Sabtu, 14 September 2019

Sistem Hukum Indonesia. Modul 7


MOOUL 7
Hukum Pidana
Dr. H. Nandang Alamsah Deliarnoor, S.H., M.Hum.
Dalam modul 7 ini akan dibahas salah satu sub sistem hukum Indonesia, yang sangat penting yaitu Hukum Pidana. Hukum pidana kadang disebut sebagai hukum yang ultimum remedium artinya hukum yang digunakan sebagai langkah terakhir bilamana hukum-hukum yang lainnya sudah digunakan seperti hukum perdata atau hukum administrasi negara. Dalam Modul ini berturut-turut akan diterangkan hal-hal sebagai berikut.
1.      Pengertian hukum pidana.
2.      Sumber hukum pidana.
3.      Tindak Pidana.
4.      Sifat Melawan Hukum dan Ajaran Sebab - Akibat.
5.      Asas-asas hukum pidana.














KEGIATAN BELAJAR 1
Pengertian Hukum Pidana

A. ISTILAH HUKUM PIDANA
Istilah hukum pidana merupakan terjernahan dari istilah bahasa Belanda strafrecht.Straf berarti pidana, dan recht berarti hukum. Menurut Wirjono Prodjodikoro.bahwa istilah hukum pidana itu dipergunakan sejak pendudukan Jepang di Indonesia untuk menerjemahkan pengertian strafrecht dari bahasa Belanda, dan untuk membedakannya dari istilah hukum perdata yaitu burgerlijkrecht atau privaatrecht dari bahasa Belanda (Wirjono, 1969: 1)

B. RUMUSAN HUKUM PIDANA
Hukum materiil adalah hukum yang mengatur isi, contohnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Perdata/Burgerlijk Wetboek. Sedangkan hukum formal atau hukum acara adalah hukum yang mempunyai tugas untuk mempertahankan hukum materiil contohnya Kitab Undang-undang Hukum Acara PidanaJHIR.
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran­ pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.
Bermacam-macam pengertian hukum pidana yang dikemukakan oleh para sarjana hukum. Di bawah ini akan dikernukakan pengertian hukum pidana dari para sarjana hukum pidana Indonesia terkenal.
1.         Prof. Soedarto, S.H.
Soedarto mengartikan babwa hukum pidana memuat aturan-aturan yang mengikatkan: kepada perbuatan- perbuatan yang memenuhi syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana (definisi dari Mezger).
Selanjutnya Soedarto menyatakan bahwa sejalan dengan ini, maka KUHP memuat dua hal pokok, yaitu sebagai berikut.
a.       Memuat pelukisan dari perbuatan -perbuatan orang yang diancam pi dana, artinya memuat syarat-syarat yang harus dipenuhi yang memungkinkan pengadilan menjatuhkan pidana. Jadi di sini seolah-olah negara menyatakan kepada umum dan juga kepada para penegak hukum perbuatan apa yang dilarang dan yang dapat dipidana.
b.      KUHP menetapkan dan mengumumkan reaksi apa yang akan diterima oleh orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu.
Dalam hukum pidana modern reaksi ini tidak hanya berupa pidana, tetapi juga apa yang disebut dengan tindakan, yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang merugikannya (Soedarto, 1997: 100-101).
2.         Prof. Satochid Kartanegara, S.H.
Dalam kuliahnya Satochid mengartikan bahwa hukum pidana adalah sejumlah peraturan yang merupakan bagian dari hukum positif yang mengandung larangan-larangan dan keharusan-keharusan yang ditentukan oleh negara atau kekuasaan lain yang berwenang untuk menentukan peraturan­ peraturan pidana, dan apabila hal ini dilanggar timbullah hak negara untuk melakukan tuntutan, menjatuhkan pidana, dan melaksanakan pidana (lihat E. Y. Kanter dan S. R. Siaoturi, 1982:15)
3.         Prof. Moeljatno, S.H.
Rumusan hukum pidana menurut Prof. Moeljatno", hukum pidana adalah bagian dari semua hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan hukum untuk:
a.       menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang rnelanggar larangan tersebut;
b.      menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-Jarangan itu dapat dikenakan sanksi atau dijatuhkan pidana sebagaimana yang telah diancarnkan;
c.       menentukan dengan cara bagairnana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan, apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Ciri-ciri hukum pidana adalah sebagai berikut.
a.       Pelanggaran: rnengenai hal-hal kecil/ringan yang diancam dengan hukuman denda.
b.      Kejahatan: mengenai soal-soal yang besar, seperti pernbunuhan, penganiayaan, penghinaan, pencurian, dan sebagainya.
c.       Kepentingan Umum:
·         Badan dan peraturan perundangan negara, Contoh: negara, UU, PP.
·         Kepentingan hukurn tiap manusia, yaitu jiwa, raga, kemerdekaan, kehorrnatan, dan hak milik atau harta benda.
4.         C.S.T. Kansil, S.H
Menurut Kansil, Hukum Pidana itu ialah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan. Dari definisi tersebut dapatlah kita rnengambil kesimpulan, bahwa hukum Pidana itu bukanlah suatu hukurn yang rnengatur norma-norma yang baru, melainkan hanya mengatur tentang pelanggaran­ pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap norma-norma hukum yang mengenai kepentingan umum."
Adapun yang termasuk dalam pengertian kepentingan umum ialah'':
a.       badan dan peraturan perundangan Negara, seperti Negara. Lembaga­ lembaga Negara. Pejabat Negara. Pegawai negeri. Undang-undang. Peraturan Pemerintah, dan sebagainya.
b.      kepentinngan hukum tiap manusia, yaitu: jiwa, raga/tubuh, kemerdekaan, kehormatan, dan hak miliklharta benda.
Hukum Pidana itu tidak membuat peraturan yang baru, melainkan mengambil dari peraturan-peraturan hukum yang lain yang bersifat kepentingan umum. Kita mengetahui bahwa pengadilan Perdata baru bertindak kalau sudah ada pengaduan (k1acht) dari pihak yang menjadi korban. Orang itulah sendiri yang harus mengurus perkaranya ke dan dimuka Pengadilan Perdata. Sedangkan dalam Huku Pidana yang bertindak dan yang mengurus perkara ke dan dimuka Pengadilan Pi dana, bukanlah pihak korban sendiri melainkan alat-alat kekuasaan Negara seperti Polisi, Jaksa, dan Hakim. Oleh karena kemudian ternyata, bahwa orang-orang yang kepentingan hukumnya diserang tapi rnalu-rnalu, segan atau takut untuk mengurus sendiri perkaranya ke muka pengadilan Perdata, maka rnudah dapat dimengerti, bahwa banyak perkara yang tidak sampai ke pengadilan sehingga merajalela pe1anggaran atas kepentingan hukum orang".
Untuk rnenjaga keselamatan dari kepentingan umum itu, hukum Pidana mengadakan satu jaminan yang istimewa terhadapnya yaitu seperti tertulis pada bagian terakhir dari definisi Hukum Pidana, ".... Perbuatan mana diancam dengan suatu hukuman yang berupa siksaan'".
Pidana adalah hukuman berupa siksaan yang merupakan keistimewaan dan unsur terpenting dalam hukum Pidana. Kita telah mengetahui bahwa sifat hukum ialah memaksa dan dapat dipaksakan; daya paksaan itu perlu untuk menjaga tertibnya, diturutinya peraturan hukum atau untuk memaksa si perusak memperbaiki keadaaan yang dirusaknya atau mengganti kerugian yang disebabkannya. Pokok untuk menjaga dan mernperbaiki keseimbangan at au keadaan yang semula. Tapi hukum Pidana Paksaan itu disertai suatu siksaan atau penderitaan yang berupa hukuman".
C. ALIRAN HUKUM PIDANA
Para penulis hukum pidana indonesia memberikan pernyataan yang berbeda-beda terhadap tujuan hukum pidana itu. Seperti: Wirjono Prodjodikoro rnenyatakan bahwa tujuan hukum pidana itu ialah untuk memenuhi rasa keadilan (Wirjono 1969: 15); Tirtaamidjaja menyatakan bahwa tujuan hukum pidana itu ialah untuk melindungi masyarakat (Tirtaamidjaja, 1955,18); E. Y. Kanter dan S. R. Sianturi menyatakan bahtu juan hukum pidana itu pada umumnya adalah untuk melindungi kepentingan orang perseorangan (individu) atau hak-hak asasi manusia dan melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat dan negara dengan pertimbangan yang serasi dari kejahatan /tindakan tercela disatu pihak dan dari tindakan penguasa yang sewenang-wenang di lain pihak (E.Y. Kanter dan Sianturi, 1982:55) Menurut urutan umurnya ada tiga aliran hukum pidana (strafrechcholen), yaitu:
1.         Aliran Klasik
Menurut aliran klasik (klassieke richting/klassieke school) tujuan hukum pidana itu adalah untuk melindungi kepentingan perseorangan (individu) terhadap kekuasaan negara.
Menurut Beccaria dan dukungan dari Rousseau, Montesquieu serta Voltaire mempertahan kan doktrinnya yaitu tentang "psyshological hedonism", bahwa setiap orang itu mernperhitungkan kesenangan dan kesakitan dalam melakukan seuatu perbuatan tingkah lakunya diatur sebagai hasil perhitungannya. Kesimpulan dari doktrin tersebut ialah bahwa tindakah terhadap kejahatan merupakan pencatatan dari perhitungan sejumlah kesakitan. Dahl umum dari faham klasik ialah bahwa diperlukan menurut perlakuan yang tidak diinginkan berupa kesakitan dengan memaksakan hukuman kepadanya dan membuat sejumlah kesakitan tertentu dan lengkap dengan batas-batasanya. Maka setiap penjahat akan dapat memandang tindak perbuatan yang akan dikerjakannya dengan memperhitungkan bahwa kesakitan yang didapat dari perbuatannya akan lebb berat daripada kesenangannya.
Beccaria, seorang bangsawan Italia, yang menulis sebuah buku dengan judul "dei delitti e delie pene" (tentang kejahatan-kejahatan dan pi dana­ pidana) tahun 1764.Alasan yang mendorong BECCARIA untuk menulis bukunya itu, oleh karena terjadinya perkara pidana terhadap Jean Calas di kota Toulouse Perancis tahun 1762. Jean Calas dituduh telah membunuh anaknya, bernama Maurie Antonie Calas, karena anaknya itu kedapatan mati dirumah ayahnya. Meskipun Jean Calas selalu menyangkal akan tuduhan itu, tetap dipersalahkan dan akhirnya dijatuhi hukuman pidana mati yang dilaksanakan dengan guilotine. Masyarakat menjadi gempar, timbul perasaan tidak puas, karena menganggap Jean Calas tidak bersalah. Voltaire seorang sastrawan ulung memprotes keras putusan pengadilan itu, dan menuntut agar diaksanakan pemeriksaan ulangan ternyata berhasil, maka dengan pemeriksaan ulangan ternyata itu mati bukan karena dibunuh melainkan karena bunuh diri.kemudian pernuka-pemuka masyarakat, seperti: Maurie Jacques Rouseau dan Montesqueieu pun turut menuntut agar kekuasaan raja beserta penguasa-penguasa dibatasi dengan undang-undang,
Pada saat Beccaria menulis bukunya itu.Perancis ada dibawah kekuasaaan raja absolut (absolute monarchi). Hukum pidana yang ada pada waktu itu pada urnumnya tidak tertulis sehingga rakyat tidak rnengetabui dengan pasti perbuatan-perbuatan apa ayng dilarang dan diharuskan, serta pidana yang diancamkan. Oleh karana itu dalam menentukan baik burujnya atau dapat tidaknya dipidanya suatu perbuatan tergantung pada perasaan hakim sendiri sebagai aJat raja. DaJam penentuan perbuatan tersebut sering terjadi kesewenang-wenangan. Demikian juga cara melakukan pemeriksaaan dengan sewenang-wenang dan diluar perikemanusiaan. Sampai terjadinya kasus Jean Calas yang menggemparkan terse but diatas.
Didalam tulisannya itu Beccaria rnenuntut supaya bukum pidana itu diatur dengan undang-undang, dan susunan hukum pidana ditentukan secara teliti, tetap, dan tidak berubah-ubah.Kernerdekaan seseorang harus dipertahankan dengan sepenuh-penuhnya, dan oleh karena itu hakim harus diikat oleh suatu sistem pidana yang tetap. Akan tetapi apabila seseorang melakukan suatu perbuatan dan diancam dengan pidana oleh ketentuan undang-undang, maka pidana itu harus dijatuhan pula, tanpa memperbatikan keadaan pribadi pembuatnya, yaitu mengenai sebab-sebab dilakukannya kejahatan (politik kriminal)
2.         Aliran Modern
Menurut aliran modern (modeme richting/moderne school) atau aliran kriminologi tcrminologische richting/criminologische school), atau aliran positif (positieve richting/positieve school), tujuan hukum pidana itu untuk melindungi masyarakat terhadap kejahatan.
Aliran modern sangat dipengaruhi oleh perkembangan kriminologi.Pada jaman klasik kriminologi itu belurn lahir, oleh karena itu kriminologi tidak mendapat perhatian aliran klasik.
Berkat timbulnya kriminologi yang dalam penyelidikan ilmiahnya lebih mengutamakan penjahat, sebab-sebab terjadinya kejahatan, dan cara-cara untuk menanggulangi kejahatan itu daripada perbuatan jahatnya. Maka sarjana hukum pidana yang termasuk pada aliran modern lebih memperhatikan penjahat, sebab-sebabnya penjahat melakukan perbuatan jahat, serta cara untuk menanggulangi kejahatan itu daripada perbuatan jahatnya. Hal ini disebabkan bahwa para sarjana hukum pidana tersebut tidak mengutamakan perlindungan terhadap kepentingan perseorangan (individu), seperti dalarn aliran klasik, melainkan hendak melindungi masyarakat terhadap kejahatan (prevensi umum). Oleh karena itu para sarjana hukum pidana tersebut lebih mempelajari sebab-sebabnya penjahat melakukan kejahatannya (etimologi kriminal/criminele eatiologie), dan pidana apa yang dapat dijatuhkan yang paling efisien, baik bagi penjahat maupun bagi masyarakat, agar kejahatan tidak terulang lagi (politik kriminal/criminele politieky. Kemudian politik kriminal ini melahirkan hukum penitensier modern.
Agar masyarakat mendapatkan perlindungan sepenuhnya terhadap kejahatan, maka aLiran modem berpegangan pada as as "setiap penjahat hams mendapat terapi yang ia butuhkan".Asas ini menunjukkan bahwa setiap penjahat itu harus dianggap sebagai orang yang menderita sakit sosial yang memerlukan penyembuhan. Adapun cara peoyembuhannya (terapi) itu melahirkan hukum peniteosier, yang menurut aliran modem, maka pidana (straf) hendaknya diganti dengan tindakan (maatregel) yang bertugas melindungi masyarakat terhadap kejahatan.
Tujuan aliran modem ini adalah "mengindividualisasikan" hukum pidana, yaitu menyesuaikan hukum pidana dengan pribadi pembuat pidana.
3.         Aliran Ketiga
Aliran ketiga (derde ricting/derde school) atau aliran sosiologis (sosiologische richting/sosiologische school) timbul sebagai suatu kornprornis (kadang-kadang menitikberatkan pada pihak yang satu dan kadang-kadang pihak yang lain) dari kedua ali ran terdahulu, yang antara lairan klasik dengan aliran modern pada abad sembilan belas dan awal abad dua puluh ini terjadi suatu polemik hebat. Aliran ketiga ini menerima dari aliran klasik sis tern pidana dan hukum pidana yang didasarkan atas kesalahan, dari aliran modern menerima sistem tindakan yang melindungi masyarakat terhadap kejahatan. Penganut para aliran ketiga adalah para sarjana yang menganut ajaran Enrici Ferri didalam kriminologi (aliran biososiologis), serta para sarjana yang tergabung dalam aliran otoriter (autoritaire richting) atau hukum pidana otoriter (auto rita ire strafrecht). Aliran otoriter hadir di Italia pada zaman fascist, kemudian dianut oleh faham nazi (aliran nasional-sosialis) di Jerman dan faham komunis Rusia.Aliran otoriter lebih mengutamakan kepentingan negara sedangkan kebebasan perseorangan dan terapi bagi penjahat adalah nomor dua (lihat Utrecht, 1958: 114-121).
Dalam hukum pidana otoriter, hukum pidana itu tertulis dan diadakan untuk melindungi kepentingan negara, kepentingan negara adalah kepentingan yang terutama dalam wujudnya sebagai partai (komunis) ataupun penguasa otoriter, seperti: fuhrer, diktator, dan lain-lain (Bambang Poernomo, 1978: 20).
Bagaimana dengan KUHP yang berlaku sekarang ini di Indonesia?KUHP sekarang boleb dikatakan menganut aliran klasik, tetapi dalam perubahan­ perubahan yang diadakan kernudian, kbusus dalam hukurn penitensiernya, teras a pengaruh aliran sosiologis (Utrecht, 1958: 121).
Dalarn rangka pembentukan KUHP nasional yang akan datang, pada Pasal ] Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang -Undang Hukum Pi dana Buku 1 Tahun 1968, terdapat gagasan tentang "Maksud dan tujuan hukum pidana Indonesia ialah agar dengan ridho Tuhan Yang Maha Esa eita-eita bangsa Indonesia untuk mewujudkan masyarakat Paneasila jangan dihambat dan dihalangi oleh tindak pidana, sehingga baik Negara Republi Indonesia serta penduduk lainnya mendapat pengayoman".
Gagasan tersebut merupakan perwujudan dari Rsolusi Seminar Hukum Nasional Tahun 1963 huruf F butir III agar di dalam Bagian Umum KUHP nasional yang akan datang dimuat dalam pasal pertamanya dasar dan tuj uan hukum pidana sebagaimana tersebut diatas. Akan tetapi gagasan tentang maksud dan tujuan hukum pidana Indonesia tersebut di at as tidak tereantum Jagi dalam RKUHP 199111992.
D. DASAR PEMBENARAN DAN TUJUAN PIDANA
Salah satu cara untuk mencapai tujuan pidana adalah menjatuhkan pidana terhadap seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana.
Pidana itu adalah suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan negara kepada seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana. Adapun kepentingan hukum perseorangan yang dilindungi antra lain: jiwa seperti pembunuhan; tubuh seperti penganiayaan; kehormatan seperti penghinaan; kesusilaan seperti perkosaan; kemerdekaan seperti melahirkan wanita; harta benda seperti pencurian, dan lain-lain.
Didalam ilmu hukum pidana dikenal beberapa teori hukum pidana (strafrechstheorieen), yang mengemukakan tujuan dari adanya pidana, pada umumnya dibagi dalam tiga golongan, yaitu
1.             Teori Absolut atau Teori Pembalasan
Menurut teori absolut (absolutetheorieen) atau teori pembalasan (vetgeldingstheorieen/ retnbution theory), penjatuhan pidana itu dibenarkan semata-mata karena orang telah melakukan kejahatan.
Pidana itu merupakan akibat hukum yang mutlak harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan.Jadi dasar pembenaran pidana terletak pad a terjadinya kejahatan itu sendiri.
Oleh karena kejahatan itu mengakibatkan penderitaan kepada orang yang terkena kejahatan, maka menurut teori absolut atau teori pembalasan, penderitaan itu harus dibalas pula dengan penderitaan yang berupa pidana kepada orang yang melkukan kejahatan itu. Ibarat bahasa yang menyebutkan:
"Darah bersambung darah, nyawa bersambung nyawa" - "Hutang pati nyaur pati, hutang lara yaur lara" (si pembunuh harus dibunuh, penganiaya harus dianiaya). Jadi pi dana disini tidak dimaksudkan unruk mencapai maksud yang praktis, seperti memperbaiki si penjahat, melainkan pidana disini semata-mata hanya untuk memberikan penderitaan kepada orang yang melakukan kejahatan.
Pada dasarnya tindakan pembalasan itu mempunyai dua sudut.
a.       Sudut subjektif (subjekiieve vergelding), yang pembalasannya ditujukan pada orang lain yang berbuat salah.
b.      Sudut objektif (objectieve bergelding), yang pembalasannya ditujukan untuk memenuhi perasaan balas dendam masyarakat.

Teori absolut atau teori pembalasan ini timbul pada akhir abad ke-18, yang mempunyai beberapa penggugat dengan jalan pikiran masing-masing, seperti:
Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl, dan Leo Polak.
Immanuel Kant, seorang filosof, berpendapat bahwa kejahatan itu mengakibatkan ketidakadilan kepada orang lain, maka harus dibalas pula dengan ketidakadilan yang berupa pidana kepada penjahatnya.Sedangkan pidana itu merupakan tuntutan yang mutlak dari hukum dan kesusilaan. Teorinya  disebut  dengan  "teori pembalasan etis" (de ethische vergeldingstheorie ).
Hegel, seorang filosof, berpendapat bahwa hukum atau keadilan itu merupakan kenyataan kemerdekaan.Sehubungan dengan itu, maka kejahatan merupakan ketidakadilan (onrecht) yang berarti merupakan tantangan terhadap hukum atau keadilan.Oleh karena itu keadaan tantangan terhadap hukum atau keadilan iru harus dilenyapkan dengan ketidakadilan pula, yaitu dengan pidana, karena pidana itu merupakan ketidak adilan pula. Teorinya disebut dengan “Teori pembalasan dialektis” (de dialectische vergeldingstheorie).
Herbart, berpendapat bahwa kejahatan itu menimbulkan ketidak puasan kepada masyarakat. Untuk melenyapkan ketidakpuasan masysrakat tersebut, orang yang menirnbulkan ketidakpuasan tadi (si penjahatnya) hams dijatuhi pidana, Dengan dernikian rnasyarakat akan rnerasa puas kernbali. Teorinya disebut dengan "teori pernbalasan aestesis" (de aesthethische vergeldingstheoriei).
Stahl, berpendapat bahwa Tuhan menciptakan negara sebagai wakil-Nya di dunia untuk rnenyelenggarakan ketertiban hukum dunia. Hukurn itu merupakan tata-tertib yang diciptakan di dunia. Kejahatan berarti pelanggaran terhadap tata-tertib yang diciptakan Tuhan itu. Untuk meniadakan kejahatan itu, maka kepada negara diberikan kekuasaan utnuk menjatuhkan pidana kepada pelaku kejahatan.
Leo Polak, berpendapat bahwa pidana itu harus memenuhi tiga syarat, yaitu:
a.       Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagia suatu perbuatan yang bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tatahukurn objektif.
b.      Pidana hanya boleh memperhatikan kepada apa yang sudah terjadi, tidak boleh memperlihatkan kepada apa yang mungkin akan terjadi. Jadi pidana itu tidak boleh dengan suatu maksud prevensi atau pencegahan, oleh karena besar kemungkinan dalam prevensi atau pencegahan itu, si penjahat akan dijatuhi pidana yang terlalu berat dibandingkan dengan beratnya tindak pidana yang dilakukan.
c.       Penjahat tidak boleh dipidana secara tidak adil. Yang berarti beratnya pidana harus seimbang (tidak kurang tetapi juga tidak lebih) dengan beratnya tindak pidana (lihat Utrecht, 1958: 167168 dan Banbang Poernomo, 1978: 22-23).
2.         Teori Relatif atau Teori Tujuan
Menurut teori relatif (relatieve theorieen) atau teori tujuan (doel theorien/utilitarian theory), pidana itu bukanlah untuk melakukan pembalasan kepada pembuat kejahatan, melainkan mempunyai tnjuan-tujuan tertentu yang bermanfaat.Jadi dasar pembenaran pidana menurut teori ini terletak pada tujuan pernidanaan itu sendiri. Mengenai tujuan pidana itu ada beberapa pendapat.
a.       Tujuan pidana adalah untuk menentrarnkan masyarakat yang gelisah, karena akibat dari telah terjadinya kejahatan.
b.      Tujuan pidana adalah untuk mencegah kejahatan, yang dapat dibedakan atas; pencegahan umum (generate preventiey dan pencegahan khusus tspeciale preventie],
Pencegahan umum (generale preventie) didasarkan kepada pikiran bahwa pidana itu dirnaksudkan untuk mencegah setiap orang yang akan rnelakukan kejahatan. Untuk mencapai maksud atau tujuan tersebut terdapat beberapa cara.
a.       Dengan mengadakan ancaman pidana yang cukup berat untuk menakut­ nakuti orang-orang agar tidak melakukan kejahatan. Diantara para sarjana yang mengemukakan hal tersebut adalah Aslem Von Feuerbach dengan teorinya yang disebut dengan von psychologischen zwang, menurut ajaran ini ancaman pidana itu dapat menimbulkan paksaan psikologis tpsychologischen zwang), sehingga dapat menahan keinginan setiap orang untuk melakukan kejahatan. Namun Feuerbach mengakui bahwa dengan ancaman pi dana saja tidaklah cukup, tetapi selain dari pad a itu diperlukan juga penjatuhan pidana dan pelaksanaan pidana.
b.      Dengan menjatuhkan pi dana dan melaksanakan pidana yang dilakukan dengan cara yang kejam sekali dan dipertontonkan kepada umum, sehingga setiap orang akan merasa takut untuk melakukan kejahatan. Diantara para sarjana yang mengemukakan hal tersebut adalah Seneca seorang filosf Romawi.
Pencegahan khusus (speciale preventie) didasarkan pada pikiran bahwa pidana itu dimaksudkan agar orang yang telah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatan, untuk mencapai maksud atau tujuan tersebut terdapat beberapa cara.
a.       Dengan memperbaiki penjahat. Adapun caranya ialah dengan memperikan pendidikan kepada penjahat selama menjalani pedananya. Pendidikan yang diberikan itu terutama pendidikan tata-tertib atau disiplin, selain dari pada itu juga diberikan pendidikan keahlian, seperti: petukangan, kerajinantangan menjahit,dan lain-lain untuk bekal kelak apabila mereka kembali ke masyarakat.
b.      Dengan menyingkirkan si penjahat dari pergaulan masyarakat. Adapun caranya ialah kepada penjahat yang sudah kebal atau sudah tidak menghiraukan ancaman-ancaman pidana yang berupa menakut-nakuti itu, agar dijatuhi pidana yang bersifat menyingkir dari pergaulan rnasyarakat, dengan menjatuhkan pidana seumur hidup ataupun dengan cam mutlak yaitu dengan pidana mati.

Teori relatif atau teori tujuan itu makin berkernbang, dan kemudian timbul teori relatif modern (moderne relatieve theorieeni atau teori tujuan modern (modeme doeltheorieen). Menurut teori ini dasar pembenaran pidana adalah untuk menjamin ketertiban hukum (rechtsorde).
Teori ini berpokok pangkal pada susunan negara, oleh karena sifat hake kat serta tujuan dari negara itu adalah untuk menjarnin ketertiban hukum di wilayahnya. Adapun caranya ialah negara membuat peraturan-peraturan yang mengandung larangan-larangan atau keharusan-keharusan yang berupa norma atau kaidah. Norma dimaksudkan untuk mengatur hubungan antara orang­orang dalampergaulan hidup mereka di masyarakat agar orang-orang itu dapat hid up aman dan tertib. Agar norma itu ditaati, makaterhadap pelanggar norma itu diberikan sanksi yang berupa ancaman pidana. Pidana itu berupa nestapa atau penderitaan derni untuk tercapainya ketertiban hukum, Penganut teori ini antara lain: Frans Von List, Van Hamel, Simons, dan lain-lain (Ii hat Satochid:63)

3.         Teori Gabungan
Teori gabungan tverenegingstheorieen/gemengde theorieen) merupakan gabungan dari teori absolut atau teori pembaJasan dengan teori relatif atau teori tujuan. Jadi dasar pernbenaran pidana dari teori gabungan meliputi dasar pembenaran pidana dari teori pembalasan dan teori tujuan, yaitu: baik terletak pada kejahatannya maupun pada tujuan pidananya. Penganut teori ini adalah Karl Binding.
Teori gabungan ini timbul, oleh karena teori pembalasan dan teori tuj uan dianggap mempunyai kelemahan-kelemahan, untuk itu dikemukakan keberatan-keberatan terhadap kedua teori tersebut.
Keberatan-keberatan terhadap teori pernbalasan adalah sebagai berikut.
a.       Penjatuhan pidana semata-rnata untuk pernbalasan dapat menirnbulkan ketidakadilan.
b.      Apabila dasar pidana memang hanya untuk pernbalasan, mengapa hanya negara yang berhak menjatuhkan pidana?
c.       Pidana hanya sebagai pembalasan tidak bennanfaat bagi masyarakat.
Keberatan-keberatan terhadap teori tujuan.
a.       Pidana hanya ditujukan untuk mencegah kejahatan, baik yang ditujukan untuk menkut-nakuti umum maupun yang ditujukan pada orang yang melakukan kejahatan, sehingga akan dijatuhkan pidana berat. Hal ini dapat menimbulkan ketidakadilan.
b.      Pidana yang berat itu tidak akan memenuhi rasa keadilan, apabila ternyata kejahatan itu ringan.
c.       Kesadaran hukum masyarakat membutubkan kepuasan. Oleh karena itu pidana tidak dapat semata-rnata ditujukan hanya untuk mencegah kejahatan atau membinasaan penjahat. Jadi, baik masyarakat maupun penjahatnya harus diberikan kepuasan yang sesuai dengan kadilan.
Oleh karena itu menurut teori gabungan, tori pembalasan dan teori tujuan harus digabungkan menjadi satu, sehingga akan menjadi praktis, puas, dan seimbang. Sebab pi dana bukan hanya sebagai penderitaan, tetapi harus seimbangjuga dengan kejahatannya. Teori gabungan ini dapat dibagi kedalam tiga golongan.
a.       Teori gabungan menitikberatkan pada pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melebihi dari pada yang diperlukan dalam memepertahankan ketertiban masyarakat. Penganutnya antara lain Pompe dan Zevenbergen. Ponpe menitikberatkan pi dana pada pernbalasan, tetapi pidana itu harus pula dimaksudkan mempertahankan ketertiban masyarakat agar kepentingan umum dapat diselamatkan, Zevenbergen berpendapat bahwa makna pidana adalah pembalasan, tetapi tiap pidana i tu bermaksud melindungi ketertiban hukum, mengembalikan hormat (respect) kepada hukum dan pernerintah. Oleh karena itu pada hakekatnya pidana itu hanya suatu ultimatum remedium (suatu jalan terakhir boleh dipakai, jika tiada lagi jalan lain).
b.      Teori gabungan menitikberatkan pada pertahanan, ketertiban masyarakat, tetapi pidana tidak boleh lebih berat daripada beratnya penderitaan yang sesuai dengan beratnya perbuatan si terpidana. Penganutnya antara lain Simons, yang berpendapat bahwa dasar primer pi dana adalah prevensi umum, dan dasar sekunder pidana adalah prevensi khusus. Prevensi itu hams memuat unsur-unsur; menakutkan, memperbaiki, dan membiasakan. Selanjutnya dasar ketiga pidana adalah hams sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat.
c.       Teori gabungan menitikberatkan sama, baik kepada pembalasan maupun kepada pertahanan ketertiban masyarakat (lihat Utrecht, 1958: 185-189)
Adapun perbedaan antara ketiga teori diatas ialah: pada teori pernbalasan pidana itu "melihat kepada masa yang lalu", oleh karena teori ini beranggapan bahwa kejahatan sebagai perbuatan yang tidak adil yang menimbulkan penderitaan pada orang yang terkena kejahatan. Oleh karen a itu penderitaan tersebut harus ditiadakan dengan cara menjatuhkan pidana kepada penjahatnya. Dalam teori tujuan, pidana itu "melihat kepada masa yang akan datang", oleh karena dalam teori ini yang diutamakan adalah tujuan pidananya.Sedangkan teori gabungan berusaha mencakup kedua teori tersebut diatas yaitu "melihat kepada masa yang lalu" dan "rnelihat kepada masa yang akan datang"




KEGIATAN BELAJAR 3
Tindak Pidana

Hukurn Pidana dapat dilihat sebagai ilmu pengetahuan kernasyarakatan. Sebagai ilmu pengetahuan sosial, maka diselidiki sebab-sebab dari kejahatan dan dicari cara-cara untuk memberantasnya. Penyelidikan ten tang penyebab dari kejahatan (Crime) ini dapat dicari pada diri orang (keadaan badan dan jiwanya) atau pada keadaan masyarakatnya?".
Kriminologi memberi bantuan yang besar, bahakan merupakan dasar dari hukurn pidana. "Kriminologi ialah suatu ilmu pengetahuan yang mencari apa dan sebabnya dari kejahatan dan berusaha untuk memberantasnya".Sebagai ilmu pengetahuan pembantu hukum pidana, kriminologi menyelidiki sebab­ seab kejahatan itu dari sudut masyarakat; dan sebagai alat penyelidikannya ialah Statistik Kriminil. Kriminologi dapat dibagi kedalam."
1.      Antropologi - Kriminologi ialah ilmu pengetahuan yang mencari sebab­ sebab kejahatan dalam dirinya si penjahat pada keadaan badan penjahat (ajaran Lombroso).
2.      Sosiologi - Kriminil ialah ilmu pengetahuan yang mencarai sebab-sebab dari kejahatan di dalam masyarakat.
3.      Politik - Kriminal ialah ilmu pengetahuan yang mencari cara-cara untuk.
4.      Politik - Krirninal ialah ilmu pengetahuan yang mencari cara-cara untuk memberantas kejahatan.
5.      Statistik - krirninil ialah ilmu pengetahuan yang dengan angka-angka mencatat ten tang kejadian dan macam-macam kejahatan.
A. ISTILAH TINDAK PIDANA
lstilah tindak pidana merupakan terjernahan dari bahasa Belanda strafbaar feit. Selain dari pada istilah strafbaar feit dalam bahasa Belanda dipakai juga istilah lain, yaitu delict yang berasal dari bahasa Latin delictum, dalam bahasa Indonesia dipakai istilah delik.
Disarnping istilah tindak pidana sebagai terjemaban dari strafbaar feit itu, dalam bahasa Indonesia terdapat juga istilah lain yang dapat ditemukan dalam beberapa buku hukum pidana dan beberapa perundang -undangan hukum pidana, yaitu: peristiwa pidana, perbuatan pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum, dan pelanggaran pidana.
Istilah yang paling populer dipakai adalah istilah tindak pi dana, yaitu apabila kita perhatikan: buku-buku hukum pidana, instansi penegak hukum, dan para penegak hukum, pada umumnya memakai istilah tindak pidana. Seperti dalam "KUHP" terjemahan resmi Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukurn Nasional Departernen Kehakirnan, yang rnemakai istilah tindak pidana, dengan alasan-alasan sebagai berikut.
1.      Penggunaan istilah tindak pidana dipakai, oleh karena ditinjau dari segi sosio - yuridis hampir semua perundang-undangan pidana memakai istilah tindak pidana.
2.      Semua instansi penegak hukum hampir seluruhnya para penegak hukum menggunakan istilah tindak pidana.
3.      Para mahasiswa yang mengikuti "tradisi tertentu" dengan memakai istilah perbuatan pidana, ternyata dalam kenyataannya tidak mampu mengatasi dan menjebatani tantangan kebiasaan penggunaan istilah tindak pidana. (Tim Penerjemah BPHN Dep. Keh., 1983: 10)

B. PENGERTIAN TINDAK PIDANA
Menurut Moeljatno istilah lain yang dipakai dalam Hukum Pidanan, yaitu "tindak Pidana". Istilah ini muncul karena tumbuhnya dari pihak Kementrian Kehakiman, sering dipakai dalam perundang-undangan. Meskipun kita "tindak" lebih pendek daripada "perbuatan" tapi "tindak" tidak menunjukan kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tapi hanya menyatakan keadaan konkrit, sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah-laku, gerak-gerik atau sikap jasmani seseorang, hal mana lebih dikenal dalam tindak-tanduk, tindakan dan bertindak dan belakangan juga sering dipakai "ditindak". Oleh karena tindak sebagai kata tidak begitu dikenal, maka dalam perundang-undangan yang menggunakan istilah tindak baik dalam pasal-pasalnya sendiri, maupun dalam penjelasannya.








KEGIATAN BELAJAR 2
Sumber Hukum Pidana
A. SUMBER HUKUM PIDANA
Dalam ilmu hukum dikenal beberapa sumber hukum yaitu: l ) Undang­ undang; 2) kebiasaan dan adat; 3) perjanjian antara negara; 4) persetujuan; 5) yurisprudensi; 6) doktrin; 7) proklamasi kernerdekaan; 8) refolusi; 9) coup de'etat yang berhasil; 10) takluknya suatu negara kepada negara lain.
Sumber-sumber hukum butir l ), butir 2), dan butir 3) adalah sumber­ sumber hukum yang langsung.Sedangkan sumber-sumber hukum butir 4), butir 5), dan butir 6) adalah sumber-sumber hukum yang tidak langsung, artinya hal-hal itu menjadi sumber hukum karena atas pengakuan undang­ undang atau karen a dengan melalui kebiasaan.
Prof. Dr. Achmad Sanusi, S.H. menamakan sumber-sumber hukum butir
  1. sampai dengan butir 6) itu sebagai sumber-sumber yang normal. Sedangakan sumber hukum butir 7) sampai dengan butir 10) dinamakannya sebagai sumber hukum yang abnormal (Sanusi, 1977 :34).
2.      B. SEJARAH HUKUM PIDANA DI INDONESIA
Code Penal (1811)
Perancis





Belanda

Hukum Pidana Sebelum 1886
Hukum Pidana Nasional 1886



Indonesia



Dualisme Hukum Pidana



1867 Eropa Orang Indonesia

Unifikasi
1 Januari 1918
Gambar 7.1
Riwayat Hukum Pidana di Indonesia

Penjelasan:
Di Indonesia sumber hukurn pidana material terdapat dalam KUHP dan dalam peraturan perundang-undangan hukurn pidana lainnya diluar KUHP, juga Memori Penjelasan (Memorie van Teolichting, yang disingkat M. v .T).
M.v.T. ini merupakan penjelasan atas Rancangan KUHP Belandal Nederlandsch W.v.S. 1881, mulai berlaku tanggal 1 September 1886, yang oleh Mentri Kehakiman (Belanda) diserahkan berbarengan dengan RKUHP Belanda itu kepada Tweede Kamer (Parle men Belanda). Dahulu di negeri Belanda sebelum ada KUHP Nasionalnya berlaku Code Panel Perancis, Oleh karena nama KUHP itu adalah sebutan lain dari W.v.S., nama W.v.S. ini merupakan pengganti dari nama W.v.S.v.N.I. (Pasal VI UU No. J/1946). Dan W.v.S.v.N.I. Stbld1915 No. 732, mulai berlaku tanggal 1 Januari 1918) itu merupakan salinan (copy) dari Nederlandsch W.c.S. l881.Sehingga M.v.T. dari Nederlandscb W.c.S. 1881 dapat pula digunakan sebagai sumber untuk memperoleh penjelasan bagi pasal-pasal dalam KUHP kita yang sekarang berlaku.
Selain itu pula masih digunakan sumber dari hukum adat yang masih hidup sebagai delik adat dengan pembatasan tertentu menurut Pasal 5 ayat (3) b UU No. ]/1951.Dan sumber hukum pidana formal atau hukum acara pidana terdapat dalam KUHP-UU RI No.8/1981 dan dalam peraturan perundang­undangann hukum acara pidana lainnya diluar KUHAP.

C. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
1.    Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Hukum Pidana adalah peraturan hidup (norma) yang ditetapkan oleh instansi kenegaraan yang berhak membuatnya, norma mana ditambah dengan ancaman hukurnan yang merupakan penderitaan (sanksi) terhadap barang siapa yang melanggarnya. Lazim juga dikatakan bahwa Undang-Undang Hukum Pidana adalah Norma plus sanksi
Norma plus sanksi ini pada umumnya terdapat satu pasal (misalnya: pasal 338 KUHP: barang siapa dengan sengaja mengambil nyawa orang lain dihukum, karena makar mati (pembunuhanj) dan dapat juga terpisah dalam beberapa pasal (daJarn pasal I, II dan seterusnya disebutkan dahulu norrna­ normaanya dan bam kemudiian dalam pasal terakhir diterangkan bahwa; pelanggaran-pelanggaran terhadap pasal I, II dan seterusnya dihukurn dengan hukuman penjara paling lama sekian tahun).
Ada juga Undang-undang Hukum Pidana yang bentuknya rnengancarn dengan hukurnan (sanksi) terlebih dahulu. Sedangkan norrna-normanya belum ada seperti misalnya bunyi pasal 122 KUHP; "dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya 15 tahun, barang siapa dalam masa perang dengan sengaja rnelanggar suatu peraturan yang diadakan oleh pemerintah untuk rnenjaga keselarnatan Negara."
2.    Sistematika KUHP
Kitab Undang-undang Hukum Pidana terdiri atas tiga buku, dan tiap-tiap buku terdiri dari beberapa titel (bab) dan tiap-tiap titel terdiri dari pasal-pasal serta tiap pasal terdiri dari ayat-ayat.
a.       Buku I berkepala Aturan Umum terdiri atas 9 titel (bab).
b.      Buku II berkepala kejahatan terdiri atas 31 titel, memuat kurang lebih 400 pasal, tentang perbuatan-perbuatan yang dinamakan kejahatan.
Diantaranya terdapat titel-titel yang penting seperti berikut ini.
a.       Kejahatan terhadap keselamatan Negara.
b.      Kejahatan terhadap pelaksanaan kewajiban-kewajiban dan hak-hak kenegaraan.
c.       Kejahatan terhadap ketertiban umum.
d.      Kejahatan terhadap kesusilaan.
e.       Kejahatan terhadap kemerdekaan orang (penculikan).
f.       Kejahatan terhadap jiwa orang (pembunuhan) .
g.      Kejahatan terhadap penganiayaan.
h.      Kejahatan terhadap pencurian.
i.        Kejahatan terhadap pemerasan dan pencurian.
j.        Kejahatan terhadap penggelapan.
k.      Kejahatan terhadap penipuan.
l.        Kejahatan terhadap penghinaan.
m.    Kejahatan terhadap jabatan: menerirna suapan, rnembuka rabasia Negara, dl1.
Buku III berkepala "Pelaoggaran" terdiri atas 10 titel, memuat kurang lebih 100 pasal. Titel-titelnya sama dengan buku II, hanya perbedaannya ialah "kejabatan" diganti dengan "pelanggaran", karena perbuatan-perbuatan yang tersebut dalam buku III itu dipandang sebagai perbuatan yang tidak sedemikian jahat seperti pada kejahatan-kejahatan dalam buku II.
Beberapa titel penting dalam buku III.
a.       Pelanggaran terhadap keselamatan umum: yang berhubungan dengan keselamatan umum ..
b.      Pelanggaran terhadap ketertiban umum
c.       Pelanggaran terhadap kekuasaan umum.
d.      Pelanggaran terhadap kesusilaan.
e.       Pelanggaran terhadap keamanan Negara.
Jadi pada umumnya, jika pada tiap-tiap ada orang yang ditangkap polisi, lalu ia ditnntut oleh jaksa kemudian diadili oleh hakim, maka orang itu tentu telah berbuat sesuatu yang dilarang oleh salah satu pasal dari Buku II atau Buku ill KUHP, dan perbuatan mana diancam dengan sesuatu hukum (pidana).
lsi pokok KUHP
Aturan Umum
Dalam ilmu pengetahuan Hukum Pidana maka yang terpenting ialah B uku I yang berkepala "Aturan Umum" yang memuat 9 titel",
a.       Titel I
Tentang kekuasaan berlakunya Undang-undang Pi dana
b.      Titel II
Hukuman
c.       Titel III
Penghapusan, pengurangan dan penambahan hukuman
d.      Titel IV
Percobaan
e.       Titel V
Turut serta dalam melakukan perbuatan yang dapat dihukum
f.       Titel VI
Gabungan perbuatan yang dapat dihukum
g.      Titel VII
Mernasukan dan mencabut pengaduan dalarn perkara kejahatan, yang hanya boleh di tuntut atas pengaduan
h.      Titel VIII
Hapusnya hak menuntut dan hapusnya hukuman
i.        Titel IX
a.    Arti beberapa perkataan dalam Undang-undang ini.
b.    Pengaturan penghabisan (Pasal103).
,
3.    Bagian-bagian Hukum Pidana
Menurut iLmu hukum pidana bahwa hukum pidana itu dapat dibedakan dalam beberapa bagian. Dibawah ini akan dikemukakan beberapa bagian hukum pidana yaitu 16:
a.    Hukum pidana objektif dan hukurn pidana subjektif
Hukum pidana objektif (jus poenale) adalah seluruh peraturan yang memuat larangan-larangan atau keharusan-keharusan, terhadap pelanggar peraturan itu diancam dengan pidana.Jadi hukum pi dana objektif itu memuat perumusan tindak pidana serta ancaman pidananya.
Hukum pidana subjektif (jus poeniendi) adalah seluruh peraturan yang rnemuat hak negara untuk rnemidana seseorang yang rnelakukan perbuatan terlarang (tindak pidana).
Hak negara untuk mernidana itu terdiri dari berikut ini.
1.      Hak untuk mengancarn perbuatan dengan pidana. Hak ini terletak pada negara, misalnya ancaman pidana yang terdapat dalam pasal 362 KUHP, pencurian, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tabun at au denda paling banyak RP. 900,00.
2.      Hak untuk menjatuhkan pidana. Hak ini terletak pada alat negara yang berwenang, yaitu hakim.
3.      Hak untuk melaksanakan pidana. Hak ini juga terletak pada alat negara yang berwenang, yaitu jaksa.
Pada hakekatnya hukum pidana subjektif (hak negara untuk memidana) itu berdasarkan hukum pidana objektif, oleh karena hak negara untuk memidana itu baru ada, setelah dalam hukum pidana objektif ditentukan perbuatan-perbuatan yang diancam pidana.
Jelaslah bahwa negara tidak dapat menggunakan hak untuk memidana itu dengan sewenang-wenang, kerena dibatasi oleh pidana objektif (Lihat Satochid:2-3)
b.   Hukum pidana materiil dan hukum pidana formal
Menutut ilmu hukum pidana bahwa hukum pidana objektif itu dapat dibagi dalam hukum pidana materiil dan hukum pidana formal.
Hukum pidana materiil (hukum pidana substantit) adalah seluruh peraturan yang memuat perumusan berikut ini.
1.      Perbuatan-perbuatan apakah yang dapat diancam pidana. Misalnya pasal 338 KUHP - pembunuhan, pasal 351 KUHP - penganiayaan, pasal 362 KUHP - pencurian.
2.      Siapakah yang dapat dipidana, atau dengan perkataan lain mengatur pertanggungjawaban terhadap hukum pidana.
3.      Pidana apakah yang dapat dijatuhkan terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana. Atau disebut juga dengan hukum penitensier (lihat Satochid: 1).
Hukum pidana materiil dimuat dalam KUHP dan dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana lainnya diluar KUHP, seperti dalam: Stbl 1934 - 167 jo UU No. 39/1947 - KUHPM (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer); UU No.7 Drtl1955-Undang-Undang Tindak Pidana Ekonorni; UU No. 3111999 jo UU No. 20/2001; dan sebagainya.
Hukum pidana formal (hukum pidana ajektif) atau lazim pula disebut dengan hukum acara pidana, adalah keseluruhan peraturan yang memuat acara-acara negara menggunakan haknya untuk rnelaksanakan pidana (lihat Satochid:l). Hukum pidana formal dapat disebut juga in concreto karena mengandung peraturan bagaimana hukum material (in abstracto).
Hukum pidana formal (hukum pidana ajektif) dimuat dalam UU No. 8/1981 - KUHAP dan dalam peraturan perundang-undangan hukum acara pidana lainnya diluar KUHAP, seperti dalam UU NO. 212002 - Undang­Undang Pokok Kepolisian; UU No. 3512009 - Tentang Kejaksaan Republik Indonesia; UU No. 48/2009 - Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Juga secara Khusus dimuat dalarn UU No. 7Drtf1955; Undang-Undang No. 311971; UU No. 9/1976, dan lain-lain.Dengan demikian dalam ketentuan-ketentuan hukum pidana khusus ini, selain dimuat hukum pidana material juga sekaJigus dimuat hukum pidana formal.

c.    Hukum pidana umum dan hukum pidana khusus
Hukurn pidana umum (algemeen strafrecht / jus commune) adalah hukum pidana yang berlaku umum atau yang berlaku bagi semua orang.Hukum pidana umum dimuat dalam KUHP.
Hukum pidana khusus ( bijzonder strafrecht / jus speciale) adalah hukum pidana yang berlaku khusus bagi golongan orang-orang tertentu (anggota ABRI dan yang disamakan dengan anggota ABRO atau yang memuat perkara­ perkara pidana tertentu (seperti: tindak pidana ekonorni, tindak pidana subversi, tindak pi dana korupsi, tindak pidana narkotika, dan lain-lain). Hukum pi dana khusus, dimuat dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana di luar KUHP.
Hubungan hukum pidana umum dengna hukum pidana khusus adalh ketentuan hukum pidana umum itu tetap berlaku disamping ketentuan hukum pi dana khusus sebagai hukum pelengkap.
Ketentuan hukum pidana khusus dapat menyimpang dari ketetntuan hukum pidana urnum.Dalam hal penyimpangan ini, maka yang dipakai adalah ketentuan hukum pidana khusus. Hal ini merupan penjelmaan dari suatu adagium klasik yang dirumuskan dalam bahasa Latin, yang berbunyi: lex specialis derogat legi generalis ("ketentuan hukum khusus mengesampingkan ketentuan hukum umum").
Dasar hukum penyimpangan tersebut diatas adalah pasall03 KUHP, yang berbunyi: "Ketentuan-ketentuan Bab I sampai dengan Bab VII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan undang-undang lainnya diancam dengan pidana, kecualijika oleh ketentuan undang-undang ditentukan lain" (Tim Penerjemah BPI-IN, 1983 :50). Artinya bahwa tindak pidana-tindak pidana yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana diluar KUHP "tunduk" pada peraturan umum dalam Buku I KUHP, kecuali kalau diatur secara khusus. Dibawah ini dikemukakan beberapa contoh.
1.    KUHP berlaku umum, oleh karena itu berlaku juga bagi anggota militer disamping KUHPM. KUHPM itu dimaksudkna untuk menambah KUHP, oleh sebab ketentuan-ketentuan yang terdapat da1am KUHP dianggap kurang cukup keras bagi anggota militer terhadap beberapa perbuatan tertentu. Selain daripada itu ada perbuatan-perbuatan yang dapat dilakukan oleh anggota militer saja, misalnya: insubordinasi, desersi, dan lain sebaginya yang tidak diatur dalam KUHP. (Anang Ojajaprawira, 1969:49)
2.    Sanksi pidana dalam KUHP dianut sistem "alternatif", artinya jika ada beberapa jenis pidana pokok yang diancamkan dalam suatu ketentuan hukum pidana, rnaka hakim harus memilib salah satu diantaranya. Untuk mengetahui bahwa sanksi pidana itu bersistem alternatif adalah dari perkataan "atau" di antara beberapa jenis pidana pokok yang diancamkan dalam suatu ketentuan hukum pidana, rnisalnya: pasal 340 KUHP - pernbunuhan dengan rencana (moord) ancaman pidananya adalah pidana mati "atau" pidana penjara seumur hidup "atau" pidana penjara selama waktu tertentu paling lama duapuluh tahun. Lain halnya dengan hukurn pidana khusus pada umumnya snksi pidana yang dianut adalah sistem "kumulatif" (seperti dalam: UU No. 9/1976 - tindak pidana narkotika) dan sistem "komunikatif alaternatif" (seperti dalam UU No.7Drt/1955 - Tindak pidana ekonomi, UU No. 11IPnpsl1963 - Tindak pidana subversi, UU No. 3/1971 - Tindak pidana korupsi). Sistem kumulatif artinya jika ada beberapa jenis pidana pokok yang diancarnkan dalam suatu ketentuan hukum pidana, maka hakim harus menjatuhkan keseluruhannya. U ntk mengetahui bahwa sanksi pidana itu bersistem kumulatif adalab dad perkataan "dan" diantara beberap jenis pidana pokok yang diancamkan dalam suatu ketentuan pokok hukum pidana, misalnya: pasal 36 ayat (1) pasal l l I ayat (1) UU No.35/2009 ancarnan pidana paling lama dua puluh tahun penjara dan denda paling banyak Rp. 8.000.000.000,00. Sistem kumulatif alternatif artinya jika ada beberapa jenis pidana pokok yang diancam.kan dalam suatu ketentuan pokok hukum pidana, maka hakim dapat pula menjatuhkan keseluruhannya atau dapat pula memilih salah satu diantaranya. Untuk mengetahui bahwa sanksi pidana itu bersistem kumulatif alaternatif adalah dari perkataan "dan atau" diantara beberapa jenis pidana pokok yang diancamkan dalam suatu ketentuan pokok hukum pidana misalnya: pasa128 UU No. 3111999 jo UU No 20/2001 ancaman pidan penjara seumur hidup atau penjara paling sedikit satu tahun atau denda paling sedikit Rp. 20.000.000,00 dan paling tinggi satu milyar rupiah. Selain daripada ketiga sistem sanksi pidana itu dikenal pula sistem sanksi pidana yang disebut dengan "Sistem dua jalur/ doubel track system (Inggris)/ Zweispurig (Jerman), yang artinya hakim dalam putusannya dapat rnenjatuhkan pidana bersama-sama dengan tindakan. KUHP tidak rnenganut sistern dua jalur ini. Akan tetapi UU No. 7Drtf1955 (pasa19 jo8) menganut sis tern ini yang rnenentukan antara lain bahwa "tindakan tata tertib dijatuhkan bersarna-sama dengan hukum pidana". RKUHP 199111992 (ayat (2) pasal 91) pun rnenganut sistern dua jalur ini yang menentukan antara lain hakirn dalam putusannya dapat menjatuhkan tindakan bersama-bersama dengan pidana pokok.
3.    Menurut KUHP percobaan melakukan pe1anggaran tidak dapat dipidana (pasal 54 KUHP) , demikian juga pembantuan melakukan pelanggaran tidak dapat dipidana (pasal 60 KUHP). Akan tetapi pembantuan dan percobaan melakukan pelanggaran ekonomi dapat dipidana (pasal 4 UU No.7 Drtf1955).
d.   Hukum pidana umum dan hukum pidana lokal
Kadangkala orang rnembuat perbedaan antara hukum pidana umum dan pidana lokal.
Hukum pidana umum, disebutjuga dengan hukum pidana nasional adalah hukum pidana yang dibuat oleh pemerintah pusat dan yang berlaku pada seluruh wilayah negara.Sedangkan hukum pidana lokal (locaal strafrechii, disebut juga dengan hukum pidana komunal atau hukum pi dana daerah atau hukum pidana seternpat (communal strafrecht/plaatselijk strafrecht) adalah bukum pidana yang dibuat oleh daerah tingkat I atau tingkat II dan yang berlaku pada daerah tersebut.
Hukum pidana lokal bukanlah hukum pidana khusus, meskipun dihadapkan dihadapkan dengan masalah- masalah yang khusus bagi daerah.Hal ini disebabkan hukum pidana lokal itu tidak mengandung asas-asas pidana yang menyimpang dari asas-asas pidana umum. Tidak adanya penyimpangan tersebut, oleh karen a pembuat hukum pi dana lokal terikat oleh ketentuan pasal 103KUHP yang tidak menyebutkan peraturan daerah sebagai suatu peraturan yang dapat mengandung perkecualian terbadap "aturan kedelapan bab dalam buku 1 KUHP terse but, maka pada umumnya hukum pidana lokal memuat sanksi-sanksi atas pelanggaran peraturan daerah yang hanya bersifat pelanggaran dan tidak bersifat kejahatan (Utrecht, 1958:77-78).
Kalau hukum pidana umum dimuat dalam KUHP, maka hukum pidana lokal dimuat dalarn peraturan-peraturan daerah (disingkat "Perda") tingkat I ataupun tingkat II.

e.    Hukum pidana yang dikodifikasikan dan hukum pidana yang tidak dikodifikasikan
Hukum pidana yang dikodifikasikan (gecodificeerd) adalah hukum pidana yang telah dikurnpulkan dan dibukukan (dikitabkan), seperti: KUHP dan KUHPM. Sedangkan hukum pidana yang tidak dikodifikasikan (niet gecodificeerdi adalah hukum pi dana yang tidak dikumpulkan, melainkan tersebar dalam undang-undang atau peraturan-peraturan yang bersifat khusus.

f.         Hukum pidana bagian umum dan hukum pidana bagian khusus
Hukum pidana bagian umum (algemene deel) adalah hukurn pidana yang memuat asas-asas umum (algemene leerstukken) dan dirnuat dalam Buku 1 KUHP.Sedangkan hukum pidana bagian khusus (bijzonder dee]) adalah hukum pi dana yang memuat masalah kejahatan-kejahatan dan pelanggaran­pelanggaran baik yang dikodifikasikan maupun yang tidak dikodifikasikan (lihat Lamintang, 1984: 11).

g.        Hukum pidana tertulis dan hukum pidana tidak tertulis
Hukum pidana tertulis adalah hukum pidana yang terdapat dalam KUHP dan KUHAP yang merupakan kodifikasi hukum pidana materiallhukum pidana substantif dan hukum pidana formallhukum pidana adjektif Ihukum acara pidana.Termasuk pula hukum pidana yang bersifat khusus dan hukum pidana yang dimuat, baik dalam pemerintah pusat maupun peraturan pemerintah daerah seperti propinsi, kabupaten, dan kotamadya.
Hukum pidana tidak tertulis adalah hukum pidana adat, yang berdasarkan pasal5 ayat (3) b UU NO.Drt L951 (L.N. 1951 No.9) masih berlaku di bekas daerah swapraja dan bekas pengadilan adat.

h.   Hukum pidana nasional dan hukum pidana internasional
Hukum Pidana Nasional adalah hukum pidana yang memuat ketentuan­ ketentuan yang berasal dari negara itu sendiri.
Hukum pidana internasional adalah juga hukum pidana nasional, tetapi meuat ketentuan-ketentuan yang berasal dari dunia internasional. Misalnya:
  1. ketentuan-ketentuan yang mengandung asas universalitas (universaliteitbeginsel) atau hukum pi dana dunia (wereldstrafrechty, yaitu ketentuan-ketentuan pasa14 butir 2 dan burir 4 KUHP;
  2. perjanjian antarnegara (tractaatt yaitu perJanJlan ekstradisi atau penyerahan (uitlevering stractaat) yang dapat mempengaruhi pelaksanaan hukum pidana material dan hukum pidanan formal.
4.    Hukuman dalam KUHP
Hukuman itu bermacam-macam jenisnya. Menurut KUHP pasal 10 hukurnan atau Pidana terdiri atas 17:
a.       Pidana Pokok (utama)
1.      Pidana mati.
2.      Pidana penjara.
a.       Pidana seumur hidup.
b.      Pidana penjara selama waktu tertentu (maksimal hukuman 20 tahun dan sekurang-kurangnya 1 tahun).
3.      Pidana kurungan. (sekurang-kurangnya satu hari dan setinggi­ tingginya 1 tahun).
4.      Pidana denda.
5.      Pidana tutupan.
b.      Pidana tambahan
1.      Pencabutan hak-hak tertentu.
2.      Perampasan (penyitaan) barang-barang tertentu.
3.      Pengumuman keputusan hakim

Penjelasan tentang macam-macam hukuman pidana yang terdapat di dalam KUHP 18:
a.    Hukuman mati
Hukuman mati ini sudah ada abad-abad yang lalu, banyak Negara yang mengunakan hukuman mati karen a memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat, namun selama abad yang baru terdapat suatu kecenderungan yang mengarahkan untuk mecoba menghilangkan hukuman mati, sekitar tiga puluh Negara telah menhilangkan hukuman mati dan di Negara-negara lainnya hukuman mati hanya boleh dijatuhkan terbatas untuk pelanggaran yang bersifat pembunuhan.

b.       Hukuman siksa badan
Banyak golongan masyarakat yang mengadakan tindakan penghukuman dengan siksaan badaniah dalam batas-batas tertentu. Namun hukurnan ini menurun karena adanya hukuman mati. Penderaan adalah satu-satunya cara penghukuman badaniah yang pernah dengan resmi diterima di Barat dan menimbulkan pendapat yang berbeda-beda mengenai hal itu.
Di Inggris rnerupakan hukuman resrni untuk kejahatan tertentu dan juvenile delequencies (kenakalan rernaja). Biasanya hukuman itu jarang digunakan bagi orang dewasa kecuali untuk perampokan. Di Amerika Serikat penderaan hanya ada di satu Negara bagian sampai 1952 itu dapat digunakan kepada pemukul istri di Maryland tetapi hal itu jarang sekali dijatuhkan. Di Deleware untuk beberapa macam kejahatan dapat dijatuhkan hukuman deraan.
Tutntutan-tuntutan terhadap adanya hukuman dera ini berlangsung dibeberapa Negara bagian menjelang Perang Dunia I, tetapi tuntutan-tuntutan uri gagal. Satu dari tuntutan yang ekstrim dikemukakan di Minessota dalam tahun 1925. Satu dari tuntutan untuk mengatakan penderaan sebagai hukuman yang diperintahkan sebagai kombinasi dengan penjara at au dendaan, untuk 12 pelanggar yang menyebabkan pembunuhan karena mengendarai mobil dalam keadaan mabuk. Bagaimana juga tuntutan yang dikemukakan di Delaware untuk menghilangkan hukuman ini telah gagal dengan pertimbangan suara yang besar. Satu kenyataan pada tahun 1920 jurnlah pelanggaran yang dapat dijatuhi hukuman penderaan sangat berkurang.

c.    Hukuman penerunan derajat sosialnya
Memberi malu atau penghinaan telah digunakan untuk membuat pelanggar mendapat penurunan drajat sosialnya, dapat untuk sementara dan bisa pula untuk selamanya. Tindakan menurunkan status pelanggar sementara atau selamanya sering tidak menghindarkan dari kejahatan lainnya. Di Inggris pada tahu 1698 yang menggambarkan pembakaran di pipi kin, dihapuskan sesudah 8 tahun, dengan keterangan dari hukuman ini, tak mendapatkan efek yang diinginkan untuk mengikuti pelanggar agar jera dari melakukan kejahatan dan pelanggaran selanjutnya malahan sebaliknya beberapa pelanggar dan pekerjaan untuk mendapatkan pengbidupan secara jujur dan syah dan berputus asa karena-Nya.
Cara lain untuk merendahkan status pelanggar ialah dengan meramas hak­ haknya untuk menjadikan dia hina dan rendah karena melakukan suatu kejahatan. Di Republik Roma kehilangan nama baik dan kehormatan di masyarakat sebagai penghukuman atas kejahatan, berarti kehilahan hak untuk mernilih, untuk masuk kerja di kantor pemerintah, untuk mewakili orang lain dalam sidang-sidang menjadi saksi, untuk mengatur usaha/perkara orang lain dan pengurangan hak-hak pernikahan.
Pendapat pada masa kini yang keberatan terhadap penhukuman yang bersifat penghinaan ialah bahwa hukuman itu hanya mempunyai arti penghukuman dan tidak terjadi bila disangkutkan dengan cara penghukurnan yang lain. Di beberapa koloni Amerika Serikat hukuman badaniah menjadikan pelanggar mendapat kehinaan, kemudian penjara dengan kerja berat termasuk sebagai hukuman, kerja berat ini dianggap sebagai penghinaan oleh kerja berar dianggap sebagai hukuman badaniah.
Jadi dipenjarakan di penjara Negara dimana diharuskan kerja beras, dianggap sebagai hukuman penghinaan, meskipun Jembaga dimana kerja berat dilakukan adalah ditujukan bagi mereka uang sanggup bekerja berat.
d.   Hukuman pembuangan
Hampir semua masyarakat pernah melaksanakan pernbuangan terhadap beberapa penjahat tetapi pengasingkan dalam jumlah besar clari pelanggar merupakan pendapat yang agak baru. Pembuangan digunakan dikalangan masyarakat lama dan Jerman, Roma dulu dimana pelarangan untuk memasuki suatu daerah khusus umumnya kala Roma, atau pelanggaran untuk meninggalkan suatu daerah yang di khususkan, seumpama pulau climana pelanggar itu ditempatkan, seumur hidup atau untuk beberapa lama. Sesudah suatu masa yang panjang dimana cara ini sudah jarang digunakan lagi dalarn tindakan penghukuman terhadap kejahatan cara ini dihidupkan kembali.
Pengasingan yang begitu dekat persamaannnya dengan pembuangan, masih digunakan sebagai hukuman terhadap jenis kejahatan tertentu. Dalam salah satu dari tuntutan kejahatan didaratan Amerika hukuman dijatuhkan tahun 1637 tertuduh dinyatakan sebagai diasingkan dari daerah peradilan, kita sebagai wanita yang tidak patut untuk masyarakat kita.
Kementerian perubahan yang mula-mula bertanggungjawab terhadap soal ini menyatakan bahwa polisi ini tidak dapat dilaksanakan terus menerus, karena penyediaan untuk pembiayaan, pengiriman mereka yang mendapat hukuman untuk dibuang tidak mencukupi. Karena banyak Gubernur Negara dapat dilaksanakan pembuangannya, karenanya banyak Negara bagian menolak warga negaranya yang dibuang dari Amerika Serikat, karen a kejahatan dan juga karena kesulitan untuk mencegah penjahat yang dibuang itu untuk kembali ke Amerika Serikat. Dalarn hal lainnya prosedur yang digunakan dalam pengiriman orang asing penjahat at au bukan penjahat sering mendapat kritik.

e. Hukuman penjara
1.    Dalarn masyarakat kuno dan jaman pertengahan
Dalam kehidupan masyarakat kuno yang masih sederbana, penjara jarang digunakan sebagai alat penghukuman. Menurut Van Bar menyatakan bahwa "hukuman penjara hampir-hampir tidak dikenal di Perancis, di abad-abad pertengahan. Kode-kode/peraturan di Perancis sebelum revolusi dibuat tahun 1670 dan tidak terdapat satupun ancaman hukuman kejahatan. Human kurungan terkadang digunakan di Perancis dan Negara-negara lainnya".
Di bagian abad ke-16 di Frank Furt dinyatakan hukuman bagi penjahat tertentu: orang hukuman akan dipenjarakan dan dilupakan untuk suatu waktu. Di Inggris hukuman penjara digunakan dengan kekerasan seperti dalam undang-undang Ethelstan yang dipertaruhkan untuk orang-orang yang dijatuhi hukuman, karena pembunuhan atau pencurian masing-masing untuk 20 sampai 40 hari, sebelum ditebus kembali oleh anggota keluarganya. Sampai kira-kira abad ke-13 di Inggris dan mungkin beberapa waktu kernudian di beberapa Negara Eropa lainnya,  hukuman penjara digunakan untuk lingkungan yang sangat terbatas. Jadi cara modern sekarang dalam penghukuman terhadap pelanggar-pelanggar adalah dapat dibandingkan dengan cara penghukuman masyarakat lama, karena cara itu berdasarkan acara yang telah lama berlaku.

2.    Hukuman oleh gereja
Gereja merupakan sebagai alat kekuasaan di Jerman dimana dahulu menggunakan hukuman penjara sebagian disebabkan karena mereka tidak diperkenankan oleh undang-undang untuk menggunakan hukuman mati, dan sebagian disebabkan mereka mempunyai penglihatan bermanfaat kepada pengasingan dari pergaulan. Seperti terjadi tahun1283. Seseorang bernama pendeta John telah menggigit-gigit ibu jarinya seperti anjing, dan Bishop menyuruh agar: brother John ditaruh dipenjara di bawah rantai besi yang diisi dengan roti, bir dan sup dan hanya mendapat sedikit daging dan ikan (untuk 6 hari) sampai ia bertobat.
Kepenjaraan yang diselenggarakan oleh gereja ini, merupakan cara-cara dimana kesunyian yang mencekam sebagai pengunduran diri dari masyarakat yang kebetulan ke penjara (cell), yang dikenal dengan nama lain murus [argus. Dalam kenyataannya banyak terdapat penggabungan diantara tahanan dibeberapa lembaga, beberapa dian tara mereka mencuri, mengambil alih makanan atau uang yang dikirimkan kepada salah seorang hukuman atau mengambil kiriman bagi tahanan yang telah mati.

3.    Penjaraan dengan cara pelayaran (sejenis perahu)
Sekitar tahun 1500 samapai permulaan abad ke 18 perahu digunakan sebagai tempat penghukuman penjahat. Pemakaian perahu ini adalah mengbidupkan lagi cara lama dari pekerjaan kasar, meski di jaman yang lalu budak tidaklah selalu penjahat. Hal itu berlangsung sampai kapallayar yang besar diketemukan. Dengan demikian perahun-perahunyang berdagan tidak pantas lagi menggunakannya. Di Perancis pada abad ke-17 pengadilan diperintahkan untuk memperbanyak cara untuk mendapatkan/sedapat mungkin tenaga yang dibutuhkan untuk mendayung perahu. Mereka yang tidak sanggup bekerja di perahu pendayung seperti wanita, orang tua, orang lemah sering ditahan diperladangan selama masa ini. Ketika pendayung perahu banyak digantikan oleh budak-budak yang baru, mereka diberikan pekerjaan atau dikirirnkan dikapal tua di pinggir pantai atau di gudang-gudang senjata.

4.    Penjaraan di tempat perbaikan
Tempat perbaikan mulai terdapat di Inggris sekitar abad ke-16, ketika permohonan Bishkop Ridley dari London untuk rnenolong penganggur­ penganggur yang bertenaga kuat-kuat yang banyak terdapat di kota, raja memberikan temp at untuk ditu di Bridewell rnenjadi satu daripada "rumah sakit kota" untuk pemalas-pemalas dan temp at untuk pekerja yang tidak dapat pekerjaan dan untuk rnelatih anak-anak. Dengan undang-undang tahun1576 parlemen tempat penampungan perbaikan ini akan didirikan di beberapa bagian kota dan pada tahun 1609 lembaga itu tidak berhasil didirikan untuk menampung para tahanan.
Dengan undang-undang tahu 1711 masa tahanan ditempat ini maksimum selarna 3 tahun dan oleh bagian legislatif kemudian jumlah pelanggaran dimana orang boleh dikenakan karenannya rnenjadi diperluas.
5.    Gerakan pembaharuan penjara yang mula-mula
Gerakan pembaharuan penjara yang mula-mula yang rnencapai puncaknya pada bagian terakbir dari abad ke-18 dan bagian pertama abad ke- 19 adalah salah satu gerakan untuk suatau metode penghukuman yaitu penjara sebagai hukuman, meskipun penjara sebagai hukuman seudah dijalankan pada waktu itu dengan mernasukkan pelanggar ke rumah-rurnah perbaikan, rumah kurungan, kapal tua. Di abad ke-17 dan 18 penggunaan penjara pada waktu itu hanyalab untuk rnenunggu peradilan, Gerakan mengadakan pernbabaruan mula-mula mengadukan dan menu ntu t penyelesaian penunjukan penjara sebagai tempat penahanan, sebagaimana terlihat dengan baik di Inggris dan Amerika.
Kesimpulan umumnya ialah:
Menurut Soedjono. D, Bila ada keinginan dan hasrat tujuan para hakim untuk mendapatkan hasil kehancuran kehidupan masa sekarang dan masa depan pelanggar-pelanggar delenquency tidak ad acara yang lebih efektif, kecuali memasukan mereka beberapa waktu di penjara di suatu temp at dimana kemalasan, kekerasan, dan setiap bentuk kejahatan bersemayam.
6.    Hukuman denda
Tindakan terhadap kejahatan dengan penyitaan terhadap milik atau pembayaran denda telah terdapat disebagian besar masyarakat. Tetapi sangat banyak ragamnya dalam menitik beratkan persoalan dalam sistem ini. Perkembangannya adalah mengikuti perkembangan tindakan masyarakat yang berupa penghukuman. Ketika seorang diragukan oleh yang lainnya maka ia boleh menuntut penggantian rugi kerusakannya. Jumlahnya tergantung dari besamya kerugian yang diderita dan posisi sosialnya dari yang dirugikan itu. Penguasapun selanjutnya menuntut pula sebagian dari pernbayaran ini atau pembayaran tambahan untuk ikut campur tangan pemerintah dalarn pengadilan atau at as tindakan pernerintah terhadap yang membuat gangguan.
Pembayaran ini menjadi salah satu sumber penghasilan yang utama dan penjara digunakan sebagian besar untuk mengadakan penahanan terhadap yang dikenai kewajiban pernbayaran denda. Denda dalarn hal ini dalam perkembangannya menuju ke arab terdapatnya hubungan privat sebagai ganti kerugian atau civic action dan dalam asalnya sebagian dari hukum perdata daripada hukum pidana.
Jadi untuk hukuman denda sebenarnya tidak perIu diikuti dengan penahanan penjara, selain tidak berrnanfaat bagi Negara, juga tidak mendatangkan keuntungan bagi pelanggar dan penyelesaian hukuman dapat dilaksanakan tanpa diikuti hukuman penjara. Penahanan penjara untuk hukuman denda yang tidak terbayar, tidak lain hanya mengumpulkan hutang terhadap Negara. Sejak semula usaha telah banyak dijalankan untuk menghindarkan jumlah biaya Negara yang berupa utang sipelanggar tersebut.

7.    Pemberian ganti rugi dan perbaikan
Penjatuhan hukuman Denda memperlihatkan hal-hal yang kurang beres apabila Negara mengambil segala pembayaran yang dilakukan pelanggar. Dapat diketahui selanjutnya bahw pada prakteknya bagaimanapun fihak yang dirugikan jarang berhasil mendapat ganti rugi dari kerugiannya di bawah sistem ini, karena ketidak mampuan membayar dari penjahat-penjahat biasa ataupun karena mudahnya sipelanggar itu menyembunyikan atau memindabkan miliknya. Akibatnya si korban sering tidak berusaha apa-apa untuk menakut-nakuti penjahat itu agar membayar ganti rugi dilaksanakan.
Dibawah sistem ini segera berkewajiban untuk melindungi masyarakat terhadap kejahatan apabila terjadi kerugian mengambil seluruh pembayaran untuk menoling yang dirugikan, dan mendapatkan efek perbaikan kepada banyak pelanggar dibandingkan dengan cara lainnya, karena akibatnya dari pelanggarnya mudah didapatkan dan tidak ada suatu cae at bagianya yang menjadikan ia terkait atau mendapat kesukaran untuk memperbaiki diri, serta membantu Negara dengan membebankan biaya lembaga-Iembaga tersebut kepada penjahat-penjahat yang melakukan pelanggaran ringan tersebut.
Dengan adanya sistem ini memungkinkan penggantian ganti rugi dan perbaikan digunakan lebih banyak dan lebih senang daripada penuntutan oleh instansi resmi. Satu cara yang banyak dilakukan oleh pencuri professional apabila mereka ditangkap ialah dengan mengajurkan kepada korbanya untuk mendapatkan kembali miliknya kalau di sikorban itu tidak melakukan penuntutan.

D. PERUBAHAN DAN PENAMBAHAN PASAL DALAM KUHP

Ketentuan-ketentuan tentang pembajakan pesawat udara yang merupakan ketentuan-ketentuan hukum pidana internasional, yang semula tidak langsung berlaku di Indonesia.Akan tetapi dengan melalui UU No. 411976 barulah berlaku di Indonesia, seperti ketentuan-ketentuan pasal479 i, 479 j, 479 k, dan 4791 KUHP.
Seluruh isi UU No.4 Tabun 1976 ini memuat perubahan dan penambahan terhadap beberapa pasal dalam KUHP, yang diantaranya adalah:
1.    Pasal I rnengubah dan menanbah Pasal 3 dan Pasal 4 angka 4 yang tercantum dalam Bab KUHP.
2.    Menarnbah 3 (tiga) pasal baru Bab IX KUHP setelah Pasa195.
3.    Menarnbah sebuah Bab baru setelah Bab XXIX KUHP dengan Bab XXIX A tentang Kejahatan Penerbangan Dan Kejahatan Terhadap Sarana Prasarana Penerbangan yang terdiri dad Pasal 479 huruf a sampai dengan Pasal 479 huruf r. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menambah Bab baru dalamKUHP


















KEGIATAN BELAJAR 3
Tindak Pidana
Hukurn Pidana dapat dilihat sebagai ilmu pengetahuan kernasyarakatan. Sebagai ilmu pengetahuan sosial, maka diselidiki sebab-sebab dari kejahatan dan dicari cara-cara untuk memberantasnya. Penyelidikan ten tang penyebab dari kejahatan (Crime) ini dapat dicari pada diri orang (keadaan badan dan jiwanya) atau pada keadaan masyarakatnya.
Kriminologi memberi bantuan yang besar, bahakan merupakan dasar dari hukurn pidana. "Kriminologi ialah suatu ilmu pengetahuan yang mencari apa dan sebabnya dari kejahatan dan berusaha untuk memberantasnya".Sebagai ilmu pengetahuan pembantu hukum pidana, kriminologi menyelidiki sebab­ seab kejahatan itu dari sudut masyarakat; dan sebagai alat penyelidikannya ialah Statistik Kriminil. Kriminologi dapat dibagi kedalam."
1.      Antropologi - Kriminologi ialah ilmu pengetahuan yang mencari sebab­ sebab kejahatan dalam dirinya si penjahat pada keadaan badan penjahat (ajaran Lombroso).
2.      Sosiologi - Kriminil ialah ilmu pengetahuan yang mencarai sebab-sebab dari kejahatan di dalam masyarakat.
3.      Politik - Krirninal ialah ilmu pengetahuan yang mencari cara-cara untuk memberantas kejahatan.
4.      Statistik - krirninil ialah ilmu pengetahuan yang dengan angka-angka mencatat ten tang kejadian dan macam-macam kejahatan.
A. ISTILAH TINDAK PIDANA
Istilah tindak pidana merupakan terjernahan dari bahasa Belanda strafbaar feit. Selain dari pada istilah strafbaar feit dalam bahasa Belanda dipakai juga istilah lain, yaitu delict yang berasal dari bahasa Latin delictum, dalam bahasa Indonesia dipakai istilah delik.
Disarnping istilah tindak pidana sebagai terjemaban dari strafbaar feit itu, dalam bahasa Indonesia terdapat juga istilah lain yang dapat ditemukan dalam beberapa buku hukum pidana dan beberapa perundang -undangan hukum pidana, yaitu: peristiwa pidana, perbuatan pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum, dan pelanggaran pidana.
Istilah yang paling populer dipakai adalah istilah tindak pi dana, yaitu apabila kita perhatikan: buku-buku hukum pidana, instansi penegak hukum, dan para penegak hukum, pada umumnya memakai istilah tindak pidana. Seperti dalam "KUHP" terjemahan resmi Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukurn Nasional Departernen Kehakirnan, yang rnemakai istilah tindak pidana, dengan alasan-alasan sebagai berikut.
1.      Penggunaan istilah tindak pidana dipakai, oleh karena ditinjau dari segi sosio - yuridis hampir semua perundang-undangan pidana memakai istilah tindak pidana.
2.      Semua instansi penegak hukum hampir seluruhnya para penegak hukum menggunakan istilah tindak pidana.
3.      Para mahasiswa yang mengikuti "tradisi tertentu" dengan memakai istilah perbuatan pidana, ternyata dalam kenyataannya tidak mampu mengatasi dan menjebatani tantangan kebiasaan penggunaan istilah tindak pidana. (Tim Penerjemah BPHN Dep. Keh., 1983: 10)

B. PENGERTIAN TINDAK PIDANA
Menurut Moeljatno istilah lain yang dipakai dalam Hukum Pidanan, yaitu "tindak Pidana". Istilah ini muncul karena tumbuhnya dari pihak Kementrian Kehakiman, sering dipakai dalam perundang-undangan. Meskipun kita "tindak" lebih pendek daripada "perbuatan" tapi "tindak" tidak menunjukan kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tapi hanya menyatakan keadaan konkrit, sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah-laku, gerak-gerik atau sikap jasmani seseorang, hal mana lebih dikenal dalam tindak-tanduk, tindakan dan bertindak dan belakangan juga sering dipakai "ditindak". Oleh karena tindak sebagai kata tidak begitu dikenal, maka dalam perundang-undangan yang menggunakan istilah tindak baik dalam pasal-pasalnya sendiri, maupun dalam penjelasannya hampir selalu dipakai pula kata perebutan. Contoh: U ndang-undang No.7 tahun 1953 tentang pemilihan Umum (pasal 127,129 dan Iain-Iain".
Mengenai peristilahan ini, sesungguhnya tidak akan dipentingkan, kalau yang menjadi soal hanya tentang nama belaka. Tapi bukan demikian halnya. Mereka yang memakai istilah: peristiwa Pidana, tindak Pidana dan sebagainya, karena tidak ada keterangan apa-apa, menyamakan maknanya dengan istilah Belanda "strafbaar feit", Kata-kata tersbut adalah Salinan belaka dari "strafbaar feit", sedangkan perbuatan pidana bukan demikian halnya".
Menutut Moeljatno, pengertian strafbaar feit mengandung maksa sebagai beriku t. 25
1.      Feit dalam strafbaar feit berarti handeling, kelakuan atau tingkah laku.
2.      Pengertian strafbaar feit dihubungkan dengan kesalahan orang yang mengadakan kelakuan tadi.
Selanjutnya Moeljatno menyatakan bahwa":
No. a) tersebut berbeda dengan pengertian "perbuatan" dalam perbuatan pidana. Perbuatan adalah kelakuan+kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan atau dengan pendek = kelakuan+akibat dan bukan kelakuan saja.
No. b) berbeda juga dengan "perbuatan pidana", sebab perbuatan pidana tidak dihubungkan dengan kesalahan yang merupakan pertanggungj a waban pidana bagi ornag yang melakukan perbuatan pidana.Perbuatan pidana yang merujuk pada perbuatan saja, yaitu sifat dilarang dengan ancaman pidana kalu dilanggar.Apakah yang melanggar itu benar-benar dipidana seperti yang sudah diancamkan, ini tergantung kepada keadaan batinnya dan hubungan batinnya dengan keadaan itu, yaitu dengan kesalahnnya.Jadi perbuatan pidana dipidahkan dari pertanggungjawaban pidan, dipisahkan dengan kesalahan.Lain halnya dengan stratbaar feit, didalarnnya mencakup mpengertian perbuatan pidana dan kesalahan.
Kemudian Moeljatno mengatakan bahwa perbuatan pidana inikiranya dapat disamakan dengan istilah Inggris criminal act atau istilah Latin actus reus, karena":
1.      criminal act ini juga berarti kelakuan dan akibat atau dengan perkataan lain akibat dari suatu kelakuan yang dilarang oleh hukum;
2.      criminal act ini dipisahkan dad pertanggungjawaban pidaoa yang dinarnakan criminal lialibility atau criminalresposibility, Untuk adanya criminal lialibility Qadi untuk dapat dipidananya sesorang) selain daripada menggunakan istilah criminal act orang itu hams mempunyai kesalahan (guilty). Hal ini dinyatakan dalam kalirnat Latin: Actus non facit, reum, nisi mens sit rea (an act does not make a person guilty, unless the mind is guilty). Bahwa untuk pertangggungjawaban pidana tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan pi dana saja, tetapi disamping itu hams ada kesalahan, atau sikap batin yang dapat dicela, ternyata pula dalam asas hukum yang tidak tertuIis: Tidak dipidana jika tidak asas kesalahan (geen straf zonder schuld/ohne schuld keine strafe) (Moeljatno, 1978: 38-39).
Moeljatno memakai istilah perbuatan pidana sebagai terjemahan dari strafbaar feit, mengartikan perbuatan pidana sebagai berikur":
1.      Dalam kuliahnya: perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar laangan tersebut. (Moeljatno, 1978 :37).
2.      Dalam pidatonya pada Dies Natalis VI Universias Gajah Mada tang gal 19 Desember 1955: Perbuatan pidana dapat diberi arti perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut (Moeljatno: 7 dan 14) disamping itu perbuatan tersebut harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tak boleh atau tak patut dilakukan (Moeljatno: 15). Dengan demikian syarat mutlak untuk adanya perbuatan pidana, di samping mencocoki syarat-syarat formal yaitu perumusan undang-undang juga harus mencocoki syarat­ syarat materiil yaitu sifat melawan hukum bahwa perbuatan tersebut harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagi perbuatan yang tak boleh atau tak patut dilakukan (Moeljatno: 16)

C. TINDAK PIDANA DALAM KUHP NASIONAL
Besar kemungkinan untuk menghindarkan pengertian-pengertian tindak pidana yang beraneka ragarn, maka dalam Pasal 14 Raneangan KUHP 199111992, tindak pidana itu diartikan secara pasti, yaitu: "Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang terlarang dan diane am pidana".
Selanjutnya Pasal 15 Rancangan KUHP nasional tersebut berbunyi: "perbuatan yang dituduhkan harus merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleb perturan perundang-undangan. Agar perbuatan tersebut dapat dijatuhi pi dana tersebut harus juga bertentangna dengan hukum".
Dalam penjelasan pasal ini diterangkan bahwa perbuatan yang dituduhkan harus dilarang dan diancam dengan pidana.Sete1ah itu masih disyaratkan bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum. Dengan kata-kata doktrin: perbuatan tersebut secara formal harus bertentangan dengan undang­ undang dan secara material harus juga bertentangan dengan hukum. Ini berarti perbuatan tersebut dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan.
Pengertian tindak pidana menurut Rancangan KUHP Nasional iniadalah rnirip dengan pengertian pidana menurut Moeljatno, oleh karena untuk adanya tindak pidana iru, selain daripada harus dipenuhi syarat-syarat formal yaitu perumusan undang-undang juga hams memenuhi syarat-syarat material yaitu sifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum. Akan tetapi dalam pengertian perbuatan pidana menurut Moeljatno disebutkan dengan tegas subjek pelakunya ialah "barang siapa", jadi seakan-akan subjek perbuatan pidana itu hanyalah manusia, tidak bisa badan hukum. Sedangkan dalam pengertian tindak pidana menurut Rancangan KUHP Nasional, subjek pelakunya itu tidak disebutkan sehingga subjek tindak pidana itu, selain daripada rnanusiajuga bisa manusia yaitu badan hukum, ataupun korporasi,
Pengerian perbuatan pidanaitindak pi dana dari Moeljatno dan dari RKUHP Nasional itu dapat disebut sebagai pandangan yang "dualistis" terbadap perbuatan pidanaitindak pidana sebab dalam pengertiannya itu tidak mencakup pertanggungjawaban pidana. Jadi pandangan yang dualistis ini memisahkan antara pengertian perbuatan pidana/tindak pidana (criminal actiactusreusi dengan pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility/ criminalliability/ mens rea).
Pengertian strafbaar feit/tindak pidana dari Simons dan dari Van Hamel itu dapat disebut sebagai pandangan yang monisus terhadap strajbaaifeit/tindak pi dana kerena dalam pengertiannya itu dicakup pula pertanggungjawaban pidana. Bahwa unsur-unsur strafbaar feit dari Simons itu ada1ah sebagai berikut.
1.         Kelakuan/perbuatan (manusia),
2.         Perbuatan itu diane am dengan pidana.
3.         Perbuatan itu bersifat melawan hukum.
4.         Perbuatan itu berhubungan dengan kesaLahan.
5.         Perbuatan itu dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.
D. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA
Kalau kita melihat pengertian perbuatan pidana menurut Moeljatno dan pengertian tindak pidana menurut Rancangan KUHP Nasional, maka unsur­unsurnya ialah sebagai berikut.

Menurut pengertian Moeljatno
I.              Unsur-unsur formal:
a.    perbuatan (manusia);
b.    perbuatan itu dilarang oleh suatu aturan hukum;
c.    larangan itu disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu;
d.   larangan itu dilanggar oleh manusia.

2.             Unsur-unsur material

Perbuatan itu harus bersifat melawan hukum, yaitu harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yagn tak: boleh atau tak patut dilakukan.
Menurut pengertian Rancangan KUHP Nasional

a. Unsur-unsur formal:
1)      perbuatan sesuatu;
2)      perbuatan itu dilakukan atau tidak dilakukan;
3)      perbuatan itu oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan terlarang;
4)      perbuatan itu oleh peraturan perundang-undangan diancam pidana.

b.   Unsur-unsur material
Perbuatan itu hams bersifat bertentangan den gall hukum, yaitu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak pattut dilakukan.
Jadi meskipun perbuatan itu memenuhi perumusan undang-undang, tetapi apabila tidak bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukurn, maka perbuatan itu bukan rnerupakan suatu tindak pidana.Misalnya seorang ayah memukul anaknya yang bandel dalam rangka pendidikan, yaitu agar anak itu menjadi anak yang baik.Memang perbuatan seorang ayah itusesuai dengan Pasal351 KUHP - penganiayaan, tetapi perbuatan seorang ayah itu merupakan perbuatan yang dibenarkan oleh masyarakat, sehingga tidak melawan hukum atau bertentangan dengan hukum.Jadi perbuatan seorang ayah itu bukan merupakan tindak pidana.
1.    Objektif
Unsur objektif dalah unsur yang terdapat diluar diri si pelaku tindak pidana. Menurut Lamintang unsur objektif itu adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dati si pelaku itu harus dilakukan (Larnintang, 1984: 184)
Unsur objektif ini meliputi:

a.    Perbuatan atau kelakuan manusia
Perbuatan atau kelakuan manusia itu ada yang aktif ( berbuat sesuatu), misalnya: membunuh - Pasal 338 KUHP; menganiaya - Pasal 351 KUHP; mencuri - Pasa1362 KUHP; menggelapkan - Pasal372 KUHP; dan lain-lain.
Dan ada pula yang pasif (tidak berbuat sesuatu), misalnya: tidak melaporkan kepada yang berwajib atau kepada yang terancam, sedangkan ia mengetahui ada suatu perrnufakatan jahat, adanya niat unruk melakukan suatu kejabatan tertentu - Pasal 164, 165 KUHP; tidak mengindahkan kewajiban menurut undang-undang sebagai saksi, ahli atau juru bahasa - Pasal 224 KUHP; tidak memberi pertolongan kepada orang yang sedang menghadapi maut - Pasal 531 KUHP.

b.   Akibat yang menjadi syarat mutlak dari delik
Hal ini terdapat dalam delik-deik materi atau delik-delik yang dirumuskan secara materiil, misalnya pembunuhan - Pasal 338 KUHP; penganiayaan - Pasal 351 KUHP; penipuan - Pasal 378 KUHP; dan lain-lain.
c.    Unsur melawan hukum
Setiap perbuatan yang dilarang dan diane am dengan pidana oleh peraturan perundang-undangan hukum pidana itu harus bersifat melawan hukum (wederrechtelijkheid/rechtsdrigkeit), meskipun unsur ini dinyatakan dengan tegas dalam perumusannya. Ternyata sebagian besar dari perumusan delik da1am KUHP tidak menyebutkan dengan tegas unsur melawan hukum ini, hanya beberapa delik saja yang menyebutkan dengan tegas, seperti dengan melawan hukum tanpa kemerdekaan - pasal 333 KUHP; untuk dirnilikinya secara melawan hukum Pasal 362 KUHP dengan melawan hukum mengbancurkan - Pasal 406 KUHP; dan lain-lain.
d.   Unsur lain yang menentukan sifat tindak pidana
Ada beberapa tindak pidana yang untuk dapat rnemperoleh sifat tindak pidananya itu memerlukan hal-hal objektif yang menyertainya, seperti: penghasutan - Pasal 160 KUHP; melanggar kesusilaan - Pasal 282 KUHP; pengemisan - Pasal 504 KUHP; mabuk - Pasal 536 KUHP. Tindak pidana­ tindak pidana tersebut hams dilakukan dimuka umum. Melarikan wanita belum dewasa - Pasal 332 ayat (1) butir 1 KUHP, tindak pidana ini harus disetujui oleh wanita tersebut, tetapi pihak orangtuanya atau walinya tidak menyetujuinya; dan lain-lain. Selain dart pada itu ada pula beberapa tindak pidana yang untuk dapat memperoleh sifat tindak pidananya memerlukan hal­ hal subjektif seperti: kejahatan-jabatan - pasal 413-437 KUHP, harus dilakukan oleh pegawai negeri, pembunuhan anak sendiri - Pasal 341-342 KUHP, harus dilakukan o1eh ibunya; merugikan para penagih - Pasal 396 KUHP, harus dilakukan oleh pengusaha.
Unsur-unsur tersebut diatas barus ada pada waktu perbuatan dilakukan, oleh karena itu maka disebut dengan "yang menentukan sifat tindak pidana."
e.       Unsur yang memberatkan pidana
Hal ini terdapat dalam delik-delik yang dikualifikasikan oleb akibatnya, yaitu karena timbulnya akibat tertentu, maka ancaman pidananya berat. Seperti: merampas kemerdekaan seseorang - Pasal 333 KUHP diancam dengan pidana penjara paling lama 8 tahun - ayat (1), jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat ancaman pidananya diperberat rnenjadi paling lama 9 tahun - ayat (2), dan apabila mengakibatkan mati ancama pidananya diperberat lagi menjadi penjara paling lama 12 tabun - ayat (3): penganiayaan - pasal351 KUHP diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan - ayat (1), apabila penganiayaan itu mengakibatkan luka-luka berat ancarnan pidananya diperberat menjadi penjara paling lama 5 tahun - ayat (2), jika mengakibatkan mati maka diperberat lagi menjadi penjara paling lama 12 tahun - ayat (3) dan lain-lain.
f.       Unsur tambahan yang menentukan tindak pidana
Hal ini misalnya: dengan sukarela masuk tentara negara asmg, yang diketahuinya bahwa negara itu akan perang dengan Indonesia, pelakunya hanya dapat dipidana jika terjadi pecah perang - Pasal 123 KUHP. tidak melaporkan kepada yang berwajib atau kepada orang yang terancam, jika mengetahui akan adanya kejahatan-kejahatan tertentu, pelakunya hanya dapat dipidana jika kej ahatan itu jadi dilakukan - Pasal 164 dan 165 KUHP; dan lain­ lain.
Dalam tindak pidan-tindak pidana yang memerlukan unsur-unsur tambahan (bijkomende voorwaarden van stratbaarheid) tersebut diatas, apabila tidak ada unsur-unsur tambahan tersebut, maka tindak pidana-tindak pidana itu tidak akan terjadi, bahkan percobaan (poging) pun tidak akan ada. Atau dengan perkataan lain, apabila unsur-unsur tambahan itu tidak ada, maka tindak pidana pun tidak akan terjadi, cemikian juga percobaan tindak pidana-tindak pidana itu, karena sifat yang membahayakan kepentingan hukum tidak ada.
2.      Unsur Subjektif
Unsur subjektif adalah unsur yang terdapat dalam diri si pelaku tindak pidana. Un sur subjektif ini meliputi:
a.      Kesengajaan (dolus)
Hal ini terdapat, seperti dalam: melanggar kesusilaan - Pasa1281 KUHP; merampas kemerdekaan - Pasal 333 KUHP; pembunuhan - Pasal 338 KUHP; dan lain-lain
b.      Kealpaan (culpa)
Hal ini terdapat, seperti dalam: dirampas kemerdekaan - Pasal 334 KUHP; menyebabkan mati - Pasal 359 KUHP; dan lain-lain.
c.       Niat (voomemen)
Hal ini terdapat dalam percobaan (piging) - Pasal 53 KUHP.
d.      Maksud (oogmerk)
Hal ini ter dapat, seperti dalam: pencurian - Pasal362 KUHP; pemerasan - Pasal 368 KUHP; penipuan - Pasal 372 KUHP; dan lain-lain.
e.       Dengan rencana terlebih dahulu (met voorbedachte rade)
Hal ini terdapat, seperti dalam: pernbunuhan dengan rencana - Pasal 340 KUHP; membunuh anak sendiri dengan rencana - Pasal 342 KUHP; dan lain-lain.
f.       Perasaan takut (vrees)
Hal ini terdapat, seperti dalam: membuang anak sendiri - Pasal 308 KUHP; membunuh anak sendiri - Pasal 341 KUHP; membunuh anak sendiri dengan rencana - Pasal342 KUHP.

Akan tetapi J.M. van Bemmelen, Vrij, dan A. Mulder, terbadap tindak pi dana tersebut mengadakan pembedaan antara apa yang disebut dengan:
a.       bagian-bagian delik (bestanddelen van he! delict); dan
b.      unsur-unsur/ elemen-elemen delik (elementen van - het delict) (lihat Limintang, 1984; 186).

Perkataan "unsur-unsur tindak pidana" sebagaimana telah diuraikan diatas mempunyai pengertian yang luas, sebab meliputi pengertian bagian bagian tbestanddelen) dan unsur-unsur/elemen-elemen (elementen) delik ajaran sarjana-sarjana tesebut.Hal ini sebagaimana dikatakan oleh 1.M. van Bemmelen bahwa perkataan "un sur" / elemen (dalam butir 2) di sini dipakai dalam arti kata sempit. Dahulu - dan juga - sekarang ada beberapa sarjana hukum yang menggunakannya "un sur" untuk bagian-bagian tindak pidanadan juaga menggunakannya untuk syarat lain untuk dapat dipidananya suatu perbuatan dari sipelaku (J.M. van Bermmelen, 1984:99).
Yang dimaksud dengan bagian bagian delik ibestanddeten van het delict) dan unsur-unsur/elemen-elernen delik (elementen van het delict), sebagairnana dikatakan oleh Limintang bahwa untuk membuat suatu ringkasan mengenai ajaran Profesor van Bemmelen di atas dengan membuat suatu perbandingan antara apa yang beliau sebutkan sebagai bestanddelen van het delict dengan apa yang beliau sebutkan sebagai elementen van het delict, maka kita akan mendapatkan hal-hal sebagai berikut
Bestanddelen atau bagian-bagian delik itu
a.       Terdapat didalam rumusan delik.
b.      Oleh penuntut umum harus dicantumkan dalam sural tuduhan.
c.       Harus dibuktikan didalam peradilan.
d.      Bilamana satu atau lebih bagian ternyata tidak dapat dibuktikan maka hakim harus membebaskan tertuduh (vrijspraak).

Elementen atau elemen-elemen delik itu
a.       Tidak terdapat di dalam rumusan delik.
b.      Terdiri dari:
1.      toerekenbaarheid van het felt (hal dapat dipertanggungjawabkannya sesuatu tindakan atau sesuatu akibat terhadap perlakuannya);
2.      teorekeningsvatbaarheid van de dada (hal dapat dipertanggung jawabkannya seseorang atas tindakan yang telah dilkukan atau atas akibat yang telah ia timbulkan);
3.      vewijtbaarheid van het feit (hal dapat didalahkannya sesuatu tindakan atau suatu akibat kepada seseorang, oleh karena tindakan atau akibat tersebut telah ia lakukan atau telah ia timbulkan berdasarkan unsur "kesengajaan" atau pun unsur "ketidaksengajaan"); dan
4.      wederrechtelijk/heid (sifat melawan hukum).
c.       Harus dianggap sebagai juga diisyaratkan didalam setiap rumusan delik.
d.      Oleh penuntut umum tidak perlu dicantumkan didalam surat tuduhan dan

Dengan catatan bahwa apabila elemen wederrechtelijk itu oleh pembentuk undang-undang telah disebutkan secara tegas didalam rumusan delik, maka wederrechtelijkbeid tersebut bukan lagi merupakan bagian delik. Dengan demikian, maka wederrechtelijkheid iru oleh penuntut umum harus dicantumkan dalam surat tuduhannya dan dibuktikan kebenarannya didalam sidang. Apabila wederrechtelijkheid tersebut kemudian ternyata tidak terbukti maka hakim harus membebaskan tertuduh (vrijspraak) (P.A.F. Lamintang, 1984: 189-190).
E. SUBJEK TINDAK PIDANA
Dalam sistem KUHP, yang dapat menjadi subjek tindak pidana adalah hanya manusia (natuurlijke personen), sedangkan badan hukum (rechspersonen) ataupun korporasi dan hewan tidak dapat menjadi subjek tindak pidana.
Hal-hal yang menyatakan bahwa rnanusia sebagai subjek tindak pidana adalah:
1.      terdapatnya perurnusan tindak pidana yang dirnulai dengan perkataan: barang siapa, seorang ibu, seorang pejabat, seorang nakoda, dan lain-lain. Ini berarti tidak lain adalah manusia;
2.      jenis-jenis pi dana yang ditentukan dalam pasal 10 KUHP hanya ditujukan terhadap manusia;
3.      dalam hukum pi dana yang berlaku sekarang menganut asas kesalahan seorang manusia, yang disebut dengan "hukum pi dana kesalahan" (schuldstrafrecht). Dalam schuldstrafrecht yang dianggap dapat berbuat kesalahan hanyalah manusia, yaitu yang berupa "kesalahan perseorangan atau individual (individuele schuld)

Dalam perkembangan hukum pidana selanjutnya mengenai subjek tindak pidana itu cliperluas, bukan saja hanya rnanusia (natuurlijke personen), tetapi juga bafan hukum (rechtspersonen) ataupun korporsi terutama dalam hal-hal perfiskalan atau perpajakan, perekonomian, dan keamanan negara yang pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP.
Ketentuan-ketentuan mengenai badan hukum ataupun korporasi sebagai subjek tindak pidana antara lain dapat kita temukan dalam:
1.      PasallS UU No.7 Drt/1955 - Tindak Pidana Ekonorni;
2.      Pasal 17 UU No. 11 Pnps/1963 - Tindak Pidana Subversi;
3.      Pasal49 UU No. 911976 - Tindak Pi dana Narkotika.

Perluasan badan hukum ataupun korporasi sebagi subjek tindak pidana tersebut karena suatu kebutuhan yang disesuaikan dengan perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan manusia.Akan tetapi pada hakekatnya akibat dari pemidanaan terhadap badan hukum atau pun korporasi itu yang menderita adalah manusia-manusia juga.
Dalam RKUHP 199111992 (Pasal 45) ditentukan dengan tegas bahwa: Korporasi rnerupakan subjek tindak pidana.
Turut serta dalam melakukan peristiwa pi dana (delik), sering membuat (sadar) dibantu oleh seorang lain, dan justru karena turut serta orang lain ini, yang menu rut kata-kata POMPE ihandboek van het nederlands strafrechi, 1953, hal 214) memberi "bijdragen aan het strafbare feit voorzover zij niet bestaan ini hel pleen" (memeberi "bantuan" tetapi tidak "membuat") maka peristiwa pidana itu mungkin dilakukan'".
Pelajaran umum turut serta itu adalah buah fikir Von Feuerbach, sarjana hukum bangsa Jerman yang termasyur itu (Hazewinkel-Suringa, hal 230). Von Feuerbach men genal dua jenis peserta.
1)    Mereka yang langsung berusaha rerjadinya peristiwa pidana.
2)        Mereka yang hanya membantu usaha yang dilakukan oleh mereka yang disebut poin a,  yaitu mereka yang tidak langsung berusaha.

Mereka yang termasuk golongan pertama disebut Von Feurbach: auctores atau urheber, sedangkan mereka yang termasuk golongan kedua disebutnya:  Gehilfe. Urheber adalah yang melakukan inisiatif dan Gehilfe adalah yang membantu saja. Diantaranya yang termasuk kedalam golongan turut serta ialah berikut ini.

a.         Melakukan (plegen)
Dari apa yg diuraikan sebelurnnya terah bahwa Pasal 55 KUHP tidak dibuat untuk menghukum yang melakukan (pleger) sesuatu peristiwa pidana. Yang melakukan adalah pembuat lengkap, yaitu perbuatannya memuat semua anasir-anasir peristiwa pidana yang bersangkutan. Disebunya yang melakukan dalam Pasal 55 KUHP itu adalah satu "echo" pelajaran Von Feuerbach yang mengenal duajenis peserta, yaitu Urheber dan Gehilfe.
b.        Menyuruh melakukan (do en Plegen)
Oleh POMPE (hal 228) dimohon perhatian untuk hal dalam pasal 55 KUHP "menyuruh melakukan" itu "wei vermeld maar niet omschreven". Kekurangan ini teLah menempatkan "den wetstoepasser voor grote moeilijkheden".
Definisi yang dibuat oleh Memorie van Toelichting ini memperlihatkan beberapa unsur "menyuruh meLakukan" itu. Pertama, adalah seseorang, suatu manusia, yang dipakai sebagai alat. Adanya manusia yang oleh pembuat delik dipakai dari menyuruh melakukan itu. Unsur kedua dapat dikemukakan oleh orang yang dipakai sebagai alat itu berbuat, menurut kata-kata Memorie van Toelichting:"een mens, die .... .Hadelt". seorang yang dipakai sebagai alat yang tidak berbuat, umpanya, terlebih dahulu ia dipukul demikian sehingga tidak sadar lagi dan kaki dan tangannya diikat, adalah sama dengan satu benda yang tidak berjiwa, seperti galah dengan kait tersebut.

c.         Turut melakukan sesuatu (medeplegen)
Karena KUHP tidak memberi definisi tentang "turut melakukan" itu, maka dengan sendirinya "Omtrent hetgeen onder deze deelnemingsvorm moet worden verstaan bestaat een grote mate van onenigheid" (Hazewinkel - Suringa, hal. 239). Memorie van Toelichting mengemukakan bahwa yang turut melakukan adalah tiap orang yang sengaja "meedoet" (turut berbuat) dalam melakukan satu peristiwa pidana.
d.        Membujuk (uitlokken)
Berbeda halnya dengan menyuruh melakukan maupun dengan turut melakukan, maka lebih mudah dapat kita tentukan unsur-unsur membujuk. Hal demikian itu disebabkan undang-undang pidana memberi gambaran yang, biarun tidak lengkap, masihjuga memberi pegangan tentang "membujuk" itu. Pasal 55 ayat 1 sub 2e KUHP berbunyi: "dihukum sebagai orang yang    melakukan peristiwa pidana    orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah mernakai kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan, sengaja membujuk untuk melakukan sesuatu perbuatan".
Menurut perumusan yang tercantum dalam pasal 55 ayat 1 sub 2e KUHP, maka unsur-unsur "mernbujuk" itu adalah:
1)        Dengan memakai salah satu atau beberapa cara-cara yang disebut dalam undang-undang pidana, sengaja membujuk (mengajak) orang lain melakukan satu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang pidana
2)        Adanya kehendak pada yang melakukan (yang dibujuk) untuk melakukan perbuatan yang dilarang undang-undang pidana itu adalah akibat bujukan dari yang membujuk, harus ada "Psychische causaliteit" (Hazeinkel Suringa, hal. 253)
3)        Yang membujuk telah melaksanakan atau telah mencoba melaksanakan perbuatan (yang dilarang undang-undang pidana) dan yang dikehendakinya. Hanya ada satu kehendak pada yang dibujuk itu, tidaklah cukup, haruslah yang dibujuk itu telah berbuat.
4)        Oleh sebab itu, yang dibujuk bertanggungjawab penuh menurut hukum pidana: apabila ia tidak dapat dihukum, maka tidak ada "membuju" tetapi ada "menyuruh melakukan"

e.        Pasal163 bis KUHP pada nomor 1 di atas tadi telah dikemukakan bahwa ada pengarang-pengarang seperti Zevenbergen, Van Hamel, Simons, Vos, yang mengadakan pembagian antara peserta yang "zelfstandig" dan peserta yang "accessoir", Pembujuk itu termasuk golongan peserta yang disebut kedua, yaitu pembujuk adalah peserta yang "accessoir". Dihukum tidaknya pembujuk tergantung pada apa yang dilakukan oleh yang dibujuk, yang menjado pembuat penuh delik yang bersangkutan. Bilamana yang dibujuk tidak melakukan apa yang dikehendaki oleh pembujuk dan yang telah disampaikan kepadanya oleh pembujuk itu, atau yang dibujuk itu telah memulai melaksanakan tetapi kemudian memberhentikan secara sukarela usahanya, maka pembujuk yang bernuat buruk itu, tidak dihukum (Vos, hal. 205, yang menunjuk kepada keputusan HR tertanggal17 juni 1889, W Nr 5472).
Dalam ayat 2, menetapkan bahwa mengundurkan diri secara sukarela dari pembujukan itu menjadi satu alasan yang mengecualikan dijatuhkannya hukuman. Beda dengan percobaan dalam pasal 53 KUHP adalah dalam hal percobaan mengundurkan diri secara sukarela dari pembuat, ditetapkan sebagai unsur delik, sedangkan dalam hal delik yang dikenal pasal 163 tersebut mengundurkan diri secara sukarela dari pembuatan itu bukanlah unsur delik.

f.         Membantu (medeplichtigheid). Pasal 56 KUHP menentukan babwa "dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan.
1.    barang siapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan itu,
2.    barang siapa dengan sengaja memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.
g.        Turut serta melakukan delik kealpaan
Diatara pengarang hukum pidana tidak terdapat permufakatan tntang munkin atau tidak munkinnya menyuruh melakukan delik kealpaan (doen plegen van een eulpoos delict). Vos dan Van Hattum, rnengemukakan bahwadalam pengertian "menyurub melakukan" itu sebenamya telah termuat unsur "sengaja", karena seperti hal "rnembujuk". Dalam "berusaha" ini termuat unsur "sengaja", unsur "dikehendaki" suatu akibat. Tetapi dalam hal "membujuk" dan dalam hal "membantu" KUHP semacam itu tidak ada.
F. JENIS-JENIS TINDAK PIDANA
Tentang jenis-jenis tindak pidana itu dapat digolongkankedalam dua golongan, yaitu:
1.    Jenis-jenis Tindak Pidana Menurut KUHP
KUHP itu terdiri atas 569 pasal, yang dibagi dalam tiga buku, yaitu:
a.       Buku I: Aturan Umum - Pasall-103;
b.      Buku II : Kejahatan - Pasal 104-488;
c.       Buku lIT: pelanggaran - Pasa1489 - 569.

Dalam Buku I KUHP itu diatur tentang pengertian-pengertian dan asas­ asas hukum pi dana yang berlaku umum untuksemua lapangan hukum pidana positif, baik yang diatur dalam Buku II dan Buku III KUHP maupun daJam peraturan perundang-undangan hukum pi dana diluar KUHP.Pengertian­ pengertian dan asas-asas hukum pidana tersebut secara umum harus dipergunakan dalam menjalankan hukum pidana positif tersebut.
Agar pengertian-pengertian dan asas-asas hukum pi dana itu tidak sealau disebutkan pasa setiap tindak pidana, maka pembentuk undang-undang berpendapat bahwa lebih praktis dan bermanfaat, jika pengertian-pengertian dan asas-asas hukum pi dana itu digabungkan saja dan ditetapkan dalam beberapa peraturan umum yang akan berlaku untuk semua lapangan hukum pidana. Kemudian pembentuk undang-undang menggabungkan peraturan umum itu dalam suatu bagian umum (algemene deel) dari KUHP, yaitu dalam Buku I, yang selanjutnya temyata menjadi sumber terpenting dari semua hukum pidana positif.
Menutut ilrnu hukum pi dana, yang diatur dalam Buku I KUHP inidisebut dengan "ajaran-ajaran umum" (aglernene leerstukken), sedangkan yang diatur dalam Buku II dan buku III KUHP disebut dengan "delik-delik khusus" (bijzondere delicten - speciale delicten).
Dari pembagian KUHP tersebut diatas, maka dapatlah diketahui bahwa jenis-jenis tindak pidana menurut KUHP itu terbagi atas dua jenis, yaitu:
a.       kejahatan (misdrijven), dan
b.      pelanggaran tovertredingeni.

Menurut memori penjelasan (Memorie vn Toelicjting disingkat M. v. T) pembagian atas dua jenis tindak pi dana tersebut didasarkan kepada perbedaan asasi (prinsip), dikatakan bahwa kejahatan adalah "delik hukum" (wetslict). Sedangkan pelanggaran adalah "delik undang-undang" (wetsdlict). Suatu perbuatan merupakan delik hukum (rechtsdelict),apabila sejak: semula sudah dapat dirasakan bahwa perbuatan tersebut telah bertentangan dengan hukum, sebelurn ditentukan dalarn undang-undang. Sedangkan delik undang-undang (wetsdlict), baru dapat dirasakan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum setelah ditentukan dalam undang-undang. Sebagai contoh delik hukum antara lain: pernbunuhan, pencurian, perkosaan, dan lain-lain; sedangkan contoh dari delik undang-undang antara lain: pengemisan, gelandangan, pelanggaran lalulintas jalan, dan lain-lain.
Perbedaan jenis tindak pidana atas pelanggaran dan kejahatan menurut pandangan tersebut diatas disebut dengan perbedaan "kualitatif". Para sarjana hukum yang menganut perbedaan kualitatif antara kejahatan dengan pelanggaran iru mengadakan suaru perbedaan antara crimineel onrecht/kejahatan dengan politice on rechtlpelanggaran (antara lain: Von List, Julius Stahl, Van Andel, Gewin, Duynstee).
Von List berbpendapat bahwa crinineel onrecht adalah perbuatan karena sifatnya bertentangan dengan ketertiban hukum, sedangkan politie onrecht adalah perbuatan yang oleh undang-undang dicap sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan ketertiban hukum.
Julius Stahl, Van Andel, dan Gewin memandang crimineel onrecht sebagai perbuatan yang bertentangan dengan keadilan ke Tuhanan dan hukum Tuhan, sedangkan politie onrecht sebagai perbuatan yang bertentangan dengan ketertiban umum yang dibuat man usia.
Duynstee memandang crimineel onrecht sebagai perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum alam (natuurlijke rechtsplichen) atau kewajiban kesopanan alam (natuurlijke sedelijkeplichen), sedangkan politie onrecht sebagai perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang (wettelijkeplichen) (lihat Utrecht, 1958: 88-89).
Para sarjana hukum yang menentang perbedaan kualitatif itu adalah antara lain: Van Der Hoeven, Van Hattum, Jonkers, Hazewinkel Suringa, dan lain­ lain, mereka menganut suatu perbedaan "kuantitatif" antara kejahatan dengan pelanggaran yaitu perbedaan tindak pidana yang didasarkan beratringannya ancaman pidana antara kej ahatan dengan pelanggaran.
Hazewinkel Suringa menyebutkan ada beberapa pelanggaran, yaitu diatur dalam Pasal 489 KUHP - kenakalan, Pasal 490 KUHP - mengusik hewan, Pasal 506 KUHP - mucikari, terlepas apakah itu dicantum.kan atau tidak didalam undang-undang pidana sudah dirasakan oleh umum sebagai perbuatan yang tidak patut. Sebaliknya ada beberapa kejahatan yaitu yang diatur dalam Pasal 396 KUHP - perkelahian tanding, Pasal 303 KUHP - perjudian, Pasal 396 KUHP - merugikan kreditur, tidak patutnya perbuatan-perbuatan tersebut masih diragu-ragukan oleh umum (lihat Utrecht, 1958:91).
Akan tetapi mengenai delik perjudian yang semula terdiri dati deli kejahatan - Pasal 303 KUHP, dan delik pelanggaran Pasal 542 KUHP, dengan UU RI No. 7/1974 tentang Penertiban Perjudian dinyatakan bahwa semua delik perjudian sebagai kejahatan dan ancaman pidananya diperberat. Sehingga Pasal 542 yang semula ditempatkan dalam Buku II KUHP diubah menjadi Pasal 303 yang ditematkan dalam Buku II KUHP.
Sarjana hukum Indonesia an tara lain Wirjono dan Moeljatno menganut perbedaan kuantitatif antara kejahatan dengan pe1anggaran itu. Wirjono menyetujui perbedaan secara kuantitatif karen a memang sesuai dengan kenyataan (Wirjono, 1969:27).Moe1jatno menganjurkan bahwa KUHP kita sebaiknya penbagian atas kejahatan dan pelanggaran itu didasarkan berat ringannya pi dana saja (moeljatno, 1978:49).
Antara pelanggaran dan kejahatan terhadap perbedaan yang berikut."
a.    Pelanggaran ialah mengenai hal-hal kecil atau ringan, yang diancam dengan hukuman denda, misalnya: sopir mobil yang tak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM), bersepedah pada malam hari tanpa lampu, dan lain-lain.

a.    Kejahatan ialah mengenai soal-soal yang besar, seperti: pembunuhan, penganiayaan, penghinaan, pencurian, dan sebagainya.

Meskipun telah diuraikan diatas bahwa terdapat bermacam-macam pandangan tentang perbedaan jenis tindak pidana atas kejahatan dengan pelanggaran itu, akibat-akibat bukum dari kedua jenis rindak pidana itu menurut undang-undang memang berbeda.
a.    Pidana penjara hanya diancamkan pada kejahatan, pada pelanggaran­pelanggaran hal ini tidak.
b.    Pada kejahatan, maka bentuk kesalahan (schuld)yaitu kesengajaan (opzet)atau kealpaan (culpa) pada waktu tindak pidana harus dibuktikan, sedangkan pada pelanggaran hal ini tidak perlu dibuktikan. Oleh karena itu, maka kejahatan dibedakan antara kejahatan yang disengaja (dolus) dengan kejahatan karena kealpaan (culpa).
c.    Percobaan melakukan kejahatan dapat dipidana, sedangkan melakukan percobaan melakukan pelanggaran tidak dapat dipidana - Pasal 53 junkto 54 KUHP.
d.   Pembantuan melakukan kejahatan dapat dipidana, sedangkan pembantuan melakukan pelanggaran tidak dapat dipidana - Pasal 56 junkto 60 KUHP.
e.    Gugurnya karena daluwarsa hak penuntutan pidana dan hak menjalankan pidana bagi kejahatan jangka waktunya lebih lama daripada bagi pelanggaran - Pasal 78 dan 84 KUHP.
f.     Pasal 59 KUHP, yang mengandung ancaman pidana terhadap pengurus dan komesaris suatu badan hukum (rechtspersoon), korporasi, dan yayasan, karen a disangka telah melakukan tindak pidana, hanya berlaku dalam hal pelanggaran.
g.    Pengaduan sebagai syarat penuntutan dalam delik aduan hanya ditentukan untuk tindak pidana kejahatan -lihat Buku I Bab VII, Pasal 72-75 KUHP.
h.    Dalam hal berbarengan (concursus/samenloop), sistem pernidanaan berbeda bagi kejahatan dan pelanggaran. Dalam berbarengan jamak (concursus realis/meerdaadse samenloop) dalam kejahatan berlaku stelsel serapan diperberat tverscherpte absorptie stelseli - pasal 65 KUHP, sedangkan dalam pelanggaran berlaku stelsel kurnulasi tidak terbatas (zuivere cumulatie stelsel) - Pasal 70 KUHP.
i.      Penyelesaian diluar sidang (afdoen.ing buiten process atau penebusan penuntutan pidana (afkoop) hanya mungkin dalam pelanggaran yang diancam dengan pidana denda - Pasal 82 KUHP.
j.      Dalam hal pelanggaran dan kejahatan karena kealpaan, maka perampasan barang tertentu sebagai pidana tambahan, hanya dapat dijatuhkan,jika hal ini disebut dengan tegas dalam undang-undang pidana - Pasal 39 ayat (2) KUHP.
Sedangkan dalam hal kejahatan yang disengaja, perampasan barang­barang tertentu tersebut dapat juga dijatuhkan, walau pun undang-undang pidana tidak menyebut dengan tegas hal itu.
k.    Hak untuk menuntut pidana terhadap warga negara Indonesia yang diluar wilayah Indonesia at au luar negeri melakukan suatu tindak pi dana tertentu, hanya berlaku dalam hal dilakukan suatu kejahatan tertentu -  Pasal 5 KUHP, tidak berlaku dalam hal dilakukan suatu pelanggaran.
l.      Perundang-undangan hukum pidana Indonesia berlaku bagi setiap pejabat atau pegawai negeri yang diluar wilayah Indonesia atau diluar negeri melakukan salah satu kejahatan Bab XXVIII Buku II KUHP - Pasal 7 KUHP. Hal ini tidak dikenal dalam pelanggaran.
m.  Hanya penadahan barang-barang yang diperoleh dari kejahatan yang dapat dipidana - Pasal 480 KUHP. Sedangkan penadahan barang-barang yang diperoleh dari pe1anggaran tidak dikenal.
n.    Peraturan-peraturan khusus mengenai penyertaan (deelneming) yang ditentukan dalam Pasal 61 dan 62 KUHP kejahatan cetak, hanya berlaku dalam kejahatan.

Selain daripada hal-hal tersebut diatas dalam KUHP dikenal pula apa yang disebut dengan "kejahatan-kejahatan ringan" (lichtemisdrijven). Kejahatan­kejahatan ringan ini tidak dikenal dalam KUHP Nederland. Dapat dikatakan  bahwa kejahatan-kejahatan nngan 101 merupakan suatu kekhususan atau spesifik KUHP Indonesia.
Jumlah kejahatan ringan ini ada 9 buah.
a.       Penganiayaan ringan terhadap hewan – Paasal 302 KUHP.
b.      Penghinaan ringan – Pasal 315 KUHP.
c.       Penganiayaan ringan - Pasa1 352 KUHP.
d.      Pencurian ringan - Pasal 364 KUHP.
e.       Penggelapan ringan - Pasal 373 KUHP.
f.       Penipuan ringan - Pasa1 379 KUHP.
g.      Penipuan ringan terhadap pembeli - Pasa1 384 KUHP.
h.      Perusakan ringan terhadap barang - Pasal 407 KUHP.
i.        Penadahan ringan - Pasa1 482 KUHP.
2.    Tindak Pidana Menurut Doktrin atau IImu Hukum Pidana
Berikut ini adalah penjelasan dari berbagai delik menurut doktrin ilmu hukum pidana.

a.             Delik formal (formeel delict) dan delik material (materieel delict)
Delik formal juga disebut dengan "delik dengan perumusan formal" (delict met formele omshrijving), yaitu delik yang terjadi dengan dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang dan diancam denga pidana oleh undang-undang. Sebagai contohnya adalah: Pasal 209 dan 210 KUHP - menyuap atau penyuapan aktif. Dalam contoh tersebut diatas, maka delik-delik itu terjadi dengan dilakukannya perbuatan-perbuatan itu, misalnya dalam penghasutan Pasal 160 KUHP, asal sudah dipenuhinya unsur dalam pasal tersebut, maka delik-delik penyuapan aktif itu terjadi dengan tidak mempersoalkan lagi apakah dirugikan atau tidak.
Delik material disebut juga dengan "delik dengan perumusan material" (delict met materiele omschrijving), yaitu delik yang baru dianggap terjadi setelah timbulnya akibat yang dilarang dan diancam den gao pidana oleh undang-undang, Sebagai contohnya adalah Pasal 338 KUHP - pembunuhan, delik ini baru terjadi setelah si korban mati.Apabila si korban itu tidak sampai mati, maka baru ada percobaan pembunuhan - Pasal 338 KUHP junkto Pasal 53 KUHP.
Dari kedua perumusan delik tersebut diatas, kita dapat menari kesimpulan bahwa dalam delik formal yang dilarang adalah perbuatannya, sedangkan dalam delik material yang dilarang adalah akibatnya.
Pembagian delik-delik ini adalah penting untuk ajaran-ajaran diantaranya: percobaan (poging) dan penyertaan (deelneming). Seperti dalam percobaan (poging) bahwa dalam delik formal ada perbuatan percobaan, jika perbuatan itu merupakan sebagian dari perbuatan yang dilarang.
Sedangkan dalam delik material, percobaan itu ada apabila perbuatan itu demikian sifatnya, sehingga menimbulkan akibat yang dilarang.

b.            Delik kornisi (commissie delict) dan delik ornisi (omissie delict)
Delik komisi, dalam bahasa Belanda commissie delict, dalam bahasa Latin delicta commissionis adalah deLik yang berupa pelanggaran terhadap larangan di dalam undang-undang. Delik komisi ini dapat berupa delik formal, seperti Pasal 362 KUHP - pencurian, dan dapat pula berupa delik material, seperti Pasal 388 KUHP pembunuhan dan lain-lain.
Delik omisi, dalam bahasa Belanda omissie delict, dalam bahasa Latin delicta omissionis adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap keharusan di dalam undang-undang. Sebagai contohnya adalah Pasal 164 dan 165 KUHP - keharusan melaporkan kejahatan tertentu, dan lain-lain.
Delik omisi dapat dibedakan menjadi dua.
I.       Delik ornisi murni (eigenlijke omissie delict/ruivere omissieke delict), seperti Pasal-pasa1164-165, 224, 478, 522, 531 KUHP.
2.      Delik omisi tidak murni (oneigenlijke omissie delict/delicta cornmissionis per omissionem commissa), yaitu delik yang dapat terjadi, apabila akibat yang dilarang disebabkan oleh tidak dilakukannya suatu perbuatan yang diharuskan oleh undang-undang, Sebagi contohnya adalah :Pasal 194 KUHP - seorang penjaga wisel kereta api yang tidak rnemindahkan wisel yang bersangkutan, sehiugga mengakibatkan kecelakaan kereta apai.

c.              Delik berdiri sendiri (zelfstanding delict) dan delik lanjutan (voortgezeue delict)
Delik berdiri sendiri adalah delik yang hanya terdiri atas satu perbuatan tertentu, misalnya Pasal 338 KUHP - suatu pembunuhan.
Delik lanjutan adalah delik yang terdiri atas beberapa perbuatan yang masing-rnasing berdiri sendiri-sendiri, tetapi antara perbuatan-perbuatan itu ada hubungan yang erat, sehingga harus dianggap sebagai satu perbuatan lanjutan.
Misalnya pembantu rumah tangga yang mencuri uang majikannya Rp. 10.000,00 yang terdiri atas 10 lembaruang ribuan yang disimpan didalam lemari. Uang itu diambil pembantu lembar pr lembar setiap hari, sehingga jumlah uang tersebut habis diambilnya.ltu harus dipandang sebagai satu pencurian saja – Pasal 64 KUHP.

d.             Delik rampung (aflopend delict) dan delik berlanjut (voortdurend delict)
Delik rarnpung (aflopend delict) disebut pula delik sekilas (ogenblikkelijk delict) adalah delik yang terdiri dari satu atau beberapa perbuatan tertentu yang selesai dalam suatu waktu tertentu yang singkat. Misalnya: Pasal 362 pencurian, delik ini selesai dengan dilakukannya perbuatan mengarnbil barang milik orang lain, tanpa persetujuan pemilik barang itu.
Delik berlanjut adalah delik yang terdiri atas satu atau beberapa perbuatan yang melanjutkan suatu keadaan yang dilarang oleh undang-undang. Misalnya Pasa1 221 KUHP – menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan.
Pembagian delik ini adalah penting antara lain untuk "daluwarsa" (verjaring). Untuk delik rampung (aflopend delict) atau delik sekilas (ogenblikkelijk delict) tanggal daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, sedangkan pada delik berlanjut (voortdurend delict) tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah keadaan terlarang itu dihentikan.

e.              Delik tunggal (enkelvoudig delict) dan delik bersusun (samangesteld delict)
Delik tunggal adalah delik yang satu kali perbuatan sudah cukup untuk dikenakan pidana, misalnya Pasal 480 KUHP penadahan.
Delik bersusun adalah delik yang harus beberapa kali dilakukan untuk dikenakan pidana. Misalnya delik kebiasaan (gewoonte delicten): pasal 296 KUHP - menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul antara orang lain sebagai pencarian atau kebiasaan.
Kebiasaan (gewoonte) adalah unsur delik, dan adanya kebiasaan tersebut baru dapat ditentukan sesudah perbuatan yang bersangkutan dilakukan beberapa kaliberturut-turut. Akan tetapi ada kalanya kebiasaan itu bukan merupakan unsur delik melainkan merupakan "alasan untuk memberatkan", misalnya Pasa1282 ayat (3) KUHP – membantu melakukan perbuatan cabul yang dilakukan oleh anaknya yang belum dewasa sebagai pencarian atau kebiasaan.
Delik kebiasaan (gewoonte delict) itu harus dibedakan dengan delik pencarian (beroops delict).Dalam delik pencarian satu perbuatan sudah cukup untuk menentukan adanya delik yang bersangkutan dan menentukan pi dana terhadap pembuatnya.Asal saja dari satu perbuatan itu ternyata pembuat bermaksud untuk me-ngadakan suatu pencarian tetap (beroops) yang semacam tersebut pada waktu kemudian.Misalnya Pasal 324 KUHP - perdagangan budak.

f.              Delik sederhana (een vouding delict), delik dengan pemberatan
(gekwalificeerd delict) dan delik berprevilise (gepreviligieerd delict)
Delik sederhana adalah delik dasar atau delik pokok (grond delict), misalnya Pasal 338 - pembunuhan.
Delik dengan pemberatan atau delik berkualifikasi adalah delik yang mernpunyai unsur-unsur yang sarna dengan delik dasar atau delik pokok, tetapi ditambah dengan unsur-unsur lain sehingga ancaman pidananya lebih berat daripada delik dasar atau delik pokok. Misalnya Pasal 339 KuHP - pernbunuhan berkualifikasi.
Delik berprevilise adalah yang mempunyai unsur-unsur yang sama dengan delik dasar atau delik pokok, tetapi ditambah dengan unsur-unsur lain, sehingga ancaman pidanannya lebih ringan daripada delik dasar atau delik pokok. Misalnya Pasal 344 KUHP - pembunuhan atas permintaan si korban sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati.

g.             Delik kesengajaan (doleus delict) dan delik kealpaan iculpoos delict)
Delik kesengajaan adalah delik yang dilakukan dengan sengaja, misalnya Pasal 351 KUHP – penganiayaan.
Delik kealpaan adalah delik yang dilakukan karena kesalahnnya atau kealpaannya, misalnya Pasa1359 KUHP - karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati.
Pembagian delik-delik ini adalah penting untuk ajaran-ajaran berikut ini.
1.      Penyertaan (deelnerning). Pembantuan dalam delik kesengajaan dapat dipidana, tetapi pembantuan dalam delik kealpaan tidak dapat dipidana - Pasal56 junkto Pasal60 KUHP.
2.      Percobaan (poging). Percobaan dalam delik kesengajaan dapat dipidana, tetapi percobaan dalam delik kealpaan tidak dapat dipidana - Pasal 53 junkto Pasal54 KUHP.

Perkecualiannya terdapat dalam Pasal4 UU No. 7/0rt 1955, pembantuan dan percobaan, baik dalam kejahatan maupun dalam pelanggaran ekonomi dapat dipidana.

h.             Delik politik (politick delict) dan delik umum (gemeen delict)
Delik politik adalah delik yang ditujukan untuk keamanan negara dan kepala negara. Misalnya ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Buku II Bab 1 - Bab 5, Pasal 104-181 KUHP, juga yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana diluar KUHP, seperti ketentuan-ketentuan UU No. 11 Pnps tentang Subversi.
Delik politik dapat dibagi menjadi tiga.
1.      Delik politik murni (zuivere politiek delict), yaitu delik yang mempunyai tujuan politik dalam cara maupun kepentingan hukum yang dilanggarnya. Misalnya Pasal-pasal: 104,106,107 KUHP - makar aatau Pasal208 KUHP - pemberontakan, dan lain-lain.
2.      Delik politik campuran (gemengde politiek delict), yaitu delik yang mempunyai tujuan politik, tetapi sekaligus menimbulkan delik umum. Misalnya mencuri dokumen negara.
3.      Delik politik koneksitas (connexe politiek delict), yaitu delik yang merupakan delik umum tetapi ada hubungannya dengan delik politik. Misalnya menyembunyikan senjata api.

Dalam delik politik yang penting adalah hakekatnya dari deliknya, motif dari si pelkunya tidak penting, meskipun misalnya de1ik politik itu dilakukan karena mencari keuntungan.
Delik umum adalah delik yang tidak ditujukan kepada kearnanan negara dan kepala negara.Misalnya Pasal 362 KUHP - pencurian.
Perbedaan atas delik-delik ini adalah penting dalam hubungannya dengan "perjanjian ekstradisi atau penyerahan" (uitlevering tractaat), yaitu bahwa dalam delik politik, si pelakunya biasanya tidak wajib diserahkan oleh negara, di tempat si pelaku delik politik itu berada kepada negara yang menuntutnya, oleh karena delik politik itu umumnya dianggap sebagai tidak bersifat jahat.

l.               Delik khusus (delicta a propria) dan delik umum (delict communia)
Delik khusus adalah delik yang dapat dilakukan orang tertentu saja, karena suatu kualitas. Misalnya Bab XXVII Buku II, Pasal 413-437 KUHP - Kejahatan Jabatan, junkto UU No. 3/1971 - Tindak Pi dana Korupsi, hanya dapat dilakukan oleh pegawai negeri.
Delik umum adalah delik yang dapat dilakukan oleh setiap orang.Misalnya pasal 338 KUHP - pembunuhan, Pasal 362 KUHP - pencurian, dan lain-lain.
Perbedaan atas delik ini adalah penting untuk ajaran penyertaan (deelnerning), rnisalnya mungkinkah seorang bukan pegawai negeri dapat dipertanggungjawabkan terhadap delikjabatan bersama-sama dengan seorang pegawai negeri, karena mereka bersama-sama telah melakukan delik tersebut.

J.                   Delik aduan (klacht delict) dan delik biasa (gewone delict)
Delik aduan adalah delik yang hanya dapat dituntut, jika diadukan oleh orang yang merasa dirugikan, Dalam ilmu hukum pidana delik aduan ini ada dua macam.
1.      Delik aduan absolut (absolute klacht delict) yaitu delik yang disebabkan oleh sifat kejahatannya, maka delik ini hanya dapat dituntut apabila diadukan. Misalnya Pasal 248 KUHP - perzinahan, Pasal 293 KUHP - erbuatan cabul, dan lain-lain.
2.      Delik aduan relatif (relatieve klacht delict), yaitu delik yang pada dasarnya merupakan delik biasa, tetapidisebabkan oleh adanya hubungan keluarga yang dekat sekali antara si korban dengan si pelakuatau si pembantu kejahatan itu, maka delik itu hanya dapat di tuntut, jika diadukan oleh pihak si korban. Misalnya Pasal 367 ayat (2) KUHP - pencurian dalam keluarga.

Delik biasa adalah delik yang bukan delik aduan dan untuk menuntutnya tidak perlu adanya pengaduan, yang termasuk delik biasa adalah delik-delik diluar pasal-pasal delik aduan tersebutdiatas.Misalnya Pasal 281 KUHP - melanggar kesusilaan, Psal 338 KUHP - pembunuhan, dan lain-lain.
Perbedaan delik-delik diatas adalah penting sehubungan dengan penuntutan itu sendiri.
Selain daripada jenis-jenis delik tersebut diatas, dalam ilmu hukum pidana dikenal pula jenis-jenis delik sebagai berikut.
1.    Delik-delik yang memperkosa atau merusak kepentingan hukum (krenkingedelicten). Misalnya Pasal338 KUHP - pembunuhan, Pasal351 - penganiayaan, dan lain-lain.
2.    Delik-delik yang membahayakan kepentingan hukum (gevaarzettingsdelicten), yang dapat dibedakan menjadi:
a.       Delik-delik yang dapat membahayakan kepentingan hukum secara kongkrit (concrete gevaarzettingsdelicten). Bahaya yang kongkrit itu dapat ditunjukkan dan dibuktikan lebih dahulu bahwa bahaya itu benar-benar telah ada. Misalnya Pasal 187 KUHP - dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan, atau banjir yang menimbulkan bahaya umum bagi barang, atau menimbuLkan bahaya bagi nyawa orang lain.
b.      Delik-delik yang membahayakan kepentingan hukum secara abstrak (abstracte gevaarzettingsdelictenr. Bahaya secara abstrak ini tidak usah dibuktikan. Bahaya itu dianggap sudah ada, jika ada seseornag yang melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, misalnya Pasal 160 - penghasutan atau Pasal 242 - sumpah palsu.
G. TEMPAT TINDAK PIDANA DAN WAKTU TINDAK PIDANA
Ajaran temp at atau lokasi tindak pidana (locus delicti) dan waktu tindak pidana (tempus delicti) ini tidak ada ketentuannya dalam undang-undang hukum pidana. Akan tetapi ajaran ini sangat penting, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 121 KUHP bahwa: penyidik dalam membuat aberita acara diantaranya harus menyebutkan "waktu dan tempat tindak pidana dilakukan"; dan Pasal143 yat (2) huruf b KUHP bahwa: penuntut umum dalam roembuata surat dakwaan diantaranya harus menyebutkan "waktu dan tempat tindak pidana dilakukan". Hal ini menunjukkan begitu pentingnya ajaran locus delicti dan tempus delicti itu.

Ajaran locus delicti penting untuk menentukan:
1.    apakah perundang-undangan hukum pidana Indonesia berlaku pada suatu tindak pi dana atau tidak;
2.    kompetensi relatif dari kejaksaan dan pengadilan, artinya kejaksaan dan bengadilan berwenag menangani sesuatu tindak pidana.

Ajaran tempus delicti penting diketahui sehubungan dengan berikut ini.
1.    Apakah suatu perbuatan pada waktu itu telah dilarang dan diancam pidana?
2.    Apabila terjadi perubahan dalam perundang-undangan.ketentuan rnanakah yang diterapkan, yang abaru ataukah yang lama?
3.    Apakah terdakwa pada wktu melakukan tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan atau tidak?
4.    Apakah terdakwa pada waktu melakukan tindak pidana sudah berumur 16 tahun atau belum?
5.    Batas waktu mengajukan pengaduan. Dimulai sejak orang yang berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan.
6.    Batas waktu menarik kembali pengaduan. Dalam waktu 3 bulan setelah pengaduan dilakukan.
7.    Daluwarsa, dimulai pada hari sesudah perbuatan dilakukan.
8.    Tertangkap tangan, tertangkap tang an adalah tertangkapnya seseorang pada waktu sedang rnelakukan tindak pidana.

Dalam hubungannya dengan delik komisi (commissie delict), locus delicti itu mempunyai beberapa teori, yaitu berikut ini.
1.         Teori perbuatan material (leer van de lichamelijke daad)
Menurut teori ini yang menjadi temp at tindak pidana adalah di tempat pembuat me1akukan tindak pidana.

2.         Teori alamat (leer van het instrument)
Menurut teori ini yang menjadi tempat tindak pidana adalah di tempat mulai bekerjanya alat yang dipakai untuk melakukan tindak pidana.

3.        Teori akibat (leer van het gevolg)
Menurut teori ini yang menjadi tempat tindak pidana adalah di tempat tindak pidana itu menimbulkan akibat.

4.         Teori beberapa tempat (leer van de meervoudige plaats)
Teori ini merupakan gabungan dari ketiga-tiganya atau dua diantara teori tersebut diatas. Menurut teori ini temp at tindak pidana itu adalah beberapa tempat , apabila tindak pidana itu dilakukan, bekerjanya alat yang dipergunakan, akibatnya di beberapa ternpat itu.

Dalam rangka pembentukan KUHP Nasional yang akan datang dengan maksud untuk adanya kepastian hukum, maka mengenai locus delicti dan tempus delicti tidak diserahkan kepada doktrin melainkan ditentukan secara pasti dalam ketentuan-ketentuan KUHP 199111992 yaitu, tempus delicti dalam Pasal 12 dan locus delicti dalam Pasal13.
Pasal 12 berbunyi: "waktu tindak pidan ditentukan pada saat pembuat melakukan perbuatan yang dilarang atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya ia lakukan.
Dalam pasal ini an tara lain diterangkan bahwa waktu tindak pidana adalah waktu ketika dilakukannya tindak pidana. Dalam konteks ini tidak dibedakan delik dengan perumusan secara formal dan yang dirumuskan secara material.
Pasal 13 berbunyi: "tempat tindak pidana adalah temp at dimana pembuat melakukan perbuatan yang dilarang, atau dalam hal pembuat tidak melakukan sesuatu adalah tempat ia seharusnya melakukannya, atau temp at terjadinya akibat yang dimaksud dalam perumusan peraturan perundang-undangan atau temp at yang menurut perkiraan pembuat akan terjadi akibat itu".
Dalam penjelasan pasal ini diterangkan antara lain bahwa yang dipakai untuk menentukan tindak pidana ialah teori perbuatan material (leer van de lichamelijke daad) dan teori akibat (leervan het gevalg). Mengenai tempat terjadinya akibat dibedakan antara:
1.         tempat dimana akibat itu sungguh-sungguh terjadi; dan
2.         tempat dimana diperkirakan akibat itu akan terjadi.
Bagi tindak pidana yang dalam pelaksanaannya mempergunakan alat, maka temp at tindak pidana adalah dimana alat tersebut mulai bekerja.





KEGIATAN BELAJAR 4
Sifat Melawan Hukum dan Ajaran Sebab-Akibat
A. PENGERTIAN SIFAT MELAWAN HUKUM
Menurut Moeljatno'", dalam hukum pidana yang menjadi perhatian adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum saja, perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dan diancam dengan pidana. Menurut Sofjan Sastrawidjaja, dalam ilmu hukum pidana dikenal beberapa pengertian melawan hukum (waderrechtelijk).39
1.      Menurut Simons, melawan hukum artinya "bertentangan dengan hukum", bukan saja dengan hak orang lain (hukum subjektif, tetapi juga dengan hukum objektif), seperti dengan hukum perdata atau hukum administrasi Negara.
2.      Menurut Noyon, melawan hukum artinya "bertentangan dengan hak orang lain" (hukum subjektif).
3.      Menurut Hoge Raad dengan keputusan tanggal 18 Desember 1911 W 9263, melawan hukum artinya "tanpa wewenang" atau "tanpa hak" (lihat Tresna, 1959:70 dan Utrecht, ] 958:283).
4.      Menurut Vas, Moeljatno, dan Tim Pengkajian Bidang Hukum Pi dana BPHN atau BABINKUMNAS dalam ranmcangan KUHPN bahwa melawan hukurn (Tim Pengkajian Bidang Hukum memakai istilah "bertentangan dengan hukum") artinya "bertentangan dengan apa yang dibenarkan oleh hukum atau anggapan masyarakat", atau yang benar­ benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan.
Perkara yang diputuskan HR 18-12-1911 W 9236 tersebut adalah mengenai: seorang yang dituntut dimuka pengadilan karen a disalahkan te1ah menipu orang lain dengan mengguanakan berbagai tipu daya, agar orang lain mau memberikan uang sumbangan yang dikatana untuk darma. Dilihat dari perkara ini dihubungkan dengan keempat pendapat tentang pengertia melawan hukum (waderrechtelijk) tersebut diatas maka:
1.      menurut pendapat Simons, orang dapat meragu-ragukan, apakah perbuatan meminta uang sumbangan itu bertentangan dengan hukum
2.      menurut pendapat Noyon, dalam perkara ini tidak ada unsur melawan hukum, sebab tidak ada pertentangan dengan hak orang lain. Orang-orang menyumbangkan uangnya itu dengan suka rela.
3.      Menurut pendapat Hoge Raad, yang memutuskan perkara itu, terdakwa tidak berhak atas sumbangan itu, karena terdakwa menerima uang sumbangan itu tanpa wenang atau tanpa hak
4.      Menurut Vos, Moeljatno, dan Tim Pengkajian Bidang Hukum Pidana, perbuatan memungut uang sumbangan itu tidak dibenarkan oleh hukum atau anggapan masyarakat, karena perbuatan itu benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan(lihat Tresna, 1959:70-71 dan perhatikan pengertian perbuatan pidana menurut Moeljatno, dan perhatikan pula Pasal 14 dan 15 rancangan KUHPN).40
B. PENDAPAT-PENDAPAT SIFAT MELAWAN HUKUM
Setiap perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana o1eh peraturan hukum pidana itu barus bersifat melawan hukum (wederrechteijkheid). Ada dua pendapat mengenai sifat mela wan hukum.
1.      Sifat melawan Formal (formele wederrechteijkheidy. Menurut pendapat ini, yang dimaksud dengan perbuatan bersifat melawan hukum adalah perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang, kecuali jika diadakan pengecualian-pengecualian yang telah ditentukan dalam undang-undang pula. Bagi pendapat ini melawan hukum berarti me1awan undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang. Seperti daya paksa ( pasal 48 KUHP) , bela paksa (pasal 49 ayat 1 KUHP), melaksanakan ketentuan undang-undang (pasal 50 KUHP, penritah jabatan sah (pasal 51 ayat 1 KUHP).
2.      Sifat melawan hukum rnateriil imateriele wederrechteijkheid). Menurut pendapat ini, belum tentu perbuatan yang memenuhi rumusan undang­undang iru bersifat melawan hukum. Bagi pendapat ini yang dinamakan hukum itu bukan hanya undang-undang (hukum yang tertulis), tetapi juga meliputi hukum yang tidak tertulus, yaitu kaidah-kaidah atau kenyataan­ kenyataan yang berlaku di masyarakat. Menurut pendapat ini sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari setiap tindak pidana, juga bagi tindak pidana yang rumusannya tidak dinyakatan dengan tegas.
Menurut pendapat Nico Keijer ten tan sifat melawan hukum (wederrechteijkheid) dalam ceramahnya pada pennataran nasional hukum pidana di UNDIP sernarang tanggal 6-12 Agustus 1987 mengatakan bahwa dalam digmatik hukum pidana istilah sifat melawan hukum itu mempunyai empat makna yang berbeda.
1.         Sifat Melawan Formal
Sifat melawan hukum formal ini berarti semua bagian dari rumusan delik telah dipenuhi, yang terjadi karena melanggar ketentuan pidana menurut undang-undang.Sifat melawan hukum formal ini bersumber pada asas legislatif.
2.         Sifat Melawan Hukum Materiil
Sifat melawan hukum rnateriil berarti melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat undang-undang dalam rumusan delik tertentu.
3.         Sifat Melawan Hukum Umum
Sifat melawan hukum umum (sifat melawan hukum sebagai bagian luar undang-undang) berarti bertentangan dengan hukum objektif.HaJ ini umumnya terjadi perbuatannya bersifat melawan hukum formal dan tidak ada aJasan pembenar.
4.         Sifat Melawan Hukum Khusus
Sifat melawan hukum khusus (sifat melawan hukum sebagai bagian undang-undang) mempunyai arti khusus dalam tiap-tiap rumusan delik di dalamnya itu sifat melawan hukum menjadi bagian undang-undang dan dapat dinamakan suatu faset dari sifat meJawan hukum umum. Ini ditafsirkan menurut konteks sosialnua, contoh: Pasal 310 SR (362 KUHP - pencurian).
C. AJARAN SEBAB-AKIBAT

Menurut Schepper mengadakan perbedaan antara kelakuan yang negatif saja, dengan kelakuan negatif yang juridis dapat dinamakan nalaten. Yang dimaksudkan ialah kelakuan negatif yang melawan hukum.
Menurut Simons, berpendapat sebagai berikut:
"Sudah baraang tentu terjadinya akibat yang merupakan delik itu karena adanya suatu kelakuan atau halikhwal diluar kelakuan negatif".

Menurut Mezger, hubungan kausal mengenai kelakuan negatif adalah sebagi berikut:

"Bagaitnana dopat timbul akibat: dari suatu kekosongon, oopat dijawab, bohwa dalom hukum pidona kelokuan negati] itu tidok berati semota­mota tidok berbuat (kekosongon), tetapi selolu berarti tidok berbuat sesuatu yang tertentu (ke;n etnjacbes nicnts tun sonder ein: tun). Karena itu kelakuan negatl] adaiah kausa! berhubungat: dengon suatu okibat, apabila sesuatu yang tertentu itu dopot menghindorkon timbulnyo okibat tersebut".

Untuk mengatakan, bahwa ada hubungan kausal antara suatu kelakuan dan akibat yang merupakan delik dipakai istilah "akibat langsung", yakni istilah yang dipakai dalam praktek peradilan di Ned.-Indie.

D.    TUJUAN AJARAN SEBAB - AKIBAT

Tujuan ajaran sebab - akibat (causalitetitsleer) adalah":
1.    Untuk menentukan hubungan antara sebab-akibat, yang berarti menentukan adanya atau tidak adanya tindak pidana
2.    Untuk menentukan pertanggungjawaban seseorang atas suatu akibat tertentu yang berupa suatu tindak pidana

E.            AJARAN SEBAB - AKIBAT DALAM DELIK MATERIIL DAN DELIK FORMAL
Jika ajaran sebab-akibat ini dihubungkan dengan delik maeteriil, maka ajaran ini selalu diperlukan, oleh karena jenis delik ini mengandung suatu unsur di dalamnya yang berupa akibat tertentu yang dilarang.selain daripada itu ajaran sebab-akibat juga diperlukan dalam "delik yang dikualifikasikan oleh akibatnya" (door het gevolg gequalificeerd), yaitu karena timbulnya akibat tertentu, maka ancaman pidana terbadap delik tersebut diperberat.
Akan tetapi Vos berpendapat babwa adakalanya terhadap delik formal atau delik yang dirumuskan secara formal tertentu diperlukan juga ajaran sebab-akibat, yaitu apabila unsur perbuatan terpisah dengan akibatnya menurut waktu, jadi akibat yang tertentu baru timbul kemudian setelah saat terjadi perbuatan.
Sebagai contoh: mengenai pencurian gas dengan cara melubangi pipa gas tetangga dengan bor. Lubanya sendiri terlalu keciL untuk mengeluarkan gas, tetapi karena sesuatu hal gas dapat juga keluar.
Usulan Moeljatno terhadap contoh di atas ialah bahwa meskipun tampak dirumuskan secara formal merupakan unsur mengambi1, melainkan menyalurkan gas yang keluar dari lubang tadi untuk kepentingan sendiri tanpa mernbayar.Jadi lebih tepat kalau ditafsirkan kearah perumusan yang material. Juga disini apabila sudah mengebor pipa, tetapi gas tidak keluar maka perbuatan ini bam bersifat percobaan pencurian (Moeljatno 1978: 59-60)

F.     TEORI-TEORI SEBAB - AKIBAT

1.          Teori Syarat Mutlak atau Kondisio Sine Kua Non (Condition Sine Qua Non)
Teori ini dikemukakan oleh Van Buri, yang berpendapat bahwa semua syarat untuk timbulnya suatu akibat adaJah sama sebagai sebab yang tidak dapat dihilangkan dan harus diberi nilai yang sama. Teori ini dinamakan kondisio sine kua non, oleh karena semua syarat itu tidak dapat dihilangkan untuk timbulnya akibat. Teori Van Buri ini dinamakan teori ekivalen tequivalentia theories, dan karen a tidak ada perbedaan antara syarat  (bedingung) dengan sebab, maka teori Van Buri dinamakan juga teori syarat (bedingungsthcorie).
Teori kondisio sine kua non menyatakan anrara syarat dengan sebab, seem-a teoritis memang benar, tetapi tidak sesuai dengan praktek, karen a dalam pergaulan dimasyarakat justru diadakan perbedaan antara syarat dengan sebab tadi, juga dapat dikatakan bahwa apa yang dianggap sebab oleh teori kondisi sine kua non itu dalam praktek terlalu luas, karena itu harus diadakan pembatasan denga mengadakan perbedaan an tara mana yang menjadi sebab dengan mana yang hanya sebagai syarat. Dalam memcari pembatasan an tara syarat dengan sebab ini ada dua golongan teori.
a.    Teori mengindividualisasikan (individualiserende theorie)
b.    Teori menggeneralisasikan (generalisererule theorie).
2.             Teori Mengindividualisasikan
Teori ini mengadakan pembatasan antara syarat dengan sebab itu secara pandangan khusus (mengindividualisasikan), yaitu secara konkrit mengenai perkara yang tertentu saja, dan karena itu mengambil pendiriannya pada saat sesudah akibatnya timbul (post - faktum).
Teori ini kemudian menjadi berkembang, dan yang tennasuk dalam golongan ini, diantaranya adalah berikut ini.

a.             Teori der meist wirksame bedingung dari Birkmeyer
Menurut teori ini bahwa syarat yang harus dianggap sebagai sebab atas terjadinya akibat adalah der meist wirksame bedingung (syarat yang paling berpengaruh). Teori ini dapat menimbulkan kesulitan dalam hal menetukan syarat mana yang paling berpengaruh itu, apalagi jika syarat-syarat itu tidak sejenis, misalnya: sebuah kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda. Sulit untuk menentukan kuda manakah yang paling kuat dalam rnenarik kereta yang bergerak itu.

b.             Teori gleichgewicht atau uebergewicht dari Karl Binding
Menurut teori iui bahwa syarat yang harus dianggap sebagai sebab adalah syarat positif (yang menjurus kearah timbulnya akibat) untuk melbihi syarat negative (yang menahan timbulnya akibat).

c.             Teori die art des warden dad Kohler
Menurut teori ini bahwa sebab adalah syarat yang rnenurut sifatnya (art) menimbulkan akibat.Ajaran Kohler ini merupakan variasi dari ajaran Birkrneyer, yang bukanlah mana yang kuantitatif paling berpengaruh, melainkan mana yang kualitatif menurut sifatnya (art) penting untuk timbulnya akibat.
Ajaran Kholer ini dapat menimbulkan kesulitan, apabila syarat-syarat itu hamper sama nilainya. Misalnya: seseorang yang sangat peka terhadap suatu racun, lalu racun itu dimakankan kepadanya dalam dosis tertentu yang secara normal tidak akan mengakibatkan matinya orang. Apabila ia mati maka kepekaan itulah yang lebih menentukan daripada racunnya.

d.            Teori letze bedingung dari Ortman
Menurut teori ini bahwa sebab adalah syarat penghabisan yang menghilangkan keseimbangan antara syarat positif dengan syarat negative, sehingga akhirnya syarat positiflah yang menentukan. Teori ini dapat mengalami kesulitan, karen a mungkin akan terjadi orang yang seharusnya dipidana, tetapi tidak dipidana.

e.             Teori menggeneralisasikan.
Teori ini mengadakan pembatasan antara syarat dengan sebab itu secara pandangan umu (menggeneralisasikani, yaitu secara abstrak, jadi tidak terikat pada perkara tertentu saja, dan karena itu rnengambil pendiriannya pada syarat itu dicarilah syarat yang pada umumnya menurut "perhitungan yang normal" dapat diambil sebagai sebab yang menimbulkan akibat.
Teori ini terdapat bebrapa penganut, yang rnengrnukakan teori yang berbeda-beda.Adapun perbedaanny itu berpokok pangkal pad a pengertian dari istilaih "perhitungan yang normal" tersebut. Teori - teori tersebut adalah berikut ini.
1.      Adequate (keseimbangan) dari Von kries. Teori ini berpendapat bahwa syarat yang barus dianggap sebagi sebab yang menimbulkan akibat adalah syarat yang menurut " perhitungan" yang normal seimbang dengan akibat itu.
2.      Teori objective-nachtraglicher prognose / teori keseimbangan yang objek objektif dari Rumelin
3.      Teori Simons. Teori ini merupakan kompromis dar! ajaran Von Kries danajaran Rumelin, menurut Simons, untuk menentukan syarat sebagai sebab yang menimbulkan akibat haruslah memperhitungkan:
a.       keadaan yang tidak diketahui oleh si pembuat sendiri;
b.      keadaan yang diketabui oleb orang sebanyak, rneskipun tidak diketahui si pembuat sendiri.

f.              Teori adequate dari Traeger
Menutut teori ini babwa sebab itu haws dicari dari syarat-syarat, manakah yang seimbang dengan akibat yang timbul.

g.             Teori Relevantie dari Mezger
Menurut teori ini bahwa dalam menentukan hubungan sebab-akibat tidak mengadakan perbedaan antara syarat dengan sebab, melainkan dimulai dengan menafsirkan rumusan tindak pi dana yang memuat akibat yang dilarang itu dicoba menemukan perbuata manakah kiranya yang dimaksud pada waktu undang-undang itu buat. Jadi pemilihan dari syarat-syarat yang relevan itu berdasarkan kepada apa yang dirumuksn dalam undang-undang.

h.             Teori perdata
Teori ini berdasarkan pasal 1247 dan 1248 KUHP perdata CBW), yang menyatakan bahwa "pertanggungjawaban" hanya ada, apabila akibat yang timbul itu mempunyai akibat yang langsung dan rapat sekali dengan perbuatan-perbuatan yang terdahulu atau dapata dibayangkan 1ebih dahulu. Teori ini boleh dikatakan sarna dengan teori adequate dari Von Kries. Beberapa sarjana berpendapat bahwa teori perdata ini dapat juga digunakan dalam hukum pidana.

G. AJARAN SEBAB-AKIBAT DALAM DELIK OMISI

Dalam delik Omisi murni (eigeniijke omissie delict) tidak dperlukan ajaran sebab-akibat, oleh karena jenis delik ini terjadi Karen tidak melakukan sesuatu yang diharuskan oleh undang-undang. Jadi apabila keharusan itu tidak dijalankan, terang hal ini diancam dengan pidana, dengan tidak usaha  memperhatikan ada atau tidak adanya akibat, seperti: seorang yang tidak melaksanakan keharusan sebagai saksi - Pasal 224 dan 522 KUHP, sudah rnemenuhi unsur-unsur tindak pidana tersebut, dengan tidak usab memperbatikan lahi akibatnya.
Akan tetapi dalam delik omisi tak murni (oneigenlijke omissie delict/delicta commisiones per omissionem commissa) diperlukan ajaran sebab-akibat, oleh karena delik ini terjadi apabila ada akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,
Hubungan sebab-akibat dalam perbuatan pasif (tidak berbuat) terdapat teori, yaitu sebagai berikut.
1.             Teori terbuat lain (theorie van het anders doen) dari Luden, menu rut teori ini bahwa yang harus dianggap sebagai dari suatu akibat ialah bukan perbuatan yang pasif (tidak berbuat), melainkan suatu perbuatan positiflai yang dilakukan orang pada saat seharusnya ia berbyat yang diharuskan.
2.             Teori perbuatan yang menduhului akibat (theorie van het voorafgande doen) dari Krug. Teori ini juga mencari mencari penyelesaianya dalam mengkonstruksikan suatu perbuatan positif bahwa yang harus dianggap sebab dari suatu akibat adalah perbuatan yang mendahului akibat yang timbul.Yaitu perbuatan penerimaan pengangkatan atau tugas pekerjaan. Misalnya: seorang penjaga wisel keretaapi tidak memindahkan wisel tersebut, sehingga terjadi kecelakaan api. Menurut teori ini, yang menjadi sebab dari kecelakaan kereta api itu bukan ia tidak memindahkan wisel kkereta api itu, melainkan karena penerimaan pengangkatanltugas pekerjaan sebagai penjaga wisel kereta api sebelumnya.
3.             Teori interferen: dari Von Buri. Menurut teori ini bahwa hubungan sebab-akibat dalam tidak berbuat itu pada pokoknya syaty perbuatan positif, hanya positivitasnya tidak kelihatan, sebab aktivitas perbuatannya berada dalam psykis.
4.             Teori sebab-akibat dari tidak berbuat tcausatiteit vacausaliteit van het niet doen) dari Van Hamel. Menurut teori ini bahwa seseorang yang tidak berbuat dapat dianggap sebagai sebab dad suatau akibat, apabila ia mempunyai kewajiban hukum untuk berbuat. Terhadap istilah kewajiban hukum itu terdapat dua macam penafsiran.
a.       Penafsiran sempit, yang menafsirkan bahwa kewajiban hukum itu tirnbul dari pekerjaan atau jabatan seorang dan hukum.
b.      Penafsiran luas, yang menafsirkan bahwa kewajiban hukum itu timbul selain daripada pekerjaan atau jabatann seseorang dan hukum, tetapi juga dari kepatutan masyarakat, yaitu apa yang menurut pendapat umum patut atau wajib untuk berbuat. Ajaran luai ini dihubungkan dengan Arrest Hoge Raad tang gal 31 Januari 1919 tentang "perbuatan yang bertentangan dengan hukum (onrechtmatige daad) , yang diatur dala pasal 1365 KUHP perdata. Dalam Arrest tersebut onrechtmatige daad ditafsirkan sebagai:
1.      melanggar hak subjektif orang lain menurut undang-undang;
2.      melakukan sesuatau yang bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku sndiri menurut undang-undang;
3.      melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan;
4.      melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat.
H. BATASAN PENGHUKUMAN
Menurut Sudjono D, ada dua faham penting mengenai konsep penghukuman sebagai alat adalah peradilan'":
1.    Hukuman dijatuhkan oleh grup terhadap orang yang dipandang sebagai anggota-anggota dari groupitu. Perang bukanlah penghukuman karena aksi ditujukan kepada orang asing. Kerugian daripada status yang sering mengikuti kejahatan bukanlah penghukuman, kecuali sebegitu jauh hal itu dinyatakan sebagai tindakan penghukuman.
2.    Penghukuman dengan cara rnenyakiti dan membuat penderitaan yang dihasilkan oleh perencanaan dan penuntutan yang semestinya didapat oleh penderita. Apabila rasa sakit atau penderitaan itu hanya secara kebetulan yang dapat dihindari maka hal itu bukanlah merupakan penghukuman. Operasi pembedahan terhadap terhukum untuk memperbaiki kesehatan badannya bukanlah penghukuman, oleh karena rasa sakit itu tidak berarti dan tidak diinginkan. Pembatasan terhadap penderita gangguan ji wa bisa menyebabkan penderitaan baginya, tetapi tidak sebagai hukuman. Banyak cara-cara untuk menghadapi penjahat, kshusunya prosedur pengadilan bilamana terlibat dalam suatu kesukaran, kiranya lebih disukai untuk rnembatasi konsep penghukuman dengan konsep pengenaan siksaan dengan memperhatikan manfaatnya. lnilah konsepsionil yang digunakan dalam perundang-undangan kriminil pidana.

I.                   REAKSI PENGHUKUMAN TERHADAP PELANGGARAN UNDANG-UNDANG
Banyak penulis mempertahankan pendapat bahwa penghukuman adalah sauatu bentuk pernyataan dari instinct manusia untuk mengadakan pembalasan, atau keinginan untuk mengadakan pembalasan dengan proses yang berlainan. Tidak diragukan lagi beberapa macam kejahatan perbuatan yang dianggap sebagai suatu kesalahan akan mengakibatkan terganggunya keseimbangan dalam kehidupan masyarakat dan kepentingan perseorangan yang menjadi dari masyarakat itu.
Lagi pula tindakan penghukuman hanyalah salah satu cara untuk menindak pelanggaran perundang-undangan atau tidak merupakan alasan utama dalam tindakan penghukuman dalam masyarakat yang sederhana. Ada tiga bentuk kesalahan meliputi perbuatan yang diikuti oleh tiga bentuk tindakan yang tidak satupun dari tindakan-tindakan itu berbentuk penghukuman yang dapat diketemukan dalam masyarakat yang sederhana.
Pertama, bentuk pelanggaran terhadap peraturan-peraturan suku atu pelanggaran pengujian satu suku seperti halnya penghianatan, sihir, mencemarkan tempat suci atau peracunan. Mulai pelanggaran demikian sering terjadi pada lingkungan masyarakat yang kecil dan homo gen. Tindakan masyarakat itu terhadap pelanggar adalah berupa pembasrnian. Masyarakat boleh jadi menindak pelanggar itu dengan mencoretnya dari keanggotaan suku dengan mengasingkan atau mernbunuhnya.
Kedua, berupa tindakan untuk memperbaiki tindakan pelanggar untuk meroperbaiki masyarakat itu sebegitu jauh apa yang telah dilakukan mengenai tindakan pembasmian yang dekat hubungannya dengan peperangan, pembersihan masyarakat dengan penhujian. Pelanggar itu dipandang sebagai musuh dan diperlakukan sebagai musuh. Ia juga dianggap telah menjadi ternoda dan masyarakat suku berusaha untuk membebaskannya dari kotoran tersebut dengan segala hal yang berhubungan dengan orang itu sepanjang mengenai kebersihan dari noda. Maka dibanyak masyarakat peristiwa sihir selalu diikuti dengan pernbunuhan dan tubuh penyihir tersebut dilemparka ke laut, dengan pengharapan menjadi satu cara perbaikan atau dengak cara dikuburkan di tempat yang terasing. Namanya tabu untuk disebut-sebut takut kalau-kalau membawa sial dengan menyebutkannya. Atau tindakan terhadap pelanggaran ini merupakan suatu tindakan yang dimaksudkan untuk memenuhi keridlaan Tuhan.Namun bentuk kedua ini sangat merugikan orang yang tidak sesuku, tidak serumpun, yang bersalah ini dianggap sebagai penyerang, pembunuh atau penucuri.
Ketiga, tindakan yang merugikan orang lain sesama anggota keluaraga atau sesuku. Bentuk-bentuk kesalahan ini tidak dianggap sebagai kejahatan juga tidak diadakan tindakan penghukuman dalam arti kata penghukuman sekarang. Dalam lingkunan keluarga seperti umumnya pada suatu suku mengukur dengan tindakan tidak senonoh adalah cara yang cukup kuat dan pasti untuk menjaga keamanan dan pengawasan dari penduduk Andaman. Dikalangan mereka tidak terdapat bentuk penghukuman terhadap kejahatan oleh masyarakat.Apabila seseorang merugikan orang lain, terserah kepada yang dirugikan untuk mengadakan pembalasan bila ia menhendakinya dan berani mengadapi atau menanggung resikonya.
Persamaan dengan hal-hal yang terjadi pada masyarakat sekarang yang sederhana belum tahu baca tulis, yang terasung dari peradaban modem seperti pada masyaraktat prirnitif, penghukuman terhadap anak-anak jarang terjadi. Hal ini ada persamaannya dengan masyarakat sekarang. Para pedagang dimana pun juga berpendapat tentang sifat daripada anak-anak sangat suka dimanjakan. Sifat-sifat ini sangat kelihatan pada bangsa Eskimo atau orang Feugians di Amerika Selatan. Bilamana dapat bukti-bukti orang tua hampir belurn pernah rnenghukurn atau rnenyakiti anakanya, tetapi sianak perlu mendapat tekanan dengan latihan. Cara rnenghukurn anak-anak rnereka lakukan seperti halnya di masyarakat yang rnaju tetapi dengan cara mereka sendiri.
Singkatnya prinsip yang sarna dibutuhkan untuk mengawasi anak-anak, sarna seperti orang dewasa, ialah dengan celaan atau sindirian. Kenyataannya cara-cara pengawasan dalam masyarakat dahulu telah dijalankan dengan kecarnanOkecarnan ringan dan ejekan sebagai pengganti demi rnenghukurn dan penggunaan kekerasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar