MOOUL 7
Hukum Pidana
Dr.
H. Nandang Alamsah Deliarnoor, S.H., M.Hum.
Dalam modul 7 ini akan dibahas salah
satu sub sistem hukum Indonesia, yang sangat penting yaitu Hukum Pidana. Hukum
pidana kadang disebut sebagai hukum yang ultimum remedium artinya hukum yang
digunakan sebagai langkah terakhir bilamana hukum-hukum yang lainnya sudah
digunakan seperti hukum perdata atau hukum administrasi negara. Dalam Modul ini
berturut-turut akan diterangkan hal-hal sebagai berikut.
1. Pengertian hukum pidana.
2. Sumber hukum pidana.
3. Tindak Pidana.
4. Sifat Melawan Hukum dan Ajaran Sebab
- Akibat.
5. Asas-asas hukum pidana.
KEGIATAN BELAJAR 1
Pengertian Hukum Pidana
A. ISTILAH HUKUM PIDANA
Istilah
hukum pidana merupakan terjernahan dari istilah bahasa Belanda strafrecht.Straf
berarti pidana, dan recht berarti hukum. Menurut Wirjono Prodjodikoro.bahwa
istilah hukum pidana itu dipergunakan sejak pendudukan Jepang di Indonesia
untuk menerjemahkan pengertian strafrecht dari bahasa Belanda, dan untuk
membedakannya dari istilah hukum perdata yaitu burgerlijkrecht atau
privaatrecht dari bahasa Belanda (Wirjono, 1969: 1)
B. RUMUSAN HUKUM PIDANA
Hukum
materiil adalah hukum yang mengatur isi, contohnya Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Perdata/Burgerlijk Wetboek. Sedangkan hukum
formal atau hukum acara adalah hukum yang mempunyai tugas untuk mempertahankan
hukum materiil contohnya Kitab Undang-undang Hukum Acara PidanaJHIR.
Hukum
pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran pelanggaran dan kejahatan-kejahatan
terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan
suatu penderitaan atau siksaan.
Bermacam-macam
pengertian hukum pidana yang dikemukakan oleh para sarjana hukum. Di bawah ini
akan dikernukakan pengertian hukum pidana dari para sarjana hukum pidana
Indonesia terkenal.
1.
Prof. Soedarto, S.H.
Soedarto mengartikan babwa hukum pidana memuat aturan-aturan
yang mengikatkan: kepada perbuatan- perbuatan yang memenuhi syarat tertentu
suatu akibat yang berupa pidana (definisi dari Mezger).
Selanjutnya Soedarto menyatakan bahwa sejalan dengan ini,
maka KUHP memuat dua hal pokok, yaitu sebagai berikut.
a.
Memuat pelukisan dari perbuatan
-perbuatan orang yang diancam pi dana, artinya memuat syarat-syarat yang harus
dipenuhi yang memungkinkan pengadilan menjatuhkan pidana. Jadi di sini
seolah-olah negara menyatakan kepada umum dan juga kepada para penegak hukum
perbuatan apa yang dilarang dan yang dapat dipidana.
b.
KUHP menetapkan dan mengumumkan
reaksi apa yang akan diterima oleh orang yang melakukan perbuatan yang dilarang
itu.
Dalam hukum pidana modern reaksi ini tidak hanya berupa
pidana, tetapi juga apa yang disebut dengan tindakan, yang bertujuan untuk
melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang merugikannya (Soedarto, 1997:
100-101).
2.
Prof. Satochid Kartanegara, S.H.
Dalam kuliahnya Satochid mengartikan
bahwa hukum pidana adalah sejumlah peraturan yang merupakan bagian dari hukum
positif yang mengandung larangan-larangan dan keharusan-keharusan yang
ditentukan oleh negara atau kekuasaan lain yang berwenang untuk menentukan
peraturan peraturan pidana, dan apabila hal ini dilanggar timbullah hak negara
untuk melakukan tuntutan, menjatuhkan pidana, dan melaksanakan pidana (lihat E.
Y. Kanter dan S. R. Siaoturi, 1982:15)
3.
Prof. Moeljatno, S.H.
Rumusan hukum pidana menurut Prof.
Moeljatno", hukum pidana adalah bagian dari semua hukum yang berlaku di
suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan hukum untuk:
a.
menentukan perbuatan mana yang tidak
boleh dilakukan dan yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi yang
berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang rnelanggar larangan tersebut;
b.
menentukan kapan dan dalam hal-hal
apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-Jarangan itu dapat dikenakan
sanksi atau dijatuhkan pidana sebagaimana yang telah diancarnkan;
c.
menentukan dengan cara bagairnana
pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan, apabila ada orang yang disangka telah
melanggar larangan tersebut.
Ciri-ciri hukum pidana adalah
sebagai berikut.
a.
Pelanggaran: rnengenai hal-hal
kecil/ringan yang diancam dengan hukuman denda.
b.
Kejahatan: mengenai soal-soal yang
besar, seperti pernbunuhan, penganiayaan, penghinaan, pencurian, dan
sebagainya.
c.
Kepentingan Umum:
·
Badan dan peraturan perundangan
negara, Contoh: negara, UU, PP.
·
Kepentingan hukurn tiap manusia,
yaitu jiwa, raga, kemerdekaan, kehorrnatan, dan hak milik atau harta benda.
4.
C.S.T. Kansil, S.H
Menurut Kansil, Hukum Pidana itu ialah hukum yang mengatur
tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan
umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan
atau siksaan. Dari definisi tersebut dapatlah kita rnengambil kesimpulan, bahwa
hukum Pidana itu bukanlah suatu hukurn yang rnengatur norma-norma yang baru,
melainkan hanya mengatur tentang pelanggaran pelanggaran dan
kejahatan-kejahatan terhadap norma-norma hukum yang mengenai kepentingan
umum."
Adapun
yang termasuk dalam pengertian kepentingan umum ialah'':
a.
badan dan peraturan perundangan
Negara, seperti Negara. Lembaga lembaga Negara. Pejabat Negara. Pegawai
negeri. Undang-undang. Peraturan Pemerintah, dan sebagainya.
b.
kepentinngan hukum tiap manusia,
yaitu: jiwa, raga/tubuh, kemerdekaan, kehormatan, dan hak miliklharta benda.
Hukum Pidana itu tidak membuat peraturan yang baru,
melainkan mengambil dari peraturan-peraturan hukum yang lain yang bersifat
kepentingan umum. Kita mengetahui bahwa pengadilan Perdata baru bertindak kalau
sudah ada pengaduan (k1acht) dari pihak yang menjadi korban. Orang itulah
sendiri yang harus mengurus perkaranya ke dan dimuka Pengadilan Perdata.
Sedangkan dalam Huku Pidana yang bertindak dan yang mengurus perkara ke dan
dimuka Pengadilan Pi dana, bukanlah pihak korban sendiri melainkan alat-alat
kekuasaan Negara seperti Polisi, Jaksa, dan Hakim. Oleh karena kemudian
ternyata, bahwa orang-orang yang kepentingan hukumnya diserang tapi
rnalu-rnalu, segan atau takut untuk mengurus sendiri perkaranya ke muka
pengadilan Perdata, maka rnudah dapat dimengerti, bahwa banyak perkara yang
tidak sampai ke pengadilan sehingga merajalela pe1anggaran atas kepentingan
hukum orang".
Untuk rnenjaga keselamatan dari kepentingan umum itu, hukum
Pidana mengadakan satu jaminan yang istimewa terhadapnya yaitu seperti tertulis
pada bagian terakhir dari definisi Hukum Pidana, ".... Perbuatan mana
diancam dengan suatu hukuman yang berupa siksaan'".
Pidana adalah hukuman berupa siksaan yang merupakan
keistimewaan dan unsur terpenting dalam hukum Pidana. Kita telah mengetahui
bahwa sifat hukum ialah memaksa dan dapat dipaksakan; daya paksaan itu perlu
untuk menjaga tertibnya, diturutinya peraturan hukum atau untuk memaksa si
perusak memperbaiki keadaaan yang dirusaknya atau mengganti kerugian yang
disebabkannya. Pokok untuk menjaga dan mernperbaiki keseimbangan at au keadaan
yang semula. Tapi hukum Pidana Paksaan itu disertai suatu siksaan atau
penderitaan yang berupa hukuman".
C. ALIRAN
HUKUM PIDANA
Para penulis
hukum pidana indonesia memberikan pernyataan yang berbeda-beda terhadap tujuan
hukum pidana itu. Seperti: Wirjono Prodjodikoro rnenyatakan bahwa tujuan hukum
pidana itu ialah untuk memenuhi rasa keadilan (Wirjono 1969: 15); Tirtaamidjaja
menyatakan bahwa tujuan hukum pidana itu ialah untuk melindungi masyarakat
(Tirtaamidjaja, 1955,18); E. Y. Kanter dan S. R. Sianturi menyatakan bahtu juan
hukum pidana itu pada umumnya adalah untuk melindungi kepentingan orang
perseorangan (individu) atau hak-hak asasi manusia dan melindungi
kepentingan-kepentingan masyarakat dan negara dengan pertimbangan yang serasi dari kejahatan /tindakan
tercela disatu pihak dan dari tindakan penguasa yang sewenang-wenang di lain
pihak (E.Y. Kanter dan Sianturi, 1982:55) Menurut urutan umurnya ada tiga
aliran hukum pidana (strafrechcholen), yaitu:
1.
Aliran Klasik
Menurut aliran klasik (klassieke richting/klassieke school)
tujuan hukum pidana itu adalah untuk melindungi kepentingan perseorangan
(individu) terhadap kekuasaan negara.
Menurut Beccaria dan dukungan dari Rousseau, Montesquieu
serta Voltaire mempertahan kan doktrinnya yaitu tentang "psyshological
hedonism", bahwa setiap orang itu mernperhitungkan kesenangan dan
kesakitan dalam melakukan seuatu perbuatan tingkah lakunya diatur sebagai hasil
perhitungannya. Kesimpulan dari doktrin tersebut ialah bahwa tindakah terhadap
kejahatan merupakan pencatatan dari perhitungan sejumlah kesakitan. Dahl umum
dari faham klasik ialah bahwa diperlukan menurut perlakuan yang tidak
diinginkan berupa kesakitan dengan memaksakan hukuman kepadanya dan membuat
sejumlah kesakitan tertentu dan lengkap dengan batas-batasanya. Maka setiap
penjahat akan dapat memandang tindak perbuatan yang akan dikerjakannya dengan
memperhitungkan bahwa kesakitan yang didapat dari perbuatannya akan lebb berat
daripada kesenangannya.
Beccaria,
seorang bangsawan Italia, yang menulis sebuah buku dengan judul "dei
delitti e delie pene" (tentang kejahatan-kejahatan dan pi dana pidana)
tahun 1764.Alasan yang mendorong BECCARIA untuk menulis bukunya itu, oleh
karena terjadinya perkara pidana terhadap Jean Calas di kota Toulouse Perancis
tahun 1762. Jean Calas dituduh telah membunuh anaknya, bernama Maurie Antonie
Calas, karena anaknya itu kedapatan mati dirumah ayahnya. Meskipun Jean Calas
selalu menyangkal akan tuduhan itu, tetap dipersalahkan dan akhirnya dijatuhi
hukuman pidana mati yang dilaksanakan dengan guilotine. Masyarakat menjadi
gempar, timbul perasaan tidak puas, karena menganggap Jean Calas tidak
bersalah. Voltaire seorang sastrawan ulung memprotes keras putusan pengadilan
itu, dan menuntut agar diaksanakan pemeriksaan ulangan ternyata berhasil, maka
dengan pemeriksaan ulangan ternyata itu mati bukan karena dibunuh melainkan karena bunuh diri.kemudian
pernuka-pemuka masyarakat, seperti: Maurie Jacques Rouseau dan Montesqueieu pun
turut menuntut agar kekuasaan raja beserta penguasa-penguasa dibatasi dengan
undang-undang,
Pada saat Beccaria menulis bukunya itu.Perancis ada dibawah
kekuasaaan raja absolut (absolute monarchi). Hukum pidana yang ada pada waktu
itu pada urnumnya tidak tertulis sehingga rakyat tidak rnengetabui dengan pasti
perbuatan-perbuatan apa ayng dilarang dan diharuskan, serta pidana yang
diancamkan. Oleh karana itu dalam menentukan baik burujnya atau dapat tidaknya
dipidanya suatu perbuatan tergantung pada perasaan hakim sendiri sebagai aJat
raja. DaJam penentuan perbuatan tersebut sering terjadi kesewenang-wenangan.
Demikian juga cara melakukan pemeriksaaan dengan sewenang-wenang dan diluar
perikemanusiaan. Sampai terjadinya kasus Jean Calas yang menggemparkan terse
but diatas.
Didalam tulisannya itu Beccaria rnenuntut supaya bukum
pidana itu diatur dengan undang-undang, dan susunan hukum pidana ditentukan
secara teliti, tetap, dan tidak berubah-ubah.Kernerdekaan seseorang harus
dipertahankan dengan sepenuh-penuhnya, dan oleh karena itu hakim harus diikat
oleh suatu sistem pidana yang tetap. Akan tetapi apabila seseorang melakukan
suatu perbuatan dan diancam dengan pidana oleh ketentuan undang-undang, maka
pidana itu harus dijatuhan pula, tanpa memperbatikan keadaan pribadi
pembuatnya, yaitu mengenai sebab-sebab dilakukannya kejahatan (politik
kriminal)
2.
Aliran Modern
Menurut aliran modern (modeme richting/moderne school) atau
aliran kriminologi tcrminologische richting/criminologische school), atau
aliran positif (positieve richting/positieve school), tujuan hukum pidana itu
untuk melindungi masyarakat terhadap kejahatan.
Aliran modern sangat dipengaruhi oleh perkembangan
kriminologi.Pada jaman klasik kriminologi itu belurn lahir, oleh karena itu
kriminologi tidak mendapat perhatian aliran klasik.
Berkat timbulnya kriminologi yang dalam penyelidikan
ilmiahnya lebih mengutamakan penjahat, sebab-sebab terjadinya kejahatan, dan
cara-cara untuk menanggulangi kejahatan itu daripada perbuatan jahatnya. Maka
sarjana hukum pidana yang termasuk pada aliran modern lebih memperhatikan penjahat,
sebab-sebabnya penjahat melakukan perbuatan jahat, serta cara untuk
menanggulangi kejahatan itu daripada perbuatan jahatnya. Hal ini disebabkan
bahwa para sarjana hukum pidana tersebut tidak mengutamakan perlindungan
terhadap kepentingan perseorangan (individu), seperti dalarn aliran klasik,
melainkan hendak melindungi masyarakat terhadap kejahatan (prevensi umum). Oleh
karena itu para sarjana hukum pidana tersebut lebih mempelajari sebab-sebabnya
penjahat melakukan kejahatannya (etimologi kriminal/criminele eatiologie), dan
pidana apa yang dapat dijatuhkan yang paling efisien, baik bagi penjahat maupun
bagi masyarakat, agar kejahatan tidak terulang lagi (politik kriminal/criminele
politieky. Kemudian politik kriminal ini melahirkan hukum penitensier modern.
Agar masyarakat mendapatkan perlindungan sepenuhnya terhadap
kejahatan, maka aLiran modem berpegangan pada as as "setiap penjahat hams
mendapat terapi yang ia butuhkan".Asas ini menunjukkan bahwa setiap
penjahat itu harus dianggap sebagai orang yang menderita sakit sosial yang
memerlukan penyembuhan. Adapun cara peoyembuhannya (terapi) itu melahirkan
hukum peniteosier, yang menurut aliran modem, maka pidana (straf) hendaknya
diganti dengan tindakan (maatregel) yang bertugas melindungi masyarakat terhadap
kejahatan.
Tujuan aliran modem ini adalah
"mengindividualisasikan" hukum pidana, yaitu menyesuaikan hukum
pidana dengan pribadi pembuat pidana.
3.
Aliran Ketiga
Aliran ketiga
(derde ricting/derde school) atau aliran sosiologis (sosiologische
richting/sosiologische school) timbul sebagai suatu kornprornis (kadang-kadang
menitikberatkan pada pihak yang satu dan kadang-kadang pihak yang lain) dari
kedua ali ran terdahulu, yang antara lairan klasik dengan aliran modern pada
abad sembilan belas dan awal abad dua puluh ini terjadi suatu polemik hebat.
Aliran ketiga ini menerima dari aliran klasik sis tern pidana dan hukum pidana
yang didasarkan atas kesalahan, dari aliran modern menerima sistem tindakan
yang melindungi masyarakat terhadap kejahatan. Penganut para aliran ketiga
adalah para sarjana yang menganut ajaran Enrici Ferri didalam kriminologi
(aliran biososiologis), serta para sarjana yang tergabung dalam aliran otoriter
(autoritaire richting) atau hukum pidana otoriter (auto rita ire strafrecht).
Aliran otoriter hadir di Italia pada zaman fascist, kemudian dianut oleh faham
nazi (aliran nasional-sosialis) di Jerman dan faham komunis Rusia.Aliran
otoriter lebih mengutamakan kepentingan negara sedangkan kebebasan perseorangan
dan terapi bagi penjahat adalah nomor dua (lihat Utrecht, 1958: 114-121).
Dalam hukum pidana otoriter, hukum pidana itu tertulis dan
diadakan untuk melindungi kepentingan negara, kepentingan negara adalah
kepentingan yang terutama dalam wujudnya sebagai partai (komunis) ataupun
penguasa otoriter, seperti: fuhrer, diktator, dan lain-lain (Bambang Poernomo,
1978: 20).
Bagaimana dengan KUHP yang berlaku sekarang ini di
Indonesia?KUHP sekarang boleb dikatakan menganut aliran klasik, tetapi dalam
perubahan perubahan yang diadakan kernudian, kbusus dalam hukurn
penitensiernya, teras a pengaruh aliran sosiologis (Utrecht, 1958: 121).
Dalarn rangka pembentukan KUHP nasional yang akan datang,
pada Pasal ] Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang -Undang Hukum Pi dana
Buku 1 Tahun 1968, terdapat gagasan tentang "Maksud dan tujuan hukum
pidana Indonesia ialah agar dengan ridho Tuhan Yang Maha Esa eita-eita bangsa
Indonesia untuk mewujudkan masyarakat Paneasila jangan dihambat dan dihalangi
oleh tindak pidana, sehingga baik Negara Republi Indonesia serta penduduk
lainnya mendapat pengayoman".
Gagasan tersebut merupakan perwujudan dari Rsolusi Seminar
Hukum Nasional Tahun 1963 huruf F butir III agar di dalam Bagian Umum KUHP
nasional yang akan datang dimuat dalam pasal pertamanya dasar dan tuj uan hukum
pidana sebagaimana tersebut diatas. Akan tetapi gagasan tentang maksud dan
tujuan hukum pidana Indonesia tersebut di at as tidak tereantum Jagi dalam
RKUHP 199111992.
D. DASAR PEMBENARAN DAN TUJUAN PIDANA
Salah satu cara untuk mencapai tujuan pidana adalah
menjatuhkan pidana terhadap seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana.
Pidana itu adalah suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan
negara kepada seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana. Adapun
kepentingan hukum perseorangan yang dilindungi antra lain: jiwa seperti
pembunuhan; tubuh seperti penganiayaan; kehormatan seperti penghinaan;
kesusilaan seperti perkosaan; kemerdekaan seperti melahirkan wanita; harta
benda seperti pencurian, dan lain-lain.
Didalam ilmu hukum pidana dikenal beberapa teori hukum
pidana (strafrechstheorieen), yang mengemukakan tujuan dari adanya pidana, pada
umumnya dibagi dalam tiga golongan, yaitu
1.
Teori Absolut atau Teori Pembalasan
Menurut
teori absolut (absolutetheorieen)
atau teori pembalasan (vetgeldingstheorieen/
retnbution theory), penjatuhan pidana itu dibenarkan semata-mata karena
orang telah melakukan kejahatan.
Pidana itu
merupakan akibat hukum yang mutlak harus ada sebagai suatu pembalasan kepada
orang yang telah melakukan kejahatan.Jadi dasar pembenaran pidana terletak pad
a terjadinya kejahatan itu sendiri.
Oleh
karena kejahatan itu mengakibatkan penderitaan kepada orang yang terkena
kejahatan, maka menurut teori absolut atau teori pembalasan, penderitaan itu
harus dibalas pula dengan penderitaan yang berupa pidana kepada orang yang
melkukan kejahatan itu. Ibarat bahasa yang menyebutkan:
"Darah
bersambung darah, nyawa bersambung nyawa" - "Hutang pati nyaur pati,
hutang lara yaur lara" (si pembunuh harus dibunuh, penganiaya harus
dianiaya). Jadi pi dana disini tidak dimaksudkan unruk mencapai maksud yang
praktis, seperti memperbaiki si penjahat, melainkan pidana disini semata-mata
hanya untuk memberikan penderitaan kepada orang yang melakukan kejahatan.
Pada dasarnya tindakan pembalasan
itu mempunyai dua sudut.
a.
Sudut subjektif (subjekiieve vergelding), yang
pembalasannya ditujukan pada orang lain yang berbuat salah.
b.
Sudut objektif (objectieve bergelding), yang pembalasannya ditujukan untuk memenuhi
perasaan balas dendam masyarakat.
Teori absolut atau teori pembalasan ini timbul pada akhir
abad ke-18, yang mempunyai beberapa penggugat dengan jalan pikiran
masing-masing, seperti:
Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl, dan Leo Polak.
Immanuel Kant, seorang filosof, berpendapat bahwa kejahatan
itu mengakibatkan ketidakadilan kepada orang lain, maka harus dibalas pula
dengan ketidakadilan yang berupa pidana kepada penjahatnya.Sedangkan pidana itu
merupakan tuntutan yang mutlak dari hukum dan kesusilaan. Teorinya disebut dengan "teori
pembalasan etis" (de ethische
vergeldingstheorie ).
Hegel, seorang filosof, berpendapat bahwa hukum atau
keadilan itu merupakan kenyataan kemerdekaan.Sehubungan dengan itu, maka
kejahatan merupakan ketidakadilan (onrecht) yang berarti merupakan tantangan
terhadap hukum atau keadilan.Oleh karena itu keadaan tantangan terhadap hukum
atau keadilan iru harus dilenyapkan dengan ketidakadilan pula, yaitu dengan
pidana, karena pidana itu merupakan ketidak adilan pula. Teorinya disebut
dengan “Teori pembalasan dialektis” (de
dialectische vergeldingstheorie).
Herbart, berpendapat bahwa kejahatan itu menimbulkan ketidak
puasan kepada masyarakat. Untuk melenyapkan ketidakpuasan masysrakat tersebut,
orang yang menirnbulkan ketidakpuasan tadi (si penjahatnya) hams dijatuhi
pidana, Dengan dernikian rnasyarakat akan rnerasa puas kernbali. Teorinya
disebut dengan "teori pernbalasan aestesis" (de aesthethische vergeldingstheoriei).
Stahl, berpendapat bahwa Tuhan menciptakan negara sebagai
wakil-Nya di dunia untuk rnenyelenggarakan ketertiban hukum dunia. Hukurn itu
merupakan tata-tertib yang diciptakan di dunia. Kejahatan berarti pelanggaran
terhadap tata-tertib yang diciptakan Tuhan itu. Untuk meniadakan kejahatan itu,
maka kepada negara diberikan kekuasaan utnuk menjatuhkan pidana kepada pelaku
kejahatan.
Leo Polak, berpendapat bahwa pidana
itu harus memenuhi tiga syarat, yaitu:
a.
Perbuatan yang dilakukan dapat
dicela sebagia suatu perbuatan yang bertentangan dengan etika, yaitu
bertentangan dengan kesusilaan dan tatahukurn objektif.
b.
Pidana hanya boleh memperhatikan
kepada apa yang sudah terjadi, tidak boleh memperlihatkan kepada apa yang
mungkin akan terjadi. Jadi pidana itu tidak boleh dengan suatu maksud prevensi
atau pencegahan, oleh karena besar kemungkinan dalam prevensi atau pencegahan
itu, si penjahat akan dijatuhi pidana yang terlalu berat dibandingkan dengan
beratnya tindak pidana yang dilakukan.
c.
Penjahat tidak boleh dipidana secara
tidak adil. Yang berarti beratnya pidana harus seimbang (tidak kurang tetapi
juga tidak lebih) dengan beratnya tindak pidana (lihat Utrecht, 1958: 167168
dan Banbang Poernomo, 1978: 22-23).
2.
Teori Relatif atau Teori Tujuan
Menurut teori relatif (relatieve theorieen) atau teori
tujuan (doel theorien/utilitarian theory), pidana itu bukanlah untuk melakukan
pembalasan kepada pembuat kejahatan, melainkan mempunyai tnjuan-tujuan tertentu
yang bermanfaat.Jadi dasar pembenaran pidana menurut teori ini terletak pada
tujuan pernidanaan itu sendiri. Mengenai tujuan pidana itu ada beberapa
pendapat.
a.
Tujuan pidana adalah untuk menentrarnkan
masyarakat yang gelisah, karena akibat dari telah terjadinya kejahatan.
b.
Tujuan pidana adalah untuk mencegah
kejahatan, yang dapat dibedakan atas; pencegahan umum (generate preventiey dan
pencegahan khusus tspeciale preventie],
Pencegahan umum (generale preventie) didasarkan kepada
pikiran bahwa pidana itu dirnaksudkan untuk mencegah setiap orang yang akan
rnelakukan kejahatan. Untuk mencapai maksud atau tujuan tersebut terdapat
beberapa cara.
a.
Dengan mengadakan ancaman pidana
yang cukup berat untuk menakut nakuti orang-orang agar tidak melakukan
kejahatan. Diantara para sarjana yang mengemukakan hal tersebut adalah Aslem
Von Feuerbach dengan teorinya yang disebut dengan von psychologischen zwang,
menurut ajaran ini ancaman pidana itu dapat menimbulkan paksaan psikologis
tpsychologischen zwang), sehingga dapat menahan keinginan setiap orang untuk
melakukan kejahatan. Namun Feuerbach mengakui bahwa dengan ancaman pi dana saja
tidaklah cukup, tetapi selain dari pad a itu diperlukan juga penjatuhan pidana
dan pelaksanaan pidana.
b.
Dengan menjatuhkan pi dana dan
melaksanakan pidana yang dilakukan dengan cara yang kejam sekali dan
dipertontonkan kepada umum, sehingga setiap orang akan merasa takut untuk
melakukan kejahatan. Diantara para sarjana yang mengemukakan hal tersebut
adalah Seneca seorang filosf Romawi.
Pencegahan khusus (speciale preventie) didasarkan pada
pikiran bahwa pidana itu dimaksudkan agar orang yang telah melakukan kejahatan
tidak mengulangi lagi kejahatan, untuk mencapai maksud atau tujuan tersebut
terdapat beberapa cara.
a.
Dengan memperbaiki penjahat. Adapun
caranya ialah dengan memperikan pendidikan kepada penjahat selama menjalani
pedananya. Pendidikan yang diberikan itu terutama pendidikan tata-tertib atau
disiplin, selain dari pada itu juga diberikan pendidikan keahlian, seperti:
petukangan, kerajinantangan menjahit,dan lain-lain untuk bekal kelak apabila
mereka kembali ke masyarakat.
b.
Dengan
menyingkirkan si penjahat dari pergaulan masyarakat. Adapun caranya ialah
kepada penjahat yang sudah kebal atau sudah tidak menghiraukan ancaman-ancaman
pidana yang berupa menakut-nakuti itu, agar dijatuhi pidana yang bersifat
menyingkir dari pergaulan rnasyarakat, dengan menjatuhkan pidana seumur hidup
ataupun dengan cam mutlak yaitu dengan pidana mati.
Teori
relatif atau teori tujuan itu makin berkernbang, dan kemudian timbul teori
relatif modern (moderne relatieve theorieeni atau teori tujuan modern (modeme
doeltheorieen). Menurut teori ini dasar pembenaran pidana adalah untuk
menjamin ketertiban hukum (rechtsorde).
Teori ini
berpokok pangkal pada susunan negara, oleh karena sifat hake kat serta tujuan
dari negara itu adalah untuk menjarnin ketertiban hukum di wilayahnya. Adapun
caranya ialah negara membuat peraturan-peraturan yang mengandung larangan-larangan
atau keharusan-keharusan yang berupa norma atau kaidah. Norma dimaksudkan untuk
mengatur hubungan antara orangorang dalampergaulan hidup mereka di masyarakat
agar orang-orang itu dapat hid up aman dan tertib. Agar norma itu ditaati,
makaterhadap pelanggar norma itu diberikan sanksi yang berupa ancaman pidana.
Pidana itu berupa nestapa atau penderitaan derni untuk tercapainya ketertiban
hukum, Penganut teori ini antara lain: Frans Von List, Van Hamel, Simons, dan
lain-lain (Ii hat Satochid:63)
3.
Teori Gabungan
Teori gabungan tverenegingstheorieen/gemengde theorieen)
merupakan gabungan dari teori absolut atau teori pembaJasan dengan teori
relatif atau teori tujuan. Jadi dasar pernbenaran pidana dari teori gabungan
meliputi dasar pembenaran pidana dari teori pembalasan dan teori tujuan, yaitu:
baik terletak pada kejahatannya maupun pada tujuan pidananya. Penganut teori
ini adalah Karl Binding.
Teori
gabungan ini timbul, oleh karena teori pembalasan dan teori tuj uan dianggap
mempunyai kelemahan-kelemahan, untuk itu dikemukakan keberatan-keberatan
terhadap kedua teori tersebut.
Keberatan-keberatan terhadap teori
pernbalasan adalah sebagai berikut.
a.
Penjatuhan pidana semata-rnata untuk
pernbalasan dapat menirnbulkan ketidakadilan.
b.
Apabila dasar pidana memang hanya
untuk pernbalasan, mengapa hanya negara yang berhak menjatuhkan pidana?
c.
Pidana hanya sebagai pembalasan
tidak bennanfaat bagi masyarakat.
Keberatan-keberatan terhadap teori
tujuan.
a.
Pidana hanya ditujukan untuk
mencegah kejahatan, baik yang ditujukan untuk menkut-nakuti umum maupun yang
ditujukan pada orang yang melakukan kejahatan, sehingga akan dijatuhkan pidana
berat. Hal ini dapat menimbulkan ketidakadilan.
b.
Pidana yang berat itu tidak akan
memenuhi rasa keadilan, apabila ternyata kejahatan itu ringan.
c.
Kesadaran hukum masyarakat
membutubkan kepuasan. Oleh karena itu pidana tidak dapat semata-rnata ditujukan
hanya untuk mencegah kejahatan atau membinasaan penjahat. Jadi, baik masyarakat
maupun penjahatnya harus diberikan kepuasan yang sesuai dengan kadilan.
Oleh karena itu menurut teori gabungan, tori pembalasan dan
teori tujuan harus digabungkan menjadi satu, sehingga akan menjadi praktis,
puas, dan seimbang. Sebab pi dana bukan hanya sebagai penderitaan, tetapi harus
seimbangjuga dengan kejahatannya. Teori gabungan ini dapat dibagi kedalam tiga
golongan.
a.
Teori gabungan menitikberatkan pada
pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melebihi dari pada yang
diperlukan dalam memepertahankan ketertiban masyarakat. Penganutnya antara lain
Pompe dan Zevenbergen. Ponpe menitikberatkan pi dana pada pernbalasan, tetapi
pidana itu harus pula dimaksudkan mempertahankan ketertiban masyarakat agar
kepentingan umum dapat diselamatkan, Zevenbergen berpendapat bahwa makna pidana
adalah pembalasan, tetapi tiap pidana i tu bermaksud melindungi ketertiban
hukum, mengembalikan hormat (respect) kepada hukum dan pernerintah. Oleh karena
itu pada hakekatnya pidana itu hanya suatu ultimatum remedium (suatu jalan
terakhir boleh dipakai, jika tiada lagi jalan lain).
b.
Teori gabungan menitikberatkan pada
pertahanan, ketertiban masyarakat, tetapi pidana tidak boleh lebih berat
daripada beratnya penderitaan yang sesuai dengan beratnya perbuatan si
terpidana. Penganutnya antara lain Simons, yang berpendapat bahwa dasar primer
pi dana adalah prevensi umum, dan dasar sekunder pidana adalah prevensi khusus.
Prevensi itu hams memuat unsur-unsur; menakutkan, memperbaiki, dan membiasakan.
Selanjutnya dasar ketiga pidana adalah hams sesuai dengan kesadaran hukum
masyarakat.
c.
Teori gabungan menitikberatkan sama,
baik kepada pembalasan maupun kepada pertahanan ketertiban masyarakat (lihat
Utrecht, 1958: 185-189)
Adapun perbedaan antara ketiga teori diatas ialah: pada
teori pernbalasan pidana itu "melihat kepada masa yang lalu", oleh
karena teori ini beranggapan bahwa kejahatan sebagai perbuatan yang tidak adil
yang menimbulkan penderitaan pada orang yang terkena kejahatan. Oleh karen a
itu penderitaan tersebut harus ditiadakan dengan cara menjatuhkan pidana kepada
penjahatnya. Dalam teori tujuan, pidana itu "melihat kepada masa yang akan
datang", oleh karena dalam teori ini yang diutamakan adalah tujuan
pidananya.Sedangkan teori gabungan berusaha mencakup kedua teori tersebut
diatas yaitu "melihat kepada masa yang lalu" dan "rnelihat kepada
masa yang akan datang"
KEGIATAN BELAJAR 3
Tindak Pidana
Hukurn
Pidana dapat dilihat sebagai ilmu pengetahuan kernasyarakatan. Sebagai ilmu
pengetahuan sosial, maka diselidiki sebab-sebab dari kejahatan dan dicari
cara-cara untuk memberantasnya. Penyelidikan ten tang penyebab dari kejahatan
(Crime) ini dapat dicari pada diri orang (keadaan badan dan jiwanya) atau pada
keadaan masyarakatnya?".
Kriminologi
memberi bantuan yang besar, bahakan merupakan dasar dari hukurn pidana.
"Kriminologi ialah suatu ilmu pengetahuan yang mencari apa dan sebabnya
dari kejahatan dan berusaha untuk memberantasnya".Sebagai ilmu pengetahuan
pembantu hukum pidana, kriminologi menyelidiki sebab seab kejahatan itu dari
sudut masyarakat; dan sebagai alat penyelidikannya ialah Statistik Kriminil.
Kriminologi dapat dibagi kedalam."
1.
Antropologi
- Kriminologi ialah ilmu pengetahuan yang mencari sebab sebab kejahatan dalam
dirinya si penjahat pada keadaan badan penjahat (ajaran Lombroso).
2. Sosiologi - Kriminil ialah ilmu
pengetahuan yang mencarai sebab-sebab dari kejahatan di dalam masyarakat.
3. Politik - Kriminal ialah ilmu
pengetahuan yang mencari cara-cara untuk.
4. Politik - Krirninal ialah ilmu
pengetahuan yang mencari cara-cara untuk memberantas kejahatan.
5. Statistik - krirninil ialah ilmu
pengetahuan yang dengan angka-angka mencatat ten tang kejadian dan macam-macam
kejahatan.
A. ISTILAH TINDAK PIDANA
lstilah tindak pidana merupakan terjernahan dari bahasa
Belanda strafbaar feit. Selain dari pada istilah strafbaar feit dalam bahasa Belanda
dipakai juga istilah lain, yaitu delict yang berasal dari bahasa Latin
delictum, dalam bahasa Indonesia dipakai istilah delik.
Disarnping istilah tindak pidana sebagai terjemaban dari
strafbaar feit itu, dalam bahasa Indonesia terdapat juga istilah lain yang
dapat ditemukan dalam beberapa buku hukum pidana dan beberapa perundang
-undangan hukum pidana, yaitu: peristiwa pidana, perbuatan pidana, perbuatan
yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum, dan pelanggaran pidana.
Istilah yang paling populer dipakai adalah istilah tindak pi
dana, yaitu apabila kita perhatikan: buku-buku hukum pidana, instansi penegak
hukum, dan para penegak hukum, pada umumnya memakai istilah tindak pidana.
Seperti dalam "KUHP" terjemahan resmi Tim Penerjemah Badan Pembinaan
Hukurn Nasional Departernen Kehakirnan, yang rnemakai istilah tindak pidana,
dengan alasan-alasan sebagai berikut.
1.
Penggunaan istilah tindak pidana
dipakai, oleh karena ditinjau dari segi sosio - yuridis hampir semua
perundang-undangan pidana memakai istilah tindak pidana.
2.
Semua instansi penegak hukum hampir
seluruhnya para penegak hukum menggunakan istilah tindak pidana.
3.
Para mahasiswa yang mengikuti
"tradisi tertentu" dengan memakai istilah perbuatan pidana, ternyata
dalam kenyataannya tidak mampu mengatasi dan menjebatani tantangan kebiasaan
penggunaan istilah tindak pidana. (Tim Penerjemah BPHN Dep. Keh., 1983: 10)
B. PENGERTIAN TINDAK PIDANA
Menurut Moeljatno
istilah lain yang dipakai dalam Hukum Pidanan, yaitu "tindak Pidana".
Istilah ini muncul karena tumbuhnya dari pihak Kementrian Kehakiman, sering
dipakai dalam perundang-undangan. Meskipun kita "tindak" lebih pendek
daripada "perbuatan" tapi "tindak" tidak menunjukan kepada
hal yang abstrak seperti perbuatan, tapi hanya menyatakan keadaan konkrit,
sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah
kelakuan, tingkah-laku, gerak-gerik atau sikap jasmani seseorang, hal mana
lebih dikenal dalam tindak-tanduk, tindakan dan bertindak dan belakangan juga
sering dipakai "ditindak". Oleh karena tindak sebagai kata tidak
begitu dikenal, maka dalam perundang-undangan yang menggunakan istilah tindak
baik dalam pasal-pasalnya sendiri, maupun dalam penjelasannya.
KEGIATAN BELAJAR 2
Sumber Hukum Pidana
A. SUMBER HUKUM PIDANA
Dalam
ilmu hukum dikenal beberapa sumber hukum yaitu: l ) Undang undang; 2)
kebiasaan dan adat; 3) perjanjian antara negara; 4) persetujuan; 5)
yurisprudensi; 6) doktrin; 7) proklamasi kernerdekaan; 8) refolusi; 9) coup
de'etat yang berhasil; 10) takluknya suatu negara kepada negara lain.
Sumber-sumber
hukum butir l ), butir 2), dan butir 3) adalah sumber sumber hukum yang
langsung.Sedangkan sumber-sumber hukum butir 4), butir 5), dan butir 6) adalah
sumber-sumber hukum yang tidak langsung, artinya hal-hal itu menjadi sumber
hukum karena atas pengakuan undang undang atau karen a dengan melalui
kebiasaan.
Prof.
Dr. Achmad Sanusi, S.H. menamakan sumber-sumber hukum butir
- sampai dengan butir 6) itu
sebagai sumber-sumber yang normal. Sedangakan sumber hukum butir 7) sampai
dengan butir 10) dinamakannya sebagai sumber hukum yang abnormal (Sanusi,
1977 :34).
2.
B.
SEJARAH HUKUM PIDANA DI INDONESIA
Code Penal (1811)
|
|||||||
Perancis
|
|
|
|||||
|
|
|
|||||
Belanda
|
|
Hukum Pidana Sebelum 1886
|
Hukum Pidana Nasional
1886
|
||||
|
|
|
|||||
Indonesia
|
|
|
|||||
|
Dualisme Hukum Pidana
|
|
|||||
|
|
1867 Eropa Orang
Indonesia
|
|
||||
Unifikasi
|
|||||||
1 Januari 1918
|
|||||||
Gambar 7.1
|
|||||||
Riwayat Hukum Pidana di
Indonesia
|
Penjelasan:
Di
Indonesia sumber hukurn pidana material terdapat dalam KUHP dan dalam peraturan
perundang-undangan hukurn pidana lainnya diluar KUHP, juga Memori Penjelasan
(Memorie van Teolichting, yang disingkat M. v .T).
M.v.T.
ini merupakan penjelasan atas Rancangan KUHP Belandal Nederlandsch W.v.S. 1881,
mulai berlaku tanggal 1 September 1886, yang oleh Mentri Kehakiman (Belanda)
diserahkan berbarengan dengan RKUHP Belanda itu kepada Tweede Kamer (Parle men
Belanda). Dahulu di negeri Belanda sebelum ada KUHP Nasionalnya berlaku Code
Panel Perancis, Oleh karena nama KUHP itu adalah sebutan lain dari W.v.S., nama
W.v.S. ini merupakan pengganti dari nama W.v.S.v.N.I. (Pasal VI UU No. J/1946).
Dan W.v.S.v.N.I. Stbld1915 No. 732, mulai berlaku tanggal 1 Januari 1918) itu
merupakan salinan (copy) dari Nederlandsch W.c.S. l881.Sehingga M.v.T.
dari Nederlandscb W.c.S. 1881 dapat pula digunakan sebagai sumber untuk
memperoleh penjelasan bagi pasal-pasal dalam KUHP kita yang sekarang berlaku.
Selain
itu pula masih digunakan sumber dari hukum adat yang masih hidup sebagai delik
adat dengan pembatasan tertentu menurut Pasal 5 ayat (3) b UU No. ]/1951.Dan
sumber hukum pidana formal atau hukum acara pidana terdapat dalam KUHP-UU RI No.8/1981 dan dalam peraturan
perundangundangann hukum acara pidana lainnya diluar KUHAP.
C. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
1.
Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang
Hukum Pidana adalah peraturan hidup (norma) yang ditetapkan oleh instansi
kenegaraan yang berhak membuatnya, norma mana ditambah dengan ancaman hukurnan
yang merupakan penderitaan (sanksi) terhadap barang siapa yang melanggarnya.
Lazim juga dikatakan bahwa Undang-Undang Hukum Pidana adalah Norma plus sanksi
Norma
plus sanksi ini pada umumnya terdapat satu pasal (misalnya: pasal 338 KUHP:
barang siapa dengan sengaja mengambil nyawa orang lain dihukum, karena makar
mati (pembunuhanj) dan dapat juga terpisah dalam beberapa pasal (daJarn pasal
I, II dan seterusnya disebutkan dahulu norrna normaanya dan bam kemudiian
dalam pasal terakhir diterangkan bahwa; pelanggaran-pelanggaran terhadap pasal
I, II dan seterusnya dihukurn dengan hukuman penjara paling lama sekian tahun).
Ada juga Undang-undang Hukum Pidana yang bentuknya
rnengancarn dengan hukurnan (sanksi) terlebih dahulu. Sedangkan norrna-normanya
belum ada seperti misalnya bunyi pasal 122 KUHP; "dihukum dengan hukuman
penjara setinggi-tingginya 15 tahun, barang siapa dalam masa perang dengan
sengaja rnelanggar suatu peraturan yang diadakan oleh pemerintah untuk rnenjaga
keselarnatan Negara."
2. Sistematika
KUHP
Kitab
Undang-undang Hukum Pidana terdiri atas tiga buku, dan tiap-tiap buku terdiri
dari beberapa titel (bab) dan tiap-tiap titel terdiri dari pasal-pasal serta
tiap pasal terdiri dari ayat-ayat.
a.
Buku I berkepala Aturan Umum terdiri
atas 9 titel (bab).
b.
Buku II berkepala kejahatan terdiri
atas 31 titel, memuat kurang lebih 400 pasal, tentang perbuatan-perbuatan yang
dinamakan kejahatan.
Diantaranya
terdapat titel-titel yang penting seperti berikut ini.
a.
Kejahatan terhadap keselamatan
Negara.
b.
Kejahatan terhadap pelaksanaan kewajiban-kewajiban
dan hak-hak kenegaraan.
c.
Kejahatan terhadap ketertiban umum.
d.
Kejahatan terhadap kesusilaan.
e.
Kejahatan terhadap kemerdekaan orang
(penculikan).
f.
Kejahatan terhadap jiwa orang
(pembunuhan) .
g.
Kejahatan terhadap penganiayaan.
h.
Kejahatan terhadap pencurian.
i.
Kejahatan terhadap pemerasan dan
pencurian.
j.
Kejahatan terhadap penggelapan.
k.
Kejahatan terhadap penipuan.
l.
Kejahatan terhadap penghinaan.
m.
Kejahatan terhadap jabatan:
menerirna suapan, rnembuka rabasia Negara, dl1.
Buku
III berkepala "Pelaoggaran" terdiri atas 10 titel, memuat kurang
lebih 100 pasal. Titel-titelnya sama dengan buku II, hanya perbedaannya ialah
"kejabatan" diganti dengan "pelanggaran", karena
perbuatan-perbuatan yang tersebut dalam buku III itu dipandang sebagai
perbuatan yang tidak sedemikian jahat seperti pada kejahatan-kejahatan dalam
buku II.
Beberapa
titel penting dalam buku III.
a.
Pelanggaran terhadap keselamatan
umum: yang berhubungan dengan keselamatan umum ..
b.
Pelanggaran terhadap ketertiban umum
c.
Pelanggaran terhadap kekuasaan umum.
d.
Pelanggaran terhadap kesusilaan.
e.
Pelanggaran terhadap keamanan
Negara.
Jadi
pada umumnya, jika pada tiap-tiap ada orang yang ditangkap polisi, lalu ia
ditnntut oleh jaksa kemudian diadili oleh hakim, maka orang itu tentu telah
berbuat sesuatu yang dilarang oleh salah satu pasal dari Buku II atau Buku ill
KUHP, dan perbuatan mana diancam dengan sesuatu hukum (pidana).
lsi pokok KUHP
Aturan Umum
Dalam ilmu pengetahuan Hukum Pidana
maka yang terpenting ialah B uku I yang berkepala "Aturan Umum" yang
memuat 9 titel",
a.
Titel I
|
Tentang kekuasaan berlakunya
Undang-undang Pi dana
|
b.
Titel II
|
Hukuman
|
c.
Titel
III
|
Penghapusan, pengurangan dan
penambahan hukuman
|
d.
Titel IV
|
Percobaan
|
e.
Titel V
|
Turut serta dalam melakukan
perbuatan yang dapat dihukum
|
f.
Titel VI
|
Gabungan perbuatan yang dapat dihukum
|
g.
Titel
VII
|
Mernasukan dan mencabut pengaduan dalarn perkara kejahatan, yang hanya
boleh di tuntut atas pengaduan
|
h.
Titel
VIII
|
Hapusnya hak menuntut dan hapusnya
hukuman
|
i.
Titel IX
|
a. Arti beberapa perkataan dalam
Undang-undang ini.
b. Pengaturan
penghabisan (Pasal103).
|
,
3.
Bagian-bagian
Hukum Pidana
Menurut iLmu hukum pidana bahwa
hukum pidana itu dapat dibedakan dalam beberapa bagian. Dibawah ini akan
dikemukakan beberapa bagian hukum pidana yaitu 16:
a. Hukum pidana objektif dan hukurn
pidana subjektif
Hukum pidana objektif (jus poenale)
adalah seluruh peraturan yang memuat larangan-larangan atau
keharusan-keharusan, terhadap pelanggar peraturan itu diancam
dengan pidana.Jadi hukum pi dana objektif itu memuat perumusan tindak pidana
serta ancaman pidananya.
Hukum
pidana subjektif (jus poeniendi) adalah seluruh peraturan yang rnemuat hak
negara untuk rnemidana seseorang yang rnelakukan perbuatan terlarang (tindak
pidana).
Hak
negara untuk mernidana itu terdiri dari berikut ini.
1.
Hak untuk mengancarn perbuatan
dengan pidana. Hak ini terletak pada negara, misalnya ancaman pidana yang
terdapat dalam pasal 362 KUHP, pencurian, diancam dengan pidana penjara paling
lama lima tabun at au denda paling banyak RP. 900,00.
2.
Hak untuk menjatuhkan pidana. Hak
ini terletak pada alat negara yang berwenang, yaitu hakim.
3.
Hak untuk melaksanakan pidana. Hak
ini juga terletak pada alat negara yang berwenang, yaitu jaksa.
Pada
hakekatnya hukum pidana subjektif (hak negara untuk memidana) itu berdasarkan
hukum pidana objektif, oleh karena hak negara untuk memidana itu baru ada,
setelah dalam hukum pidana objektif ditentukan perbuatan-perbuatan yang diancam
pidana.
Jelaslah
bahwa negara tidak dapat menggunakan hak untuk memidana itu dengan
sewenang-wenang, kerena dibatasi oleh pidana objektif (Lihat Satochid:2-3)
b.
Hukum pidana materiil dan hukum pidana formal
Menutut
ilmu hukum pidana bahwa hukum pidana objektif itu dapat dibagi dalam hukum
pidana materiil dan hukum pidana formal.
Hukum
pidana materiil (hukum pidana substantit) adalah seluruh peraturan yang memuat
perumusan berikut ini.
1.
Perbuatan-perbuatan apakah yang
dapat diancam pidana. Misalnya pasal 338 KUHP - pembunuhan, pasal 351 KUHP -
penganiayaan, pasal 362 KUHP - pencurian.
2.
Siapakah yang dapat dipidana, atau
dengan perkataan lain mengatur pertanggungjawaban terhadap hukum pidana.
3.
Pidana apakah yang dapat dijatuhkan
terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana. Atau disebut juga dengan hukum
penitensier (lihat Satochid: 1).
Hukum pidana materiil dimuat dalam
KUHP dan dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana lainnya diluar KUHP,
seperti dalam: Stbl 1934 - 167 jo UU No. 39/1947
- KUHPM (Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Militer); UU No.7 Drtl1955-Undang-Undang Tindak Pidana Ekonorni;
UU No. 3111999 jo UU No. 20/2001; dan
sebagainya.
Hukum pidana formal (hukum pidana
ajektif) atau lazim pula disebut dengan hukum acara pidana, adalah keseluruhan
peraturan yang memuat acara-acara negara menggunakan haknya untuk rnelaksanakan
pidana (lihat Satochid:l). Hukum pidana formal dapat disebut juga in
concreto karena mengandung peraturan bagaimana hukum material (in
abstracto).
Hukum pidana formal (hukum pidana
ajektif) dimuat dalam UU No. 8/1981
- KUHAP dan dalam peraturan
perundang-undangan hukum acara pidana lainnya diluar KUHAP, seperti dalam UU
NO. 212002 - UndangUndang Pokok Kepolisian; UU No. 3512009 - Tentang
Kejaksaan Republik Indonesia; UU No. 48/2009 - Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman. Juga secara Khusus dimuat dalarn UU No.
7Drtf1955; Undang-Undang No. 311971; UU No. 9/1976, dan lain-lain.Dengan
demikian dalam ketentuan-ketentuan hukum pidana khusus ini, selain dimuat hukum
pidana material juga sekaJigus dimuat hukum pidana formal.
c.
Hukum pidana umum dan hukum pidana khusus
Hukurn pidana umum (algemeen strafrecht / jus commune)
adalah hukum pidana yang berlaku umum atau yang berlaku bagi semua orang.Hukum
pidana umum dimuat dalam KUHP.
Hukum pidana khusus ( bijzonder strafrecht / jus speciale)
adalah hukum pidana yang berlaku khusus bagi golongan orang-orang tertentu
(anggota ABRI dan yang disamakan dengan anggota ABRO atau yang memuat perkara
perkara pidana tertentu (seperti: tindak pidana ekonorni, tindak pidana
subversi, tindak pi dana korupsi, tindak pidana narkotika, dan lain-lain).
Hukum pi dana khusus, dimuat dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana di
luar KUHP.
Hubungan hukum pidana umum dengna hukum pidana khusus adalh
ketentuan hukum pidana umum itu tetap berlaku disamping ketentuan hukum pi dana
khusus sebagai hukum pelengkap.
Ketentuan hukum pidana khusus dapat menyimpang dari
ketetntuan hukum pidana urnum.Dalam hal penyimpangan ini, maka yang dipakai
adalah ketentuan hukum pidana khusus. Hal ini merupan penjelmaan dari suatu
adagium klasik yang dirumuskan dalam bahasa Latin, yang berbunyi: lex specialis
derogat legi generalis ("ketentuan hukum khusus mengesampingkan ketentuan
hukum umum").
Dasar hukum penyimpangan tersebut diatas adalah pasall03
KUHP, yang berbunyi: "Ketentuan-ketentuan Bab I sampai dengan Bab VII buku
ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan undang-undang
lainnya diancam dengan pidana, kecualijika oleh ketentuan undang-undang
ditentukan lain" (Tim Penerjemah BPI-IN, 1983 :50). Artinya bahwa tindak
pidana-tindak pidana yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan hukum
pidana diluar KUHP "tunduk" pada peraturan umum dalam Buku I KUHP,
kecuali kalau diatur secara khusus. Dibawah ini dikemukakan beberapa contoh.
1.
KUHP
berlaku umum, oleh karena itu berlaku juga bagi anggota militer disamping
KUHPM. KUHPM itu dimaksudkna untuk menambah KUHP, oleh sebab
ketentuan-ketentuan yang terdapat da1am KUHP dianggap kurang cukup keras bagi
anggota militer terhadap beberapa perbuatan tertentu. Selain
daripada itu ada perbuatan-perbuatan yang dapat dilakukan oleh anggota militer
saja, misalnya: insubordinasi, desersi, dan lain sebaginya yang tidak diatur
dalam KUHP. (Anang Ojajaprawira, 1969:49)
2.
Sanksi pidana dalam KUHP dianut sistem
"alternatif", artinya jika ada beberapa jenis pidana pokok yang
diancamkan dalam suatu ketentuan hukum pidana, rnaka hakim harus memilib salah
satu diantaranya. Untuk mengetahui bahwa sanksi pidana itu bersistem alternatif
adalah dari perkataan "atau" di antara beberapa jenis pidana pokok
yang diancamkan dalam suatu ketentuan hukum pidana, rnisalnya: pasal 340 KUHP -
pernbunuhan dengan rencana (moord) ancaman pidananya adalah pidana mati
"atau" pidana penjara seumur hidup "atau" pidana penjara
selama waktu tertentu paling lama duapuluh tahun. Lain halnya dengan hukurn
pidana khusus pada umumnya snksi pidana yang dianut adalah sistem
"kumulatif" (seperti dalam: UU No. 9/1976 - tindak pidana
narkotika) dan sistem "komunikatif alaternatif" (seperti dalam UU No.7Drt/1955 - Tindak pidana ekonomi, UU
No. 11IPnpsl1963 - Tindak pidana subversi, UU No. 3/1971 - Tindak pidana
korupsi). Sistem kumulatif artinya jika ada beberapa jenis pidana pokok yang
diancarnkan dalam suatu ketentuan hukum pidana, maka hakim harus menjatuhkan
keseluruhannya. U ntk mengetahui bahwa sanksi pidana itu bersistem kumulatif
adalab dad perkataan "dan" diantara beberap jenis pidana pokok yang
diancamkan dalam suatu ketentuan pokok hukum pidana, misalnya: pasal 36 ayat
(1) pasal l l I ayat (1) UU No.35/2009 ancarnan
pidana paling lama dua puluh tahun penjara dan denda paling banyak Rp.
8.000.000.000,00. Sistem kumulatif alternatif artinya jika ada beberapa jenis
pidana pokok yang diancam.kan dalam suatu ketentuan pokok hukum pidana, maka
hakim dapat pula menjatuhkan keseluruhannya atau dapat pula memilih salah satu
diantaranya. Untuk mengetahui bahwa sanksi pidana itu bersistem kumulatif
alaternatif adalah dari perkataan "dan atau" diantara beberapa jenis
pidana pokok yang diancamkan dalam suatu ketentuan pokok hukum pidana misalnya:
pasa128 UU No. 3111999 jo UU No 20/2001 ancaman pidan penjara seumur hidup atau
penjara paling sedikit satu tahun atau denda paling sedikit Rp. 20.000.000,00
dan paling tinggi satu milyar rupiah. Selain daripada ketiga sistem sanksi
pidana itu dikenal pula sistem sanksi pidana yang disebut dengan "Sistem
dua jalur/ doubel track system (Inggris)/ Zweispurig (Jerman),
yang artinya hakim dalam putusannya dapat rnenjatuhkan pidana bersama-sama
dengan tindakan. KUHP tidak rnenganut sistern dua jalur ini. Akan tetapi UU No.
7Drtf1955 (pasa19 jo8) menganut sis tern ini yang rnenentukan antara lain bahwa
"tindakan tata tertib dijatuhkan bersarna-sama dengan hukum pidana".
RKUHP 199111992 (ayat (2) pasal 91) pun rnenganut sistern dua jalur ini yang
menentukan antara lain hakirn dalam putusannya dapat menjatuhkan tindakan
bersama-bersama dengan pidana pokok.
3.
Menurut KUHP percobaan melakukan
pe1anggaran tidak dapat dipidana (pasal 54 KUHP) , demikian juga pembantuan
melakukan pelanggaran tidak dapat dipidana (pasal 60 KUHP). Akan tetapi
pembantuan dan percobaan melakukan pelanggaran ekonomi dapat dipidana (pasal 4
UU No.7 Drtf1955).
d. Hukum pidana umum dan hukum pidana lokal
Kadangkala orang rnembuat
perbedaan antara hukum pidana umum dan pidana lokal.
Hukum
pidana umum, disebutjuga
dengan hukum pidana nasional adalah hukum pidana yang dibuat oleh pemerintah
pusat dan yang berlaku pada seluruh wilayah negara.Sedangkan hukum pidana
lokal (locaal strafrechii, disebut juga dengan hukum pidana komunal atau
hukum pi dana daerah atau hukum pidana seternpat (communal strafrecht/plaatselijk
strafrecht) adalah bukum pidana yang dibuat oleh daerah tingkat I atau
tingkat II dan yang berlaku pada daerah tersebut.
Hukum pidana lokal bukanlah hukum
pidana khusus, meskipun dihadapkan dihadapkan dengan masalah- masalah yang
khusus bagi daerah.Hal ini disebabkan hukum pidana lokal itu tidak mengandung
asas-asas pidana yang menyimpang dari asas-asas pidana umum. Tidak adanya
penyimpangan tersebut, oleh karen a pembuat hukum pi dana lokal terikat oleh
ketentuan pasal 103KUHP yang tidak menyebutkan peraturan daerah sebagai suatu
peraturan yang dapat mengandung perkecualian terbadap "aturan kedelapan
bab dalam buku 1 KUHP terse but, maka pada umumnya hukum pidana lokal memuat
sanksi-sanksi atas pelanggaran peraturan daerah yang hanya bersifat pelanggaran
dan tidak bersifat kejahatan (Utrecht, 1958:77-78).
Kalau
hukum pidana umum dimuat dalam KUHP, maka hukum pidana lokal dimuat dalarn peraturan-peraturan
daerah (disingkat "Perda") tingkat I ataupun tingkat II.
e. Hukum
pidana yang dikodifikasikan dan hukum pidana yang tidak dikodifikasikan
Hukum
pidana yang dikodifikasikan (gecodificeerd) adalah hukum pidana yang
telah dikurnpulkan dan dibukukan (dikitabkan), seperti: KUHP dan KUHPM.
Sedangkan hukum pidana yang tidak dikodifikasikan (niet gecodificeerdi adalah hukum pi dana yang
tidak dikumpulkan, melainkan tersebar dalam undang-undang atau
peraturan-peraturan yang bersifat khusus.
f.
Hukum pidana bagian umum dan
hukum pidana bagian khusus
Hukum
pidana bagian umum (algemene deel) adalah hukurn
pidana yang memuat asas-asas umum (algemene leerstukken) dan dirnuat
dalam Buku 1 KUHP.Sedangkan hukum pidana bagian khusus (bijzonder dee]) adalah
hukum pi dana yang memuat masalah kejahatan-kejahatan dan pelanggaranpelanggaran
baik yang dikodifikasikan maupun yang tidak dikodifikasikan (lihat Lamintang,
1984: 11).
g.
Hukum pidana tertulis dan hukum
pidana tidak tertulis
Hukum
pidana tertulis adalah hukum pidana yang terdapat dalam KUHP dan KUHAP yang
merupakan kodifikasi hukum pidana materiallhukum pidana substantif dan hukum
pidana formallhukum pidana adjektif Ihukum acara pidana.Termasuk pula hukum
pidana yang bersifat khusus dan hukum pidana yang dimuat, baik dalam pemerintah
pusat maupun peraturan pemerintah daerah seperti propinsi, kabupaten, dan
kotamadya.
Hukum pidana tidak tertulis adalah
hukum pidana adat, yang berdasarkan pasal5 ayat (3) b UU NO.Drt L951 (L.N. 1951
No.9) masih berlaku di bekas daerah swapraja dan bekas pengadilan adat.
h.
Hukum pidana nasional dan hukum pidana internasional
Hukum Pidana Nasional adalah hukum pidana yang memuat
ketentuan ketentuan yang berasal dari negara itu sendiri.
Hukum pidana internasional adalah juga hukum pidana
nasional, tetapi meuat ketentuan-ketentuan yang berasal dari dunia
internasional. Misalnya:
- ketentuan-ketentuan yang
mengandung asas universalitas (universaliteitbeginsel) atau hukum pi dana
dunia (wereldstrafrechty, yaitu
ketentuan-ketentuan pasa14 butir 2 dan burir 4 KUHP;
- perjanjian antarnegara (tractaatt yaitu perJanJlan
ekstradisi atau penyerahan (uitlevering stractaat) yang dapat mempengaruhi
pelaksanaan hukum pidana material dan hukum pidanan formal.
4. Hukuman
dalam KUHP
Hukuman itu bermacam-macam jenisnya.
Menurut KUHP pasal 10 hukurnan atau Pidana terdiri atas 17:
a.
Pidana Pokok (utama)
1.
Pidana mati.
2.
Pidana penjara.
a.
Pidana seumur hidup.
b.
Pidana penjara selama waktu tertentu
(maksimal hukuman 20 tahun dan sekurang-kurangnya 1 tahun).
3.
Pidana kurungan. (sekurang-kurangnya
satu hari dan setinggi tingginya 1 tahun).
4.
Pidana denda.
5.
Pidana tutupan.
b.
Pidana tambahan
1.
Pencabutan hak-hak tertentu.
2.
Perampasan (penyitaan) barang-barang
tertentu.
3.
Pengumuman keputusan hakim
Penjelasan tentang macam-macam hukuman pidana yang terdapat
di dalam KUHP 18:
a.
Hukuman mati
Hukuman
mati ini sudah ada abad-abad yang lalu, banyak Negara yang mengunakan hukuman
mati karen a memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat, namun selama abad
yang baru terdapat suatu kecenderungan yang mengarahkan untuk mecoba
menghilangkan hukuman mati, sekitar tiga puluh Negara telah menhilangkan hukuman
mati dan di Negara-negara lainnya hukuman mati hanya
boleh dijatuhkan terbatas untuk pelanggaran yang bersifat pembunuhan.
b.
Hukuman siksa badan
Banyak
golongan masyarakat yang mengadakan tindakan penghukuman dengan siksaan
badaniah dalam batas-batas tertentu. Namun hukurnan ini menurun karena adanya
hukuman mati. Penderaan adalah satu-satunya cara penghukuman badaniah yang
pernah dengan resmi diterima di Barat dan menimbulkan pendapat yang
berbeda-beda mengenai hal itu.
Di
Inggris rnerupakan hukuman resrni untuk kejahatan tertentu dan juvenile
delequencies (kenakalan rernaja). Biasanya hukuman itu jarang digunakan bagi
orang dewasa kecuali untuk perampokan. Di Amerika Serikat penderaan hanya ada
di satu Negara bagian sampai 1952 itu dapat digunakan kepada pemukul istri di
Maryland tetapi hal itu jarang sekali dijatuhkan. Di Deleware untuk beberapa
macam kejahatan dapat dijatuhkan hukuman deraan.
Tutntutan-tuntutan
terhadap adanya hukuman dera ini berlangsung dibeberapa Negara bagian menjelang
Perang Dunia I, tetapi tuntutan-tuntutan uri gagal.
Satu dari tuntutan yang ekstrim dikemukakan di Minessota dalam tahun 1925. Satu
dari tuntutan untuk mengatakan penderaan sebagai hukuman yang diperintahkan
sebagai kombinasi dengan penjara at au dendaan, untuk 12 pelanggar yang
menyebabkan pembunuhan karena mengendarai mobil dalam keadaan mabuk. Bagaimana
juga tuntutan yang dikemukakan di Delaware untuk menghilangkan hukuman ini
telah gagal dengan pertimbangan suara yang besar. Satu kenyataan pada tahun 1920
jurnlah pelanggaran yang dapat dijatuhi hukuman penderaan sangat berkurang.
c.
Hukuman penerunan derajat sosialnya
Memberi malu atau penghinaan telah digunakan untuk membuat
pelanggar mendapat penurunan drajat sosialnya, dapat untuk sementara dan bisa
pula untuk selamanya. Tindakan menurunkan status pelanggar sementara atau
selamanya sering tidak menghindarkan dari kejahatan lainnya. Di Inggris pada
tahu 1698 yang menggambarkan pembakaran di pipi kin, dihapuskan sesudah 8
tahun, dengan keterangan dari hukuman ini, tak mendapatkan efek yang diinginkan
untuk mengikuti pelanggar agar jera dari melakukan kejahatan dan pelanggaran
selanjutnya malahan sebaliknya beberapa pelanggar dan pekerjaan untuk
mendapatkan pengbidupan secara jujur dan syah dan berputus asa karena-Nya.
Cara lain untuk merendahkan status pelanggar ialah dengan
meramas hak haknya untuk menjadikan dia hina dan rendah karena melakukan suatu
kejahatan. Di Republik Roma kehilangan nama baik dan kehormatan di masyarakat
sebagai penghukuman atas kejahatan, berarti kehilahan hak untuk mernilih, untuk
masuk kerja di kantor pemerintah, untuk mewakili orang lain dalam sidang-sidang
menjadi saksi, untuk mengatur usaha/perkara orang lain dan pengurangan hak-hak
pernikahan.
Pendapat pada masa kini yang keberatan terhadap penhukuman
yang bersifat penghinaan ialah bahwa hukuman itu hanya mempunyai arti
penghukuman dan tidak terjadi bila disangkutkan dengan cara penghukurnan yang
lain. Di beberapa koloni Amerika Serikat hukuman badaniah menjadikan pelanggar
mendapat kehinaan, kemudian penjara dengan kerja berat termasuk sebagai
hukuman, kerja berat ini dianggap sebagai penghinaan oleh kerja berar dianggap
sebagai hukuman badaniah.
Jadi dipenjarakan di penjara Negara dimana diharuskan kerja
beras, dianggap sebagai hukuman penghinaan, meskipun Jembaga dimana kerja berat
dilakukan adalah ditujukan bagi mereka uang sanggup bekerja berat.
d.
Hukuman pembuangan
Hampir
semua masyarakat pernah melaksanakan pernbuangan terhadap beberapa penjahat
tetapi pengasingkan dalam jumlah besar clari pelanggar merupakan pendapat yang
agak baru. Pembuangan digunakan dikalangan masyarakat lama dan Jerman, Roma
dulu dimana pelarangan untuk memasuki suatu daerah khusus umumnya kala Roma,
atau pelanggaran untuk meninggalkan suatu daerah yang di khususkan, seumpama
pulau climana pelanggar itu ditempatkan, seumur hidup atau untuk beberapa lama.
Sesudah suatu masa yang panjang dimana cara ini sudah jarang digunakan lagi
dalarn tindakan penghukuman terhadap kejahatan cara ini dihidupkan kembali.
Pengasingan
yang begitu dekat persamaannnya dengan pembuangan, masih digunakan sebagai
hukuman terhadap jenis kejahatan tertentu. Dalam salah satu dari tuntutan
kejahatan didaratan Amerika hukuman dijatuhkan tahun 1637 tertuduh dinyatakan
sebagai diasingkan dari daerah peradilan, kita sebagai wanita yang tidak patut
untuk masyarakat kita.
Kementerian
perubahan yang mula-mula bertanggungjawab terhadap soal ini menyatakan bahwa
polisi ini tidak dapat dilaksanakan terus menerus, karena penyediaan untuk
pembiayaan, pengiriman mereka yang mendapat hukuman untuk dibuang tidak
mencukupi. Karena banyak Gubernur Negara dapat dilaksanakan pembuangannya,
karenanya banyak Negara bagian menolak warga negaranya yang dibuang dari
Amerika Serikat, karen a kejahatan dan juga karena kesulitan untuk mencegah
penjahat yang dibuang itu untuk kembali ke Amerika Serikat. Dalarn hal lainnya
prosedur yang digunakan dalam pengiriman orang asing penjahat at au bukan
penjahat sering mendapat kritik.
e. Hukuman penjara
1. Dalarn
masyarakat kuno dan jaman pertengahan
Dalam
kehidupan masyarakat kuno yang masih sederbana, penjara jarang digunakan
sebagai alat penghukuman. Menurut Van Bar menyatakan bahwa "hukuman
penjara hampir-hampir tidak dikenal di Perancis, di abad-abad pertengahan.
Kode-kode/peraturan di Perancis sebelum revolusi dibuat tahun 1670 dan tidak
terdapat satupun ancaman hukuman kejahatan. Human kurungan terkadang digunakan
di Perancis dan Negara-negara lainnya".
Di bagian
abad ke-16 di Frank Furt dinyatakan hukuman bagi penjahat tertentu: orang
hukuman akan dipenjarakan dan dilupakan untuk suatu waktu. Di Inggris hukuman
penjara digunakan dengan kekerasan seperti dalam undang-undang Ethelstan yang
dipertaruhkan untuk orang-orang yang dijatuhi hukuman, karena pembunuhan atau
pencurian masing-masing untuk 20 sampai 40 hari, sebelum ditebus kembali oleh
anggota keluarganya. Sampai kira-kira abad ke-13 di Inggris dan mungkin
beberapa waktu kernudian di beberapa Negara Eropa lainnya, hukuman penjara digunakan untuk lingkungan
yang sangat terbatas. Jadi cara modern sekarang dalam penghukuman terhadap
pelanggar-pelanggar adalah dapat dibandingkan dengan cara penghukuman
masyarakat lama, karena cara itu berdasarkan acara yang telah lama berlaku.
2.
Hukuman oleh gereja
Gereja merupakan sebagai alat kekuasaan di Jerman dimana
dahulu menggunakan hukuman penjara sebagian disebabkan karena mereka tidak
diperkenankan oleh undang-undang untuk menggunakan hukuman mati, dan sebagian
disebabkan mereka mempunyai penglihatan bermanfaat kepada pengasingan dari
pergaulan. Seperti terjadi tahun1283. Seseorang bernama pendeta John telah
menggigit-gigit ibu jarinya seperti anjing, dan Bishop menyuruh agar: brother
John ditaruh dipenjara di bawah rantai besi yang diisi dengan
roti, bir dan sup dan hanya mendapat sedikit daging dan ikan (untuk 6 hari)
sampai ia bertobat.
Kepenjaraan yang
diselenggarakan oleh gereja ini, merupakan cara-cara dimana kesunyian yang
mencekam sebagai pengunduran diri dari masyarakat yang kebetulan ke penjara (cell),
yang dikenal dengan nama lain murus [argus. Dalam kenyataannya
banyak terdapat penggabungan diantara tahanan dibeberapa lembaga, beberapa dian
tara mereka mencuri, mengambil alih makanan atau uang yang dikirimkan kepada
salah seorang hukuman atau mengambil kiriman bagi tahanan yang telah mati.
3. Penjaraan
dengan cara pelayaran (sejenis perahu)
Sekitar
tahun 1500 samapai permulaan abad ke 18 perahu digunakan sebagai tempat
penghukuman penjahat. Pemakaian perahu ini adalah mengbidupkan lagi cara lama
dari pekerjaan kasar, meski di jaman yang lalu budak tidaklah selalu penjahat.
Hal itu berlangsung sampai kapallayar yang besar diketemukan. Dengan demikian
perahun-perahunyang berdagan tidak pantas lagi menggunakannya. Di Perancis pada
abad ke-17 pengadilan diperintahkan untuk memperbanyak cara untuk
mendapatkan/sedapat mungkin tenaga yang dibutuhkan untuk mendayung perahu.
Mereka yang tidak sanggup bekerja di perahu pendayung seperti wanita, orang
tua, orang lemah sering ditahan diperladangan selama masa ini. Ketika pendayung
perahu banyak digantikan oleh budak-budak yang baru, mereka diberikan pekerjaan
atau dikirirnkan dikapal tua di pinggir pantai atau di gudang-gudang senjata.
4.
Penjaraan
di tempat perbaikan
Tempat
perbaikan mulai terdapat di Inggris sekitar abad ke-16, ketika permohonan
Bishkop Ridley dari London untuk rnenolong penganggur penganggur yang
bertenaga kuat-kuat yang banyak terdapat di kota, raja memberikan temp at untuk
ditu di Bridewell rnenjadi satu daripada "rumah sakit kota" untuk
pemalas-pemalas dan temp at untuk pekerja yang tidak dapat pekerjaan dan untuk
rnelatih anak-anak. Dengan undang-undang tahun1576 parlemen tempat penampungan
perbaikan ini akan didirikan di beberapa bagian kota dan pada tahun 1609
lembaga itu tidak berhasil didirikan untuk menampung para tahanan.
Dengan
undang-undang tahu 1711 masa tahanan ditempat ini maksimum selarna 3 tahun dan
oleh bagian legislatif kemudian jumlah pelanggaran dimana orang boleh dikenakan
karenannya rnenjadi diperluas.
5.
Gerakan pembaharuan penjara yang mula-mula
Gerakan pembaharuan penjara yang mula-mula yang rnencapai
puncaknya pada bagian terakbir dari abad ke-18 dan bagian pertama abad ke- 19
adalah salah satu gerakan untuk suatau metode penghukuman yaitu penjara sebagai
hukuman, meskipun penjara sebagai hukuman seudah dijalankan pada waktu itu
dengan mernasukkan pelanggar ke rumah-rurnah perbaikan, rumah kurungan, kapal
tua. Di abad ke-17 dan 18 penggunaan penjara pada waktu itu hanyalab untuk
rnenunggu peradilan, Gerakan mengadakan pernbabaruan mula-mula mengadukan dan
menu ntu t penyelesaian penunjukan penjara sebagai tempat penahanan,
sebagaimana terlihat dengan baik di Inggris dan Amerika.
Kesimpulan umumnya ialah:
Menurut Soedjono. D, Bila ada keinginan dan hasrat tujuan
para hakim untuk mendapatkan hasil kehancuran kehidupan masa sekarang dan masa
depan pelanggar-pelanggar delenquency tidak ad acara yang lebih efektif,
kecuali memasukan mereka beberapa waktu di penjara di suatu temp at dimana
kemalasan, kekerasan, dan setiap bentuk kejahatan bersemayam.
6. Hukuman
denda
Tindakan
terhadap kejahatan dengan penyitaan terhadap milik atau pembayaran denda telah
terdapat disebagian besar masyarakat. Tetapi sangat banyak ragamnya dalam
menitik beratkan persoalan dalam sistem ini. Perkembangannya adalah mengikuti
perkembangan tindakan masyarakat yang berupa penghukuman. Ketika seorang
diragukan oleh yang lainnya maka ia boleh menuntut penggantian rugi
kerusakannya. Jumlahnya tergantung dari besamya kerugian yang diderita dan
posisi sosialnya dari yang dirugikan itu. Penguasapun selanjutnya menuntut pula
sebagian dari pernbayaran ini atau pembayaran tambahan untuk ikut campur tangan
pemerintah dalarn pengadilan atau at as tindakan pernerintah terhadap yang
membuat gangguan.
Pembayaran
ini menjadi salah satu sumber penghasilan yang utama dan penjara digunakan
sebagian besar untuk mengadakan penahanan terhadap yang dikenai kewajiban
pernbayaran denda. Denda dalarn hal ini dalam perkembangannya menuju ke arab
terdapatnya hubungan privat sebagai ganti kerugian atau civic action dan
dalam asalnya sebagian dari hukum perdata daripada hukum pidana.
Jadi
untuk hukuman denda sebenarnya tidak perIu diikuti dengan penahanan penjara,
selain tidak berrnanfaat bagi Negara, juga tidak mendatangkan keuntungan bagi
pelanggar dan penyelesaian hukuman dapat dilaksanakan tanpa diikuti hukuman
penjara. Penahanan penjara untuk hukuman denda yang tidak terbayar, tidak lain
hanya mengumpulkan hutang terhadap Negara. Sejak semula usaha telah banyak
dijalankan untuk menghindarkan jumlah biaya Negara yang berupa utang
sipelanggar tersebut.
7. Pemberian
ganti rugi dan perbaikan
Penjatuhan
hukuman Denda memperlihatkan hal-hal yang kurang beres apabila Negara mengambil
segala pembayaran yang dilakukan pelanggar. Dapat diketahui selanjutnya bahw
pada prakteknya bagaimanapun fihak yang dirugikan jarang berhasil mendapat
ganti rugi dari kerugiannya di bawah sistem ini, karena ketidak mampuan
membayar dari penjahat-penjahat biasa ataupun karena mudahnya sipelanggar itu
menyembunyikan atau memindabkan miliknya. Akibatnya si korban sering tidak
berusaha apa-apa untuk menakut-nakuti penjahat itu agar membayar ganti rugi
dilaksanakan.
Dibawah
sistem ini segera berkewajiban untuk melindungi masyarakat terhadap kejahatan
apabila terjadi kerugian mengambil seluruh pembayaran untuk menoling yang
dirugikan, dan mendapatkan efek perbaikan kepada banyak pelanggar dibandingkan
dengan cara lainnya, karena akibatnya dari pelanggarnya mudah didapatkan dan
tidak ada suatu cae at bagianya yang menjadikan ia terkait atau mendapat
kesukaran untuk memperbaiki diri, serta membantu Negara dengan membebankan
biaya lembaga-Iembaga tersebut kepada penjahat-penjahat yang melakukan
pelanggaran ringan tersebut.
Dengan
adanya sistem ini memungkinkan penggantian ganti rugi dan perbaikan digunakan
lebih banyak dan lebih senang daripada penuntutan oleh instansi resmi. Satu
cara yang banyak dilakukan oleh pencuri professional apabila mereka ditangkap
ialah dengan mengajurkan kepada korbanya untuk mendapatkan kembali miliknya
kalau di sikorban itu tidak melakukan penuntutan.
D.
PERUBAHAN DAN PENAMBAHAN PASAL DALAM KUHP
Ketentuan-ketentuan
tentang pembajakan pesawat udara yang merupakan ketentuan-ketentuan hukum
pidana internasional, yang semula tidak langsung berlaku di Indonesia.Akan tetapi
dengan melalui UU No. 411976 barulah
berlaku di Indonesia, seperti ketentuan-ketentuan pasal479 i, 479 j, 479 k, dan
4791 KUHP.
Seluruh
isi UU No.4 Tabun 1976 ini memuat perubahan dan penambahan terhadap beberapa
pasal dalam KUHP, yang diantaranya adalah:
1.
Pasal
I rnengubah dan menanbah Pasal 3 dan Pasal 4 angka 4 yang tercantum dalam Bab KUHP.
2.
Menarnbah
3 (tiga) pasal baru Bab IX KUHP setelah Pasa195.
3.
Menarnbah
sebuah Bab baru setelah Bab XXIX KUHP dengan Bab XXIX A tentang Kejahatan
Penerbangan Dan Kejahatan Terhadap Sarana Prasarana Penerbangan yang terdiri
dad Pasal 479 huruf a sampai dengan Pasal 479 huruf r. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menambah Bab baru dalamKUHP
KEGIATAN BELAJAR 3
Tindak Pidana
Hukurn
Pidana dapat dilihat sebagai ilmu pengetahuan kernasyarakatan. Sebagai ilmu
pengetahuan sosial, maka diselidiki sebab-sebab dari kejahatan dan dicari
cara-cara untuk memberantasnya. Penyelidikan ten tang penyebab dari kejahatan (Crime)
ini dapat dicari pada diri orang (keadaan badan dan jiwanya) atau pada keadaan masyarakatnya.
Kriminologi
memberi bantuan yang besar, bahakan merupakan dasar dari hukurn pidana.
"Kriminologi ialah suatu ilmu pengetahuan yang mencari apa dan sebabnya
dari kejahatan dan berusaha untuk memberantasnya".Sebagai ilmu pengetahuan
pembantu hukum pidana, kriminologi menyelidiki sebab seab kejahatan itu dari
sudut masyarakat; dan sebagai alat penyelidikannya ialah Statistik Kriminil.
Kriminologi dapat dibagi kedalam."
1.
Antropologi
- Kriminologi ialah ilmu pengetahuan yang mencari sebab sebab kejahatan dalam
dirinya si penjahat pada keadaan badan penjahat (ajaran Lombroso).
2.
Sosiologi
- Kriminil ialah ilmu pengetahuan yang mencarai sebab-sebab dari kejahatan di
dalam masyarakat.
3.
Politik
- Krirninal ialah ilmu pengetahuan yang mencari cara-cara untuk memberantas
kejahatan.
4.
Statistik
- krirninil ialah ilmu pengetahuan yang dengan angka-angka mencatat ten tang
kejadian dan macam-macam kejahatan.
A. ISTILAH TINDAK PIDANA
Istilah tindak pidana merupakan terjernahan dari bahasa Belanda
strafbaar feit. Selain dari pada istilah strafbaar feit dalam bahasa Belanda
dipakai juga istilah lain, yaitu delict
yang berasal dari bahasa Latin delictum,
dalam bahasa Indonesia dipakai istilah delik.
Disarnping istilah tindak pidana sebagai terjemaban dari
strafbaar feit itu, dalam bahasa Indonesia terdapat juga istilah lain yang
dapat ditemukan dalam beberapa buku hukum pidana dan beberapa perundang
-undangan hukum pidana, yaitu: peristiwa pidana, perbuatan pidana, perbuatan
yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum, dan pelanggaran pidana.
Istilah
yang paling populer dipakai adalah istilah tindak pi dana, yaitu apabila kita
perhatikan: buku-buku hukum pidana, instansi penegak hukum, dan para penegak
hukum, pada umumnya memakai istilah tindak pidana. Seperti dalam
"KUHP" terjemahan resmi Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukurn
Nasional Departernen Kehakirnan, yang rnemakai istilah tindak pidana, dengan
alasan-alasan sebagai berikut.
1.
Penggunaan istilah tindak pidana
dipakai, oleh karena ditinjau dari segi sosio - yuridis hampir semua
perundang-undangan pidana memakai istilah tindak pidana.
2.
Semua instansi penegak hukum hampir
seluruhnya para penegak hukum menggunakan istilah tindak pidana.
3.
Para mahasiswa yang mengikuti
"tradisi tertentu" dengan memakai istilah perbuatan pidana, ternyata
dalam kenyataannya tidak mampu mengatasi dan menjebatani tantangan kebiasaan
penggunaan istilah tindak pidana. (Tim Penerjemah BPHN Dep. Keh., 1983: 10)
B. PENGERTIAN TINDAK PIDANA
Menurut
Moeljatno istilah lain yang dipakai dalam Hukum Pidanan, yaitu "tindak
Pidana". Istilah ini muncul karena tumbuhnya dari pihak Kementrian
Kehakiman, sering dipakai dalam perundang-undangan. Meskipun kita
"tindak" lebih pendek daripada "perbuatan" tapi
"tindak" tidak menunjukan kepada hal yang abstrak seperti perbuatan,
tapi hanya menyatakan keadaan konkrit, sebagaimana halnya dengan peristiwa
dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah-laku, gerak-gerik atau
sikap jasmani seseorang, hal mana lebih dikenal dalam tindak-tanduk, tindakan
dan bertindak dan belakangan juga sering dipakai "ditindak". Oleh
karena tindak sebagai kata tidak begitu dikenal, maka dalam perundang-undangan
yang menggunakan istilah tindak baik dalam pasal-pasalnya sendiri, maupun dalam
penjelasannya hampir
selalu dipakai pula kata perebutan. Contoh: U ndang-undang No.7 tahun 1953
tentang pemilihan Umum (pasal 127,129 dan Iain-Iain".
Mengenai peristilahan ini, sesungguhnya tidak akan
dipentingkan, kalau yang menjadi soal hanya tentang nama belaka. Tapi bukan
demikian halnya. Mereka yang memakai istilah: peristiwa Pidana, tindak Pidana
dan sebagainya, karena tidak ada keterangan apa-apa, menyamakan maknanya dengan
istilah Belanda "strafbaar feit", Kata-kata tersbut adalah Salinan
belaka dari "strafbaar feit", sedangkan perbuatan pidana bukan
demikian halnya".
Menutut Moeljatno, pengertian strafbaar feit mengandung
maksa sebagai beriku t. 25
1.
Feit dalam strafbaar feit berarti
handeling, kelakuan atau tingkah laku.
2.
Pengertian strafbaar feit
dihubungkan dengan kesalahan orang yang mengadakan kelakuan tadi.
Selanjutnya Moeljatno menyatakan bahwa":
No. a) tersebut berbeda dengan pengertian
"perbuatan" dalam perbuatan pidana. Perbuatan adalah
kelakuan+kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan atau dengan pendek = kelakuan+akibat
dan bukan kelakuan saja.
No. b) berbeda
juga dengan "perbuatan pidana", sebab perbuatan pidana tidak
dihubungkan dengan kesalahan yang merupakan pertanggungj a waban pidana bagi
ornag yang melakukan perbuatan pidana.Perbuatan pidana yang merujuk pada
perbuatan saja, yaitu sifat dilarang dengan ancaman pidana kalu
dilanggar.Apakah yang melanggar itu benar-benar dipidana seperti yang sudah
diancamkan, ini tergantung kepada keadaan batinnya dan hubungan batinnya dengan
keadaan itu, yaitu dengan kesalahnnya.Jadi perbuatan pidana dipidahkan dari
pertanggungjawaban pidan, dipisahkan dengan kesalahan.Lain halnya dengan
stratbaar feit, didalarnnya mencakup mpengertian perbuatan pidana dan
kesalahan.
Kemudian Moeljatno mengatakan bahwa perbuatan pidana inikiranya
dapat disamakan dengan istilah Inggris criminal act atau istilah Latin actus
reus, karena":
1.
criminal act
ini juga berarti kelakuan dan akibat atau dengan perkataan lain akibat dari
suatu kelakuan yang dilarang oleh hukum;
2.
criminal act ini dipisahkan dad
pertanggungjawaban pidaoa yang dinarnakan criminal lialibility atau criminalresposibility, Untuk adanya
criminal lialibility Qadi untuk dapat dipidananya sesorang) selain daripada
menggunakan istilah criminal act
orang itu hams mempunyai kesalahan (guilty).
Hal ini dinyatakan dalam kalirnat Latin: Actus non facit, reum, nisi mens sit
rea (an act does not make a person
guilty, unless the mind is guilty). Bahwa untuk pertangggungjawaban pidana
tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan pi dana saja, tetapi disamping itu
hams ada kesalahan, atau sikap batin yang dapat dicela, ternyata pula dalam
asas hukum yang tidak tertuIis: Tidak dipidana jika tidak asas kesalahan (geen straf zonder schuld/ohne schuld keine
strafe) (Moeljatno, 1978: 38-39).
Moeljatno memakai istilah perbuatan pidana sebagai
terjemahan dari strafbaar feit, mengartikan perbuatan pidana sebagai
berikur":
1. Dalam kuliahnya: perbuatan pidana
adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar
laangan tersebut. (Moeljatno, 1978 :37).
2. Dalam pidatonya pada Dies Natalis VI
Universias Gajah Mada tang gal 19 Desember 1955: Perbuatan pidana dapat diberi
arti perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa melanggar
larangan tersebut (Moeljatno: 7 dan 14) disamping itu perbuatan tersebut harus
betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tak boleh atau tak
patut dilakukan (Moeljatno: 15). Dengan demikian syarat mutlak untuk adanya
perbuatan pidana, di samping mencocoki syarat-syarat formal yaitu perumusan
undang-undang juga harus mencocoki syarat syarat materiil yaitu sifat melawan
hukum bahwa perbuatan tersebut harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat
sebagi perbuatan yang tak boleh atau tak patut dilakukan (Moeljatno: 16)
C. TINDAK PIDANA DALAM KUHP NASIONAL
Besar
kemungkinan untuk menghindarkan pengertian-pengertian tindak pidana yang
beraneka ragarn, maka dalam Pasal 14 Raneangan KUHP 199111992, tindak pidana itu
diartikan secara pasti, yaitu: "Tindak pidana adalah perbuatan melakukan
atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan
sebagai perbuatan yang terlarang dan diane am pidana".
Selanjutnya
Pasal 15 Rancangan KUHP nasional tersebut berbunyi: "perbuatan yang
dituduhkan harus merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
oleb perturan perundang-undangan. Agar perbuatan tersebut dapat dijatuhi pi
dana tersebut harus juga bertentangna dengan hukum".
Dalam
penjelasan pasal ini diterangkan bahwa perbuatan yang dituduhkan harus dilarang
dan diancam dengan pidana.Sete1ah itu masih disyaratkan bahwa perbuatan
tersebut bertentangan dengan hukum. Dengan kata-kata doktrin: perbuatan
tersebut secara formal harus bertentangan dengan undang undang dan secara
material harus juga bertentangan dengan hukum. Ini berarti perbuatan tersebut
dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan.
Pengertian
tindak pidana menurut Rancangan KUHP Nasional iniadalah rnirip dengan
pengertian pidana menurut Moeljatno, oleh karena untuk adanya tindak pidana
iru, selain daripada harus dipenuhi syarat-syarat formal yaitu perumusan
undang-undang juga hams memenuhi syarat-syarat material yaitu sifat melawan
hukum atau bertentangan dengan hukum. Akan tetapi dalam pengertian perbuatan
pidana menurut Moeljatno disebutkan dengan tegas subjek pelakunya ialah
"barang siapa", jadi seakan-akan subjek perbuatan pidana itu hanyalah
manusia, tidak bisa badan hukum. Sedangkan dalam pengertian tindak pidana
menurut Rancangan KUHP Nasional, subjek pelakunya itu tidak disebutkan sehingga
subjek tindak pidana itu, selain daripada rnanusiajuga bisa manusia yaitu badan
hukum, ataupun korporasi,
Pengerian
perbuatan pidanaitindak pi dana dari Moeljatno dan dari RKUHP Nasional itu
dapat disebut sebagai pandangan yang "dualistis" terbadap perbuatan
pidanaitindak pidana sebab dalam pengertiannya itu tidak mencakup
pertanggungjawaban pidana. Jadi pandangan yang dualistis ini memisahkan antara
pengertian perbuatan pidana/tindak pidana (criminal actiactusreusi dengan
pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility/ criminalliability/ mens
rea).
Pengertian strafbaar
feit/tindak pidana dari Simons dan dari Van Hamel itu dapat disebut sebagai
pandangan yang monisus terhadap
strajbaaifeit/tindak pi dana kerena dalam pengertiannya itu dicakup pula
pertanggungjawaban pidana. Bahwa unsur-unsur strafbaar feit dari Simons itu
ada1ah sebagai berikut.
1.
Kelakuan/perbuatan (manusia),
2.
Perbuatan itu diane am dengan
pidana.
3.
Perbuatan itu bersifat melawan
hukum.
4.
Perbuatan itu berhubungan dengan
kesaLahan.
5.
Perbuatan itu dilakukan oleh orang
yang mampu bertanggungjawab.
D. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA
Kalau
kita melihat pengertian perbuatan pidana menurut Moeljatno dan pengertian tindak
pidana menurut Rancangan KUHP Nasional, maka unsurunsurnya
ialah sebagai berikut.
Menurut
pengertian Moeljatno
I.
Unsur-unsur formal:
a.
perbuatan
(manusia);
b.
perbuatan
itu dilarang oleh suatu aturan hukum;
c.
larangan
itu disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu;
d.
larangan
itu dilanggar oleh manusia.
2.
Unsur-unsur material
Perbuatan itu harus bersifat melawan hukum, yaitu
harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yagn tak: boleh
atau tak patut dilakukan.
Menurut
pengertian Rancangan KUHP Nasional
a. Unsur-unsur formal:
1)
perbuatan
sesuatu;
2)
perbuatan itu dilakukan atau tidak
dilakukan;
3)
perbuatan itu oleh peraturan
perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan terlarang;
4)
perbuatan itu oleh peraturan
perundang-undangan diancam pidana.
b.
Unsur-unsur material
Perbuatan itu hams bersifat bertentangan den gall hukum,
yaitu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak
pattut dilakukan.
Jadi meskipun perbuatan itu memenuhi perumusan
undang-undang, tetapi apabila tidak bersifat melawan hukum atau bertentangan
dengan hukurn, maka perbuatan itu bukan rnerupakan suatu tindak pidana.Misalnya
seorang ayah memukul anaknya yang bandel dalam rangka pendidikan, yaitu agar
anak itu menjadi anak yang baik.Memang perbuatan seorang ayah itusesuai dengan
Pasal351 KUHP - penganiayaan, tetapi perbuatan seorang ayah itu merupakan
perbuatan yang dibenarkan oleh masyarakat, sehingga tidak melawan hukum atau
bertentangan dengan hukum.Jadi perbuatan seorang ayah itu bukan merupakan
tindak pidana.
1.
Objektif
Unsur
objektif dalah unsur yang terdapat diluar diri si pelaku tindak pidana. Menurut
Lamintang unsur objektif itu adalah unsur yang ada hubungannya dengan
keadaan-keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dati si
pelaku itu harus dilakukan (Larnintang, 1984: 184)
Unsur objektif ini meliputi:
a. Perbuatan
atau kelakuan manusia
Perbuatan
atau kelakuan manusia itu ada yang aktif ( berbuat sesuatu), misalnya: membunuh
- Pasal 338 KUHP; menganiaya - Pasal 351 KUHP; mencuri - Pasa1362 KUHP;
menggelapkan - Pasal372 KUHP; dan lain-lain.
Dan ada
pula yang pasif (tidak berbuat sesuatu), misalnya: tidak melaporkan kepada yang
berwajib atau kepada yang terancam, sedangkan ia mengetahui ada suatu
perrnufakatan jahat, adanya niat unruk melakukan suatu kejabatan tertentu -
Pasal 164, 165 KUHP; tidak mengindahkan kewajiban menurut undang-undang sebagai
saksi, ahli atau juru bahasa - Pasal 224 KUHP; tidak memberi pertolongan
kepada orang yang sedang menghadapi maut - Pasal 531 KUHP.
b.
Akibat yang menjadi syarat mutlak dari delik
Hal ini terdapat dalam delik-deik materi atau delik-delik
yang dirumuskan secara materiil, misalnya pembunuhan - Pasal 338 KUHP;
penganiayaan - Pasal 351 KUHP; penipuan - Pasal 378 KUHP; dan lain-lain.
c.
Unsur melawan hukum
Setiap perbuatan yang dilarang dan diane am dengan pidana
oleh peraturan perundang-undangan hukum pidana itu harus bersifat melawan hukum
(wederrechtelijkheid/rechtsdrigkeit), meskipun unsur ini dinyatakan dengan
tegas dalam perumusannya. Ternyata sebagian besar dari perumusan delik da1am
KUHP tidak menyebutkan dengan tegas unsur melawan hukum ini, hanya beberapa
delik saja yang menyebutkan dengan tegas, seperti dengan melawan hukum tanpa
kemerdekaan - pasal 333 KUHP; untuk dirnilikinya secara melawan hukum Pasal 362
KUHP dengan melawan hukum mengbancurkan - Pasal 406 KUHP; dan lain-lain.
d.
Unsur lain yang menentukan sifat tindak pidana
Ada beberapa tindak pidana yang untuk dapat rnemperoleh
sifat tindak pidananya itu memerlukan hal-hal objektif yang menyertainya,
seperti: penghasutan - Pasal 160 KUHP; melanggar kesusilaan - Pasal 282 KUHP;
pengemisan - Pasal 504 KUHP; mabuk - Pasal 536 KUHP. Tindak pidana tindak
pidana tersebut hams dilakukan dimuka umum. Melarikan wanita belum dewasa -
Pasal 332 ayat (1) butir 1 KUHP, tindak pidana ini harus disetujui oleh wanita
tersebut, tetapi pihak orangtuanya atau walinya tidak menyetujuinya; dan
lain-lain. Selain dart pada itu ada pula beberapa tindak pidana yang untuk
dapat memperoleh sifat tindak pidananya memerlukan hal hal subjektif seperti:
kejahatan-jabatan - pasal 413-437 KUHP, harus dilakukan oleh pegawai negeri,
pembunuhan anak sendiri - Pasal 341-342 KUHP, harus dilakukan o1eh ibunya;
merugikan para penagih - Pasal 396 KUHP, harus dilakukan oleh pengusaha.
Unsur-unsur tersebut diatas barus ada pada waktu perbuatan
dilakukan, oleh karena itu maka disebut dengan "yang menentukan sifat
tindak pidana."
e.
Unsur yang memberatkan pidana
Hal ini terdapat dalam delik-delik yang dikualifikasikan oleb
akibatnya, yaitu karena timbulnya akibat tertentu, maka ancaman pidananya
berat. Seperti: merampas kemerdekaan seseorang - Pasal 333 KUHP diancam dengan
pidana penjara paling lama 8 tahun - ayat (1), jika perbuatan itu mengakibatkan
luka-luka berat ancaman pidananya diperberat rnenjadi paling lama 9 tahun -
ayat (2), dan apabila mengakibatkan mati ancama pidananya diperberat lagi
menjadi penjara paling lama 12 tabun - ayat (3): penganiayaan - pasal351 KUHP
diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan - ayat (1), apabila
penganiayaan itu mengakibatkan luka-luka berat ancarnan pidananya diperberat
menjadi penjara paling lama 5 tahun - ayat (2), jika mengakibatkan mati maka
diperberat lagi menjadi penjara paling lama 12 tahun - ayat (3) dan lain-lain.
f.
Unsur tambahan yang menentukan tindak pidana
Hal ini misalnya: dengan sukarela masuk tentara negara asmg,
yang diketahuinya bahwa negara itu akan perang dengan Indonesia, pelakunya
hanya dapat dipidana jika terjadi pecah perang - Pasal 123 KUHP. tidak
melaporkan kepada yang berwajib atau kepada orang yang terancam, jika
mengetahui akan adanya kejahatan-kejahatan tertentu, pelakunya hanya dapat
dipidana jika kej ahatan itu jadi dilakukan - Pasal 164 dan 165 KUHP; dan lain
lain.
Dalam tindak pidan-tindak pidana yang memerlukan unsur-unsur
tambahan (bijkomende voorwaarden van stratbaarheid) tersebut diatas, apabila
tidak ada unsur-unsur tambahan tersebut, maka tindak pidana-tindak pidana itu
tidak akan terjadi, bahkan percobaan (poging) pun tidak akan ada. Atau dengan
perkataan lain, apabila unsur-unsur tambahan itu tidak ada, maka tindak pidana
pun tidak akan terjadi, cemikian juga percobaan tindak pidana-tindak pidana
itu, karena sifat yang membahayakan kepentingan hukum tidak ada.
2.
Unsur Subjektif
Unsur subjektif adalah unsur yang terdapat dalam diri si
pelaku tindak pidana. Un sur subjektif ini meliputi:
a.
Kesengajaan (dolus)
Hal ini terdapat, seperti dalam: melanggar kesusilaan -
Pasa1281 KUHP; merampas kemerdekaan - Pasal 333 KUHP; pembunuhan - Pasal 338
KUHP; dan lain-lain
b.
Kealpaan (culpa)
Hal ini terdapat, seperti dalam: dirampas kemerdekaan -
Pasal 334 KUHP; menyebabkan mati - Pasal 359 KUHP; dan lain-lain.
c.
Niat (voomemen)
Hal ini terdapat dalam percobaan
(piging) - Pasal 53 KUHP.
d.
Maksud (oogmerk)
Hal ini ter dapat, seperti dalam: pencurian - Pasal362 KUHP;
pemerasan - Pasal 368 KUHP; penipuan - Pasal 372 KUHP; dan lain-lain.
e.
Dengan rencana terlebih dahulu (met voorbedachte rade)
Hal ini terdapat, seperti dalam: pernbunuhan dengan rencana
- Pasal 340 KUHP; membunuh anak sendiri dengan rencana - Pasal 342 KUHP; dan
lain-lain.
f.
Perasaan takut (vrees)
Hal ini terdapat, seperti dalam: membuang anak sendiri -
Pasal 308 KUHP; membunuh anak sendiri - Pasal 341 KUHP; membunuh anak sendiri
dengan rencana - Pasal342 KUHP.
Akan tetapi J.M. van Bemmelen, Vrij,
dan A. Mulder, terbadap tindak pi dana tersebut mengadakan pembedaan antara apa
yang disebut dengan:
a.
bagian-bagian delik (bestanddelen
van he! delict); dan
b.
unsur-unsur/ elemen-elemen delik
(elementen van - het delict) (lihat Limintang, 1984; 186).
Perkataan "unsur-unsur tindak pidana" sebagaimana
telah diuraikan diatas mempunyai pengertian yang luas, sebab meliputi
pengertian bagian bagian tbestanddelen) dan unsur-unsur/elemen-elemen
(elementen) delik ajaran sarjana-sarjana tesebut.Hal ini sebagaimana dikatakan
oleh 1.M. van Bemmelen bahwa perkataan "un sur" / elemen (dalam butir
2) di sini dipakai dalam arti kata sempit. Dahulu - dan juga - sekarang ada
beberapa sarjana hukum yang menggunakannya "un sur" untuk
bagian-bagian tindak pidanadan juaga menggunakannya untuk syarat lain untuk
dapat dipidananya suatu perbuatan dari sipelaku (J.M. van Bermmelen, 1984:99).
Yang dimaksud dengan bagian bagian delik ibestanddeten van
het delict) dan unsur-unsur/elemen-elernen delik (elementen van het delict),
sebagairnana dikatakan oleh Limintang bahwa untuk membuat suatu ringkasan
mengenai ajaran Profesor van Bemmelen di atas dengan membuat suatu perbandingan
antara apa yang beliau sebutkan sebagai bestanddelen van het delict dengan apa
yang beliau sebutkan sebagai elementen van het delict, maka kita akan
mendapatkan hal-hal sebagai berikut
Bestanddelen
atau bagian-bagian delik itu
a.
Terdapat didalam rumusan delik.
b.
Oleh penuntut umum harus dicantumkan
dalam sural tuduhan.
c.
Harus dibuktikan didalam peradilan.
d.
Bilamana satu atau lebih bagian
ternyata tidak dapat dibuktikan maka hakim harus membebaskan tertuduh
(vrijspraak).
Elementen atau elemen-elemen delik
itu
a.
Tidak terdapat di dalam rumusan
delik.
b.
Terdiri dari:
1.
toerekenbaarheid van het felt (hal dapat dipertanggungjawabkannya sesuatu tindakan atau
sesuatu akibat terhadap perlakuannya);
2.
teorekeningsvatbaarheid van de dada (hal dapat dipertanggung jawabkannya seseorang atas
tindakan yang telah dilkukan atau atas akibat yang telah ia timbulkan);
3.
vewijtbaarheid van het feit (hal dapat didalahkannya sesuatu tindakan atau suatu akibat
kepada seseorang, oleh karena tindakan atau akibat tersebut telah ia lakukan
atau telah ia timbulkan berdasarkan unsur "kesengajaan" atau pun
unsur "ketidaksengajaan"); dan
4.
wederrechtelijk/heid
(sifat melawan hukum).
c.
Harus dianggap sebagai juga
diisyaratkan didalam setiap rumusan delik.
d.
Oleh penuntut umum tidak perlu
dicantumkan didalam surat tuduhan dan
Dengan catatan
bahwa apabila elemen wederrechtelijk itu oleh pembentuk undang-undang
telah disebutkan secara tegas didalam rumusan delik, maka wederrechtelijkbeid
tersebut bukan lagi merupakan bagian delik. Dengan demikian, maka wederrechtelijkheid
iru oleh penuntut umum harus
dicantumkan dalam surat tuduhannya dan dibuktikan kebenarannya didalam sidang.
Apabila wederrechtelijkheid tersebut kemudian ternyata tidak terbukti
maka hakim harus membebaskan tertuduh (vrijspraak) (P.A.F. Lamintang, 1984:
189-190).
E. SUBJEK TINDAK PIDANA
Dalam
sistem KUHP, yang dapat menjadi subjek tindak pidana adalah hanya manusia (natuurlijke personen), sedangkan badan
hukum (rechspersonen) ataupun
korporasi dan hewan tidak dapat menjadi subjek tindak pidana.
Hal-hal
yang menyatakan bahwa rnanusia sebagai subjek tindak pidana adalah:
1.
terdapatnya perurnusan tindak pidana
yang dirnulai dengan perkataan: barang siapa, seorang ibu, seorang pejabat,
seorang nakoda, dan lain-lain. Ini berarti tidak lain adalah manusia;
2.
jenis-jenis pi dana yang ditentukan
dalam pasal 10 KUHP hanya ditujukan terhadap manusia;
3.
dalam hukum pi dana yang berlaku
sekarang menganut asas kesalahan seorang manusia, yang disebut dengan
"hukum pi dana kesalahan" (schuldstrafrecht).
Dalam schuldstrafrecht yang dianggap dapat berbuat kesalahan hanyalah manusia,
yaitu yang berupa "kesalahan perseorangan atau individual (individuele schuld)
Dalam
perkembangan hukum pidana selanjutnya mengenai subjek tindak pidana itu
cliperluas, bukan saja hanya rnanusia (natuurlijke personen), tetapi juga bafan
hukum (rechtspersonen) ataupun korporsi terutama dalam hal-hal perfiskalan atau
perpajakan, perekonomian, dan keamanan negara yang pengaturannya dalam
peraturan perundang-undangan di luar KUHP.
Ketentuan-ketentuan
mengenai badan hukum ataupun korporasi sebagai subjek tindak pidana antara lain
dapat kita temukan dalam:
1.
PasallS UU No.7 Drt/1955 - Tindak
Pidana Ekonorni;
2.
Pasal 17 UU No. 11 Pnps/1963 -
Tindak Pidana Subversi;
3.
Pasal49 UU No. 911976 - Tindak Pi
dana Narkotika.
Perluasan
badan hukum ataupun korporasi sebagi subjek tindak pidana tersebut karena suatu
kebutuhan yang disesuaikan dengan perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan
manusia.Akan tetapi pada hakekatnya akibat dari pemidanaan terhadap badan hukum
atau pun korporasi itu yang menderita adalah manusia-manusia juga.
Dalam RKUHP 199111992 (Pasal 45) ditentukan dengan
tegas bahwa: Korporasi rnerupakan subjek tindak pidana.
Turut serta dalam melakukan peristiwa pi dana
(delik), sering membuat (sadar) dibantu oleh seorang lain, dan justru karena
turut serta orang lain ini, yang menu rut kata-kata POMPE ihandboek van het
nederlands strafrechi, 1953, hal 214) memberi "bijdragen aan het
strafbare feit voorzover zij niet bestaan ini hel pleen" (memeberi
"bantuan" tetapi tidak "membuat") maka peristiwa pidana itu
mungkin dilakukan'".
Pelajaran umum turut serta itu adalah buah fikir Von
Feuerbach, sarjana hukum bangsa Jerman yang termasyur itu (Hazewinkel-Suringa,
hal 230). Von Feuerbach men genal dua jenis peserta.
1)
Mereka yang langsung berusaha rerjadinya peristiwa pidana.
2)
Mereka
yang hanya membantu usaha yang dilakukan oleh mereka yang disebut poin a, yaitu mereka yang tidak langsung berusaha.
Mereka
yang termasuk golongan pertama disebut Von Feurbach: auctores atau urheber,
sedangkan mereka yang termasuk golongan kedua disebutnya: Gehilfe. Urheber adalah yang melakukan
inisiatif dan Gehilfe adalah yang membantu saja. Diantaranya yang termasuk
kedalam golongan turut serta ialah berikut
ini.
a.
Melakukan (plegen)
Dari apa yg diuraikan sebelurnnya terah bahwa Pasal 55 KUHP
tidak dibuat untuk menghukum yang melakukan (pleger) sesuatu peristiwa pidana.
Yang melakukan adalah pembuat lengkap, yaitu perbuatannya memuat semua
anasir-anasir peristiwa pidana yang bersangkutan. Disebunya yang melakukan
dalam Pasal 55 KUHP itu adalah satu "echo" pelajaran Von Feuerbach
yang mengenal duajenis peserta, yaitu Urheber
dan Gehilfe.
b.
Menyuruh melakukan (do en
Plegen)
Oleh
POMPE (hal 228) dimohon perhatian untuk hal dalam pasal 55 KUHP "menyuruh
melakukan" itu "wei vermeld maar niet omschreven". Kekurangan
ini teLah menempatkan "den wetstoepasser voor grote moeilijkheden".
Definisi
yang dibuat oleh Memorie van Toelichting ini memperlihatkan beberapa
unsur "menyuruh meLakukan" itu. Pertama, adalah seseorang, suatu
manusia, yang dipakai sebagai alat. Adanya manusia yang oleh pembuat delik
dipakai dari menyuruh melakukan itu. Unsur kedua dapat dikemukakan oleh orang
yang dipakai sebagai alat itu berbuat, menurut kata-kata Memorie van
Toelichting:"een mens, die .... .Hadelt". seorang yang dipakai
sebagai alat yang tidak berbuat, umpanya, terlebih dahulu ia dipukul demikian
sehingga tidak sadar lagi dan kaki dan tangannya diikat, adalah sama dengan
satu benda yang tidak berjiwa, seperti galah dengan kait tersebut.
c.
Turut melakukan sesuatu (medeplegen)
Karena KUHP
tidak memberi definisi tentang "turut melakukan" itu, maka dengan
sendirinya "Omtrent hetgeen onder deze deelnemingsvorm moet worden
verstaan bestaat een grote mate van onenigheid" (Hazewinkel - Suringa,
hal. 239). Memorie van Toelichting mengemukakan bahwa yang turut
melakukan adalah tiap orang yang sengaja "meedoet" (turut berbuat)
dalam melakukan satu peristiwa pidana.
d.
Membujuk (uitlokken)
Berbeda
halnya dengan menyuruh melakukan maupun dengan turut melakukan, maka lebih
mudah dapat kita tentukan unsur-unsur membujuk. Hal demikian itu disebabkan
undang-undang pidana memberi gambaran yang, biarun tidak lengkap, masihjuga
memberi pegangan tentang "membujuk" itu. Pasal 55 ayat 1 sub 2e KUHP
berbunyi: "dihukum sebagai orang yang melakukan
peristiwa pidana orang yang dengan
pemberian, perjanjian, salah mernakai kekuasaan atau pengaruh, kekerasan,
ancaman atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan, daya upaya atau
keterangan, sengaja membujuk untuk melakukan sesuatu perbuatan".
Menurut perumusan yang tercantum dalam pasal 55 ayat
1 sub 2e KUHP, maka unsur-unsur "mernbujuk" itu adalah:
1)
Dengan
memakai salah satu atau beberapa cara-cara yang disebut dalam undang-undang
pidana, sengaja membujuk (mengajak) orang lain melakukan satu perbuatan yang
dilarang oleh undang-undang pidana
2)
Adanya
kehendak pada yang melakukan (yang dibujuk) untuk melakukan perbuatan yang
dilarang undang-undang pidana itu adalah akibat bujukan dari yang membujuk,
harus ada "Psychische causaliteit" (Hazeinkel Suringa, hal. 253)
3)
Yang
membujuk telah melaksanakan atau telah mencoba melaksanakan perbuatan (yang
dilarang undang-undang pidana) dan yang dikehendakinya. Hanya ada satu kehendak
pada yang dibujuk itu, tidaklah cukup, haruslah yang dibujuk itu telah berbuat.
4)
Oleh
sebab itu, yang dibujuk bertanggungjawab penuh menurut hukum pidana: apabila ia
tidak dapat dihukum, maka tidak ada "membuju" tetapi ada
"menyuruh melakukan"
e.
Pasal163 bis KUHP pada nomor 1 di atas tadi telah
dikemukakan bahwa ada pengarang-pengarang seperti Zevenbergen, Van Hamel,
Simons, Vos, yang mengadakan pembagian antara peserta yang
"zelfstandig" dan peserta yang "accessoir", Pembujuk itu
termasuk golongan peserta yang disebut kedua, yaitu pembujuk adalah peserta
yang "accessoir". Dihukum tidaknya pembujuk tergantung pada apa yang
dilakukan oleh yang dibujuk, yang menjado pembuat penuh delik yang
bersangkutan. Bilamana yang dibujuk tidak melakukan apa yang dikehendaki oleh
pembujuk dan yang telah disampaikan kepadanya oleh pembujuk itu, atau yang dibujuk
itu telah memulai melaksanakan tetapi kemudian memberhentikan secara sukarela
usahanya, maka pembujuk yang bernuat buruk itu, tidak dihukum (Vos, hal. 205,
yang menunjuk kepada keputusan HR tertanggal17 juni 1889, W Nr 5472).
Dalam ayat 2, menetapkan bahwa
mengundurkan diri secara sukarela dari pembujukan itu menjadi satu alasan yang
mengecualikan dijatuhkannya hukuman. Beda dengan percobaan dalam pasal 53 KUHP
adalah dalam hal percobaan mengundurkan diri secara sukarela dari pembuat,
ditetapkan sebagai unsur delik, sedangkan dalam hal delik yang dikenal pasal
163 tersebut mengundurkan diri secara sukarela dari pembuatan itu bukanlah
unsur delik.
f.
Membantu
(medeplichtigheid). Pasal 56 KUHP menentukan babwa
"dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan.
1.
barang siapa dengan sengaja membantu
melakukan kejahatan itu,
2.
barang siapa dengan sengaja memberi
kesempatan, daya upaya atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.
g.
Turut serta melakukan delik kealpaan
Diatara pengarang hukum pidana tidak terdapat permufakatan
tntang munkin atau tidak munkinnya menyuruh melakukan delik kealpaan (doen
plegen van een eulpoos delict). Vos dan Van Hattum, rnengemukakan bahwadalam
pengertian "menyurub melakukan" itu sebenamya telah termuat unsur "sengaja",
karena seperti hal "rnembujuk". Dalam "berusaha" ini
termuat unsur "sengaja", unsur "dikehendaki" suatu akibat.
Tetapi dalam hal "membujuk" dan dalam hal "membantu" KUHP
semacam itu tidak ada.
F. JENIS-JENIS TINDAK PIDANA
Tentang
jenis-jenis tindak pidana itu dapat digolongkankedalam dua golongan, yaitu:
1.
Jenis-jenis Tindak Pidana Menurut KUHP
KUHP itu terdiri atas 569 pasal,
yang dibagi dalam tiga buku, yaitu:
a.
Buku I: Aturan Umum - Pasall-103;
b.
Buku II : Kejahatan - Pasal 104-488;
c.
Buku lIT: pelanggaran - Pasa1489 -
569.
Dalam Buku I KUHP itu diatur tentang pengertian-pengertian
dan asas asas hukum pi dana yang berlaku umum untuksemua lapangan hukum pidana
positif, baik yang diatur dalam Buku II dan Buku III KUHP maupun daJam
peraturan perundang-undangan hukum pi dana diluar KUHP.Pengertian pengertian
dan asas-asas hukum pidana tersebut secara umum harus dipergunakan dalam
menjalankan hukum pidana positif tersebut.
Agar pengertian-pengertian dan asas-asas hukum pi dana itu
tidak sealau disebutkan pasa setiap tindak pidana, maka pembentuk undang-undang
berpendapat bahwa lebih praktis dan bermanfaat, jika pengertian-pengertian dan
asas-asas hukum pi dana itu digabungkan saja dan ditetapkan dalam beberapa
peraturan umum yang akan berlaku untuk semua lapangan hukum pidana. Kemudian
pembentuk undang-undang menggabungkan peraturan umum itu dalam suatu bagian
umum (algemene deel) dari KUHP, yaitu dalam Buku I, yang selanjutnya temyata
menjadi sumber terpenting dari semua hukum pidana positif.
Menutut ilrnu hukum pi dana, yang diatur dalam Buku I KUHP
inidisebut dengan "ajaran-ajaran umum" (aglernene leerstukken), sedangkan yang diatur dalam Buku II dan
buku III KUHP disebut dengan "delik-delik khusus" (bijzondere delicten - speciale delicten).
Dari
pembagian KUHP tersebut diatas, maka dapatlah diketahui bahwa jenis-jenis
tindak pidana menurut KUHP itu terbagi atas dua jenis, yaitu:
a.
kejahatan (misdrijven), dan
b.
pelanggaran tovertredingeni.
Menurut memori penjelasan (Memorie vn
Toelicjting disingkat M. v. T) pembagian
atas dua jenis tindak pi dana tersebut didasarkan kepada perbedaan asasi
(prinsip), dikatakan bahwa kejahatan adalah "delik hukum" (wetslict).
Sedangkan pelanggaran adalah "delik undang-undang" (wetsdlict). Suatu
perbuatan merupakan delik hukum (rechtsdelict),apabila sejak: semula sudah
dapat dirasakan bahwa perbuatan tersebut telah bertentangan dengan hukum,
sebelurn ditentukan dalarn undang-undang. Sedangkan delik undang-undang
(wetsdlict), baru dapat dirasakan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan
hukum setelah ditentukan dalam undang-undang. Sebagai contoh delik hukum antara
lain: pernbunuhan, pencurian, perkosaan, dan lain-lain; sedangkan contoh dari
delik undang-undang antara lain: pengemisan, gelandangan, pelanggaran
lalulintas jalan, dan lain-lain.
Perbedaan jenis
tindak pidana atas pelanggaran dan kejahatan menurut pandangan tersebut diatas
disebut dengan perbedaan "kualitatif". Para sarjana hukum yang
menganut perbedaan kualitatif antara kejahatan dengan pelanggaran iru
mengadakan suaru perbedaan antara crimineel onrecht/kejahatan dengan politice
on rechtlpelanggaran (antara lain: Von List, Julius Stahl, Van Andel, Gewin,
Duynstee).
Von List berbpendapat bahwa crinineel onrecht adalah
perbuatan karena sifatnya bertentangan dengan ketertiban hukum, sedangkan
politie onrecht adalah perbuatan yang oleh undang-undang dicap sebagai suatu
perbuatan yang bertentangan dengan ketertiban hukum.
Julius Stahl, Van Andel, dan Gewin memandang crimineel
onrecht sebagai perbuatan yang bertentangan dengan keadilan ke Tuhanan dan
hukum Tuhan, sedangkan politie onrecht sebagai perbuatan yang bertentangan
dengan ketertiban umum yang dibuat man usia.
Duynstee memandang crimineel onrecht sebagai perbuatan yang
bertentangan dengan kewajiban hukum alam (natuurlijke rechtsplichen) atau
kewajiban kesopanan alam (natuurlijke sedelijkeplichen), sedangkan politie
onrecht sebagai perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang
(wettelijkeplichen) (lihat Utrecht, 1958: 88-89).
Para sarjana hukum yang menentang perbedaan kualitatif itu
adalah antara lain: Van Der Hoeven, Van Hattum, Jonkers, Hazewinkel Suringa,
dan lain lain, mereka menganut suatu perbedaan "kuantitatif" antara
kejahatan dengan pelanggaran yaitu perbedaan tindak pidana yang didasarkan
beratringannya ancaman pidana antara kej ahatan dengan pelanggaran.
Hazewinkel
Suringa menyebutkan ada beberapa pelanggaran, yaitu diatur dalam Pasal 489 KUHP
- kenakalan, Pasal 490 KUHP - mengusik hewan, Pasal 506 KUHP - mucikari,
terlepas apakah itu dicantum.kan atau tidak didalam undang-undang pidana sudah
dirasakan oleh umum sebagai perbuatan yang tidak patut. Sebaliknya ada beberapa
kejahatan yaitu yang diatur dalam Pasal 396 KUHP - perkelahian tanding, Pasal
303 KUHP - perjudian, Pasal 396 KUHP - merugikan kreditur, tidak patutnya perbuatan-perbuatan
tersebut masih diragu-ragukan oleh umum (lihat Utrecht, 1958:91).
Akan tetapi
mengenai delik perjudian yang semula terdiri dati deli kejahatan - Pasal 303
KUHP, dan delik pelanggaran Pasal 542 KUHP, dengan UU RI No. 7/1974 tentang
Penertiban Perjudian dinyatakan bahwa semua delik perjudian sebagai kejahatan
dan ancaman pidananya diperberat. Sehingga Pasal 542 yang semula ditempatkan
dalam Buku II KUHP diubah menjadi Pasal 303 yang ditematkan dalam Buku II KUHP.
Sarjana hukum
Indonesia an tara lain Wirjono dan Moeljatno menganut perbedaan kuantitatif
antara kejahatan dengan pe1anggaran itu. Wirjono menyetujui perbedaan secara
kuantitatif karen a memang sesuai dengan kenyataan (Wirjono, 1969:27).Moe1jatno
menganjurkan bahwa KUHP kita sebaiknya penbagian atas kejahatan dan pelanggaran
itu didasarkan berat ringannya pi dana saja (moeljatno, 1978:49).
Antara
pelanggaran dan kejahatan terhadap perbedaan yang berikut."
a.
Pelanggaran
ialah mengenai hal-hal kecil atau ringan, yang diancam dengan hukuman denda,
misalnya: sopir mobil yang tak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM), bersepedah
pada malam hari tanpa lampu, dan lain-lain.
a.
Kejahatan
ialah mengenai soal-soal yang besar, seperti: pembunuhan, penganiayaan,
penghinaan, pencurian, dan sebagainya.
Meskipun
telah diuraikan diatas bahwa terdapat bermacam-macam pandangan tentang
perbedaan jenis tindak pidana atas kejahatan dengan pelanggaran itu,
akibat-akibat bukum dari kedua jenis rindak pidana itu menurut undang-undang
memang berbeda.
a.
Pidana
penjara hanya diancamkan pada kejahatan, pada pelanggaranpelanggaran hal ini
tidak.
b.
Pada
kejahatan, maka bentuk kesalahan (schuld)yaitu kesengajaan (opzet)atau kealpaan
(culpa) pada waktu tindak pidana harus dibuktikan, sedangkan pada pelanggaran
hal ini tidak perlu dibuktikan. Oleh karena itu, maka kejahatan dibedakan
antara kejahatan yang disengaja (dolus) dengan kejahatan karena kealpaan
(culpa).
c.
Percobaan
melakukan kejahatan dapat dipidana, sedangkan melakukan percobaan melakukan
pelanggaran tidak dapat dipidana - Pasal 53 junkto 54 KUHP.
d.
Pembantuan
melakukan kejahatan dapat dipidana, sedangkan pembantuan melakukan pelanggaran
tidak dapat dipidana - Pasal 56 junkto 60 KUHP.
e.
Gugurnya
karena daluwarsa hak penuntutan pidana dan hak menjalankan pidana bagi
kejahatan jangka waktunya lebih lama daripada bagi pelanggaran - Pasal 78 dan
84 KUHP.
f.
Pasal
59 KUHP, yang mengandung ancaman pidana terhadap pengurus dan komesaris suatu
badan hukum (rechtspersoon), korporasi, dan yayasan, karen a disangka telah melakukan
tindak pidana, hanya berlaku dalam hal pelanggaran.
g.
Pengaduan
sebagai syarat penuntutan dalam delik aduan hanya ditentukan untuk tindak
pidana kejahatan -lihat Buku I Bab VII, Pasal 72-75 KUHP.
h.
Dalam
hal berbarengan (concursus/samenloop), sistem pernidanaan berbeda bagi
kejahatan dan pelanggaran. Dalam berbarengan jamak (concursus realis/meerdaadse
samenloop) dalam kejahatan berlaku stelsel serapan diperberat tverscherpte
absorptie stelseli - pasal 65 KUHP, sedangkan dalam pelanggaran berlaku
stelsel kurnulasi tidak terbatas (zuivere cumulatie stelsel) - Pasal 70 KUHP.
i.
Penyelesaian
diluar sidang (afdoen.ing buiten process atau penebusan penuntutan
pidana (afkoop) hanya mungkin dalam pelanggaran yang diancam dengan pidana
denda - Pasal 82 KUHP.
j.
Dalam
hal pelanggaran dan kejahatan karena kealpaan, maka perampasan barang tertentu
sebagai pidana tambahan, hanya dapat dijatuhkan,jika hal ini disebut dengan
tegas dalam undang-undang pidana - Pasal 39 ayat (2) KUHP.
Sedangkan dalam hal kejahatan
yang disengaja, perampasan barangbarang tertentu tersebut dapat juga
dijatuhkan, walau pun undang-undang pidana tidak menyebut dengan tegas hal itu.
k.
Hak
untuk menuntut pidana terhadap warga negara Indonesia yang diluar wilayah
Indonesia at au luar negeri melakukan suatu tindak pi dana tertentu, hanya
berlaku dalam hal dilakukan suatu kejahatan tertentu - Pasal 5 KUHP, tidak berlaku dalam hal
dilakukan suatu pelanggaran.
l.
Perundang-undangan hukum pidana Indonesia berlaku bagi
setiap pejabat atau pegawai negeri yang diluar wilayah Indonesia atau diluar
negeri melakukan salah satu kejahatan Bab XXVIII Buku II KUHP - Pasal 7 KUHP.
Hal ini tidak dikenal dalam pelanggaran.
m. Hanya
penadahan barang-barang yang diperoleh dari kejahatan yang dapat dipidana -
Pasal 480 KUHP. Sedangkan penadahan barang-barang yang diperoleh dari
pe1anggaran tidak dikenal.
n.
Peraturan-peraturan khusus mengenai penyertaan
(deelneming) yang ditentukan dalam Pasal 61 dan 62 KUHP kejahatan cetak, hanya
berlaku dalam kejahatan.
Selain daripada hal-hal
tersebut diatas dalam KUHP dikenal pula apa yang disebut dengan
"kejahatan-kejahatan ringan" (lichtemisdrijven).
Kejahatankejahatan ringan ini tidak dikenal dalam KUHP Nederland. Dapat
dikatakan bahwa
kejahatan-kejahatan nngan 101 merupakan suatu kekhususan atau spesifik KUHP
Indonesia.
Jumlah
kejahatan ringan ini ada 9 buah.
a.
Penganiayaan ringan terhadap hewan –
Paasal 302 KUHP.
b.
Penghinaan ringan – Pasal 315 KUHP.
c.
Penganiayaan ringan - Pasa1 352
KUHP.
d.
Pencurian ringan - Pasal 364 KUHP.
e.
Penggelapan ringan - Pasal 373 KUHP.
f.
Penipuan ringan - Pasa1 379 KUHP.
g.
Penipuan ringan terhadap pembeli -
Pasa1 384 KUHP.
h.
Perusakan ringan terhadap barang -
Pasal 407 KUHP.
i.
Penadahan ringan - Pasa1 482 KUHP.
2. Tindak
Pidana Menurut Doktrin atau IImu Hukum Pidana
Berikut
ini adalah penjelasan dari berbagai delik menurut doktrin ilmu hukum pidana.
a.
Delik formal (formeel delict) dan
delik material (materieel delict)
Delik
formal juga disebut dengan "delik dengan perumusan formal" (delict met formele omshrijving), yaitu
delik yang terjadi dengan dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang dan
diancam denga pidana oleh undang-undang. Sebagai contohnya adalah: Pasal 209
dan 210 KUHP - menyuap atau penyuapan aktif. Dalam contoh tersebut diatas, maka
delik-delik itu terjadi dengan dilakukannya perbuatan-perbuatan itu, misalnya
dalam penghasutan Pasal 160 KUHP, asal sudah dipenuhinya unsur dalam pasal
tersebut, maka delik-delik penyuapan aktif itu terjadi dengan tidak
mempersoalkan lagi apakah dirugikan atau tidak.
Delik
material disebut juga dengan "delik dengan perumusan material"
(delict met materiele omschrijving), yaitu delik yang baru dianggap terjadi
setelah timbulnya akibat yang dilarang dan diancam den gao pidana oleh
undang-undang, Sebagai contohnya adalah Pasal 338 KUHP - pembunuhan, delik ini
baru terjadi setelah si korban mati.Apabila si korban itu tidak sampai mati,
maka baru ada percobaan pembunuhan - Pasal 338 KUHP junkto Pasal 53 KUHP.
Dari
kedua perumusan delik tersebut diatas, kita dapat menari kesimpulan
bahwa dalam delik formal yang dilarang adalah perbuatannya, sedangkan dalam
delik material yang dilarang adalah akibatnya.
Pembagian delik-delik ini adalah
penting untuk ajaran-ajaran diantaranya: percobaan (poging) dan penyertaan
(deelneming). Seperti dalam percobaan (poging) bahwa dalam delik formal ada
perbuatan percobaan, jika perbuatan itu merupakan sebagian dari perbuatan yang
dilarang.
Sedangkan dalam delik material,
percobaan itu ada apabila perbuatan itu demikian sifatnya, sehingga menimbulkan
akibat yang dilarang.
b.
Delik kornisi (commissie delict) dan delik ornisi (omissie
delict)
Delik komisi, dalam bahasa Belanda commissie delict, dalam
bahasa Latin delicta commissionis adalah deLik yang berupa pelanggaran terhadap
larangan di dalam undang-undang. Delik komisi ini dapat berupa delik formal,
seperti Pasal 362 KUHP - pencurian, dan dapat pula berupa delik material,
seperti Pasal 388 KUHP pembunuhan dan lain-lain.
Delik omisi, dalam bahasa Belanda omissie delict, dalam
bahasa Latin delicta omissionis adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap
keharusan di dalam undang-undang. Sebagai contohnya adalah Pasal 164 dan 165
KUHP - keharusan melaporkan kejahatan tertentu, dan lain-lain.
Delik omisi dapat dibedakan menjadi dua.
I.
Delik ornisi murni (eigenlijke omissie delict/ruivere omissieke
delict), seperti Pasal-pasa1164-165, 224, 478, 522, 531 KUHP.
2.
Delik omisi tidak murni (oneigenlijke omissie delict/delicta
cornmissionis per omissionem commissa), yaitu delik yang dapat terjadi,
apabila akibat yang dilarang disebabkan oleh tidak dilakukannya suatu perbuatan
yang diharuskan oleh undang-undang, Sebagi contohnya adalah :Pasal 194 KUHP -
seorang penjaga wisel kereta api yang tidak rnemindahkan wisel yang
bersangkutan, sehiugga mengakibatkan kecelakaan kereta apai.
c.
Delik berdiri sendiri (zelfstanding
delict) dan delik lanjutan (voortgezeue delict)
Delik
berdiri sendiri adalah delik yang hanya terdiri atas satu perbuatan tertentu,
misalnya Pasal 338 KUHP - suatu pembunuhan.
Delik
lanjutan adalah delik yang terdiri atas beberapa perbuatan yang masing-rnasing
berdiri sendiri-sendiri, tetapi antara perbuatan-perbuatan itu ada hubungan
yang erat, sehingga harus dianggap sebagai satu perbuatan lanjutan.
Misalnya
pembantu rumah tangga yang mencuri uang majikannya Rp. 10.000,00 yang terdiri
atas 10 lembaruang ribuan yang disimpan didalam lemari. Uang itu diambil
pembantu lembar pr lembar setiap hari, sehingga jumlah uang tersebut habis
diambilnya.ltu harus dipandang sebagai satu pencurian saja – Pasal 64 KUHP.
d.
Delik rampung (aflopend delict) dan
delik berlanjut (voortdurend delict)
Delik
rarnpung (aflopend delict) disebut pula delik sekilas (ogenblikkelijk delict)
adalah delik yang terdiri dari satu atau beberapa perbuatan tertentu yang
selesai dalam suatu waktu tertentu yang singkat. Misalnya: Pasal 362 pencurian,
delik ini selesai dengan dilakukannya perbuatan mengarnbil barang milik orang
lain, tanpa persetujuan pemilik barang itu.
Delik
berlanjut adalah delik yang terdiri atas satu atau beberapa perbuatan yang
melanjutkan suatu keadaan yang dilarang oleh undang-undang. Misalnya Pasa1 221
KUHP – menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan.
Pembagian
delik ini adalah penting antara lain untuk "daluwarsa" (verjaring).
Untuk delik rampung (aflopend delict) atau delik sekilas (ogenblikkelijk
delict) tanggal daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan,
sedangkan pada delik berlanjut (voortdurend delict) tenggang daluwarsa mulai
berlaku pada hari sesudah keadaan terlarang itu dihentikan.
e.
Delik tunggal (enkelvoudig delict) dan delik bersusun (samangesteld delict)
Delik tunggal adalah delik yang satu
kali perbuatan sudah cukup untuk dikenakan pidana, misalnya Pasal 480 KUHP
penadahan.
Delik bersusun adalah delik yang
harus beberapa kali dilakukan untuk dikenakan pidana. Misalnya delik kebiasaan
(gewoonte delicten): pasal 296 KUHP - menyebabkan atau memudahkan perbuatan
cabul antara orang lain sebagai pencarian atau kebiasaan.
Kebiasaan (gewoonte) adalah unsur
delik, dan adanya kebiasaan tersebut baru dapat ditentukan sesudah perbuatan
yang bersangkutan dilakukan beberapa kaliberturut-turut. Akan tetapi ada
kalanya kebiasaan itu bukan merupakan unsur delik melainkan merupakan
"alasan untuk memberatkan", misalnya Pasa1282 ayat (3) KUHP –
membantu melakukan perbuatan cabul yang dilakukan oleh anaknya yang belum
dewasa sebagai pencarian atau kebiasaan.
Delik
kebiasaan (gewoonte delict) itu harus
dibedakan dengan delik pencarian (beroops
delict).Dalam delik pencarian satu perbuatan sudah cukup untuk menentukan
adanya delik yang bersangkutan dan menentukan pi dana terhadap pembuatnya.Asal
saja dari satu perbuatan itu ternyata pembuat bermaksud untuk me-ngadakan suatu
pencarian tetap (beroops) yang semacam tersebut pada waktu kemudian.Misalnya
Pasal 324 KUHP - perdagangan budak.
f.
Delik sederhana (een vouding delict), delik dengan
pemberatan
(gekwalificeerd delict) dan delik
berprevilise (gepreviligieerd delict)
Delik sederhana adalah delik dasar
atau delik pokok (grond delict), misalnya Pasal 338 - pembunuhan.
Delik dengan pemberatan atau delik
berkualifikasi adalah delik yang mernpunyai unsur-unsur yang sarna dengan delik
dasar atau delik pokok, tetapi ditambah dengan unsur-unsur lain sehingga
ancaman pidananya lebih berat daripada delik dasar atau delik pokok. Misalnya
Pasal 339 KuHP - pernbunuhan berkualifikasi.
Delik
berprevilise adalah yang mempunyai unsur-unsur yang sama dengan delik dasar
atau delik pokok, tetapi ditambah dengan unsur-unsur lain, sehingga ancaman
pidanannya lebih ringan daripada delik dasar atau delik pokok. Misalnya Pasal
344 KUHP - pembunuhan atas permintaan si korban sendiri yang dinyatakan dengan
kesungguhan hati.
g.
Delik kesengajaan (doleus
delict) dan delik kealpaan iculpoos delict)
Delik kesengajaan adalah delik yang dilakukan dengan
sengaja, misalnya Pasal 351 KUHP – penganiayaan.
Delik kealpaan adalah delik yang dilakukan karena
kesalahnnya atau kealpaannya, misalnya Pasa1359 KUHP - karena kesalahannya
(kealpaannya) menyebabkan orang lain mati.
Pembagian delik-delik ini adalah penting untuk ajaran-ajaran
berikut ini.
1.
Penyertaan
(deelnerning). Pembantuan dalam delik
kesengajaan dapat dipidana, tetapi pembantuan dalam delik kealpaan tidak dapat
dipidana - Pasal56 junkto Pasal60 KUHP.
2.
Percobaan (poging). Percobaan dalam
delik kesengajaan dapat dipidana, tetapi percobaan dalam delik kealpaan tidak
dapat dipidana - Pasal 53 junkto Pasal54 KUHP.
Perkecualiannya terdapat dalam
Pasal4 UU No. 7/0rt 1955, pembantuan dan percobaan, baik dalam kejahatan maupun
dalam pelanggaran ekonomi dapat dipidana.
h.
Delik politik (politick delict) dan
delik umum (gemeen delict)
Delik politik adalah delik yang
ditujukan untuk keamanan negara dan kepala negara. Misalnya ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam Buku II Bab 1 - Bab 5, Pasal 104-181 KUHP, juga yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana diluar KUHP, seperti
ketentuan-ketentuan UU No. 11 Pnps tentang Subversi.
Delik politik dapat dibagi menjadi
tiga.
1.
Delik politik murni (zuivere politiek delict), yaitu delik
yang mempunyai tujuan politik dalam cara maupun kepentingan hukum yang
dilanggarnya. Misalnya Pasal-pasal: 104,106,107 KUHP - makar aatau Pasal208
KUHP - pemberontakan, dan lain-lain.
2.
Delik
politik campuran (gemengde politiek delict), yaitu delik yang mempunyai
tujuan politik, tetapi sekaligus menimbulkan delik umum. Misalnya mencuri
dokumen negara.
3.
Delik
politik koneksitas (connexe politiek delict), yaitu delik yang merupakan
delik umum tetapi ada hubungannya dengan delik politik. Misalnya menyembunyikan
senjata api.
Dalam
delik politik yang penting adalah hakekatnya dari deliknya, motif dari si
pelkunya tidak penting, meskipun misalnya de1ik politik itu dilakukan karena
mencari keuntungan.
Delik
umum adalah delik yang tidak ditujukan kepada kearnanan negara dan kepala
negara.Misalnya Pasal 362 KUHP - pencurian.
Perbedaan
atas delik-delik ini adalah penting dalam hubungannya dengan "perjanjian
ekstradisi atau penyerahan" (uitlevering tractaat), yaitu bahwa dalam
delik politik, si pelakunya biasanya tidak wajib diserahkan oleh negara, di tempat
si pelaku delik politik itu berada kepada negara yang menuntutnya, oleh karena
delik politik itu umumnya dianggap sebagai tidak bersifat jahat.
l.
Delik khusus (delicta a
propria) dan delik umum (delict communia)
Delik
khusus adalah delik yang dapat dilakukan orang tertentu saja, karena suatu
kualitas. Misalnya Bab XXVII Buku II, Pasal 413-437 KUHP - Kejahatan Jabatan,
junkto UU No. 3/1971 - Tindak Pi dana Korupsi, hanya dapat dilakukan
oleh pegawai negeri.
Delik
umum adalah delik yang dapat dilakukan oleh setiap orang.Misalnya pasal 338
KUHP - pembunuhan, Pasal 362 KUHP - pencurian, dan lain-lain.
Perbedaan
atas delik ini adalah penting untuk ajaran penyertaan (deelnerning), rnisalnya
mungkinkah seorang bukan pegawai negeri dapat dipertanggungjawabkan terhadap
delikjabatan bersama-sama dengan seorang pegawai negeri, karena mereka
bersama-sama telah melakukan delik tersebut.
J.
Delik aduan (klacht delict) dan
delik biasa (gewone delict)
Delik
aduan adalah delik yang hanya dapat dituntut, jika diadukan oleh orang yang
merasa dirugikan, Dalam ilmu hukum pidana delik aduan ini ada dua macam.
1. Delik aduan absolut (absolute
klacht delict) yaitu delik yang disebabkan oleh sifat kejahatannya, maka
delik ini hanya dapat dituntut apabila diadukan. Misalnya Pasal 248 KUHP -
perzinahan, Pasal 293 KUHP - erbuatan cabul, dan lain-lain.
2. Delik aduan relatif (relatieve
klacht delict), yaitu delik yang pada dasarnya merupakan delik biasa,
tetapidisebabkan oleh adanya hubungan keluarga yang dekat sekali antara si
korban dengan si pelakuatau si pembantu kejahatan itu, maka delik itu hanya
dapat di tuntut, jika diadukan oleh pihak si korban. Misalnya Pasal 367 ayat
(2) KUHP - pencurian dalam keluarga.
Delik
biasa adalah delik yang bukan delik aduan dan untuk menuntutnya tidak perlu
adanya pengaduan, yang termasuk delik biasa adalah delik-delik diluar
pasal-pasal delik aduan tersebutdiatas.Misalnya Pasal 281 KUHP - melanggar
kesusilaan, Psal 338 KUHP - pembunuhan, dan lain-lain.
Perbedaan
delik-delik diatas adalah penting sehubungan dengan penuntutan itu sendiri.
Selain daripada jenis-jenis delik
tersebut diatas, dalam ilmu hukum pidana dikenal pula jenis-jenis delik sebagai
berikut.
1. Delik-delik
yang memperkosa atau merusak kepentingan hukum (krenkingedelicten). Misalnya Pasal338
KUHP - pembunuhan, Pasal351 - penganiayaan, dan lain-lain.
2. Delik-delik
yang membahayakan kepentingan hukum (gevaarzettingsdelicten), yang dapat
dibedakan menjadi:
a.
Delik-delik yang dapat membahayakan
kepentingan hukum secara kongkrit (concrete gevaarzettingsdelicten). Bahaya
yang kongkrit itu dapat ditunjukkan dan dibuktikan lebih dahulu bahwa bahaya
itu benar-benar telah ada. Misalnya Pasal 187 KUHP - dengan sengaja menimbulkan
kebakaran, ledakan, atau banjir yang menimbulkan bahaya umum bagi barang, atau
menimbuLkan bahaya bagi nyawa orang lain.
b.
Delik-delik yang membahayakan
kepentingan hukum secara abstrak (abstracte gevaarzettingsdelictenr. Bahaya
secara abstrak ini tidak usah dibuktikan. Bahaya itu dianggap sudah ada, jika
ada seseornag yang melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
oleh undang-undang, misalnya Pasal 160 - penghasutan atau Pasal 242 - sumpah
palsu.
G. TEMPAT TINDAK PIDANA DAN WAKTU
TINDAK PIDANA
Ajaran temp at atau lokasi tindak pidana (locus delicti) dan waktu tindak pidana (tempus delicti) ini tidak ada
ketentuannya dalam undang-undang hukum pidana. Akan tetapi ajaran ini sangat
penting, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 121 KUHP bahwa: penyidik
dalam membuat aberita acara diantaranya harus menyebutkan "waktu dan
tempat tindak pidana dilakukan"; dan Pasal143 yat (2) huruf b KUHP bahwa:
penuntut umum dalam roembuata surat dakwaan diantaranya harus menyebutkan
"waktu dan tempat tindak pidana dilakukan". Hal ini menunjukkan
begitu pentingnya ajaran locus delicti dan tempus delicti itu.
Ajaran
locus delicti penting untuk menentukan:
1.
apakah
perundang-undangan hukum pidana Indonesia berlaku pada suatu tindak pi dana
atau tidak;
2.
kompetensi
relatif dari kejaksaan dan pengadilan, artinya kejaksaan dan bengadilan
berwenag menangani sesuatu tindak pidana.
Ajaran
tempus delicti penting diketahui sehubungan dengan berikut ini.
1.
Apakah
suatu perbuatan pada waktu itu telah dilarang dan diancam pidana?
2.
Apabila
terjadi perubahan dalam perundang-undangan.ketentuan rnanakah yang diterapkan,
yang abaru ataukah yang lama?
3.
Apakah
terdakwa pada wktu melakukan tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan atau
tidak?
4.
Apakah
terdakwa pada waktu melakukan tindak pidana sudah berumur 16 tahun atau belum?
5.
Batas
waktu mengajukan pengaduan. Dimulai sejak orang yang berhak mengadu mengetahui
adanya kejahatan.
6.
Batas
waktu menarik kembali pengaduan. Dalam waktu 3 bulan setelah pengaduan
dilakukan.
7.
Daluwarsa,
dimulai pada hari sesudah perbuatan dilakukan.
8.
Tertangkap tangan, tertangkap tang
an adalah tertangkapnya seseorang pada waktu sedang rnelakukan tindak pidana.
Dalam
hubungannya dengan delik komisi (commissie delict), locus delicti itu mempunyai
beberapa teori, yaitu berikut ini.
1.
Teori perbuatan material (leer van de lichamelijke daad)
Menurut teori ini yang menjadi temp at tindak pidana adalah
di tempat pembuat me1akukan tindak pidana.
2.
Teori alamat (leer van het instrument)
Menurut teori ini yang menjadi tempat tindak pidana adalah
di tempat mulai bekerjanya alat yang dipakai untuk melakukan tindak pidana.
3.
Teori akibat (leer van het gevolg)
Menurut teori ini yang menjadi tempat tindak pidana adalah
di tempat tindak pidana itu menimbulkan akibat.
4.
Teori beberapa tempat (leer van de meervoudige plaats)
Teori ini merupakan gabungan dari ketiga-tiganya atau dua
diantara teori tersebut diatas. Menurut teori ini temp at tindak pidana itu
adalah beberapa tempat
, apabila tindak pidana itu dilakukan, bekerjanya alat yang dipergunakan,
akibatnya di beberapa ternpat itu.
Dalam
rangka pembentukan KUHP Nasional yang akan datang dengan maksud untuk adanya
kepastian hukum, maka mengenai locus delicti dan tempus delicti tidak
diserahkan kepada doktrin melainkan ditentukan secara pasti dalam
ketentuan-ketentuan KUHP 199111992 yaitu, tempus delicti dalam Pasal 12
dan locus delicti dalam Pasal13.
Pasal 12
berbunyi: "waktu tindak pidan ditentukan pada saat pembuat melakukan
perbuatan yang dilarang atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya ia
lakukan.
Dalam
pasal ini an tara lain diterangkan bahwa waktu tindak pidana adalah waktu
ketika dilakukannya tindak pidana. Dalam konteks ini tidak dibedakan delik
dengan perumusan secara formal dan yang dirumuskan secara material.
Pasal 13
berbunyi: "tempat tindak pidana adalah temp at dimana pembuat melakukan
perbuatan yang dilarang, atau dalam hal pembuat tidak melakukan sesuatu adalah
tempat ia seharusnya melakukannya, atau temp at terjadinya akibat yang dimaksud
dalam perumusan peraturan perundang-undangan atau temp at yang menurut
perkiraan pembuat akan terjadi akibat itu".
Dalam penjelasan pasal ini
diterangkan antara lain bahwa yang dipakai untuk menentukan tindak pidana ialah
teori perbuatan material (leer van de lichamelijke daad) dan teori akibat
(leervan het gevalg). Mengenai tempat terjadinya akibat dibedakan antara:
1.
tempat dimana akibat itu
sungguh-sungguh terjadi; dan
2.
tempat dimana diperkirakan akibat
itu akan terjadi.
Bagi tindak pidana yang dalam pelaksanaannya mempergunakan
alat, maka temp at tindak pidana adalah dimana alat tersebut mulai bekerja.
KEGIATAN BELAJAR 4
Sifat
Melawan Hukum dan Ajaran Sebab-Akibat
A. PENGERTIAN SIFAT MELAWAN HUKUM
Menurut
Moeljatno'", dalam hukum pidana yang menjadi perhatian adalah
perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum saja, perbuatan-perbuatan
inilah yang dilarang dan diancam dengan pidana. Menurut Sofjan Sastrawidjaja,
dalam ilmu hukum pidana dikenal beberapa pengertian melawan hukum (waderrechtelijk).39
1.
Menurut
Simons, melawan hukum artinya "bertentangan dengan hukum", bukan saja
dengan hak orang lain (hukum subjektif, tetapi juga dengan hukum objektif),
seperti dengan hukum perdata atau hukum administrasi Negara.
2.
Menurut
Noyon, melawan hukum artinya "bertentangan dengan hak orang lain"
(hukum subjektif).
3.
Menurut
Hoge Raad dengan keputusan tanggal 18 Desember 1911 W 9263, melawan hukum
artinya "tanpa wewenang" atau "tanpa hak" (lihat Tresna,
1959:70 dan Utrecht, ] 958:283).
4.
Menurut
Vas, Moeljatno, dan Tim Pengkajian Bidang Hukum Pi dana BPHN atau BABINKUMNAS
dalam ranmcangan KUHPN bahwa melawan hukurn (Tim Pengkajian Bidang Hukum
memakai istilah "bertentangan dengan hukum") artinya
"bertentangan dengan apa yang dibenarkan oleh hukum atau anggapan
masyarakat", atau yang benar benar dirasakan oleh masyarakat sebagai
perbuatan yang tidak patut dilakukan.
Perkara yang diputuskan HR 18-12-1911 W 9236 tersebut adalah
mengenai: seorang yang dituntut dimuka pengadilan karen a disalahkan te1ah
menipu orang lain dengan mengguanakan berbagai tipu daya, agar orang lain mau
memberikan uang sumbangan yang dikatana untuk darma. Dilihat dari perkara ini
dihubungkan dengan keempat pendapat tentang pengertia melawan hukum
(waderrechtelijk) tersebut diatas maka:
1.
menurut pendapat Simons, orang dapat
meragu-ragukan, apakah perbuatan meminta uang sumbangan itu bertentangan dengan
hukum
2.
menurut pendapat Noyon, dalam
perkara ini tidak ada unsur melawan hukum, sebab tidak ada pertentangan dengan
hak orang lain. Orang-orang menyumbangkan uangnya itu dengan suka rela.
3.
Menurut pendapat Hoge Raad, yang
memutuskan perkara itu, terdakwa tidak berhak atas sumbangan itu, karena
terdakwa menerima uang sumbangan itu tanpa wenang atau tanpa hak
4.
Menurut Vos, Moeljatno, dan Tim
Pengkajian Bidang Hukum Pidana, perbuatan memungut uang sumbangan itu tidak
dibenarkan oleh hukum atau anggapan masyarakat, karena perbuatan itu
benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut
dilakukan(lihat Tresna, 1959:70-71 dan perhatikan pengertian perbuatan pidana
menurut Moeljatno, dan perhatikan pula Pasal 14 dan 15 rancangan KUHPN).40
B. PENDAPAT-PENDAPAT SIFAT MELAWAN HUKUM
Setiap perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
o1eh peraturan hukum pidana itu barus bersifat melawan hukum
(wederrechteijkheid). Ada dua pendapat mengenai sifat mela wan
hukum.
1.
Sifat
melawan Formal (formele wederrechteijkheidy. Menurut pendapat ini, yang
dimaksud dengan perbuatan bersifat melawan hukum adalah perbuatan yang memenuhi
rumusan undang-undang, kecuali jika diadakan pengecualian-pengecualian yang
telah ditentukan dalam undang-undang pula. Bagi pendapat ini melawan hukum
berarti me1awan undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang. Seperti daya
paksa ( pasal 48 KUHP) , bela paksa (pasal 49 ayat 1 KUHP), melaksanakan
ketentuan undang-undang (pasal 50 KUHP, penritah jabatan sah (pasal 51 ayat 1
KUHP).
2.
Sifat
melawan hukum rnateriil imateriele wederrechteijkheid). Menurut pendapat
ini, belum tentu perbuatan yang memenuhi rumusan undangundang iru bersifat melawan hukum.
Bagi pendapat ini yang dinamakan hukum
itu bukan hanya undang-undang (hukum yang tertulis), tetapi juga meliputi hukum yang tidak tertulus, yaitu kaidah-kaidah atau
kenyataan kenyataan yang berlaku di masyarakat. Menurut pendapat ini sifat
melawan hukum adalah unsur mutlak dari setiap tindak pidana, juga bagi tindak pidana
yang rumusannya tidak dinyakatan dengan tegas.
Menurut pendapat Nico Keijer ten tan sifat melawan hukum
(wederrechteijkheid) dalam ceramahnya pada pennataran nasional hukum pidana di
UNDIP sernarang tanggal 6-12 Agustus 1987 mengatakan bahwa dalam digmatik hukum
pidana istilah sifat melawan hukum itu mempunyai empat makna yang berbeda.
1.
Sifat Melawan Formal
Sifat melawan hukum formal ini berarti semua bagian dari
rumusan delik telah dipenuhi, yang terjadi karena melanggar ketentuan pidana
menurut undang-undang.Sifat melawan hukum formal ini bersumber pada asas
legislatif.
2.
Sifat Melawan Hukum Materiil
Sifat melawan hukum rnateriil berarti melanggar atau
membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat
undang-undang dalam rumusan delik tertentu.
3.
Sifat
Melawan Hukum Umum
Sifat
melawan hukum umum (sifat melawan hukum sebagai bagian luar undang-undang)
berarti bertentangan dengan hukum objektif.HaJ ini umumnya terjadi perbuatannya
bersifat melawan hukum formal dan tidak ada aJasan pembenar.
4.
Sifat
Melawan Hukum Khusus
Sifat
melawan hukum khusus (sifat melawan hukum sebagai bagian undang-undang)
mempunyai arti khusus dalam tiap-tiap rumusan delik di dalamnya itu sifat
melawan hukum menjadi bagian undang-undang dan dapat dinamakan suatu faset dari
sifat meJawan hukum umum. Ini ditafsirkan menurut konteks sosialnua, contoh:
Pasal 310 SR (362 KUHP - pencurian).
C. AJARAN
SEBAB-AKIBAT
Menurut
Schepper mengadakan perbedaan antara kelakuan yang negatif saja, dengan
kelakuan negatif yang juridis dapat dinamakan nalaten. Yang dimaksudkan ialah
kelakuan negatif yang melawan hukum.
Menurut
Simons, berpendapat sebagai berikut:
"Sudah baraang tentu
terjadinya akibat yang merupakan delik itu karena adanya suatu kelakuan atau
halikhwal diluar kelakuan negatif".
Menurut Mezger,
hubungan kausal mengenai kelakuan negatif adalah sebagi berikut:
"Bagaitnana
dopat timbul akibat: dari suatu kekosongon, oopat dijawab, bohwa dalom hukum
pidona kelokuan negati] itu tidok berati semotamota tidok berbuat (kekosongon), tetapi selolu berarti tidok
berbuat sesuatu yang tertentu (ke;n etnjacbes nicnts
tun sonder ein: tun). Karena itu kelakuan negatl] adaiah kausa! berhubungat:
dengon suatu okibat, apabila sesuatu yang tertentu itu dopot menghindorkon
timbulnyo okibat tersebut".
Untuk
mengatakan, bahwa ada hubungan kausal antara suatu kelakuan dan akibat yang
merupakan delik dipakai istilah "akibat langsung", yakni istilah yang
dipakai dalam praktek peradilan di Ned.-Indie.
D. TUJUAN AJARAN SEBAB - AKIBAT
Tujuan
ajaran sebab - akibat (causalitetitsleer) adalah":
1.
Untuk
menentukan hubungan antara sebab-akibat, yang berarti menentukan adanya atau
tidak adanya tindak pidana
2.
Untuk
menentukan pertanggungjawaban seseorang atas suatu akibat tertentu yang berupa
suatu tindak pidana
E.
AJARAN SEBAB - AKIBAT DALAM DELIK MATERIIL DAN DELIK FORMAL
Jika ajaran sebab-akibat ini dihubungkan dengan delik
maeteriil, maka ajaran ini selalu diperlukan, oleh karena jenis delik ini
mengandung suatu unsur di dalamnya yang berupa akibat tertentu yang
dilarang.selain daripada itu ajaran sebab-akibat juga diperlukan dalam
"delik yang dikualifikasikan oleh akibatnya" (door het gevolg
gequalificeerd), yaitu karena timbulnya akibat tertentu, maka ancaman pidana
terbadap delik tersebut diperberat.
Akan tetapi Vos berpendapat babwa adakalanya terhadap delik
formal atau delik yang dirumuskan secara formal tertentu diperlukan juga ajaran
sebab-akibat, yaitu apabila unsur perbuatan terpisah dengan akibatnya menurut
waktu, jadi akibat yang tertentu baru timbul kemudian setelah saat terjadi
perbuatan.
Sebagai contoh: mengenai pencurian gas dengan cara melubangi
pipa gas tetangga dengan bor. Lubanya sendiri terlalu keciL untuk mengeluarkan
gas, tetapi karena sesuatu hal gas dapat juga keluar.
Usulan Moeljatno
terhadap contoh di atas ialah bahwa meskipun tampak dirumuskan secara formal
merupakan unsur mengambi1, melainkan menyalurkan gas yang keluar dari lubang
tadi untuk kepentingan sendiri tanpa mernbayar.Jadi lebih tepat kalau
ditafsirkan kearah perumusan yang material. Juga disini apabila sudah mengebor
pipa, tetapi gas tidak keluar maka perbuatan ini bam bersifat percobaan
pencurian (Moeljatno 1978: 59-60)
F. TEORI-TEORI SEBAB - AKIBAT
1.
Teori Syarat Mutlak atau Kondisio Sine Kua
Non (Condition Sine Qua Non)
Teori ini
dikemukakan oleh Van Buri, yang berpendapat bahwa semua syarat untuk timbulnya
suatu akibat adaJah sama sebagai sebab yang tidak dapat dihilangkan dan harus
diberi nilai yang sama. Teori ini dinamakan kondisio sine kua non, oleh karena
semua syarat itu tidak dapat dihilangkan untuk timbulnya akibat. Teori Van Buri
ini dinamakan teori ekivalen tequivalentia theories, dan karen a tidak
ada perbedaan antara syarat (bedingung) dengan sebab, maka teori Van
Buri dinamakan juga teori syarat (bedingungsthcorie).
Teori kondisio sine kua non
menyatakan anrara syarat dengan sebab, seem-a teoritis memang benar, tetapi
tidak sesuai dengan praktek, karen a dalam pergaulan dimasyarakat justru
diadakan perbedaan antara syarat dengan sebab tadi, juga dapat dikatakan bahwa
apa yang dianggap sebab oleh teori kondisi sine kua non itu dalam praktek
terlalu luas, karena itu harus diadakan pembatasan denga mengadakan perbedaan
an tara mana yang menjadi sebab dengan mana yang hanya sebagai syarat. Dalam memcari
pembatasan an tara syarat dengan sebab ini ada dua golongan teori.
a.
Teori mengindividualisasikan (individualiserende theorie)
b.
Teori menggeneralisasikan (generalisererule theorie).
2.
Teori Mengindividualisasikan
Teori ini mengadakan pembatasan antara syarat dengan sebab
itu secara pandangan khusus (mengindividualisasikan), yaitu secara konkrit
mengenai perkara yang tertentu saja, dan karena itu mengambil pendiriannya pada
saat sesudah akibatnya timbul (post -
faktum).
Teori ini
kemudian menjadi berkembang, dan yang tennasuk dalam golongan ini, diantaranya
adalah berikut ini.
a.
Teori der meist wirksame
bedingung dari Birkmeyer
Menurut
teori ini bahwa syarat yang harus dianggap sebagai sebab atas terjadinya akibat
adalah der meist wirksame bedingung (syarat yang paling berpengaruh).
Teori ini dapat menimbulkan kesulitan dalam hal menetukan syarat mana yang
paling berpengaruh itu, apalagi jika syarat-syarat itu tidak sejenis, misalnya:
sebuah kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda. Sulit untuk menentukan kuda
manakah yang paling kuat dalam rnenarik kereta yang bergerak itu.
b.
Teori gleichgewicht atau
uebergewicht dari Karl Binding
Menurut
teori iui bahwa syarat yang harus dianggap sebagai sebab adalah syarat positif
(yang menjurus kearah timbulnya akibat) untuk melbihi syarat negative (yang
menahan timbulnya akibat).
c.
Teori die art des warden dad Kohler
Menurut
teori ini bahwa sebab adalah syarat yang rnenurut sifatnya (art) menimbulkan
akibat.Ajaran Kohler ini merupakan variasi dari ajaran Birkrneyer, yang bukanlah
mana yang kuantitatif paling berpengaruh, melainkan mana yang kualitatif
menurut sifatnya (art) penting untuk timbulnya akibat.
Ajaran
Kholer ini dapat menimbulkan kesulitan, apabila syarat-syarat itu hamper sama
nilainya. Misalnya: seseorang yang sangat peka terhadap suatu racun, lalu racun
itu dimakankan kepadanya dalam dosis tertentu yang secara normal tidak akan
mengakibatkan matinya orang. Apabila ia mati maka kepekaan itulah yang lebih
menentukan daripada racunnya.
d.
Teori letze bedingung dari Ortman
Menurut
teori ini bahwa sebab adalah syarat penghabisan yang menghilangkan keseimbangan
antara syarat positif dengan syarat negative, sehingga akhirnya syarat
positiflah yang menentukan. Teori ini dapat mengalami kesulitan, karen a
mungkin akan terjadi orang yang seharusnya dipidana, tetapi tidak dipidana.
e.
Teori menggeneralisasikan.
Teori ini
mengadakan pembatasan antara syarat dengan sebab itu secara pandangan umu
(menggeneralisasikani, yaitu secara abstrak, jadi tidak terikat pada perkara
tertentu saja, dan karena itu rnengambil pendiriannya pada syarat itu dicarilah
syarat yang pada umumnya menurut "perhitungan yang normal" dapat
diambil sebagai sebab yang menimbulkan akibat.
Teori ini
terdapat bebrapa penganut, yang rnengrnukakan teori yang berbeda-beda.Adapun
perbedaanny itu berpokok pangkal pad a pengertian dari istilaih
"perhitungan yang normal" tersebut. Teori - teori tersebut adalah
berikut ini.
1.
Adequate (keseimbangan) dari Von
kries. Teori ini berpendapat bahwa syarat yang barus dianggap sebagi sebab yang
menimbulkan akibat adalah syarat yang menurut " perhitungan" yang
normal seimbang dengan akibat itu.
2.
Teori objective-nachtraglicher
prognose / teori keseimbangan yang objek objektif dari Rumelin
3.
Teori
Simons. Teori ini merupakan kompromis dar! ajaran Von Kries danajaran Rumelin,
menurut Simons, untuk menentukan syarat sebagai sebab yang menimbulkan akibat
haruslah memperhitungkan:
a.
keadaan
yang tidak diketahui oleh si pembuat sendiri;
b.
keadaan
yang diketabui oleb orang sebanyak, rneskipun tidak diketahui si pembuat
sendiri.
f.
Teori adequate dari Traeger
Menutut teori ini babwa sebab itu haws dicari dari
syarat-syarat, manakah yang seimbang dengan akibat yang timbul.
g.
Teori Relevantie dari Mezger
Menurut
teori ini bahwa dalam menentukan hubungan sebab-akibat tidak mengadakan
perbedaan antara syarat dengan sebab, melainkan dimulai dengan menafsirkan
rumusan tindak pi dana yang memuat akibat yang dilarang itu dicoba menemukan
perbuata manakah kiranya yang dimaksud pada waktu undang-undang itu buat. Jadi
pemilihan dari syarat-syarat yang relevan itu berdasarkan kepada apa yang
dirumuksn dalam undang-undang.
h.
Teori perdata
Teori ini
berdasarkan pasal 1247 dan 1248 KUHP perdata CBW), yang menyatakan bahwa
"pertanggungjawaban" hanya ada, apabila akibat yang timbul itu
mempunyai akibat yang langsung dan rapat sekali dengan perbuatan-perbuatan yang
terdahulu atau dapata dibayangkan 1ebih dahulu. Teori ini boleh dikatakan sarna
dengan teori adequate dari Von Kries. Beberapa sarjana berpendapat bahwa
teori perdata ini dapat juga digunakan dalam hukum pidana.
G.
AJARAN SEBAB-AKIBAT
DALAM DELIK OMISI
Dalam
delik Omisi murni (eigeniijke omissie delict) tidak dperlukan ajaran
sebab-akibat, oleh karena jenis delik ini terjadi Karen tidak melakukan sesuatu
yang diharuskan oleh undang-undang. Jadi apabila keharusan itu tidak
dijalankan, terang hal ini diancam dengan pidana, dengan tidak usaha memperhatikan ada atau tidak adanya akibat,
seperti: seorang yang tidak melaksanakan keharusan sebagai saksi - Pasal 224
dan 522 KUHP, sudah rnemenuhi unsur-unsur
tindak pidana tersebut, dengan tidak usab memperbatikan lahi akibatnya.
Akan
tetapi dalam delik omisi tak murni (oneigenlijke omissie delict/delicta
commisiones per omissionem commissa) diperlukan ajaran sebab-akibat, oleh
karena delik ini terjadi apabila ada akibat yang dilarang dan diancam dengan
pidana oleh undang-undang,
Hubungan sebab-akibat dalam perbuatan pasif (tidak
berbuat) terdapat teori, yaitu sebagai berikut.
1.
Teori
terbuat lain (theorie van het anders doen) dari Luden, menu rut teori
ini bahwa yang harus dianggap sebagai dari suatu akibat ialah bukan perbuatan
yang pasif (tidak berbuat), melainkan suatu perbuatan positiflai yang dilakukan
orang pada saat seharusnya ia berbyat yang diharuskan.
2.
Teori
perbuatan yang menduhului akibat (theorie van het voorafgande doen) dari
Krug. Teori ini juga mencari mencari penyelesaianya dalam mengkonstruksikan
suatu perbuatan positif bahwa yang harus dianggap sebab dari suatu akibat
adalah perbuatan yang mendahului akibat yang timbul.Yaitu perbuatan penerimaan
pengangkatan atau tugas pekerjaan. Misalnya: seorang penjaga wisel keretaapi
tidak memindahkan wisel tersebut, sehingga terjadi kecelakaan api. Menurut
teori ini, yang menjadi sebab dari kecelakaan kereta api itu bukan ia tidak
memindahkan wisel kkereta api itu, melainkan karena penerimaan
pengangkatanltugas pekerjaan sebagai penjaga wisel kereta api sebelumnya.
3.
Teori
interferen: dari Von Buri. Menurut teori ini bahwa hubungan sebab-akibat
dalam tidak berbuat itu pada pokoknya syaty perbuatan positif, hanya
positivitasnya tidak kelihatan, sebab aktivitas perbuatannya berada dalam
psykis.
4.
Teori
sebab-akibat dari tidak berbuat tcausatiteit vacausaliteit van het niet
doen) dari Van Hamel. Menurut teori ini bahwa seseorang yang tidak berbuat
dapat dianggap sebagai sebab dad suatau akibat, apabila ia mempunyai kewajiban
hukum untuk berbuat. Terhadap istilah kewajiban hukum itu terdapat dua macam
penafsiran.
a.
Penafsiran sempit, yang menafsirkan
bahwa kewajiban hukum itu tirnbul dari pekerjaan atau jabatan seorang dan
hukum.
b.
Penafsiran luas, yang menafsirkan
bahwa kewajiban hukum itu timbul selain daripada pekerjaan atau jabatann
seseorang dan hukum, tetapi juga dari kepatutan masyarakat, yaitu apa yang
menurut pendapat umum patut atau wajib untuk berbuat. Ajaran luai ini
dihubungkan dengan Arrest Hoge Raad tang gal 31 Januari 1919 tentang
"perbuatan yang bertentangan dengan hukum (onrechtmatige daad) , yang
diatur dala pasal 1365 KUHP perdata. Dalam Arrest tersebut onrechtmatige daad
ditafsirkan sebagai:
1.
melanggar hak subjektif orang lain
menurut undang-undang;
2.
melakukan sesuatau yang bertentangan
dengan kewajiban hukum pelaku sndiri menurut undang-undang;
3.
melakukan sesuatu yang bertentangan
dengan kesusilaan;
4.
melakukan sesuatu yang bertentangan
dengan kepatutan dalam masyarakat.
H. BATASAN PENGHUKUMAN
Menurut Sudjono D, ada dua faham
penting mengenai konsep penghukuman sebagai alat adalah peradilan'":
1. Hukuman dijatuhkan oleh grup
terhadap orang yang dipandang sebagai anggota-anggota dari groupitu. Perang
bukanlah penghukuman karena aksi ditujukan kepada orang asing. Kerugian
daripada status yang sering mengikuti kejahatan bukanlah penghukuman, kecuali
sebegitu jauh hal itu dinyatakan sebagai tindakan penghukuman.
2. Penghukuman dengan cara
rnenyakiti dan membuat penderitaan yang dihasilkan oleh perencanaan dan
penuntutan yang semestinya didapat oleh penderita. Apabila rasa sakit atau
penderitaan itu hanya secara kebetulan yang dapat dihindari maka hal itu
bukanlah merupakan penghukuman. Operasi pembedahan terhadap terhukum untuk
memperbaiki kesehatan badannya bukanlah penghukuman, oleh karena rasa sakit itu
tidak berarti dan tidak diinginkan. Pembatasan terhadap penderita gangguan ji
wa bisa menyebabkan penderitaan baginya, tetapi tidak sebagai hukuman. Banyak
cara-cara untuk menghadapi penjahat, kshusunya prosedur pengadilan bilamana
terlibat dalam suatu kesukaran, kiranya lebih disukai untuk rnembatasi konsep
penghukuman dengan konsep pengenaan siksaan dengan memperhatikan manfaatnya.
lnilah konsepsionil yang digunakan dalam perundang-undangan kriminil pidana.
I.
REAKSI PENGHUKUMAN TERHADAP PELANGGARAN UNDANG-UNDANG
Banyak penulis mempertahankan pendapat bahwa penghukuman
adalah sauatu bentuk pernyataan dari instinct manusia untuk mengadakan
pembalasan, atau keinginan untuk mengadakan pembalasan dengan proses yang
berlainan. Tidak diragukan lagi beberapa macam kejahatan perbuatan yang
dianggap sebagai suatu kesalahan akan mengakibatkan terganggunya keseimbangan
dalam kehidupan masyarakat dan kepentingan perseorangan yang menjadi dari
masyarakat itu.
Lagi pula
tindakan penghukuman hanyalah salah satu cara untuk menindak pelanggaran
perundang-undangan atau tidak merupakan alasan utama dalam tindakan penghukuman
dalam masyarakat yang sederhana. Ada tiga bentuk kesalahan meliputi perbuatan
yang diikuti oleh tiga bentuk tindakan yang tidak satupun dari
tindakan-tindakan itu berbentuk penghukuman yang dapat diketemukan dalam
masyarakat yang sederhana.
Pertama,
bentuk
pelanggaran terhadap peraturan-peraturan suku atu pelanggaran pengujian satu
suku seperti halnya penghianatan, sihir, mencemarkan tempat suci atau
peracunan. Mulai pelanggaran demikian sering terjadi pada lingkungan masyarakat
yang kecil dan homo gen. Tindakan masyarakat itu terhadap pelanggar adalah
berupa pembasrnian. Masyarakat boleh jadi menindak pelanggar itu dengan
mencoretnya dari keanggotaan suku dengan mengasingkan atau mernbunuhnya.
Kedua,
berupa
tindakan untuk memperbaiki tindakan pelanggar untuk meroperbaiki masyarakat itu
sebegitu jauh apa yang telah dilakukan mengenai tindakan pembasmian yang dekat
hubungannya dengan peperangan, pembersihan masyarakat dengan penhujian.
Pelanggar itu dipandang sebagai musuh dan diperlakukan sebagai musuh. Ia juga
dianggap telah menjadi ternoda dan masyarakat suku berusaha untuk
membebaskannya dari kotoran tersebut dengan segala hal yang berhubungan dengan
orang itu sepanjang mengenai kebersihan dari noda. Maka dibanyak masyarakat
peristiwa sihir selalu diikuti dengan pernbunuhan dan tubuh penyihir tersebut
dilemparka ke laut, dengan pengharapan menjadi satu cara perbaikan atau dengak
cara dikuburkan di tempat yang terasing. Namanya tabu untuk disebut-sebut takut
kalau-kalau membawa sial dengan menyebutkannya. Atau tindakan terhadap
pelanggaran ini merupakan suatu tindakan yang dimaksudkan untuk memenuhi
keridlaan Tuhan.Namun bentuk kedua ini sangat merugikan orang yang tidak
sesuku, tidak serumpun, yang bersalah ini dianggap sebagai penyerang, pembunuh
atau penucuri.
Ketiga,
tindakan
yang merugikan orang lain sesama anggota keluaraga atau sesuku. Bentuk-bentuk
kesalahan ini tidak dianggap sebagai kejahatan juga tidak diadakan tindakan
penghukuman dalam arti kata penghukuman sekarang. Dalam lingkunan keluarga
seperti umumnya pada suatu suku mengukur dengan tindakan tidak senonoh adalah
cara yang cukup kuat dan pasti untuk menjaga keamanan dan pengawasan dari
penduduk Andaman. Dikalangan mereka tidak terdapat bentuk penghukuman terhadap
kejahatan oleh masyarakat.Apabila seseorang merugikan orang lain, terserah
kepada yang dirugikan untuk mengadakan pembalasan bila ia menhendakinya dan
berani mengadapi atau menanggung resikonya.
Persamaan dengan
hal-hal yang terjadi pada masyarakat sekarang yang sederhana belum tahu baca
tulis, yang terasung dari peradaban modem seperti pada masyaraktat prirnitif,
penghukuman terhadap anak-anak jarang terjadi. Hal ini ada persamaannya dengan
masyarakat sekarang. Para pedagang dimana pun juga berpendapat tentang sifat
daripada anak-anak sangat suka dimanjakan. Sifat-sifat ini sangat kelihatan
pada bangsa Eskimo atau orang Feugians di Amerika Selatan. Bilamana dapat
bukti-bukti orang tua hampir belurn pernah rnenghukurn atau rnenyakiti
anakanya, tetapi sianak perlu mendapat tekanan dengan latihan. Cara rnenghukurn
anak-anak rnereka lakukan seperti halnya di masyarakat yang rnaju tetapi dengan
cara mereka sendiri.
Singkatnya
prinsip yang sarna dibutuhkan untuk mengawasi anak-anak, sarna seperti orang
dewasa, ialah dengan celaan atau sindirian. Kenyataannya cara-cara pengawasan
dalam masyarakat dahulu telah dijalankan dengan kecarnanOkecarnan ringan dan
ejekan sebagai pengganti demi rnenghukurn dan penggunaan kekerasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar