Sabtu, 11 April 2020

Modul 1. Hukum Dagang dan Kepailitan

Pengertian Hukum Dagang
dan Kepailitan
Oleh Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH.

P E N D A H U L U A N
Berbicara Hukum Dagang tidak lain adalah berbicara mengenai Hukum Perdata. Menurut Soekardono, Hukum Perdata adalah:
“Hukum yang mengatur saling hubungan pribadi antara manusia dan manusia sebagai subyek hukum karena bersamaan hidup dalam suatu masyarakat, misalnya barang yang dibawa pihak perempuan dalam perkawinan, jual beli, pegadaian sawah dsb. Tetapi hubungan pribadi tsb, terdapat antara subyek hukum saja.”
Selain itu, Subekti dalam buku yang berjudul “Hukum Perdata Indonesia”, Hukum Perdata didefinisikan sebagai “hukum yang mengatur hubungan pribadi antara manusia dan manusia sebagai subyek-subyek hukum karena bersamaan hidup dalam suatu masyarakat” Hubungan pribadi tersebut dapat terjadi antara subyek-subyek hukum, tetapi dapat pula antara negara sebagai badan hukum dengan subyek hukum lainnya.
Hukum Perdata sendiri ada yang dalam arti luas dan dalam arti sempit yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Hukum Perdata dalam arti luas adalah Hukum Perdata yang diatur dalam KUHPerdata dan Hukum Dagang yang diatur dalam KUHDagang. Hukum Perdata dalam arti sempit hanya Hukum Perdata yang diatur dalam KUHPerdata saja. Sedangkan, Hukum Perdata dalam arti luas meliputi semua “hukum materiil” yang meliputi hukum pokok yang mengatur kepentingan perorangan.
Sistematika Hukum Perdata dapat dilihat dari sudut ilmu pengetahuan dan dari sudut sistematika yang terdapat dalam KUHPerdata. Jika dilihat dari sudut ilmu pengetahuan, sistematika Hukum Perdata adalah sebagai berikut:
1. Hukum tentang diri seseorang (personnenrecht)
2. Hukum kekeluargaan (familierecht)
3. Hukum kekayaan (vermogensrecht)
4. Hukum warisan (erfrecht)

Jika dilihat dari sudut sistematika yang terdapat dalam KUHPerdata, berikut adalah sistematika Hukum Perdata:
1. Buku I mengatur tentang orang termasuk hukum keluarga (van Personen).
2. Buku II mengatur tentang benda termasuk hukum waris (van Zaken)
3. Buku III tentang Perikatan (van Verbintenissen)
4. Buku IV tentang Bukti dan Daluwarsa (van Bewujs en Verjaring)

Dari penjelasan Hukum Perdata umum tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa Hukum Dagang itu bagian Hukum Perdata umum yang mengatur tentang perjanjian dan perikatan yang diatur di dalam Buku III KUHPerdata yang berjudul “tentang Perikatan”. Buku III KUHPerdata, antara lain mengatur tentang asas-asas umum hukum perjanjian, maupun perjanjian khusus misalnya perjanjian jual beli, pinjam meminjam, dan perbuatan melawan hukum. Namun demikian, dalam perkembangannya ada perjanjian-perjanjian yang erat hubungannya dengan perniagaan, misalnya perjanjian perantaraan, perjanjian menjalankan perdagangan secara perusahaan yang berbentuk Firma, Perseroan Terbatas, perjanjian pengangkutan, perjanjian asuransi, perjanjian-perjanjian tersebut termasuk perjanjian khusus, yang semua itu diatur dalam KUHD maupun di luar KUHD.
Oleh karena itu, untuk mempelajari Hukum Dagang mahasiswa diwajibkan mempelajari Hukum Perdata yang bersifat Umum yaitu yang diatur dalam KUHPerdata lebih dulu. Jadi, Hukum Perdata umum merupakan prasyarat untuk mempelajari Hukum Dagang yang merupakan perkembangan Hukum Perdata Umum. Sebab, untuk melakukan kegiatan perjanjian khusus di bidang perniagaan, Anda harus paham tentang pengertian dan asas-asas penjanjian serta perikatan bahkan faham tentang barang yang menjadi obyek perjanjianya yang diatur dalam KUHPerdata.
Hal tersebut disebabkan kenyataan bahwa kebutuhan-kebutuhan hukum masyarakat berniaga itu, sejajar dengan perkembangan kegiatan perniagaan, yang makin lama makin luas dan maju sesuai perkembangan zaman. Namun demikian, perkembangan kegiatan perniagaan tersebut sudah tidak tertampung atau dapat diselesaikan oleh Hukum Perdata umum serta lembaga-lembaga hukum yang sudah diatur di dalam KUHPerdata, maka perlu hukum perikatan/perdata khusus yang antara lain bergerak di bidang perdagangan atau perniagaan. Hukum perikatan/perdata khusus tetap merupakan bagian dari Hukum Perdata/perikatan umum karena suatu perikatan, dalam keperdataan umum maupun dalam keperdataan khusus, selalu membebankan pelaksanaan prestasi yang berupa perbuatan, bukan perbuatan, pemberian atau penyerahan.
Hukum Perdata umum dan Hukum Perdata khusus yang juga disebut Hukum Dagang itu dijaga kesatuan, yaitu diatur dalam Pasal 1 KUHD yang mengatur bahwa:
“KUHPerdata, seberapa jauh daripadanya dalam Kitab ini tidak khusus diadakan penyimpangan-penyimpangan, berlaku juga terhadap hal-hal yang dibicarakan dalam Kitab ini.”
Pada dasarnya Hukum Dagang adalah Hukum Perdata, namun karena mempunyai kekhususannya di bidang perniagaan maka para pakar Hukum Dagang Indonesia cenderung mempertahankan pemisahan Hukum Dagang dari Hukum Perdata Umum yang diatur dalam KUHPerdata. Terlebih lagi, perkembangan Hukum Dagang yang sekarang meliputi perikatanan khusus, karena kemajuan zaman istilahnya berubah menjadi kegiatan Perusahaan, yang tujuan utamanya mencari nilai tambah atau mencari laba yang berbeda dengan kegiatan yang tujuannya untuk keilmuan atau kegiatan untuk konsumsi sendiri.
Berbicara mengenai Hukum Dagang, yang merupakan kegiatan perusahaan yang tujuan utamanya mencari laba, tidak lepas dengan kegiatan utang-piutang atau pinjam-meminjam, antara perusahaan yang satu dengan lainnya. Apabila terjadi wanprestasi terkait dengan kegiatan utang-piutang atau pinjam-meminjam, antara perusahaan ini maka akan timbul pembahasan mengenai Kepailitan, yang tentunya juga menjadi bagian dari Modul ini.  

Kegiatan Belajar 1
Hukum Perdata Umum

A. PENGERTIAN HUKUM PERDATA
 Hakikat dari Hukum Dagang adalah Hukum Perdata. Sistem Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia berasal dari sistem hukum Eropa Kontinental, yang diatur dalam KUHPerdata. Untuk membuktikan bahwa Hukum Dagang adalah Hukum Perdata maka harus dipahami dasar Hukum Perdata dan sistematikanya, sebagaimana telah dijelaskan di bagian Pendahuluan. Penting untuk dinyatakan kembali bahwa, Hukum Perdata adalah hubungan pribadi antara manusia dan manusia sebagai subyek hukum karena bersamaan hidup dalam suatu masyarakat. Manusia sebagai subyek hukum adalah pembawa hak dan kewajiban, yang terdiri dari:
1. Orang sebagai manusia menurut kodrat (disebut pula dengan pribadi kodrati). Setiap manusia hidup itu mempunyai wewenang berhak; dan
2. Orang sebagai subyek hukum berbentuk badan hukum adalah subyek hukum yang tidak memiliki wujud jasmani, yang terdiri badan publik misalnya negara dan badan hukum perdata, misalnya Perseroan Terbatas (PT), Yayasan, dan Koperasi.

Sistematika Hukum Perdata dapat dilihat dari sudut ilmu pengetahuan dan dari sudut sistematika yang terdapat dalam KUHPerdata. Jika dilihat dari sudut ilmu pengetahuan, sistematika Hukum Perdata adalah sebagai berikut:
1. Hukum tentang diri seseorang (personnenrecht)
2. Hukum kekeluargaan (familierecht)
3. Hukum kekayaan (vermogensrecht)
4. Hukum warisan (erfrecht)

Jika dilihat dari sudut sistematika yang terdapat dalam KUHPerdata, berikut adalah sistematika Hukum Perdata:
1. Buku I mengatur tentang orang termasuk hukum keluarga (van Personen).
2. Buku II mengatur tentang benda termasuk hukum waris (van Zaken)
3. Buku III tentang Perikatan (van Verbintenissen)
4. Buku IV tentang Pembuktian dan Daluwarsa (van Bewujs en Verjaring)

Apabila diperhatikan, sistematika Hukum Perdata menurut ilmu pengetahuan itu adalah menggambarkan siklus kehidupan manusia yang sifatnya selalu ingin bermasyarakat, yang maksudnya tiap manusia selalu ingin bergaul paling tidak dalam masyarakat paling kecil, yaitu keluarga. Hal yang tercermin dalam hukum kekeluargaan maupun hubungan hukum kekayaan, di mana manusia selalu ingin bergaul yang diwujudkan dengan mengadakan perjanjian-perjanjian perkawinan maupun perjanjian dalam bidang harta kekayaan, baik secara lisan maupun tertulis. Pengaturannya dapat dibaca pada Buku I dan III KUHPerdata, yang semuanya secara lengkap diatur secara sistematis di dalamnya, baik syarat-syarat maupun asasasasnya. Hal tersebut memudahkan bagi setiap orang untuk mengadakan hubungan hukum baik secara otentik maupun di bawah tangan yang bersifat perdata.
Memperhatikan permasalahan-permasalahan yang timbul dalam masyarakat yang berkaitan dengan hubungan antara manusia di bidang perdata, maka setiap masalah akan dapat diselesaikannya, yaitu dengan cara menganalisisnya secara ilmiah yang didasarkan pada peraturan yang terkait, sebagaimana diatur dalam KUHPerdata.
Apa sebetulnya Hukum Perdata? Mengapa Hukum Perdata yang diatur dalam KUHPerdata wajib dipelajari untuk mempelajari Hukum Dagang?

B. HUKUM PERDATA UMUM
Setelah mempelajari dan memahami Hukum Perdata yang meliputi sistematika Hukum Perdata menurut Ilmu pengetahuan dan sistematika Hukum Perdata menurut kodifikasi dalam KUHPerdata maka selanjutnya akan dapat mengetahui tentang Hukum Perdata yang bersifat umum dan Hukum Perdata yang bersifat khusus. Di bawah ini akan diuraikan tentang unsur-unsur dan sifat-sifat yang membedakan antara Hukum Perdata umum dan Hukum Perdata khusus.
Sebagaimana yang sudah diuraikan dalam bagian Pendahuluan bahwa sebenarnya Hukum Dagang adalah merupakan Hukum Perdata tetapi perdata khusus. Mesipun Hukum Perdata bersifat khusus, tetapi penerapan Hukum Perdata khusus tersebut tidak lepas dari Hukum Perdata umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 KUHD. Hukum Perdata umum yang dimaksud dalam Pasal 1 KUHD tersebut adalah sebagaimana yang diatur dalam KUHPerdata. KUHPerdata tersebut disusun secara sistematis dimulai dari:
Buku I  : yang mengatur hubungan antara perseorangan yang satu dengan perseorangan yang lain dalam segala usahanya untuk memenuhinya, yang diselenggarakan sesuai dengan hematnya sendiri. Adanya hubungan hukum antara perseorangan atau antara subyek-subyek hukum yaitu yang berkenaan dengan hubungan darah, antara lain perkawinan dan keturunan maka tersangkutlah obyek hukum; dalam bidang hukum harta kekayaan yang dapat berupa barang/benda atau hak yang diatur.
Buku II : yang mengatur tentang hukum harta kekayaan adalah hukum yang mengatur hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang, benda, waris dan segala sesuatu yang dapat dimiliki/dihaki seseorang. Pengertian benda secara yuridis adalah segala sesuatu yang dapat menjadi obyek hak milik. Jika pengertian benda dipakai dalam arti kekayaan seseorang maka istilah itu meliputi benda tidak berwujud yang berupa hak. Ini menjadi obyek dari perjanjian yang bersifat perniagaan, diatur dalam.
Buku III :  KUHPerdata. Buku III mengatur tentang perikatan yang erat hubungannya dengan perjanjian.
Buku IV : mengatur tentang pembuktian dan daluwarsa

Sehubungan dengan pengaturan dalam Buku III KUHPerdata, di dalamnya tidak memberikan definisi “Perikatan”, namun berdasarkan ilmu pengetahuan, Perikatan adalah hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan yang dilakukan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berhak berkewajiban atas sesuatu. Dari rumusan pengertian Perikatan tersebut di atas, tampak bahwa unsurunsur perikatan adalah:
1. adanya hubungan hukum;
2. adanya kekayaan;
3. adanya para pihak; dan
4. adanya prestasi.  

Perikatan dalam lapangan harta kekayaan dapat bersumber dari perjanjian dan undang-undang.
1. Perikatan yang Bersumber pada Perjanjian
Pasal 1313 KUHPerdata mendefinisikan perikatan yang bersumber dari perjanjian sebagai perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya dengan satu orang atau lebih. Adanya perjanjian timbul hubungan hukum antara yang memberi janji dan yang menerima janji yang disebut dengan Perikatan, namun tidak meliputi semua janji. Sebab, tidak semua janji atau perikatan adalah perbuatan hukum. Ada bahkan banyak janji yang hanya merupakan perikatan moral, sehingga kewajiban yang timbul juga hanya berupa kewajiban moral saja, misalnya janji untuk ngobrol-ngobrol di kafe. Namun demikian, ada janji yang menimbulkan hubungan hukum yaitu dalam perjanjian pinjam-meminjam, ini yang menimbulkan perikatan sehingga para pihak dalam perikatan disebut Kreditur dan Debitur.

2. Perikatan yang Bersumber dari Undang-Undang
Perikatan jenis ini diatur Dalam Pasal 1352 dan Pasal 1353 KUHPerdata yaitu: (a) perikatan yang lahir dari Undang-undang semata-mata, misalnya perikatan untuk memberi nafkah dan (b) perikatan yang lahir dari Undangundang karena perbuatan manusia yang menurut hukum dan yang melawan hukum.
Undang-undang mengatur syarat-syarat sahnya membuat perjanjian, hal itu diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata:
a. Adanya kesepakatan antara mereka yang mengikatkan diri.
b. Adanya kecakapan untuk membuat perikatan, mereka harus sudah dewasa umur 21 tahun dan sehat, namun meskipun belum dewasa tetapi sudah nikah dianggap dewasa
c. Adanya sesuatu hal tertentu yang diperjanjikan yang disebut obyek perjanjian
d. Adanya sesuatu sebab yang diperbolehkan oleh Undang-undang (sesuatu yang halal).

Dalam hukum perjanjian dikenal dua macam Perjanjian:
a. Perjanjian bernama (nominat) adalah perjanjian yang diatur atau dikenal dalam KUHPerdata atau KUHD. Baik pengertiannya maupun syarat-syaratnya dan tatacaranya sudah diatur dalam kedua peraturan tersebut. Contohnya antara lain: perjanjian jual-beli, sewa menyewa, tukar-menukar dan pinjam-meminjam.
b. Perjanjian tidak bernama (innominaat) adalah perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata tetapi perjanjian itu tumbuh dan hidup serta dikenal dalam masyarakat, misalnya perjanjian leasing atau sewaguna usaha dan perjanjian waralaba.

Sebenarnya perjanjian apakah bernama atau tidak bernama, dalam arti terutama apakah ia diatur dalam undang-undang atau tidak dan bukan karena ia mempunyai nama tertentu.
a. Leasing
Pengaturan leasing di Indonesia berpegang pada definisi yang termaktub dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No.KEP-122/MK/IV/2/1974, No.32/M/SK/2/1974, No.30/Kpb/I/1974 tanggal 7 Februari 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing tersebut. Berdasarkan peraturan dasar mengenai kegiatan usaha leasing, dapat dikemukakan bahwa yang dimaksudkan dengan leasing adalah:
“Setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk suatu jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih (optie) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama”.
Sedangkan definisi umum mengenai leasing adalah perjanjian antara Lessor dan Lessee untuk menyewa suatu jenis barang modal tertentu yang diperoduksi/dijual oleh pabrikan/supplier dan ditentukan/dipilih oleh Lessee. Hak pemilikan barang modal berada pada Lessor sedangkan Lessee berhak memakai/menggunakan barang modal tersebut berdasarkan uang sewa yang telah ditentukan dalam jangka waktu tertentu.
Hak opsi ini bersyarat dan baru menjadi efektif setelah Lessee memenuhi semua kewajiban kepada Lessor sehubungan dengan perjanjian leasing. Lessor berkepentingan, bahwa pada saat adanya peristiwa cidera janji oleh Lessee, Lessor dapat menarik kembali atau memutuskan perjanjian leasing danmengambil disposisi lain tentang barang leasing tanpa hak dari Lessee sehubungan dengan pembelian tersebut atas nilai sisa yang telah disepakati.
Di lain pihak ada suatu aspek yang belum lazim di Indonesia, sudah menjadi kebiasaan bahwa Lessor mensyaratkan jaminan-jaminan tertentu sehubungan dengan kewajiban pembayaran-pembayaran Lessee berdasarkan perjanjian leasing. Para Lessee di Indonesia belum lazim meminta jaminan atas kewajiban Lessor. Tidak ada jaminan bagi Lessee yang telah memenuhi seluruh kewajibannya berdasarkan perjanjian leasing bahwa pada akhir jangka waktu leasing, Lessor bersedia mengalihkan miliknya kepada Lessee berdasarkan opsi pembelian. Pembelian dan pengalihan hak atas barang leasing tidak terjadi secara otomatis, tetapi memerlukan perbuatan hukum tambahan, yaitu jual beli (dan penyerahan). Ada pemikiran-pemikiran tertentu untuk memberikan hak jaminan atas barang leasing kepada Lessee.

b. Franchise/ Waralaba.
Istilah Franchise juga disebut Waralaba adalah cara kerja sama di bidang bisnis antara dua atau lebih perusahaan di mana satu pihak akan bertindak sebagai Franshisor dan pihak yang lain sebagai Franchisee. Dalam perjanjian franchise diatur bahwa pihak franchisor sebagai pemilik suatu merek yang terkenal, memberikan hak kepada franchisee untuk melakukan kegiatan bisnis dari/atas suatu produk barang atau jasa berdasarkan dan sesuai dengan rencana dari waktu ke waktu, baik atas dasar hubungan yang eksklusif ataupun non-eksklusif, dan sebaiknya suatu imbalan tertentu akan dibayarkan kepada franchisor sehubungan dengan hal tersebut.
Waralaba menurut Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan R I No.259/MPP/kep/7/1997 tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba, yaitu Waralaba adalah perikatan di mana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki oleh pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyartkan dan/atau digunakan oleh pihak lain atau yang ditetapkan dalam rangka menyediakan dan atau penjualan barang dan jasa.
Pengertian Waralaba menurut PP RI No. 42 Tahun 2007 tentang waralaba, (Revisi atas PP No.16 Tahun 1997 tentang ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba) waralaba adalah hak khususyang dimiliki oleh orang perorangan atau badan usaha terhadap sistem dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti hasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.
Definisi waralaba secara umum dapat diartikan sebagai pengaturan bisnis yang memiliki perusahaan (Pewaralaba atau franchisor) member/menjual hak kepada pihak pembeli atau penerima hak (Terwaralaba atau franchisee) untuk menjual produk dan atau jasa perusahaan pewaralaba tersebut dengan peraturan dan syarat-syarat lain yang telah ditentukan oleh pewaralaba.
Definisi waralaba lainnya adalah Suatu strategi sistem, format bisnis, dan pemasaran yang bertujuan untuk mengembangkan jaringan usaha untuk mengemas suatu produk atau jasa. Waralaba juga dapat pula diartikan sebagai suatu usaha yang bertujuan untuk memenuhi keinginan atau kebutuhan konsumen yang lebih luas. Jenis/ Bentuk Franchise
1. Product Franchise
Adalah bentuk waralaba, di mana penerima waralaba hanya bertindak mendistribusikan produk dari partnernya dengan pembatasan area.
2. Processing or Manufacturing Franchise
Adalah memberikan hak pada suatu badan usaha untuk membuat suatu produk dan menjualnya pada masyarakat, dengan menggunakan merek dagang dan merek franchise. Jenis franchise ini sering ditemukan dalam industri makanan dan minuman. Contoh: PT. Ramako Gerbangmas membeli produk Master franchise yang mengelola Mc Donald’s di Indonesia yang hanya membeli know how pada PT Ramako Gerbangmas tersebut untuk menjalankan waralaba McDonald’s.
3. Bussiness Format atau System Franchise
Franchisor memiliki cara yang unik dalam menyajikan produk dalam satu paket seperti yang dilakukan oleh Mc Donald’s dengan membuat variasi produknya dalam bentuk paket.  
4. Group Trading Franchise 
Bentuk franchise yang menunjuk pada pemberian hak mengelola tokotoko grosir maupun pengecer yang dilakukan toko serba ada.

Franchising juga merupakan strategi perluasan dari suatu usaha yang telah berhasil dan ingin bermitra dengan pihak ketiga yang serasi, yang ingin berusaha, dan memiliki usaha sendiri. Sistem franchise ini mempunyai keunggulan dan juga kerugian-kerugian.
1. Keunggulan system franchise bagi franchisee adalah;
a. Pihak franchisor memiliki akses pada pemodalan dan berbagi biaya dengan franchisee dengan risiko yang relatif lebih rendah.
b. Pihak franchisee mendapat kesempatan untuk memasuki sebuah bisnis dengan cara cepat dan biaya lebih rendah dengan produk atau jasa yang telah teruji dan terbukti kredibilitas mereknya.
c. Lebih dari itu, franchisee secara berkala menerima bantuan manajerial dalam hal pemilihan lokasi bisnis, desain fasilitas, prosedur operasi, pembelian, dan pemasaran.
2. Kerugian system franchise bagi franchisee adalah:
a. Sistem franchise tidak memberikan kebebasan penuh kepada franchisee-nya, franchisee terikat perjanjian dan harus mengikuti sistem dan metode yang telah dibuat franchisor.
b. Sistem franchise bukan jaminan akan keberhasilan, menggunakan merek terkenal belum tentu akan sukses bila tidak diimbangi dengan kecermatan dan kehati-hatian, franchisee dalam memilih usaha, dan mempunyai komitmen dan harus bekerja keras dan tekun.
c. Franchise harus bisa bekerja sama dan berkomunikasi dengan baik dalam hubungannya dengan franchisor.
d. Tidak semua janji Franchisor diterima oleh franchisee.
e. Masih adanya ketidakamanan dalam suatu franchise, karena franchisor dapat memutuskan atau tidak memperbaharui perjanjian.

R A N G K U M A N
Hukum Perdata mengatur hubungan antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya, sesuai dengan kemauan sendiri.
Dalam hubungannya dengan subyek hukum lain, maka yang menjadi obyek hukumnya adalah bidang hukum kebendaan yaitu harta kekayaan yang terdiri dari hukum kebendaan dan hukum perikatan.
Hukum perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih di mana pihak yang satu menyerahkan sesuatu kepada pihak lain, pihak yang lain tersebut berhak atas suatu prestasi tersebut. Sedang prestasi itu sendiri adalah merupakan sesuatu/ pokok yang diperjanjikan, siapa yang tidak memenuhi prestasi dapat dituntut mengganti kerugian.
Prestasi mana menjadi kewajiban pihak terakhir terhadap pihak pertama. Jadi perikatan yang diuraikan tersebut bersumber dari perjanjian/persetujuan pada umumnya yaitu perbuatan hukum antara dua orang atau lebih yang saling mengikatkan diri satu dengan yang lain. Di sini yang dimaksud perbuatan hukum adalah perbuatan hukum di bidang Hukum Perdata, bukan hukum tata negara atau lainnya. Perikatan juga dapat bersumber dari Undang-undang sebagaimana disebut dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Perjanjian adalah berasaskan konsensualisme, pacta sun servanda dan kebebasan berkontrak maksudnya setiap orang dapat membuat perjanjian asal saja tidak bertentangan undang-undang, kebiasaan dan ketertiban umum. Perjanjian yang bernama yaitu perjanjian yang ada namanya atau diatur dalam kodifikasi hukum Indonesia dalam hal ini kodifikasi KUHPerdata dan KUHD misalnya perjanjian jual beli, pinjam meminjam, dan perjanjian sewa menyewa. Perjanjian tidak bernama, yaitu yang tidak dikenal dalam hukum yang diatur dalam kodifikasi KUHPerdata di Indonesia yang antara lain adalah `perjanjian leasing yaitu perjanjian sewa guna usaha dan perjanjian Franchise.
Kegiatan Belajar 2
Hukum Dagang sebagai
Hukum Perdata Khusus

HUKUM DAGANG SEBAGAI HUKUM PERDATA KHUSUS
Sebagaimana diuraikan di atas, Hukum Perdata Umum adalah sebagaimana yang diatur dalam Buku II tentang Benda dan Buku III KUHPerdata tentang perikatan yang memuat asas-asas umum hukum perjanjian dan beberapa perjanjian khusus atau perikatan khusus. Hukum Dagang terletak dalam lapangan hukum Perdata yaitu dalam bidang Hukum Perikatan, yang khusus timbul dari lapangan perusahaan. Perikatan -perikatan itu ada yang bersumber pada perjanjian dan undang-undang. Perikatan yang bersumber pada perjanjian contohnya, antara lain adalah perikatan di bidang pengangkutan, asuransi, jual-beli perusahaan, makelar dan surat berharga. Sedangkan, perikatan yang lahir dari Undang-undang contohnya, antara lain adalah terjadinya tabrakan kapal dan perbuatan melawan hukum. Hubungan antara KUHPerdata dan KUHD dipertegas kembali dalam pengaturan Pasal 1 KUHD, yang menyatakan:

“Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), seberapa jauh dalam Kitab Undang- undang Hukum Dagang (KUHD) ini tidak khusus diadakan penyimpangan-penyimpangan , berlaku juga terhadap hal-hal yang disinggung dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang.”

Dari uraian di atas maka terlihat KUHPerdata yang mengatur Hukum Perdata umum, sedang KUHD mengatur Hukum Perdata khusus, perikatan di lapangan perusahaan. Jadi, hubungan kedua buku tersebut adalah berasaskan hukum yang bersifat khusus menghapuskan hukum yang bersifat umum (lex spesialis derogat legi generale). Dikatakan perdata khusus atau perikatan khusus karena mengatur hubungan perniagaan di bidang pengangkutan, pertanggungan kerugian, perjanjian dengan pihak ketiga (misalnya dengan makelar dan ekspeditur).
Jadi, perikatan khusus merupakan perjanjian untuk membentuk berbagai jenis usaha perniagaan yang diperlukan untuk menjalankan perdagangan secara perusahaan yaitu yang tujuan utamanya adalah mencari laba atau  mencari nilai tambah, di mana hal ini merupakan syarat mutlak bagi kegiatan perdagangan.
Berdasarkan kenyataan, kebutuhan hukum masyarakat berniaga berkembang sejajar dengan berkembangnya perniagaan di dunia, menyebabkan peraturan-peraturan perniagaan yang diatur dalam KUHD tidak sempurna, sehingga diperlukan peraturan-peraturan di luar KUHD, antara lain pengangkutan kereta api, pengangkutan udara, hak kekayaan intelektual, dan surat berharga.
Hukum Dagang terletak dalam lapangan hukum perikatan yang mengatur hubungan hukum antara dua orang atau lebih, di mana pihak yang berhak menerima sesuatu sedang pihak lain berhak menuntutnya. Namun demikian, yang menjadi dasar Hukum Dagang bukanlah perikatan pada umumnya tetapi perikatan yang khusus timbul dari lapangan perusahaan/perniagaan.
Perikatan khusus tersebut bisa bersumber dari perjanjian pengangkutan, perjanjian asuransi, perjanjian tentang surat berharga. Sedangkan, perikatan yang bersumber dari undang-undang, antara lain adalah bantuan atau pertolongan barang dari kapal karam dan kejadian tabrakan kapal.
Bagaimanapun Hukum Dagang adalah hukum perikatan di mana di dalamnya pihak kreditur dan debitur yang masing-masing berprestasi yang berupa, pemberian, penyerahan prestasi. Meskipun,Hukum Dagang adalah hukum perikatan khusus, namun sifat sejenis dengan Hukum Perdata umum tetap ada.
  
Kegiatan Belajar 3
Pengertian Kepailitan

A. PENGERTIAN DAN PRINSIP-PRINSIP HUKUM KEPAILITAN
Istilah bangkrut dan bankrupt yang sama artinya dengan istilah pailit berasal dari kata bahasa Italia banca rotta yang berarti meja yang patah. Dalam abad ke-16 meja yang patah merupakan simbol atau lambang bagi peminjam uang yang insolven.
Kepailitan adalah sita umum yang mencakup seluruh kekayaan debitor untuk kepentingan semua kreditornya. Tujuan kepailitan adalah pembagian kekayaan debitor oleh Kurator kepada semua Kreditor dengan memperhatikan hak-hak mereka masing-masing. Melalui sita jaminan tersebut dihindari dan diakhiri sita dan eksekusi oleh para Kreditor secara sendiri-sendiri. Dengan demikian, para kreditor harus bertindak secara bersama-sama (concursus creditorium) sesuai dengan asas sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1132 KUH Perdata. Sita umum tersebut juga mencakup kekayaan debitor yang berada di luar negeri, sekalipun dalam pelaksanaannya dianut asas teritorialitas sehubungan dengan prinsip kedaulatan negara.14 Sehubungan dengan kepailitan perlu dikemukakan di sini bahwa kepailitan hanya menyangkut kekayaan debitor, status pribadi debitor tidak terpengaruh olehnya. Debitor tidak berada di bawah pengampuan (curatele).

B. DASAR DAN SUMBER HUKUM KEPAILITAN
Konsep dasar hukum kepailitan sebagaimana dimuat dalam Faillisements-Verordening, Staatsblad 1905-217 jo. Staatsblad 1906-348 dan diubah oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.1 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 tahun 1998 tentang Kepailitan. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan ini kemudian diubah kembali dengan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang.

C. SUMBER HUKUM KEPAILITAN:
Sumber hukum Kepailitan di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. KUHPerdata Pasal 1131, Pasal 1132, Pasal 1133 dan Pasal 1134;
2. Faillisements-Verordening, Staatsblad 1905-217 jo. Staatsblad 1906- 348;
3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan.;
4. Undang-Undang RI No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang.

D. PRINSIP-PRINSIP HUKUM KEPAILITAN
1. Perlakuan yang sama terhadap Kreditur, tidak ada diskriminasi
Hukum kepailitan mendukung perlakuan yang sama bukan suatu balapan di mana kreditur pertama adalah yang paling memungkinkan untuk dibayar (catch-as-catch). Perlakuan yang adil terhadap para kreditur, baik domestik maupun asing adalah prinsip yang utama di dalam hukum kepailitan Indonesia, setidaknya dari titik sudut pandang peraturan hukum. Tidak akan ada suatu diskriminasi antara pihak domestik dan kreditur asing.

2. Pernyataan Pailit
Pasal 1 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang menegaskan bahwa paling sedikit harus ada dua kreditor, dan debitor sedikitnya tidak membayar satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Keharusan adanya paling sedikit dua kreditor adalah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1132 KUHPerdata di mana ditetapkan bahwa pada dasarnya pembagian kekayaan debitor antara para kreditornya harus dilakukan secara pari passu pro rata parte.  

3. Pihak yang dapat Mengajukan Permohonan Pailit
Menurut Pasal 3 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang mengatur tentang siapa yang berhak mengajukan permohonan pailit:
a. Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo/waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.
b. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut dapat diajukan oleh Kejaksaan untuk kepentingan umum.
c. Dalam hal debitor adalah Bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia.
d. Dalam hal debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal.
e. Dalam hal Debitor adalah perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.

4. Kepailitan Hanya Meliputi Debitor
Kepailitan merupakan suatu sita secara umum menurut hukum yang meliputi seluruh kekayaan debitur. Kepailitan hanya meliputi kekayaan. Status pribadi seorang individu tidak akan dipengaruhi oleh kepailitan, ia tidak ditaruh di bawah pengampuan. Suatu perusahaan juga tetap ada setelah suatu putusan pernyataan kepailitan diucapkan. Selama proses kepailitan, tindakan terhadap harta kepailitan hanya dapat dilakukan oleh Kurator, tetapi tindakan lain tetap merupakan wewenang organ korporat debitur.

5. Paritas Creditorum
Secara prinsip, semua kreditor mempunyai hak yang sama atas pembayaran. Hal ini berarti bahwa hasil harta kepailitan akan dibagikan sesuai dengan porsi besarnya tuntutan kreditor (Pasal 1131 dan Ps.1132 KUHPerdata). Kendati demikian prinsip paritas creditorum tidak berlaku terhadap kreditur yang mempunyai hak jaminan khusus (Jaminan atas hak tanggungan, hipotik, maupun gadai) dan para kreditur yang menikmati suatu hak prioritas menurut peraturan hukum (seperti halnya pihak pajak yang berwenang atau para karyawan) sebagai diatur Pasal 1133 KUHPerdata.

6. Penetapan
Hanya para kreditur yang mempunyai tuntutan terhadap debitur pada saat pernyataan kepailitan diucapkan dapat menuntut suatu pembayaran dari harta kepailitan (yaitu para kreditur sebelum terjadi kepailitan). Pada saat putusan kepailitan tersebut diucapkan tanggung jawab debitur akan ”dibekukan”. Prinsip atas ”Penetapan” memainkan peranan yang penting. Prinsip tersebut menentukan bahwa dengan adanya putusan pernyataan kepailitan kedudukan para kreditur yang terlibat dalam harta kepailitan menjadi tidak berubah. Dalam hal yang sama, harta kepailitan akan ”dibekukan”, Debitur yang pailit tidak akan mengalihkan kekayaannya.

7. Actio Pauliana
Dalam keadaan tertentu kreditur dapat menggugat keabsahan transaksi hukum yang dimuat debitornya. Hak gugat ini berasal dari hukum Romawi dan dikenal dengan nama Actio Pauliana. Tujuannya adalah restitusition ininttegrum (pemulihan keadaan semula) dalam hal terjadi fraus creditorium (Penipuan terhadap kreditor). Lembaga actio pauliana tersebut di atas secara rinci diatur dalam Pasal 41-50 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang juga dalam Pasal 1340 dan 1341 KUHPerdata.

8. Pencocokan Piutang (Verifikasi) dan Likuidasi. 
Sistem Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang mengatur penyelesaian harta kepailitan (Pasal 168-189) pada tempat urutan setelah semua tuntutan kreditur dicocokkan (diverifikasi) dalam suatu rapat pencocokan piutang (104-133). Dalam rapat percekcokan piutang Hakim Pengawas wajib membacakan daftar piutangpiutang yang sementara diakui dan daftar piutang-piutang yang oleh Kurator dibantah. Setiap kreditur yang disebutkan dalam daftar tersebut, diperbolehkan meminta supaya Kurator memberikan keterangan tentang masing-masing piutang, alasan penempatannya dalam salah satu daftar, membantah kebenaran piutang tersebut atau membantah adanya hak untuk didahulukan atau adanya hak menahan suatu benda, atau dapat menyetujui  pembantahan yang telah dilakukan. Dia juga dapat menuntut supaya kreditur menguatkan dengan sumpah, kebenaran akan piutangnya yang tidak dibantah baik oleh Kurator maupun oleh salah seorang kreditur. Jika kreditur asal telah meninggal dunia, maka para pemegang hak (waris) yang berhak harus menerangkan di bawah sumpah bahwa mereka dengan itikad baik percaya bahwa piutang itu masih ada dan belum dilunasi. Sumpah tersebut di atas dilakukan kreditur sendiri, tapi juga dapat dilakukan oleh seorang wakil khusus dikuasakan untuk itu, baik seketika dalam rapat tersebut maupun pada hari kemudian yang ditentukan Hakim Pengawas. Kuasa untuk itu boleh diberikan di bawah tangan atau berupa akte otentik
Menurut UU Kepailitan status piutang-piutang yang telah disusun Kurator setelah dilakukan verifikasi adalah sebagai berikut:
a. Piutang-piutang yang diakui.
b. Piutang-piutang yang diakui dengan syarat, bahwa piutang tersebut diakui kebenarannya oleh Kurator atau BHP (Balai Harta Peninggalan) maupun kreditur, tetapi masih diperlukan syarat tambahan
c. Piutang yang dibantah atau tidak diakui, bahwa piutang tersebut dibantah atau tidak diakui kebenarannya, baik oleh Kurator atau BPHN maupun kreditur.
d. Piutang yang tidak dapat ditetapkan apakah akan didapat suatu hak dan pencocokan utang secara pro memori ( Pasal 124 ayat 2 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang).

Contohnya :
Bunga atas utang yang timbul setelah putusan pernyataan kepailitan ditetapkan tidak bisa mencocokan utang, kecuali hanya sepanjang dijamin dengan hipotik atau hak tanggungan, gadai, atau hak agunan atas kebendaan yang lain. Terhadap bunga yang demikian harus dilakukan pencocokan ulang secara pro memori. Bila bunga yang bersangkutan dapat tidak dilunasi dengan hasil penjualan dari barang yang menjadi agunan, kreditur yang bersangkutan tidak dapat melaksanakan haknya yang timbul dari pencocokan utang.
Walaupun demikian, praktik Belanda yang ada persamaannya dengan praktek di Indonesia, Kurator segera mulai menjual kekayaannya jika (1) upaya pendamaian ataupun (ii) penjualan atas seluruh kegiatan usaha sebagai suatu ” usaha yang berjalan” tidak feasible/ layak. Dasar hukum bagi praktek ini dapat dilihat pada Pasal 98, yang menyatakan bahwa dengan persetujuan hakim pengawas, kurator dapat, menjual kekayaan harta kepailitan,
a. Sepanjang diperlukan untuk menutupi biaya kepailitan atau
b. Bila penahanan atas kekayaan harta kepailitan akan menyebabkan kerusakan pada kekayaan kepailitan.

R A N G K U M A N
Kepailitan adalah sita umum yang mencakup seluruh harta kekayaan debitur untuk kepentingan semua krediturnya sedangkan tujuan kepailitan adalah pembagian kekayaan debitur oleh kurator kepada semua krediturnya dengan memperhatikan hak-hak mereka masingmasing. Melalui sita jaminan tersebut dihindari serta diakhiri sita dan eksekusi oleh para kreditur secara sendiri-sendiri. Para kreditur harus bertindak secara bersama-sama sesuai dengan asas bahwa pembagian kekayaan debitur antara para kreditur harus dilakukan secara paripasu prorata atau semua kreditur mempunyai hak yang sama atas pembayaran. Namun demikian asas tersebut tidak berlaku terhadap Kreditur yang mempunyai hak jaminan khusus, misalnya gadai, hipotek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar