Selasa, 14 April 2020

Ilmu Negara Modul 1

Modul 1
Konsep Ilmu Negara
Aminoto, S.H., M.Si.
P E N D A H U L U A N
Dalam Modul 1 ini akan diuraikan tentang ilmu negara sebagai mata kuliah pengantar, yang pokok bahasannya masih bersifat abstrak, umum, dan universal. Abstrak itu berarti belum mengarah pada negara sebagai entitas (wujud) yang konkret. Umum artinya dapat terjadi/berlaku/dialami oleh setiap negara. Universal artinya pengertian tentang negara itu dipahami/diartikan sama di seluruh dunia. Ilmu negara sebagai mata kuliah pengantar biasanya masih menitikberatkan pada aspek filosofis-teoritis-historis mengenai konsep ilmu negara yang meliputi istilah, pengertian lingkup Mata Kuliah Ilmu Negara, serta hubungannya dengan mata kuliah lain.
Istilah ilmu negara berasal dari bahasa Belanda staatsleer yang diambil dari istilah bahasa Jerman “Staatslehre” yang merupakan hasil dari penyelidikan seorang Sarjana Jerman bernama Georg Jellinek dalam bukunya Allgemeine Staatslehre. Itulah sebabnya Georg Jellinek dianggap sebagai Bapak Ilmu Negara. Sementara itu, menurut Roelof Kranenburg, ilmu Negara adalah ilmu tentang negara, dimana diadakan penyelidikan tentang sifat hakikat, struktur, bentuk, asal mula, ciri-ciri serta seluruh persoalan di sekitar negara.
Berdasarkan pengertian tersebut objek dari ilmu negara adalah penyelidikan terhadap negara dalam keadaan terlepas dari tempat, keadaan, dan waktu sehingga objek ilmu negara adalah negara dalam pengertian yang abstrak, umum, dan universal. Sebagai sebuah ilmu pengetahuan, ilmu negara pada hakikatnya bertautan erat dengan berbagai ilmu-ilmu lainnya. Salah satu yang memiliki relasi kuat dengan ilmu negara adalah hukum tata negara, selain juga ilmu politik, dan ilmu-ilmu lain yang objek kajiannya negara.
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan kembali tentang konsep ilmu negara yang meliputi istilah, pengertian lingkup objek kajian ilmu negara, serta hubungannya dengan mata kuliah lain. Secara khusus, mengenai istilah dan pengertian ilmu negara, Anda dapat menjelaskan kembali berbagai pendapat/pandangan para ahli ilmu negara. Untuk mempermudah pemahaman Anda terhadap konsep ilmu negara, modul ini terbagi dalam 2 (dua) kegiatan belajar sebagai berikut:
1. Kegiatan Belajar 1: membicarakan mengenai: istilah, objek ilmu negara, dan ruang lingkup ilmu negara; dan
2. Kegiatan Belajar 2: membicarakan mengenai hubungan ilmu negara dengan ilmu politik, hukum tata negara, dan hukum konstitusi.


Kegiatan Belajar 1
Istilah, Objek Ilmu Negara, dan Ruang
Lingkup Ilmu Negara
A. PENGERTIAN DAN ISTILAH ILMU NEGARA
Timbulnya ilmu negara dimulai saat berkobarnya api revolusi sejak Proklamasi 17 Agustus 1945. Namun, dalam ilmu pengetahuan mengenai negara ini belum bisa dibentuk ilmu pengetahuan yang berkembang sendiri. Sehingga masih sangat dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan yang berasal dari Eropa yang bersumber dari zaman Yunani. Timbulnya ilmu negara di Eropa Barat karena adanya keperluan-keperluan praktik, yaitu sebelum zaman Bismarck atau dalam pemerintahan Caesar Wilhelm II di Jerman yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari sendi-sendi pokok dan pengertian-pengertian pokok tentang negara. Pada waktu itu timbul suatu mazhab yang disebut Aliran Hukum Publik Jerman (deustsche publizisten schule) yang khusus menyelidiki sifat-sifat hukum publik. Tentang pengaruh mazhab ini terhadap perkembangan ilmu negara, dikemukakan oleh Paul Laband dan Von Gerber (Wahjono, 1962: 1-5).
Secara terminologi bahasa, ilmu negara terdiri dari dua gabungan kata, yakni ilmu dan negara. Ilmu berarti suatu sistem pengetahuan (supernatural, knowledge, esoteric wisdom, science), sedangkan pengertian negara dirumuskan juga dalam berbagai definisi, seperti dikemukakan oleh para ahli pikir, yaitu (Naning, 1983: 1-2):
1. Aristoteles, negara (polis) ialah persekutuan dari keluarga dan desa untuk mencapai kehidupan yang sebaik-baiknya.
2. Jean Bodin, negara ialah suatu persekutuan dari keluarga-keluarga dengan segala kepentingannya yang dipimpin oleh suatu kekuasaan yang berdaulat.
3. Hans Kelsen, negara ialah suatu susunan pergaulan hidup bersama dengan tata paksa.
4. Logeman, negara adalah suatu organisasi kemasyarakatan yang bertujuan dengan kekuasaannya mengatur serta menyelenggarakan suatu masyarakat.

Dalam kepustakaan, istilah ilmu negara berasal dari bahasa Belanda staatsleer yang diambil dari istilah bahasa Jerman staatslehre. Dalam Bahasa Inggris dipakai istilah Theory of State (Teori Negara), The General Theory of State (Teori Umum tentang Negara) atau Political Science (Teori Politik). Selanjutnya, dalam bahasa Perancis disebut Theorie d’etat (Teori Negara) (Atmadja, 2012: 1).
Istilah staat mempunyai sejarah sendiri. Istilah itu mula-mula dipergunakan dalam abad ke-15 di Eropa Barat. Anggapan umum yang diterima bahwa kata staat (state, etat) itu dialihkan dari kata bahasa Latin status atau statum (Isjawara, 1992: 90). Secara etimologis kata status itu dalam bahasa Latin Klasik adalah suatu istilah abstrak yang menunjukkan keadaan yang tegak dan tetap, atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap (Huda, 2010: 1).
Jika dalam praktiknya kata state itu dialihkan dari kata status maka dikenal doktrin yang pertama kali dari tulisan Niccolo Machiavelli. Dalam bukunya yang termasyhur The Prince, Machiavelli memulai kalimat-kalimat pertamanya dengan, “Semua negara (stati) dan bentuk-bentuk pemerintahan yang pernah ada dan yang sekarang menguasai manusia adalah republik atau kerajaan.” Machiavelli-lah yang memperkenalkan istilah lo stato dalam kepustakaan ilmu politik (Isjawara, 1992: 90).
Kata negara mempunyai dua arti. Pertama, negara adalah masyarakat atau wilayah yang merupakan satu kesatuan politis. Dalam arti ini India, Korea Selatan, atau Brazilia merupakan negara. Kedua, negara adalah lembaga pusat yang menjamin kesatuan politis itu, yang menata dan dengan demikian menguasai wilayah itu (Suseno, 1990: 170). Sementara itu, dalam ilmu politik, istilah negara adalah agency (alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan menerbitkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat (Suseno, 1990: 38).
Istilah ilmu negara diambil dari istilah bahasa Belanda staatsleer yang diambil dari istilah bahasa Jerman, staatslehre. Di dalam bahasa Inggris disebut Theory of State atau The General Theory of State atau Political Theory, sedangkan dalam bahasa Prancis dinamakan Theorie d'etat (Basah, 1994: 3). Timbulnya istilah ilmu negara atau staatslehre sebagai istilah adalah sebagai akibat dari penyelidikan dari seorang Sarjana Jerman bernama Georg Jellinek dalam bukunya Allgemeine Staatslehre (Jellinek, 1905). Itulah sebabnya Georg Jellinek dianggap sebagai Bapak Ilmu Negara. Sebutan bapak dalam salah satu cabang ilmu pengetahuan adalah untuk menunjukkan bahwa orang itulah yang pertama-tama dapat melihat cabang ilmu pengetahuan itu sebagai satu kesatuan, keseluruhan, dan sistematik (Busroh, 2001: 4-5). Ilmu negara adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki asas-asas pokok dan pengertian-pengertian pokok tentang negara dan hukum tata negara (Huda, 2010: 2). Di Indonesia, istilah ilmu negara pertama kali digunakan oleh Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 1946. Walaupun pada mulanya terdapat perbedaan pandangan mengenai penggunaan istilah ilmu negara, tetapi pada akhirnya disepakati penggunaannya.
Ilmu negara adalah ilmu yang menyelidiki pengertian pokok dan sendisendi pokok dari negara dan hukum negara pada umumnya. Maksud perkataan pengertian yaitu menitikberatkan kepada suatu pengetahuan, sedangkan maksud dari sendi adalah menitikberatkan kepada suatu asas atau kebenaran (Huda, 2010: 8). Menurut Roelof Kranenburg, ilmu negara adalah ilmu tentang negara, dimana diadakan penyelidikan tentang sifat hakikat, struktur, bentuk, asal mula, ciri-ciri serta seluruh persoalan di sekitar negara (Roelof Kranenburg, 1953: 9). Lebih lanjut, Hermann Heller dalam bukunya Staatslehre lebih menitikberatkan pengertian ilmu negara dari sesuatu Negara yang lebih menyesuaikan dirinya dengan perkembangan dan mempunyai ciri-ciri khusus yang mungkin tidak dimiliki oleh negara-negara lain (Koesnardi dan. Saragih, 1995: 38). Dalam pandangan Soehino, ilmu negara adalah ilmu yang menyelidiki atau membicarakan negara, ini telah nyata ditunjukkan sendiri oleh namanya (Koesnardi dan Saragih, 1995: 1) C.S.T Kansil lebih berfokus bahwa ilmu negara adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki/mempelajari sendi (asas-asas pokok) dan pengertian tentang negara (Kansil dan Kansil, 2007: 2). Hal tersebut senada dengan Moh. Koesnardi yang menyebut sebagai ilmu pengetahuan yang menyelidiki asas-asas pokok dan pengertian pokok tentang negara dan hukum tata negara (Koesnardi, 1985: 7).

B. OBJEK ILMU NEGARA
Obyek atau lapangan pembicaraan ilmu negara adalah negara. Ilmu yang mempelajari negara bukan hanya ilmu negara melainkan masih banyak ilmu pengetahuan lainnya yang juga membicarakan negara. Oleh karena itu, dalam menentukan obyek ilmu negara ini pertama-tama harus diketahui terlebih dahulu ilmu-ilmu yang manakah yang mempunyai hubungan erat dengan ilmu negara bertalian dengan obyeknya itu. Bahwa yang memiliki hubungan erat dengan ilmu negara adalah hukum tata negara dan hukum pemerintahan (Soehino, 1998: 6).
Apakah sebabnya antara ilmu-ilmu tersebut terdapat hubungan yang erat satu sama lain? Sebabnya ialah karena ilmu-ilmu tersebut mempunyai obyek yang sama, yaitu Negara. Kalau demikian, lalu apakah bedanya? Perbedaan sesungguhnya hanya terletak pada sudut pandangan daripada masing-masing ilmu itu. Adapun perbedaan tersebut secara singkat adalah: di suatu pihak yaitu Hukum Tata Negara dan Hukum Tata Pemerintahan memandang obyeknya, yaitu negara, dari sifatnya atau pengertiannya yang konkret, artinya obyeknya itu sudah terikat pada tempat, keadaan, dan waktu, jadi telah mempunyai ajektif yang tertentu, misalnya negara Republik Indonesia, negara Inggris, negara Jepang, dan seterusnya. Kemudian, dari negara dalam pengertiannya yang konkret itu diselidiki atau dibicarakan lebih lanjut susunannya, alat-alat perlengkapannya, wewenang serta kewajiban daripada alat-alat perlengkapan tersebut, dan seterusnya (Soehino, 1998: 6).
Sementara itu, ilmu negara memandang obyeknya itu, yaitu negara dari sifat atau dari pengertiannya yang abstrak. Artinya obyeknya itu dalam keadaan terlepas dari tempat, keadaan, dan waktu, jadi tegasnya belum mempunyai afektif tertentu, bersifat abstrak-umum-universal. Dari obyeknya yang bersifat demikian itu, yang kemudian dibicarakan lebih lanjut adalah: kapankah sesuatu itu dinamakan negara, kapan tidak, lalu apakah yang disebut negara itu, hakikatnya itu apa, dan seterusnya. Dari obyeknya itu tadi, yaitu negara dalam pengertiannya abstrak, yang diselidiki lebih lanjut adalah: (1) Asal mula negara; (2) Hakikat negara; dan (3) Bentuk-bentuk negara dan pemerintah.
Ilmu negara adalah ilmu yang menyelidiki atau yang membicarakan tentang negara atau sendi-sendi pokok tentang negara (Atmadja, 2012: 3). Kranenburg dalam bukunya Algemeene Staatslehre menyatakan bahwa negara adalah buah penyelidikan ilmu negara (Naning, 1983: 2). Negara yang dimaksud adalah negara dalam keadaan terlepas dari tempat, keadaan, dan waktu. Selain itu, negara yang dimaksud belum memiliki adjektif tertentu. Dari batasan ini jelaslah bahwa obyek ilmu negara adalah negara dalam pengertian yang abstrak, umum, dan universal. Dari obyeknya yang bersifat demikian ini, ilmu negara mengkaji lebih lanjut mengenai asal mula negara, hakikat, dan bentuk negara pada umumnya, yang lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut (Soehino, 1998: 6-7):
1. Mengenai asal mula Negara, Asal mula yang dimaksud bukanlah asal mula terbentuknya suatu negara yang kongkrit seperti Negara Indonesia, Jepang ataupun yang lainnya akan tetapi asal mula atau terbentuknya sesuatu yang dinamakan negara, negara yang dalam pengertian umum-abstrak-universal. Jadi, tegasnya hal yang dinamakan negara itu adanya hanya dalam alam pikiran, dalam angan-angan, artinya kita memikirkan adanya sesuatu, sesuatu itu, kemudian diangkat dalam alam pikir, dan disinilah kita membayangkan adanya hal yang dinamakan negara itu.
2. Mengenai hakikat Negara, Hal yang dimaksud hakikat negara bukanlah hakikat negara tertentu, melainkan yang dimaksud adalah hakikat daripada hal yang dinamakan negara itu tadi. Apakah itu merupakan keluarga yang besar, atau merupakan suatu alat, atau wadah, atau organisasi, atau perkumpulan. Jadi, pokoknya hal atau sesuatu yang dinamakan negara itu hakikatnya apa. Dengan demikian, ini berarti memberikan sifat-sifat tertentu yang menentukan dan yang merupakan sifat-sifat pokok daripada hal yang dinamakan negara itu. Hal ini kira-kira dapat dijelaskan sebagai berikut, dalam ilmu pengetahuan Hukum Tata Negara kita masih ingat bahwa negara itu ada bila memenuhi syarat sebagai berikut: (a) Ada daerahnya yang tertentu; (b) Ada rakyatnya; dan (c) Ada pemerintahannya yang berdaulat. Kiranya semua syarat di atas bukanlah merupakan hakikat negara, tetapi ini merupakan syarat-syarat formal saja bagi sesuatu yang disebut negara, bukan merupakan syarat-syarat materialnya. Sebagai suatu perumpamaan, sebuah gedung misalnya, jadi di sini negara itu kita umpamakan sebagai sebuah gedung. Gedung itu kalau kita pikirkan,  kita pelajari, akan kita temukan ada lantai, tiang, dinding, pintu, atap, dan sebagainya. Ini semua sebetulnya merupakan bagianbagian saja daripada hal yang kita namakan gedung tadi, dan sudah barang tentu ini harus merupakan suatu kesatuan, suatu keutuhan. Sebab kalau bagian-bagian tadi hanya tertumpuk saja, jadi tidak ada sifat-sifat keteraturan dan kesatuannya, tentunya kita tidak dapat menyebutnya sebagai gedung. Demikian halnya dengan suatu negara.
3. Mengenai bentuk Negara, Hal yang dimaksud bukanlah bentuk negara tertentu saja atau yang sifatnya konkret. Ketika membicarakan bentuk-bentuk Negara berarti membicarakan tentang kemungkinan-kemungkinan bentuk yang diadakan oleh negara. Di dalam keanekaragaman tentang bentuk-bentuk negara itu, masih kita dapatkan persamaanpersamaannya sehingga tidak mengubah hakikat negara (Cholisin, 2007: 17-18).

Dengan beberapa uraian di atas, kiranya dapatlah diketahui bahwa obyek dari ilmu negara itu sama dengan obyek hukum tata negara dan obyek hukum tata pemerintahan, hanya sudut pandangnya yang berlainan. Ilmu negara memandang, menyelidiki, mempelajari obyeknya, yaitu negara, dalam pengertiannya yang abstrak-umum-universal, sedangkan kalau kedua ilmu lainnya itu tadi memandang, menyelidiki, mempelajari obyeknya, yaitu juga negara dalam pengertiannya yang konkret, yang tertentu. Di sinilah letak hubungan yang erat antara ilmu negara dan hukum tata negara dan hukum tata pemerintahan (Soehino, 1998: 8).
Dalam sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNESCO bertugas secara ilmiah untuk membahas tentang ilmu negara. UNESCO berusaha untuk memberikan sedikit bantuan pada usaha untuk menyeragamkan ilmu negara. Mula-mula diberikan istilah-istilah dalam bahasa Inggris yaitu staatswissenschaft dinamakan dengan General State Science yaitu suatu cabang ilmu pengetahuan yang mengenai negara pada umumnya (Padmo Wahjono, 1962: 44).
Allgemeine staatslehre dinamakan General State Law atau General State Theory. Akan tetapi usaha-usaha ini kemudian tak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Yang penting adalah adanya keseragaman mengenai obyeknya. Jawaban-jawaban dari berbagai negara digabungkan oleh UNESCO dan keseragamannya adalah mengenai objek yang menjadi peninjauan daripada Ilmu negara. Obyeknya digolongkan menjadi empat yaitu (Padmo Wahjono, 1962: 44):
1. Political Theory terdiri dari: (a) Political Theory dalam arti sempit; dan (b) History of Political Idea (Ini adalah sejarah dari gagasangagasan kenegaraan. Di sini termasuk segala teori-teori yang mengenai kenegaraan, baik yang dikemukakan oleh Rousseau, John Locke, Montesquieu, dan sebagainya).
2. Political Institution, yang dibagi menjadi enam, yaitu: (a) Constitution; (b) National Government; (c) Regional/Local Government; (d) Public Administration; (e) Comparative Political Institution; dan (f) Economic and Social Function of Government.
3. Yang mengenai penggolongan-penggolongan dalam masyarakat, yaitu: (a) Political Parties; (b) Groups/Associations; (c) Participation of the Citizen in the Government and the Administration; dan (d) Public Opinion.
4. International Relations (hubungan-hubungan internasional) yang dibagi menjadi 3 bagian yaitu: (a) International Polities; (b) International Organizations and Administrations; dan (c) International Law.

C. RUANG LINGKUP ILMU NEGARA
Ilmu negara sebagai suatu pengetahuan telah dikenal sejak zaman Yunani Purba. Ilmu negara menitikberatkan penyelidikannya kepada negara sebagai organisasi dalam pengertian umum (Busroh, 2001: 12). Georg Jellinek dalam Allgemeine Staatslehre membagi konsepsi ilmu negara menjadi sistematis, lengkap, dan teratur untuk menjelaskan ilmu tentang negara dengan menggunakan metode van systematesering (metode sistematika) dengan cara mengumpulkan semua bahan tentang ilmu negara yang ada mulai zaman kebudayaan Yunani sampai pada masanya sendiri (Kansil dan Kansil, 2007: 4-5). Dalam bukunya tersebut, Jellinek membagi ilmu kenegaraan menjadi dua bagian, yaitu (Busroh, 2001: 15):
1. Ilmu Negara dalam arti sempit (staatswissenschaften) Staatswissenschaften dalam arti sempit adalah staatswissenschaf dalam arti luas setelah dikurangi dengan rechtwissenshaften. Dalam arti ilmu pengetahuan mengenai negara ketika di dalam penyelidikannya menekankan pada negara sebagai obyeknya.
2. Ilmu Pengetahuan Hukum (rechtwissenschaften) Yang dimaksud dengan rechtwissenschaften adalah ilmu pengetahuan mengenai negara, tetapi di dalam hal ini penyelidikannya ditekankan pada segi hukum atau yuridis dari negara itu. Termasuk dalam rechtwissenschaft adalah hukum tata negara, hukum administrasi negara, hukum pidana, dan sebagainya.
Hal yang penting dalam pembagian Jellinek bagi ilmu negara adalah bagian yang pertama, yaitu ilmu kenegaraan dalam arti sempit. Kemudian staatswissenschaft (dalam pengertian yang sempit) ini dibagi lagi ke dalam tiga bagian, yaitu (Busroh, 2001: 16):
1. Beschreibende Staatswissenschaft Ilmu pengetahuan yang melukiskan atau menceritakan tentang Negara yaitu melukiskan hal unsur-unsur negara, aspek-aspek negara dan belum disistematisasi. Segala bahan-bahan yang menggambarkan tentang suatu negara tertentu atau negara pada umumnya, atau diberi nama lain Staatenkunde (Padmo Wahjono, 1962: 14). Sifat ilmu kenegaraan ini adalah deskriptif yang hanya menggambarkan dan menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hubungan dengan negara.
2. Theoritische Staatswissenschaft Ilmu kenegaraan ini dapat dikatakan melanjutkan kajian terhadap bahan-bahan yang dikumpulkan dan diidentifikasi oleh beschrebende staatswissenschaft dengan mengadakan analisis dan memilah mana yang mempunyai ciri-ciri khusus. Theorische staatswissenschaft melakukan penyusunan atas hasil-hasil penyelidikan dalam satu kesatuan yang teratur dan sistematis. Inilah ilmu kenegaraan yang sesungguhnya merupakan ilmu pengetahuan teoritis tentang Negara. Jadi, Theorische staatswissenschaft mengambil bahan-bahan dari beschrebende staatswissenschaft. Contohnya Sosiologi mengambil bahan-bahan dari Sosiografi suatu gejala masyarakat tertentu. Jadi, tidak mengenai seluruh lapangan ilmu. Bahan-bahan yang telah dikumpulkan tadi diolah, dianalisis, mana yang sama digolongkan, yang berbeda dipisahkan lalu diletakkan dalam suatu sistematika untuk dicari pengertianpengertian pokok dan sendi-sendi pokok (Padmo Wahjono, 1962: 15).
3. Angewandee Staatswissenschaft Angewandee Staatswissenschaft atau disebut juga Praktische Staatswissenschaft, dari teori-teori tersebut dengan sendirinya orang mempraktikkan ajaran-ajaran kenegaraan itu yang tercakup dalam Praktische Staatswissenschaft atau disebut juga dengan Ilmu Politik, akan tetapi dalam arti lain (Padmo Wahjono, 1962: 17). Ilmu kenegaraan ini dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan yang menerapkan teori-teori kenegaraan (theoretische staatswissenschaft) dalam pelajaran-pelajaran yang berguna untuk tujuan praktik.

Theorietische staatswissenschaft terbagi lagi dalam dua bagian: (1) Allgemeine Staatslehre, mengenai negara sebagai pengertian umum (genus); dan (2) Besondere Staatslehre, mengenai negara sebagai pengertian khusus (spesies) (Wahjono, 1962: 17). Berkenaan dengan allgemeine staatslehre terdapat suatu ajaran dari Jellinek yang disebut dengan zweiseiten theorie, yaitu suatu teori yang meninjau negara dari dua sudut, dari pandangan sosiologis dan pandangan yuridis. Timbulnya teori ini karena suatu negara itu merupakan bangunan hukum yang juga merupakan bangunan masyarakat. Sebagai bangunan hukum ditinjau secara yuridis, sedangkan sebagai bangunan masyarakat ditinjau dari segi sosiologis. Dari teori tersebut maka dalam allgeimeine staatslehre timbul dua ilmu, yaitu: (1) Allgemeine staatsrechtlehre (teori-teori umum mengenai negara yang bersifat yuridis, bagian yang menunjuk pada segi yuridis); dan (2) Allgemeine soziale staatslehre (teori-teori umum mengenai negara yang bersifat sosial, yang menyelidiki negara sebagai gejala sosial, dan dapat disamakan dengan perkumpulan-perkumpulan sosial, menekankan pada sifat sosial negara tersebut atau bagian yang menunjuk pada segi sosial) (Kansil dan Kansil, 2007: 8).
Menurut Jellinek, pembahasan ilmu negara adalah termasuk dalam allgemeine staatslehre. Dimana bagian allgemeine soziale staatslehre membahas mengenai: (1) Teori sifat hakikat negara; (2) Teori mengenai pembenaran kekuasaan negara; (3) Teori terjadinya negara; (4) Teori tipe negara menurut tujuannya; dan (5) Teori tipe negara menurut sejarahnya (I Dewa Gede Atmadja, 2012: 11). Selain itu, bagian allgemeine staatslehre membahas mengenai: (1) Teori kedaulatan; (2) Teori unsur-unsur negara; (3) Teori fungsi negara; (4) Teori bentuk negara dan pemerintahan; (5) Teori konstitusi; Teori alat-alat perlengkapan negara; (6) Teori perwakilan; (7) Teori sendi-sendi pemerintahan; dan (8) Teori kerjasama antarnegara (Atmadja, 2012: 11). Secara sederhana pembagian di atas dapat dilihat pada berikut ini (Jellinek, 1905):
Sementara itu, Besondere Staatslehre, mengenai negara sebagai pengertian khusus (spesies) dibagi dalam (Soehino, 1998: 9):
1. Individuelle Staatslehre. Ini penyelidikannya ditujukan kepada suatu negara yang tertentu, yang konkret, jadi misalnya Negara Indonesia, Negara Inggris, dan sebagainya. Kemudian dari negara yang tertentu ini yang dipelajari lebih lanjut ialah lembaga-lembaga kenegaraannya, misalnya mempelajari: Badan Perwakilannya, Badang Pengadilannya, Kepala Negaranya, dan sebagainya.
2. Spezielle Staatslehre. Ini penyelidikannya ditujukan kepada Negara dalam pengertian umum, dan kemudian dari negara dalam pengertian yang umum ini yang dipelajari lebih lanjut ialah suatu lembaga kenegaraan yang khusus, spesial, misalnya mempelajari badan perwakilannya.

Kalau akan membandingkan antara ilmu negara yang individuell dengan ilmu negara yang spesial, yang kedua-duanya itu sifatnya adalah khusus, ialah bahwa negara yang individuell yang khusus itu adalah negaranya, jadi negaranya itulah yang tertentu, yang khusus. Sementara itu, kalau ilmu negara yang spesial yang khusus itu adalah lembaga kenegaraannya yang diselidiki itu (Soehino, 1998: 9). Sebagai contoh misalnya, kalau mempelajari badan perwakilan, kedudukan kepala negara dan sebagainya dari negara Indonesia ini adalah termasuk ilmu negara yang individuell. Kalau mempelajari badan perwakilan dari negara-negara: Indonesia, Inggris, Amerika Serikat, Swiss, Jerman, dan Jepang, misalnya ini termasuk ilmu negara spesial (Soehino, 1998: 10).
Merujuk dari bagan di atas terlihat bahwa ilmu negara merupakan bagian tidak terpisahkan dari ilmu kenegaraan (staatswissenchaft) yang kesemuanya berpangkal pada ilmu-ilmu sosial yang memiliki karakter empiris umum berdasarkan pemahaman makna jiwa dari ilmu (geisteswissenschaft) Grünewald, 2009). Secara sederhana tersirat bahwa ilmu negara berpangkal dari filsafat sebagai sumber dari segala ilmu. Namun, ada murid dari Jellinek yang tidak sepakat dengan Jellinek, bahkan ia mendirikan mazhab sendiri yang disebut Mazhab Wina (Austria) yang dipimpin oleh Hans Kelsen. Hans Kelsen tidak sepaham dengan pembagian Jelllinek mengenai peninjauan negara dari dua sudut. Menurut Hans Kelsen suatu ilmu pengetahuan harus memiliki syarat sebagai berikut: (1) Faktum der Wissenschaft (mempunyai lapangan ilmu pengetahuan itu sendiri); (2) Emanent der Wissenschaft (mempunyai peninjauan sendiri); dan (3) Autonomie der Wissenschaft (mempunyai sifat khusus yang tersendiri) (Wahjono, 1962: 1).
Hans Kelsen berpandangan bahwa sebenarnya negara itu sama dengan hukum atau dengan kata lain negara itu adalah penjelmaan daripada Tata Hukum. Karena negara merupakan penjelmaan dari Tata Hukum maka sifat satu-satunya dari peninjauan haruslah semata-mata yuridis saja. Jadi, tidak diperlukan peninjauan secara sosiologis. Kelsen mengatakan bahwa pendapat dari Jellinek itu adalah merupakan sincretimus atau campuran, atau metode campur baur dan ini sebenarnya tidak sesuai dengan syarat-syarat yang dikehendaki oleh ilmu pengetahuan. Hal yang benar adalah metode moniseus (Wahjono, 1962: 1).
Kelsen menyatakan negara sama dengan hukum. Karena negara itu menurut Kelsen merupakan penjelmaan dari pada Tata Hukum dan untuk Tata Hukum harus diadakan pula tingkatan hukum. Hukum yang lebih rendah dapat dikembalikan ke hukum yang lebih tinggi dan ke tingkat yang tertinggi sehingga dengan demikian dijumpai apa yang disebut Stufenbau des Recht (Wahjono, 1962: 21). Apakah paham Kelsen tersebut benar? Dalam hal ini harus melihat paham dari Herman Heller. Herman Heller berpendapat bahwa apabila berpegangan pada ajaran Kelsen ini maka ilmu negara menurut Kelsen ini terlalu abstrak, tidak konkret, seolah-olah tidak ada sangkut pautnya dengan negara sehingga Heller mengatakan bahwa paham Kelsen itu sebagai suatu ilmu negara tanpa negara, atau dalam bahasa Jerman disebut Staatslehre Ohne Staat (Wahjono, 1962: 21).
Hans Kelsen termasuk mazhab Wina, dan Herman Heller termasuk mazhab Politik Berlin. Dua orang tokoh lainnya yang masuk dalam mazhab Berlin adalah Carlschmitt dan Rudolf Smend. Sekarang lihat mengenai paham dari Herman Heller. Herman Heller menyangkal paham Kelsen dengan mengatakan bahwa ilmu negara Kelsen tanpa negara. Sekarang ia haruslah membuktikan bahwa negara itu adalah suatu yang konkret, suatu kenyataan. Di manakah letak kenyataan suatu negara? Heller mengatakan kenyataan dari negara itu terletak pada fungsinya. Kalau negara mempunyai fungsi maka nyatalah negara itu ada (Wahjono, 1962: 24-25). Negara menurut Heller merupakan territoriale gezagsorganisate artinya suatu organisasi kewibawaan yang mempunyai wilayah tertentu. Kemudian menjadi pertanyaan apa yang dimaksud dengan gezagsorganisate? Yang dimaksud dengan gezag adalah kewibawaan atau kekuasaan yang diakui. Sementara itu, yang dimaksud dengan organisasi adalah suatu kerja sama berdasarkan pembagian kerja yang tetap/langgeng. Pembagian kerja tersebut terdiri dari dua macam yaitu pembagian kerja secara vertikal dan pembagian kerja secara horisontal. Pembagian kerja secara vertikal lebih mengutamakan efisiensi, sedangkan pembagian kerja secara horizontal adalah membagi suatu tugas dari suatu jawatan dalam fungsi. Pembagian kerja vertikal ini dijumpai dalam organisasi yang terbesar yaitu negara. Sementara itu, yang terkecil adalah jabatan atau ambt (Wahjono, 1962: 26-27).
Kembali pada gezagsorganisate, jika ditekankan pada pengertian gezag maka menurut Herman Heller, gezag itu tak lain dan tak bukan adalah mengenai kewenangan atau kekuasaan untuk memutuskan secara tepat yang penting mengenai negara. Maka gezagsorganisate adalah suatu organisasi untuk memutuskan soal-soal yang penting mengenai negara. Organisasi untuk memutuskan itu dalam bahasa Jerman disebut dengan Entschei dungseiheit. Kalau ditekankan pada organisasi bahwa negara itu suatu organisasi kerja sama untuk mencapai tujuan-tujuan untuk kepentingan masyarakat, ini disebut wirkungseinheit, disinilah dapat dilihat dimana letak kenyataan daripada negara (Wahjono, 1962: 38).
Perlu dilihat pula perkembangan lain, yaitu perkembangan ilmu politik di Anglo Saxon dan Eropa Kontinental. Eropa Kontinental dan Anglo Saxon mempunyai tradisi yang berbeda, namun menjadi penting untuk dicari keseragamannya. Salah satu usaha yang dilakukan oleh sarjana Eropa Kontinental yang bernama Nawiasky adalah Nawiasky berusaha untuk mendekati peninjauan Anglo Saxon dengan maksud melengkapi pandangan Jellinek yaitu menjadi tiga segi. Dimana, negara mula-mula dianggapnya sebagai suatu ide atau gagasan (staats als ide), kemudian negara dipandangnya sebagai bangunan masyarakat (staat als sociale institut) dan akhirnya negara dipandang sebagai bangunan hukum (staats als rechsinstellingen) sehingga dijumpai: (1) Staats ideen lehre; (2) Staats Gessellschaft lehre; dan (3) Staats recht lehre (Wahjono, 1962: 40-41). Jadi, di dalam staatsideenlehre yang dimaksud adalah ajaran yang membahas tentang pendapat-pendapat sarjana-sarjana mengenai hal yang dinamakan negara. Jadi, ini adalah mengenai teori-teori politik atau political theory. Dan dalam staatgesellschaft lehre tak banyak berbeda dengan pandangan Jellinek dan Hans Kelsen (Wahjono, 1962: 40-41).
Dalam pandangan Anglo Saxon sebagai imbangan dari peninjauan di Eropa Kontinental, di Amerika Serikat dan Inggris ilmu yang mengenai negara disebut dengan political science yang secara etimologis atau melihat asal katanya, yaitu mula-mula adanya istilah polis atau politeia. Tapi, cara peninjauan itu jauh berbeda dari peninjauan Eropa Kontinental (Wahjono, 1962: 40-41). Akibatnya, sifat ilmu negara menurut Eropa Kontinental bersifat historis, yuridis, dan filosofis. Di Eropa Kontinental dijumpai ahliahli yang membahas mengenai negara secara efisien, terutama dalam hal ini ahli hukum yang mempunyai suara terbanyak sehingga negara itu di Eropa Kontinental bagaimanapun tekanannya ada pada segi yuridis, walaupun Heller berasal dari mazhab Politik Berlin yang berbeda, di Amerika dan Inggris, dimana peninjauannya dijalankan oleh ahli-ahli political science yang oleh Eropa Kontinental disebut sebagai ahli sosiologi sehingga biasa dikatakan bahwa peninjauan Eropa Kontinental itu adalah menangani struktur atas (theory) daripada negara. Sementara itu, peninjauan Anglo Saxon lebih menekankan pada struktur bawah (power). Hal yang dimaksudkan dengan struktur bawah adalah bangunan negara itu di dalam kenyataannya sebagai gejala masyarakat. Sementara itu, kalau dilihat struktur atas yang dimaksudkan adalah melihat rangka dasar dari negara itu (Wahjono, 1962: 42).
Rangka dasar yang dimaksud adalah abstraksi dari pada kenyataan yang ada. Jadi, kalau peninjauan negara secara sosiologis (sosiologisch beschouwing) ini lebih mengenai kenyataan daripada negara. Oleh karena itu, sarjana-sarjana di Eropa Kontinental menganggap bahwa peninjauan political science di Anglo Saxon merupakan sosiologi khusus mengenai negara (sosiologie van de staat) (Wahjono, 1962: 42). Selanjutnya, perlu diketahui pula tentang metode dan sistematika yang diterapkan oleh Mac Iver. Metode atau cara bekerja Mac Iver ialah bersandarkan sejarah dan perbandingan (historisch vergelijkend, history comparative). Kalau dihubungkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan di Amerika maka history comparative merupakan fase kedua. Metode kedua adalah menggunakan bahan-bahan dari hasil penyelidikan ilmu pengetahuan lainnya (Djokosutono, 1958: 39).
Metode Mac Iver yang pertama historisch vergelijkend adalah apa yang dimaksud dengan in het heden light het verleden, in het nu wat komen zal. Bagaimana dulu dan bagaimana sekarang. Vergelijkend maksudnya adalah memperbandingkan keadaan di Perancis, di Inggris, di Jerman, dan lain sebagainya (Djokosutono, 1958: 39). Metode Mac Iver yang kedua adalah menggunakan bahan-bahan dari lapangan ilmu pengetahuan lainnya seperti sosiologi, ekonomi, psikologi, etnologi, dan sebagainya. Ini sesuai dengan tuntutan ilmu pengetahuan modern (Djokosutono, 1958: 39). Dalam bukunya The Web of Government, Mac Iver membicarakan tentang timbulnya negara, the emergence of government. Mengapa Mac Iver memakai istilah government dan tidak state? Oleh karena ada hubungan erat antara government dan state. Government mewakili negara, de belichaming van de staat. De staat is een abstract begrip. Hal yang bertindak adalah manusia.
Pemerintah adalah alat negara, organ negara. Mac Iver memulai uraiannya dengan membicarakan terjadinya negara karena sifatnya historisch evolutionair (Djokosutono, 1958: 43).
Bagian kedua mengenai the bases of authority yang berarti sandaran atau dasar daripada kewibawaan, de grondslag van het gezag. Bagian ketiga membicarakan the form of government. Hal yang menarik adalah Mac Iver mengatakan the form of government bukan the form of state. Ini tidak berarti dia hanya mengupas tentang bentuk pemerintahan saja sedang bentuk negara diabaikan. Kedua-duanya dibicarakan, perlu diketahui bahwa di Amerika, pemerintahan hampir sinonim dengan negara. Jadi, dalam pengertian “government” dari Mac Iver itu sudah tersimpul arti negara (Djokosutono, 1958: 43).
Apakah beda bentuk negara dan beda bentuk pemerintahan? Bentuk negara ialah mengenai negara sebagai ganzheit, negara sebagai keseluruhan, negara sebagai kesatuan, negara dilihat dari luar. Ini termasuk allgemeine soziale staatslehre. Bentuk pemerintahan adalah mengenai struktur negara, mengenai staatsinstellingen, negara dilihat dari dalam. Misalnya cara hubungan pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Ini termasuk allgemeine staatsrechtslehre. Selanjutnya, bagian keempat dari the web of government adalah the transformation of government. Mac Iver mengupas tentang sebabnya timbul perubahan pemerintahan yaitu oleh revolusi, kudeta, atau putsch. Bagian terakhir dari buku tersebut adalah transformation of function mengenai political philosophy. Mengapa Mac Iver membicarakan hal tersebut di bagian akhir? Hal tersebut karena Mac Iver menganggap negara adalah sekunder. Hal yang primer adalah masyarakat. Negara adalah alat masyarakat. The state is an instrument of social men (Djokosutono, 1958: 50-53).

LATIHAN
1. Jelaskan pendapat para ahli dalam mendefinisikan ilmu negara?
2. Jelaskan obyek ilmu negara!
3. Jelaskan pembagian ilmu kenegaraan menurut Georg Jellinek!
4. Jelaskan bagian yang dibahas dalam allgemeine staatslehre menurut Georg Jellinek!
5. Jelaskan keterkaitan ilmu negara dengan filsafat!

Petunjuk jawaban latihan!
1. Menurut Roelof Kranenburg, Ilmu Negara adalah ilmu tentang negara, dimana diadakan penyelidikan tentang sifat hakikat, struktur, bentuk, asal mula, ciri-ciri serta seluruh persoalan di sekitar negara. Lebih lanjut, Hermann Heller dalam bukunya Staatslehre lebih menitikberatkan pengertian ilmu negara dari sesuatu negara yang lebih menyesuaikan dirinya dengan perkembangan dan mempunyai ciri-ciri khusus yang mungkin tidak dimiliki oleh negara-negara lain. Dalam pandangan Soehino, ilmu negara adalah ilmu yang menyelidiki atau membicarakan negara, ini telah nyata ditunjukkan sendiri oleh namanya. C.S.T Kansil lebih berfokus bahwa ilmu negara adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki/mempelajari sendi (asas-asas pokok) dan pengertian tentang negara. Hal tersebut senada dengan Moh. Koesnardi yang menyebut sebagai ilmu pengetahuan yang menyelidiki asas-asas pokok dan pengertian pokok tentang negara dan hukum tata negara.
2. Obyek dari ilmu negara adalah mengkaji lebih lanjut mengenai asal mula negara, hakikat, dan bentuk negara pada umumnya.
3. Jellinek membagi ilmu kenegaraan menjadi dua bagian, yaitu: (1) Ilmu negara dalam arti sempit (staatswissenschaften); dan (2) Ilmu pengetahuan hukum (rechtwissenschaften).
4. Allgemeine staatslehre membahas mengenai: (1) Teori kedaulatan; (2) Teori unsur-unsur negara; (3) Teori fungsi negara; (4) Teori bentuk negara dan pemerintahan; (5) Teori konstitusi; Teori alat-alat perlengkapan negara; (6) Teori perwakilan; (7) Teori sendi-sendi pemerintahan; dan (8) Teori kerjasama antarnegara.
5. Menurut klasifikasi konsepsi ilmu negara menurut Jellinek, ilmu negara merupakan bagian tidak terpisahkan dari ilmu kenegaraan (staatswissenchaft) yang kesemuanya berpangkal pada ilmu-ilmu sosial yang memiliki karakter empiris umum berdasarkan pemahaman makna jiwa dari ilmu (geisteswissenschaft). Secara sederhana tersirat bahwa ilmu negara berpangkal dari filsafat sebagai sumber dari segala ilmu.


R A N G K U M A N
Istilah Ilmu negara berasal dari Belanda staatsleer yang diambil dari istilah bahasa Jerman staatslehre hasil dari penyelidikan dari seorang Sarjana Jerman bernama Georg Jellinek dalam bukunya Allgemeine Staatslehre. Itulah sebabnya Georg Jellinek dianggap sebagai Bapak Ilmu Negara. Sebutan bapak dalam salah satu cabang ilmu pengetahuan adalah untuk menunjukkan bahwa orang itulah yang pertama-tama dapat melihat cabang ilmu pengetahuan itu sebagai satu kesatuan, keseluruhan, dan sistematik.
Di Indonesia, istilah ilmu negara pertama kali digunakan oleh Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 1946. Walaupun pada mulanya terdapat perbedaan pandangan mengenai penggunaan istilah ilmu negara, tetapi pada akhirnya disepakati penggunaannya. ilmu negara adalah ilmu yang menyelidiki pengertian pokok dan sendi-sendi pokok daripada negara dan hukum negara pada umumnya. Maksud perkataan pengertian, yaitu menitikberatkan kepada suatu pengetahuan, sedangkan maksud dari pada sendi adalah menitikberatkan kepada suatu asas atau kebenaran. Menurut Roelof Kranenburg, ilmu negara adalah ilmu tentang negara, dimana diadakan penyelidikan tentang sifat hakikat, struktur, bentuk, asal mula, ciri-ciri serta seluruh persoalan di sekitar negara.
Objek dari ilmu negara adalah penyelidikan terhadap negara. Negara yang dimaksud adalah negara dalam keadaan terlepas dari tempat, keadaan, dan waktu sehingga obyek ilmu negara adalah negara dalam pengertian yang abstrak, umum, dan universal. Ilmu negara mengkaji lebih lanjut mengenai asal mula negara, hakikat, dan bentuk negara pada umumnya.
Georg Jellinek dalam allgemeine staatslehre membagi konsepsi ilmu negara menjadi sistematis, lengkap, dan teratur untuk menjelaskan ilmu tentang negara dengan menggunakan metode van systematesering (metode sistematika) dengan cara mengumpulkan semua bahan tentang ilmu negara yang ada mulai zaman kebudayaan Yunani sampai pada masanya sendiri. Dalam bukunya tersebut, Jellinek membagi ilmu kenegaraan menjadi dua bagian, yaitu: (1) Ilmu negara dalam arti sempit (staatswissenschaften); dan (2) Ilmu Pengetahuan Hukum (rechtwissenschaften). Merujuk dari klasifikasi yang dibuat oleh Jellinek, terlihat bahwa ilmu negara merupakan bagian tidak terpisahkan dari ilmu kenegaraan (staatswissenchaft) yang kesemuanya berpangkal pada ilmu-ilmu sosial yang memiliki karakter empiris umum berdasarkan pemahaman makna jiwa dari ilmu (geisteswissenschaft). Secara sederhana tersirat bahwa ilmu negara berpangkal dari filsafat sebagai sumber dari segala ilmu.
Kemudian staatswissenschaft (dalam pengertian yang sempit) ini dibagi lagi ke dalam tiga bagian, yaitu beschreibende staatswissenschaft (ilmu pengetahuan yang melukiskan atau menceritakan tentang negara); Theoritische staatswissenschaft (ilmu kenegaraan ini dapat dikatakan melanjutkan kajian terhadap bahan-bahan yang dikumpulkan dan diidentifikasi oleh beschrebende staatswissenschaft dengan mengadakan analisis dan memilah mana yang mempunyai ciri-ciri khusus); Angewandee staatswissenschaft (ilmu kenegaraan ini dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan yang menerapkan teori-teori kenegaraan).
Theorietische staatswissenschaft terbagi lagi dalam dua bagian: (1) Allgemeine staatslehre, mengenai negara sebagai pengertian umum (genus); dan (2) Besondere staatslehre, mengenai negara sebagai pengertian khusus (spesies). Dalam allgeimeine staatslehre timbul dua ilmu, yaitu allgemeine staatsrechtlehre dan allgemeine soziale staatslehre. Sementara itu, besondere staatslehre, mengenai negara sebagai pengertian khusus (spesies) dibagi dalam: individuelle staatslehre dan spezielle staatslehre.
Sistematika ilmu negara selain sistematika Georg Jellinek antara lain terdiri dari mazhab Wina dan mazhab Politik Berlin. Mazhab Wina (Austria) yang dipimpin oleh Hans Kelsen. Hans Kelsen tidak sepaham dengan pembagian Jelllinek mengenai peninjauan negara dari dua sudut, yang dianggap tidak sesuai dengan syarat-syarat yang dikehendaki oleh ilmu pengetahuan dan yang benar adalah metode moniseus. Kelsen menyatakan negara sama dengan hukum. Karena itu harus diadakan pula tingkatan hukum, yang disebut stufenbouw des recht.
Mazhab Politik Berlin dipimpin oleh Herman Heller. Herman Heller menyangkal paham Kelsen dengan mengatakan bahwa ilmu negara Kelsen itu tanpa negara. Sekarang ia haruslah membuktikan bahwa negara itu adalah suatu yang konkret, suatu kenyataan. Heller mengatakan kenyataan dari negara itu terletak pada fungsinya. Kalau negara mempunyai fungsi maka nyatalah negara itu ada. Negara menurut Heller merupakan territoriale gezagsorganisate artinya suatu organisasi kewibawaan yang mempunyai wilayah tertentu.
Perlu dilihat pula perkembangan lain, yaitu perkembangan ilmu politik di Anglo Saxon dan Eropa Kontinental. Sifat Ilmu Negara menurut Eropa Kontinental bersifat historis, yuridis, dan filosofis. Sementara itu, peninjauan Anglo Saxon lebih menekankan pada struktur bawah (power) atau peninjauan negara secara sosiologis (sosiologisch beschouwing).
Selanjutnya, perlu diketahui pula tentang metode dan sistematika yang diterapkan oleh Mac Iver. Metode atau cara bekerja Mac Iver ialah bersandarkan sejarah dan perbandingan (historisch vergelijkend, history comparative). Dalam bukunya The Web of Government, Mac Iver memakai istilah government dan bukan state karena government merupakan wakil dari negara. Mac Iver menganggap negara adalah sekunder. Negara adalah alat masyarakat. The state is an instrument of social men.
Kegiatan Belajar 2
Hubungan Ilmu Negara Dengan Hukum Tata
Negara, Ilmu Politik, dan Disiplin Ilmu
Lainnya
A. ILMU NEGARA DAN HUKUM TATA NEGARA
Sebagai sebuah ilmu pengetahuan, ilmu negara pada hakikatnya bertautan erat dengan berbagai ilmu-ilmu lainnya. Salah satu yang memiliki relasi kuat dengan ilmu negara adalah hukum tata negara. Meskipun ilmu negara dan hukum tata negara memiliki hubungan dan pengaruh satu sama lain, namun terdapat perbedaan di antara keduanya. Ilmu negara menganggap negara sebagai obyek penyelidikannya yang meliputi asal mula, sifat hakikat, dan bentuk-bentuk negara. Pembahasan dalam ilmu negara menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat umum, abstrak, universal, dan mengesampingkan atau mengabaikan sifat-sifat khusus dari negara. Jadi, negara sebagai obyek yang dimaksud adalah dalam keadaan terlepas dari keadaan tempat, keadaan, dan waktu (Soehino, 1998: 6).
Timbulnya Ilmu Negara dimulai saat berkobarnya api revolusi sejak Proklamasi 17 Agustus 1945. Namun, dalam ilmu pengetahuan mengenai negara ini belum bisa dibentuk ilmu pengetahuan yang berkembang sendiri. Oleh karena itu, masih sangat dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan yang berasal dari Eropa yang bersumber dari zaman Yunani. Timbulnya Ilmu Negara di Eropa Barat karena adanya keperluan-keperluan praktik, yaitu sebelum zaman Bismarck atau dalam pemerintahan Caesar Wilhelm II di Jerman. Yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari sendi-sendi pokok dan pengertian-pengertian pokok tentang negara. Pada waktu itu timbul suatu mazhab yang disebut Aliran Hukum Publik Jerman (deustsche publizisten schule) yang khusus menyelidiki sifat-sifat hukum publik tentang pengaruh mazhab ini terhadap ilmu negara dalam perkembangannya.
Sementara itu, hukum tata negara juga menganggap negara sebagai objeknya. Jika ilmu negara membahas hal-hal yang mendasar dari negara sehingga sifatnya umum, abstrak, dan universal maka kajian lebih lanjut mengenai negara dalam arti spesifik dan konkret ada pada hukum tata negara.
Berbeda dengan ilmu negara, hukum tata negara bersifat spesifik karena menyelidiki dan membahas negara-negara tertentu. Misalnya, Hukum Tata Negara Indonesia, Hukum Tata Negara Amerika Serikat, dan sebagainya. Di sini objeknya sudah pasti yakni negara tertentu (Naning, 1983: 3). Jadi, jika ilmu negara menyelidiki, mengumpul, menyusun dan memperoleh pengertian mengenai negara pada umumnya, dengan obyeknya negara dalam pengertian yang umum dan abstrak maka hukum tata negara terbatas pada bidang hukum dengan batasannya dalam suatu negara tertentu saja dengan pengertian dan pembahasan yang konkret (Soehino, 1998: 8).
Dalam hal ini ilmu negara yang merupakan ilmu pengetahuan yang menyelidiki pengertian-pengertian pokok dan sendi-sendi pokok negara dapat memberikan dasar-dasar teoritis yang bersifat umum untuk hukum tata negara. Oleh karena itu, agar dapat mengerti dengan sebaik-baiknya dan sedalam-dalamnya sistem hukum ketatanegaraan sesuatu negara tertentu, sudah sewajarnyalah harus terlebih dahulu memiliki pengetahuan segala hal ikhwalnya secara umum tentang negara yang didapat dalam ilmu negara (Huda, 2010: 1).
Dengan demikian, tampak bahwa ilmu negara merupakan sebuah pelajaran pengantar dan ilmu dasar pokok bagi pelajaran hukum tata negara, karenanya hukum tata negara tidak dapat dipelajari secara ilmiah dan teratur sebelum terlebih dahulu dipelajari pengetahuan tentang pengertian-pengertian pokok dan sendi-sendi pokok daripada negara umumnya (Huda, 2010: 8).
Ilmu negara dapat memberikan dasar-dasar teoritis untuk hukum tata negara yang positif. Hukum tata negara merupakan penerapan atau pelarasan di dalam kenyataan-kenyataan konkret dari bahan-bahan teoritis yang dihasilkan oleh ilmu negara. Karenanya ilmu hukum tata negara itu mempunyai sifat praktis applied science yang bahan-bahannya diselidiki, dikumpulkan, dan disediakan oleh pure science ilmu negara (Huda, 2010: 8).
Dari perbedaan tersebut dapat ditarik garis merah bahwa ilmu negara dan hukum tata negara saling menjelaskan dan mempengaruhi. Adanya ilmu negara memberi dasar teoritis kepada hukum tata negara. Sebaliknya hukum tata negara merupakan penerapan atau konkretisasi dari bahan-bahan teoritis yang dihasilkan oleh ilmu negara. Dengan demikian, ilmu negara merupakan syarat terpenting dan merupakan dasar dalam mempelajari hukum tata negara. Hukum tata negara tidak dapat dipelajari secara ilmiah sebelum terlebih dahulu dipelajari pengertian pokok dan sendi pokok daripada negara umumnya (Huda, 2010: 8). Hal ini merupakan letak relasi antara ilmu negara dan hukum tata negara.
Selanjutnya, bagaimanakah jika sistematika ilmu negara Georg Jellinek ini akan diterapkan? Dalam suatu kurikulum biasanya telah ada ilmu-ilmu lain yang berobyek negara, yang salah satunya adalah hukum tata negara tersebut dan hukum tata pemerintahan. Dalam hal ini perlu diperhatikan adalah perbedaannya tadi, antara ilmu negara dengan ilmu hukum tata negara dan hukum tata pemerintahan. Dengan demikian kedua ilmu, yaitu hukum tata negara dan hukum pemerintahan sifatnya akan lebih mendekati pada ilmu negara yang individuell dalam sistematika Georg Jellinek. Dalam arti bahwa yang diselidiki atau yang dipelajari itu bukan negara dalam pengertian yang umum, tetapi penyelidikannya itu ditujukan kepada negara yang tertentu, jadi misalnya menyelidiki, mempelajari, atau membicarakan hukum tata negara Indonesia (Soehino, 1998: 10).
Sementara itu, kalau ilmu negara itu sifatnya lebih mendekati ilmu negara yang spezielle dalam sistematika Georg Jellinek. Dalam arti bahwa yang diselidiki, yang dipelajari atau yang dibicarakan adalah negara dalam pengertian yang umum. Jadi, pertama-tama harus mengetahui terlebih dahulu hal yang dinamakan negara itu, hakikatnya apa, dan bagaimana terjadinya negara itu. Jadi, objeknya itu sifatnya abstrak. Maka, kalau ilmu negara yang dipelajari sekarang ini dimasukkan dalam sistematika Georg Jellinek termasuk dalam ilmu negara yang spezielle (Soehino, 1998: 10).

B. ILMU NEGARA DENGAN ILMU POLITIK
Ilmu negara juga memiliki keterkaitan dengan ilmu politik. Jika ilmu negara dan hukum tata negara menyelidiki kerangka yuridis negara maka ilmu politik menyelidiki bagian yang ada di luar kerangka itu. Ini kemudian dipertegas oleh seorang ahli politik bernama Hoetink yang menyebut ilmu politik adalah sosiologi negara (Soehino, 1998: 6). Ilmu negara dan hukum tata negara menyelidiki kerangka yuridis daripada negara, sedangkan ilmu politik menyelidiki bagiannya yang ada di sekitar kerangka itu (Huda, 2010: 6). Dengan penggambaran seperti itu, Hoetink ingin menunjukkan bahwa ada hubungan yang sangat erat antara ilmu negara dengan ilmu politik, oleh karena kedua-duanya mempunyai objek penyelidikan yang sama yaitu negara, hanya bedanya terletak pada metode yang dipergunakan (Huda, 2010: 6). Ilmu negara mempergunakan metode yuridis sedangkan ilmu politik mempergunakan metode sosiologis (Huda, 2010: 6). Perbedaan ilmu negara dan ilmu politik terletak pada aspek perhatiannya yang menurut pandangan beberapa sarjana, meliputi (Huda, 2010: 7):
1. Ilmu negara mempergunakan metode atau pendekatan yuridis, sedangkan ilmu politik mempergunakan metode sosiologis, yakni dengan memperhatikan faktor-faktor sosial atau sosiologis dan kemasyarakatan lainnya. Dilihat dari metodologi yang digunakan, ilmu negara lebih tajam konsep-konsepnya, tetapi ilmu politik dianggap lebih konkret dan mendekati realitas.
2. Ilmu negara merupakan ilmu yang bersifat teoritis dan sangat mementingkan segi normatif karena itu kurang dinamis, sedangkan ilmu politik adalah ilmu pengetahuan praktis yang ingin membahas keadaan dalam kenyataan menekankan pada faktor-faktor yang konkret terutama berpusat pada gejala-gejala kekuasaan, baik mengenai organisasi negara maupun yang mempengaruhi pelaksanaan tugas-tugas negara. Oleh karena itu, ilmu politik lebih bersifat dinamis dan hidup.

Selanjutnya, perbedaan antara ilmu negara dengan ilmu politik adalah bahwa ilmu negara menitikberatkan pada sifat-sifat teoritis tentang asas-asas pokok dan pengertian-pengertian pokok tentang negara, karena itu, kurang dinamis. Sementara itu, ilmu politik lebih menitikberatkan kepada factor faktor yang konkret terutama berpusat kepada gejala-gejala kekuasaan baik mengenai organisasi negara maupun yang mempengaruhi pelaksanaan tugas tugas negara. Oleh karena itu, lebih dinamis dan hidup (Basah, 1994: 35-36).
Berkaitan dengan perbedaan antara ilmu negara dan ilmu politik, Herman Heller menyimpulkan berbagai pendapat sebagai berikut (MohKusnardi dan Saragih, 1995: 41-42):
1. Ada sarjana yang menganggap ilmu politik sebagai suatu ilmu pengetahuan praktis yang ingin membahas keadaan dalam kenyataan, sedangkan ilmu negara dinamakan ilmu pengetahuan yang teoritis sangat mementingkan segi normatif.
2. Ada segolongan sarjana yang menganggap bahwa ilmu politik mementingkan sifat-sifat dinamis dari negara, yaitu proses-proses kegiatan dan aktivitas negara; perubahan negara yang terus-menerus yang disebabkan oleh golongan-golongan yang memperjuangkan kekuasaan. Subjek ilmu politik ialah gerakan-gerakan dan kekuatankekuatan di belakang evolusi yang terus-menerus. Sebaliknya, negara dianggap lebih mementingkan segi-segi statis dari negara, seolah-olah negara adalah beku, dan membatasi diri pada penelitian lembaga kenegaraan yang resmi.
3. Dianggap ilmu negara lebih tajam konsep-konsepnya dan lebih terang metodologinya, tetapi ilmu politik dianggap lebih konkret dan lebih mendekati realitas.
4. Perbedaan yang praktis ialah bahwa ilmu negara lebih mendapat perhatian dari ahli hukum, sedangkan ahli-ahli sejarah dan sosiologi lebih tertarik kepada ilmu politik.

Menurut konsepsi ilmu politik modern, ilmu politik tidak dapat dipisahkan dari aspek yang bersifat yuridis, yaitu harus memperhatikan lembaga-lembaga negara secara yuridis formal yang menjadi fokus kajian ilmu negara. Masalah-masalah pokok yang menjadi pembahasan ilmu politik terutama berpusat pada fenomena kekuasaan, khususnya mengenai organisasi negara ataupun yang mempengaruhi pelaksanaan tugas-tugas negara. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa hubungan antara ilmu negara dan ilmu politik terjalin hubungan yang saling melengkapi (komplementer) (Atmadja, 2012: 8-9).

C. ILMU NEGARA DAN DISIPLIN ILMU LAINNYA
Ilmu negara pada hakikatnya bertautan erat dengan pelbagai disiplin ilmu lain yang menyangkut hidup dan penghidupan manusia seperti sosiologi, psikologi, hukum, ekonomi, sejarah, filsafat, dan lain sebagainya. Ilmu negara di suatu ujung tertambat pada sosiologi dan di ujung yang lain ada pada ilmu filsafat. Untuk memperoleh gambaran tentang kawasan suatu negara perlu ilmu penunjang ilmu bumi, untuk mengkaji sejarah perkembangan suatu bangsa dibutuhkan pengetahuan tentang hukum public internasional. Tentang sarana untuk mempelajari masyarakatnya diperlukan bantuan ilmu sejarah, ekonomi politik, filsafat, sosiologi, psikologi, dan sebagainya. Persoalan ilmu negara mencakup bidang yang cukup kompleks. Menyangkut segi kawasan, persoalan masyarakat, dan organisasi pemerintahan dengan segala pengaruh dan hubungannya satu dengan yang lainnya. Mempelajari dan mengkaji ilmu negara mutlak memerlukan ilmu penunjang lainnya yang tak dapat dielakkan kaitannya (Naning, 1983: 5

LATIHAN
1) Jelaskan hubungan ilmu negara dengan hukum tata negara!
2) Jelaskan hubungan ilmu negara dengan ilmu politik!
3) Jelaskan perbedaan ilmu negara dengan ilmu politik!
4) Jelaskan perbedaan ilmu negara dengan hukum tata negara!
5) Jelaskan pangkal dari ilmu negara?


1) Hukum tata negara memiliki sifat praktis (applied science) yang bahannya diselidiki, dikumpulkan, dan disediakan oleh pure science dalam ilmu negara.
2) Masalah-masalah pokok yang menjadi pembahasan ilmu politik terutama berpusat pada fenomena kekuasaan khususnya mengenai organisasi negara ataupun yang mempengaruhi pelaksanaan tugas-tugas negara. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa hubungan antara ilmu negara dan ilmu politik terjalin hubungan yang saling melengkapi (komplementer).
3) Pertama, ilmu negara mempergunakan metode atau pendekatan yuridis, sedangkan ilmu politik mempergunakan metode sosiologis, yakni dengan memperhatikan faktor-faktor sosial atau sosiologis dan kemasyarakatan lainnya. Dilihat dari metodologi yang digunakan, ilmu negara lebih tajam konsep-konsepnya, tetapi ilmu politik dianggap lebih konkret dan mendekati realitas. Kedua, ilmu negara merupakan ilmu yang bersifat teoritis dan sangat mementingkan segi normatif, karena itu kurang dinamis, sedangkan ilmu politik adalah ilmu pengetahuan praktis yang ingin membahas keadaan dalam kenyataan menekankan pada faktor-faktor yang konkret terutama berpusat pada gejala-gejala kekuasaan, baik mengenai organisasi negara maupun yang mempengaruhi pelaksanaan tugas-tugas negara. Oleh karena itu, ilmu politik lebih bersifat dinamis dan hidup.
4) Ilmu negara membahas hal-hal yang mendasar dari negara sehingga sifatnya umum, abstrak, dan universal maka kajian lebih lanjut mengenai negara dalam arti spesifik dan konkret ada pada hukum tata negara.
5) Ilmu negara di suatu ujung tertambat pada sosiologi dan di ujung yang lain ada pada ilmu filsafat.

R A N G K U M A N
Sebagai sebuah ilmu pengetahuan, ilmu negara pada hakikatnya bertautan erat dengan berbagai ilmu-ilmu lainnya. Salah satu yang memiliki relasi kuat dengan ilmu negara adalah hukum tata negara. Ilmu negara menganggap negara sebagai obyek penyelidikannya yang meliputi asal mula, sifat hakikat, dan bentuk-bentuk negara. Sementara itu, hukum tata negara juga menganggap negara sebagai obyeknya. Jika ilmu negara membahas hal-hal yang mendasar dari negara sehingga sifatnya umum, abstrak, dan universal maka kajian lebih lanjut mengenai negara dalam arti spesifik dan konkret ada pada hukum tata negara. Jadi, jika ilmu negara menyelidiki, mengumpul, menyusun, dan memperoleh pengertian mengenai negara pada umumnya, dengan obyeknya Negara dalam pengertian yang umum dan abstrak maka hukum tata negara terbatas pada bidang hukum dengan batasannya dalam suatu negara tertentu saja dengan pengertian dan pembahasan yang konkret. Adanya ilmu negara memberi dasar teoritis kepada hukum tata negara. Sebaliknya, hukum tata negara merupakan penerapan atau konkretisasi dari bahan-bahan teoritis yang dihasilkan oleh ilmu negara. Karenanya, hukum tata negara memiliki sifat praktis (applied science) yang bahannya diselidiki, dikumpulkan, dan disediakan oleh pure science dalam ilmu negara. Dalam sistematika Georg Jellinek hukum tata negara dan hukum pemerintahan sifatnya lebih mendekati pada ilmu Negara yang individuell dalam sistematika Georg Jellinek. Sementara itu, kalau ilmu negara itu sifatnya lebih mendekati ilmu negara yang spezielle dalam sistematika Georg Jellinek. Dari perbedaan tersebut dapat ditarik garis merah bahwa ilmu negara dan hukum tata negara saling menjelaskan dan mempengaruhi. Adanya ilmu negara memberi dasar teoritis kepada hukum tata negara. Sebaliknya, hukum tata Negara merupakan penerapan atau konkretisasi dari bahan-bahan teoritis yang dihasilkan oleh ilmu negara. Hukum tata negara tidak dapat dipelajari secara ilmiah sebelum terlebih dahulu dipelajari pengertian pokok dan sendi pokok daripada negara umumnya. Hal ini merupakan letak relasi antara ilmu negara dan hukum tata negara.
Ilmu negara juga memiliki keterkaitan dengan ilmu politik. Perbedaan ilmu negara dan ilmu politik terletak pada aspek perhatiannya yang menurut pandangan beberapa sarjana, meliputi: (1) Ilmu negara mempergunakan metode atau pendekatan yuridis, sedangkan ilmu politik mempergunakan metode sosiologis, yakni dengan memperhatikan faktor-faktor sosial atau sosiologis dan kemasyarakatan lainnya; (2) Ilmu negara merupakan ilmu yang bersifat teoritis dan sangat mementingkan segi normatif. Oleh karena itu, kurang dinamis, sedangkan ilmu politik adalah ilmu pengetahuan praktis yang ingin membahas keadaan dalam kenyataan menekankan pada faktor-faktor yang konkret terutama berpusat pada gejala-gejala kekuasaan, baik mengenai organisasi Negara maupun yang mempengaruhi pelaksanaan tugas-tugas negara.
Selanjutnya, perbedaan antara ilmu negara dengan ilmu politik adalah bahwa ilmu negara menitikberatkan pada sifat-sifat teoritis tentang asas-asas pokok dan pengertian-pengertian pokok tentang negara sehingga kurang dinamis. Sementara itu, ilmu politik lebih menitikberatkan kepada faktor-faktor yang konkret terutama berpusat kepada gejala-gejala kekuasaan baik mengenai organisasi negara maupun yang mempengaruhi pelaksanaan tugas-tugas negara. Oleh karena itu, lebih dinamis dan hidup.
Menurut konsepsi ilmu politik modern, ilmu politik tidak dapat dipisahkan dari aspek yang bersifat yuridis, yaitu harus memperhatikan lembaga-lembaga negara secara yuridis formal yang menjadi fokus kajian ilmu negara. Masalah-masalah pokok yang menjadi pembahasan ilmu politik terutama berpusat pada fenomena kekuasaan khususnya mengenai organisasi negara ataupun yang mempengaruhi pelaksanaan tugas-tugas negara. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa hubungan antara ilmu negara dan ilmu politik terjalin hubungan yang saling melengkapi (komplementer).
Ilmu negara pada hakikatnya bertautan erat dengan pelbagai disiplin ilmu lain yang menyangkut hidup dan penghidupan manusia seperti sosiologi, psikologi, hukum, ekonomi, sejarah, filsafat, dan lain sebagainya. Ilmu negara di suatu ujung tertambat pada sosiologi dan di ujung yang lain ada pada ilmu filsafat. Untuk memperoleh gambaran tentang kawasan suatu negara perlu ilmu penunjang ilmu bumi, untuk mengkaji sejarah perkembangan suatu bangsa dibutuhkan pengetahuan tentang hukum publik internasional. Tentang sarana untuk mempelajari masyarakatnya diperlukan bantuan ilmu sejarah, ekonomi politik, filsafat, sosiologi, psikologi, dan sebagainya.

Daftar Pustaka
Atmadja, I Dewa Gede. (2012). Ilmu Negara: Sejarah, Konsep Negara, dan Kajian Kenegaraan. Malang: Setara Press.
Basah, Sjachran. (1994). Ilmu Negara Pengantar, Metode, dan Sejarah Perkembangan. Cetakan Ketujuh. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Budiardjo, Miriam. (1991). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Cetakan XIII. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Busroh, Abu Daud. (2001). Ilmu Negara. Jakarta: Bumi Aksara. Cholisin. (2007). Ilmu Negara. Cetakan Kedua. Jakarta: Universitas Terbuka.
Djokosutono. (1958). Ilmu Negara. Ghalia Indonesia: Jakarta. Grünewald, Bernward. (2009). Geist–Kultur–Gesellschaft: Versuch einer Prinzipientheorie der Geisteswissenschaften auf transzendentalphilosophischer Grundlage. Berlin: Duncker & Humblot.
Heller, Herman. (1983). Staatslehre. Tubingen: Mohr. Huda, Ni‘matul. (2010). Ilmu Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Isjawara, F.(1992). Pengantar Ilmu Politik. Cetakan ke-9. Jakarta: BinaCipta. Jellinek, Georg. (1905). Allgemeine Staatslehre. Berlin: O. Haring.
Kansil, C.S.T. dan Christine S.T Kansil. (2007). Ilmu Negara. Jakarta: Sinar Grafika. Koesnardi, Moh. (1985). Ilmu Negara. Jakarta: Perintis Press.
Koesnardi, Moh. dan Bintan R. Saragih. (1995). Ilmu Negara. Edisi Revisi. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Kranenburg, Roelof. (1953). Studiën over Recht en Staat. Haarlem: De Erven F. Bohn N.V.
Naning, Ramdlon. (1983). Gatra Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty.
Soehino. (1998). Ilmu Negara. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Liberty. Suseno, Franz Magnis. (1990). Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Wahjono, Padmo. (1962). Ilmu Negara. Jakarta: Ind-Hill-Co. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar