar :
3)
3 x gaji 1 jam (atau jam ketujub bila hari liburjatuh pada
hari kerja terpendek diantara 6 hari kerja).
4)
Untuk jam kesembilan dibayar :
5)
4 x gaji 1 jam ( atau jam ketujuh bila hari libur jayuh pada
hari kerja terpendek diantara 6 hari kerja).
2.
Waktu lembur lebib dari 30 menit tetapi kurang dari 60 menit
dibulatkan menjadi 1 jam.
3.
Gaji ialah jumlah keseluruhan yang dibayarkan di dalam
satuan waktu yang sarna.
4.
Untuk menghitung gaji 1 jam adalah sebagai berikut:
a
|
Gaji satu jam
bagi Karyawan Bulanan
|
1/173 X gaji satu
bulan
|
b
|
Gaji satu jam
bagi Karyawan Harian
|
3/20 X Gaji Satu
Hari
|
c
|
Satu jam bagi
Karyawan Borongan
|
1/7 X rata-rata hasil kerja
|
Perlu dicatat bahwa untuk menjaga kesehatan karyawan, kerja
lembur untuk seorang karyawan dibatasi setinggi-tingginya 14 jam dalam
seminggu, kecuali dalam keadaan luar biasa dapat diadakan penyimpangan
penyimpangan khusus dengan seijin DEPNAKER.
Selain itu juga perlu diketahui adanya penyimpangan waktu
kerja.
Berdasarkan UUK No. 13 Tahun 2003 Pasal 85, ditetapkan
adanya penyimpangan waktu kerja yakni:
Pekerja/buruh tidak wajib kerja pada hari libur.
Kerja
pada hari libur jika sifat pekerjaan dilaksanakan terus menerus atau adanya
kesepakatan antara pekerja dan pengusaha.
Kerja hari libur wajib dibayar dan dikategorikan sebagai
kerja lembur.
KEGIATAN
BELAJAR 2
Mengenal
Pengupahan
A. PENGUPAHAN
Pengupahan menjadi hak pekerja
yang mesti didahulukan dibanding kewajiban-kewajiban lain yang harus dibayar
oleh pengusaha.
Upah yang merupakan hak dari
pekerja/buruh merupakan hutang yang harus didahulukan pembayarannya oleh
pengusaha. Upah harus dibayar terlebih dahulu daripada hutang lainnya.
Ketentuan ini sejalan dengan hadis nabi: bayarlah upah para pekerja sebelum
kering keringatnya.
Apa sesungguhnya yang dimaksud
dengan upah? Upah dalam Pasal 1 ayat (30) UU No. 13 Tahun 2003 disebutkan:
Upah adalah hak pekerja/buruh
yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha
atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut
perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku,
termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan
dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
Berdasarkan definisi tersebut
dapat disimpulkan bahwa:
1.
Upah adalah hak pekerja/buruh
sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja atas suatu pekerjaan danl atau jasa yang telah atau akan
dilakukan;
2.
Upah yang diterima pekerja/buruh
harus dinyatakan dengan uang;
3.
Upah dibayarkan sesuai dengan
perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan;
4.
Tunjangan bagi pekerja/buruh dan
keluarganya merupakan komponen dari upah.
1.
Komponen Upah
Perlu diketahui bahwa penghasilan
pekerja/buruh yang didapat dari pengusaha dapat berupa upah dan bukan
upah. Menurut Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja R.1. No.: SE-07IMEN/1990, yang dimaksud dengan komponen upan
terdiri atas:
a.
Upah
Pokok.
b.
Tunjangan
Tetap.
c.
Tunjangan
Tidak Tetap.
Upah pokok adalah imbalan dasar
yang dibayarkan kepada pekerjalburuh rnenurut tingkat atau jenis pekerjaan yang
besamya ditetapkan berdasarkan kesepakatan. Berdasarkan Pasal 94 UU No. 13
Tahun 2003, bila komponen upah terdiri atas upah pokok dan tunjangan, maka
besarnya kornponen uang pokok adalah 75 % dari jumlah uang pokok dan tunjangan
tetap.
Tunjangan tetap adalah suatu
pembayaran yang teratur berkaitan dengan pekerjaan yang diberikan secara tetap
untuk pekerjalburuh dan keluarganya serta dibayarkan dalam satuan waktu yang
sarna dengan pembayaran upah pokok seperti tunjangan isteri, tunjangan anak,
tunjangan jabatan dan lainlain. Tunjangan tetap pernbayarannya dilakukan
secara teratur dan tidak dikaitkan dengan kehadiran pekerjalburuh atau
pencapaian suatu prestasi kerja tertentu.
Tunjangan tidak tetap adalah
suatu pernbayaran yang secara langsung rnaupun tidak langsung berkaitan dengan
pekerja/buruh yang diberikan secara tidak tetap untuk pekerjalburuh dan
keluarganya serta dibayarkan menurut satuan waktu yang tidak sarna dengan waktu
pembayaran upah pokok seperti tunjangan transport atau tunjangan rnakan apabila
diberikan berdasarkan kehadiran pekerjalburuh.
Ketentuan mengenai komponen upah
secara ringkas dapat dilihat pada box berikut:
Komponen Upah berdasarkan UUK
Pasal 94
Apabila kornponen upah terdiri
dari upah pokok dan tunjangan tetap rnaka besarnya upah pokok sedikit-dikitnya
75% dari upah pokok + tunjangan tetap. Ketentuan lama (sebelurn UUK No. 13
Tahun 2003) tidak rnengatur.
2.
Komponen
Bukan Upah
PenghasiJan pekerja yang
dikategorikan bukan upah, terdiri atas: pernberianlpenyediaan fasilitas, bonus
dan tunjangan hari raya.
a.
Pemberian Fasilitas, misalnya
pernberian bentuk nyata/natura yang diberikan perusahaan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan karyawan. Fasilitas kendaraan atau antar jemput,
atau fasilitas makan secara cuma-Cuma, fasilitas ibadah, fasilitas penitipan
bayi, dan lainlain.
b.
Pemberian Bonus, yakni pembayaran
yang diterima pekerja dari hasil keuntungan perusahaan atau karena pekerja
menghasilkan pendapatan lebih besar dari yang ditargetkan. Ketentuan bonus
sangat beragam dan ditentukan oleh kebijakan manajemen perusahaan atau
berdasarkan kesepakatan.
c.
Tunjangan Had Raya (THR), umumnya
THR diberikan dalam rangka perayaan Natal, Tahun Baru dan Lebaran.
B. KEBIJAKAN PENGUPAHAN
Dalarn upaya rnelindungi hak-hak
pekerja, pemerintah telah menetapkan kebijakan pengupahan, yang terdiri atas:
a.
upah minimum;
b.
upah lembur;
c.
upah tidak masuk kerja karena
berhalangan;
d.
upah tidak masuk kerja karena
melakukan kegiatan lain diluar
pekerjaannya;
e.
upah karen a menjalankan hak
waktu istirahatnya;
f.
bentuk dan cara pembayaran upah;
g.
denda dan potongan upah;
h.
hal-hal yang dapat diperhitungkan
dengan upah;
i.
struktur dan skala pengupahan
yang proporsional;
j.
upah untuk pembayaran pesangon;
serta
k.
upah untuk perhitungan pajak
penghasilan.
Untuk mengenal lebih jauh tentang
kebijakan pengupahan di atas, mari kita perdalam satu persatu:
1.
Upah Minimum
Upah minimum tiap Tahun selalu
dikoreksi dan cenderung mengalami perubahan. Perubahan itu seiring dengan laju
inflasi tiap Tahun, kenaikan biaya hidup seperti dampak kenaikan BBM dan faktor
lain yang membuat upah minimum dirasa terlalu rendah. Lalu apa sesungguhnya
upah minimum? Upah minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah
pokok termasuk tunjangan tetap. Dasar ditetapkannya upah minimum, dimaksudkan
sebagai jaring pengaman agar upah pekerja tidak terus turun semakin rendah
sebagai akibat tidak seimbangnya pasar kerja. Bayangkan dengan tingginya angka
pengangguran saat ini, dengan tanpa adanya ketetapan upah minimum pengusaha
bisa saja menetapkan upah yang rendah. Toh meskipun upahnya rendah, tetap saja
banyak yang minat untuk bekerja karen a sedikitnya lapangan kerja. Namun
dernikian, tujuan penetapan upah minimum bukanlah untuk dijadikan upah standar
di perusahaan, akan tetapi upah terendah yang wajib di bayar pengusaha di
perusahaannya.
Upah minimum di tu j ukan
terhadap pekerj a yang baru di terima dengan pendidikan dan jabatan terendah,
yang belum mempunyai pengalaman kerja, merupakan pekerja pemula, dan baru
pertama kali memasuki pasar kerja. Pemberlakuan upah minimum di tujukan kepada
semua pekerja baru, termasuk yang bekerja dengan masa percobaan, dan hanya
boleh diberikan kepada pekerja yang bekerja kurang dari satu Tahun. Untuk
pekerja yang diatas satu Tahun, upahnya dirundingkan bersama an tara pengusaha
dan pekerja/serikat pekerja. Penetapan upah minimum sejak di keluarkannya
pengaturan tentang upah minimum, yang terakhir dengan Permenaker Nomor
PER-OllMEN/99, rnengalarni perubahan besar. Semula penetapan upah minimum
berdasarkan satuan hari, kemudian diganti menjadi satuan bulan. Dengan demikian
tidak timbul lagi masalah upah bagi pekerja bulanan. Pembayaran upah pada
hari-hari istirahat dan pada hari libur resmi tetap dihitung karena masuk dalam
satuan bulanan.
Secara garis besar dengan
ditetapkannya besaran upah minimum tiap Tahun, dengan maksud:
a.
Melindungi kelompok pekerja dari
adanya sistem pengupahan yang sangat rendah dan secara materiil kurang
memuaskan;
b.
Mendorong kemungkinan
diberikannya upah yang sesuai dengan nilai pekerjaan yang dilakukan; dan
c.
Mengusahakan terjaminnya
ketenangan dan kedamaian kerja dalam perusahaan, serta mendorong peningkatan
standar hidup normal, sehingga pekerja dapat menjalani hidup secara layak.
2.
Tujuan
Pemerintah Menetapkan Upah Minimum
Pemerintah menetapkan upah
minimum dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup layak bagi pekerja. Dengan
kebijakan upah minimum, diharapkan akan diperoleh suatu jumlah pendapatan
pekerja yang layak sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja dan
keluarganya secara wajar, yang meliputi makanan dan minuman, sandang,
perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.
Upah minimum, sebagaimana
dijelaskan pada Pasal 89 UU No. 13 Tahun 2003, dapat dibagi atas:
a.
Upah minimum berdasarkan wilayah
provinsi atau kabupaten/kota.
Besar upah ini untuk tiap wilayah
provinsi atau kabupatenJ kota tidak sarna tergantung nilai Kebutuhan Hidup
Minimum (KHM) di daerah yang bersangkutan. Setiap kabupaten/kota tidak boleh
menetapkan upah minimum dibawah upah minimum provinsi yang bersangkutan.
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.Ol/MEN/ 1989 pada Pasal 1 huruf (a)
tentang pengertian upah minimum disebutkan bahwa upah minimum adalah upah pokok
ditambah tunjangan tetap. Komposisi upah pokok serendah-rendahnya 75% dari upah
minimum.
b.
Upah minimum berdasarkan
sektor/sub sektor pada wilayan provinsi atau kabupaten/kota.
Upah minimum sektoral ditetapkan
berdasarkan kelompok usaha tertentu misalnya kelompok usaha manufaktur dan non
manufaktur. Upah minimum sektoral ini tidak boleh lebih rendah dari upah
minimum daerah yang bersangkutan.
c.
Upah minimum ditetapkan oleh
Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi danl
atau Bupati/ Walikota.
Pengusaha dilarang membayar upah
pekerja/ buruh dibawah upah minimum daerah dirnana pekerja/ buruh tersebut
bekerja, termasuk kepada pekerja atau buruh yang sedang dalam masa percobaan
tiga bulan pertama. Segala kesepakatan tentang upah antara pengusaha dengan
pekerja/buruh atau dengan Serikat Pekerja/ Serikat Buruh yang menetapkan upah
lebih rendah dari upah minimum adalah batal demi hukum dan pengusaha tetap
wajib membayar upah sesuai dengan upah minimum yang berlaku.
Ketentuan atau sumber hukum yang
mengatur masalah upah minimum, adalah sebagai berikut:
1.
Diatur pada Pasal 89 UUK No. 13
Tahun 2003 dan Permenaker No. 1199.
2.
Pasal 90 UUK No. 3 Tahun 2003
mengatur mengenai larangan pengusaha membayar dibawah ketentuan upah minimum.
3.
Pasal 91 UUK No. 3 Tahun 2003
mengatur tentang tidak boleh ada kesepakatan pengaturan pengupahan antara
pengusaha dan pekerja dibawah ketentuan pengupahan yang berlaku.
4.
Pasal 92 UUK No. 13 Tahun 2003
mengatur pengusaha untuk menyusun struktur dan skala upah.
Mengingat tidak semua perusahaan
mampu membayar upah sesuai dengan ketentuan upah minimum, bagi pengusaha yang
tidak mampu membayar upah minimum, dapat melakukan penangguhan dengan tata cara
mengajukan permohonan penangguhan kepada instansi ketenagakerjaan, dengan alasan
dan bukti-bukti yang cukup. Penangguhan pelaksanaan upah minimum bagi
perusahaan yang tidak mampu, dimaksudkan untuk membebaskan perusahaan yang
bersangkutan melaksanakan upah minimum yang berlaku dalam kurun waktu tertentu.
Apabila penangguhan tersebut berakhir, perusahaan yang bersangkutan wajib
melaksanakan upah minimum yang berlaku, tetapi tidak wajib membayar pemenuhan
ketentuan upah minimum yang berlaku pada waktu diberikan penangguhan (Pasal 90
UUKK).
Permohonan penangguhan
pelaksanaan upah minimum diajukan oleh pengusaha, kepada gubernur melalui
instansi ketenagakerjaan Provinsi paling lambat aepuluh hari sebelum tanggal
berlakunya upah minimum. Permohonan penangguhan dimaksud didasarkan atas
kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan pekerja atau serikat pekerja yang
tercatat. Kesepakatan tertulis dimaksud dilakukan melalui perundingan secara
mendalam, jujur, dan terbuka.
Apabila di dalam satu perusahaan
terdapat satu serikat pekerja yang memiliki anggota lebih 50% dari seluruh
pekerja di perusahaan, serikat pekerja dapat mewakili pekerja dalam perundingan
untuk menyepakati penangguhan. Di satu perusahaan yang terdapat lebih dari satu
serikat pekerja, yang berhak mewakili pekerja melakukan perundingan untuk
menyepakati penangguhan adalah serikat pekerja yang memiliki anggota lebih dari
50% dari seluruh jumlah pekerja di perusahaan tersebut. Apabila ketentuan
dimaksud tidak terpenuhi, serikat pekerja dapat melakukan koalisi sehingga
tercapai jumlah lebih dari 50% dari seluruh jumlah pekerja di perusahaan
tersebut untuk mewakili perundingan dalam menyepakati penangguhan. Apabila
ketentuan di maksud tidak terpenuhi juga, para pekerja dan serikat pekerja
membentuk tim perunding yang keanggotannya ditentukan secara proporsional
berdasarkan jumlah pekerja dan anggota masing-rnasing serikat pekerja. Di
perusahaan yang belum terbentuk serikat pekerja, perundingan untuk menyepakati
penangguhan pelaksanaan upah minimum dibuat antara pengusaha dengan pekerj a
yang mendapat mandat untuk mewakili lebih dari 50% penerima upah minimum di
perusahaan.
Permohonan penangguhan
pelaksanaan upah minimum disertai dengan:
1.
Naskah asli kesepakatan tertulis
antara pengusaha dengan serikat pekerja atau pekerja perusahaan yang
bersangkutan.
2.
Laporan keuangan perusahaan yang
terdiri dari neraca, perhitungan rugi
Ilaba
beserta penjelasan-penjelasannya untuk dua Tahun terakhir,
3.
Salinan akte pendirian
perusahaan.
4.
Data upah menurut jabatan
pekerja.
5.
Jurnlah pekerja seluruhnya dan
jumlah pekerja yang dimohonkan penangguhan pelaksanaan upah minimum, dan
6.
Perkembangan produksi dan
pemasaran selama dua Tahun terakhir, serta rencana produksi dan pemasaran untuk
dua Tahun yang akan datang.
7.
Untuk perusahaan yang berbadan
hukum, laporan keuangan perusahaan harus sudah di audit oleh akuntan publik.
Apabila di perlukan Gubernur dapat meminta akuntan publik untuk memeriksa
keadaan keuangan guna pembuktian ketidakmampuan perusahaan.
Berdasarkan permohonan di maksud,
Gubernur menetapkan untuk menolak atau menyetujui permohonan penangguhan pelaksanaan
upah minimum setelah menerima saran dan pertimbangan dari Dewan Pengupahan
Provinsi. Persetujuan penangguhan ditetapkan oleh Gubernur untuk jangka waktu
paling lama 12 bulan. Penangguhan diberikan dengan:
1.
Membayar upah minimum sesuai upah
minimum yang lama, atau
2.
Membayar upah minimum lebih
tinggi dari upah minimum lama tetapi lebih rendah dari upah minimum baru, atau
3.
Menaikkan upah minimum secara
bertahap.
Setelah berakhirnya izin
penangguhan, pengusaha wajib melaksanakan ketentuan upahminimum yang baru.
Penolakan atau persetujuan atas
permohonan penangguhan yang diajukan oleh pengusaha, diberikan dalam jangka
waktu paling lama satu bulan terhitung sejak diterimanya permohonan penangguhan
secara lengkap oleh Gubernur. Dalam hal jangka waktu berakhir dan belum ada
keputusan dari Gubernur, permohonan penangguhan yang telah memenuhi persyaratan
dimaksud, permohonan penangguhan dianggap telah disetujui. Selama permohonan
penangguhan masih dalam proses penyelesaian, pengusaha yang bersangkutan tetap
membayar upah sebesar upah yang biasa diterima pekerja. Apabila permohonan
penangguhan ditolak Gubernur, upah yang diberikan pengusaha kepada pekerja
sekurang-kurangnya sarna dengan upah minimum yang berlaku terhitung mulai
tanggal berlakunya ketentuan upah minimum yang baru (Kepmenakertrans No.
KEP-2311MEN12003)
3.
Upah
Kerja Lembur
Yang dimaksud dengan upah lembur
ialah upah yang diberikan oleh pengusaha sebagai imbalan kepada pekerja karena
telah melakukan pekerjaan atas permintaan pengusaha yang melebihi dari jam dan
hari kerjanya yang diperjanjikan atau pada hari istirahat minggu, atau pad a
hari-hari besar yang telah ditetapkan pernerintah.
Waktu kerja yang ditentukan dalam
UU No. 13 Tahun 2003 Pasal 77 ayat 2 adalah sebagai berikut:
a.
7 jam per hari dan 40 jam
serninggu untuk perusahaan yang menerapkan hari kerja 6 hari kerja per rninggu;
Atau
b.
8 jam kerja per hari dan 40 jam
kerja serninggu untuk perusahaan yang menerapkan hari kerja 5 hari kerja
perminggu.
Setiap pengusaba wajib
melaksanakan ketentuan waktu kerja tersebut, kecuali untuk jenis pekerjaan
tertentu seperti pekerjaan di pengeboran minyak lepas pantai, sopir angkutan
jarak jauh, pekerjaan dikapal, penebangan butan dan sejenisnya. Apabila
pengusaha mempekerjakan pekerja/ buruh melebihi ketentuan waktu tersebut maka
kelebihan waktu kerja tersebut disebut sebagai waktu kerja lembur.
Bagi pengusaha yang mempekerjakan
pekerja/ buruh melebihi ketentuan waktu kerja harus memenuhi syarat:
a.
Ada persetujuan dari pekerja/
buruh bersangkutan; dan
b.
Waktu kerja lembur hanya dapat
dilakukan paling banyak 3 jam per hari dan 14 jam dalam satu minggu. Melebihi
ketentuan waktu kerja lembur yang telah ditetapkan tersebut merupakan tindak
pidana pelanggaran dan pengusaha yang melanggarnya dapat diancam sanksi denda
paling sedikit Rp5.000.000,00 dan paling banyak Rp50.000.000,00. (Pasal 98
UUKK).
Perhitungan upah kerja lembur
menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja, komponen upah yang dijadikan dasar
perhitungan upah kerja lembur adalah sebagai berikut:
a.
upah pokok;
b.
tunjangan jabatan;
c.
tunjangan kemahalan;
d.
nilai pemberian catu/upah berupa
barang untuk keperluan hidup untuk pekerjalburuh itu sendiri.
Jumlah nilai komponen yang
dipergunakan sebagai dasar perhitungan upah kerja lernbur tersebut tidak boleh
kurang dari 75 % (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah keseluruhan upah
yang dibayarkan di dalarn satuan waktu yang sarna.
Untuk melakukan kerja lembur
harus ada perintah tertulis dari pengusaha, yang dapat dibuat dalarn bentuk
daftar pekerja yang bersedia bekerja lembur yang di tanda tangani oleh pekerja
yang bersangkutan dan pengusaha, dan persetujuan tertulis dari pekerja yang
bersangkutan. Untuk itu, pengusaha membuat daftar pelaksanaan kerja lembur yang
memuat nama pekerja yang bekerja lernbur dan larnanya waktu kerja lernbur.
Perusahaan yang rnempekerjakan
pekerja selama waktu kerja lembur, berkewajiban untuk:
1.
Membayar upah kerja lembur
2.
Memberi kesernpatan untuk
istirahat secukupnya, dan
3.
Memberikan makanan dan minuman
sekurang-kurangnya 1.400 kalori apabila kerja lembur dilakukan selama tiga jam
atau lebib, yang tidak boleh diganti dengan uang.
Perhitungan upah lembur adalah
sebagai berikut:
1.
Upah
Lembur Pada Hari Biasa
a.
Jam kerja lembur pertama dibayar 11/2 (satu
setengah) kali upah sejam.
b.
Jam kerja berikutnya (kedua dan
selanjutnya) dibayar 2 (dua) kali upah sejam
2.
Upah
Lembur Pada Hari Istirahat Minggu dan Hari Raya Resmi.
a.
untuk 7 jam kerja lembur pertama
atau 5 jam kerja lembur pertama jika hari libur resmi tersebut jatuh pada hari
kerja terpendek pada salah satu hari dalam 6 hari kerja seminggu, upah kerja
lembur harus dibayar 2 dua kali upah 1 jam;
b.
untuk 1 jam berikutnya setelah 7
jam pertama atau setelah 5 jam pertama apabila hari libur resmi tersebut jatuh
pada hari terpendek pada salah satu hari libur dalam 6 hari kerja seminggu,
upah kerja lembur harus dibayar 3 kali upah 1 jam;
c.
untuk jam kerja lembur kedua dan
seterusnya setelah 7 jam pertama atau 5 jam pertama apabila hari libur resmi
tersebut jatuh pada hari kerja terpendek pada salah satu hari dalam 6 hari
kerja seminggu, upah kerja harus dibayar 4 kali upah 1 jam.
Perhitungan upah satu jam untuk
perhitungan upah lembur adalah sebagai berikut:
a.
1/173 upah sebulan bagi
pekerja/buruh bulanan;
b.
3/20 upah sehari bagi pekerja/
buruh harian;
c.
1/7 upah rata-rata hasil kerja
sehari bagi pekerja/buruh borongan.
Bagi perusahaan yang menetapkan
hari kerja 5 kerja seminggu 8 jam kerja sehari, maka kerja lembur adalah kerja
yang dilakukan sesudah 8 jam kerja pertama dan penetapan upah sehari pada 8 jam
kerja, wajib diadakan perjanjian dengan pihak pekerja/buruh. Pelanggaran
terhadap ketentuan cara perhitungan upah kerja lembur ini (membayar upah kerja
lembur lebih rendah dati ketentuan yang telah ditetapkan) merupakan tindak pi
dana pelanggaran yang diancam pidana kurungan paling singkat 1 bulan dan paling
lama 12 bulan dan/atau denda paling sedikit RplO.OOO.OOO,- dan paling banyak
RplOO.OOO.OOO,-
Dalam hal terjadi perbedaan
perhitungan tentang besarnya upah lembur, yang berwenang menetapkan besarnya upah
lembur adalah pegawai pengawas ketenagakerjaan kabupaten/kota. Salah satu pihak
yang tidak dapat menerima penetapan dimaksud, dapat meminta penetapan ulang
kepada pegawai pengawas ketenagakerjaan di provinsi. Dalarn hal terjadi
perbedaan perhitungan ten tang besarnya upah lembur pada perusahaan yang
meliputi lebih dari satu kabupaten/kota dalam satu provinsi yang sarna, yang
berwenang rnenetapkan besamya upah lernbur adalah pegawai pengawas
ketenagakerjaan di provinsi. Apabila salah satu pihak tidak dapat menerima
penetapan di tingkat provinsi, dapat rneminta penetapan ulang kepada pegawai
pengawas ketenagakerjaan di Departernen Tenaga Kerja.
Apabila terjadi perbedaan
perhitungan tentang besarnya upah lembur pada perusahaan yang meliputi lebih
dari satu Provinsi, yang berwenang menetapkan besamya upah lembur adalah
pegawai pengawas ketenagakerjaan pusat (Kepmenakertrans No. KEP.I02/MENNII2004).
Tabel Upah Kerja Lembur
Kerja Lembur
|
Waktu kerja 7 jam sehari dan 40 jam seminggu
|
Waktu kerja 8 jam
sehari, 5 hari dan 40 jam seminggu
|
Pada hari kerja
biasa
|
Kerja lembur dimulai
sesudah jam kerja ke 7
|
Kerja Lembur
dumulai sesudah jam kerja ke 8
|
Pada hari kerja
terpendek
|
Kerja lembur dimulai sesudah jam kerja ke 5
- 7 Jam pertama tiap-tiap jam dibayar 2 X upah
sejam
- Jam pertama setelah 7 jam dibayar 3 X Upah
sejam
|
Tidak ada hari
kerja terpendek (kerja lembur tetap dimulai sesudah jam ke 8
-
8 jam petama tiap-tiap
jam dibayar 2 X upah sejam
-
Jam pertama setelah 8
jam dibayar 3 X Upah sejam
|
Pada hari istirahat mingguan
|
-
Jam kedua dan
seterusnya setelah 7 jam pertama tiap-tiap jam dibayar 4 X upah sejam
|
-
Jam kedua dan
seterusnya setelah 8 jam pertama tiap-tiap jam dibayar 3 X upah sejam
|
Pada hari lubur resmi
yang jatuh pada hari biasa
|
-
7 jam pertama
tiap-tiap jam dibayar 2 X Upah sejam
-
Jam pertama setelah 7
jam dibayar 3 X upah sejam
-
Jam kedua dan
seterusnya setelah 7 jam pertama tiap-tiap jam dibayar 4 X upah sejam
|
- 8 jam pertama tiap-tiap jam dibayar 2 X upah
sejam
- Jam pertama setelah 8 jam dibayar 3 X upah
sejam
- Jam kedua dan seterusnya setelah 7 jam pertama
tiap-tiap jam dibayar 4 X upah sejam
|
Pada hari libur resmi
yang jatuh pada hari kerja terpendek
|
- 5 Jam pertama tiap-tiap jam dibayar 2 X upah
sejam
- Jam pertama setelah 5 jam pertama dibayar 3 X
upah se jam
- Jam kedua dan seterusnya setelah 5 jam pertama
tiap-tiap jam dibayar 4 X upah sejam
|
- Tidak ada hari kerja terpendek
|
Bagi pekerja yang termasuk dalam
golongan jabatan tertentu, tidak berhak at as upah kerja lembur, dengan
ketentuan mendapat upah yang lebih tinggi. Yang termasuk dalam golongan jabatan
tertentu adalah mereka yang memiliki tanggung jawab sebagai pemikir, perencana,
pelaksana dan pengendali jalannya perusahaan, yang waktu kerjanya tidak dapat
dibatasi menurut waktu kerja yang ditetapkan perusahaan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
4.
Upah
Tidak Masuk Kerja Karena Berhalangan
Hal-hal yang mengharuskan
pengusaba tetap membayar upah pada pekerja, meskipun pekerja berhalangan hadir
atau tidak masuk kerja, harus ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersamalkesepakatan kerja bersama. Sesuai
ketentuan yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 Pasal 93, pekerja tetap
mendapatkan upah meskipun berhalangan atau tidak bekerja, apabila berada dalam
kondisi:
a.
Pekerja/buruh
sakit bukan sebagai akibat kecelakaan kerja sehingga tidak dapat bekerja, di
mana sakit tersebut harus dibuktikan dengan surat
keterangan dokter. Upah yang
harus dibayar pengusaha kepada pekerjaJ buruh yang sakit adalah:
1)
Untuk 4 bulan pertama, dibayar
100% dari upah;
2)
Untuk 4 bulan kedua dibayar 75%
dari upah;
3)
Untuk 4 bulan ketiga dibayar 50%
dari upah;
4)
Untuk bulan berikutnya hingga
saat dilakukan pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha, dibayar 25% dari upah.
b.
Pekerja/buruh
perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak
dapat melakukan pekerjaan .
c.
PekerjaJburuh
tidak masuk kerja karen a menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan
anaknya, istrinya melahirkan atau keguguran, atau ada keluarga dalam satu rumah
ada yang meninggal dunia.
Apabila pekerjaJburuh:
1)
menikah dibayar selarna 3 hari;
2)
menikahkan anaknya dibayar selama
2 hari;
3)
mengkhitankan anaknya dibayar
selama 2hari;
4)
membaptiskan anaknya dibayar
selama 2hari;
5)
istri melahirkan atau keguguran
kandungan dibayar selama 2 hari;
6)
suamilistri, orang tuaJmertua,
atau anak atau menantu meninggal duma dibayar selama 2hari;
7)
anggota keluarga dalam satu rumah
meninggal duma dibayar selama Ihari.
d.
Pekerja/buruh
yang tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan kewajiban negara
tetapi tidak melebihi 1 Tahun, upahnya tetap harus dibayar pengusaha. Apabila
dalam menjalankan kewajiban negara ini pekerja/buruh memperoleh penghasilan
yang lebih besar atau sarna dengan upah yang biasa diterirna, maka pengusaha
tidak diwajibkan membayar upah. Bila penghasilan yang diterima pekerjaJ buruh
dalam menjalankan kewajiban negara tersebut lebih kecil dari upah yang biasa
diterima maka pengusaha wajib membayar kekurangannya.
e.
Pengusaha
wajib membayar upah pekerjaJ buruh yang tidak dapat melakukan pekerjaannya
karena sedang melakukan kewajiban ibadah agamanya untuk yang pertama kali
selama tidak lebih dari 3 bulan. Apabila lebih dari 3 (tiga) bulan terhadap
kelebihan waktu tersebut
pengusaha tidak berkewajiban membayar
upah., demikian pula apabila ibadah tersebut dijalankan untuk yang lebih dari 1
(satu) kali.
f.
Pengusaha
tetap wajib membayar upah pekerja/buruh yang bersedia melakukan pekerjaan yang
diperjanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan
sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha. Halangan
yang dialami pengusaha ini bukan karena (tidak termasuk) keadaan memaksa (jorce
majeure) seperti hancur dan musnahnya perusahaan beserta peralatan karen a
bencana alam, kebakaran atau peperangan. Apabila halangan tersebut berupa
kebakaran pada bagian tertentu saja dan perusahaan masih bisa berfungsi maka
bila pekerja/buruh diperintah untuk tidak masuk kerja, pengusaha tetap wajib
membayar upah.
g.
Pengusaha
tetap wajib membayar upah pekerja/buruh yang tidak melakukan pekerjaan karena
pekerja/buruh:
1)
melaksanakan
hak istirahat rningguan atau cuti;
2)
melaksanakan
tugas Serikat Pekerja/Serikat Buruh atas persetujuan pengusaha;
3)
melaksankan
tugas pendidikan atau latihan dari perusahaan.
5.
Upah
Karena Melakukan Kegiatan Lain Diluar Pekerjaannya.
Pekerja tetap berhak atas upah
penuh apabila tidak dapat melakukan pekerjaannya karen a menjalankan :
a.
kewajiban
terhadap Negara,
b.
ibadah
yang diperintahkan agamanya,
c.
tugas
serikat pekerja atas persetujuan pengusaha, dan
d.
tugas
pendidikan dari perusahaan (Pasal 93 ayat (1)
UUKK).
e.
Menjalankan Kewajiban terhadap
Negara
Terhadap pekerja yang tidak dapat
melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap Negara,
yang telah diatur dengan peraturan perundang-undangan, selama tidak melebihi
waktu satu Tahun, seperti menjalani wajib militer, atau menjadi panitia pemilu,
upahnya wajib tetap diberikan. Pembayaran upah kepada pekerja yang menjalankan
kewajiban terhdap Negara dilaksanakan dengan cara sebagai berikut: a) apabila
pemerintah tidak membayar upah, pengusaha membayar penuh, atau b) apabila
pemerintah membayar tetapi kurang dari upahnya, pengusaha membayar
kekurangannya, atau c) apabila
pemerintah membayar penuh,
pengusaha tidak usah membayar (Pasal 93 ayat (2) butir d UUKK).
b.
Menjalankan lbadah Agama
Pekerja yang tidak dapat
melakukan pekerjaannya karen a menjalankan ibadah yang di perintahkan agamanya,
yang telah diatur dengan peraturan perundang-undangan dan telah mendapat izin
pengusaha, berhak atas upah penuh. Upah tersebut dibayar dengan ketentuan bahwa
waktunya tidak melebihi tiga bulan dan di dalam satu hubungan kerja hanya
berlaku satu kali (Pasal93 ayat (2) butir e UUKK).
c.
Menjalankan Tugas Serikat Pekerja
Salah satu tugas pengurus serikat
pekerja yang sah adalah berkewajiban untuk melindungi, membela anggotanya, dan
memperjuangkan peningkatan kesejahteraan anggota beserta keluarganya. Untuk itu
pengusaha wajib memberi kesempatan kepada pengurus organisasi pekerja untuk
menjalankan organisasi yang disepakati dalam PKB. Namun tidak semua kegiatan
pengurus dalam menjalankan roda organisasi, upahnya harus dibayar. Melalui
kesepakatan, diatur mengenai jenis kegiatan, tata cara pemberian izin dan
kegiatan apa saja yang mendapat upah dan yang tidak mendapat upah (Pasa1 93ayat
(2) butir h dan Pasal 29 UU No. 21 Tahun 2000).
d.
Menjalani Pendidikan
Undang-undang mewajibkan
pengusaha untuk membayar upah pekerja selama mengikuti pendidikan dan latihan
yang diselenggarakan atau atas perintah pengusaha, tentunya dengan maksud untuk
meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan pekerja guna meningkatkan
produktifitas kerjanya. Tidak ada pembatasan waktu lamanya pendidikan dan
latihan yang upahnya dibayar, demikian pula tidak diatur tata cara maupun
persyaratannya. Dengan demikian, para pihak diberi keleluasaan untuk mengatumya
lebih lanjut dala perjanjian kerja, PP atau PKB (Pasal 93 ayat (2) butir I
UUKK).
6.
Upah Menjalani Istirahat Kerja
Selama menjalani hak istirahat,
pekerja berhak atas upah penuh. Hak-hak istirahat yang tetap harus mendapatkan
upah penuh meliputi:
a.
istirahat
mingguan,
b.
libur
resmi,
c.
istirahat
Tahunan,
d.
istirahat
panjang apabila telah diperjanjikan (Pasal 93 ayat (1) UUKK).
e.
Upah
Pada Istirahat Mingguan
Pada awalnya tidak semua pekerja
memperoleh upah pada saat hari istirahat mingguan, tetapi sekarang setiap
pekerja yang mempunyai hubungan kerja tetap, upahnya telah dibayar bulanan,
dengan demikian pada hari istirahat mingguannya pekerja telah memperoleh upah
penuh.
b.
Upah
Pada Hari Libur Resmi
Dalam UU Ketenagakerjaan No. 13
Tahun 2003 telah diatur bahwa, pekerja tidak wajib bekerja pada hari libur
resmi, dengan kata lain pekerja berhak istirahat pada hari libur resmi yang
ditetapkan oleh pemerintah dengan upah penuh. Saat ini libur resmi dalam
seTahun ditetapkan 14 hari (Pasal 85 ayat 1 dan Pasal 93 ayat (2) butir g
UUKK). Hari-hari yang dinyatakan sebagian Hari Libur Nasional hari raya) adalah
sebagai berikut :
1
|
Tahun Baru Januari
|
- satu hari
|
2
|
Proklamasi Kemerdekaan R.I.
|
- satu hari
|
3
|
Ism' dan Mi'raj Nabi Muhamad
S.A.W
|
- satu hari
|
4
|
Mauled Nabi Muhamad S.A.W
|
- satu hari
|
5
|
Tahun Baru Hijriyah
|
- satu hari
|
6
|
Idul Adha
|
- satu hari
|
7
|
Idul Fitri
|
- dua hari
|
8
|
Hari Raya Natal
|
- satu hari
|
9
|
Kenaikan Yesus Kristus
|
- satu hari
|
10
|
Wafat Yesus Kristus
|
- satu hari
|
11
|
Hari Raya Nyepi
|
- satu hari
|
12
|
Hari Raya Waisak
|
- satu hari
|
13
|
Tahun Baru Irnlek
|
- satu hari
|
Dalam pelaksanaannya, mengingat
adanya sifat pekerjaan tertentu di perusahaan, hari-hari ray a itu dapat di
geser pelaksanaannya. Apabila dilakukan penggeseran pelaksanaannya, perbedaan
upah yang dibayar adalah pada hari penggeseran hari raya itu. Apabila pada hari
penggeseran itu pekerja di
pekerjakan, disamping mendapat upah pada hari raya, juga mendapat pembayaran
upah lembur untuk bekerja pada hari raya. Sedangkan apabila ada pekerja yang di
pekerjakan pada harihari pelaksanaan cuti bersama, pada hari itu di anggap
pekerja bekerja seperti pada hari bias a dan apabila bekerja lembur, upah
lemburnya juga sama dengan upah lembur pada hari kerja biasa (SE Menekertrans
No. 1173. UM. 02. 23.2002 dan SE Dirjen Binawas No. SE. 02IDPHII02).
c.
Upah
Pada Hari Istirahat Tahunan
Dalam UU Ketenagakerjaan No. 13
Tahun 2003, khusus untuk istirahat Tahunan at au cuti Tahunan, ditetapkan
selama sekurang-kurangnya 12 hari kerja setelah pekerja yang bersangkutan
bekerja selama 12 bulan terus menerus. Sejak beberapa Tahun terakhir ini, ban
yak dilaksanakan istirahat Tahunan secara bersama terhadap semua pekerja (cuti
massal), yang dilaksanakan dengan cara perusahaan menghentikan produksinya
untuk sementara. Dengan demikian pekerja berkesempatan untuk mudik lebaran ke
kampung halamannya (Pasal 79 ayat (2) butir c UUKK). Sejak Tahun 2002, cuti
massal di formalkan oleh pemerintah, dengan mengatur libur hari raya dan cuti
massal, melalui SKB tiga Menteri, yaitu Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi dan Menteri Pembinaan Aparatur Negara.
d.
Upah
Pada Hari Istirahat Panjang
Dalam UUKK, ketentuan mengenai istirahat panjang juga diatur. Bagi
pekerja yang telah bekerja sekurang-kurangnya enam Tahun dan berlaku bagi
setiap kelipatan enam Tahun, berhak at as istirahat panjang sekurang-kurangnya
dua bulan. Pelaksanaannya dilakukan, pada Tahun ke tujuh selama satu bulan dan Tahun
ke delapan selama satu bulan. Selama menjalani istirahat panjang Tahun ke
delapan, pekerja diberi kompensasi hak istirahat Tahunan Tahun ke delapan,
sebesar setengah bulan upah. Pelaksanaan cuti panjang baru berlaku apabila
sebelumnya telah diatur dalam perjanjian kerja, PP atau PKB (Pasal 79 ayat (2) sid (5) UUKKjo. Kepmenakertrans No. 511MENIIV/2004).
7.
Upah
Untuk Pembayaran Pesangon
Dalam hal terjadi pemutusan
hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang
penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. Komponen upah yang digunakan
sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang
pengganti hak yang seharusnya diterima yang tertunda, terdiri atas upah pokok
dan segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada
pekerja dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan
kepada pekerja secara cuma-cuma, yang apabila catu harus dibayar pekerja dengan
subsidi, sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan harga yang
harus dibayar oleh pekerja.
Apabila penghasilan pekerja
dibayarkan atas dasar perhitungan harian, penghasilan sebulan adalah sarna
dengan 30 kali penghasilan sehari. Dalam hal upah pekerja dibayar berdasarkan
perhitungan satuan hasil, potonganlborongan atau kornisi, penghasilan sehari
adalah sarna dengan pendapatan rata-rata perhari selama 12 bulan terakhir,
dengan ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan upah minimum provinsi atau
kabupaten Ikota. Apabila
pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca dan upahnya didasarkan pada upah
borongan, perhitungan upah sebulan dihitung dari upah rata-rata 12 bulan
terakhir (Pasal 157 UUKK).
Perhitungan untuk pembayaran uang
pesangon paling sedikit sebagai berikut:
a.
Masa kerja kurang dari satu
Tahun, satu bulan upah;
b.
Masa kerja satu Tahun atau lebih
tetapi kurang dari dua Tahun, dua bulan upah;
c.
Masa kerja dua Tahun atau lebih
tetapi kurang dari tiga Tahun, tiga bulan upah;
d.
Masa kerja tiga Tahun atau lebih
tetapi kurang dari empat Tahun, empat bulan upah;
e.
Masa kerja empat Tahun atau lebih
tetapi kurang dari lima Tahun, Lima bulan upah;
f.
Masa kerja lima Tahun atau lebih
tetapi kurang dari enam Tahun, enam bulan upah;
g.
Masa kerja enam Tahun at au lebih
tetapi kurang dari tujuh Tahun, tujuh bulan upah;
h.
Masa kerja tujuh Tahun atau lebih
tetapi kurang dari delapan Tahun, delapan bulan upah;
i.
Masa kerja delapan Tahun atau
lebih, sembilan bulan upah.
Untuk perhitungan uang
penghargaan masa kerja ditetapkan sebagai berikut:
a.
Masa kerja tiga Tahun atau lebih
tetapi kurang dari en am Tahun, dua bulan upah;
b.
Masa kerja enam Tahun atau lebih
tetapi kurang dari sembilan Tahun, tiga bulan upah;
c.
Masa kerja sembi Ian Tahun atau
lebih tetapi kurang dari duabelas Tahun, empat bulan upah;
d.
Masa kerja duabelas Tahun atau
lebih tetapi kurang dari lima belas Tahun, lima bulan upah;
e.
Masa kerja lima belas Tahun atau
lebih tetapi kurang dari delapan belas Tahun, enam bulan upah;
f.
Masa kerja delapan belas Tahun
atau lebih tetapi kurang dari duapuluh satu Tahun, tujuh bulan upah;
g.
Masa kerja duapuluh satu Tahun
atau lebih tetapi kurang dari duapuluh empat Tahun, delapan bulan upah;
h.
Masa kerja duapuluh empat Tahun
atau lebih sepuluh bulan upah.
Sedangkan uang penggantian hak
yang belum dibayarkan meliputi :
a.
cuti Tahunan yang belum diambil
dan belum gugur,
b.
biaya atau ongkos pulang untuk
pekerja dan ke1uarganya ketempat dimana pekerja diterirna bekerja,
c.
penggantian peru mahan serta
pengobatan dan perawatan ditetapkan 15 % dari uang pesangon dan atau uang
penghargaan masa kerja bagi yang rnemenuhi syarat, dan
d.
hal-hal lain yang ditetapkan
dalam perjanjian kerja, PP atau perjanjian kerja bersarna (Pasal156 UUKK).
8.
Upah Untuk Penghitungan Pajak Penghasilan
Berdasarkan Peraturan Pemerintah
No.47 Tahun 2003 tentang Pajak Penghasilan yang Ditanggung Pemerintah atas
Penghasilan Pekerja dari Pekerjaan, dinyatakan bahwa bagi pekerja/buruh yang
menerima upah sampai sebesar Rp 2.000.000,- sebulan, Pajak Penghasilan terutang
yang akan ditanggung pemerintah adalah hingga upah sebesar Rp 1.000.000,-. PPh
yang terutang atas penghasilan yang diterima pekerja/buruh dihitung dari
penghasilan netto untuk pekerja/buruh tetap yaitu dengan memperhitungkan
pengurangan biaya jabatan, iuran pensiun dan Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP) dan dari penghasilan
brutto untuk pekerjalburuh tidak tetap. Pengaturan lebih lanjut tentang tata
cara penghitungan pajak penghasilan yang ditanggung pemerintah tersebut
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan RI. No 486/KMK.03/2003 tanggal
30 Oktober 2003. dengan telah dikeluarkannya kedua peraturan perundang-undangan
tersebut pekerja/buruh yang penghasilannya tidak lebih dari Rp 1.000.000,-
tidak wajib membayar pajak penghasilan karena telah ditanggung pemerintah.
C. BENTUK DAN CARA PEMBA Y ARAN UPAH
UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun
2003 mengamanatkan kepada pemerintah untuk menetapkan kebijakan pengupahan yang
melindungi pekerja, satu diantaranya adalah tugas untuk menyusun kebijakan
untuk mengatur bentuk dan cara pembayaran upah. Ketentuan yang berlaku sekarang
ini mengenai pengupahan adalah PP No.8 Tahun 1981, yang antara lain juga
mengatur mengenai bentuk upah dan cara pembayaran upah. Pada dasarnya upah harus
diberikan dalam bentuk uang yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di
Indonesia. Jika upah ditetapkan dalam mata uang asing, pembayaran akan
dilakukan berdasarkan kurs resmi dari Bank Indonesia pada saat pembayaran upah.
Upah yang diberikan dalam bentuk lain dapat berbentuk apa saja kecuali minuman
keras, obat-obatan atau bahan obat-obatan, dengan ketentuan nilainya tidak
boleh melebihi 25% dari nilai upah yang seharusnya diterima. Di samping itu
pemberian upah dapat pula berupa fasilitas, yaitu berupa kenikrnatan dalam
bentuk nyata/natura yang diberikan perusahaan kepada pekerja atau karen a
hal-hal khusus, atau untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja, seperti
fasilitas kendaraan antar jemput pekerja, makan secara cuma-cuma.
Upah dapat pula di kelompokkan
berdasarkan komponen, yang terdiri dari upah pokok, tunjangan tetap dan
tunjangan tidak tetap. Upah pokok merupakan imbalan dasar yang dibayarkan
kepada pekerja menurut tingkat atau jenis pekerjaan yang besarnya ditetapkan
berdasarkan kesepakatan. Tunjangan tetap adalah suatu imbalan yang diterima
oleh pekerja secara tetap jumlahnya dan teratur pembayarannya, tidak dikaitkan
dengan kehadiran maupun prestasi. Pembayarannya dilakukan secara tetap untuk
pekerja dan atau keluarganya yang dapat berupa tunjangan isteri, tunjangan
anak, tunjangan perumahan, dan tunjangan transport, apabila pemberian tunjangan
tersebut tidak dikaitkan dengan
kehadiran dan diterirna secara tetap oleh pekerja rnenurut satuan waktu, harian
atau bulanan.
Sedangkan tunjangan tidak tetap,
adalah imbalan yang diterima oleh pekerja berdasarkan kehadiran, dapat berupa
uang atau fasilitas, merupakan suatu pernbayaran yang secara langsung atau
tidak langsung berkaitan dengan prestasi atau kehadiran pekerja, yang diberikan
secara tidak tetap, baik untuk pekerja dan atau keluarganya serta dibayarkan
menurut satuan waktu yang tidak sarna dengan waktu pernbayaran upah pokok,
seperti rnisalnya tunjangan transport yang didasarkan pada kehadiran. Tunjangan
rnakan, dapat rnasuk ke dalarn tunjangan tidak tetap apabila tunjangan tersebut
diberikan atas dasar kehadiran.
Pembayaran upah dapat pula
dibedakan rnenurut obyek penerima, ada upah yang langsung diberikan kepada
pekerja pada waktu yang telah ditentukan sesuai dengan perjanjian, khusus untuk
pernbayaran upah secara langsung, kepada pekerja yang belum dewasa dianggap sah
apabila orang tua I wali
pekerja tidak mengajukan keberatan secara tertulis. Upah tidak langsung adalah
upah yang dibayarkan rnelalui pihak ketiga, untuk ini harus dilengkapi dengan
surat kuasa yang hanya berlaku satu kali untuk setiap pembayaran upah.
Berkaitan dengan pengupahan ini,
setiap perusahaan diwajibkan membuat buku upah sebagaimana diatur dalam
peraturan menaker nomor Per-06IMEN/1990, yaitu
buku yang memuat catatan penerimaan upah, didalamnya memuat ten tang komponen
upah, potongan upah, tanggal pembayaran dan di tanda tangani oleh pekerja. Buku
upah ini sangat penting, karena dari buku ini dapar di ketahui besarnya
tunjangan jika terjadi kecelakaan kerja, besamya upah lembur, besarnya upah
jika pekerja sakit atau cuti, rnaupun besarnya pesangon jika terjadi PHK dan
sebagaibukti bahwa pengusaha telah membayar upah pekerja dengan baik dan benar.
Dalam hal kornponen upah terdiri
dari upah pokok dan tunjangan tetap, besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75%
dari jurnlah upah pokok dan tunjangan tetap. Bila temp at pembayaran upah tidak
ditentukan dalam perjanjian atau PP, pembayaran upah dilakukan di ternpat
pekerja biasanya bekerja atau di kantor perusahaan, dengan ketentuan pada
prinsipnya upah yang menjadi hak pekerja harus dibayarkan seluruhnya. Dalam hal
perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, upah dan hak-hak lainnya dari pekerja merupakan
utang yang didahulukan pembayarannya. Yang dimaksud
didahulukan pembayarannya adalah
upah pekerja harus dibayar lebih dahulu daripada utang lainnya. Sedangkan
tuntutan pernbayaran upah pekerja dan segala pembayaran yang timbul dari
hubungan kerja menjadi kadaluarsa setelah melampaui jangka waktu dua Tahun
sejak timbulnya hak (Pasal 96 UUKK).
D. PROSEDUR PEMBA YARAN UPAH
Upah pada dasarnya harus
dibayarkan dengan alat pembayararan yang sah yaitu dalam mata uang rupiah. Apabila
upah ditetapkan dalam mata uang asing maka pembayarannya harus dilakukan
berdasarkan kurs resmi yang ditetapkan Bank Indonesia pada hari dan tempat
pembayaran upah tersebut.. Pembayaran upah dalam bentuk lain masih
diperbolehkan, sepanjang tidak melebihi 25% dari nilai upah yang seharusnya
diterima dan bukan dalam bentuk minuman keras, obat-obatan dan bahan
obat-obatan. Upah merupakan hak utama pekerja, karena itu setiap ketentuan yang
menetapkan sebagian atau seluruh upah harus digunakan secara tertentu atau
harus dibelikan barang tertentu oleh pihak pengusaha adalah dilarang dan
karenanya batal menurut hukum. Penggunaan upah yang boleh diatur sepanjang
timbul dari suatu peraturan perundang-undangan, seperti pemotongan upah untuk
pembayaran pajak penghasilan (PPh) dan pembayaran iuran jaminan hart tua (JHT)
pada perusahaan yang mengikutkan pekerja/buruh pad a program Jamsostek.
Pembayaran upah harus dibayarkan
secant langsung kepada pekerja/ buruh sesuai waktu yang telah ditentukan dalam
perjanjian. Sedangkan pembayaran upah kepada pekerja/buruh anak bisa dibayarkan
secara langsung sepanjang tidak ada keberatan tertulis dari orang tua atau
wali. Pembayaran upah yang dilakukan melalui pihak ketiga, hanya dapat
dilakukan apabila ada surat kuasa dari pekerja/ buruh bersangkutan yang menyatakan sesuatu hal sehingga tidak dapat mnerima
upah secara langsung. Bila upah terlambat dibayarkan, maka mulai hari
keempat sampai kedelapan sejak keterlambatan tersebut upah harus ditambah 5%
dari total upah untuk satu hari keterlambatan. Setelah hari kedelapan upah
masih belum dibayar maka tambahan tersebut menjadi 1 % dari upah untuk tiap
hari keterlambatan dengan ketentuan tambahan tersebut tidak boleh melebihi 50%
dari upah yang seharusnya dibayar.
E. HAK-HAK PENGUSAHA DALAM PEMBA
YARAN UPAH
Berdasarkan Peraturan Pernerintah
Nornor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah pada Pasal 11 menyatakan bahwa
pada tiap-tiap pernbayaran, seluruh jumlab upab harus dibayarkan. Akan tetapi
dalarn kondisi tertentu pengusaha merniliki hak untuk rnelakukan pemotongan
atau pembayaran upah tidak penuh, jika terdapat hal-hal berikut:
1.
Denda
Denda atas
pelanggaran yang dilakukan pekerja/buruh hanya dapat dilakukan jika telah diatur
dalarn perjanjian tertulis atau peraturan perusahaan atau dalam kesepakatan
kerja bersama. Pelanggaran yang dapat dikenai sanksi denda adalah pelanggaran
terhadap kewajiban-kewajiban pekerjaJburub yang telah ditetapkan dalam
perjanjian tertulis antara pengusaha dan pekerjalburuh. Besarnya denda untuk
setiap pelanggaran harus ditentukan dan dinyatakan dalam mata uang RI (rupiah).
Penggunaan uang denda harus ditetapkan secara tertulis dalarn surat perjanjian
atau peraturan perusahaan. Apabila terhadap suatu pelanggaran sudah dikenakan
denda maka pengusaha dilarang menuntut ganti rugi atas pelanggaran yang sarna.
Denda yang dikenakan oleh pengusaha kepada pekerjaJburuh baik langsung maupun
tidak langsung tidak boleh dipergunakan untuk kepentingan pengusaha atau orang
yang diberi wewenang untuk rnenjatuhkan denda tersebut. Denda ini juga tidak
boleh dipergunakan untuk kepentingan perusahaan atau untuk kepentingan
operasional perusahaan. Uang denda hanya dapat dipergunakan untuk kesejahteraan
pekerjalburuh rnisalnya untuk tarnbahan biaya operasional Serikat
PekerjaJSerikat Buruh dim ana pekerjaJ buruh tersebut menjadi anggota.
2.
Pemotongan Upah Untuk Pihak
Ketiga
Pengusaha atau perusahaan dapat
melakukan pemotongan upah untuk pihak ketiga, sepanjang ada surat kuasa dari
pekerjalburuh. Surat kuasa pemotongan upab yang dirnaksud, setiap saat dapat
ditarik oleb pekerjalburuh. Setiap ketentuan pernotongan upah yang bertentangan
dengan hal tersebut adalah batal menurut hukum.
3.
Ganti rugi
Pengusaha dapat merninta ganti
rugi kepada pekerja/buruh dengan cara rnernotong upahnya bila terjadi kerusakan
barang atau kerugian lainnya baik milik pengusaha atau pihak ketiga sebagai
akibat kesengajaan atau kelalaian pekerja/buruh Ketentuan ganti rugi yang
dimaksud harus terlebih dahulu diatur dalam suatu perjanjian tertulis atau
peraturan perusahaan. Besarnya ganti rugi yang dikenakan setiap bulannya tidak
boleh melebihi 50% dari upah yang diterima
pekerja/buruh.
4.
Lain-Lain
Apabila pekerja memiliki
pinjaman/hutang pada perusahaan, maka pihak perusahaan dapat melakukan
pernotongan dengan disertai bukti-bukti tertulis. Seluruh denda atau potongan
upah yang dilakukan pengusaha tidak boleh lebih dari 50% dari setiap pembayaran
upah yang seharusnya diterima pekerja/buruh. Setiap syarat yang rnemberikan
wewenang kepada pengusaha untuk rnengadakan perhitungan (denda danl atau
potongan) yang lebih besar dari 50% dari upah adalah batal rnenurut hukurn.
Apabila karena satu dan lain hal terjadi pemutusan hubungan kerja seluruh
hutang-piutang pekerjalburuh dapat diperhitungkan dengan upah dan pesangon yang
menjadi haknya.
F.
CONTOH KASUS
Berikut
ini contoh kasus atau masalah yang muncul di perusahaan seputar menyangkut
masalah jam kerja dan pengupahan.
1.
Pertanyaan:
Bagaimana
cara menentukan upah lembur? Apakah perhitungan lembur berdasarkan upah (gaji
pokok ditambah tunjangan tetap)? Bagaimana dengan perhitungan absen, apakah
pemotongannya berdasarkan upah (gaji pokok ditambah tunjangan tetap) atau berdasarkan
gaji pokok saja?
2.
Jawaban/ulasan :
Berdasarkan
surat edaran dari Menteri Tenaga Kerja No. SElllMlBW/1990 dinyatakan bahwa dasar perhitungan upah minimum
yang telah ditetapkan bagi masing-rnasing
daerah atau sektoral, kecuali bagi perusahaan yang telah memberikan
lebih dari upah minimum. Sehingga
dengan
demikian perhitungan absen bukan berdasarkan upah yang merupakan gaji pokok
ditambah tunjangan tetap.
Yang
dimaksud dengan "tidak masuk kerja" pad a SE-IIlMfBW/1990 adalah pengertian tidak masuk kerja sebagaimana
dimaksud pada Pasal 5 ayat (1) butir b Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1981,
yaitu tidak masuk kerja karen a alasan-alasan sebagai berikut;
a.
Buruh sendiri kawin, dibayar
untuk selama 1 (satu) hari;
b.
Menyunatkan anaknya, dibayar
untuk selama 1 (satu) hari;
c.
Membaptiskan anak, dibayar untuk
selama 1 (satu) hari;
d.
Mengawinkan anaknya, dibayar
untuk selama 2 (dua) hari;
e.
Anggota keluarga meninggal dunia,
yaitu suamilistri, orang tualmertua atau anak, dibayar untuk selama 2 (dua)
hari;
f.
Istri melahirkan anak, dibayar
untuk selarna 1 (satu) hari.
Perlu
diketahui, bahwa atas ketentuan sebagaimana dimaksud di atas, telah terdapat
perubahannya dengan berdasarkan pada Pasal 93 ayat (4) Undang-Undang No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu;
a.
Pekerjalburuh menikah, dibayar
untuk selama 3 (tiga) hari;
b.
Menikahkan anaknya, dibayar untuk
selarna 2 (dua) hari;
c.
Mengkhitankan anaknya, dibayar
untuk selama 2 (dua) hari;
d.
Membaptiskan anaknya, dibayar
untuk selama 2 (dua) han;
e.
Istri melahirkan atau keguguran
kandungan, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
f.
Suami/istri, orang tualmertua
atau anak atau menantu meninggal dunia, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
g.
Anggota keluarga dalam satu rumah
rneninggal dunia, dibayar untuk selama 1 (satu) hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar