Sabtu, 24 Agustus 2019

Pengantar Ilmu Hukum.UT. Modul 3


MODUL 3
SUMBER HUKUM
Hukum berfungsi untuk melindungi kepentingan-kepentingan manusia dalam hidup bermasyarakat, dengan tujuan menciptakan kehidupan masyarakat yang damai dan sejahtera.
Dalam modul 3 akan dijelaskan terkait :
1.      Pengertian sumber hukum;
2.      Sumber hukum material dan formil;
3.      Bentuk-bentuk sumber hukum formal;
4.      Undang-undang dalam arti material dan dalam arti formal;
5.      Tata urutan peraturan perundang-undangan;
6.      Makna dan fungsi pengundangan;
7.      Saat mulai berlakunya dan berakhirnya peraturan perundang-undangan;
8.      Asas-asas peraturan perundang-undangan;
9.      Kebiasaan sebagai sumber hukum formal;
10.  Treaty sebagai sumber hukum formal;
11.  Yurisprudensi sebagai sumber hukum formal;
12.  Dokrin sebagai sumber hukum formal;
13.  Perjanjian sebagai sumber hukum formal.


KEGIATAN BELAJAR 1
Pengertian Sumber Hukum, 2(arti) Arti
Sumber Hukum dan Undang-Undang
Sebagai Bentuk Sumber Hukum Formal
A.      PENGERTIAN SUMBER HUKUM

Pada hakikatnya sumber hukum sebagai tempat kita dapat menemukan atau menggali hukum, dikatakan sebagai tempat menemukan hukum, karena yang menjadi sumber hukum adalah merupakan suatu ketentuan yang mempunyai kekuatan mengikat dalam arti kongkrit atau mengikat umum. Sedangkan dikatakan sebagai tempat menggali hukum, karena yang menjadi sumber hukum belum tentu merupakan suatu ketentuan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sumber hukum diartikan juga sebagai sumber pengenal (kenbron) dan sumber asal (welbron). Sumber pengenal adalah bahan-bahan yang dapat dipergunakan untuk menemukan hukum atau merupakan tempat dimana suatu peraturan perundang-undangan diundangkan. Contoh UU No. 10 Tahun 2004 tentang “Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”, sebagai sumber Pengenalnya adalah Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53 (sebagai tempat pengundangan UU No. 10 Tahun 2004).
Senada dengan pendapat L.J. van Apeldoorn adalah G.W. paton, yang menyatakan bahwa istilah sumber-sumber hukum (the sources of law) mempunyai banyak arti dan seringkali menyebabkan kesalahan, kecuali jika kita menyelidiki dengan hati-hati arti khusus yang diberikan dalam suatu pelajaran khusus. Dalam uraian selnjutnya G.W paton mengemukan pendapat salmond yang membagi sumber hukum menjadi dua, yaitu (Paton, 1953 : 140):
1.         Sumber Hukum Material, adalah sumber diperolehnya bahan atau materi hukum, dan bukan berkaitan dengan kekuatan berlakunya. Contoh adalah adat kebiasaan, ketentuan yang oleh hakin dijadikan hukum dan berasal dari kehidupan masyarakat.
2.         Sumber hukum formal,  adalah sebagai sumber dari sumber mana suatu peraturan hukum mempunyai kekuatan dan sah berlakunya.

B.       SUMBER HUKUM MATERIAL DAN FORMAL

Sumber Hukum Material dapat diliat dari 4 sudut pandang, alasan pembagian 4 sudut pandang adalah karena sumber hukum dalam arti sosiologi dipisahkan menjadi dua, yaitu : dalam arti ekonomis dan dalam arti sosiologis, sehingga pembagiannya menjadi : dari sudut sejarah atau sudut pandang seorang ahli sejarah; dari sudut sosiologi/ sudut pandang seorang sosiologi; dari sudut ekonomi/ sudut pandang seorang ekonom; dan dari sudut Filsafat/ sudut pandang seorang filosof.
Sumber Hukum dalam arti sejarah, dibedakan menjadi dua, yaitu :
1.         Sebagai sumber pengenal hukum atau sumber imformasi, yaitu segala sesuatu yang dapat memberi imformasi tentang hukum dari suatu bangsa atau negara; seperti : daun-daun lonta, batu-batu bertulis, tulisan-tulisan, dokumen-dokumen dsbnya. kita dapat mengenal hukum dari suatu bangsa tertentu pada suatu waktu tertentu, dengan mempelajari undang-undang, keputusan-keputusan hakim, piagam-piagam yang memuat perbuatan hukum, termasuk juga tulisan-tulisan dari orang-orang yang bukan ahli hukum apabila tulisan tersebut memuat imformasi tentang lembaga-lembaga hukum.

2.         Sebagai sumber bahan, yaitu berupa sumber bagi pembentuk undang-undang mengambil bahannya, contoh KUH Perdata Indonesia, ini sumbernya dari BW Nederland, selanjutnya BW Nederland sebagai sumber langsung adalah Code  Civil Perancis dan sumber tidak langsung adalah Hukum Germania, Rumawi, dan Kanonik.


Sumber Hukum dalam arti Sosiologi, yaitu sumber hukum yang dihubungkan dengan masyarakat. Sehingga sumber hukum ini dicari dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, yaitu faktor-faktor  yang menentukan isi hukum, termasuk disini faktor-faktor dalam kebiasaan-kebiasaan, agama, moral, kependudukan,dan sebagainya.
Sumber Hukum dalam Arti Ekonomis,  adalah sumber hukum yang dihunumhkan dengan kebutuhan-kebutuhan ekonomi yang menjadi tuntutan dari setiap anggota masyarakat terutama yang berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan vital.
Sumber Hukum dalam arti Filosofis, dibedakan menjadi  sumber isi hukum dan sumber dari kekuatan mengikat dari hukum, ada beberapa teori :
a.         Teori teokrasi, yang mengatakan bahwa isi Hukum berasal dari Tuhan.
b.         Teori Hukum Kodrat yang rasionalistis, yang menyatakan bahwa  isi hukum bersumber dari Rasio atau Akal manusia.
c.         Teri Historis, yang menyatakan bahwa isi hukum bersumber dari pada kesadaran  hukum dari suatu bangsa.

Sumber Hukum Formal
Menurut Achmad Sanusi, sumber Hukum dalam arti Formal adalah sumber-sumber hukum yang telah dirumuskan peraturannya dalam suatu bentuk, berdasarkan apa ia berlaku, ia ditaati orang dan mengikat hakim, serta para pejabat hukum, sumber-sumber hukum dalam arti formal disebut juga sumber-sumber berlakunya hukum karena ia adalah sebagai causa efficiens (sanusi, 1977 : 31).


C.      BENTUK-BENTUK SUMBER HUKUM FORMAL

L.J van Apeldoorn membagi sumber hukum formal menjadi :
1.         Undang-undang;
2.         Kebiasaan;
3.         traktat.
Ketiga bentuk tersebut sebagai sumber hukum formal, karena hanya dalam bentuk-bentuk tersebut terjadi peraturan mengikat secara umum.
Dari uraian tersebut diatas dapat diketahui, bahwa L.Jn Apeldorn manganggap yang menjadi sumber kekuatan mengikat undang-undang, kebiasaan dan traktat adalah kedasaran hukum masyarakat.
-          G.W. Paton membagi sumber hukum formal (the formal sources of law) menjadi :
1.      Kebiasaan/ custom;
2.      Metode judisiil atau segala sesuatu yang berhubungan dengan pengadilan/ the judical methode;
3.      Undang-undang dan kitab Hukum/ Status and codes;
4.      Karangan-karangan Ahli Hukum dan Pendapat Ahli/ juristic writing and profesional opinion. Paton, 1953 : 142-203.
-          E.Utrecht dan juga C.S.T. Kansil membagi sumber Hukum Formal menjadi (Utrecht, 1971 : 87 dan Kansil, 1980 : 44):
1.      Undang-undang;
2.      Kebiasaan;
3.      Keputusan hakim/ Yurisprudensi;
4.      Traktat/ Treaty;
5.      Pendapat Sarjana Hukum atau Ahli Hukum yang terkenal/ doktrin.
-          Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa pada umumnya yang diakui sebagai sumber hukumformal adalah :
1.      Undang-undang;
2.      Perjanjian antar Negara;
3.      Yurisprudensi;
4.      Kebiasaan. Dengan digunakan kata “Pada Umumnya” bearti penyebutan tidak limiatif, masih menerima adanya sumber hukum formal lain. Hal ini terbukti dalam uraian berikutnya tentang sumber hukum masih disebutkan :
5.      Doktrin;
6.      Perjanjian;;
7.      Kesadaran Hukum; (Mertokusumo, 1986 : 63 – 99)
Achmad Sanusi membagi sumber hukum formal menjadi dua kelompok, yaitu (Sanusi, 1977 : 34):
1.      Sumber Hukum Normal, yang dibagi lebih lanjut menjadi :
a.       Sumber Hukum Normal langsung, artinya mendapatkan pengakuan undang-undang, yaitu :
1.      Undang-undang;
2.      Perjanjian antar Negara;
3.      Kebiasaan.
b.      Sumber Hukum Normal tidak langsung, artinya menjadi sumber hukum atas pengakuan undang-undang, atau karena menilai kebiasaan, yaitu :
1.      Persetujuan;
2.      Doktrin;
3.      Yurisprudensi.
2.      Sumber hukum abnormal, dikatakan abnormal sebab tidak dapat dicarikan pada sumber-sumber hukum yang normal, ia justeru merupak tantangan terhadap tata tertib hukum yang berlaku pada saat itu, termasuk kelompok ini, yaitu :
1.      Proklamasi Kemerdekaan;
2.      Revolusi;
3.      Coup d’etat yang berhasil;
4.      Takluknya sesuatu negara kepada negara negara lain.

D.      UNDANG-UNDANG

T.J Buys berpendapat bahwa undang-undang sebagai sumber hokum formal mempunyai dua arti, yaitu : undang-undang dalam arti formal dan undang-undang dalam arti material (Utrecht, 1971 : 91).
Undang- undang dalam arti formal adalah setiap keputusan atau ketetapan dari pemerintah yang disebut sebagai undang-undang karena diliat dari bentuk dan cara terjadinya atau diliat dari cara pembentukannya. Menurut hokum positif Republik Indonesia, yaitu pasal 20 UUD 1945,undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Dewan Perwakilan rakyat (DPR) dengan persetujuan bersama Presiden.
Undang-undang dalam arti formil sering juga disebut undang-undang dalam arti sempit, sebab istilah undang-undang hanya seperti yang dimaksudkan oleh Pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 UUD 1945.
Undang-undang dalam arti material, atau istilah yang tepat peraturan perundang-undangan, adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.
Mengingat isinya memuat peraturan atau ketetapan yang mengikatsetiap orang atau mengikat umum, maka undang-undang dalam arti material dapat dikatakan sebagai pengertian undang-undang dalam arti luas atau peraturan perundang-undangan. Hal tersebut sesuai dengan Undang-undang No 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Pengertian “mengikat umum” atau “mengikat setiap orang”, bukan hanya berarti mengikat setiap orang yang menjadi warga republic Indonesia, tetapi juga dapat berarti : setiap orang yang tinggal disuatu daerah tertentu dalam wilayah Hukum Indonesia.
Biasanya undang-undang mempunyai arti Formal dan sekaligus juga mempunyai arti material, artinya peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh DPR dengan persejuan bersama Presiden adalah merupakan undang-undang yang berlaku atau mengikat umum.
Undang-undang dalam arti material atau peraturan perundang-undangan mempunyai tingkatan-tingkatan atau tata urutan (hierarchi), Undang-undang Dasar 1945 sebagai ketentuan hokum positif yang tertinggi di Negara Ri, dibedakan menjadi dua bagian, yaitu : pertama Pembukaan UUD 1945 (Grundnorm), dan kedua batang tubuh.
Tata urutan peraturan perundang-undangan sebagai diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU No.10 tahun 2004 secara berturut-turut adalah :
1.      UUD Negara RI 1945 (atau biasa disebut UUD 1945);
2.      Undang-undang/ Peraturan pemerintah Pengganti Undang-undang;
3.      Peraturan Pemerintah;
4.      Peraturan Presiden, dan Peraturan daerah.

E.       PENGUNDANGAN

Pada jaman pemerintah Hindia Belanda, peraturan perundang-undangan tingkat pusat diundangkan dalam Staatsblad. Selain itu juga terdapat Bijlad op hed Staatsblad dan de Javasche Courant (merupakan berita Negara), pada Jaman Pendudukan Jepang, Osamu seirei dan Osamu kanrei dimuat dalam Kan po.
Pengundangan undang-undang pada masa berlakunya UUD 1945 (periode 1945-1950) adalah berdasarkan Peraturan Presiden No. 1 tahun 1945(Berita republik Indonesia tahun I No. 1, Halam 1 kolom 1) tantang “cara mengundangkan dan berlakunya undang-undang dan peraturan-peraturan”
Sejak berlakunya Konstitusi Republik Indonesia serikat  (KRIS) sampai sekarang berdasarkan UU No 2 tahun 1950 tentang “Lembaran Negara dan Pengumuman” pengundangannya dengan Lembaran Negara, sedangkan untuk penjelasan undang-undang dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara.
Pengundangan peraturan perundang-undangan sekarang berdasrkan UU No. 10 tahun 2004, fungsi pengundangan adalah agar setiap orang mengetahuinya, sedangkan tujuannya agar agar setiap orang terikat untuk mengakui eksitensinya. Pengundangan adalah penempatan peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara republic Indonesia, Tambahan Berita Negara republic Indonesia, Lembaran daerah dab berita daerah.
Kalau diliat dari macam peraturan perundang-undangannya ada 4 (empat tempat pengundangan, yaitu Lembaran Negara Republik Indonesia (termasuk Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia), Lembaran Daerah dan Berita Daerah.

Peraturan perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan hokum mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan (Pasal 50 Undang No. 10 Tahun 2004). Dengan diundangkan tidak dengan sendirinya undang-undang berlaku, sebab saat berlakunya undang-undang ada beberapa kemungkinan, yaitu :
1.         Saat mulai berlakunya ditentukan oleh undang-undang itu sendiri, yaitu :
a.       Pada saat diundangkan;
b.      Pada tanggal tertentu, missal UU No. 8 tahun 1995 tentang “Pasar Modal” yang diundangkan tanggal 10 November 1995, tetapi pasal 116 menetukan mulai berlakunya pada tanggal 1 januari 1996;
c.       Ditentukan berlaku surat sampai tanggal tertentu;
d.      Berlakunya akan ditentukan kemudian atau akan ditentukan dengan peraturan lain.

2.         Apabila undang-undang tidak menetapkan saat tanggal berlakunya, maka menurut pasal 13 UU No. 2 tahun 1950, saat berlakunya adalah mulai hari ketiga puluh sesudah hari diundangkan dalam Lembaran Negara.
Tentang saat berakhirnya undang-undang atau dengan perkataan lain saat undang-undang tidak berlaku lagi, itu ada beberapa kemungkinan, yaitu :
1.      Jangka waktu yang ditentukan oleh undang-undang itu sendiri telah lampau.
2.      Hal atau keadaan untuk mana undang-undang itu diadakan sudah tidak ada lagi.
3.      Dengan tegas dicabut oleh undang-undang yang baru.
4.      Ada undang-undang baru yang mengatur materi yang sama dengan undang-undang yang lama, dan ternyata isinya saling bertentangan, maka undang-undang yang lama dianggap tidak berlaku lagi berdasarkan asas : Lex posteriori derogate legi priori atau Lex posterior derogate legi anteriori. Bearti terjadi penghapusan secara diam-diam (stilzwijgende afschaffing).
5.      Timbul hokum kebiasaan yang bertentangan dengan undang-undang dan hal itu mengakibatkan undang-undang yang bersangkutan tidak diikuti lagi.

A.    ASAS-ASAS  PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

1.      Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut
2.      System peraturan perundang-undangan mengenal adanya tingkatan-tingkatan atau kewerdaan atau tata urutan (hierarchie).
3.      Undang-undang bersifat khusus mengesampingkan undang-undang bersifat umum.
4.      Peraturan perundangan yang baru mengesampingkan pearturan perundang-undangan yang lama.
5.      Undang-undang dapat diuji oleh mahkamah Konstitusi.

Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut
                        Pada asasnya suatu peraturan perundang-undangan baru berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat sesudah diundangkan menurut cara yang sah. Oleh karena itu saat mulai berlakunya tidak dapat ditentukan pada tanggal yang lebih awal daripada tanggal pengundangannya.

System peraturan perundang-undangan mengenal adanya tingkatan-tingkatan atau kewerdaan atau tata urutan (hierarchie). Konsekuensi adanya hierarchie dalam sistim peraturan perundang-undangan, adalah :
a.      Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi kedudukannya, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula,
b.      Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi tingkatannya.
c.       Pearturan perundangan yang lebih tinggi tidak dapat dirubah atau dihapuskan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah kedudukannya, kecuali ada pendelegasian tentang kewenangan peraturan perundang-undangan.

Undang-undang bersifat khusus mengesampingkan undang-undang bersifat umum
            Di dalam hukum positif Indonesia, asas ini antara lain dapat diketemukan dalam pasal 1 KUHD yang menentukan : “Kitab Undang-undang hukum Perdata berlaku juga bagi hal-hal yang diatur didalam Kitab undang-undang ini, kekedar didalam kitab undang-undang ini tidak diatur secara khusus menyimpang”.
            Apa yang tercantum dalam pasal 1 KUHD adalah sesuai dengan adagium Lex specialis derogate legi generale artinya undang-undang khusus mengesampingkan berlakunya undang-undang yang umum, apabila keduanya mengatur materi yang sama tapi isinya saling bertentangan.

Peraturan perundangan yang baru mengesampingkan pearturan perundang-undangan yang lama
            Apabila peraturan perundang-undangan yang baru mengatur materi yang sama, tetapi ternyata isinya saling bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lama, maka berakibat peraturan perundang-undangan yang lama dengan sendirinya dianggap hapus sejak berlakunya peraturan perundang-undangan yang baru. Apabila dalam peraturan perundang-undangan yang baru tidak ada ketentuan yang tegas menghapusnya, maka dianggap terjadi penghapusan secara diam-diam (stilzwijgende afschaffing).

Undang-undang dapat diuji oleh mahkamah Konstitusi
            Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadp undang-undang dasar (Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945).
KEGIATAN BELAJAR 2
Kebiasaan, treaty, Yurisprudensi, Doktrin
Dan Perjanjian
A.      KEBIASAAN

Diliat dari sejarah perkembangan hukum, diperoleh gambaran bahwa kebiasan merupakan sumber hukum yang paling tua. Kebiasaan sebagai prilaku yang secara berulang-ulang dilakukan dalam garis yang sama telah lahir sejak manusia hidup bermasyarakat.
Kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat akan menjadi hukum kebiasaan apabila telah memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu :
1.         Syarat material, yaitu adanya perilaku yang secara terus menerus dilakukan dalam hal yang sama atau menurut garis tingkah laku yang tetap;
2.         Syarat psikologis atau intelektual, kebiasaan tersebut menimbulkan kesadaran atau keyakinan umum bahwa seharusnya memang demikian (opinion necessitates) dan diterima sebagai suatu kewajiban hokum;
3.         Adanya akibat hukum, artinya ada sanksi kalau kebiasaan dilanggar.
Kita tidak dapat menyamakan antara hukum Kebiasaan dengan hukum adat, memang diantara keduanya, pada hakekatnya tidak ada perbedaan secara structural, yang membedakan kalau diliat dari segi asalnya. Hukum kebiasaan banyak berlaku di kota. Secara singkat perbedaan antara hukum adat dengan hukum kebiasaan, dapat dirumuskan sebagai berikut : bahwa dalam hukum adat didalamnya tersimpulm unsur-unsur tradisi, pengertian-pengertian sacral, cara-cara berpikir yang menghubungkan dunia lahir dan dunia gaib.

Apakah Hukum adat itu?

Kusumadi Pudjosewojo berpendapat bahwa hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku yang “adat” dan sekaligus hukum pula. Dengan perkataan lain, hukum adat adalah keseluruhan aturan hukum yang tak tertulis. Demikian juga dengan Soepomo, yang berpendapat bahwa hukum adat adalah sinonim dari hukum yang tak tertulis.
Antara undang-undang dan hukum kebiasaan, itu ada persamaannya, yaitu : sama-sama sebagai penegasan dari gambaran hukum, pandangan hukum atau kesadaran hukum masyarakat, dan juga sama-sama sebagai sumber hukum formal. Adapun perbedaan dapat diliat dari 3 (tiga) segi yaitu :
1.         Undang-undang berntuknya tertulis, sedangkan hukum kebiasaan bentuknya tidak tertulis.
2.         Undang-undang adalah peraturan yang sengaja dibuat resmi oleh pemerintah. Kebiasan merupakan peraturan yang timbul dari pergaulan hidup, yang tidak sengaja dubuat, tetapi timbul dari masyarakat itu sendiri.
3.         Undang-undang memberikan kepastian hukum yang lebih besar, sebab bentuknya tertulis dan perumusannya jelas, berbeda halnya dengan kebiasaan.
       Dalam Hukum Positif Indonesia, hukum adat atau hukum kebiasaan dan undang-undang derajatnya diakui sama. Hakim tidak terikat pada undang-undanga saja, tetapi juga pada hukum kebiasaan.

B.       TREATY

Disamping undang-undang dan kebiasaan diakui juga perjanjian antar Negara (treaty dan tractat) sebagai sumber hukum formal. Sebagai sumber Hukum Formal, treaty memuat ketentuan hukum yang mengikat secara umum, artunya mengikat warga Negara dari Negara yang mengadakan perjanjian tersebut atau yang menjadi pihak dalam perjanjian. Treaty mengikat setelah Negara yang bersangkutan meratifikasinya.
Dasar hukum mengikatnya treaty adalah berlakunya asas “PACTA SUNT SERVANDA”, yang artinya adalah bahwa perjanjian mengikat para pihak dalam perjanjian, atau setiap perjanjian harus ditaati atau dilaksakan.
Berdasarkan banyaknya Negara yang mengadakan perjanjian antar Negara, tractat dapat dibedakan menjadi :
1.         Tractaat Bilateral, yaitu yang diadakan hanya oleh dua Negara.
2.         Tractaat Multilateral, yaitu yang diadakan lebih dari dua Negara.

Dasar Hukum diadakannya tractaat atau Treaty
Pasal 11 UUD 1945 sebelum diamandemenkan memiliki 3 ayat, yang bunyinya :
1.         Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain.
2.         Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR.
3.         Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.

C.       YURISPRUDENSI

Yurisprudensi atau Putusan hakim, atau ada pula yang menyebutnya dengan istilah peradilan. Peradilan adalah suatu pelaksanaan hukum dalam hal konkrit adanya tuntutan hak, fungsi mana dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh Negara, serta bebas dari pengaruh apa/ siappun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan berwibawa serta bertujuan mencegah eigenrichhting (Mertokusumo, 1990 : 89 – 90). Secara singkat dapatlah dikatakan bahwa peradilan adalah merupakan salah satu pelaksanaan hukum dalam hal konkrit adanya tuntutan hak.

Kata Yurisprudensi dalam ilmu pengetahuan hukum mengandung 3 9tiga) pengertian, yaitu diartikan sebagai :
1.         Putusan hakim;
2.         Kumpulan Putusan-putusan hakim yang disusun secara sistematis dan diberi anotasi;
3.         Ajaran hukum yang diciptakan oleh peradilan dan dipertahankan dengan putusan hakim.
Ada tiga Alasan yang menjadi penyebab seorang hakim mengikuti keputusan hakim lain dalam menjatuhkan putusan yang sejenis, yaitu (Utrecht, 1971 : 138 – 139).
a.         Alasan Psikologis
Keputusan Hakim mempunyai kekuasaan (gezag), terutama apabila keputusan itu dibuat oleh Pengadilan Tinggi atau oleh Mahkamah Agung.
b.         Alasan Praktis.
c.         Alasan persesuaian pendpat.
Hakim mengikuti putusan hakim lain dalam memutus perkara yang sejenis, karena ia sependapat dengan isi  putusan hakim lain tersebut.

D.      DOKTRIN

Doktrin atau ajaran hukum, terutama berasal dari  sarjana-sarjana hukum yang terkenal. Dokrin sebagai Ilmu pengetahuan mempunyai sifat obyektif dan berwibawa sebab banyak diikuti oleh para pendukungnya, bahkan tidak jarang dokrin tersebut dapat menjadi pendapat umum dari para sarjana atau ahli hukum (communis opinion doctorum).
Doktrin bukan merupakan hukum, oleh sebab itu tidak mempunyai kekuatan mengikat, namun ada juga doktrin atau ajaran hukum yang dibukukan dan dianggap mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum, sehingga digunakan dalam peradilan.

E.       PERJANJIAN

Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 KUH Perdata)
Pengertian perjanjian diperjelas menjadi : perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum.
Perjanjian adalah sah apabila memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu adanya : Konsesus atau kata sepakat para pihak yang mengikatkan diri; kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; suatu hal atau objek tertentu; dan suatu sebab atau kuasa yang dibolehkan.
Konsesus atau kata sepakat, artinya apa yang dijanjikan oleh pihak pertama harus dimengerti dan diterima, atau dapat diterima oleh pihak yang lain. Menurut pasal 1321 KUH Perdata, konsesus dapat cacat atau tidak sempurna, apabila terjadi adanya paksaan (dwang), kesesatan (dwaling) atau tipuan (bedrog).
Kecakapan untuk membuat perjanjian, artinya adalah kedua belah pihak haruslah orang yang cakap atau cukup cakap untuk mempertanggung jawabkan sendiri segala tindakan-tindakannya, mereka tidak termasuk golongan orang yang tidak cakap hukum (personae miserabile)
Objek Tertentu, artinya pada saat perjanjian diadakan jumlah, jenis dan bentuk apa yang diperjanjikan itu tertentu.
Kausa yang diperbolehkan, ini dimaksudkan agar isi perjanjian jangan sampai bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan yang baik.

Apakah konsekuensinya apabila syarat sahnya atau unsure essentialia perjanjian itu cacat?

Apabila syarat Subyektif sahnya perjanjian cacat, maka perjanjiannya  dapat dimohonkan pembatalan oleh pihak yang memberikan kata sepakat secara tidak sempurna atau oleh pihak yang tidak cakap hukum.
Apabila syarat obyektif sahnya perjanjian cacat, misalnya tidak ada obyek tertentu atau kuasanya tidak dibolehkan, maka perjanjiannya Batal demi hukum, artinya sejak semula dianggap tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak ada perikatan.

Asas-asas yang penting dalam perjanjian
-          Asas Konsesualisme, asas ini berhubungan dengan terjadinya perjanjian, yaitu untuk terjadinya suatu perjanjian disyaratkan harus ada kata sepakat.
-          Asas mengikatnya perjanjian (pacta sunt servanda), asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Sesuai dengan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menetukan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
-          Asas kebebasan berkontrak, asas ini menjamin para pihak untuk mengadakan perjanjian dengan siapapun dann juga bebas untuk menetukan isis perjanjian, asal perjanjian yang dibuat tidak bertentangan dengan undang-undang.
-          Asas itikad baik (the goeder trouv), asas ini berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian. Sesuai dengan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menetukan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.













Tidak ada komentar:

Posting Komentar