MODUL
3
SUMBER HUKUM
Hukum berfungsi untuk melindungi kepentingan-kepentingan
manusia dalam hidup bermasyarakat, dengan tujuan menciptakan kehidupan
masyarakat yang damai dan sejahtera.
Dalam modul 3 akan dijelaskan terkait :
1.
Pengertian sumber hukum;
2.
Sumber hukum material dan formil;
3.
Bentuk-bentuk sumber hukum formal;
4.
Undang-undang dalam arti material dan dalam arti formal;
5.
Tata urutan peraturan perundang-undangan;
6.
Makna dan fungsi pengundangan;
7.
Saat mulai berlakunya dan berakhirnya peraturan
perundang-undangan;
8.
Asas-asas peraturan perundang-undangan;
9.
Kebiasaan sebagai sumber hukum formal;
10.
Treaty sebagai sumber hukum formal;
11.
Yurisprudensi sebagai sumber hukum formal;
12.
Dokrin sebagai sumber hukum formal;
13. Perjanjian
sebagai sumber hukum formal.
KEGIATAN BELAJAR 1
Pengertian Sumber Hukum,
2(arti) Arti
Sumber Hukum dan Undang-Undang
Sebagai Bentuk Sumber Hukum
Formal
A.
PENGERTIAN SUMBER HUKUM
Pada
hakikatnya sumber hukum sebagai tempat kita dapat menemukan atau menggali
hukum, dikatakan sebagai tempat menemukan hukum, karena yang menjadi sumber
hukum adalah merupakan suatu ketentuan yang mempunyai kekuatan mengikat dalam
arti kongkrit atau mengikat umum. Sedangkan dikatakan sebagai tempat menggali
hukum, karena yang menjadi sumber hukum belum tentu merupakan suatu ketentuan
yang mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sumber
hukum diartikan juga sebagai sumber pengenal (kenbron) dan sumber asal
(welbron). Sumber pengenal adalah bahan-bahan yang dapat dipergunakan untuk
menemukan hukum atau merupakan tempat dimana suatu peraturan perundang-undangan
diundangkan. Contoh UU No. 10 Tahun 2004 tentang “Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan”, sebagai sumber Pengenalnya adalah Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53 (sebagai tempat pengundangan UU No. 10
Tahun 2004).
Senada
dengan pendapat L.J. van Apeldoorn adalah G.W. paton, yang menyatakan bahwa
istilah sumber-sumber hukum (the sources of law) mempunyai
banyak arti dan seringkali menyebabkan kesalahan, kecuali jika kita menyelidiki
dengan hati-hati arti khusus yang diberikan dalam suatu pelajaran khusus. Dalam
uraian selnjutnya G.W paton mengemukan pendapat salmond yang membagi sumber
hukum menjadi dua, yaitu (Paton, 1953 : 140):
1.
Sumber Hukum Material, adalah sumber diperolehnya bahan atau materi hukum, dan
bukan berkaitan dengan kekuatan berlakunya. Contoh adalah adat kebiasaan,
ketentuan yang oleh hakin dijadikan hukum dan berasal dari kehidupan
masyarakat.
2.
Sumber hukum formal, adalah sebagai
sumber dari sumber mana suatu peraturan hukum mempunyai kekuatan dan sah
berlakunya.
B. SUMBER
HUKUM MATERIAL DAN FORMAL
Sumber
Hukum Material dapat diliat dari 4 sudut pandang, alasan pembagian 4 sudut
pandang adalah karena sumber hukum dalam arti sosiologi dipisahkan menjadi dua,
yaitu : dalam arti ekonomis dan dalam arti sosiologis, sehingga pembagiannya
menjadi : dari sudut sejarah atau
sudut pandang seorang ahli sejarah; dari sudut
sosiologi/ sudut pandang seorang sosiologi; dari sudut ekonomi/ sudut pandang seorang ekonom; dan dari sudut Filsafat/ sudut pandang seorang
filosof.
Sumber
Hukum dalam arti sejarah, dibedakan menjadi dua, yaitu :
1.
Sebagai
sumber pengenal hukum atau sumber imformasi, yaitu segala sesuatu yang dapat memberi imformasi
tentang hukum dari suatu bangsa atau negara; seperti : daun-daun lonta,
batu-batu bertulis, tulisan-tulisan, dokumen-dokumen dsbnya. kita dapat
mengenal hukum dari suatu bangsa tertentu pada suatu waktu tertentu, dengan
mempelajari undang-undang, keputusan-keputusan hakim, piagam-piagam yang memuat
perbuatan hukum, termasuk juga tulisan-tulisan dari orang-orang yang bukan ahli
hukum apabila tulisan tersebut memuat imformasi tentang lembaga-lembaga hukum.
2.
Sebagai
sumber bahan, yaitu berupa
sumber bagi pembentuk undang-undang mengambil bahannya, contoh KUH Perdata Indonesia, ini sumbernya
dari BW
Nederland, selanjutnya BW Nederland sebagai sumber langsung adalah Code Civil Perancis dan sumber tidak
langsung adalah Hukum Germania, Rumawi, dan Kanonik.
Sumber Hukum dalam arti
Sosiologi, yaitu sumber
hukum yang dihubungkan dengan masyarakat. Sehingga sumber hukum ini dicari
dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, yaitu faktor-faktor yang menentukan isi hukum, termasuk disini
faktor-faktor dalam kebiasaan-kebiasaan, agama, moral, kependudukan,dan
sebagainya.
Sumber Hukum dalam Arti
Ekonomis, adalah sumber hukum yang dihunumhkan dengan
kebutuhan-kebutuhan ekonomi yang menjadi tuntutan dari setiap anggota
masyarakat terutama yang berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan vital.
Sumber Hukum dalam arti
Filosofis, dibedakan
menjadi sumber isi hukum dan sumber dari
kekuatan mengikat dari hukum, ada beberapa teori :
a.
Teori
teokrasi, yang mengatakan
bahwa isi Hukum berasal dari Tuhan.
b.
Teori
Hukum Kodrat yang rasionalistis, yang menyatakan bahwa isi hukum
bersumber dari Rasio atau Akal manusia.
c.
Teri
Historis, yang menyatakan
bahwa isi hukum bersumber dari pada kesadaran
hukum dari suatu bangsa.
Sumber
Hukum Formal
Menurut Achmad Sanusi, sumber Hukum dalam arti Formal
adalah sumber-sumber hukum yang telah dirumuskan peraturannya dalam suatu
bentuk, berdasarkan apa ia berlaku, ia ditaati orang dan mengikat hakim, serta
para pejabat hukum, sumber-sumber hukum dalam arti formal disebut juga
sumber-sumber berlakunya hukum karena ia adalah sebagai causa efficiens
(sanusi, 1977 : 31).
C. BENTUK-BENTUK
SUMBER HUKUM FORMAL
L.J
van Apeldoorn membagi
sumber hukum formal menjadi :
1.
Undang-undang;
2.
Kebiasaan;
3.
traktat.
Ketiga
bentuk tersebut sebagai sumber hukum formal, karena hanya dalam bentuk-bentuk
tersebut terjadi peraturan mengikat secara umum.
Dari uraian tersebut diatas dapat diketahui, bahwa L.Jn
Apeldorn manganggap yang menjadi sumber kekuatan mengikat undang-undang,
kebiasaan dan traktat adalah kedasaran hukum masyarakat.
-
G.W. Paton
membagi sumber hukum formal (the formal sources of law) menjadi :
1. Kebiasaan/
custom;
2. Metode
judisiil atau segala sesuatu yang berhubungan dengan pengadilan/ the judical
methode;
3. Undang-undang
dan kitab Hukum/ Status and codes;
4.
Karangan-karangan Ahli Hukum dan Pendapat Ahli/ juristic
writing and profesional opinion. Paton,
1953 : 142-203.
-
E.Utrecht
dan juga C.S.T. Kansil membagi sumber Hukum Formal menjadi (Utrecht, 1971 : 87 dan Kansil,
1980 : 44):
1. Undang-undang;
2. Kebiasaan;
3. Keputusan
hakim/ Yurisprudensi;
4. Traktat/
Treaty;
5. Pendapat
Sarjana Hukum atau Ahli Hukum yang terkenal/ doktrin.
-
Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa pada umumnya yang diakui sebagai sumber
hukumformal adalah :
1. Undang-undang;
2. Perjanjian
antar Negara;
3. Yurisprudensi;
4. Kebiasaan.
Dengan digunakan kata “Pada Umumnya” bearti penyebutan tidak limiatif, masih
menerima adanya sumber hukum formal lain. Hal ini terbukti dalam uraian
berikutnya tentang sumber hukum masih disebutkan :
5. Doktrin;
6. Perjanjian;;
7.
Kesadaran Hukum; (Mertokusumo, 1986 : 63 – 99)
Achmad Sanusi membagi sumber hukum formal menjadi dua
kelompok, yaitu (Sanusi, 1977 : 34):
1.
Sumber
Hukum Normal, yang dibagi lebih lanjut menjadi :
a.
Sumber
Hukum Normal langsung, artinya mendapatkan pengakuan undang-undang, yaitu :
1. Undang-undang;
2. Perjanjian
antar Negara;
3.
Kebiasaan.
b.
Sumber
Hukum Normal tidak langsung, artinya menjadi sumber hukum atas pengakuan
undang-undang, atau karena menilai kebiasaan, yaitu :
1. Persetujuan;
2. Doktrin;
3.
Yurisprudensi.
2.
Sumber
hukum abnormal, dikatakan abnormal sebab tidak dapat dicarikan pada
sumber-sumber hukum yang normal, ia justeru merupak tantangan terhadap tata
tertib hukum yang berlaku pada saat itu, termasuk kelompok ini, yaitu :
1. Proklamasi
Kemerdekaan;
2. Revolusi;
3. Coup
d’etat yang berhasil;
4.
Takluknya sesuatu negara kepada negara negara lain.
D.
UNDANG-UNDANG
T.J Buys
berpendapat bahwa undang-undang sebagai sumber hokum formal mempunyai dua arti,
yaitu : undang-undang dalam arti formal dan undang-undang dalam arti material
(Utrecht, 1971 : 91).
Undang-
undang dalam arti formal adalah setiap keputusan atau ketetapan
dari pemerintah yang disebut sebagai undang-undang karena diliat dari bentuk
dan cara terjadinya atau diliat dari cara pembentukannya. Menurut hokum positif Republik
Indonesia, yaitu pasal 20 UUD 1945,undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang
dibuat oleh Dewan Perwakilan rakyat (DPR) dengan persetujuan bersama Presiden.
Undang-undang
dalam arti formil sering juga disebut undang-undang dalam arti sempit, sebab istilah
undang-undang hanya seperti yang dimaksudkan oleh Pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 UUD
1945.
Undang-undang dalam
arti material, atau istilah yang tepat peraturan perundang-undangan, adalah
peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga Negara atau pejabat yang
berwenang dan mengikat secara umum.
Mengingat isinya memuat
peraturan atau ketetapan yang mengikatsetiap orang atau mengikat umum, maka
undang-undang dalam arti material dapat dikatakan sebagai pengertian
undang-undang dalam arti luas atau peraturan perundang-undangan. Hal tersebut
sesuai dengan Undang-undang No 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan
perundang-undangan.
Pengertian “mengikat
umum” atau “mengikat setiap orang”, bukan hanya berarti mengikat setiap
orang yang menjadi warga republic Indonesia, tetapi juga dapat berarti : setiap
orang yang tinggal disuatu daerah tertentu dalam wilayah Hukum Indonesia.
Biasanya undang-undang
mempunyai arti Formal dan sekaligus juga mempunyai arti material, artinya
peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh DPR dengan persejuan bersama
Presiden adalah merupakan undang-undang yang berlaku atau mengikat umum.
Undang-undang dalam
arti material atau peraturan perundang-undangan mempunyai tingkatan-tingkatan
atau tata urutan (hierarchi), Undang-undang Dasar 1945 sebagai ketentuan hokum
positif yang tertinggi di Negara Ri, dibedakan menjadi dua bagian, yaitu :
pertama Pembukaan UUD 1945 (Grundnorm), dan kedua batang tubuh.
Tata urutan peraturan
perundang-undangan sebagai diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU No.10 tahun 2004
secara berturut-turut adalah :
1.
UUD
Negara RI 1945 (atau biasa disebut UUD 1945);
2.
Undang-undang/
Peraturan pemerintah Pengganti Undang-undang;
3.
Peraturan
Pemerintah;
4. Peraturan Presiden, dan Peraturan
daerah.
E.
PENGUNDANGAN
Pada jaman pemerintah
Hindia Belanda, peraturan perundang-undangan tingkat pusat diundangkan dalam Staatsblad.
Selain itu juga terdapat Bijlad op hed Staatsblad dan de Javasche
Courant (merupakan berita Negara), pada Jaman Pendudukan Jepang, Osamu
seirei dan Osamu kanrei dimuat dalam Kan po.
Pengundangan
undang-undang pada masa berlakunya UUD 1945 (periode 1945-1950) adalah
berdasarkan Peraturan Presiden No. 1 tahun 1945(Berita republik Indonesia tahun
I No. 1, Halam 1 kolom 1) tantang “cara mengundangkan dan berlakunya
undang-undang dan peraturan-peraturan”
Sejak berlakunya Konstitusi
Republik Indonesia serikat (KRIS) sampai
sekarang berdasarkan UU No 2 tahun 1950 tentang “Lembaran Negara dan
Pengumuman” pengundangannya dengan Lembaran Negara, sedangkan untuk penjelasan
undang-undang dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara.
Pengundangan peraturan
perundang-undangan sekarang berdasrkan UU No. 10 tahun 2004, fungsi
pengundangan adalah agar setiap orang mengetahuinya, sedangkan tujuannya agar
agar setiap orang terikat untuk mengakui eksitensinya. Pengundangan adalah
penempatan peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara republic
Indonesia, Tambahan Berita Negara republic Indonesia, Lembaran daerah dab
berita daerah.
Kalau diliat dari macam
peraturan perundang-undangannya ada 4 (empat tempat pengundangan, yaitu Lembaran
Negara Republik Indonesia (termasuk Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia), Lembaran Daerah dan Berita Daerah.
Peraturan
perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan hokum mengikat pada
tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan (Pasal 50 Undang No. 10 Tahun 2004). Dengan diundangkan tidak
dengan sendirinya undang-undang berlaku, sebab saat berlakunya undang-undang
ada beberapa kemungkinan, yaitu :
1.
Saat mulai berlakunya ditentukan oleh
undang-undang itu sendiri, yaitu :
a. Pada
saat diundangkan;
b. Pada
tanggal tertentu, missal UU No. 8 tahun 1995 tentang “Pasar Modal” yang
diundangkan tanggal 10 November 1995, tetapi pasal 116 menetukan mulai
berlakunya pada tanggal 1 januari 1996;
c. Ditentukan
berlaku surat sampai tanggal tertentu;
d. Berlakunya
akan ditentukan kemudian atau akan ditentukan dengan peraturan lain.
2.
Apabila undang-undang tidak menetapkan
saat tanggal berlakunya, maka menurut pasal 13 UU No. 2 tahun 1950, saat
berlakunya adalah mulai hari ketiga puluh sesudah hari diundangkan dalam
Lembaran Negara.
Tentang saat berakhirnya undang-undang
atau dengan perkataan lain saat undang-undang tidak berlaku lagi, itu ada
beberapa kemungkinan, yaitu :
1. Jangka
waktu yang ditentukan oleh undang-undang itu sendiri telah lampau.
2. Hal
atau keadaan untuk mana undang-undang itu diadakan sudah tidak ada lagi.
3. Dengan
tegas dicabut oleh undang-undang yang baru.
4. Ada
undang-undang baru yang mengatur materi yang sama dengan undang-undang yang
lama, dan ternyata isinya saling bertentangan, maka undang-undang yang lama
dianggap tidak berlaku lagi berdasarkan asas : Lex posteriori derogate legi priori atau Lex posterior derogate legi anteriori. Bearti terjadi penghapusan
secara diam-diam (stilzwijgende
afschaffing).
5. Timbul
hokum kebiasaan yang bertentangan dengan undang-undang dan hal itu
mengakibatkan undang-undang yang bersangkutan tidak diikuti lagi.
A. ASAS-ASAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
1.
Peraturan
perundang-undangan tidak berlaku surut
2.
System
peraturan perundang-undangan mengenal adanya tingkatan-tingkatan atau kewerdaan
atau tata urutan (hierarchie).
3.
Undang-undang
bersifat khusus mengesampingkan undang-undang bersifat umum.
4.
Peraturan
perundangan yang baru mengesampingkan pearturan perundang-undangan yang lama.
5. Undang-undang dapat diuji oleh
mahkamah Konstitusi.
Peraturan
perundang-undangan tidak berlaku surut
Pada asasnya suatu peraturan
perundang-undangan baru berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat sesudah
diundangkan menurut cara yang sah. Oleh karena itu saat mulai berlakunya tidak
dapat ditentukan pada tanggal yang lebih awal daripada tanggal pengundangannya.
System
peraturan perundang-undangan mengenal adanya tingkatan-tingkatan atau kewerdaan
atau tata urutan (hierarchie).
Konsekuensi
adanya hierarchie dalam sistim peraturan perundang-undangan, adalah :
a.
Peraturan
perundang-undangan yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi kedudukannya,
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula,
b.
Peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundangan yang lebih tinggi tingkatannya.
c.
Pearturan
perundangan yang lebih tinggi tidak dapat dirubah atau dihapuskan oleh
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah kedudukannya, kecuali ada
pendelegasian tentang kewenangan peraturan perundang-undangan.
Undang-undang bersifat khusus
mengesampingkan undang-undang bersifat umum
Di dalam hukum positif Indonesia,
asas ini antara lain dapat diketemukan dalam pasal 1 KUHD yang menentukan : “Kitab Undang-undang hukum Perdata berlaku
juga bagi hal-hal yang diatur didalam Kitab undang-undang ini, kekedar didalam
kitab undang-undang ini tidak diatur secara khusus menyimpang”.
Apa yang tercantum dalam pasal 1
KUHD adalah sesuai dengan adagium Lex specialis derogate legi generale
artinya undang-undang khusus mengesampingkan berlakunya undang-undang yang
umum, apabila keduanya mengatur materi yang sama tapi isinya saling
bertentangan.
Peraturan perundangan yang baru
mengesampingkan pearturan perundang-undangan yang lama
Apabila peraturan perundang-undangan
yang baru mengatur materi yang sama, tetapi ternyata isinya saling bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lama, maka berakibat peraturan
perundang-undangan yang lama dengan sendirinya dianggap hapus sejak berlakunya
peraturan perundang-undangan yang baru. Apabila dalam peraturan
perundang-undangan yang baru tidak ada ketentuan yang tegas menghapusnya, maka
dianggap terjadi penghapusan secara diam-diam (stilzwijgende afschaffing).
Undang-undang dapat diuji oleh
mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadp undang-undang dasar (Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945).
KEGIATAN BELAJAR 2
Kebiasaan, treaty, Yurisprudensi,
Doktrin
Dan Perjanjian
A. KEBIASAAN
Diliat dari sejarah
perkembangan hukum, diperoleh gambaran bahwa kebiasan merupakan sumber hukum
yang paling tua. Kebiasaan sebagai prilaku yang secara berulang-ulang dilakukan
dalam garis yang sama telah lahir sejak manusia hidup bermasyarakat.
Kebiasaan-kebiasaan dalam
masyarakat akan menjadi hukum kebiasaan apabila telah memenuhi syarat-syarat
tertentu, yaitu :
1.
Syarat material,
yaitu adanya perilaku yang secara terus menerus dilakukan dalam hal yang sama
atau menurut garis tingkah laku yang tetap;
2.
Syarat psikologis atau intelektual,
kebiasaan tersebut menimbulkan kesadaran atau keyakinan umum bahwa seharusnya
memang demikian (opinion necessitates) dan diterima sebagai suatu kewajiban
hokum;
3.
Adanya akibat hukum,
artinya ada sanksi kalau kebiasaan dilanggar.
Kita tidak dapat
menyamakan antara hukum Kebiasaan dengan hukum adat, memang diantara keduanya,
pada hakekatnya tidak ada perbedaan secara structural, yang membedakan kalau
diliat dari segi asalnya. Hukum kebiasaan banyak berlaku di kota. Secara
singkat perbedaan antara hukum adat dengan hukum kebiasaan, dapat dirumuskan
sebagai berikut : bahwa dalam hukum adat didalamnya tersimpulm unsur-unsur tradisi,
pengertian-pengertian sacral, cara-cara berpikir yang menghubungkan dunia lahir
dan dunia gaib.
Apakah
Hukum adat itu?
Kusumadi
Pudjosewojo berpendapat bahwa hukum adat adalah
keseluruhan aturan tingkah laku yang “adat” dan sekaligus hukum pula. Dengan
perkataan lain, hukum adat adalah keseluruhan aturan hukum yang tak tertulis.
Demikian juga dengan Soepomo, yang berpendapat bahwa hukum adat adalah sinonim dari hukum yang tak tertulis.
Antara undang-undang
dan hukum kebiasaan, itu ada persamaannya, yaitu : sama-sama sebagai penegasan
dari gambaran hukum, pandangan hukum atau kesadaran hukum masyarakat, dan juga
sama-sama sebagai sumber hukum formal. Adapun perbedaan dapat diliat dari 3
(tiga) segi yaitu :
1.
Undang-undang berntuknya tertulis,
sedangkan hukum kebiasaan bentuknya tidak tertulis.
2.
Undang-undang adalah peraturan yang
sengaja dibuat resmi oleh pemerintah. Kebiasan
merupakan peraturan yang timbul dari pergaulan hidup, yang tidak sengaja
dubuat, tetapi timbul dari masyarakat itu sendiri.
3.
Undang-undang memberikan kepastian
hukum yang lebih besar, sebab bentuknya tertulis dan perumusannya
jelas, berbeda halnya dengan kebiasaan.
Dalam Hukum Positif Indonesia, hukum adat atau hukum kebiasaan
dan undang-undang derajatnya diakui sama. Hakim tidak terikat pada
undang-undanga saja, tetapi juga pada hukum kebiasaan.
B. TREATY
Disamping undang-undang
dan kebiasaan diakui juga perjanjian antar Negara (treaty dan tractat)
sebagai sumber hukum formal. Sebagai sumber Hukum Formal, treaty memuat
ketentuan hukum yang mengikat secara umum, artunya mengikat warga Negara dari
Negara yang mengadakan perjanjian tersebut atau yang menjadi pihak dalam
perjanjian. Treaty mengikat setelah Negara yang bersangkutan meratifikasinya.
Dasar hukum mengikatnya
treaty adalah berlakunya asas “PACTA SUNT SERVANDA”, yang artinya
adalah bahwa perjanjian mengikat para pihak dalam perjanjian, atau setiap
perjanjian harus ditaati atau dilaksakan.
Berdasarkan banyaknya
Negara yang mengadakan perjanjian antar Negara, tractat dapat dibedakan menjadi
:
1.
Tractaat
Bilateral, yaitu yang diadakan hanya oleh dua Negara.
2.
Tractaat
Multilateral, yaitu yang diadakan lebih dari dua Negara.
Dasar Hukum diadakannya tractaat atau
Treaty
Pasal 11 UUD 1945 sebelum diamandemenkan
memiliki 3 ayat, yang bunyinya :
1.
Presiden dengan persetujuan DPR
menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain.
2.
Presiden dalam membuat perjanjian
internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan
DPR.
3.
Ketentuan lebih lanjut tentang
perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.
C. YURISPRUDENSI
Yurisprudensi
atau Putusan hakim, atau ada pula yang menyebutnya dengan istilah peradilan.
Peradilan adalah suatu pelaksanaan hukum dalam hal konkrit adanya tuntutan hak,
fungsi mana dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh Negara,
serta bebas dari pengaruh apa/ siappun dengan cara memberikan putusan yang
bersifat mengikat dan berwibawa serta bertujuan mencegah eigenrichhting
(Mertokusumo, 1990 : 89 – 90). Secara singkat dapatlah dikatakan bahwa
peradilan adalah merupakan salah satu pelaksanaan hukum dalam hal konkrit
adanya tuntutan hak.
Kata Yurisprudensi
dalam ilmu pengetahuan hukum mengandung 3 9tiga) pengertian, yaitu diartikan
sebagai :
1.
Putusan
hakim;
2.
Kumpulan
Putusan-putusan hakim yang disusun secara sistematis dan diberi anotasi;
3.
Ajaran
hukum yang diciptakan oleh peradilan dan dipertahankan dengan putusan hakim.
Ada tiga Alasan yang menjadi penyebab
seorang hakim mengikuti keputusan hakim lain dalam menjatuhkan putusan yang
sejenis, yaitu (Utrecht, 1971 : 138 – 139).
a.
Alasan Psikologis
Keputusan Hakim mempunyai kekuasaan
(gezag), terutama apabila keputusan itu dibuat oleh Pengadilan Tinggi atau oleh
Mahkamah Agung.
b.
Alasan Praktis.
c.
Alasan persesuaian pendpat.
Hakim mengikuti putusan hakim lain dalam
memutus perkara yang sejenis, karena ia sependapat dengan isi putusan hakim lain tersebut.
D. DOKTRIN
Doktrin
atau ajaran hukum, terutama berasal dari
sarjana-sarjana hukum yang terkenal. Dokrin sebagai Ilmu pengetahuan
mempunyai sifat obyektif dan berwibawa sebab banyak diikuti oleh para
pendukungnya, bahkan tidak jarang dokrin tersebut dapat menjadi pendapat umum
dari para sarjana atau ahli hukum (communis opinion doctorum).
Doktrin bukan merupakan
hukum, oleh sebab itu tidak mempunyai kekuatan mengikat, namun ada juga doktrin
atau ajaran hukum yang dibukukan dan dianggap mempunyai kekuatan mengikat
sebagai hukum, sehingga digunakan dalam peradilan.
E. PERJANJIAN
Perjanjian
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri
terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 KUH Perdata)
Pengertian perjanjian
diperjelas menjadi : perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau
lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum.
Perjanjian adalah sah
apabila memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang ditentukan
dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu adanya : Konsesus atau kata
sepakat para pihak yang mengikatkan diri; kecakapan untuk membuat suatu
perjanjian; suatu hal atau objek tertentu; dan suatu sebab atau kuasa yang
dibolehkan.
Konsesus
atau kata sepakat, artinya apa yang dijanjikan oleh pihak
pertama harus dimengerti dan diterima, atau dapat diterima oleh pihak yang
lain. Menurut pasal 1321 KUH Perdata, konsesus dapat cacat atau tidak sempurna,
apabila terjadi adanya paksaan (dwang), kesesatan (dwaling) atau tipuan
(bedrog).
Kecakapan
untuk membuat perjanjian, artinya adalah kedua belah pihak
haruslah orang yang cakap atau cukup cakap untuk mempertanggung jawabkan
sendiri segala tindakan-tindakannya, mereka tidak termasuk golongan orang yang
tidak cakap hukum (personae miserabile)
Objek
Tertentu, artinya pada saat perjanjian diadakan jumlah, jenis
dan bentuk apa yang diperjanjikan itu tertentu.
Kausa
yang diperbolehkan, ini dimaksudkan agar isi perjanjian
jangan sampai bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan
yang baik.
Apakah
konsekuensinya apabila syarat sahnya atau unsure essentialia perjanjian itu
cacat?
Apabila
syarat Subyektif sahnya perjanjian cacat, maka
perjanjiannya dapat dimohonkan
pembatalan oleh pihak yang memberikan kata sepakat secara tidak sempurna atau
oleh pihak yang tidak cakap hukum.
Apabila
syarat obyektif sahnya perjanjian cacat, misalnya tidak
ada obyek tertentu atau kuasanya tidak dibolehkan, maka perjanjiannya Batal
demi hukum, artinya sejak semula dianggap tidak pernah dilahirkan suatu
perjanjian dan tidak ada perikatan.
Asas-asas yang penting dalam perjanjian
-
Asas Konsesualisme,
asas ini berhubungan dengan terjadinya perjanjian, yaitu untuk terjadinya suatu
perjanjian disyaratkan harus ada kata sepakat.
-
Asas mengikatnya perjanjian (pacta
sunt servanda),
asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Sesuai dengan Pasal 1338 ayat
(1) KUH Perdata yang menetukan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
-
Asas kebebasan berkontrak, asas ini
menjamin para pihak untuk mengadakan perjanjian dengan siapapun dann juga bebas
untuk menetukan isis perjanjian, asal perjanjian yang dibuat tidak bertentangan
dengan undang-undang.
-
Asas itikad baik (the goeder trouv), asas
ini berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian. Sesuai dengan Pasal 1338 ayat
(3) KUH Perdata yang menetukan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan
itikad baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar