MOOUL 9
Hukum Internasional
Dr.H. Nandang Alamsah Deliamoor,
S.H., M.Hum.
P E N D A H U L U A N
Sebagai
Modul yang terakhir akan diketengahkan tentang Hukum Internasional, khususnya Hukum internasional
publik. Hukum internasional melahirkan hak dan kewajiban antar subjek hukum,
kerjasama antar negara internasional guna memenuhi kebutuhan dalam tata
pergaulan intemasional. Secara umum hubungan internasional dilakukan untuk
mendorong kerjasama internasional dan perdamaian dunia. Diharapkan setelah mempelajari
Modul ini para mahasiswa dapat memahami hal-hal berikut ini,
1.
Pengertian
Hukum Internasional.
2.
Sumber
Hukum Internasional.
3.
Struktur
Hukum Internasional dan Subjek Hukum Internasional.
4.
Yurisdiksi
KEGIATAN BELAJAR 1
Pengertian Hukum Internasional
A. ISTILAH
Istilah
yang sering digunakan adalah Hukum bangsa-bangsa atau the law of nations; Hukum antarbangsa atau the law among nations; Hukum antarnegara atau interstate Law.
Dalam
bahasa Perancis, dikenal dengan istilah droit international publique. Menurut
Mochtar Kusumaatmadja, istilah Hukum bangsa-bangsa berasal dari bahasa Romawi
ius gentium. Dalam arti sernula, ius gentium bukanlah berarti Hukum yang
berlaku antara bangsa-bangsa saja melainkan pula kaidah-kaidah dan asas-asas
Hukum yang mengatur hubungan antarorang Romawi dengan orang bukan Romawi dan
antara orang bukan Romawi satu sarna lainnya.
Baru
kemudian orang membedakan antara hubungan antara kesatuan Hukum publik
(kerajaan, republik) dengan hubungan an tara individu dengan menggunakan
istilah ius inter gentes. Istilah
terakhir ini yang berarti Hukum antarbangsa menandakan permulaan lahirnya Hukum
Internasional sebagai suatu lapangan Hukum tersendiri
B. DEFINISI HUKUM INTERNASIONAL
1.
J.G. Starke
Hukum
Internasional dapat didefinisikan sebagai sekumpulan Hukurn yang sebagian besar
terdiri atas prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan tingkah laku di mana
negara-negara itu sendiri merasa terikat dan menghormatinya, dan oleh karena
itu, juga harus menghormati dalam hubungan antara mereka satu dengan yang
lainnya; dan juga mencakup:
a.
Peraturan-peraturan Hukum yang
berkenaan dengan fungsi-fungsi lembaga atau organisasi internasional; hubungan
an tara organisasi internasional itu satu sarna
Jainnya; hubungan organisasi internasional dengan negara-negara; hubungan
organisasi internasional dengan individu-individu.
b.
Peraturan-peraturan Hukum tertentu
yang berkenaan dengan individu individu dan subjek-subjek Hukum bukan negara tnonstate
entities) sepanjang hak-hak dan kewajiban-kewajiban individu dan subjek Hukurn
bukan negara itu bersangkut paut dengan masalah mas y arakat internasional.
Definisi
ini lebih luas daripada define tradisional Hubungan Internasional yang
merupakan sistem Hukum yang mengatur hubungan Negara-negara inter se (antar Negara).
Definisi
semacam itu dapat ditemukan dalam sebagian besar buku-buku Hubungan
Internasional, yang diterbitkan sebelum perang duma II, tetapi bekenaan dengan
perkembangan-perkembangan sesudang perang dunia II. maka definisi tradisonal
itu tidak lengkap dan tidak memadai kenyataan lagi.
Perkembangan-perkembangan itu terutama ialah:
a.
pembentukan sejumlah lembaga-lembaga
atau organisasi-organisasi internasional permanen, seperti PBB World Health
organization dan sebagainya, yang dianggap merupakan badan Hukum Internasional;
b.
gerakan yang dipelopori PBB untuk
melindungi hak dan kebebasan kebebasan fundamental manusia, diadakanoya
peraturan-peraturan baru untuk mengHukum orang-orang yang melakukan genocide
(Konpensasi Genocide yang disetujui sidang umum PBB 9 Desember 1948 dan mulai
berlaku pada tanggal 12 Januari 1951), pembentukan Mahkamah Militer
Internasional (International Military Trubunal) di kota Neu-renberg, 1946,
untuk meHukum penjahat perang NAZI Jerman, yang dinyatakan bersalah telah
melakukan kejahatan-kejahatan internasional, yaitu kejahatan terhadap
perdamaian, kejahatan terhadap umat manusia dan persekongkolan untuk melakukan
kej ahatan - kej ahatan tersebut.
Tujuan
hubungan internasionaI adalah untuk menciptakan suatu sistem Hukum yang teratur
mengenai hubungan-hubungan internasional, tetapi perkembangan-perkernbangan
barn menampakkan bahwa keadilan harus juga dilaksanakan antara Negara-negara.
Lebih-lebih
lagi, keadilan itu hams menjamin individu, amat besarlah rnaknanya perkataan
"keadilan" (justice) yang tercantum sebagai judu mahkamah
internasional permanen dan mahkamah internasional. (Permanent Court of International Justice dan International Court of
Justice).
Hukum Internasional menurut J.O. Starke dapat dipisahkan ke
dalam:
a.
Hubungan Internasional Umum, ialah
peraturan-peraturan yang dilaksanakan secara universal;
b.
Hubungan intemasional Regional,
ialah peraturan-peraturan yang tumbuh pada suatu bagian dunia tertentu mengenai
hubungan Negara-negara yang terdapat disana, tanpa menjadi peraturan-peraturan
yang bersifat universal.
Menurut
keputusan ini maka:
a.
peraturan-peraturan regional tidak
perIu lebih rendah derajatnya dari peraturan-peraturan hubungan internasional
umum, tapi dapat bersifat "menambah" (complementary) atau
"berhubungan" (correlated) dengan peraturan hubungan internasional
umum, dan
b.
pengadilan internasional hams
memakai peraturan-peraturan regional itu mengenai hubungan negara-negara dalam
region itu, asalkan peraturan peraturan regional itu telah dibuktikan dengan
wajar didepan pengadilan tersebut;
c.
selanjutnya harus pula
diperhatikan tendens regionalism dalam oranisasi intemasional, yang Nampak
dalam traktat-traktat keamanan regional, misalnya North Atlantic Security Pact,
4 April 1949; pembentukan organ organ internasional regional misalnya South Pacific Commission,
1948, dan pengadilan-pengadilan intemasional regional. Misalnya
pengadilan yang ditetapkan dalam Pasal-Pasal 31-45 dari traktat yang membentuk European Coal and Steel Community, 18 April 1951
2.
Mochtar Kusumaatmadja
Menurut
Mochtar Kusumaatmadja, definisi yang dikemukakan Starke terlalu luas karena
menurut beliau, Hukum Internasional itu dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu
sebagai berikut.
a. Hukum Internasional publik, ialah
Hukum yang mengatur hubungan Hukum antara negara yang satu dengan negara-negara
lainnya dalam hubungan internasional.
b. Hukum Internasional privat/perdata,
ialah Hukum yang mengatur hubungan Hukum antara warga negara-warga negara suatu
negara dengan warga negara-warga negara dari negara lain dalam hubungan
internasional.
Berbicara
tentang Hukum Internasional berarti menyangkut Hukum Internasional publik,
yaitu keseluruhan kaedah-kaedah dan asas-asas Hukum yang mengatur hubungan atau
persoalan yang melintasi batas-batas negara negara (hubungan internasional)
yang bukan bersifat perdata.
Hukum
Internasional adalah keseluruhan kaedah-kaedah dan asas-asas Hukum yang
mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara, antara:
a.
negara dengan negara;
b.
negara dengan subjek Hukum lain
bukan negara atau subjek Hukum bukan negara satu dengan yang lainnya.
Karena
dengan istilah Hukum Internasional disini dimaksudkan Hukum Internasional
public, tidak termasuk dalam batasan diatas hubungan atau persoalan
iternasional yang diatur oleh Hukum perdata internasional.
3.
Anziloti
Beliau
adalah bapak Hukum Internasional dan karyanya yang terkenal berjudul "War
and Peace", Menurutnya, Hukum Internasional berisi:
a.
Hukum damai, terdiri dari:
1)
tentang
batas-batas negara;
2)
aturan
tentang organ-organ yang bertindak sebagai wakil-wakil negara. Misalnya
kedutaan, konsul, atase, dan lain-lain;
3)
aturan
tentang terjadinya, bekerjanya dan dihapuskannya traktat;
4)
akibat-akibat
perbuatan yang melanggar Hukum Internasional, misalnya embargo, blokade, dan
sebagainya;
5)
aturan-aturan
tentang kepentingan bersama dalam lapangan ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain,
misalnya kesepakatan APEC, WTO;
6)
aturan-aturan
lain tentang pemecahan persoalan atau perselisihan dengan jalan darnai, antara
lain perundingan diplomatik, mediasi yaitu meminta perantaraan pihak ketiga
mengadakan panitia internasional, arbitrase (wasit);
7)
penyelesaian
dengan arbitrase (wasit) ini ada dua, yaitu:
a.
ad hock, artinya sekali saja
menyelesaikan sengketa dan tidak mempunyai aturan main;
b.
permanen, misalnya New York
Convention tahun 1958 tentang aturan hak cipta yang sudah diratifikasi menjadi
Hukum Internasional. Contoh lainnya adalab ICC (International Chamber Commerce)
yang merupakan arbitrase internasional permanen dalam bidang perdagangan, di
Indonesia juga ada badan arbitrase yang disebut BANI (Badan Arbitrase Nasional
Indonesia),
b.
Hukum perang
Nama lain dari Hukum perang adalab Hukum Humaniter, yaiut
sebagai cabang dari Hukum Internasional publik, dimana masih banyak dikenal
oleh masyarakat banyak.' Demikian pula namanya yang banyak menimbulkan
kebingungan karena memang agak menyesatkan. Tidak banyak yang mengira bahwa
Hukum Humaniter merupakan nama baru dari
yang dahulu dikenal sebagai Hukum Perang (laws
of war).
KEGIATAN BELAJAR 2
Sumber-sumber Hukum Internasional
Menurut Mochtar Kusumaatmadja,"
perkataan sumber Hukum dipakai dalarn beberapa arti. Kata surnber Hukum ini
pertama-tama dipakai dalarn arti dasar berlakunya Hukurn. Dalarn arti ini yang
dipersoaLkan ialah apa sebabnya Hukurn itu rnengikat? Sumber Hukum dalam arti
ini dinamakan sumber dalarn arti material karena menyelidiki masalah: apakah
yang pada hakikatnya menjadi dasar kekuatan meningkat Hukum dalam hal ini
Hukurn internasional. Sumber Hukum dalam arti material ini telah kami
perbincangkan dalam bab terdahulu. Arti kedua kata sumber Hukum ialah sumber
Hukum dalam arti formal yang memberi jawaban kepada pertanyaan: dimanakah kita
rnendapatkan ketentuan Hukum yang dapat diterapkan sebagai kaidah dalarn satu
persoalan yang kongkret?
Disamping kedua arti tersebut di atas, kata sumber Hukum ada
kalanya dipergunakan juga dalam arti lain, yaitu: kekuatan atau faktor apakah
(politis, kemasyarakatan, ekonomis, teknis, psikologis) yang membantu gejala
sosial dalam kehidupan manusia. Dengan perkataan lain sumber Hukum dalam arti
yang ketiga ini meneliti [aktor kausal atau penyebab yang turut membantu dalam
pembentukan suatu kaidah. Persoalan ini lebih terletak dalam bidang luar ilmu
Hukum (ekstra yuridis) sebagaimana juga masalah sumber Hukum material merupakan
soal ekstra yuridis yakni pada hakikatnya merupakan persoalan falsafah. Bagi
seorang yang belajar Hukurn positif yaitu Hukum yang berlaku seperti rnisalnya
mahasiswa fakultas Hukurn atau seorang pengacara atau pejabat diplomatik, yang
terpenting diantara tiga arti kata sumber Hukum diatas adalah sumber Hukum
dalarn arti formal. Surnber sumber material adalah:
a.
kebiasaan internasional;
b.
perjanjian internasional atau
traktat;
c.
yurisprudensi internasional dan
doktrin ten tang hukum internasionaI;
d.
keputusan pengadilan atau resolusi
organisasi internasional;
e.
azas-azas hukum umum
A. KEBIASAAN INTERNASIONAL
Kebiasaan ini timbul dari praktek pergaulan negara-negara
internasional dan sampai sekarang masih tetap merupakan satu bagian penting
dari peraturan-peraturan Hukum Internasional. Misalnya Hukum duta, yaitu
peraturan-peraturan tentang cara penerimaan duta (badan perwakilan diplomatik)
oleh masing-rnasing negara yang mempunyai hubungan diplomatik. Namun Hukum
kebiasaan tetap substansil karenajuga pada waktu ini bagian terbesar dari
peraturan-peraturan mengenai wilayah Negara, yurisdiksi Negara, dan tanggungjawab
Negara adalah Hukum.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja kebiasaan internasional
merupakan sumber Hukum yang terpenting dari Hukum internasional. Seperti kita
ketahui kini tempat itu diduduki oleh perjanjian internasional karena semakin
banyak persoalao diatur dengan perjanjian internasional. Walaupun dernikian
kebiasaan internasional memegang peranan yang sangat penting sebagai sumber
Hukum.
Dalam
pasal 38 ayat 1 sub (b) yang mengatakan: international custom, as evidence of a
general practice accepted as law artinya Hukum kebiasaan internasional adalah
kebiasaan internasional yang merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai
Hukum. Jelas kiranya dari perumusan tersebut bahwa tidak setiap kebiasaan
internasional merupakan sumber Hukum, Untuk dapat dikatakan bahwa kebiasaan
internasional itu merupakan sumber hukum perlu terdapat unsur-unsur sebagai
berikut.
1.
Harus terdapat suatu kebiasaan yang
bersifat umum.
2.
Kebiasaan itu harus diterima sebagai
Hukum.
Dari
perincian diatas dapatlah dikatakan bahwa supaya kebiasaan internasional itu
merupakan sumber Hukum internasionl, harus dipenuhi dua unsur, yang
masing-masing dapat kita namakan unsur material dan unsur psikologis, yaitu
kenyataan adanya kebiasaan yang bersifat umum dan diterimanya kebiasaan
intemasional itu sebagai Hukum. Jelaslah bahwa dipenuhinya unsur pertama saja
yaitu kebiasaan intemasional tidak melahirkan Hukum. Jika kebiasaan itu tidak
diterima sebagai Hukum maka terdapat suatu kebiasaan yang dapat merupakan
kesopanan intemasional. Misalnya kebiasaan memberikan sambutan kehormatan waktu
menerima tamu Negara merupakan kebiasaan banyak Negara.
Kapankah dapat dikatakan ada terdapat kebiasaan
internasional yang merupakan satu kebiasaan umum? Pertama, perlu
adanya satu kebiasaan, yaitu suatu pola tindak yang
berlangsung lama, yang merupakan seringkaian tindakan yang serupa mengenai hal
dan keadaan yang serupa pula. Kedua, kebiasaan atau
pola tundak yang merupakan serangkaian tindakan yang serupa mengenai hal dan
keadaan yang serupa di atas harus bersifat umum dan
bertalian dengan hubungan intemasional. Hanya apabila unsur-unsur tersebut
diatas dipenuhi dapat dikatakan telah ada kebiasaan internasional yang bersifat
umum.
Unsur kedua, yaitu unsur psikologis
menghendaki bahwa kebiasaan internasional dirasakan memenuhi suruhan
kaidah atau kewajiban Hukum, atau seperti dikatakan dalam bahasa latin "opinion juris sive necessitates", Dilihat secara
praktis suatu kebiasaan internasional dapat dikatakan diterima sebagai Hukum
apabila Negara-negara menerimanya sebagai demikian; artinya, apabila
Negara-negara itu tidak menyatakan keberatan terhadapnya. Keberatan ini dapat
dinyatakan dengan berbagai cara misalnya dengan jalan diplomatik (protes) atau
dengan jalan Hukum dengan mengajukan keberatan dihadapan suatu mahkamah.
B. PERJANJIAN INTERNASIONAL ATAU TRAKTAT
Traktat
merupakan sumber material kedua yang penting, menurut Mochtar Kusumaatmadja
perjanjian intemasional adalah perjanjian yang diadakan atara anggota
masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat Hukum
tertentu. Dari batasan tersebut jelaslah bahwa untuk dapat dinamakan perjanjian
intemasional yang menjadi anggota masyarakat internasional. Jadi pertama-tama
termasuk di dalamnya perjanjian ataran Negara-negara. Disamping itu perjanjian
antara negara dengan organisasi internasional (misalnya antara Amerika Serikat
dengan PBB mengenai status Hukum tempat
kedudukan tetap PBB di New York) dan
perjanjian antara suatu organisasi intemasional dengan organisasi intemasional
lainnya. Juga dapat dianggap sebagai perjanjian internasional, perjanjian yang
diadakan antara Takhta Suci dengan Negara-negara, walaupun yang diatur dalam
perjanjian itu sematamata urusan gereja dan bukan urusan kenegaraan, karena
Takhta Suci merupakan subjek Hukum yang diakui dalam Hukum internasional.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja
mengingat pentingnya perjanjian internasional sebagai sumber Hukum, akan
diuraikan lebih lanjut mengenai perjanjian ini dengan membaginya dalam 3 bagian
yaitu:
1.
Tentang Hal Membuat dan Mulai
Berlakunya Perjanjian
Tentang hal membuat perjanjian
internasional dapat dibagi lagi dalam 3 tahap yaitu:
a.
perundingan (negotiation),
b.
penandatanganan (signature),
c.
pengesahan (ratification).
Persoalan
pensyartan (reservation) dan mulai
berlakunya (entry into forces) perjanjian
juga akan dibahas disini. Menurut Hukum internasional dewasa ini, setiap Negara
mempunyai kemampuan mengadakan perjanjian internasional. Dengan Negara disini
dimaksudkan Negara dalam arti Hukum internasional. Pada umumnya Negara bagian
dari suatu Negara federal tidak mempunyai wewenang mengadakan perjanjian
internasional. Walaupun dernikian ada kalanya Negara bagian demikian diberi
wewenang oleh konstitusi federal Negara bersangkutan mengadakn perjanjian
internasional, dan memang mengadakannya. Contoh hal yang demikian ialah Negara
Byelo-Russian Sovyet Republic dan Ukraina Sovyet Republic yang turut serta
dalam perundingang dalam komperensi Janewa tahun1958 mengenai Hukum laut
sebagai peserta yang terpisab dan berdiri sendiri dari Uny Sovyet (USSR) yang
juga menghadiri konperensi tersebut sebagai peserta. Kedua Negara bagian dari
federal Uni Sovyet tersebut tadi menandatangani Konvensi-Konvensi Janewa
mengenai Hukum laut sebagai Negara terpisah dari Negara Uni Sovyet. Walaupun
demikian dapat dikatakan bahwa pada umumnya wewenang mengadakan perjanjian
internasional (treaty making power) dalam suau Negara federal biasanya berada
pada pemerintah federal.
2.
Tentang Hal Berakhir atau Ditangguhkan Berlakunya Perjanjian
Secara
umum suatu perjanjian bisa punah atau berakhir karena beberapa sebab yang terse
but dibawah ini.
a.
Karena telah tercapai tujuan perjanjian
itu.
b.
Karena habis waktu berlakunya
perjanjian itu.
c.
Karena punahoya salah satu pihak
peserta perjanjian atau penuhnya objek perjanjian itu.
d.
Karena adanya persetujuan dari para
peserta untuk mengakhiri perjanjian itu.
e.
Karena diadakannya perjanjian an
tara para peserta kemudian yang meniadakan perjanjian yang terdahulu.
f.
Karena dipenuhinya syarat tentang
pengakhiran perjanjian sesuai dengan ketentuan perjanjian itu sendiri.
g.
Diakhirinya perjanjian secara
sepihak oleh salah satu peserta dan diterimanya pengakhiran itu oleh pihak
lain.
Dari ketentuan umurn mengenai punahnya perjanjian diatas
tarnpak bahwa berakhirnya perjanjian itu dalam banyak hal dapat diatur oleh
para peserta perjanjian itu sendiri berupa ketentuan yang disepakati kedua
belah pihak dan mengikat mereka. Pesoalan lebih sulit apabila pelaksanaan atau
kelangsungan suatu perjanjian dipengaruhi oleh hal atau kejadian yang diatur
dalam perjanjian. Akan kita bicarakan sekarang beberapa persoalan khusu
demikian yang mengakinatkan berakhirnya atau ditangguhkannya pelaksanaan suatu
perjanjian.
Pembatalan
sepihak (denunciation) oleh salah
satu peserta atau pengunduran diri dati suatu perjanjian merupakan suatu hal
yang menimbulkan kesulitan apabila tidak diatur dalam perjanjian itu. Dalam
beberapa perjanjian multilateral pembatalan atau pengunduran demikian diataur
dalam perjanjian itu sendiri, seperti misalnya dalam Konvensi Genocide dan
Konvensi-konvensi tahun 1949 mengenai Perlindungan Korban Perang. Pasal 63
Konvensi Janewa tahun 1949 mengenai perbaikan keadaan yang Juka dan sakit di
Medan Perempuran Darat menetapkan bahwa pembatalan atau pemyataan tidak terikat
Jagi mulai berlaku 1 tahun sesuah pemberitahuannya dilakukan kepada Dewan
Federasi Swiss. Berlainan halnya dengan pembatalan atau pengunduran dari mana
pembatalan atau pengunduran demikian tidak diatur. Satu contoh dari praktek
yaitu pengunduran diri Indonesia dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam bulan
Desember 1964. Berlainan dengan Liga Bangsa-Bangsa yang memuat ketentuan
pengunduran pertimbangan bahwa organisasi dengan demikian tidak hendak
mengulangi pengaJaman Liga Bangsa-Bangsa yang dilemahkan oleh pengunduran dari
beberapa anggota dalam tahun 1938.
Walaupun sukar
sekali menetapkan apa yang harus terjadi menurut Hukum apabila terjadi
pembatalan atau pengunduran diri suatu pihak dari perjanjian yang tidak memuat
ketentuan mengenai pembatalan atau pengunduran demikian walaupun tidak tertulis
dalam perjanjian dapat diadakan apabila pernbatalan atau pengunduran dalarn
sifat perjanjian itu sendiri, Dalam hal demikian oihak peserta harus penjanjian
itu sekrang kurangnya 12 bulan sebelum tanggal pembatalan at au pengunduran
itu.
Perlu ditegaskan
bahwa untuk dapat dijadikan dasar mengakhiri atau menangguhkan suatu perjanjian
menurut ketentuan ini, pelanggaran suatu pihak peserta itu harus rnerupakan
suatu pelanggaran dari ketentuan yang mutlak diperlukan
bagi tercapainya tujuan perjanjian itu. Jadi tidak setiap pelanggaran bisa
merupakan alasan bagi peserta perjanjian yang lain untuk mengakhiri atau
menangguhkan kewajibannya dari perjanjian itu, melainkan hanya pelanggaran yang
penting (material breach) sajalah yang dapat dijadikan alas an demikian.
Ketentuan tersebut yang merupakan penerapan dari asas Hukum perdata yang
berbunyi: " ..... adimplenti
non est adiplendum" tidak mengurangi
hak peserta yang dirugikan untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian yang
didasarkan atas tanggungjawab peserta yang melakukan pelanggaran yang telah
dilakukan itu.
Mengenai
pemutusan hubungan diplomatik atau hubungan konsuler, Konvensi Vienna
menetapkan bahwa pemutusan hubungan demikian tidak mempengaruhi hubungan Hukum
antar peserta perjanjian, kecuali untuk hal dimana adanya hubungan diplomatik
atau konsuler demikian merupakan syarat mutlak bagi pelaksanaan perjanjian itu.
Akibat pecahnya perang antara peserta atas perjanjian yang mereka adakan, tidak
dibahas oleh konperensi Vienna mengenai Hukum perjanjian. Mengenai halini boleh
dikatakan ada kata sepakat yang luas dikalangan sarjana Hukum internasional.
Pada satu pihak terdapat perjanjian yang karena sifatnya dapat dianggap punah
dengan pecahnya persahabatan, persekutuan dan sebagainya yang mempunyai sifat
politik. Dipihak lain atau umurnnya perjanjian terdapat perjanjian yang justru
berlaku apabila perjanjian perang atau permusuhan seperti rnisalnya konvensi
konvensi Janewa 1949 mengenai perlindungan korban.
Menurut J.G. Starke Traktat
dibedakan menurut sifatnya, yakni:
1.
traktat yang membentuk Hukum dan
menetapkan Hukum yang mengikat;
2.
traktat kontrak
1.
Traktat
yang Membentuk Hukum dan Menetapkan Hukum yang Mengikat
Hanya
traktat yang membuat Hukum (law making treaties) yang diakui sebagai sumber
Hukum Internasional, seperti perjanjian perdamaian yang diadakan di Paris pada
tahun 1856 dan 1907, Pakta Liga Bangsa -bangsa, Piagam Perserikatan
Bangsa-bangsa, dan sebagainya.
Pertumbuban
"international Legislation"
itu disebabkan karena ketidak mampuan Hukum kebiasaanya untuk mengatur
kepentingan-kepentingan bersama Negara-negara. Starke mengikuti definisi
Brierly mengenai traktat traktat yang membentuk Hukum yaitu " ...... yang
diadakan oleh sejumlah besar Negara-negara, baik guna menentukan apa yang
menjadi Hukum mengenai hal ihwal tertentu, maupun menetapkan Hukum baru yang
umum untuk hari depan, ataupun guna membentuk Jembaga internasional".
Bentuk
konsensual traktat adalah sekunder, traktat tersebut menetapkan Hukum umum.
Penyelenggaraan traktat yang membentuk Hukum melalui dua cara:
a.
pelaksanaan legislatif dalam mana
Hukum ditetapkan;
b.
janji peserta-peserta untuk
bertindak sesuai Hukum itu.
Ini
bersifat subside belaka. Di samping itu, mereka yang mengecam pemakaian istilah
traktat yang mernbentuk Hukum, tidak memperhatikan jumlah konsepsi-konsepsi
yang telah disetujui oleh organ-organ internasional seperti sidang umum PBB,
konperensi I.L.O dan ditangani oleh wakil Negara negara pada sidang-sidang
diplomatik.
2.
Traktat kontrak
Misalnya
traktat antara dua atau lebih negara mengenai hal ikhwal khususnya
negara-negara itu sendiri. Traktat ini bukan sumber langsung Hukum
Internasional. la membentuk Hukum Internasional melalui Hukum kebiasaan. Adat
istiadat adalah kebiasaan tingkah laku internasional yang belum diterima
sebagai Hukum. Hukum kebiasaan itu dikristalisasi dalam adar istiadat atau
praktik-praktik negara-negara melalui:
a.
hubungan diplomatik antara Negara:
misalnya pernyataan-pernyataan negarawan pendapat-pendapat penasehat Hukum
kepada pernerintah, traktat-traktat bilateral, pernyataan pers dan lain-lain.
b.
praktik-praktik organ-organ
internasional, mengenai status kekuasaan dan tanggungjawab organ-organ itu;
c.
undang-undang nasional,
keputusan-keputusan pengadilan nasionai, dan praktek-praktek militer dan
administratif Negara, misal yang terdapat dalam keputusan pengadilan nasional:
keputusan supreme COUIt Amerika Serikat dalam kasus the scotia (1871)
Namun, ada
juga treaty-contracts yang membentuk
Hukum seperti bay paucefote treaty, 1901, antara Amerika Serikat dan Inggris
yang menetapkan bahwa terusan panama harus terbuka untuk sernua bangsa atas
dasar kesederajatan mutlak.
Treaty contracts bukan sumber langsung hubungan internasional . traktat
traktat seperti ini membentuk hubungan internasional melalui Hukum kebiasaan.
Ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu berikut ini.
a. Rentetan treaty contracts yang menetapkan Hukum serupa dapat menciptakan
Hukum kebiasaan. Contoh: traktat-traktat penyerahan (ekstradiksi) bilateral yang
menimbulkan azas bahwa warga dari Negara yang menuntut penyerahan dan warga
dari negara ketiga dapat diserahkan,
b. Dalam hal traktat yang diadakan
antara beberapa Negara saja dan dalam traktat itu diterima umum atau diikuti.
Contoh: azas ''free ships, free goods",
yaitu bahwa barang-barang musuh yang diangkut oleh sebuah kapal netral pada
umumnya tak boleh diserang; azas ini pertama kali terdapat dalam traktat antara
Spanyol dan Verenigde provincien dalam
c. Treaty
contracts dapat merupakan bahan bukti atas adanya azas yang belum menjadi
Hukum.
C. YURISPRUDENSI INTERNASIONAL DAN
DOKTRIN (PENDAPAT PARA SARJANA) TENTANG HUKUM INTERNASIONAL
Walaupun
yurisprudensi internasional dan doktrin Hukum Internasional ini diatur
dalam Pasal 38 ayat 1 Piagam Mahkamah Pengadilan Internasional mengatakan bahwa
Mahkamah hams menggunakan "ajaran-ajaran publisis publisis yang paling
cakap dan berbagai bangsa, sebagai alat subside penentuan Hukum". Ketentuan ini menekankan nilai karya
Hukum sebagai tanda pernbuktian.
Fungsi pembuktian ini dilakukan dengan tepat oleh Hakim Gray
dari Amerika Serikat dalam perkara The Paquete Habana (1900). Adalah kenyataan
yang tidak dapat disangkal bahwa kebiasaan yang akan berlaku. Suatu
perkecualian, yakni apabila tidak ada Hukum kebiasaan atau traktat mengenai
suatu hal tertentu, maka pendapat Sarjana Hukum dapat menjadi sumber yang
berdiri sendiri, disamping keputusan-keputusan atau pertukaran-pertukaran nota
diplomatik.
Pasa138 ayat 1 Piagam Mahkamah Pengadilan Internasional
dicantumkan sebagai Hukum Internasional, tetapi redaksi Pasal ini juga
meragukan, apakah yurisprudensi internasional dan doktrin Hukum Internasional
hanya rnerupakan subsidiary means formulations of rules of law sebagai
penunjang/pembantu/tambahan dalam menentukan peraturan internasional.
D. KEPUTUSAN-KEPUTUSAN
PENGADILAN (HAKIM) ATAU RESOLUSI-RESOLUSI ORGANISASI INTERNASIONAL
(AJARAN-AJARAN PUBLISIS-PUBLISIS YANG TERCAKAP DARI BERBAGAI-BAGAI NEGARA
SEBAGAI ALAT TAMBAHAN UNTUK PENENTUAN HUKUM).
Pengadilan Nasional dapat membentuk hubungan internasional
melalui dua cara berikut ini.
1.
Keputusan itu dipandang sebagai
preseden yang amat penting artinya sebagai pendapat-pendapat yang mengikat.
Keputusan Lord Stowel umum diakui sebagai pernyataan-pernyataan Hukum yang
patut diikuti, dan ia menciptakan doktrin seperti: blockade agar mengikat harus
efektif, kontra bando yang dilakukan selama perang ditentukan oleh kemungkinan
tujuannya dan doktrina "continuous voyage". Juga keputusan-keputusan
Supreme COUl1 Amerika Serikat dalam perkara-perkara The Paquete Habana dan The
Sotia rnerupakan eksponen penting bagi pertumbugan hubungan internasional
2.
Contoh: keputusan hakim Lord Stowell
yang mengetuai Inggris selama perang Napoleon
Keputusan pengadilan Nasional dapat dengan
langsung membentuk Hukum kebiasaan Internasional. Hukum ekstradisi dan
pengakuan, misalnya tumbuh dalam keputusan-keputusan pengadilan Nasional.
Berulangnya keputusan-keputusan yang sarna bunyinya suatu keharusan.
Keputusan badan Arbitrasi internasional
seperti permanent Court of Arbitration, British-American Mixed Claims Tribunal
dan lain-lain, banyak rnembantu perturnbuhan hubungan internasional rnisalnya
tentang kedaulatan tentorial, netralitet, yurisdiksi nasional, servitude,
tanggungjawab Negara dan sebagainya.
Beberapa arbitrasi terkenal: Alabama Claims
Arbitration (1871), Behring Sea Fisheries Arbitration (1893), Pious Fund Case
(1902) dan North Atlantic Fisheries Case (1910).
Beberapa penulis tidak mau mengakui
sumbangan badan-badan arbitrasi ini, karena terdapat perbedaan fundamental atas
keputusan arbitrasi dan keputusan-keputusan pengadilan. Menurut penulis-penulis
ini para arbiter pada umumnya cenderung bertindak sebagai perantar atau
agen-agen diplomatik. Mereka cenderung untuk berkomprorni, tetapi banyak
perkara membuktikan bahwa para arbiter itu bertindak sebagai hakim dan tidak
sebagai amiables compositeurs.
E. ASAS-ASAS HUKUM
UMUM
Utrecht dalam bukunya "Pengantar dalam Hukum
Indonesia" mengatakan: "tidak perlu dikatakan di sini bahwa tiada
pemisah mutlak antara kebiasaan internasional dan asas-asas Hukum umum
itu." Sedangkan Scharzenberger mengatakan bahwa sumber yang disebut
terakhir adalah apa yang dimaksud peralihan dari Hukum alam ke dalam Hukum
positif internasional (a
means of transforming natura/law into positive international law).
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, prinsip Hukum umum yaitu
sumber Hukum yang ketiga menurut pasa138 ayat 1 piagam mahkamah internasional
ialah "asas Hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab" (general principles of law recognized by
civilzed nations). Yang dimaksudkan dengan asas Hukum umum ialah asas Hukum
yang mendasari sistem Hukum modern. Yang dimaksudkan dengan Hukum modern ialah
Hukum positif yang didasarkan atas asas dan lembaga Hukum Negara Barat yang
untuk sebagian besar didasarkan atas asas dan lembaga Hukum Romawi.
Perlu ditegaskan bahwa yang menjadi sumber Hukum ialah pnnslp
Hukum umum dan tidak hanya asas Hukum internasional. Arti perkataan umum dalam
hubungan ini sangat penting karena dengan demikian jelaslah bahwa Hukum
internasional sebagai suatu sistem Hukum pada umumnya. Dengan demikiat dibantah
pendirian yang hendak mengatakan Hukum internasional itu merupakan satu sis
tern Hukum yang berdiri sendiri dan berbeda dari Hukum nasional. Dengan
demikian maka dengan asas Hukum umum dimaksudkan misalnya asasHukum perdata
seperti asas " pacta sunt servanda", asas bona fides (itikad baik)
asas penyalahgunaan hak (abus de droit) serta "asas adimplenti non est
adiplendum" dalam buku Hukum perjanjian. Asas Hukum yang dimaksudkan dalam
pasal 38 ayat 1 ialah asas Hukum umum, jadi selain asas Hukum perdata yang
disebutkan diatas meluputi juga di dalamnya asas Hukum acara dan Hukum pidana.
Menurut pasal 38 ayat asas Hukum umum merupakan suatu sumber
Hukum formal utama (primer) yang berdiri sendiri disamping kedua sumber Hukum
yang telah disebutkan terlebih dahulu yaitu perjanjian internasional dan
kebiasaan. Adanya asas Hukurn urnurn sebagai sumber Hukurn primer tersendiri di
samping perjanjian dan kebiasaan internasional, sang at penting bagi
perturnbuhan dan perkembangan Hukum internasional sebagai sistem Hukum positif
KEGIATAN BELAJAR 3
Subjek Struktur dan Hukum
Internasional
A. DASAR BERLAKUNY A HUKUM INTERNASIONAL
Suatu
teori yang pernah banyak dianut adalah bahwa hubungan internasional tidak
merupakan Hukum yang sejati, melainkan adalah sekumpulan peraturan-peraturan
tingkah laku yang hanya memiliki kekuatan moral.
Pendapat
Austin tentang hubungan internasional dipengaruhi oleh teorinya mengenai Hukum
pada umumnya, yakni bahwa Hukum adalah peraturan-peraturan yang dikeluarkan
oleh sebuah badan legislatif yang berdaulat. Jadi jika peraturan-peraturan itu
tidak dikeluarkan oleh suatu ororitet yang berdaulat yang politis Iebih
superieur, maka peraturan-peraturan itu bukanlah peraturan Hukum tetapi
peraturan moral atau etik belaka.
Hubungan
internasional tidak mengenal otoritet dengan kekuasaan legislatif (dalarn Zaman
Austin hubungan internasional hampir seluruhnya terdiri dari
peraturan-peraturan kebiasaan), Ergo: hubungan internasional bukanlah Hokum
yang sebenarnya, tetapi "moral internasional positip" yang terdiri
dari "pendapat-pendapat atau sentirnent-sentimen yang ada diantara bangs a
-bangsa urnumn ya".
Apabila
pada hakikat Hukum Internasional tak perlu diragukan lagi, dan telah
dikemukakan banyak teori.Teori yang tertua ialah teori hukum alam (natural
law). Ajaran Hukum alam ini mempunyai pengaruh sangat besar atas Hukum
Internasional sejak permulaan-perturnbuhannya. Ajaran iui yang mula-mula rnempunyai
ciri keagamaan yang kuat, yang dikemukakan oleh Hugo Grotius.
1.
Asas Pacta Sunt Servanda
Artinya
setiap perjanjian harus ditaati. Asas ini merupakan modal bagi tegaknya Hukum
Internasional karen a Hukum Internasional itu sendiri tidak mempunyai sanksi
yang tegas dan tidak adanya badan internasional yang mempunyai tugas untuk
menegakkan Hukum Intemasional, tidak juga PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) yang
hanya merupakan organisasi internasional (subjek Hukum Internasional).
2.
Asas Primat Hukum Internasional
Artinya derajat Hukum
Internasionallebih tinggi dari Hukum Nasional. Contob : Jerman.
Menurut
paham monism dengan primat Hukum Internasional, maka Hukum Nasional itu
bersumber pada Hukum Internasional yang menurut pandangannya merupakan suatu perangkat
ketentuan Hukum yang hirarkis lebih tinggi. Menurut paham ini Hukum Nasional
tunduk pada Hukurn Internasional dan pada hakikatnya berkekuatan mengikatnya
berdasarkan suatu "peudelegasian" wewenang dari Hukurn Intemasional.
B. MATERI HUKUM
INTERNASIONAL
Pada prinsipnya Hukum Internasional bematerikan Hukum
Internasional dalam keadaan damai dan Hukum Internasional perang. Materi Hukum
Internasional darnai antara lain berikut ini.
1.
Aturan tentang penentuan batas-batas
wilayah suatu Negara
2.
Aturan tentang organ-organ yang
bertindak sebagi wakil Negara-negara, misalnya: kepala Negara, Duta, Konsul,
dan sebagainya
3.
Aturan tentang terjadinya,
bekerjanya, dan hapusnya traktat
4.
Aturan tentang akibat-akibat
perbuatan yang melanggar Hukum Internasional, sepert: embargo, blockade, dan
sebagiannya
5.
Aturan tentang kepentingan bersama
yang bisa dilakukan oleh Negara negara seperti kerja sarna bidang ekonomi,
pendidikan, budaya, dan sebagainya
6.
Aturan tentang tata cara memecahkan
masalah atau persengketaan, perselisihan dengan jalan damai, rnisalnya dengan
perundingan diplornatik, mediasi (perantaraan pihak ke tiga, baik memlalui
Negara ataupun melalui arbitrase dan lain sebagainya)
Sedangkan
Hukum Internasional perang dalam istilah yang lebih popuLar adaLah Hukum humanitair,
yang mengatur tata cara diplomasi bersenjata atau tata cara berperang secara
damai sudah tertutup.
C. STRUKTUR HUKUM INTERNASIONAL
Hukum
Internasional berbeda dengan Hukum Nasional yang mempunyai kekuasaan eksekutif
pusat. Kekuatan eksekutif pusat semacam ini tidak dipunyai oleh pergaulan
internasional. Tidak ada kekuasaan eksekutif pusat yang dapat memaksa
anggota-anggota pergaulan intemasional untuk menaati peraturan Hukum
Internasional yang oleh anggota PBB pun bukan suatu Negara atasan (superstaat)."
Utrecht mengatakan bahwa:
Penaatan
kepada Hukum Internasional bergantung pada kuat tidakuya status Negara dalam
power politics among nations.
Mengenai
kekuasaan intemasional pusat yang berfungsi sebagai badan eksekutif
internasional ini sampai sekarang masih merupakan masalah internasional.
D. SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL
1.
Negara
Yaitu negara-negara yang berdaulat
atau rnerdeka, jadi bukan negara koloni (jajahan).
Menurut Mochtar Kusumaatmadja,
Negara adalah subjek Hukum internasional dalam arti yang klasik, dan telah
dernikian halnya sejak lahirnya bukum internasional. Bahkan hingga sekarang pun
masih ada anggapan bahwa hukum intemasional itu pada hakikatnya adalah hukum
antarnegara
Yaitu
negara-negara yang berdaulat atau merdeka, jadi bukan negara koloni (jajahan).
Menurut
Mochtar Kusumaatmadja, Negara adalah subjek Hukum internasional dalam arti yang
klasik, dan telah demikian halnya sejak lahirnya bukurn internasional, Bahkan
hingga sekarang pun masih ada anggapan bahwa hukum internasional itu pada
hakikatnya adalah hukum antarnegara.
Dalam
suatu Negarafederal, yang menjadi pengemban hak dan
kewajiban subjek hukum internasional adalah pemerintah federal. Tetapi ada
kalanya konstitusi federal memungkinkan Negara bagian mempunyai hak dan kewajiban
yang terbatas atau melakukan hal yang biasanya dilakukan oleh pemerintah
federal. Konstitusi USSR misalnya memungkinkan dalam batas batas tertentu
Negara bagian seperti Byelo-Russia SSR dan Ukraina SSR mengadakan hubungan luar
negeri sendiri USSR.
2.
Gabungan Negara-negara
Menurut
Baehsan Mustafa, Bertindak dalam pergaulan antarnegara sebagai satu kesatuan,
seperti Republik Persatuan Belanda (Benelux).
3.
Organisasi-organisasi Internasional
Yang
dimaksud dengan organisasi internasional adalah organisasi yang dibentuk oleh
negara-negara internasional dan keberadaannya diakui oleh semua negara
internasional.
Menurut
Mchtar Kusumaatmadja, kedudukan Organisasi Tnternasional sebagai subjek hukum
internasional sekarang tidak diragukan lagi, walaupun pada mulanya belum ada
kepastian mengenai hal ini. Organisasi lnternasional seperti Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) dan Organisasi Buruh Internasional (lLO) mempunyai hak dan
kewajiban ditetapkan dalam konvensi-konvensi internasional yang merupakan
semaeam anggaran dasarnya. Berdasarkan kenyataan ini sebenarnya sudah dapat
dikatakan bahwa PBB dan Organisasi Internasional semaeamnya merupakan subjek
hukum internasional, setidak tidaknya menurut hukum internasional khusus yang
bersumberkan konvensi internasional tadi.
Yang
menjadi persoalan secara yuridis pada waktu itu ialah untuk menegaskan bahwa
PBB dan organisasi sejenis itu merupakan suatu subjek hukum menurut hukum
internasional (umum).
4.
Kursi Suci (Heilige Stoei)
Gereja
Katolik Roma yang diwakili oleh Paus (sebagai organisasi politik). Menurut
Mchtar Kusumaatmadja, Takhta Suci (Vatican) merupakan
suatu contoh dari suatu subjek hukum internasional yang telah ada sejak dahulu
disamping Negara. Hal ini rnerupakan peninggalan (atau kelanjutan) sejarah
sejak zaman dahulu ketika Paus bukan hanya merupakan kepala gereja roma tetapi
memiliki pula kekuasaan duniawi. Hingga sekarang Takhta Suci mempunyai
perwakilan diplomatik dibanyak ibukota (antara lain di Jakarta) terpenting di
dunia yang sejajar kedudukannya dengan wakil diplomatik Negara-negara lain.
Takhta Suci merupakan suatu subjek hukum dalam arti yang penuh dan sejajar
kedudukannya dengan Negara. Hal ini terjadi terutama setelah diadakannya
perjanjian an tara Itali dan Takhta Suci pada tanggal 11 Pebruaru 1929 (Lateran
Treaty) yang mengembalikan sebidang tanah di Roma kepada Takhta Suci dan
memungkinkan didirikannya Negara vatikan, yang dengan perjanjian itu sekaIigus
dibentuk dan diakui.
Dalam
kategori yang sama, yaitu subjek hukum internasional karena sejarah, waulupun
dalam arti yang jauh lebih terbatas dapat puLa disebut suatu satuan yang
bernama "order of the knights og malta". Himpunan ini hanya diakui
oLeh beberapa Negara sebagai sunyek hukum internasional.
5.
Orang Perorangan (Individu)
Menurut
Mochtar Kusumaatmadja, dalam arti yang terbatas orang perorangan sudah agak
lama dapat dianggap sebagai subjek hukum internasional. Lebih penting artinya
bagi perkembangan pengertian individu sebagai subjek hukum internasional dari
beberapa ketentuan-ketentuan yang bertuj uan melindungi hak rninoritas, ialah
keputusan Mahkamah Internasional Permanen (Permanen Court of International
Justice) dalam perkara yang menyangkut pegawai kereta api Danzig (Danzig
Railway Official's Case). Dalam perkara ini diputuskan oleh Mahkamah bahwa
apabila suatu perjanjian intemasional memberikan hak tertentu kepada orang
perorangan, maka hak itu hams diakui dan mempunyai daya laku dalam hukum
intemasional, artinya diakui oleh suatu badan peradilan internasional.
Karena
sifatnya yang umum dari dictum Mahkamah, keputusan tersebut memperkuat arah
perkembangan (trend) pemberian hak kepada individu dalam perjanjian
internasional yang dimulai dalam perjanjian yang telah disebutkan di atas.
Dalam proses dimuka Mahkamah Penjahat Perang yang diadakan di Nurnberg dan
Tokyo, bekas para pemirnpin perang Jerman dan Jepang, dituntuk sebagai orang
perorangan (individu) untuk perbuatan yang dikualifikasikan sebagai; (1).
Kejahatan terhadap perdamaian; (2). Kejahatan terhadap kemanusiaan; (3).
Kejahatan Perang (pelanggaran terhadap hukum perang) dan permufakatan jahat
untuk mengadakan kejahatan terse but.
Pengadilan
penjahat perang di Nurnberg dan Tokyo ini telah menggemparkan dunia karena
berbagai hal. Hukum Nurnberg dan Tokyo ini telah mengesampingkan beberapa
prinsip hukum yang secara umum telah dianut baik dalam hukum nasional maupun
internasional seperti misalnya; bahwa seorang pejabat tidak dapat dihukum
karena kebijaksanaan yang dilakukannya.
6.
Palang Merah Internasional
Menurut
Mchtar Kusumaatmadja, Palang Merah Intemasional yang berkedudukan di Janewa
mempunyai tempat tersendiri (unik) dalam sejarah hukum intemasional. Boleh
dikatakan bahwa organisasi ini sebagai suatu subjek
hukum (yang terbatas) lahir karena sejarah walaupun kemudian kedudukannya (status)
diperkuat dalam perjanjian dan kemudian Konvensi konvensi Palang Merah
(sekarang Konvensi Jenewa tahun1949 tentang Perlindungan Korban Perang).
Sekarang Palang Merah Internasional secara umum diakui sebagai oraganisasi
internasional yang memiliki kedudukan sebagai subjek bukum internasional
walaupun dengan ruang lingku sangat terbatas.
7. Pemberontak dan Pihak dalam Sengketa
(Belligerent)
Menurut hukum perang, pemberontakan dapat memperoleh
kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa (belligerent) dalam beberapa
keadaan tertentu. Akhir-akhir ini timbul perkembangan baru yang bersengketa
dalam perang, memiliki ciri lain yang khas, yakni pengakuan terhadap gerakan
pembebasan seperti Gerakan Pembebasan Palestina (PLO). Kelainan itu disebabkan
karen a pengakuan gerakan pembebasan demikian merupakan penjelmaan dari suatu
konsepsi baru yang terutama dianut oleh Negara-negara dunia ketiga yang
didasarkan atas pengertian bahwa bangsa-bangsa (peoples) dianggap mempunyai
beberapa hak asasi seperti (1) hak menentukan nasib sendiri; (2) hak secara
bebas memilih sistem ekonomi, politik dan sosial sendiri dan (3) hak rnenguasai
sumber kekayaan alam dari wilayah yang didudukinya.
8.
Manusia
Dalam hubungan luar negeri,
perwakilan umumnya dibagi rnenjadi dua golongan, yakni:
a.
Golongan diplornatik (tetap,
sernentara, khusus, intirnewa), meliputi:
1.
Duta besar.
2.
Menteri berkuasa penuh dan
perwakilan luar biasa.
3.
Ministers resident.
4.
Charges d'affairs,
terdiri dari:
a.
Charge d'affairs en pied.
b.
Charge d'affairs ad interim
b.
Perwakilan konsuler
Menurut
Edy Suryono dan Moenir Arisoendha, status dari perwakilan diplomatik ini telah
mendapat pengakuan dari bangsa-bangsa pada zaman yang lampau yaitu
bangsa-bangsa kuno. Meskipun pada zaman dahulu belurn dikenal adanya Hukum
Internasional yang modern, namun Duta-duta besar (Ambassadors), Dimana diberikan perlindungan khusus dan hak-hak
istimewa tertentu, meskipun tidak oleh Hukum, akan tetapi oleh agama, sehingga
dimana Duta-duta besar (Ambassadors)
dianggap sebagai orang yang amat suci (sacrosanct). Sebagaimana menurut
pengamatan Oppenheim yang dikutip Edy Suryono dan Moenir Arisoendha";
"even
in antiquity, where no such law as the modern international law was knon, ambassadors
everywhere enjoyed a special protection an certain privileges, although ni by
law but religion, Ambassadors looked upon as sacrosanct".
Macam-macam
dan Tingkatan Perwakilan Diplomatik:
Lebih dulu
harus diadakan perbedaan antara dua macam envoy diplomatik atau Wakil
diplomatik seperti duta dan lain-lainnya, yakni
1.
Wakil diplomatik yang dikirimkan
untuk melakukan perundingan perundingan diplornatik
2.
Wakil diplomatik yang dikirim untuk
menhadiri upacara-upacara kenegaraan, seperti upacara penobatan (Coronations), Pemakaman (Furnerals), Perkawinan (Wedding), atau hari-hari Peringatan (Jubilees)
Kedudukan kedua macam wakil diplomatik tersebut diatas
adalah sama, dan selanjutnya mengenai wakil diplomatik ini terdapat pula
perbedaan.
1.
WakiI diplomatik tetap atau
sementara yang diakrediter pada kepala Negara, kemana ia dikirirnkan untuk
melakukan perundingan dengan Negara yang bersangkutan
2.
Wakil diplomatik yang di kirim untuk
mewakili negaranya didalam sesuatu kongres atau konferensi.
R A N G K U M A N
Pendapat
Austin tentang hubungan internasional dipengaruhi oleh teorinya mengenai Hukum
pada umumnya, yakni bahwa Hukum adalah peraturan-peraturan yang dikeluarkan
oleh sebuah badan legislatif yang berdaulat. Teori yang tertua ialah teori
hukum alam (naturallaw).Ajaran Hukum alam ini mempunyai pengaruh sangat besar
atas Hukum Internasional sejak perrnulaan-pertumbuhannya. Ajaran ini yang mulamula
mempunyai ciri keagamaan yang kuat, yang dikemukakan oleh Hugo Grotius.
Asas yang
menjadi dasar berlakunya suatu hukum internasional diantaranya adalah berikut
ini.
1.
Asas
pacta sunt servanda, artinya
setiap perjanjian harus ditaati.
2.
Asas
primal Hukum Internasional, artinya
derajat Hukum Internasionallebih tinggi dari Hukum Nasional.
Pada
prinsipnya Hukum Internasional bematerikan Hukum Internasional dalam keadaan
damai dan Hukum Internasional perang.
Bagian-bagian utama dari Hukum
Dagang, Hukum Bisnis, dan Hukum Ekonomi ialah:
1.
perusahaan,
2.
pedagang an tara,
3.
surat perniagaan,
4.
asuransi,
5.
kepailitan,
6.
lembaga pembiayaan,
7.
hak atas kekayaan intelektual,
8.
hukum perbankan,
9.
penyelesaian sengketa
daganglbisnis/ekonomi.
KEGIATAN BELAJAR 4
Yurisdiksi
Kata "yurisdiksi" dalam
bahasa Indonesia, sebenamya berasa1 dari kata bahasa inggris,
"jurisdiction". Sedangkan istilah Jurisdiction dalam bahaya inggris
itu sendiri sebenamya dikutip atau diadopsi dari bahasa latin yaitu
"Jurisdiction da1am bahasa inggris itu sendiri sebenamya dikutip atau
diadopsi dari bahasa latin yaiut "Yurisdiction". Kata yurisdiction ,
sebenamya terdiri dari dua kata yaitu, kata "yuris" berarti
"kepunyaan Hukum" dan kata "dictio" berarti
"ucapan","sabda","sebutan", firman". Jadai
secara singkat dan sederhana, Yurisdiksi berarti, kepunyaan seperti apa yang
ditentukan atau ditetapkan oleh Hukum, atau dengan singkat dapat diartikan
"kekuasaan atau kewenangan Hukum".
Pada lain pihak, Negara-negara Eropa
menganut paham yurisdiksi yang lebih luas, justru karena kontinen Eropa
merupakan suatu jaringan darat dan sungai, dan karena itu pula maka lebih
baoyak terjadi transaksi-transaksi yang bersifat internasional.
Menurut Huala Adolf, yurisdiksi adalah kekuasaan atau
kornpetensi Hukum Negara terhadap orang, benda atau peristiwa
(Hukurnj.Yurisdiksi ini merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan
Negara, kesamaan drajat Negara dan prinsip tidak campur tangan. Yurisdiksi juga
merupakan suatu bentuk kedaulatan yang vital dan sentral yang hubungan atau
kewajiban Hukum. Yurisdiksi ini lahir karena adanya tindakan:
1.
Legislatif,
yaitu kekuasaan pengadilan untuk menetapkan membuat peraturan at au
keputusan-keputusan;
2.
Eksekutif,
yaitu kekuasaan mengadili orang (benda atau peristiwa) agar mereka menaati
peraturan (Hukum) yang berlaku;
3.
Yudikatif,
yaitu kekuasaan untuk mengadili orang, berdasarkan atas suatu peristiwa
Meskipun
Yurisdiksi berkaitan erat dengan wilayah, namun keterkaitan ini tidaklah mutlak
sifatnya.Dalam praktek, Yurisdiksi dapat dibedakan antara Yurisdiksi perdata
dan Yurisdiksi pidana.Yurisdiksi perdata adalab kewenangan hukum pengadilan
suatu Negara terhadap perkara-perkara yang menyangkut keperdataan baik yang
sifatnya nasional yaitu bila para pihak atau objek perkaranya menyangkut unsur
asing.Yurisdiksi pidana adalab kewenangan (Hukum) pengadilan suatu Negara
terhadap perkara-perkara yang menyangkut kepidanaan, baik yang tersangkut
didalamnya unsur asing maupun nasional.
A. YURISDIKSI
NEGARA
1.
Yurisdiksi Personal (Jurisdiction
in Personal)
Yurisdiksi
ini disebut sebagai yurisdiksi atas orang atau atas subjek hukum, titik
beratnya terletak pada subjek hukumnya yang dapat ditundukkan pada yurisdiksi
tersebut. Baik itu subjek hukum yang berupa orang atau individu maupun pribadi
atau badan hukum. Misalnya suatu subjek hukurn (baik orang maupun badan hukum)
berada didalam batas wilayah suatu negara, dalam hal ini subjek hukum tersebut
tunduk pada yurisdiksi negara tersebut. Untuk menentukan suatu subjek hukum
berada dibawah kekuasaan hukum nasional suatu negara dapat berdasarkan pada
kewarganegaraan. Dalam hal ini ada dua kernungkinan, yaitu:
a.
Orang itu adalah warga negara dari
negara itu sendiri;
b.
Orang itu berkewarganegaraan asing
atau tanpa kewarganegaraan.
Untuk
badan hukum, dibedakan antara badan hukum nasional dan badan hukum asing. Yang
tidak kalah penting untuk menentukan subjek hukum ditundukkan pada yurisdiksi
nasional suatu negara yang adalah adanya kepentingan dari negara yang
bersangkutan terhadap subjek hukum tersebut atas keterlibatannya dalam suatu
peristiwa hukum.
Berdasarkan
atas kepentingan yang harus dilindunginya, maka negara yang bersangkutan
berhak, berkuasa atau berwenang untuk menempatkan orang atau badan hukum yang
memenuhi kualifikasi tertentu dibawah hukum nasionalnya. Dalam hukum
internasional -- demikian pula hukum nasional - yurisdiksi suatu negara
terhadap orangjika ditinjau dari segi kewarganegaraan -nya, dibedakan dalam dua
kategori.
a.
Yurisdiksi atas orang yang berdasarkan kewarganegaraan aktif
(active nationaly principle)
Asas ini menitik beratkan pada adanya hubungan langsung dan aktif
antara negara itu sendiri dengan warganegaranya. Asas ini berdasarkan pada
suatu bahwa setiap orang warga negara akan membawa dan menaati hukum negaranya
dimanapun dia berada. Dengan kata lain, hukum negaranya akan selalu
mengikutinya, kemanapun dia pergi dimanapun dia berada.
Namun tidaklah dalam segala hal dan segala peristiwa hukum
dimana seorang warganegaranya harus diberlakukan. Dalam hal ini, berlakulah
"as as selektifitas" yaitu penentuan tentang dapat berlaku atau
tidaknya hukum nasional negaranya itu harus ditentukan oleh negara itu sendiri.
Tegasnya negara itu sendirilah yang menentukan peraturan perundang undangan
yang manakah yang dapat diberlakukan terhadap warganegaranya yang terlibat
dalam peristiwa hukum yang mengandung aspek-aspek internsional atau peristiwa hukum
yang tidak semata-mata merupakan masalah dornestik. Sudah tentu pula, harus
menghormati dan memperhatikan kaedab-kaedah bukum internasional dan hukum
nasional dari negara-negara lain.
b.
Yurisdiksi atas orang yang berdasarkan kewarganegaraan pasif
(passive nationality principle)
Dalam
yurisdiksi ini, titik beratnya tidak terletak pada hubungan langsung atara
negara dengan orang-orang yang bersangkutan, sebab orang itu bukan
warganegaranya, melainkan warga negara asing itu untuk melindungi kepentingannya
maupun kepentingan warganegaranya sensiri terhadap tindakan-tindakan atau
periJaku orang asing yang merugikan. Jadi, orang yang bukan warganegaranya
ditundukkan dibawah hukum nasionalnya, disebabkan oleh karena perbuatan atau
perilaku orang asing itu yang merugikan kepentingan negara tersebut. Hal ini
dimaksudkan untuk melindungi kepentingan negara tersebut. Oleh karena itu
yurisdiksi personal ini disebut juga dengan prinsip perlindungan (proactive
principle).
2.
Yurisdiksi Kebendaan (Jurisdiction
in Rem)
Dalam yurisdiksi kebendaan ini persoalanlmasalah
pokok yang muncul adalah, negara mankah yangberhak atau berwenang untuk
mengatur serta hukum negara manakah yang berlaku terhadap suatu benda yang ada
atau berada pada suatu tempat tertentu. Benda, secara yuridis dibedakan an tara
benda tetap atau benda tidak bergerak dan benda tidak tetap atau benda
bergerak. Dalam hubungannya dengan letak atau keberadaan benda ini, sudah tentu
tidak termasuk didaJamnya benda-benda yang terletak didalam batasbatas wilayah
negara tersebut. Sebab benda-bend a yang terletak didalam batasbatas wilayah
negara itu akan tunduk pada yurisdiksi teritorial dari negara tersebut. Dengan dernikian, yang dimaksudkan
dalam yurisdiksi kebendaan ini adalah benda-benda yang terletak atau berada
diluar wiJayah negara itu. Hal ini berarti puLa, bahwa terhadap benda itu
kemungkinannya juga tunduk pada yurisdiksi negara lain, atau tunduk pada hukum
internasional. Jadi mengandung aspek internasional.
Jika benda
dinilai dari sudut letaknya atau tempatnya berada, terdapat beberapa
kemungkinan, yaitu berikut ini.
a.
Ada benda yang selamanya terletak
atau berada didalam batas-batas wilayah suatu negara. Benda semacam inilah yang
disebut dengan benda tetap atau benda tidak bergerak. Benda dalam golongan ini,
sepenuhnya dan selamanya akan tunduk pada yurisdiksi nasional dari negara
tempat benda itu terletak.benda semacam ini tidak mengandung aspek
internasional karena semata-mata rnerupakan masalah dornestik.
b.
Suatu benda pada suatu waktu berada
didalam wilayah suatu negara, pada suatu waktu lain berada di wilayah negara lain,
dalam waktu yang lain lagi benda itu berada di luar wilayah negara manapunjuga.
c.
Suatu benda sebagian berada di dalam
wilayah suatu negara dan sebagian lagi didalam wilayah negara lain.
Dalam hal-hal benda seperti diuraikan diatas, hukum
internasional akan memberikan pedornan dan atas petunjuk tentang bagaimana
seharusnya pengaturan atas benda seperti tersebut diatas. Tetapi pengaturan
dalam hukum internasional, hanya secara garisbesarnya saja. Sedangkan
pengaturan secara lebih detil dan limitatif, adalah didalam hukurn nasional
dari masing-masing negara. Dengan kata lain, hukum internasional menyerahkan
pengaturannya lebih lanjut kepada hukum nasional masing rnasmg negara.
3.
Yurisdiksi Kriminal (Criminal
Jurisdiction)
Kejahatan
atau dalam istilah yuridis disebut tindak pidana, penstiwa pidana, perbuatan
pidana atau delik, kadangkala tidak saja menyangkut kepentingan satu negara,
tetapi menyangkut juga kepentingan lebih dad satu negara. Hal ini bisa
disebabkan oleh karena peristiwa itu sendiri yang memang terjadi pada dua
negara baik secara serentak atau secara berurutan; peristiwanya terjadi dalam
satu negara tetapi menimbulkan akibat di negara lain; pelaku peristiwa itu
melarikan diri ke negara lain; dan lain sebgainya.
Kejahatan
atau peristi wa pidana seperti inilah yang yang secara jelas dan nyata dapat
dikatakan mengandung aspek-aspek internasional. Jadi tidak semata-mata
merupakan masalah domestik. Tentu saja dalam kasus-kasus seperti ini
negara-negara yang berkepentingan akan berusaha menangkap pelakunya, sepanjang
hukum (pidana) nasionalnya dapat diterapkan atas kasus tersebut. Atau dalam
perkataan lain, sepanjang negara itu merniliki yurisdiksi kriminal atas orang
maupun peristiwa tersebut.
Seperti
halnya benda, peristiwa pidanapun bisa terjadi dalam berbagai variasi, seperti
berikut ini.
a.
Ada peristiwa pidana,
akibat-akibatnya maupun pelakunya terjadi atau berada didalam batas-batas
wilayah suatu negara. Dalam hal ini peristiwa pidana maupun orang tersebut
sepenuhnya tunduk pada yurisdiksi negara itu. Kadang-kadang dalam peristiwa
seperti ini juga tersangkut yurisdiksi negara lain. Misalnya kerena pelaku atau
korbannya adalah warga negara lain tersebut.
b.
Ada peristiwa pidana yang sebagian
terjadi pada wilayah suatu negara sedangkan sebagian lagi terjadi dalam
batas-batas wilayah negara lain. Dalam hal ini tersangkutlah kepentingan dan
yurisdiksi kriminal negara negara tersebut.
c.
Ada peristiwa pidana yang terjadi
dalam wilayah suatu negara tetapi akibat yang ditimbulkannya terjadi di negara
lain.
d.
Ada peristiwa pidana yang terjadi di
dalam wilayah suatu negara tetapi akibat yang ditirnbulkannya terjadi di luar
batas-batas wilayah negara manapun atau si suatau tempat yang bukan wilayah
negara.
e.
Ada peristiwa pidana yang terjadi
pada suatu tempat diluar batas suatu negara tetapi kaibatnya terjadi di dalam
batas-batas wilayah dari dua negara atau lebih.
f. Ada peristiwa yang
terjadi di dalam batas-batas wilayah suatu negara tetapi korbannya adalah orang
yang berkewarganegaraan berbeda-beda.
g.
Masih banya lagi berbagai variasi
peristiwa pedana yang lainnya
Pada
dasarnya, suatu negara memiliki yurisdiksi kriminal atas suatu kejahatan
apabila peristiwa itu sudah lebih dahulu ditetapkan sebagai peristiwa pidana
sidalam undang-undang pidana nasionalnya. Hal ini sesuai dengan asas
"nullum deliktum" yang secara umum sudah sianut didalam hukum pidana
nasional dari negara-negara di dunia. Dalam kenyataannya, tentu saja tidak
semua negara dalam waktu yang bersamaan akan menetapkan suatu peristiwa tau
kejahatan sebagai peristiwa pidana didalam undang-undang pidnaa nasionalnya.
Ada negara-negara yang segera menetapkannya sebagai tindak pidana, ada
negara-negara yang masih rnempelajarinya bahkan ada negara negara yang
sarnasekali menolak untuk menetapkan peristi wa yang serupa itu sebagai
peristiwa pidana.
Secara
garis besar dapat dikernukakan beberapa kernungkinan yang bisa terjadi dalam
kenyataan rnengenai rnasalah di atas, yakni ada peristiwa atau kejahatan yang:
a.
sudah ditetapkan sebagai peristiwa
pidana oleh suatu negara, sedangkan oleh negara lainnya sama sekali belum
ditetapkan sebagai peristiwa pidana;
b.
sudah ditetapkan sebagai peristiwa
pidana o1eh semua negara di dunia;
c.
sama seka1i belum ditetapkan sebagai
peristiwa pidana oleh semua negara.
Semakin
meningkatnya kemajuan teknologi pada satu pihak memang rneningkatkan
kesejahteraan umat manusia, tetapi pada lain pihak rnenirnbulkan ekses negatif
berupa kejahatan-kejahatan yang cukup serius. Kejahatan itu tidak lagi terbatas
hanya di dalam batas-batas wilayah negara baik peristi wanya sendiri maupun
akibat-akibat yang ditimbulkannya. Dengan kata lain, sudah menampakkan isi,
bentuk dan ruang lingkup yang internasional. Kadang-kadang kemunsulan peristiwa
atau kejahatan semacam inipun sulit didugadan dibayang kan sebelumnya.
Penanggulangannya,
baik pencegahan maupun pernbatasannya, tidaklah cukup jika dilakukan oleh
negara-negara secara sendiri-sendiri, melainkan membutuhkan kerjasama
internasional.
Kerjasama
ini dapat berupa merumuskan peraturannya dalam bentuk konvensi internasional
sebagai hasil kata sepakat negara-negara dalam suatu konfrensi internasional,
maupun kerjasama dalam pencegahan dan pemberantasannya sendiri, baik melalui
lembaga-Iembaga internasional seperti International Criminal Police
Organisation (ICPO - INTERPOL) rnaupun kerjasama bilateral dan multilateral.
4.
Yurisdiksi Sipil (Civil Jurisdiction)
Seperti
halnya yurisdiksi kriminal, yurisdiksi juga menyangkut hak atau yurisdiksi
negara atas peristiwa hukum sipil yang terjadi pada suatu tempat tertentu.
Dalam hal ini sudah tentu menyangkut peristiwa hukum sipil yang menyangkut
aspek internasional.
Seperti
juga peristiwa pidana, peristiwa sipilpun ada berbagai variasinya, bahkan
mungkin lebih bervariasi. Berbagai variasi dan peristiwa sipil tersebut, dapat
ditinjau dari berbagai segi, seperti misalnya:
a.
dari sudut subjek hukum atau badan
hukum yang terlibat dalam peristiwa sipil tersebut.
b.
dari temp at terjadinya peristiwa
hukum maupun akibat yang ditimbulkannya.
c.
jenis atau macam dari peristiwa
hukum tersebut.
d.
dan lain-lainnya.
5.
Yurisdiksi
Eksklusif (Exclusive Jurisdiction)
Yuridiksi ekslusif ini muncul
didorong oleh keinginan dan kemampuan negara-negara mengeksplorasi dasar laut
dan tanah di bawahnya serta mengeksploitasi sumber day a alamnya, sebgai akibat
dari kemajuan dan perkembangan ilmu pengetabuan dan teknologi (keJautan).
Semula negara negara melakukan klaim-klaim sepihak untuk membenarkan
tindakannya mengeksplorasi dasar laut dan tanah dibawahnya serta
mengeksploitasi sumber daya alam yang terkandung didalamnya.
Sepanjang menyangkut perkara-perkara
pidana, Yurisdiksi yang dimiliki oleh suatu Negara dapat berupa bentuk-bentuk
berikut ini.
B.
PRINSIP TERITORIAL
Menurut prinsip ini, setiap Negara
mempunyai Yurisdiksi terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan didalam
wilayahnya (teritorial).Prinsip ini adalah prinsip yang paling penting dan
mapan dalam membicarakan masalah Yurisdiksi dalam Hukum Internasional. Menurut
Hakim Leod Macmillan, benda dan perkara-perkara pidana dan perdata dalam
batas-batas teritorialnya sebagai petanda Negara tersebut berdaulat.
Prinsip teritorial ini terbagi dua,
yaitu; Yurisdiksi menurut prinsip teritorial subjektif, dan prinsip menurut
teritorial objektif. Menurut Glanville Williams. hubungan yang erat an tara
wilayah suatu Negara dengan kompetensi Yurisdiksi dapat dijelaskan karena
adanya faktor-faktor
1. Negara dimana suatu perbuatan tindak pidanalkejahatan
dilakukan biasanya mempunyai kepentingan yang palin kuat untuk menghukumnya.
2. Biasanya sipelaku kejahatan ditemukan di Negara tempat ia
rnelakukan tiodak pidana/kejahatan.
3. Biasanya pengadilan setempat (ioealforum) dimana tindak
pidana terjadi adalah yang paling tepat, karena saksi-saksi (dan mungkin barang
buktioya) dapat ditemukan dinegara tersebut.
4. Adanya fakta bahwa adanya sistern-sistem Hukum yang berbeda,
dan karenanya akan janggallah, misalnya, jika seorang Amerika yang datang ke
London harus tunduk pada dua sistem Hukum; Hukum Inggris dan Hukum Amerika.
Prinsip teritorial ini berlaku pada
hal-hal berikut ini.
1.
Hak Lintas Di Laut Teritorial
Yurisdiksi
prinsip teritorial yang dimiliki oleh suatu Negara (pantai) telah diakui sejak
lama.Pengakuan dan pengaturan Yurisdiksi Negara pantai ini tampak dalam hasil
konperensi kodifikasi Hukum Laut Den Haag 1930.Dalam konperensi ini diakui
adanya dua macam Yurisdiksi Negara pantai atas kapal laut yang berlayar dilaut
teritorialnya, Yurisdiksi krirninal (pidana) dan Yurisdiksi perdata.Konperensi
ini lalu dipertegas kembali dalam konvensi Hukum Laut Jenewa 1958. Dalam
konvensi tentang Laut teritorial dan jalur tambahan, Pasal 19 dan 20 dibawah
judul rules applicable to merchant ships( peraturan yang berlaku terhadap
kapal-kapal. Dipertegas kembali dalam Pasal 27 dan 28 dibawah judl peraturan yang
berlaku terhadap kapal dagang dan kapal pemerintah yang dioperasikan untuk
tujuan komersial.
Ketentuan-ketentuan
tentang Yurisdiksi perdata Negara pantai bertalian dengan kapal asing adalah
sebagai berikut.
a.
Negara pantai seyogyanya tidak
menghentikan atau mengubah haluan kapal asing yang melintasi lautan
teritorialnya untuk tujuan melaksanakan Yurisdiksi perdata bertalian dengan
seseorang yang berbeda diatas kapal itu.
b.
Negara pantai tidak dapat
melaksanakan eksekusi terhadap atau menahan kapal untuk keperluan proses
perdata apapun, kecuali hanya apabila bekenan dengan kewajiban atau
tanggungjawab ganti rugi yang diterima atau yang dipikul oleh kapal itu sendiri
dalam rnelakukan atau untuk maksud perjalanannya melalui perairan Negara pantai.
c.
Ketentuan (b) diatas tidak
mengurangi hak Negara pantai untuk melaksanakan eksekusi atau penangkapan
sesuai dengan undang undangnya dengan tujuan atau guna keperluan proses
perdata terhadap suatu kapal asing yang berada dilau teritorial atau melintasi
laut teritorial setelah meninggalkan perairan pedalaman.
2.
Prinsip Yurisdiksi Teritorial
Terhadap Kapal Berbendera Asing (Floating
Islands) Di Laut Terltorial
Kapal-kapal
perang yang melanggar perundang-undangan Negara pantai berkenaan dengan
lintasan melalui laut teritorial dan yang tidak mengindahkan penataan terhadap
Hukum, dapat dituntut untuk meninggalkan laut teritorial dengan segera (Pasal
30 konvensi Hukum Laut 1982, atau Pasal 23 Konvensi Hukum Laut Jenewa tentang
laut teritorial tahun 1958), dan Negara pantai dapat pula menggunakan senjata
yang diperlukan untuk memaksa agar kapal tersebut meninggalkan laut teritorialnya.
Sepanjang
menyangkut kapal-kapal perang dan kapal-kapal pemerintah yang dioperasikan
untuk tujuan-tujuan non-komersial, terdapat dua teori mengenai kapal-kapal ini.
a.
Teori "pulau terapung"
(the floating island theory), menurut teori ini, kapal-kapal tersebut harus
diperlakukan oleh Negara-negara lain sebagai dari wilayah suatu Negara. Menurut
teori ini pula, Yurisdiksi pengadilan tidak berlaku terhadap setiap tindakan
yang dilakukan diatas kapal itu atau menahan seseorang yang melakukan kesalahan
diatas kapal tersebut
b.
Teori yang menyatakan bahwa
pengadilan Negara pantai memberikan kekebalan-kekebalan (irnunitas) tertentu
kepada kapal-kapal asing beserta wakilnya. Pemberian ini bukan berdasarkan pada
teori objektif yang menyatakan bahwa kapal perang/Negara itu adalah wilayah
Negara asing, tapi didasarkan pada pembebasan atau pengecualian yang diberikan
oleh undang-undang, Negara pantai. Kebebasan itu sifatnya bersyarat dan
karenanya dapat ditarik kembali oleh Negara pantai tersebut
3. Pelabuhan
Pelabuhan adalah salah satu bagian daripada perairan
pedalarnan karena diperairan pedalaman ini suatu Negara berdaulat penuh, maka
kedaulatan penuh ini pun berlaku dipelabuhan-pelabuhannya.Karena itu pula,
suatu kapal asing yang memasuki pelabuhan suatu Negara, maka kapal tersebut
berada dalam kedaulatan teritorial suatu Negara panti.Karenanya pula Negara
pantai berhak untuk menegakkan Hukumnya terhadap kapal dan awaknya.Namun untuk
masalah-masalah "ekonomi intern" (internal economy) kapal
tersebut kewenangannya tetap berada pada pejabat-pejabat Negara bendera kapal.
Dipelabuhan,
Negara pantai merniliki juridiksi terhadap tindak pidana yang mengganggu
perdamaian dan ketertiban Negara pantai (Le.,di pelabuhan). Pengadilan prancis
dalam kasus the tempes (1859) rnenetapkan bahwa beberapa jenis kejahatan,
seperti pembunuhan, terlepas dari adanya gangguan terhadap pelabuhan dimana
kapal tersebut merapat, merupakan alas an bagi suatu Negara untuk menetapkan
Yurisdiksinya. Keputusan pengadilan yang senada juga dikemukakan oleh
pengadilan Amerika Serikat dalam kasus the wildenhuis (1887) (pembunuhan),
people v. wong Cheng (1922) (kasus obat terlarang). Negara pantai dapat pula
menerapkan Yurisdiksi teritorial apabila dirninta atau dikehendaki oleh kapten
atau konsul dari Negara bender kapal.
4.
Terhadap Orang Asing
Yurisdiksi
teritorial suatu Negara terhadap orang asing sarna halnya Yurisdiksi teritorial
Negara terhadap warga negaranya, Tidak ada perlakuan khusus terhadap
orang-orang asing ini. Hal ini dikemukakan oleh Hakim J.B. Moore dalam kasus
the lotus, namun demikian, seseorang warga Negara asing dapat menuntut
dilepaskannya dair Yurisdiksi teritorial suatu Negara dalam hal berikut ini.
a.
Dengan alas an adanya imunitas
tertentu, orang asing itu menjadi tidak tunduk kepada Hukum Nasional Negara
pantai.
b.
Bahwa Hukum Nasional Negara tersebut
tidak sejalan dengan Hukum Intemasional
5.
Yurisdiksi Teritorial Terhadap
Pelaku Tindak Pidana
Bahwa
suatu Negara rnemiliki Yurisdiksi teritorial terhadap tindak pidana merupakan
konsekuensi daripada prinsip yurisdiksi suatu Negara seperti telah terurai
dimuka tulisan ini. Dari hasil penelitian Komisi AhE untuk pengkodifikasian
Hukum Internasional (report of the sub-committee of league of nations
Intemasionali tab un 1926, Yurisdiksi teritorial yang paling berwenang terhadap
pelaku tindak pidana adalah ada pada Negara yang ketertban sosialnya paling
terganggu dan yang wilayahnya dipakai sebagai tempat kejahatan tersebut
dilaksanakan.
Menurut
basil penelitian Universitas Harverd, pertimbangan lainnya dalarn menerapkan
Yurisdiksi teritorial ini adalah bahwa Negara dimana sipelaku tindak pidana itu
berada memiliki kepentingan, faslitas dan penjabat yang paling berkompeten dan
kuat untuk menangani suatu tindak pidana baik yang dilakukan oleh warga
negaranya maupun oleh warga Negara asing.
6.
Pengecualian Terhadap Yurisdiksi Terhadap Kasus Teritorial
Dalam hal-hal tertentu, Yurisdiksi teritorial kabel (tidak berlaku) terhadap.
a.
Negara dan kepala Negara asing
Telah
dikemukakan pada awal bab ini, suatu Negara adalah berdaulat, rnerdeka dan
sederajat dengan Negara lainnya, Berdaulat, merdeka dan sederajat disini
artinya yaitu bahwa tidal ada kekuasaan Negara lain yang dapat mencampuri
urusan dalam negeri Negara tersebut dan bahwa suatu Negara bebas berbuat apapun
juga didalam negerinya. Sudah barang tentu sepanjang perbuatan tersebut tidak
mengganggu ketentramanlketertiban Negara lain. Attinya suatu Negara adalah imun
(kebal) dari tindakan-tindakan, termasuk Yurisdiksi Negara lainnya.
Yang menjadi dasar selain adanya
prinsip-prinsip unsur kedaulatan diatas yaitu adanya:
1.
phrase Hukum: par in parem non habet imperium, yang artinya bahwa suatu Negara
yang berdaulat tidak dapat menjalankan Yurisdiksinya terhadap Negara berdaulat
lainnya;
2.
prinsip resiprositas (Reciprocity) dan komunitas (community), yang artinya bahwa jika
suatu Negara memberi kekebalan kepadanegara lain, maka secara timbal batik
(resprosits dan komitas), Negara tersebut akan memberi kekebalan serupa kepada
Negara itu.
3.
fakta bahwa pada umurnnya keputusan
pengadilan suatu Negara memang tidak dapat dilaksanakan terhadap Negara
lainnya;
4.
fakta bahwa suatu Negara yang
mengizinkan Negara lainnya untuk memasuki wilayahnya, secara implisit telah
memberikan kekebalan terhadapnya.
5.
fakta bahwa pokok perkara yang
menyangkut kebjaksanaan suatu pemerintah asing seyogyanya tidak diselidiki oleh
pengadilan-pengadilan Negara lain.
Meskipun
suatu Negara memiliki kekebalan terhadap Yurisdiksi (pengadilan) Negara lain,
namun sifat ini tidaklah mutlak. Dalam hal tertentu tindakan suatu Negara pun
dapat dituntut didepan pengadilan Negara lain.
b.
Perwakilan diplomatik dan konsuler
Para ahli
Hukurn lnternasional rnengakui bahwa diplomat adalah salah satu dari
lembaga-lembaga manusia yang tertua.Di zaman India kuno telah dibuat ketentuan
tentang tindak-tanduk diplomat dinegara asing.Ketetentuan ketentuan tersebut
yang terbentuk melalui Hukum kebiasaan merupakan salah satu bagian dari Hukurn
kuno sebagian besar Negara.Sejak dulu itu pun, kekebalan terhadap perwakilan
diplomatik telah diakui. Adanya ketentuanlpengaturan kekebalan diplomatik ini
sebagaimana terungkap dalam pendapat Mahkamah Internasional (daJam kasus USA v.
Iran, Ie} report 1989), adaJah penting untuk memelihara hubungan-hubungan
antara Negara negara dan diterima diseluruh Negara-negara meskipun adanya
perbedaan kebudayaan dan politik.
Disamping
itu menurut seorang hakim Inggris Sir Robert Phillimore, kekebalan kedaulatan
ini mempunyai fungsi lain yang juga penting. Menurut beliau, kekebalan
diplomatik ini berfungsi untuk menjaga martabat (jatidiri) atau mencegah
perlakuan yang memalukan seorang perwakilan Negara asing. Beliau menyatakan
sebagai berikut:
"the
object of international law, in this as in orther matters, is not work
injustice, not to prevent the enforcement of a just demand, but ti subtitue
negotiations between govermments for the ordinary courts in cases where such
use would lessen the dignity or embarrass the function of the representatives
of a foreign state".
Menurut konvensi Wina tell tang hubungan-hubungan diplomatik,
maksud diberikannya kekebalan diplomatik ini bukanlah untuk mernberikan
keuntungan atau kemudahan bagi si diplomat, tetapi untuk menjaga agar fungsi
missi diplomatik dari Negara yang mengirimkannya betul-betul efisien.
Menurut Pasal 31 ayat 1 Konvensi Wina, seorang diplomat juga
menikmati kekebalan terhadap Yurisdiksi krirninal dari Negara penerima. Ia juga
menkmati kekebalan terhadap Yurisdiksi perdata dan administratif, kecuali dalam
hubungan-hubungan berikut ini
1.
Suatu perbuatan yang berhubungan
dengan benda bergerak yang berada dalam wilayah Negara penerima, kecuali benda
tersebut dirniliki at as nama Negara penerima untuk tujuan missi diplomatik.
2.
Suatu perbuatan yang berhubungan dengan
suksesi yang mana wakil diplomatik tersebut terlibat sebagai seorang
perseorangan (private person).
3.
Suatu tindakan yang berhubungan
dengan setiap kegiatan profesi atau komersial yang dilakukan oleh diplomat di
Negara penerima diluar fungsi resrrunya.
Hubungan-hubungan
lUI diplomat berhenti dari tugasnya sebagai staf missi diplomatik, kekebalannya
masih tetap melekat untuk jangka waktu tertentu yang layak (a reasonable time)
dengan maksud agar ia dapat meninggaikan Negara penerima kembali ke negerinya.
Apabila ia telah berhenti dari fungsinya sebagai diplomat, dan apabila ia
terbukti melakukan suatu perbuatan melawan Hukum, ia dapat diadili atas
tindakan yang telah dilakukannya, yang tidak ada hubungannya dengan fungsinya
sebagai diplomat (Pasal 39 ayat 2 Konvensi Wina).
Menurut
Pasal 31 ayt 1 Konvensi Wina tahun 1961, fungsi missi diplomatik antara lain,
adalah sebagai berikut.
1.
Mewakili Negara pengirim di Negara
penerima.
2.
Melindungi kepentingan-kepentingan
Negara pengirim dan warga negaranya di wilayah Negara penerima dalam
batas-batas yang diperbolehkan.
3.
Mengadakan perundingan dengan
pemerintah dengan Negara penerima.
4.
Untuk mengetahui keadaan-keadaan dan
perkembangan-perkembangan di Negara penerima melalui cara-cara yang sah (legal)
dan melaporkannya kepada pemerintah Negara pengirim.
5.
Memajukan hubungan-hubungan baik
antara negaranya dengan Negara penerima, dan mengembangkan hubungan ekonomi,
budaya dan ilmu pengetahuan.
Manakala
seorang diplomat berhenti dari tugasnya sebagai staf missi diplomatik, kekebalannya
masih tetap melekat untuk jangka waktu tertentu yang layak (a reasonable time)
dengan maksud agar ia dapat meninggalkan Negara penerima kembali ke negaranya.
Apabila ia telah berhenti dari fungsinya sebagai diplomat, dan apabila ia dapat
diadili atas tindakan yang telah dilakukannya, yang tidak ada hubungannya
dengan fungsinya sebagai diplomat (Pasal 39 ayat 2 Konvensi Wina).
Menurut
Pasal 2 Konvensi, PBB memiliki kekebalan penuh terhadap setiap proses Hukum.
Anggaran Dasar, kekayaan, arsip-arsip dan dokumen dokumennya tidak dapat
diganggu gugat (Pasal 3 dan 4). PBB bebas dari pajak langsung dan cukai (Pasal
7), dan staf-stafnya dibebaskan dari pajak pendapatan terhadap penghasilan
mereka (Pasal 18).Sekertariat Jendran dan pembantunya memiliki kekebalan
diplomatik (Pasal 19). Perwakilan Negara negara anggota PBB yang mengikuti
sidang-sidang atau pertemuan-pertemuan PBB pun memiliki kekebalan yang sama
sebagai manakalanya diplomat. Namun kekebalan terhadap proses Hukum hanya
berlaku kepada tindakan tindakannya sebagai pejabat resmi, Mereka juga
menikmati kekebalan dari beacukai terhadap tas-tas pribadinya (Pasal 11-16).15
1.
Kapal pemerintahan Negara asing.
2.
Angkatan bersenjata Negara asing.
3.
Organisasi Internasional.
Batas
antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional ini berkenaan dengan berikut ini.
1. Pe1anggaran kewajiban atau kelalaian
oleh sesuatu Negara yang mengakibatkan pertanggungjawaban. Pertangguogan jawab
Negara tidak ada karena pelanggaran Hukurn Nasional saja, tidak berguna
dikemukakan bahwa kejadian-kejadian yang rnenimbulkan pertanggungan jawab itu
diatur oIeh Hukum Nasional; selanjutnya tak dapat pula dikemukakan bahwa
sesungguh nya tidak ada pelanggaran Hukum national, cukup asalkan azas Hukum
Internasional telah dilanggar.
2.
Kekuasaan
(wewenang) badan Negara yang melakukan itu. Negara tidak dapat mernbela diri
dengan rnengemukakan bahwa badan yang melakukan kesalahan itu telah melampaui
kewenangannya at au sarna sekali tak berwenang menurut Hukum Nasional. Apabila
Hukum Internasional mengatakan bahwa Negara itu bertanggungjawab bahwa Negara
Hukum Nasional berlaku, skalipun menurut Hukum Nasional badan itu tak
berwenang.
Dari
ketentuan Sub a. dan b. tersebut diatasnya telah bahwa Negara tidak dapat
menggunakan Hukum Nasionalnya sebagai alasan untuk tidak melakukan kewajiban
Internasional.
R A
N G K U M A N
Secara singkat dan sederhana, Yurisdiksi berarti, kepunyaan
seperti apa yang ditentukan at au ditetapkan oleh hukum, atau dengan singkat
dapat diartikan "kekuasaan atau kewenangan hukum", Yurisdiksi ini
lahir karena adanya tindakan:
1.
legislatif,
yaitu kekuasaan pengadilan untuk menetapkan membuat peraturan atau
keputusan-keputusan;
2.
eksekutif,
yaitu kekuasaan mengadili orang (benda atau peristiwa) agar mereka menaati
peraturan (Hukum) yang berlaku;
3.
yudikatif,
yaitu kekuasaan untuk mengadili orang, berdasarkan atas suatu peristiwa
Sepanjang
menyangkut perkara-perkara pidana, Yurisdiksi yang dimiliki oleh suatu Negara
dapat berupa bentuk-bentuk berikut ini.
1.
Prinsip Teritorial, yang terdiri
dari:
a.
hak lintas dilaut teritorial;
b.
prinsip yurisdiksi teritorial
terhadap kapal berbendera asing (floating island) dilaut teritorial;
c.
pelabuhan;
d.
terhadap orang asing;
e.
pengecualian terhadap yurisdiksi
terhadap kasus teritorial;
2.
Perwakilan Diplomatik dan Konsuler.
Glosarium
Hukum Internasional
|
adalah
keseluruhan kaedah-kaedah dan asas-asas Hukum yang mengatur hubungan atau
persoalan yang melintasi batas-batas negara.
|
Hukum Internasional
Publik
|
ialah
Hukum yang mengatur hubungan Hukum antara negara yang satu dengan
negara-negara lainnya dalam hubungan internasional.
|
Hukum Internasional
Privat
|
ialah
Hukum yang mengatur hubungan Hukum antara warga negara-warga negara suatu
negara dengan warga negara-warga negara dari negara lain dalam hubungan
internasional.
|
Pelabuhan
|
Pelabuhan
adalah salah satu bagian daripada perairan pedalaman karena diperairan
pedalaman ini suatu Negara berdaulat penuh, maka kedaulatan penuh ini pun
berlaku dipelabuhan-pelabuhannya
|
Yurisdiksi Personal
|
disebut
sebagai yurisdiksi atas orang atau atas subjek hukum, titik beratnya terletak
pada subjek hukumnya yang dapat ditundukkan pada yurisdiksi tersebut, baik
itu subjek hukum yang berupa orang atau individu maupun pribadi atau badan
hukum.
|
Yurisdiksi Kebendaan
|
adalah, negara manakah yang berhak
atau berwenang untuk mengatur serta hukum negara manakah yang berlaku
terhadap suatu benda yang ada atan berada pada suatu temp at tertentu.
|
Yurisdiksi Kriminal
|
kejahatan atau dalam istilah
yuridis disebut tindak pidana, peristiwa pidana, perbuatan pidana atau delik,
kadangkala tidak saja menyangkut kepentingan satu negara, tetapi menyangkut
juga kepentingan lebih dari satu negara.
|
Yurisdiksi Civil
|
menyangkut
hak atau yurisdiksi negara atas peristiwa hukum sipil yang terjadi pada suatu
tempat tertentu.
|
Yurisdiksi eksklusif
|
adalah yurisdiksi yang muncul
didorong oleh keinginan dan kemampuan negara-negara mengeksplorasi dasar laut
dan tanah di bawahnya serta mengeksploitasi sumber daya alamnya, sebagai
akibat dari kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
|
Active
Nationaly Principle
|
menitikberatkan pada adanya
hubungan langsung dan aktif antara negara itu sendiri dengan warga negaranya.
|
Passive
Nationality Principle
|
titik beratnya tidak terletak pada
hubungan lang sung antara negara dengan orang-orang yang bersangkutan, sebab
orang itu bukan warga negaranya, melainkan warga negara asing itu untuk
melindungi kepentingannya maupun kepentingan warga negaranya sendiri terhadap
tindakan-tindakan atau perilaku orang asing yang merugikan.
|
Daftar Pustaka
Buku:
Adolf, Huala, 1991. Aspek-Aspek
Negara Dalam Hukum lntemasional, Jakarta : Rajawali Pers.
Bisri, Ilharni, 2004. Sistem Hukum
Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Haryomataram, 2005. Pengantar Hukum
Humaniter, Jakarta: Raja Grafindo Pesada.
Kusumaatmadja, Mochtar, 1990.
Pengantar Hukum Internasional Buku 1- Bagian Umum, Bandung : Binacipta.
Mustafa, Bachsan, 2003. Sistem.
Hukum Indonesia Terpadu, Bandung : Citra Aditya Bakti.
Parthiana, I Wayan, 1990. Pengantar
Hukum. lnternasional, Bandung : Mandar Maju.
Starke, J.G., 1986. An Introduction
To Intemasional Law, Pengantar Hukum Internasional. Bandung .' Justitia Study
Group.
Suryono, Edy dan Moenir Arisoendha,
1986. Hukum Diplomat Kekebalan dan Keistimewaannya, Bandung : Angkasa