Minggu, 25 Agustus 2019

Hukum Ketenagakerjaan.Modul 4


MODUL 4
Jam Kerja dan Pengupahan
Purbadi Hardjoprajitno, S.H, M.Hum.
Drs. Saefulloh Purwaningdyah, MW, S.H, M.Hum.
       PEN DA H U L U A N 
Pada modul sebelumnya kita telah membahas mengenai ruang lingkup, hubungan kerja dan perjanjian kerja an tara pekerja dan pengusaha. Dalam hal hubungan kerja, sebagaimana telah dibahas sebelumnya, terdapat hak utama pekerja yang akan dibahas secara khusus dalam bagian ini yakni masalah waktu kerja dan pengupahan. Kedudukan waktu kerja dan pengupahan dalam hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja sangat istimewa. Pokok utama isi perjanjian kerja adalah menyangkut ketentuan waktu kerja dan pengupahan. Sebab itu setelah menguasai ketentuan perjanjian kerja, sebaiknya diperdalam dengan ketentuan waktu kerja dan pengupahan. Pada modul ini kita akan memperdalam dua hal pokok meliputi:

Kegiatan Belajar 1            : Mengenal Waktu Kerja dan Waktu Istirahat.
Kegiatan Belajar 2            : Mengenal Pengupahan.

  
KEGIATAN BELAJAR 1
Mengenal waktu Kerja dan Waktu Istirahat


A. WAKTU KERJA
Pengertian waktu kerja secara definitif tidak dijumpai dalam perundang-­undangan nasional. Pengertian waktu kerja hanya dijumpai dalam Bijblad Nomor 14136 yang didefinisikan sebagai jangka waktu antara saat pekerja harus hadir untuk memenuhi pekerjaannya dan saat pekerja dapat meninggalkan pekerjaannya untuk menikmati waktu istirahat dikurangi waktu mengaso antara permulaan dan akhir waktu kerja (Pasal 64 ayat (1) butir (a) Bijblad No. 14136). Secara sederhana waktu kerja dapat pula diartikan sebagai batas waktu dimana seorang pekerja wajib menjalankan pekerjaannya sesuai dengan yang diperjanjikan.
Dengan dilakukannya pembatasan waktu kerja, diharapkan dalam melakukan pekerjaan yang bersifat terus-rnenerus, pekerja akan dapat melakukan tugasnya semaksimal mungkin, produktif dan aman dari pengaruh buruk akibat pekerjaan. Perlindungan itu bertujuan pula agar dalam melakukan pekerjaan, pekerja dapat terlindungi dirinya, jasmani dan rohani, dari kejadian yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Disamping itu, pembatasan waktu kerja juga untuk menjarnin agar pekerja tetap dapat bergaul dalam kehidupan sosial kemasyarakatan sebagai makhluk sosial. Perlindungan lainnya dengan dibatasinya waktu kerja, agar pekerja mempunyai kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya diluar perusahaan, serta dapat pula mernbina kehidupan kerohaniannya, karen a tersedianya cukup waktu untuk beribadah atau berbuat amal kebaikan bagi sesamanya.

B. SUMBER HUKUM YANG MENGATUR WAKTU KERJA
Sumber hukum yang mengatur waktu kerja untuk yang pertama kalinya diatur dalam Undang-undang No. 12 Tahun 1948 jo. Undang-undang No.1 Tahun 1951. Dalam Undang-undang tersebut, pembatasan waktu kerja ditujukan kepada pekerja. Dinyatakan bahwa pekerja tidak boleh menjalankan pekerjaan lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu (Pasal 10 sid Pasal 15). Seperti diketahui, ketentuan ini merubah ketentuan waktu kerja yang ada sebelumnya di dalam Pasal 1601 jo KUH Perdata, yang mengatur bahwa dianggap satu hari kerja adalah 10 jam.
Selain Undang-undang No. 12 Tahun 1948 jo. Undang-undang Nornor 1 Tahun 1951, kemudian terbit Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 (UUKK). Dalam UUKK yang baru ini, konsep pembatasan waktu kerja yang semula ditujukan kepada pekerja itu dirubah. Dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 itu pengusahalah yang diwajibkan untuk mentaati dan melaksanakan waktu kerja terhadap pekerjanya.
Pada mulanya hukum ketenagakerjaan hanya mengenal satu kesatuan waktu kerja, yaitu tujuh jam sehari dan empat puluh jam seminggu untuk enam hari kerja. Namun dalarn praktek, telah banyak pula perusahaan yang menggunakan sistem delapan jam kerja sehari dan empat puluh jam seminggu dalam lima hari kerja, dengan hari istirahat dua hari dalarn satu pekan/mingguan. Melihat kenyataan itu pemerintah kemudian mengakui dan mengatur sistem waktu kerja yang telah berlangsung dalam praktek hubungan kerja di Indonesia ke dalam peraturan nasional. Dimulai dengan dikeluarkannya Instruksi Direktur Jenderal Pembinaan Norma-Norma Perlindungan Tenaga Kerja Nomor : 8/3/Skr.4011970. Dalam instruksi yang ditujukan kepada para pegawai pengawas ketenagakerjaan tersebut, bagi perusahaan yang ingin mengubah waktu kerjanya menjadi lima hari seminggu selama delapan jam, diberi petunjuk penyelesaian sebagai berikut:
a.      Perusahaan diwajibkan membuat pengaturan (arbeidsreglement) mengenai waktu kerja menjadi delapan jam sehari dan lima hari serninggu yang disetujui pekerja yang bersangkutan,
b.      Upahnya didasarkan pada kerja delapan jam dan kerja lembur adalah kerja yang dilakukan sesudah delapan jam kerja, dan
c.       Apabila sebelurnnya upah istirahat rningguan dibayar, upah istirahat mingguan menjadi dua hari dan wajib tetap dibayar, apabila upah istirahat mingguannya memang tidak dibayar, harus dijaga agar penerimaan pekerja dalam waktu satu rninggu tidak boleh kurang dari kerja wajib seminggu dalam enam hari kerja.
Instruksi tersebut kemudian diatur kembali dalam Permenaker Nomor Per.06IMenl1993. Pilihan untuk melaksanakan waktu kerja selama delapan jam sehari dalam seminggu, terakhir diatur secara tegas dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 Pasal 77 ayat (2) butir b. Sejak itu, di Indonesia dikenal dua sistem satuan waktu kerja, yaitu tujuh jam sehari dan empat puluh jam seminggu, enam hari kerja, dan/atau delapan jam sehari dan empat puluh jam seminggu, lima hari kerja. Untuk sistem satuan waktu kerja tujuh jam sehari,dan enam hari kerja seminggu, ada hari kerja terpendek yaitu selama lima jam kerja. Hari kerja terpendek ini biasanya dalam praktek ditempatkan pada hari keenam dari hari kerja satu minggu. Namun dalam menentukan hari kerja terpendek dimaksud, dapat dilakukan melalui kebijakan dan kebutuhan perusahaan atau kesepakatan. Perlunya ditetapkan hari kerja terpendek, untuk menentukan adanya kerja lembur, apabila pekerja dipekerjakan melebihi jam kerja wajibnya.
Sedangkan untuk pekerjaan dengan sistem delapan jam kerja sehari dan lima hari kerja serninggu, tidak ada hari kerja terpendek. Bagi yang menggunakan sis tern lima hari kerja, waktu kerja dimaksud akan berpengaruh pada lamanya hari cuti dan perhitungan hak cuti yang didasarkan pada kehadiran pekerja. Mengenai pengertian satu hari, adalah waktu selama 24 jam, jadi selama waktu itu pekerja tidak boleh dipekerjakan lebih dari jam kerja wajibnya, tujuh atau delapan jam, dan kelebihan jam kerja selama waktu kurang dari 24 jam dihitung sebagai lembur.
Di dalam Undang-undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12, diatur apabila pekerjaan itu dijalankan pada malam hari atau pekerjaan itu berbahaya bagi kesehatan atau keselamatan pekerja, waktu kerja dalam sehari tidak boleh lebih dari enam jam (Pasal 10 ayat 1). Namun ketentuan ini sampai kemudian Undang-undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 dicabut, tetap dinyatakan belum berlaku. Dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, tidak diatur lagi adanya ketentuan seperti diatas, artinya undang-undang tidak lagi bermaksud hendak membedakan waktu kerja apabila dilakukan pada siang atau malam hari.

C. WAKTU KERJA TERUS MENERUS
Pekerjaan yang dijalankan secara terus menerus adalah pekerjaan yang menurut jenis dan sifatnya harus dilaksanakan dijalankan secara terus menerus, atau dalam keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja. Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja pada hari libur resmi, untuk pekerjaan yang menurut jenis dan sifatnya harus dilaksanakan/dijalankan secara terus menerus. Pekerjaan dimaksud yakni pekerjaan di bidang:
a.             pelayanan jasa kesehatan;
b.             pelayanan transportasi;
c.              jasa perbaikan alat transportasi;
d.             usaha pariwisata;
e.              jasa pos dan telekomunikasi;
f.               penyediaan tenaga, jaringan pelayanan air bersih, dan penyediaan bahan bakar minyak dan gas bumi;
g.             usaha swalayan, pusat perbelanjaan, dan isnya;
h.             media masa;
i.               pengamanan;
j.               lembaga konservasi;
k.             pekerjaan-pekerjaan yang apabila dihentikan akan menghanggu proses produksi, merusak bahan, dan terrnasuk pernelihraan/perbaikan alat produksi.
Dalarn keadaan tertentu pengusaha dapat mempekerjakan pekerja pada hari libur resmi didasarkan kesepakatan. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja terus-menerus, apabila mempekerjakan seorang pekerja dari 40 jam seminggu, wajib membayar upah kerja lembur pada pekerja yang bersangkutan.
D. WAKTU KERJA YANG BERSIFAT KHUSUS
Ketentuan lain yang pada mulanya juga diatur dalam Undang-Undang Kerja tetapi belum berlaku, adalah pengaturan lanjut mengenai waktu kerja dan waktu istirahat untuk pekerjaan atau perusahaan tertentu guna menjaga kesehatan dan keselamatan pekerja (Pasal 10 ayat 5). Walaupun ketentuan dimaksud belum dicabut secara tegas, namun selama ini di sub sektor angkutan jalan raya dan di sub sektor minyak dan gas bumi telah ada aturan secara khusus. Barulah kemudian dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 diatur secara tegas ketentuan waktu kerja yang bersifat khusus dapat berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu. Dalam penjelasannya diuraikan.
Yang dimaksud dengan sektor usaha tertentu, dicontohkan penge­boran minyak lepas pantai dan contoh pekerjaan tertentu, sopir angkutan jarak jauh, kapal laut dan penebangan hutan. Di cantumkannya ketentuan ini berikut penjelasannya karena, walaupun Undang-undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 mengatur bahwa ketentuan dimaksud belum berlaku, namun dalam prakteknya telah lama ada pengaturan seeara khusus, seperti di sub sektor perhubungan darat dan minyak dan gas bumi.
Di sub sektor perhubungan darat, dalam Bijblad Hindia Belanda Nomor: 14136, Peraturan tentang Lalu Lintas di Jalan (Wegverkeers Besluit Verkeer en Waterstaat) sebagai peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah (Wegverkeers Verordening) (Stb1 1936 No. 451) jo. Undang-undang tentang Lalu Lintas di Jalan (Stbl 1933 No. sb), diatur waktu kerja bagi pengemudi. Waktu kerja bagi pengemudi kendaraan bermotor pada umurnnya tidak boleh lebih dari 12 jam, dalam keadaan luar biasa batas maksimum tidak lebih dari dua waktu kerja berturut-turut, Pembatasan itu dapat dilampaui apabila jurnlah dua waktu kerja berikutnya tidak boleh lebih dari 24 jam, yaitu dikurangi dengan jumlah jam dari dua waktu kerja terdahulu yang melebihi 24 jam. Oalam menjalankan pekerjaan tersebut, seorang pengemudi dilarang dalam waktu kerja mengemudikan otobis lebih dari delapan jam dan perahu motor lebih dari sepuluh jam.
Ketentuan khusus di sub sektor perhubungan darat ini, diatur terakhir dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang mewajibkan perusahaan angkutan umum untuk mematuhi ketentuan mengenai waktu kerja dan waktu istirahat bagi pengemudi, yang pelaksanaannya diatur dalam suatu Peraturan Pemerintah (PP). Oalam PP Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengernudi, mengatur mengenai waktu kerja pengemudi kendaraan angkutan umum adalah 8 jam sehari, dalam hal-hal tertentu dapat dipekerjakan menyimpang lebih dari 8 jam, akan tetapi tidak boleh lebih 2 jam, terrnasuk istirahat satu jam. Ketentuan penyimpangan tidak berlaku bagi pengemudi kendaraan umum angkutan kota. Bagi setiap perusahaan angkutan, menyediakan pengemudi pengganti (Pasal 240 sid 242). Di sub sektor migas, pada Tahun 1983 untuk yang pertama diatur ketentuan kerja khusus di perusahaan minyak dan gas bumi untuk daerah lepas pantai dan daerah terpeneil. Oitetapkan waktu kerja di sub sektor ini adalah 12 jam kerja sehari selama 14 hari berturut-turut, dilanjutkan dengan tujuh hari istirahat dengan berupah. Pengaturan khusus ini diberikan kepada perusahaan minyak dan gas bumi dan perusahaan yang kegiatannya bersifat penunjang kegiatan dimaksud, mernerlukan waktu istirahat khusus. mengingat kondisi kerjanya (Kepmenaker Nomor: KEP-100/MEN/1983)

Ketentuan tersebut diatas kemudian dirubah, ada 14 macam pilihan waktu kerja yang dapat dilakukan oleh perusahaan dibidang Energi dan Sumber Daya Mineral, termasuk perusahaan penunjang yang melakukan kegiatan di daerah operasi tertentu. Pilihan waktu kerja dimaksud, adalah sebagai berikut:
a.             jam sehari 40 jam seminggu untuk kerja 6 hari dalam seminggu;
b.             jam sehari dan 40 jam serninggu untuk waktu kerja 5 hari dalam semmggu;
c.              jam sehari dan maksimum 45 jam dalam 5 hari kerja untuk satu periode kerja;
d.             jam sehari dan maksimum 50 jam dalam 5 hari kerja untuk satu periode kerja;
e.              jam sehari dan maksimum 55 jam dalam 5 hari kerja untuk satu periode kerja;
f.               9 jam sehari dan maksimum 63 jam dalam 7 hari kerja untuk satu periode kerja;
g.             10 jam sehari dan maksimum 70 jam dalam 7 hari kerja untuk satu periode kerja;
h.             jam sehari dan maksimum 77 jam dalam 7 hari kerja untuk satu periode kerja;
1.              9 jam sehari clan maksimum 90 puluh jam dalam sepuluh hari kerja untuk satu periode kerja;
J.               10 jam sehari dan maksimum 100 jam dalam 10 hari kerja untuk satu peri ode kerja;
k.              11 jam sehari dan maksimum 110 jam dalam 10 hari kerja untuk satu periode kerja;
1.             9 jam sehari dan maksimum 126 jam dalam 14 hari kerja untuk satu periode kerja;
m.           10 jam sehari dan maksimum 140 jam dalam 14 hari kerja untuk satu periode kerja;
n.             11 jam sehari dan maksimum 154 jam dalam 14 hari kerja untuk satu periode kerja.
Waktu kerja dimaksud tidak termasuk waktu istirahat sekurang­kurangnya selama satu jam, akan tetapi sudah termasuk waktu kerja lembur tetap sebagai kelebihan tujuh jam satu hari.

Sedangkan mengenai pelaksanaan waktu istirahat, diatur dalam perjanjian kerja, PP, atau PKB sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Perusahaan dapat melakukan pergantian dan atau perubahan waktu kerja dengan memilih dan menetapkan kembali waktu kerjanya sesuai dengan kebutuhan. Pergantian dan/atau perubahan waktu kerja dimaksud wajib diberitahukan terlebih dahulu oleh pengusaha kepada pekerja, sekurang­kurangnya 30 hari sebelum tanggal perubahan dilaksanakan. Apabila peru sa­haan akan melakukan perubahan waktu kerja, memberitahukan secara tertulis atas perubahan tersebut kepada instansi ketenagakerjaan di KabupateniKota.
Perusahaan yang menggunakan waktu kerja seperti diatas, wajib memberikan waktu istirahat sebagai berikut, setelah pekerja bekerja secara terus menerus selama enam hari dalam satu minggu atau tujuh jam satu hari dan 40 jam satu minggu, kepada pekerja wajib diberikan satu hari istirahat, dan setelah pekerja bekerja secara terus menerus selama lima hari dalam satu minggu atau delapan jam satu hari dan 40 jam satu minggu, kepada pekerja wajib diberikan dua hari istirahat. Untuk perusahaan yang menggunakan waktu kerja lebih dari sembilan jam sehari, menggunakan perbandingan waktu kerja dengan waktu istirahat dua banding satu untuk satu periode kerja, dengan ketentuan maksimum 14 hari kerja terus menerus dan istirahat minimum lima hari dengan berupah. Waktu yang dipergunakan pekerja dalam perjalanan dari tempat tinggal yang diakui oleh perusahaan ke tempat kerja, termasuk waktu kerja, apabila perjalanan memerlukan waktu 24 jam atau lebih.
Apabila perusahaan telah mernilih dan menetapkan salah satu dan/atau beberapa waktu kerja dan ternyata pekerja dipekerjakan kurang dari waktu kerja tersebut, perusahaan tetap wajib membayar upah sesuai dengan waktu kerja yang dipilih dan ditetapkan. Dalarn hal perusahaan memilih dan menetapkan waktu tujuh atau delapan jam sehari dan mempekerjakan pekerja hari libur resmi, perusabaan wajib membayar upah kerja lembur. Untuk hari libur resmi yang jatuh pada satu periode kerja yang telah dipilih dan ditetapkan oleh perusahaan berdasarkan waktu kerja yang sembi Ian jam atau lebih dalam sehari, hari libur resmi tersebut dianggap hari kerja biasa.
Bagi perusahaan yang menggunakan waktu kerja khusus wajib membayar upah kerja lembur sebagai berikut:
a.              Apabila kerja lembur dilakukan pada hari biasa:
1.      untuk jam kerja lembur pertama selebihnya dari tujuh jam satu hari dan 40 jam satu minggu untuk enam hari kerja atau delapan jam satuhari dan 40 jam satu minggu untuk lima hari kerja wajib dibayar upah kerja lembur sebesar satu setengah x (kali) upah sejam;
2.      untuk setiap jam kerja lembur berikutnya, wajib dibayar upah kerja lembur sebesar dua x (kali) upah sejam;
b.             Apabila kerja lernbur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan bari libur resrni:
1.             untuk setiap jam dalam batas tujuh jam, wajib dibayar upah kerja lembur sekurang-kurangnya dua x upah sejam;
2.             untuk jam kerja pertama selebihnya tujuh jam, wajib dibayar upah kerja lembur sebesar tiga x upah sejam;
3.             untuk jam kerja kedua selebihnya tujub jam dan seterusnya, wajib dibayar upah kerja lembur sebesar empat x upah sejam.
Perhitungan upah kerja lembur didasarkan pada upah bulanan. Untuk menghitung upah sejam, dihitung 11173 dari upah sebulan. Dalam hal upah terdiri dari upah pokok dan tun jangan tetap, dasar perhitungan upah kerja lembur adalah 100% dari upah. Dalam hal upah terdiri dari upah pokok, tunjangan tetap, dan tunjangan tidak tetap, perhitungan upah kerja Iembur didasarkan pada hasil perhitungan yang lebih besar antara 100% upah pokok ditambab tunjangan tetap, atau 75% dari upab keseluruhan.
Bagi perusahaan yang menggunakan waktu kerja sernbilan jam atau lebih dalam sehari, membayar upah kerja lembur setelah tujuh jam kerja dengan perhitungan sebagai berikut:
1.             Untuk waktu kerja 9 jam satu bari, wajib membayar upah kerja lembur untuk setiap hari kerja sebesar 3 112 x upah sejam;
2.             Untuk waktu, kerja 10 jam satu hari, wajib membayar upah kerja lembur untuk setiap hari kerja sebesar 5 112 x upab sejam;
3.             Untuk waktu kerja II jam satu hari, wajib membayar upah kerja 1embur untuk setiap hari kerja sebesar 7 112 x upah sejam.
Perusahaan yang menggunakan waktu kerja khusus, melaporkan pelaksanaannya tiga bulan sekali kepada instansi ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Menteri, yang memuat:
a)            waktu kerja yang dipilih dan ditetapkan serta waktu istirahat,
b)            jurnlah pekerja yang dipekerjakan;
c)             daftar upah kerja lembur tetap; dan
d)            perubahan pelaksanaan waktu kerja (Kepmenakertrans No. KEP.234/ MEN12003).
Dari uraian diatas, dapat dipahami bahwa, mengenai pelaksanaan waktu kerja, bagi masing-masing perusahaan, tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Kapan jam kerja dimulai, jam istirahat dan berakhirnya jam kerja, diserahkan kepada para pihak untuk diatur dalam perjanjian kerja, PP atau PKB.
E. WAKTU ISTlRAHAT
Tujuan utama ditetapkannya waktu istirahat adalah untuk memberi ketentuan agar pekerja diperlakukan secara proporsional dan merniliki waktu untuk pengembangan diri. Dan juga dengan pemberian istirahat yang cukup secara berkala dan teratur, pekerja diharapkan akan memiliki waktu yang lapang dan kehidupan teratur untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan jasmani rohaninya. Dengan jiwa raga yang sehat, diharapkan pekerja dapat mengembangkan dirinya melalui pendidikan dan latihan atau melalui pergaulan dalam masyarakat. Selain itu pekerja akan rnempunyai waktu yang cukup pula untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinannya, sehingga dapat mengembangkan dirinya menjadi orang yang berkualitas.
Pengertian waktu istirahat secara definitif tidak dijelaskan dalam undang-undang. Pengertian waktu istirahat secara definitif hanya dapat kita lihat dalam Bijblad Nomor 1.4136 (Pasal 64 ayat (1) butir (b)). Dalam Bijblad dimaksud pengertian tentang waktu istirahat adalah, jangka waktu an tara dua waktu kerja selama sedikit-dikitnya 20 jam. Selama menjalani waktu istirahat itu pekerja dibebaskan dari seluruh urusan pekerjaan. Dari Bijblad dimaksud, dapat pula diketahui adanya pembedaan pengertian antara waktu istirahat dengan waktu mengaso. Pengertian waktu istirahat adalah waktu antara waktu kerja dengan waktu kerja berikutnya. Sedangkan untuk menyebutkan waktu istirahat di dalam waktu kerja disebut dengan waktu mengaso, yaitu tiap jangka waktu terus menerus selama sedikit-dikitnya setengah jam antara permulaan dan akhir waktu kerja, dimana pada waktu itu pekerja dibebaskan dari unsur pekerjaan. Pengertian waktu mengaso (waktu istirahat diantara jam kerja) yang dirumuskan di dalam Bijblad diatas, masih tetap dapat dipakai sebagai pedoman dalam memaharni waktu istirahat yang dipergunakan dalam peraturan perundangan ketenagakerjaan yang berlaku sekarang. Tentunya pemahaman itu harus disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku sekarang, misalnya waktu kerja wajib adalah tujuh atau delapan jam, sedangkan yang dimaksud dengan satu hari adalah 24 jam.
Ada sembilan macam bentuk waktu istirahat yang diatur dalam Undang­undang Ketenagakerjaan, yaitu:
1.             istirahat kerja;
2.             istirahat mingguan;
3.             istirahat pada hari libur resrni (hari raya);
4.              istirahat Tahunan);
5.              istirahat tertentu bagi pekerja wanita;
6.             istirahat karena alasan tertentu;
7.              istirahat panjang;
8.             istirahat sakit; dan
9.             istirahat rnenjalankan ibadah.
F. KETENTUAN WAKTU ISTlRAHAT
Untuk mengetahui lebih jauh mengenai ketentuan 9 waktu istirahat, berikut dijelaskan masing-masing waktu istirahat.
1.             Istirahat Kerja
Pada pengaturan pertama di dalam KUH Perdata, tidak diatur secara tegas mengenai pelaksanaan waktu istirahat. Para pihak diberi kebebasan sepenuhnya untuk mengatur sendiri pelaksanaannya. Pasa1 1602 KUH Perdata secara umum hanya mengatur kewajiban majikan untuk memberi kesempatan kepada pekerja yang bertempat tinggal bersamanya, untuk diberi kesempatan menikmati istirahat dari pekerjaannya. Istirahat itu harus diberi­kan tanpa memotong upahnya, yang dalam pelaksanaannya di1akukan dengan suatu tata cara yang diperjanjikan atau menurut kebiasaan setempat.
Sejak Undang-undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 jo. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951, pengaturan waktu istirahat sudah diatur secara tegas. Dalam ketentuan itu ditetapkan bahwa setelah menjalankan pekerjaan selama empat jam terus menerus, pekerja harus diberi waktu istirahat sedikit­dikitnya setengah jam lamanya. Waktu istirahat itu tidak termasuk jam kerja.
Pengaturan yang pernah ada tentang waktu istirahat, menyebutnya dengan kata-kata sekurang-kurangnya atau sedikitiya. lni berarti peraturan hanya mengatur ketentuan waktu minimal. Para pihak dalam hubungan kerja diberi kebebasan untuk mengatur istirahat kerja lebih dari setengah jam sesuai dengan sifat pekerjaan atau kondisi perusahaan. Namun lamanya waktu istirahat itu hendaknya dilakukan secara wajar, mengingat jika waktu istirahat itu terlalu lama, akan memberatkan pihak pekerja karena mereka akan lebih lama berada di perusahaan,
Selain itu, tujuan pemberian istirahat kerja an tara lain untuk mengatasi kelelahan dan kejenuhan dalam bekerja sehingga terpe1ihara keamanan, ketertiban dan kelancaran dalam berproduksi. Dengan demikian, istirahat kerja ini tentunya tidak perlu diberikan terlalu lama tetapi tidak boleh pula sampai ditiadakan. Dalam praktek yang paling ban yak dilakukan untuk waktu kerja siang hari, waktu istirahat diberikan satu jam antara jam 12 sid 13.00, untuk memberi kesempatan bagi pekerja, selain istirahat juga untuk makan siang dan beribadah shalat zuhur pekerja yang beragama Islam.
Dalam pengaturan terakhir mengenai waktu kerja dan waktu istirahat di sub sektor migas, lepas pantai dan daerah tertentu, tidak dinyatakan secara tegas mengenai pengaturan istirahat kerja setelah empat jam kerja. Dalarn ketentuan yang ada, hanya ditetapkan bahwa selama melakukan pekerjaan dalam waktu yang diatur secara khusus itu, di dalam waktu kerja tidak termasuk waktu istirahat sekurang-kurangnya selarna satu jam. Dengan demikian dalam pelaksanaannya, istirahat kerja dapat dilakukan dua kali rnasing-masing setengah jam, atau satu kali sekurang-kurangnya satu jam.
Di dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 pengusaha diwajibkan memberikan waktu istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama empat jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja. Sedangkan pengaturan pelaksanaannya dilakukan dengan kesepakatan oleh para pihak yang di muat dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau PKB. Dengan demikian pada dasarnya waktu istirahat kerja dari waktu ke waktu diatur lamanya paling sedikit setengah jam setelah empat jam kerja dan pelaksanaannya diserahkan untuk diatur bersama oleh pengusaha dan pekerja (Pasal 79 ayat (2) butir a UUKK).
2.             Istirahat Mingguan
Pengusaha diwajibkan untuk memberikan istirahat mmgguan. Untuk enam hari kerja dalam seminggu istirahat minggu diberikan selama satu hari istirahat dan dua hari istirahat apabila menggunakan sistem kerja lima hari dalam serninggu. Selama istirahat mingguan, pekerja tetap berhak upah penuh. Dalam Undang-undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 yang dicabut oleh UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 , diatur bahwa istirahat mingguan itu diberikan sedikit-dikitnya satu hari, artinya boleh diberikan lebih dari satu hari dalam seminggu. Hal ini tentunya dimaksudkan agar ketentuan undang-undang yang bersifat luwes ini dapat menampung segala kemungkinan dalam pelaksanaan istirahat mingguan.
Dalam Undang-undang Kerja, tidak ada pengaturan secara tegas bahwa upah selama pekerja menjalani istirahat rningguan wajib dibayar oleh pengusaha, karena rupanya pembuat undang-undang menyadari bahwa, dalam kenyataannya pada waktu itu, ada hubungan kerja yang bersifat sementara dan singkat seperti pekerja harian lepas, yang bekerja kurang dari tiga bulan berturut-turut dan dalam satu bulan kurang dari 20 hari kerja, yang dalam prakteknya kepada mereka diperlakukan asas tidak ada upah bila pekerja tidak bekerja (no work no pay), yang membedakannya dengan hubungan kerja tetap lainnya.
Dengan menetapkan kewajiban membayar upah selama pekerja menjalani istirahat mingguan ini, UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 hendak meningkatkan perlindungan terhadap pekerja, terutama pekerja di kelas bawah, yang hubungan kerjanya selalu tidak jelas. Ada dua hal dapat kita paharni dari ketentuan yang baru ini. Pertama, undang-undang hendak mengarah pada sistem upah dengan satuan bulan, seperti yang selama ini telah diberlakukan melalui kebijakan upah minimum. Kedua, hendak membatasi praktek hubungan kerja yang kurang memberi kepastian perlindungan kepada pekerja. Hal ini dapat kita lihat dari pembatasan yang dilakukan oleh undang-undang mengenai bentuk hubungan kerja, untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu saja (Pasal 56 UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003).
Untuk pekerja harian lepas dimasukkan dalam pengertian hubungan kerja waktu tertentu. Ketentuan UU Ketenagakerjaan No. 13 Tabun 2003 di atas dapat tafsirkan bahwa mereka berhak atas istirahat rningguan apabila dalam satu minggu telah bekerja selama enam hari (tujuh jam atau lima hari kerja (delapan jam kerja), karena undang-undang tidak mengadakan pembedaan dalam pemberlakuannya. Hal lain yang dapat dicatat dalam pelaksanaan istirahat mingguan In} adalah bahwa dalam hukum ketenagakerjaan nasional dibuat setelah kemerdekaan, tidak lagi mewajibkan beristirahat mingguan harus dilaksanakan pada hari minggu, seperti yang pernah diatur dalam peraturan perundang-undangan masa Hindia Belanda.
Dalam Pasal 1602v KUH Perdata diatur bahwa, pekerja tidak harus bekerja pada hari minggu dan hari yang dipersamakan dengan hari minggu menurut kebiasaan setempat. Apabila dilakukan penyimpangan, dalam satu bulan tetap diberikan istirahat sekurang-kurangnya dua kali istirahat pada hari rrunggu.
3.             Istirahat Hari Raya
Pengaturan hari libur hari raya bagi pekerja, secara khusus baru mulai ditetapkan sejak Tahun 1953, dengan Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 55 Tahun 1953. Diatur dalam ketetapan tersebut, jika hari libur itu jatuh pada hari minggu pekerja mendapat upah penuh. Jikalau pada hari libur itu harus tetap bekerja, upahnya dua kali upah biasa. Ketentuan tersebut kemudian diperbaharui dengan Permenaker Nomor PER.03IMEN/1987. Dalam ketentuan yang ini, perlindungan terhadap pekerja ditingkatkan, dengan mewajibkan pengusaha untuk membayar upah pada hari libur resmi baik yang jatuh pad a hari minggu atau istirahat mingguan atau tidak. Apabila di pekerjakan pada hari libur resmi, dibayarkan upah lemburnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ketentuan ini untuk mengatasi kenyataan bahwa telah banyak perusahaan pada saat itu yang melaksanakan istirahat mingguan yang tidak diadakan pada hari minggu.
Ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 mengatur bahwa, pekerja tidak wajib bekerja pada hari libur resmi (Pasal 85 ayat 1). Prinsip perlindungan hak asasi pekerja iui, telah lama diatur, yaitu dalam Pasal 1602v KUH Perdata. Dalam Undang-undang Ketja Tahun 1948 Nomor 12, hal itu ditemukan dalam Pasal 11, yang mengatur bahwa pekerja tidak boleh menjalankan pekerjaan pada hari raya yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah.
Sayangnya, sampai dengan dicabutnya Undang-undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 oleh UUKK, PP dimaksud tidak pernah diterbitkan. Tindak lanjut dari amanat Pasal 11 dimaksud dilakukan dengan Keputusan Presiden (Keppres Nomor 251 Tahun 1967, Keppres Nomor 3 Tahun 1983, dan terakhir Keppres Nomor 14 Tahun 2002). Sampai dengan Keppres yang terakhir, hari-hari yang dinyatakan sebagian Hari Libur Nasional (Hari Raya) adalah sebagai berikut:
           
1
Tahun Baru 1 Januari
satu hari
2
Proklamasi Kemerdekaan
satu hari
3
Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad S.A.W
satu hari
4.
Maulid Nabi Muhammah S.A.W.
satu hari
5.
Tahun Baru Hijriyah
satu hari
6.
Idul Adha
satu hari
7.
Idul Fitri
dua hari
8.
Hari Raya Natal
satu hari
9.
Kenaikan Yesus Kristus
satu hari
10.
Wafat Yesus Kristus
satu hari
11.
Hari Raya Nyepi
satu hari
12.
Hari Raya Waisak
satu hari
13.
Iahun Baru Imlek
satu hari
Dari hari-hari yang ditetapkan sebagai hari raya dimaksud jelas terlihat bahwa hari raya itu diberikan untuk menghormati bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beragama. Hal ini terlihat dari sebagian besar hari libur resmi tersebut berhubungan dengan hari ray a dari agama-agama yang diakui oleh pemerintah. Ketentuan ini menunjukkan bahwa Pernerintah menghormati dan mengakui warganya untuk beribadah menurut keyakinan agamanya, dengan memberikan kesempatan yang cukup bagi pemeluknya untuk merayakan hari raya keagamaannya.
Dalam pelaksanaannya, mengingat adanya sifat pekerjaan tertentu di perusahaan, hari-hari raya dapat digeser pelaksanaannya. Apabila dilakukan penggeseran pelaksanaannya, perbedaan upah yang dibayar adalah pada hari penggeseran hari raya apabila pada hari penggeseran itu pekerja di pekerjakan, disamping mendapat upah pada hari raya, juga mendapat pembayaran upah lembur untuk bekerja pada hari raya. Sedangkan apabila ada pekerja yang dipekerjakan pada hari-hari pelaksanaan cuti bersama, pada hari itu dianggap pekerja bekerja seperti hari biasa dan apabila bekerja lembur, upah lemburnya juga dengan upah lembur pada hari kerja biasa (SE Menakerirans No. 1M. 02. 23. 2002 dan SE Dirjen Binawas No. SE.02IDPHII02).
4.             Istirahat Tahunan
Undang-undang Kerja Tahun 1948 menetapkan bahwa bagi pekerja yang menjalankan pekerjaan untuk satu atau beberapa majikan dari satu organisasi, harus diberi ijin untuk beristirahat sedikit-dikitnya dua minggu tiap-tiap Tahun. Dalam pengertian seminggu, adalah waktu selama tujuh hari. Dengan demikian pelaksanaan istirahat Tahunan menurut ketentuan dimaksud adalah 14 hari. Ketentuan ini sarna dengan ketentuan yang dikeluarkan pada rnasa Hindia Belanda, dimana cuti Tahunan ditetapkan selama 14 hari, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 409 KUH Dagang dan Pasal 7 Peraturan Perburuhan di Perusahaan perkebunan. Tujuan pemberian istirahat Tahunan, untuk memberikan kesempatan bagi pekerja mengunjungi keluarganya atau mengadakan perjalanan peninjauan atau rekreasi untuk rnenyegarkan badan dan pikiran serta rneluaskan pandangan rnereka. Sejalan dengan pemberian istirahat ini, undang-undang mendorong kepada pengusaha dan rnasyarakat untuk mengadakan ternpat-ternpat istirahat dan rekreasi bagi pekerja. Dengan demikian, tidak tepat apabila dengan alas an untuk kepentingan perusahaan at au atas alasan permintaan pekerja, pelaksanaan cuti Tahunan diganti dengan uang.
Dalam PP Nornor 21 Tahun 1954 sebagai peraturan pelaksana Undang­undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 diatur pentahapan pernberlakuan pemberian istirahat Tahunan, dan tata-cara pelaksanaan istirahat Tahunan. Dari ketentuan ini kita dapat mengetahui bahwa, pada awal pemberlakuannya cuti Tahunan dibatasi berlakunya, hanya terhadap perusahaan tertentu yaitu:
a.             yang menggunakan mesin dengan kekuatan paling sedikit tiga PK akan tetapi kurang dari empat PK dan mempunyai pekerja 20 orang atau lebih;
b.             yang menggunakan tenaga mesin dengan kekuatan paling sedikit empat PK akan tetapi kurang dari lima PK dan mernpunyai pekerja 10 orang atau lebih;
c.              yang menggunakan tenaga mesin dengan kekuatan lima PK lebih, dan d) mernpunyai pekerja 50 orang atau lebih,
Walaupun sebenarnya Undangundang Kerja Tahun 1948 sendiri tidak mengamanatkan lebih ataupun bermaksud membatasi pemberlakuannya. Hanya karena melihat kondisi perusahaan pada waktu itu, Pernerintah melakukan pembatasan pemberlakuannya. Barulab kemudian dengan Kepmenakertrans Nomor: KEP. 69IMEN/1980 terhitung tanggal 10 Mei 1980 ketentuan rnengenai istirahat Tahunan diperlakukan kepada semua perusahaan lainya.
Mengenai cara menghitung istirahat Tahunan ini, untuk 23 hari kerja dalam satu bulan kalender, setiap hari pekerja hadir bekerja, dihitung satu hari istirahat, sampai paling banyak dua belas hari kerja dalam setahun. Oleh Undang-undang ditetapkan bahwa di hitung sebagai hari kerja adalah hari­hari:

a.             istirahat berdasarkan peraturan perundang-undangan;
b.             mendapat kecelakaan kerja;
c.             sakit yang diberitahu secara sah;
d.             yang selayaknya menjadi tanggungan pengusaha; dan
e.             mogok kerja yang dan alasan-alasan lain yang sah.
Tidak dianggap sebagai hari kerja, hari istirahat mingguan dan hari libur resmi yang ditetapkan oleh pemerintah. Di dalam Peraturan Perburuhan di Perusahaan Perkebunan dicantumkan secara tegas bahwa termasuk perhitungan satu Tahun masa kerja apabila pada waktu mernulai hubungan kerja ada masa percobaan, walaupun dalam PP Nomor 21 Tahun 1954 hal seperti itu tidak dicantumkan.
Dalam pelaksanaan cuti Tahunan, pada dasarnya dilakukan secara terus menerus, namun dengan kesepakatan dapat dilakukan dalarn beberapa bagian, dengan ketentuan harus ada satu bagian yang sedikit-dikitnya enam hari terus menerus. Selama menjalani istirahat Tahunan, pekerja berhak atas upah penuh. Apabila upahnya tidak tentu, untuk menghitung pembayaran upah selama istirahat adalah upah rata-rata dalam enam bulan yang mendahului, terhitung sejak saat dimulainya istirahat Tahunan. Bagi pekerja harian, upah itu dibayarkan sebelum istirahat Tahunan dilaksanakan. Dalam pelaksananaannya, pengusaha diwajibkan untuk menetapkan jumlah hari istirahat Tahunan dan memberitahu kepada pekerja. Dalam waktu paling lama enam bulan setelal lahirnya hak istirahat Tahunan, pekerja harus menggunakannya. Apabila dalam waktu tersebut pekerja tidak menggunakannya tanpa alasan yang sah atau alasan istimewa, hak istirahat Tahunan itu menjadi gugur. Namun pengusaha dapat menunda pelaksanaan istirahat Tahunan, karena kewenangan menetapkan pelaksanaan istirahat, merupakan kewenangan perusahaan (marcagernent right), walaupun penundaan itu harus dilakukan dengan tetap memperbatikan kepentingan pekerja.
Untuk itu, demi menjaga kepentingan pengusaha, misalnya perusahaan dalam produksi puncak, pengusaba dapat,menunda pelaksanaan cuti pekerja untuk waktu paling lama enam bulan terhitung sejak timbulnya hak istirahat Tahunan dimaksud. Dalam peraturan yang pernah ada sebelumnya, apabila terjadi PHK, yang bukan disebabkan oleb kesalahan besar atau alasan mendesak, bagi pekerja yang di PHK yang sudah mempunyai sekurang­kurangnya enam bulan masa kerja dari istirahat Tahunan yang terakhir,

berhak atas istirahat Tahunan secara proporsional, yang dalam pelaksanaannya dapat diberikan penggantian berupa uang. Oleh UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 untuk mendapatkan hak atas cuti Tahunan tidak lagi dipermasalahkan penyebab terjadinya PHK. Semua pekerja yang di PHK berhak atas uang penggantian hak, salah satu dian tara uang penggantian hak adalah cuti Tahunan yang belum diambil dan belum gugur.
Dalarn UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, khusus untuk istirahat Tahunan disebut dengan istilah cuti Tahunan, sedangkan untuk istirahat lainnya tetap dengan sebutan istirahat, bukan dengan kata cuti. Cuti Tahunan sekurang-kurangnya 12 hari kerja setelah pekerja yang bersangkutan bekerja selama 12 bulan terus-menerus (Pasal79 ayat (2). Ketentuan ini sarna dengan bunyi ketentuan dalam PP Nomor 21 Tahun 1954 (Pasal 2 ayat 2). Bedanya adalah apabila PP Nomor 21 Tahun 1954 dalam menghitung hari istirahat dalam satu Tahun menyebut dengan kata-kata paling banyak 12 hari kerja, sedangkan UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 rnenggunakan kata sekurang-kurangnya 12 hari kerja sama dengan ketentuan dalam Undang-undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12. Perbedaannya dengan Undang-undang Kerja, mengenai lamanya disebut dengan waktu dua minggu (empat belas hari), sementara dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 disebut dengan dua belas hari sarna dengan yang diatur dalam PP Nomor 21 Tahun 1954.
Dalam beberapa Tahun terakhir ini, telah berlangsung suatu bentuk baru dalam pelaksanaan istirahat Tahunan secara bersama kepada semua pekerja (cuti mas sal) , yang dilaksanakan dengan cara perusahaan menghentikan produksinya untuk semen tara. Praktek cuti massal ini telah berlangsung di banyak perusahan, hal ini dimaksudkan guna memberi kesempatan kepada pekerja untuk mudik lebaran ke kampung halamannya dengan waktu yang cukup. Pelaksanaan cuti massal ini rnernang sejak lama dapat dibenarkan, karena berdasarkan Pasal 5 PP Nomor 21 Tahun 1954, dimana pada intinya mengatur bahwa pelaksanaan cuti dilakukan dengan memperhatikan kepentingan bersama antara pengusaha dan pekerja dan dilakukan dengan persetujuan bersama antara kedua belah pihak.
Sejak Tahun 2003, cuti massal (istirahat Tahunan secara nasional) ini di forrnalkan oleh Pernerintah, dengan rnengatur norrnatif libur hari ray a dan hari cuti massal, melalui SKB tiga Menteri, yaitu Menteri Agarna, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Menteri Pembinaan Aparatur Negara.

5.             Istirahat Tertentu Bagi Pekerja Wanita
Pemberian istirahat karena hal-hal tertentu kepada wanita merupakan bentuk-bentuk perlindungan terhadap kodrat wanita, seperti menjalani mas a haid, fungsi reproduksi, seperti hamil dan bersalin, dan fungsinya sebagai ibu, seperti menyusui dan mengasuh anak.
Dalam melindungi kodrat kewanitaannya, pekerja wanita tidak boleh diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua waktu haid (Pasal 13 ayat (1) Undang-undang Kerja 1948). Ketentuan seperti ini, oleh UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 dirubah, sehingga pengaturannya menjadi berbunyi bagi pekerja perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid. Pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, PP at au PKB.
Bentuk perlindungan terhadap fungsi reproduksi pekerja wanita di tempuh dengan melindungi mereka menjelang masa melahirkan anak dan setelah melahirkan atau gugur kandungan. Dalam ketentuan yang lama, pekerja wan ita harus diberi istirahat selama satu setengah bulan sebelum saatnya menurut perhitungan akan melahirkan anak, dan waktu istirahat itu dapat diperpanjang sampai selama-lamanya tiga bulan jikalau dokter menerangkan bahwa istirahat yang lebih panjang itu perlu untuk menjaga kesehatan. Secara umum undang-undang melindungi pekerja wanita agar bulan kedelapan dari kehamilan diberi kesempatan istirahat dan dalam keadaan tertentu, waktu itu dapat diperpanjang paling lama tiga bulan. Ini berarti bahwa dalam kasus tertentu, menurut pandangan dokter, kepada pekerja wanita dapat diberikan istirahat sejak kehamilan bulan kesembilan dari perkiraan kehamilan normal yaitu sembilan setengah bulan (Pasal 82 UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 )
Kemudian bagi pekerja wanita yang melahirkan atau gugur kandungan, juga diberi waktu untuk beristirahat selama satu setengah bulan sesudahnya. Dengan dernikian, dalam melindungi pekerja wanita sebagai ibu bangsa, undang-undang telah sangat menjarnin perlindungan atas kesehatan dan keselamatan pekerja wanita dan anaknya. Perlindungan itu terus berlanjut pada saat pekerja wanita dimaksud kembali bekerja, dengan menjarnin pern­berian kesempatan kepada pekerja wanita untuk menjalankan kewajibannya kepada anaknya. Bentuk perlindungan itu berupa mewajibkan pengusaha untuk memberi kesempatan sepatutnya kepada pekerja wanita untuk menyusukan anaknya di dalam jam kerja. Bahkan sangat dianjurkan bagi perusahaan yang memungkinkan untuk mengadakan temp at penitipan dan pemeliharaan anak pekerja wanita. Anjuran ini telah sejak lama dilaksanakan dibanyak perusahaan perkebunan, karena hal yang dernikian memang sangat memungkinkan, karen a tempat dan lingkungan kerja sub sektor perkebunan nyaman dan sejuk, sehingga sangat sesuai bagi kehidupan anak-anak.
6.               Istirahat Karena Alasan Tertentu
Undang-undang melindungi pula kehidupan sosial dan kerohanian pekerja, dengan mewajibkan pengusaha untuk memberi istirahat dengan berupah agar pekerja dapat memenuhi kewajiban sosial dan kerohanian dimaksud. Beberapa hal yang diwajibkan oleh undang-undang adalah sebagai berikut:

 Pekerja Menikah
3 Hari
 Menikahkan anak
2 Hari
 Menghitankan anak
2 Hari
 Membaptis anak
2 Hari
 Istri Melahirkan atau gugur kandungan
2 Hari
 Orang Tua/ Mertua/ anak/ menantu meninggal dunia
2 Hari
 Anggota Keluarga dan satu rumah meninggal dunia
1 Hari

 (Pasal 93 ayat (4) UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 ).
Perlindungan          pernberian       istirahat           dari      pekerjaannya   karena melaksanakan kehidupan sosial dan keagarnaan bagi pekerja telah diatur untuk yang pertama sekali dalam Pasal 1602u H Perdata, yang mewajibkan pengusaha untuk memberi kesempatan kepada pekerja yang bertempat tinggal padanya, menjakan kewajiban agamanya dengan tetap menerima upah. Kegiatan-kegiatan so sial keagamaan dimaksud kemudian diatur dalam aturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang perlindungan upah (Pasal 5 ayat (1) butir (b)). Tujuan utama perlindungan ini adalah dalam rangka menjarnin pengupahan, agar upah tetap diperoleh, dalam hal pekerja melaksanakan kegiatan atau menghadapi kewajiban sosial dan spiritual seperti hal-hal diatas.

7.              Istirahat Panjang
Seperti diketahui, bahwa sejarah pertumbuhan industri di Indonesia (Hindia Belanda) dimulai dari sub sektor perkebunan. Sebagai konsekwensinya, banyak peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan di sub sektor ini, telah terlebih dahulu mengatur perlindungan yang lebih baik dibanding dengan sektor usaha lainnya. Ketentuan mengenai istirahat panjang misalnya, telah diatur dalam Peraturan Perkebunan di Perusahaan Perkebunan (A.M.v.B 1938 Stbl 98 jo. Stbl No. 224 Tahun 1948). Bagi pekerja di sub sektor perkebunan yang diterima bekerja dari luar negeri atau di pekerjakan di luar Indonesia, atau yang menerima upah sekurang­kurangnya 350 gulden sebulan, setiap kali setelah mencapai masa kerja tujuh Tahun (tennasuk masa percobaan) berhak atas istirahat enam bulan yang dijalankan di luar negeri dengan upah penuh.
Dalam Undang-undang Kerja Tahun 1948, materi istirahat panjang ini juga telah diatur. Bagi pekerja yang telah bekerja enam Tahun berturut-turut pada satu pengusaha yang sarna atau bebera pa pengusaha yang tergabung dalam satu organisasi, berhak atas istirahat tiga bulan lamanya. Hal ini dimaksudkan hendak memberi kesempatan kepada pekerja yang berasal dari kepulauan lain untuk mengunjungi daerah asalnya.
Dari dua ketentuan dimaksud kita melihat adanya perbedaan maksud dan tujuan, antara yang diatur oleh hukum Hindia Belanda dengan hukum nasional kita. Kalau hukum Hindia Belan da mengaturnya dengan maksud hendak menarik pekerja asing untuk mau bekerja pada sektor perkebunan di Indonesia danJatau ingin mensejahterakan pekerja kelas atas (yang bergaji diatas 350 gulden), yang dipeketjakan diluar negeri. Sedangkan hukum nasional bermaksud hendak mensejahterakan kehidupan sosial kemasyarakatan semua pekerja, agar terjaga hubungannya dengan daerah asal dan kerabatnya (bukan berpergian keluar negeri). Sayangnya ketentuan ini belum berlaku, kecuali dilaksanakan di sebagian perusabaan melalui peraturan perusahaan atau PKB, sampai kemudian Undang-undang Kerja dicabut.
Dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 yang antara lain mencabut Undang-undang Kerja, ketentuan mengenai istirahat panjang ini kembali diatur, tetapi dengan perubahan. Bagi pekerja yang telah bekerja sekurang-kurangnya enam Tahun dan berlaku bagi setiap kelipatan enam Tahun berhak atas istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 bulan. Pelaksanaannya pada Tahun ketujuh selama satu bulan dan Tahun kedelapan selama satu bulan. Selama menjalankan istirahat panjang Tahun ke delapan pekerja diberi kompensasi hak istirahat Tahunan Tahun kedelapan sebesar setengah bulan upah. (Pasal 79 ayat (2) butir d).
8.              Istirahat Sakit
Perlindungan dalam bentuk pemberian pengupahan walaupun pekerja tidak dapat melakukan prestasinya seperti biasa dari waktu ke waktu terus diperluas oleh undang-undang. Dalarn hal sakit misalnya, pada awalnya KUH Perdata mengatur perlindungan istirahat karena pekerja menderita sakit, hanya diwajibkan kepada pengusaha untuk rnengurus perawatan dan pengobatan pekerja yang tinggal bersamanya. Kernudian pengusaha diwajibkan membayar upah pekerja yang tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sakit sebagai berikut:
a.              untuk tiga bulan pertama 100% dad upah;
b.              untuk tiga bulan kedua, 75% dari upah;
c.              untuk tiga bulan ketiga, 50% dari upah;
d.             untuk tiga bulan keempat, 25% dari upah. (Pasal 5 ayat 1 butir a PP No. 8 Tahun 1981).
Sedangkan dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, perlindungan upah selama sakit ditentukan sebagai berikut:
a.              untuk empat bulan pertama 100% dari upah;
b.              untuk empat bulan kedua 75% dari upah;
c.              untuk empat bulan ketiga, 50% dari upah;
d.              untuk empat bulan ke empat, 25% dari upah sebelum dilakukan PHK (Pasal 93 ayat 3).
9.              Istirahat Menjalankan Ibadah
Perlindungan untuk memberikan istirahat untuk menjalankan ibadah dengan berupah, semula diatur dalam Pasal 1602u KUH Perdata, agar pekerja dapat memenuhi kewajiban agamanya. Dari waktu ke waktu perlindungan mengenai hal ini juga terus berkembang. Walaupun titik berat perlindungan kesempatan untuk beribadah ini berkaitan dengan perlindungan upah, kita dapat melihatnya pula dari pendekatan istirahat. Pengusaha wajib memberikan kesempatan kepada pekerja yang akan memenuhi kewajiban ibadah menurut agamanya selama waktu yang diperlukan, dengan ketentuan tidak lebih dari tiga bulan dan hanya berlaku satu kali di dalam satu hubungan kerja. Untuk kegiatan yang kedua, rnungkin istirahatnya dapat diberikan tetapi tidak lagi berupah (Pasa16 PP Nomor 8 Tahun 1981).
Pengusaha wajib meberikan hak istirahat kepada peketja dengan berupah, untuk menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya, apabila pelaksanaan ibadah itu telah diatur dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 93 ayat (2) butir e UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 ). Selain itu, pekerja dijamin pula untuk beristirahat guna menjalankan ibadahnya sehari-hari. Dalam pelaksanaannya pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja, untuk melaksanakan ibadah agamanya sesuai dengan kondisi dan kemampuan perusahaan, yang memungkinkan pekerja dapat beribadah secara baik (Pasal 80 UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003
G. RINGKASAN KETENTUAN W AKTU ISTIRAHAT DAN CUTI
Sebagaimana telah dijelaskan dimuka, ketentuan waktu istirahat dapat jelaskan secara garis besar adalah sebagai berikut:
a.             Istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya 1f2 jam setelah bekerja 4 (empat) jam berturut-turut dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja.
b.             Istirahat mingguan 1 (hari) untuk 6 (enam) han kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 hari untuk 5 (lima) han kerja dalam 1 (satu) minggu. Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak cuti istirahat rningguan ini berhak atas upah yang penuh.
c.              Cuti Tahunan, sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus. Setiap pekerja yang menggunakan hak cuti Tahunan ini berhak mendapat upah penuh. Pelaksanaan waktu cuti Tahunan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau peerjanjian kerja bersama.
d.             Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1 1f2 bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1 1f2 bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandunganlbidan.
e.              Istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada Tahun ketujuh dan kedelapan masing-rnasing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) Tahun berturut-turut di perusahaan yang sarna dengan ketentuan: pekerja/buruh tersebut tidak
berhak lagi atas cuti Tahunan dalam 2 (dua) Tahun berjalan. Dan selanjutnya berlaku untuk kelipatan en am Tahun berikutnya. Selama menjalankan istirahat panjang pekerja/buruh diberi uang kornpensasi hak istirahat Tahunan Tahun kedelapan sebesar Y2 (setengah) bulan gaji, kecuali bagi perusahaan yang telah memberlakukan ketentuan yang lebih baik dan ketentuan undang-undang ini. Dan pekerja/buruh yang menggunakan hak istirahat panjang berhak mendapat upah penuh.
f.                Selain dari waktu istirahat dan cuti yang ditetapkan, para pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari libur resmi. Pengusaha boleh mempekerjakan pekerja pada hari libur resmi sepanjang ada persetujuan dari pihak pekerja/buruh.
H. JAM KERJA DALAM PERA TURAN PERUSAHAAN (PP).
Di tiap-tiap perusahaan yang telah memiliki Peraturan Perusahaan, ketentuan mengenai waktu kerja dan jam kerja sudah diatur dalam PP terkait. Berikut ini contoh ketentuan jam kerja di sebuah perusahaan yang menerapkan pola kerja shift. Dalam salah satu Pasal tentang jam kerja biasanya dinyatakan sebagai berikut:
Jam kerja diperusahaan adalah 8 jam sehari atau 40 jam seminggu. Han dan jam kerja bagi karyawanl wati:
Ketentuan Kerja Non shift
Senin sId Kamis 08.00 sId 16.50, dengan waktu istirahat 50 menit. Jumat 08.00 sId 17.00, dengan waktu istirahat 60 menit. Sabtu dan Minggu libur.
Ketentuan Kerja shift terdiri dari:
1)        ShiftI                         : 07.00-14.30 Wibistirahat 11.30-12.00 Wib
Shift II                     : 14.30-22.00 Wib istirahat 18.00-18.30 Wib
Shift III                     : 22.00-07.00 Wib istirahat 02.30-03.00 Wib
2)        ShiftI                         : 06.30-15.00 Wibistirahat 11.30-12.00 Wib
Shift II                      : 14.30-23.00 Wib istirahat 18.00-18.30 Wib
Shift III                    : 22.30-07.00 Wib istirahat 02.30-03.00 Wib Dengan istirahat 30 menit setiap shifnya.
Ketentuan-ketentuan khusus:
1.             Karyawanfwati yang bekerja secara shift mempunyai hari kerja dan istirahat sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan.
2.             Perusahaan sewaktu-waktu dapat membuat jam kerja shift secara bergilir pagi, siang dan malam sesuai dengan kebutuhan perusahaan.Apabila terdapat perubahan jam kerja shift akan diberitahukan terlebih dahulu kepada SPSI tentang alasannya dan jadwal kerja yang baru. Perubahan jadwal kerja shift didasarkan atas kondisi dan situasi perusahaan yang disesuaikan dengan target atau rencana produksi.
3.             Perusahaan akan rninta izin penyimpangan waktu ke Kantor Departemen Tenaga Kerja, apabila diperlukan.
4.             Serikat Pekerja mengakui hak Direksi untuk melaksanakan dinasa regu (shift work) tersebut.
5.             Perusahaan tidak dapat mempekerjakan karyawanJ wati yang mempunyai hubungan keluarga sebagai suarni isteri dalam satu perusahaan. Apabila hal ini terjadi, salah satu diantaranya wajib mengundurkan diri.
6.             Dalam keadan darurat, Perusaan dapat meliburkan dan atau menghentikan kegiatan untuk semen tara waktu dan menugaskan karyawan, yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi Perusahaan pada waktu itu.
I.               KETENTUAN KERJA LEMBUR DALAM UU NO. 13 TAHUN 2003.
Ketentuan kerja lembur diatur dalam UU Ketenagakerjaa No. 13 Tahun 2003 Pasal
Pasal 78, intinya bahwa upah lembur wajib dibayar. Tapi upah lembur tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu. Di sejurolab perusahaan, ketentuan lembur juga diatur dalam PP atau PKB. Berikut adalah contoh ketentuan peraturan lembur yang dituangkan dalam PP.
Ketentunnya antara lain sebagai berikut:
1.             Setiap karyawan dirninta senantiasa untuk bersedia bekerja lembur menurut kebutuhan Perusahaan, dalam hal ini:
a.      Untuk memenuhi rencana kerja perusahaan
b.      Suatu pekerjaan yang jika tidak dilaksanakan akan menimbulkan kerugian bagi perusahaan.
c.       Jika sewaktu ada pekerjaan yang harus diselesaikan segera, serta tidak dapat ditundaJditangguhkan lagi.
d.      Jika seorang pekerja regu harus melanjutkan pekerjaannya karena penggantinya berhalangan masuk bekerja.
2.             Karyawan yang diminta kerja lembur, kepadanya diharuskan mengisi formulir lembur yang disetujui oleh atasannya dan diketahui atau oleh Bagian Personalia.
3.             Kerja lembur ialah pekerjaan yang dilakukan pada hari-hari libur resmilistirahat mingguan atau dalam waktu yang lebih dari 8 (delapan) jam sehari dan atau 40 (empat puluh) jam dalam seminggu.
4.             Untuk karyawan yang melakukan kerja lembur (yang telah mengisi formulir lembur), akan diberikan gaji lembur kecuali karyawan yang karena kedudukannya atau jabatannya digolongkan sebagai karyawan inti atau manajemen staff, sesuai dengan ketentuan Direksi dan Surat Edaran Dirjen Binawas No. 02/M/BWIl987.
5.             Karyawan dan staff management yang tidak berhak mendapat penggantian uang lembur, yang bekerja pada hari-hari libur resmilistirahat akan mendapat penggantian hari libur.
6.             Karyawan yang bekerja lembur melewati jam 20.00 pada hari-hari kerja biasa atau melewati jam 13.00 pada hari-hari istirahat mingguan/hari libur resmi, diberikan waktu istirahat selama maksimum 1 (satu) jam. Yang bersangkutan akan mendapatkan makan yang layak dan cukup memenuhi syarat kesehatan atau dapat diganti dengan uang makan yang sarna nilainya. Waktu istirahat tidak diperhitungkan sebagai jam lembur.
7.             Bagi karyawan atau group yang mendapat giliran kerja (shift) berlaku ketentuan jam kerja biasa, kecuali pada hari-hari libur resmi.
Selain mengenai ketentuan jam lembur dalam PP juga dituangkan ketentuan perhitungan uang lembur. Ketentuannya an tara lain sebagai berikut:
1.             Perhitungan uang lembur diatur sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku yaitu sebagai berikut :
a.         Pada hari kerja biasa
1)        Untuk jam lembur pertama dibayar 1 Y2 X gaji satu jam.
2)        Untuk jam lembur selebihnya dibayar 2 x gaji satu jam.
3)        Pada hari-hari istirahat mingguan/hari libur resmi
b.         Untuk tiap jam lembur sampai batas 7 jam dibayar:
1)        2 x gaji 1 jam (atau jam pertama bila hari libur jatuh pada hari kerja terpendek diantara 6 hari kerja).
2)        untuk kerja lembur jam ke 8 (delapan) dibayar :
3)        3 x gaji 1 jam (atau jam ketujub bila hari liburjatuh pada hari kerja terpendek diantara 6 hari kerja).
4)        Untuk jam kesembilan dibayar :
5)        4 x gaji 1 jam ( atau jam ketujuh bila hari libur jayuh pada hari kerja terpendek diantara 6 hari kerja).
2.             Waktu lembur lebib dari 30 menit tetapi kurang dari 60 menit dibulatkan menjadi 1 jam.
3.             Gaji ialah jumlah keseluruhan yang dibayarkan di dalam satuan waktu yang sarna.
4.             Untuk menghitung gaji 1 jam adalah sebagai berikut:
 a
 Gaji satu jam bagi Karyawan Bulanan
 1/173 X  gaji satu bulan
 b
 Gaji satu jam bagi Karyawan Harian
 3/20  X Gaji Satu Hari
 c
 Satu jam bagi Karyawan Borongan
 1/7  X  rata-rata hasil kerja

Perlu dicatat bahwa untuk menjaga kesehatan karyawan, kerja lembur untuk seorang karyawan dibatasi setinggi-tingginya 14 jam dalam seminggu, kecuali dalam keadaan luar biasa dapat diadakan penyimpangan­ penyimpangan khusus dengan seijin DEPNAKER.
Selain itu juga perlu diketahui adanya penyimpangan waktu kerja.
Berdasarkan UUK No. 13 Tahun 2003 Pasal 85, ditetapkan adanya penyimpangan waktu kerja yakni:
Pekerja/buruh tidak wajib kerja pada hari libur.
Kerja pada hari libur jika sifat pekerjaan dilaksanakan terus menerus atau adanya kesepakatan antara pekerja dan pengusaha.
Kerja hari libur wajib dibayar dan dikategorikan sebagai kerja lembur.












KEGIATAN BELAJAR 2
Mengenal Pengupahan

A. PENGUPAHAN
Pengupahan menjadi hak pekerja yang mesti didahulukan dibanding kewajiban-kewajiban lain yang harus dibayar oleh pengusaha.
Upah yang merupakan hak dari pekerja/buruh merupakan hutang yang harus didahulukan pembayarannya oleh pengusaha. Upah harus dibayar terlebih dahulu daripada hutang lainnya. Ketentuan ini sejalan dengan hadis nabi: bayarlah upah para pekerja sebelum kering keringatnya.
Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan upah? Upah dalam Pasal 1 ayat (30) UU No. 13 Tahun 2003 disebutkan:
Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa:
1.        Upah adalah hak pekerja/buruh sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja atas suatu pekerjaan danl atau jasa yang telah atau akan dilakukan;
2.        Upah yang diterima pekerja/buruh harus dinyatakan dengan uang;
3.        Upah dibayarkan sesuai dengan perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan;
4.        Tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya merupakan komponen dari upah.

1.                  Komponen Upah
Perlu diketahui bahwa penghasilan pekerja/buruh yang didapat dari pengusaha dapat berupa upah dan bukan upah. Menurut Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja R.1. No.: SE-07IMEN/1990, yang dimaksud dengan komponen upan terdiri atas:
a.        Upah Pokok.
b.        Tunjangan Tetap.
c.         Tunjangan Tidak Tetap.
Upah pokok adalah imbalan dasar yang dibayarkan kepada pekerjalburuh rnenurut tingkat atau jenis pekerjaan yang besamya ditetapkan berdasarkan kesepakatan. Berdasarkan Pasal 94 UU No. 13 Tahun 2003, bila komponen upah terdiri atas upah pokok dan tunjangan, maka besarnya kornponen uang pokok adalah 75 % dari jumlah uang pokok dan tunjangan tetap.
Tunjangan tetap adalah suatu pembayaran yang teratur berkaitan dengan pekerjaan yang diberikan secara tetap untuk pekerjalburuh dan keluarganya serta dibayarkan dalam satuan waktu yang sarna dengan pembayaran upah pokok seperti tunjangan isteri, tunjangan anak, tunjangan jabatan dan lain­lain. Tunjangan tetap pernbayarannya dilakukan secara teratur dan tidak dikaitkan dengan kehadiran pekerjalburuh atau pencapaian suatu prestasi kerja tertentu.
Tunjangan tidak tetap adalah suatu pernbayaran yang secara langsung rnaupun tidak langsung berkaitan dengan pekerja/buruh yang diberikan secara tidak tetap untuk pekerjalburuh dan keluarganya serta dibayarkan menurut satuan waktu yang tidak sarna dengan waktu pembayaran upah pokok seperti tunjangan transport atau tunjangan rnakan apabila diberikan berdasarkan kehadiran pekerjalburuh.
Ketentuan mengenai komponen upah secara ringkas dapat dilihat pada box berikut:
Komponen Upah berdasarkan UUK Pasal 94
Apabila kornponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap rnaka besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75% dari upah pokok + tunjangan tetap. Ketentuan lama (sebelurn UUK No. 13 Tahun 2003) tidak rnengatur.

2.             Komponen Bukan Upah
PenghasiJan pekerja yang dikategorikan bukan upah, terdiri atas: pernberianlpenyediaan fasilitas, bonus dan tunjangan hari raya.

a.             Pemberian Fasilitas, misalnya pernberian bentuk nyata/natura yang diberikan perusahaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan karyawan. Fasilitas kendaraan atau antar jemput, atau fasilitas makan secara cuma-Cuma, fasilitas ibadah, fasilitas penitipan bayi, dan lain­lain.
b.             Pemberian Bonus, yakni pembayaran yang diterima pekerja dari hasil keuntungan perusahaan atau karena pekerja menghasilkan pendapatan lebih besar dari yang ditargetkan. Ketentuan bonus sangat beragam dan ditentukan oleh kebijakan manajemen perusahaan atau berdasarkan kesepakatan.
c.              Tunjangan Had Raya (THR), umumnya THR diberikan dalam rangka perayaan Natal, Tahun Baru dan Lebaran.
B. KEBIJAKAN PENGUPAHAN
Dalarn upaya rnelindungi hak-hak pekerja, pemerintah telah menetapkan kebijakan pengupahan, yang terdiri atas:
a.             upah minimum;
b.             upah lembur;
c.              upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d.             upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain diluar
pekerjaannya;
e.              upah karen a menjalankan hak waktu istirahatnya;
f.               bentuk dan cara pembayaran upah;
g.             denda dan potongan upah;
h.             hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
i.               struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
j.                upah untuk pembayaran pesangon; serta
k.              upah untuk perhitungan pajak penghasilan.

Untuk mengenal lebih jauh tentang kebijakan pengupahan di atas, mari kita perdalam satu persatu:
1.             Upah Minimum
Upah minimum tiap Tahun selalu dikoreksi dan cenderung mengalami perubahan. Perubahan itu seiring dengan laju inflasi tiap Tahun, kenaikan biaya hidup seperti dampak kenaikan BBM dan faktor lain yang membuat upah minimum dirasa terlalu rendah. Lalu apa sesungguhnya upah minimum? Upah minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap. Dasar ditetapkannya upah minimum, dimaksudkan sebagai jaring pengaman agar upah pekerja tidak terus turun semakin rendah sebagai akibat tidak seimbangnya pasar kerja. Bayangkan dengan tingginya angka pengangguran saat ini, dengan tanpa adanya ketetapan upah minimum pengusaha bisa saja menetapkan upah yang rendah. Toh meskipun upahnya rendah, tetap saja banyak yang minat untuk bekerja karen a sedikitnya lapangan kerja. Namun dernikian, tujuan penetapan upah minimum bukanlah untuk dijadikan upah standar di perusahaan, akan tetapi upah terendah yang wajib di bayar pengusaha di perusahaannya.
Upah minimum di tu j ukan terhadap pekerj a yang baru di terima dengan pendidikan dan jabatan terendah, yang belum mempunyai pengalaman kerja, merupakan pekerja pemula, dan baru pertama kali memasuki pasar kerja. Pemberlakuan upah minimum di tujukan kepada semua pekerja baru, termasuk yang bekerja dengan masa percobaan, dan hanya boleh diberikan kepada pekerja yang bekerja kurang dari satu Tahun. Untuk pekerja yang diatas satu Tahun, upahnya dirundingkan bersama an tara pengusaha dan pekerja/serikat pekerja. Penetapan upah minimum sejak di keluarkannya pengaturan tentang upah minimum, yang terakhir dengan Permenaker Nomor PER-OllMEN/99, rnengalarni perubahan besar. Semula penetapan upah minimum berdasarkan satuan hari, kemudian diganti menjadi satuan bulan. Dengan demikian tidak timbul lagi masalah upah bagi pekerja bulanan. Pembayaran upah pada hari-hari istirahat dan pada hari libur resmi tetap dihitung karena masuk dalam satuan bulanan.
Secara garis besar dengan ditetapkannya besaran upah minimum tiap Tahun, dengan maksud:
a.        Melindungi kelompok pekerja dari adanya sistem pengupahan yang sangat rendah dan secara materiil kurang memuaskan;
b.        Mendorong kemungkinan diberikannya upah yang sesuai dengan nilai pekerjaan yang dilakukan; dan
c.         Mengusahakan terjaminnya ketenangan dan kedamaian kerja dalam perusahaan, serta mendorong peningkatan standar hidup normal, sehingga pekerja dapat menjalani hidup secara layak.

2.             Tujuan Pemerintah Menetapkan Upah Minimum
Pemerintah menetapkan upah minimum dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup layak bagi pekerja. Dengan kebijakan upah minimum, diharapkan akan diperoleh suatu jumlah pendapatan pekerja yang layak sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja dan keluarganya secara wajar, yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.
Upah minimum, sebagaimana dijelaskan pada Pasal 89 UU No. 13 Tahun 2003, dapat dibagi atas:
a.             Upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota.
Besar upah ini untuk tiap wilayah provinsi atau kabupatenJ kota tidak sarna tergantung nilai Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) di daerah yang bersangkutan. Setiap kabupaten/kota tidak boleh menetapkan upah minimum dibawah upah minimum provinsi yang bersangkutan. Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.Ol/MEN/ 1989 pada Pasal 1 huruf (a) tentang pengertian upah minimum disebutkan bahwa upah minimum adalah upah pokok ditambah tunjangan tetap. Komposisi upah pokok serendah-rendahnya 75% dari upah minimum.

b.             Upah minimum berdasarkan sektor/sub sektor pada wilayan provinsi atau kabupaten/kota.
Upah minimum sektoral ditetapkan berdasarkan kelompok usaha tertentu misalnya kelompok usaha manufaktur dan non manufaktur. Upah minimum sektoral ini tidak boleh lebih rendah dari upah minimum daerah yang bersangkutan.

c.              Upah minimum ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi danl atau Bupati/ Walikota.
Pengusaha dilarang membayar upah pekerja/ buruh dibawah upah minimum daerah dirnana pekerja/ buruh tersebut bekerja, termasuk kepada pekerja atau buruh yang sedang dalam masa percobaan tiga bulan pertama. Segala kesepakatan tentang upah antara pengusaha dengan pekerja/buruh atau dengan Serikat Pekerja/ Serikat Buruh yang menetapkan upah lebih rendah dari upah minimum adalah batal demi hukum dan pengusaha tetap wajib membayar upah sesuai dengan upah minimum yang berlaku.

Ketentuan atau sumber hukum yang mengatur masalah upah minimum, adalah sebagai berikut:
1.        Diatur pada Pasal 89 UUK No. 13 Tahun 2003 dan Permenaker No. 1199.
2.        Pasal 90 UUK No. 3 Tahun 2003 mengatur mengenai larangan pengusaha membayar dibawah ketentuan upah minimum.
3.        Pasal 91 UUK No. 3 Tahun 2003 mengatur tentang tidak boleh ada kesepakatan pengaturan pengupahan antara pengusaha dan pekerja dibawah ketentuan pengupahan yang berlaku.
4.        Pasal 92 UUK No. 13 Tahun 2003 mengatur pengusaha untuk menyusun struktur dan skala upah.
Mengingat tidak semua perusahaan mampu membayar upah sesuai dengan ketentuan upah minimum, bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum, dapat melakukan penangguhan dengan tata cara mengajukan permohonan penangguhan kepada instansi ketenagakerjaan, dengan alasan dan bukti-bukti yang cukup. Penangguhan pelaksanaan upah minimum bagi perusahaan yang tidak mampu, dimaksudkan untuk membebaskan perusahaan yang bersangkutan melaksanakan upah minimum yang berlaku dalam kurun waktu tertentu. Apabila penangguhan tersebut berakhir, perusahaan yang bersangkutan wajib melaksanakan upah minimum yang berlaku, tetapi tidak wajib membayar pemenuhan ketentuan upah minimum yang berlaku pada waktu diberikan penangguhan (Pasal 90 UUKK).
Permohonan penangguhan pelaksanaan upah minimum diajukan oleh pengusaha, kepada gubernur melalui instansi ketenagakerjaan Provinsi paling lambat aepuluh hari sebelum tanggal berlakunya upah minimum. Permohonan penangguhan dimaksud didasarkan atas kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan pekerja atau serikat pekerja yang tercatat. Kesepakatan tertulis dimaksud dilakukan melalui perundingan secara mendalam, jujur, dan terbuka.
Apabila di dalam satu perusahaan terdapat satu serikat pekerja yang memiliki anggota lebih 50% dari seluruh pekerja di perusahaan, serikat pekerja dapat mewakili pekerja dalam perundingan untuk menyepakati penangguhan. Di satu perusahaan yang terdapat lebih dari satu serikat pekerja, yang berhak mewakili pekerja melakukan perundingan untuk menyepakati penangguhan adalah serikat pekerja yang memiliki anggota lebih dari 50% dari seluruh jumlah pekerja di perusahaan tersebut. Apabila ketentuan dimaksud tidak terpenuhi, serikat pekerja dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah lebih dari 50% dari seluruh jumlah pekerja di perusahaan tersebut untuk mewakili perundingan dalam menyepakati penangguhan. Apabila ketentuan di maksud tidak terpenuhi juga, para pekerja dan serikat pekerja membentuk tim perunding yang keanggotannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah pekerja dan anggota masing-rnasing serikat pekerja. Di perusahaan yang belum terbentuk serikat pekerja, perundingan untuk menyepakati penangguhan pelaksanaan upah minimum dibuat antara pengusaha dengan pekerj a yang mendapat mandat untuk mewakili lebih dari 50% penerima upah minimum di perusahaan.
Permohonan penangguhan pelaksanaan upah minimum disertai dengan:
1.              Naskah asli kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan serikat pekerja atau pekerja perusahaan yang bersangkutan.
2.              Laporan keuangan perusahaan yang terdiri dari neraca, perhitungan rugi
Ilaba beserta penjelasan-penjelasannya untuk dua Tahun terakhir,
3.              Salinan akte pendirian perusahaan.
4.              Data upah menurut jabatan pekerja.
5.              Jurnlah pekerja seluruhnya dan jumlah pekerja yang dimohonkan penangguhan pelaksanaan upah minimum, dan
6.              Perkembangan produksi dan pemasaran selama dua Tahun terakhir, serta rencana produksi dan pemasaran untuk dua Tahun yang akan datang.
7.              Untuk perusahaan yang berbadan hukum, laporan keuangan perusahaan harus sudah di audit oleh akuntan publik. Apabila di perlukan Gubernur dapat meminta akuntan publik untuk memeriksa keadaan keuangan guna pembuktian ketidakmampuan perusahaan.
Berdasarkan permohonan di maksud, Gubernur menetapkan untuk menolak atau menyetujui permohonan penangguhan pelaksanaan upah minimum setelah menerima saran dan pertimbangan dari Dewan Pengupahan Provinsi. Persetujuan penangguhan ditetapkan oleh Gubernur untuk jangka waktu paling lama 12 bulan. Penangguhan diberikan dengan:
1.              Membayar upah minimum sesuai upah minimum yang lama, atau
2.              Membayar upah minimum lebih tinggi dari upah minimum lama tetapi lebih rendah dari upah minimum baru, atau
3.              Menaikkan upah minimum secara bertahap.
Setelah berakhirnya izin penangguhan, pengusaha wajib melaksanakan ketentuan upahminimum yang baru.
Penolakan atau persetujuan atas permohonan penangguhan yang diajukan oleh pengusaha, diberikan dalam jangka waktu paling lama satu bulan terhitung sejak diterimanya permohonan penangguhan secara lengkap oleh Gubernur. Dalam hal jangka waktu berakhir dan belum ada keputusan dari Gubernur, permohonan penangguhan yang telah memenuhi persyaratan dimaksud, permohonan penangguhan dianggap telah disetujui. Selama permohonan penangguhan masih dalam proses penyelesaian, pengusaha yang bersangkutan tetap membayar upah sebesar upah yang biasa diterima pekerja. Apabila permohonan penangguhan ditolak Gubernur, upah yang diberikan pengusaha kepada pekerja sekurang-kurangnya sarna dengan upah minimum yang berlaku terhitung mulai tanggal berlakunya ketentuan upah minimum yang baru (Kepmenakertrans No. KEP-2311MEN12003)
3.             Upah Kerja Lembur
Yang dimaksud dengan upah lembur ialah upah yang diberikan oleh pengusaha sebagai imbalan kepada pekerja karena telah melakukan pekerjaan atas permintaan pengusaha yang melebihi dari jam dan hari kerjanya yang diperjanjikan atau pada hari istirahat minggu, atau pad a hari-hari besar yang telah ditetapkan pernerintah.
Waktu kerja yang ditentukan dalam UU No. 13 Tahun 2003 Pasal 77 ayat 2 adalah sebagai berikut:
a.             7 jam per hari dan 40 jam serninggu untuk perusahaan yang menerapkan hari kerja 6 hari kerja per rninggu; Atau
b.             8 jam kerja per hari dan 40 jam kerja serninggu untuk perusahaan yang menerapkan hari kerja 5 hari kerja perminggu.
Setiap pengusaba wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja tersebut, kecuali untuk jenis pekerjaan tertentu seperti pekerjaan di pengeboran minyak lepas pantai, sopir angkutan jarak jauh, pekerjaan dikapal, penebangan butan dan sejenisnya. Apabila pengusaha mempekerjakan pekerja/ buruh melebihi ketentuan waktu tersebut maka kelebihan waktu kerja tersebut disebut sebagai waktu kerja lembur.
Bagi pengusaha yang mempekerjakan pekerja/ buruh melebihi ketentuan waktu kerja harus memenuhi syarat:
a.      Ada persetujuan dari pekerja/ buruh bersangkutan; dan
b.      Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 jam per hari dan 14 jam dalam satu minggu. Melebihi ketentuan waktu kerja lembur yang telah ditetapkan tersebut merupakan tindak pidana pelanggaran dan pengusaha yang melanggarnya dapat diancam sanksi denda paling sedikit Rp5.000.000,00 dan paling banyak Rp50.000.000,00. (Pasal 98 UUKK).
Perhitungan upah kerja lembur menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja, komponen upah yang dijadikan dasar perhitungan upah kerja lembur adalah sebagai berikut:
a.             upah pokok;
b.             tunjangan jabatan;
c.              tunjangan kemahalan;
d.             nilai pemberian catu/upah berupa barang untuk keperluan hidup untuk pekerjalburuh itu sendiri.
Jumlah nilai komponen yang dipergunakan sebagai dasar perhitungan upah kerja lernbur tersebut tidak boleh kurang dari 75 % (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah keseluruhan upah yang dibayarkan di dalarn satuan waktu yang sarna.
Untuk melakukan kerja lembur harus ada perintah tertulis dari pengusaha, yang dapat dibuat dalarn bentuk daftar pekerja yang bersedia bekerja lembur yang di tanda tangani oleh pekerja yang bersangkutan dan pengusaha, dan persetujuan tertulis dari pekerja yang bersangkutan. Untuk itu, pengusaha membuat daftar pelaksanaan kerja lembur yang memuat nama pekerja yang bekerja lernbur dan larnanya waktu kerja lernbur.
Perusahaan yang rnempekerjakan pekerja selama waktu kerja lembur, berkewajiban untuk:
1.             Membayar upah kerja lembur
2.             Memberi kesernpatan untuk istirahat secukupnya, dan
3.             Memberikan makanan dan minuman sekurang-kurangnya 1.400 kalori apabila kerja lembur dilakukan selama tiga jam atau lebib, yang tidak boleh diganti dengan uang.
Perhitungan upah lembur adalah sebagai berikut:
1.             Upah Lembur Pada Hari Biasa
a.             Jam kerja lembur pertama dibayar 11/2 (satu setengah) kali upah sejam.
b.             Jam kerja berikutnya (kedua dan selanjutnya) dibayar 2 (dua) kali upah sejam
2.             Upah Lembur Pada Hari Istirahat Minggu dan Hari Raya Resmi.
a.             untuk 7 jam kerja lembur pertama atau 5 jam kerja lembur pertama jika hari libur resmi tersebut jatuh pada hari kerja terpendek pada salah satu hari dalam 6 hari kerja seminggu, upah kerja lembur harus dibayar 2 dua kali upah 1 jam;
b.             untuk 1 jam berikutnya setelah 7 jam pertama atau setelah 5 jam pertama apabila hari libur resmi tersebut jatuh pada hari terpendek pada salah satu hari libur dalam 6 hari kerja seminggu, upah kerja lembur harus dibayar 3 kali upah 1 jam;
c.             untuk jam kerja lembur kedua dan seterusnya setelah 7 jam pertama atau 5 jam pertama apabila hari libur resmi tersebut jatuh pada hari kerja terpendek pada salah satu hari dalam 6 hari kerja seminggu, upah kerja harus dibayar 4 kali upah 1 jam.
Perhitungan upah satu jam untuk perhitungan upah lembur adalah sebagai berikut:
a.              1/173 upah sebulan bagi pekerja/buruh bulanan;
b.              3/20 upah sehari bagi pekerja/ buruh harian;
c.              1/7 upah rata-rata hasil kerja sehari bagi pekerja/buruh borongan.
Bagi perusahaan yang menetapkan hari kerja 5 kerja seminggu 8 jam kerja sehari, maka kerja lembur adalah kerja yang dilakukan sesudah 8 jam kerja pertama dan penetapan upah sehari pada 8 jam kerja, wajib diadakan perjanjian dengan pihak pekerja/buruh. Pelanggaran terhadap ketentuan cara perhitungan upah kerja lembur ini (membayar upah kerja lembur lebih rendah dati ketentuan yang telah ditetapkan) merupakan tindak pi dana pelanggaran yang diancam pidana kurungan paling singkat 1 bulan dan paling lama 12 bulan dan/atau denda paling sedikit RplO.OOO.OOO,- dan paling banyak RplOO.OOO.OOO,-
Dalam hal terjadi perbedaan perhitungan tentang besarnya upah lembur, yang berwenang menetapkan besarnya upah lembur adalah pegawai pengawas ketenagakerjaan kabupaten/kota. Salah satu pihak yang tidak dapat menerima penetapan dimaksud, dapat meminta penetapan ulang kepada pegawai pengawas ketenagakerjaan di provinsi. Dalarn hal terjadi perbedaan perhitungan ten tang besarnya upah lembur pada perusahaan yang meliputi lebih dari satu kabupaten/kota dalam satu provinsi yang sarna, yang berwenang rnenetapkan besamya upah lernbur adalah pegawai pengawas ketenagakerjaan di provinsi. Apabila salah satu pihak tidak dapat menerima penetapan di tingkat provinsi, dapat rneminta penetapan ulang kepada pegawai pengawas ketenagakerjaan di Departernen Tenaga Kerja.
Apabila terjadi perbedaan perhitungan tentang besarnya upah lembur pada perusahaan yang meliputi lebih dari satu Provinsi, yang berwenang menetapkan besamya upah lembur adalah pegawai pengawas ketenagakerjaan pusat (Kepmenakertrans No. KEP.I02/MENNII2004).
Tabel Upah Kerja Lembur
Kerja Lembur
Waktu kerja 7 jam sehari dan 40 jam seminggu
Waktu kerja 8 jam sehari, 5 hari dan 40 jam seminggu
 Pada hari kerja biasa
Kerja lembur dimulai sesudah jam kerja ke 7 
 Kerja Lembur dumulai sesudah jam kerja ke 8
 Pada hari kerja terpendek
Kerja lembur dimulai sesudah jam kerja ke 5
-     7 Jam pertama tiap-tiap jam dibayar 2 X upah sejam
-      Jam pertama setelah 7 jam dibayar 3 X Upah sejam 
 Tidak ada hari kerja terpendek (kerja lembur tetap dimulai sesudah jam ke 8
-        8 jam petama tiap-tiap jam dibayar 2 X upah sejam
-        Jam pertama setelah 8 jam dibayar 3 X Upah sejam
Pada hari istirahat mingguan
-      Jam kedua dan seterusnya setelah 7 jam pertama tiap-tiap jam dibayar 4 X upah sejam
-         Jam kedua dan seterusnya setelah 8 jam pertama tiap-tiap jam dibayar 3 X upah sejam
Pada hari lubur resmi yang jatuh pada hari biasa
-      7 jam pertama tiap-tiap jam dibayar 2 X Upah sejam
-      Jam pertama setelah 7 jam dibayar 3 X upah sejam
-      Jam kedua dan seterusnya setelah 7 jam pertama tiap-tiap jam dibayar 4 X upah sejam
-       8 jam pertama tiap-tiap jam dibayar 2 X upah sejam
-       Jam pertama setelah 8 jam dibayar 3 X upah sejam
-       Jam kedua dan seterusnya setelah 7 jam pertama tiap-tiap jam dibayar 4 X upah sejam
Pada hari libur resmi yang jatuh pada hari kerja terpendek
-       5 Jam pertama tiap-tiap jam dibayar 2 X upah sejam
-       Jam pertama setelah 5 jam pertama dibayar 3 X upah se jam
-       Jam kedua dan seterusnya setelah 5 jam pertama tiap-tiap jam dibayar 4 X upah sejam
-       Tidak ada hari kerja terpendek
Bagi pekerja yang termasuk dalam golongan jabatan tertentu, tidak berhak at as upah kerja lembur, dengan ketentuan mendapat upah yang lebih tinggi. Yang termasuk dalam golongan jabatan tertentu adalah mereka yang memiliki tanggung jawab sebagai pemikir, perencana, pelaksana dan pengendali jalannya perusahaan, yang waktu kerjanya tidak dapat dibatasi menurut waktu kerja yang ditetapkan perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4.             Upah Tidak Masuk Kerja Karena Berhalangan
Hal-hal yang mengharuskan pengusaba tetap membayar upah pada pekerja, meskipun pekerja berhalangan hadir atau tidak masuk kerja, harus ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersamalkesepakatan kerja bersama. Sesuai ketentuan yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 Pasal 93, pekerja tetap mendapatkan upah meskipun berhalangan atau tidak bekerja, apabila berada dalam kondisi:
a.              Pekerja/buruh sakit bukan sebagai akibat kecelakaan kerja sehingga tidak dapat bekerja, di mana sakit tersebut harus dibuktikan dengan surat
keterangan dokter. Upah yang harus dibayar pengusaha kepada pekerjaJ buruh yang sakit adalah:
1)             Untuk 4 bulan pertama, dibayar 100% dari upah;
2)             Untuk 4 bulan kedua dibayar 75% dari upah;
3)             Untuk 4 bulan ketiga dibayar 50% dari upah;
4)            Untuk bulan berikutnya hingga saat dilakukan pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha, dibayar 25% dari upah.
b.             Pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan .
c.             PekerjaJburuh tidak masuk kerja karen a menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, istrinya melahirkan atau keguguran, atau ada keluarga dalam satu rumah ada yang meninggal dunia.
Apabila pekerjaJburuh:
1)             menikah dibayar selarna 3 hari;
2)             menikahkan anaknya dibayar selama 2 hari;
3)            mengkhitankan anaknya dibayar selama 2hari;
4)             membaptiskan anaknya dibayar selama 2hari;
5)             istri melahirkan atau keguguran kandungan dibayar selama 2 hari;
6)             suamilistri, orang tuaJmertua, atau anak atau menantu meninggal duma dibayar selama 2hari;
7)             anggota keluarga dalam satu rumah meninggal duma dibayar selama Ihari.

d.            Pekerja/buruh yang tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan kewajiban negara tetapi tidak melebihi 1 Tahun, upahnya tetap harus dibayar pengusaha. Apabila dalam menjalankan kewajiban negara ini pekerja/buruh memperoleh penghasilan yang lebih besar atau sarna dengan upah yang biasa diterirna, maka pengusaha tidak diwajibkan membayar upah. Bila penghasilan yang diterima pekerjaJ buruh dalam menjalankan kewajiban negara tersebut lebih kecil dari upah yang biasa diterima maka pengusaha wajib membayar kekurangannya.
e.             Pengusaha wajib membayar upah pekerjaJ buruh yang tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang melakukan kewajiban ibadah agamanya untuk yang pertama kali selama tidak lebih dari 3 bulan. Apabila lebih dari 3 (tiga) bulan terhadap kelebihan waktu tersebut
pengusaha tidak berkewajiban membayar upah., demikian pula apabila ibadah tersebut dijalankan untuk yang lebih dari 1 (satu) kali.
f.              Pengusaha tetap wajib membayar upah pekerja/buruh yang bersedia melakukan pekerjaan yang diperjanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha. Halangan yang dialami pengusaha ini bukan karena (tidak termasuk) keadaan memaksa (jorce majeure) seperti hancur dan musnahnya perusahaan beserta peralatan karen a bencana alam, kebakaran atau peperangan. Apabila halangan tersebut berupa kebakaran pada bagian tertentu saja dan perusahaan masih bisa berfungsi maka bila pekerja/buruh diperintah untuk tidak masuk kerja, pengusaha tetap wajib membayar upah.
g.             Pengusaha tetap wajib membayar upah pekerja/buruh yang tidak melakukan pekerjaan karena pekerja/buruh:
1)           melaksanakan hak istirahat rningguan atau cuti;
2)            melaksanakan tugas Serikat Pekerja/Serikat Buruh atas persetujuan pengusaha;
3)            melaksankan tugas pendidikan atau latihan dari perusahaan.
5.             Upah Karena Melakukan Kegiatan Lain Diluar Pekerjaannya.
Pekerja tetap berhak atas upah penuh apabila tidak dapat melakukan pekerjaannya karen a menjalankan :
a.             kewajiban terhadap Negara,
b.             ibadah yang diperintahkan agamanya,
c.             tugas serikat pekerja atas persetujuan pengusaha, dan
d.            tugas pendidikan dari perusahaan (Pasal 93 ayat (1) UUKK).
e.             Menjalankan Kewajiban terhadap Negara
Terhadap pekerja yang tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap Negara, yang telah diatur dengan peraturan perundang-undangan, selama tidak melebihi waktu satu Tahun, seperti menjalani wajib militer, atau menjadi panitia pemilu, upahnya wajib tetap diberikan. Pembayaran upah kepada pekerja yang menjalankan kewajiban terhdap Negara dilaksanakan dengan cara sebagai berikut: a) apabila pemerintah tidak membayar upah, pengusaha membayar penuh, atau b) apabila pemerintah membayar tetapi kurang dari upahnya, pengusaha membayar kekurangannya, atau c) apabila

pemerintah membayar penuh, pengusaha tidak usah membayar (Pasal 93 ayat (2) butir d UUKK).
b.             Menjalankan lbadah Agama
Pekerja yang tidak dapat melakukan pekerjaannya karen a menjalankan ibadah yang di perintahkan agamanya, yang telah diatur dengan peraturan perundang-undangan dan telah mendapat izin pengusaha, berhak atas upah penuh. Upah tersebut dibayar dengan ketentuan bahwa waktunya tidak melebihi tiga bulan dan di dalam satu hubungan kerja hanya berlaku satu kali (Pasal93 ayat (2) butir e UUKK).
c.             Menjalankan Tugas Serikat Pekerja
Salah satu tugas pengurus serikat pekerja yang sah adalah berkewajiban untuk melindungi, membela anggotanya, dan memperjuangkan peningkatan kesejahteraan anggota beserta keluarganya. Untuk itu pengusaha wajib memberi kesempatan kepada pengurus organisasi pekerja untuk menjalankan organisasi yang disepakati dalam PKB. Namun tidak semua kegiatan pengurus dalam menjalankan roda organisasi, upahnya harus dibayar. Melalui kesepakatan, diatur mengenai jenis kegiatan, tata cara pemberian izin dan kegiatan apa saja yang mendapat upah dan yang tidak mendapat upah (Pasa1 93ayat (2) butir h dan Pasal 29 UU No. 21 Tahun 2000).
d.             Menjalani Pendidikan
Undang-undang mewajibkan pengusaha untuk membayar upah pekerja selama mengikuti pendidikan dan latihan yang diselenggarakan atau atas perintah pengusaha, tentunya dengan maksud untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan pekerja guna meningkatkan produktifitas kerjanya. Tidak ada pembatasan waktu lamanya pendidikan dan latihan yang upahnya dibayar, demikian pula tidak diatur tata cara maupun persyaratannya. Dengan demikian, para pihak diberi keleluasaan untuk mengatumya lebih lanjut dala perjanjian kerja, PP atau PKB (Pasal 93 ayat (2) butir I UUKK).
6.             Upah Menjalani Istirahat Kerja
Selama menjalani hak istirahat, pekerja berhak atas upah penuh. Hak-hak istirahat yang tetap harus mendapatkan upah penuh meliputi:

a.             istirahat mingguan,
b.             libur resmi,
c.             istirahat Tahunan,
d.            istirahat panjang apabila telah diperjanjikan (Pasal 93 ayat (1) UUKK).
e.              Upah Pada Istirahat Mingguan
Pada awalnya tidak semua pekerja memperoleh upah pada saat hari istirahat mingguan, tetapi sekarang setiap pekerja yang mempunyai hubungan kerja tetap, upahnya telah dibayar bulanan, dengan demikian pada hari istirahat mingguannya pekerja telah memperoleh upah penuh.
b.              Upah Pada Hari Libur Resmi
Dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 telah diatur bahwa, pekerja tidak wajib bekerja pada hari libur resmi, dengan kata lain pekerja berhak istirahat pada hari libur resmi yang ditetapkan oleh pemerintah dengan upah penuh. Saat ini libur resmi dalam seTahun ditetapkan 14 hari (Pasal 85 ayat 1 dan Pasal 93 ayat (2) butir g UUKK). Hari-hari yang dinyatakan sebagian Hari Libur Nasional hari raya) adalah sebagai berikut :

1
Tahun Baru Januari
- satu hari
2
Proklamasi Kemerdekaan R.I.
- satu hari
3
Ism' dan Mi'raj Nabi Muhamad S.A.W
- satu hari
4
Mauled Nabi Muhamad S.A.W
- satu hari
5
Tahun Baru Hijriyah
- satu hari
6
Idul Adha
- satu hari
7
Idul Fitri
- dua hari
8
Hari Raya Natal
- satu hari
9
Kenaikan Yesus Kristus
- satu hari
10
Wafat Yesus Kristus
- satu hari
11
Hari Raya Nyepi
- satu hari
12
Hari Raya Waisak
- satu hari
13
Tahun Baru Irnlek
- satu hari
Dalam pelaksanaannya, mengingat adanya sifat pekerjaan tertentu di perusahaan, hari-hari ray a itu dapat di geser pelaksanaannya. Apabila dilakukan penggeseran pelaksanaannya, perbedaan upah yang dibayar adalah pada hari penggeseran hari raya itu. Apabila pada hari
penggeseran itu pekerja di pekerjakan, disamping mendapat upah pada hari raya, juga mendapat pembayaran upah lembur untuk bekerja pada hari raya. Sedangkan apabila ada pekerja yang di pekerjakan pada hari­hari pelaksanaan cuti bersama, pada hari itu di anggap pekerja bekerja seperti pada hari bias a dan apabila bekerja lembur, upah lemburnya juga sama dengan upah lembur pada hari kerja biasa (SE Menekertrans No. 1173. UM. 02. 23.2002 dan SE Dirjen Binawas No. SE. 02IDPHII02).
c.               Upah Pada Hari Istirahat Tahunan
Dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, khusus untuk istirahat Tahunan at au cuti Tahunan, ditetapkan selama sekurang-kurangnya 12 hari kerja setelah pekerja yang bersangkutan bekerja selama 12 bulan terus menerus. Sejak beberapa Tahun terakhir ini, ban yak dilaksanakan istirahat Tahunan secara bersama terhadap semua pekerja (cuti massal), yang dilaksanakan dengan cara perusahaan menghentikan produksinya untuk sementara. Dengan demikian pekerja berkesempatan untuk mudik lebaran ke kampung halamannya (Pasal 79 ayat (2) butir c UUKK). Sejak Tahun 2002, cuti massal di formalkan oleh pemerintah, dengan mengatur libur hari raya dan cuti massal, melalui SKB tiga Menteri, yaitu Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Menteri Pembinaan Aparatur Negara.
d.              Upah Pada Hari Istirahat Panjang
Dalam UUKK, ketentuan mengenai istirahat panjang juga diatur. Bagi pekerja yang telah bekerja sekurang-kurangnya enam Tahun dan berlaku bagi setiap kelipatan enam Tahun, berhak at as istirahat panjang sekurang-kurangnya dua bulan. Pelaksanaannya dilakukan, pada Tahun ke tujuh selama satu bulan dan Tahun ke delapan selama satu bulan. Selama menjalani istirahat panjang Tahun ke delapan, pekerja diberi kompensasi hak istirahat Tahunan Tahun ke delapan, sebesar setengah bulan upah. Pelaksanaan cuti panjang baru berlaku apabila sebelumnya telah diatur dalam perjanjian kerja, PP atau PKB (Pasal 79 ayat (2) sid (5) UUKKjo. Kepmenakertrans No. 511MENIIV/2004).
7.              Upah Untuk Pembayaran Pesangon
Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang tertunda, terdiri atas upah pokok dan segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada pekerja dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan kepada pekerja secara cuma-cuma, yang apabila catu harus dibayar pekerja dengan subsidi, sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja.
Apabila penghasilan pekerja dibayarkan atas dasar perhitungan harian, penghasilan sebulan adalah sarna dengan 30 kali penghasilan sehari. Dalam hal upah pekerja dibayar berdasarkan perhitungan satuan hasil, potonganlborongan atau kornisi, penghasilan sehari adalah sarna dengan pendapatan rata-rata perhari selama 12 bulan terakhir, dengan ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan upah minimum provinsi atau kabupaten Ikota. Apabila pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca dan upahnya didasarkan pada upah borongan, perhitungan upah sebulan dihitung dari upah rata-rata 12 bulan terakhir (Pasal 157 UUKK).

Perhitungan untuk pembayaran uang pesangon paling sedikit sebagai berikut:
a.        Masa kerja kurang dari satu Tahun, satu bulan upah;
b.        Masa kerja satu Tahun atau lebih tetapi kurang dari dua Tahun, dua bulan upah;
c.         Masa kerja dua Tahun atau lebih tetapi kurang dari tiga Tahun, tiga bulan upah;
d.        Masa kerja tiga Tahun atau lebih tetapi kurang dari empat Tahun, empat bulan upah;
e.         Masa kerja empat Tahun atau lebih tetapi kurang dari lima Tahun, Lima bulan upah;
f.          Masa kerja lima Tahun atau lebih tetapi kurang dari enam Tahun, enam bulan upah;
g.        Masa kerja enam Tahun at au lebih tetapi kurang dari tujuh Tahun, tujuh bulan upah;
h.        Masa kerja tujuh Tahun atau lebih tetapi kurang dari delapan Tahun, delapan bulan upah;
i.          Masa kerja delapan Tahun atau lebih, sembilan bulan upah.

Untuk perhitungan uang penghargaan masa kerja ditetapkan sebagai berikut:
a.        Masa kerja tiga Tahun atau lebih tetapi kurang dari en am Tahun, dua bulan upah;
b.        Masa kerja enam Tahun atau lebih tetapi kurang dari sembilan Tahun, tiga bulan upah;
c.         Masa kerja sembi Ian Tahun atau lebih tetapi kurang dari duabelas Tahun, empat bulan upah;
d.        Masa kerja duabelas Tahun atau lebih tetapi kurang dari lima belas Tahun, lima bulan upah;
e.         Masa kerja lima belas Tahun atau lebih tetapi kurang dari delapan belas Tahun, enam bulan upah;
f.          Masa kerja delapan belas Tahun atau lebih tetapi kurang dari duapuluh satu Tahun, tujuh bulan upah;
g.        Masa kerja duapuluh satu Tahun atau lebih tetapi kurang dari duapuluh empat Tahun, delapan bulan upah;
h.        Masa kerja duapuluh empat Tahun atau lebih sepuluh bulan upah.
Sedangkan uang penggantian hak yang belum dibayarkan meliputi :
a.             cuti Tahunan yang belum diambil dan belum gugur,
b.             biaya atau ongkos pulang untuk pekerja dan ke1uarganya ketempat dimana pekerja diterirna bekerja,
c.              penggantian peru mahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15 % dari uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja bagi yang rnemenuhi syarat, dan
d.             hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, PP atau perjanjian kerja bersarna (Pasal156 UUKK).
8.              Upah Untuk Penghitungan Pajak Penghasilan
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.47 Tahun 2003 tentang Pajak Penghasilan yang Ditanggung Pemerintah atas Penghasilan Pekerja dari Pekerjaan, dinyatakan bahwa bagi pekerja/buruh yang menerima upah sampai sebesar Rp 2.000.000,- sebulan, Pajak Penghasilan terutang yang akan ditanggung pemerintah adalah hingga upah sebesar Rp 1.000.000,-. PPh yang terutang atas penghasilan yang diterima pekerja/buruh dihitung dari penghasilan netto untuk pekerja/buruh tetap yaitu dengan memperhitungkan pengurangan biaya jabatan, iuran pensiun dan Penghasilan Tidak Kena Pajak

(PTKP) dan dari penghasilan brutto untuk pekerjalburuh tidak tetap. Pengaturan lebih lanjut tentang tata cara penghitungan pajak penghasilan yang ditanggung pemerintah tersebut ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan RI. No 486/KMK.03/2003 tanggal 30 Oktober 2003. dengan telah dikeluarkannya kedua peraturan perundang-undangan tersebut pekerja/buruh yang penghasilannya tidak lebih dari Rp 1.000.000,- tidak wajib membayar pajak penghasilan karena telah ditanggung pemerintah.
C. BENTUK DAN CARA PEMBA Y ARAN UPAH
UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 mengamanatkan kepada pemerintah untuk menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja, satu diantaranya adalah tugas untuk menyusun kebijakan untuk mengatur bentuk dan cara pembayaran upah. Ketentuan yang berlaku sekarang ini mengenai pengupahan adalah PP No.8 Tahun 1981, yang antara lain juga mengatur mengenai bentuk upah dan cara pembayaran upah. Pada dasarnya upah harus diberikan dalam bentuk uang yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia. Jika upah ditetapkan dalam mata uang asing, pembayaran akan dilakukan berdasarkan kurs resmi dari Bank Indonesia pada saat pembayaran upah. Upah yang diberikan dalam bentuk lain dapat berbentuk apa saja kecuali minuman keras, obat-obatan atau bahan obat-obatan, dengan ketentuan nilainya tidak boleh melebihi 25% dari nilai upah yang seharusnya diterima. Di samping itu pemberian upah dapat pula berupa fasilitas, yaitu berupa kenikrnatan dalam bentuk nyata/natura yang diberikan perusahaan kepada pekerja atau karen a hal-hal khusus, atau untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja, seperti fasilitas kendaraan antar jemput pekerja, makan secara cuma-cuma.
Upah dapat pula di kelompokkan berdasarkan komponen, yang terdiri dari upah pokok, tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap. Upah pokok merupakan imbalan dasar yang dibayarkan kepada pekerja menurut tingkat atau jenis pekerjaan yang besarnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan. Tunjangan tetap adalah suatu imbalan yang diterima oleh pekerja secara tetap jumlahnya dan teratur pembayarannya, tidak dikaitkan dengan kehadiran maupun prestasi. Pembayarannya dilakukan secara tetap untuk pekerja dan atau keluarganya yang dapat berupa tunjangan isteri, tunjangan anak, tunjangan perumahan, dan tunjangan transport, apabila pemberian tunjangan
tersebut tidak dikaitkan dengan kehadiran dan diterirna secara tetap oleh pekerja rnenurut satuan waktu, harian atau bulanan.
Sedangkan tunjangan tidak tetap, adalah imbalan yang diterima oleh pekerja berdasarkan kehadiran, dapat berupa uang atau fasilitas, merupakan suatu pernbayaran yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan prestasi atau kehadiran pekerja, yang diberikan secara tidak tetap, baik untuk pekerja dan atau keluarganya serta dibayarkan menurut satuan waktu yang tidak sarna dengan waktu pernbayaran upah pokok, seperti rnisalnya tunjangan transport yang didasarkan pada kehadiran. Tunjangan rnakan, dapat rnasuk ke dalarn tunjangan tidak tetap apabila tunjangan tersebut diberikan atas dasar kehadiran.
Pembayaran upah dapat pula dibedakan rnenurut obyek penerima, ada upah yang langsung diberikan kepada pekerja pada waktu yang telah ditentukan sesuai dengan perjanjian, khusus untuk pernbayaran upah secara langsung, kepada pekerja yang belum dewasa dianggap sah apabila orang tua I wali pekerja tidak mengajukan keberatan secara tertulis. Upah tidak langsung adalah upah yang dibayarkan rnelalui pihak ketiga, untuk ini harus dilengkapi dengan surat kuasa yang hanya berlaku satu kali untuk setiap pembayaran upah.
Berkaitan dengan pengupahan ini, setiap perusahaan diwajibkan membuat buku upah sebagaimana diatur dalam peraturan menaker nomor Per-06IMEN/1990, yaitu buku yang memuat catatan penerimaan upah, didalamnya memuat ten tang komponen upah, potongan upah, tanggal pembayaran dan di tanda tangani oleh pekerja. Buku upah ini sangat penting, karena dari buku ini dapar di ketahui besarnya tunjangan jika terjadi kecelakaan kerja, besamya upah lembur, besarnya upah jika pekerja sakit atau cuti, rnaupun besarnya pesangon jika terjadi PHK dan sebagaibukti bahwa pengusaha telah membayar upah pekerja dengan baik dan benar.
Dalam hal kornponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap, besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75% dari jurnlah upah pokok dan tunjangan tetap. Bila temp at pembayaran upah tidak ditentukan dalam perjanjian atau PP, pembayaran upah dilakukan di ternpat pekerja biasanya bekerja atau di kantor perusahaan, dengan ketentuan pada prinsipnya upah yang menjadi hak pekerja harus dibayarkan seluruhnya. Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, upah dan hak-hak lainnya dari pekerja merupakan utang yang didahulukan pembayarannya. Yang dimaksud
didahulukan pembayarannya adalah upah pekerja harus dibayar lebih dahulu daripada utang lainnya. Sedangkan tuntutan pernbayaran upah pekerja dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kadaluarsa setelah melampaui jangka waktu dua Tahun sejak timbulnya hak (Pasal 96 UUKK).
D. PROSEDUR PEMBA YARAN UPAH
Upah pada dasarnya harus dibayarkan dengan alat pembayararan yang sah yaitu dalam mata uang rupiah. Apabila upah ditetapkan dalam mata uang asing maka pembayarannya harus dilakukan berdasarkan kurs resmi yang ditetapkan Bank Indonesia pada hari dan tempat pembayaran upah tersebut.. Pembayaran upah dalam bentuk lain masih diperbolehkan, sepanjang tidak melebihi 25% dari nilai upah yang seharusnya diterima dan bukan dalam bentuk minuman keras, obat-obatan dan bahan obat-obatan. Upah merupakan hak utama pekerja, karena itu setiap ketentuan yang menetapkan sebagian atau seluruh upah harus digunakan secara tertentu atau harus dibelikan barang tertentu oleh pihak pengusaha adalah dilarang dan karenanya batal menurut hukum. Penggunaan upah yang boleh diatur sepanjang timbul dari suatu peraturan perundang-undangan, seperti pemotongan upah untuk pembayaran pajak penghasilan (PPh) dan pembayaran iuran jaminan hart tua (JHT) pada perusahaan yang mengikutkan pekerja/buruh pad a program Jamsostek.
Pembayaran upah harus dibayarkan secant langsung kepada pekerja/ buruh sesuai waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian. Sedangkan pembayaran upah kepada pekerja/buruh anak bisa dibayarkan secara langsung sepanjang tidak ada keberatan tertulis dari orang tua atau wali. Pembayaran upah yang dilakukan melalui pihak ketiga, hanya dapat dilakukan apabila ada surat kuasa dari pekerja/ buruh bersangkutan yang menyatakan sesuatu hal sehingga tidak dapat mnerima upah secara langsung. Bila upah terlambat dibayarkan, maka mulai hari keempat sampai kedelapan sejak keterlambatan tersebut upah harus ditambah 5% dari total upah untuk satu hari keterlambatan. Setelah hari kedelapan upah masih belum dibayar maka tambahan tersebut menjadi 1 % dari upah untuk tiap hari keterlambatan dengan ketentuan tambahan tersebut tidak boleh melebihi 50% dari upah yang seharusnya dibayar.

E. HAK-HAK PENGUSAHA DALAM PEMBA YARAN UPAH
Berdasarkan Peraturan Pernerintah Nornor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah pada Pasal 11 menyatakan bahwa pada tiap-tiap pernbayaran, seluruh jumlab upab harus dibayarkan. Akan tetapi dalarn kondisi tertentu pengusaha merniliki hak untuk rnelakukan pemotongan atau pembayaran upah tidak penuh, jika terdapat hal-hal berikut:
1.              Denda
Denda atas pelanggaran yang dilakukan pekerja/buruh hanya dapat dilakukan jika telah diatur dalarn perjanjian tertulis atau peraturan perusahaan atau dalam kesepakatan kerja bersama. Pelanggaran yang dapat dikenai sanksi denda adalah pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban pekerjaJburub yang telah ditetapkan dalam perjanjian tertulis antara pengusaha dan pekerjalburuh. Besarnya denda untuk setiap pelanggaran harus ditentukan dan dinyatakan dalam mata uang RI (rupiah). Penggunaan uang denda harus ditetapkan secara tertulis dalarn surat perjanjian atau peraturan perusahaan. Apabila terhadap suatu pelanggaran sudah dikenakan denda maka pengusaha dilarang menuntut ganti rugi atas pelanggaran yang sarna. Denda yang dikenakan oleh pengusaha kepada pekerjaJburuh baik langsung maupun tidak langsung tidak boleh dipergunakan untuk kepentingan pengusaha atau orang yang diberi wewenang untuk rnenjatuhkan denda tersebut. Denda ini juga tidak boleh dipergunakan untuk kepentingan perusahaan atau untuk kepentingan operasional perusahaan. Uang denda hanya dapat dipergunakan untuk kesejahteraan pekerjalburuh rnisalnya untuk tarnbahan biaya operasional Serikat PekerjaJSerikat Buruh dim ana pekerjaJ buruh tersebut menjadi anggota.
2.              Pemotongan Upah Untuk Pihak Ketiga
Pengusaha atau perusahaan dapat melakukan pemotongan upah untuk pihak ketiga, sepanjang ada surat kuasa dari pekerjalburuh. Surat kuasa pemotongan upab yang dirnaksud, setiap saat dapat ditarik oleb pekerjalburuh. Setiap ketentuan pernotongan upah yang bertentangan dengan hal tersebut adalah batal menurut hukum.

3.             Ganti rugi
Pengusaha dapat merninta ganti rugi kepada pekerja/buruh dengan cara rnernotong upahnya bila terjadi kerusakan barang atau kerugian lainnya baik milik pengusaha atau pihak ketiga sebagai akibat kesengajaan atau kelalaian pekerja/buruh Ketentuan ganti rugi yang dimaksud harus terlebih dahulu diatur dalam suatu perjanjian tertulis atau peraturan perusahaan. Besarnya ganti rugi yang dikenakan setiap bulannya tidak boleh melebihi 50% dari upah yang diterima pekerja/buruh.

4.             Lain-Lain
Apabila pekerja memiliki pinjaman/hutang pada perusahaan, maka pihak perusahaan dapat melakukan pernotongan dengan disertai bukti-bukti tertulis. Seluruh denda atau potongan upah yang dilakukan pengusaha tidak boleh lebih dari 50% dari setiap pembayaran upah yang seharusnya diterima pekerja/buruh. Setiap syarat yang rnemberikan wewenang kepada pengusaha untuk rnengadakan perhitungan (denda danl atau potongan) yang lebih besar dari 50% dari upah adalah batal rnenurut hukurn. Apabila karena satu dan lain hal terjadi pemutusan hubungan kerja seluruh hutang-piutang pekerjalburuh dapat diperhitungkan dengan upah dan pesangon yang menjadi haknya.
F. CONTOH KASUS
Berikut ini contoh kasus atau masalah yang muncul di perusahaan seputar menyangkut masalah jam kerja dan pengupahan.
1.             Pertanyaan:
Bagaimana cara menentukan upah lembur? Apakah perhitungan lembur berdasarkan upah (gaji pokok ditambah tunjangan tetap)? Bagaimana dengan perhitungan absen, apakah pemotongannya berdasarkan upah (gaji pokok ditambah tunjangan tetap) atau berdasarkan gaji pokok saja?
2.             Jawaban/ulasan :
Berdasarkan surat edaran dari Menteri Tenaga Kerja No. SE­lllMlBW/1990 dinyatakan bahwa dasar perhitungan upah minimum yang telah ditetapkan bagi masing-rnasing daerah atau sektoral, kecuali bagi perusahaan yang telah memberikan lebih dari upah minimum. Sehingga

dengan demikian perhitungan absen bukan berdasarkan upah yang merupakan gaji pokok ditambah tunjangan tetap.
Yang dimaksud dengan "tidak masuk kerja" pad a SE-IIlMfBW/1990 adalah pengertian tidak masuk kerja sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (1) butir b Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1981, yaitu tidak masuk kerja karen a alasan-alasan sebagai berikut;
a.             Buruh sendiri kawin, dibayar untuk selama 1 (satu) hari;
b.             Menyunatkan anaknya, dibayar untuk selama 1 (satu) hari;
c.              Membaptiskan anak, dibayar untuk selama 1 (satu) hari;
d.             Mengawinkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
e.              Anggota keluarga meninggal dunia, yaitu suamilistri, orang tualmertua atau anak, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
f.               Istri melahirkan anak, dibayar untuk selarna 1 (satu) hari.
Perlu diketahui, bahwa atas ketentuan sebagaimana dimaksud di atas, telah terdapat perubahannya dengan berdasarkan pada Pasal 93 ayat (4) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu;
a.             Pekerjalburuh menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga) hari;
b.             Menikahkan anaknya, dibayar untuk selarna 2 (dua) hari;
c.              Mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
d.             Membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) han;
e.              Istri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
f.               Suami/istri, orang tualmertua atau anak atau menantu meninggal dunia, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
g.             Anggota keluarga dalam satu rumah rneninggal dunia, dibayar untuk selama 1 (satu) hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar