Sabtu, 14 September 2019

Sistem Hukum Indonesia. Modul 2


MODUL 2
Hukum Adat di Indonesia
Dr. H. Nandang Alamsah Deliarnoor, S.H., M.Hum

P E N D A H U L U A N
Latar belakang mempelajari hukum adat adalah untuk penyelidikan dan pengajaran. Berdasarkan fakta sejarah para ahli hukum adat begitu sayang terhadap hukum adat terutama di Universitas Leiden Belanda, sehingga ada usaha untuk mengkonservasikannya yaitu menjauhkan atau menyembukannya dari modernisasi supaya tetap dapat terjaga keasliannya.
Pada mulanya fungsi hukum adat adalah
1.      Ilmu untuk ilmu
Hal ini dimaksudkan bahwa hukum adat khusus dipelajari untuk penelitian dan pengajaran untuk akademis dan universitas
2.      Ilmu untuk masyarakat
Ilmu hukum adat sebagai salah satuilmusangat diperlukan untuk pembangunan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu harus ditunjukkan kearah pencarian dan penemuan unsur-unsur kepribadiannya dalam adat istiadat dan hukum adat sehingga dan dinilai dapat diturut sertakan, diintegtasikan ke dalam dan disinkronisasikan dengan pembangunan tata tertib hukum Indonesia yang nasional. Hal ini menjadikan ilmu hukum adat dikemudian hari bersifat lebih tepat guna dan nasional. Sifat tepat guna dan nasional ini dapat dipandang dari dua sudut, yaitu :
a.      Sudut pembinaan hukum nasional
Ada sumbangan dari hukum adat dalam memenuhi ketertiban hukum yang mencerminkan kepribadian bangsa. Menurut Prof. Iman, Sudiyat. S.H bahwa dilihat dari sudut pembinaan hukum nasional, peranan hukum adat dapat memenuhi suatu tuntutan naluri kebangsaan sesuai dengan falsafah Pancasila.
b.    Sudut mengembalikan dan metnupuk keprihadian bangsa Indonesia.
3.      Pelajaran hukum adat dapat mempertebal rasa harga diri, kebangsaan rasa dan kebanggaan pada setiap orang Indonesia. Menurut teori Hertz, bahwa ciri nasionalisme ada 4, yaitu:
a.      persatuan
b.      kemerdekaan
c.       keaslian
d.      harga diri
Dalam hal keaslian dan harga diri bangsa Indonesia masih belum memilikinya karena masih belum mempunyai hukum nasional dan memakai hukum Belanda. Hal ini mengandung arti bahwa kita masih dijajah masih secara hukum.
Oleh karena itu dalam modul 2 ini akan dijelaskan berturut-turut:
1.    Pengertian hukum adat
2.    Dasar hukum berlakunya hukum adat:
3.    Persekutuan Hukum Adat dan Lingkaran Hukum Adat:
4.    Beberapa Bagian Hukum Adat Indonesia;
5.    Hukum Adat dalam Sistem Hukum Nasional.


































KEGIATAN BELAJAR 1
Pengertian Hukum Adat

A.    PENGERTIAN HUKUM ADAT
Hukum Adat berasal dari istilah "Adat-Recht" yang mula-mula dikemukakan oleh Snouck Hurgronje dalam bukunya "De Atjehers" yang berarti orang Aceh, yang ditujukan untuk menjelaskan hukum yang hidup di masyarakat Acch
Sebelum Snouck Hurgronje mengungkapkan istilah hukum adat. orang-orang Belanda mengistilahkan hukum adat itu dengan "Godsdienstige Wetten" yang artinya perundang-undangan agama. Hal ini bisa dilihat dari peraturan perundang-undangan Belanda dahulu seperti berikut ini.
1.      AB (Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia), yaitu ketentuan-ketentuan umum bagi perundang-undangan Indonesia.
2.      RR (Regerings Reglement).
3.      IS (Indische Staatsregeling)
Timbulnya istilah Godienstige Wetten dalam perundang-undangan Belanda adalah akibat adanya teori "Receptio in Complexu" (penerimaan dalam keseluruhan) yang dikemukakan oleh Van Den Berg dan Salmon Keyzer. Menurut teori itu hukum adat suatu masyarakat tertentu merupakan penerimaan secara keseluruhan/bulat-bulat dari agama yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan.

Contoh:   Masyarakat tersebut menganut Agama Islam, maka hukum adatnya juga adalah hukum Islam.

Teori ini dibantah oleh Snouck Hurgronje dan Van Vollenhoven, yang mengatakan bahwa tidak scluruhnya hukum agama dari masyarakat diterima secara bulat-bulat menjadi hukum adatnya.

Contoh:  Di Minangkabau yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam, tetapi ada perbedaan antara hukum Islam dan hukum adatnya seperti halnya dalam warisan. Menurut hukum Islam anak perempuan mendapat ½ bagian dari anak laki-laki. Tetapi, menurut hukum adat Minangkabau justru anak perempuanlah yang mendapat warisan seluruhnya, sedangkan anak laki-laki sama sekali tidak mendapat ара-ара.

Van Vollenhoven melihat alur sejarah adanya kompromi masuknya agama Islam dengan adat setempat di Indonesia. Di sini masalah peribadatan diatur oleh agama sedang masalah pemerintahan diatur oleh adat. Sehingga, Van Vollenhoven mengambil suatu kesimpulan bahwa hukum adat itu mengandung 2 unsur yaitu unsure :
1. Agama
2. Asli
Beberapa pengertian hukum adat diberikan oleh para sarjana hukum berikut ini
1. Prof. Mr. C. Van Vollenhoven
Dalam bukunya "Het Adatrecht van Nederland Indie", van Vollenlhoven memberi pengertian hukum adat sebagai keseluruhan aturan tingkah laku  positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (oleh karena itu disebut hukum) dan di lain pihak belum dikodifikasikan.

2. Prof. Mr, B. Terhaar Bzn
Terhaar yang terkenal dengan teori “Besstisingerleer" (teori keputusan), mengatakan bahwa hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para fungsionaris hukum yaitu orang-orang yang mempunyai andil dalam membentuk hukum (eksekutif, legislatif dan yudikatif) yang mempunyai wibawa (mach/authority) serta pengaruh dan berlaku secara serta merta/spontan dalarm masyarakat.

3.  Prof. Dr. Supomo, S.H.
Menurut Supomo. hukum adat adalah sinonim dari hukum yang tidak tertulis dalam peraturan legislatif (unstaturor law), hidup sebagai konvensi, putusan-putusan hakim (judge made law) dan merupakan peraturan-peraturan kebiasaan yang dianut oleh masyarakat (customary law).

4.  Prof. Dr. Hazairin, S.H.
Hazairin di dalam pidato inaugurasinya yang berjudul: "Kesusilaan dan Hukum", menghubungkan hukum adat dengan kesusilaan dan mengatakan bahwa tidak ada satu pun dari sistem hukum yang tidak ada hubungannya dengan kesusilaan sebab apapun yang menurut hukum diperintahkan/dilarang itu juga dianjurkan/dilarang oleh kesusilaan. Masih menurut Hazairin bahwa hukum yang baik itu adalah hukum yang selaras dengan kesusilaan.
Baik langsung/tidak langsung seluruh kaidah hukum ada hubungannya dengan kesusilaan, apalagi hukum adat atau adat yang ada hubungannya dengan kesusilaan secara langsung. Dengan demikian Hazairin mendefinisikan Hukum Adat sebagai suatu endapan atau renapan dari kesusilaan. Kaidah adat itu merupakan kaidah kesusilaan yang telah diakui kebenarannya oleh masyarakat umum.

5.  Dr. Sukanto, S.H.
Dalam bukunya "meninjau Hukum Adat Indonesia", Sukanto mengatakan bahwa Hukum Adat adalah kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi, jadi mempunyai akibat hukum.

6. Prof. Kusumadi Pudjosewodjo, S.H.
Kusumadi membedakan adat dan hukum adat, yaitu: Adat adalah tingkah laku yang oleh dan dalam suatu masyarakat sudah, sedang dan akan diundangkan.
Hukum Adat adalah adat yang dihukumkan melalui suatu peristiwa yang disebut "existential moment" atau saat lahirnya hukum.
Suatu adat dijadikan hukum itu tergantung keputusan penguasa adat, apakah akan dijadikan hukum atau kebiasaan. Tetapi hukum adat itu tidak selalu harus menjadi adat dulu, sebab apabila suatu tingkah laku/kebiasaan masyarakat akan dijadikan hukum adat, maka oleh penguasa adat tingkah laku/kebiasaan langsung dijadikan hukum adat yaitu melalui peristiwa existential moment.

7.    Hasil Seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional Tahun 1975
Hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan perundang-undangan Republik Indonesia yang di sana sini ada unsur agama.

B. HUKUM KEBIASAAN
Hukum kebiasaan tersebut seluruhnya tidak tertulis karena hukum kebiasaan yang tertulis disebut hukum undang-undang. Hukum kebiasaan ini merupakan resepsi hukum asing ke dalam hukum asli menjadi hukum asli Indonesia. Hal-hal yang diatur dalam hukum kebiasaan juga tidak banyak, di antaranya adalah tentang sewa-beli dan penyerahan hak milik dengan kepercayaan (fiducia atau komisi). Cara ini digunakan untuk mengikat (jaminan) benda yang bergerak (fiduciare eigendoms overdracht).
Sistem hukum adat dan hukum kebiasaan mempunyai konsep yang berlainan. Perbedaan antara keduanya dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu:
1.   Dari segi bentuk
a. Hukum adat: sebagian besar tidak tertulis dan ada sebagian kecil yang tertulis
b. Hukum kebiasaan: tidak tertulis.

2.   Dari segi asal usul
a. Hukum adat: merupakan hukum asli Indonesia yang berasal dari tradisi dan agama nenek moyang Indonesia sepanjang sejarah yang diwariskan kepada generasi-generasi berikutnya.
b. Hukum kebiasaan: merupakan hukum asli Indonesia yang diresepsi dari bukum asing dan menjadi hukum Indonesia asli.

C. SIFAT HUKUM ADAT INDONESIA
Pada intinya bahwa dalam masyarakat terdapat sifat umum masyarakat adat seperti yang dikemukakan oleh F.D Holman, seorang Guru Besar UI, yang mengatakan bahwa masyarakat Indonesia mempunyai 4 sifat umum yaitu :
1.      Religio Magis.
2.      Communal,
3.      Kontan
4.      Konkrit

1.  Religio Magis
Menurut Iman Sudiyat religio magis adalah pembulatan atau perpaduan kata yang mengandung unsure prelogika, animisme, pantangan. ilmu gaib dan sebagainya.
beberapa sifat atau cara berfikir seperti

2. Communal
Communal yaitu lebih mementingkan kepentingan umum dari kepentingan pribadi.

3. Kontan
Kontan yaitu adanya prestasi dan kontra prestasi berlainan dilakukan sekaligus atau bersamaan.

4. Konkrit
Konkrit yaitu transaksi dalam hukum adat harus disaksikan oleh kepala adat
Contohnya: panjer, misalnya untuk benda diberi tanda-tanda dan sebagainya.

R A N G K U M A N
Pengertian hukum adat keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (oleh karena itu disebut hukum) dan di lain pihak belum dikodifikasikan. Sementara itu menurut Hazairin, kaidah adat itu merupakan kaidah kesusilaan yang telah diakui kebenarannya oleh masyarakat umum. Sejalan dengan pernyataan Van Vollenhoven dan Hazairin, Sukanto mengatakan bahwa Hukum Adat adalah kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi. jadi mempunyai akibat hukum.
Sementara itu proses dari terbentuknya suatu hukum adat dikemukakan oleh Prof. Kusumadi Pudjosewodjo, S.H yang dimana suatu adat dijadikan hukum itu tergantung keputusan penguasa adat, apakah akan dijadikan hukum atau kebiasaan. Tetapi hukum adat itu tidak selalu harus menjadi adat dulu, sebab apabila suatu tingkah laku/kebiasaan masyarakat akan dijadikan hukum adat, maka oleh penguasa adat tingkah laku/kebiasaan tersebut akan langsung dijadikan hukum adat yaitu melalui peristiwa existential moment. Selain itu, menurut FD Holman, seorang Guru Besar UI yang mengatakan bahwa masyaakat Indonesia mempunyai 4 sifat umum yang dimana keempat sifat tersebut juga dapat diartikan sebagai sifat dari hukum adat yang berlaku di Indonesia, yaitu
1.      Religio Magis
2.      Communal,
3.      Kontan.
4.      Konkrit.

































KEGIATAN BELAJAR 2
Dasar Hukum Berlakunya Hukum Adat

A.    SEJARAH POLITIK HUKUM ADAT

Hukum adat menjadi masalah politik hukum pada saat pemerintah Hindia-Belanda akan memberlakukan Hukum Eropa atau hukum yang berlaku di Belanda menjadi hukum positif Hindia-Belanda (Indonesia) melalui asas konkordansi.
Mengenai hukum adat timbullah masalah bagi pemerintah kolonial, sampai di mana hukum ini dapat digunakan bagi tujuan-tujuan Belanda serta kepentingan-kepentingan ekonominya, dan sampai di mana hukum adat itu dapat dimasukkan dalam rangka politik Belanda Kepentingan atau kehendak bangsa Indonesia tidak masuk perhitungan pemerintah Kolonial.
Apabila diikuti secara kronologis usaha-usaha baik pemerintah Belanda di negerinya sendiri maupun pemerintah kolonial yang ada di Indonesia ini, maka secara ringkas undang-undang yang bertujuan menetapkan nasib ataupun kedudukan hukum adat seterusnya di dalam system perundang-undangan di Indonesia, adalah sebagai berikut :
1.    Mr. Wicher, Presiden Mahkamah Agung, ditugaskan Untuk menyelidiki apakah hukum adat privat itu tidak dapat diganti dengan hukum kodifikasi Barat. Rencana Kodifikasi Wichers gagal.
2.    Sikar tahun 1870, van der Putte, Menteri Jajahan Belanda, mengususlkan penggunaan hukum tanah Eropa bagi Penduduk desa di Indonesia untuk kepentingan agrarian pengusaha Belanda. Usaha inipun gagal.
3.    Pada tahun 1900, Cremer, Menteri Jajahan, menghendekaki Kodifikasi local untuk sebagian hukum adat dengan mendahulukan daerah-daerah yang penduduknya telah memeluk agama Kristen. Usaha ini belum terlaksana.
4.    Kabinet Kuyper pada tahun 1904 mengusulkan suatu rencana undang-undang untuk menggantikan hukum adat dengan Hukum Eropa. Pemerintah Belanda menghendaki supaya seluruh penduduk asli tunduk pada unifikasi hukum secara Barat. Usaha ini gagal, sebab Parlemen Belanda menerima suatu amandemen yakni  amandemen Van Idsinga.
5.    Pada tahun 1914 Pemerintah Belanda dengan tidak menghiraukan amandemen Idsinga, mengumumkan rencana KUH Perdata bagi seluruh golongan penduduk di Indonesia. Ditentang oleh Van Vollenhoven dan usaha ini gagal.
6.    Pada tahun 1923 Mr. Cowan. Direktur Departemen Justitie di Jakarta membuat rencana baru KUH Perdata dalam tahun 1920, yang diumumkan Pemerintah Belanda sebagai rencana unifikasi dalam tahun 1923. Usaha ini gagal karena kritikan Van Vollenhoven. Pengganti Cowan, yaitu Mr. Rutgers memberitahu bahwa meneruskan pelaksanaan kitab undang- undang kesatuan itu tidak mungkin.
Dan dalam tahun 1927 Pemerintah Hindia Belanda mengubah haluannya,  menolak penyatuan hukum (unifikasi) Sejak 1927 itu Politik Pemerintah Hindia-Belanda terhadap adat mulai berganti haluan, yaitu dari unifikasi" ke"kodifikasi".
Selanjutnya pemberlakuan hukum di Indonesia, baik hukum adat maupun hukum-hukum lainnya didasarkan pada penggolongan penduduk di Indonesia yang dibuat oleh Belanda berdasarkan pasal 161 Indische Staatsregeling (IS) yaitu :

Penduduk Indinesia

1. Golongan Eropa

a. Belanda
b. Bangsa Eropa lainnya
c. Orang jepang
d. Orang-orang hasil perkawinan dengan orang Belanda

e. Anak-anak yang lahir


2. Golongan Timur

a. Cina/ Tionghoa
b. Gujarat/ Arab/ Pelistina

3. Golongan Bumi Putera
Gambar 2. 1
gambaran Penduduk Indonesia berdasarkan Pasal 161 IS

1.      Golongan Eropa, meliputi :
a.        orang Belanda
b.        bangsa Eropa lainnya
c.         orang Jepang
d.        orang-orang yang negara asalnya mempunyai hukum keluarga yang sama dengan hukum Belanda
e.         anak anak dari No. 1, 2. 3, dan 4 di atas

2.      Golongan Timur Asing, meliputi:
a.      Cina/Tionghoa
b.      Gujarat/Arab/Palestina

3.      Golongan Bumi Putera
Sesuai dengan penggolongan penduduk di atas maka pemberlakuan hukumnya diatur dalam pasal 131 IS yang menyatakan bahwa untuk orang Eropa berlaku hukum Eropa dengan asas konkordansi (asas kesesuaian), apa yang menjadi hukum positif di Belanda ditetapkan pula di Hindia Belanda tanpa ada perubahan sehingga dengad asas konkordansi ini berlakulah:
a. BW
b. W. Sraft Recht (Hukum Pidana).
c. W.U Koefhandel (Hukum Dagamg)
Golongan Timur Asing boleh tunduk pada hukum Eropa dan pada hukum mercka sendiri. Sedangkan untuk golongan Bumi Putera tunduk pada hukum adat mereka sendiri.
Berdasarkan pasal 131 (2b) IS yang masih berlaku melalui pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, maka bagi orang-orang Indonesia asli berlaku hukum perdata adat yang sinonim dengan hukum yang tidak tertulis. Jadi berdasarkan peraturan hukum tersebut maka hukum adat berlaku bagi bangsa Indonesia asli yang menurut Undang-undang disebut orang Bumi Putera.
Hukum adat ini selain berlaku bagi orang-orang Bumi Putera/orang Indonesia asli, juga berlaku bagi orang-orang Indonesia keturunan asing yang meleburkan dirinya (melakukan asimilasi) ke dalam kehidupan bangsa Indonesia asli, artinya bahwa mereka telah meleburkan diri atau menyesuaikan diri dengan cara pikir dan tingkah laku bangsa Indonesia asli.
Terdapat dua pandangan yang berbeda mengenai hukum adat yang berlaku di Indonesia. Van den Berg dan Salmon Keyzer mengemukakan konsep receptio in complexu yakni bahwa hukum adat adalah resepsi dari hukum agama secara bulat. Artinya. pandangan ini menganggap bahwa hukum adat sama dengan hukum agama. Pandangan ini ditentang oleh Snouck Hurgronje dalam bukunya "The Ajeher's yang berpendapat bahwa hukum adat (adatrecht) berbeda dengan hukum agama (godienstige wetten perundangan agama) sebab hukum adat tidak melulu berasal dari resepsi hukum agama. Pandangan ini sejalan dengan yang dikemukakan Van Vollenhoven, bahwa hukum adat juga berasal dari unsur asli ditambah dengan unsur agama. Misalnya hukum adat di Minangkabau yang mencampurkan hukum Islam dengan hukum daerahnya Selanjutnya Van Vollenhoven mengatakan bahwa istilah godienstige weten sebenarnya tidak tepat karena seharusnya istilah tersebut lebih tepat bagi unsur agama sedangkan hukum adat adalah unsur asli dari hukum bangsa Indonesia. Jadi. hukum bangsa Indonesia terdiri dari unsur asli (hukum adat) dan unsur agama.

B. DASAR SAH BERLAKUNYA HUKUM ADAT SEKARANG
Setelah kita merdeka Dalam Batang Tubuh UUD 1945, tidak satupun pasal yang mengatur tentang hukum adat. Oleh karena itu, aturan untuk berlakunya kembali hukum adat ada pada Aturan Peralihan UUD 1945 Pasal II, yang berbunyi:
Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini
Aturan Peralihan Pasal II ini menjadi dasar hukum sah berlakunya hukum adat.
Dalam UUDS 1950 Pasal 104 disebutkan bahwa segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara hukuman menyebut aturan-aturan Undang-undang dan aturan adat yang dijadikan dasar hukuman itu Tetapi UUDS 1950 ini pelaksananya belum ada, maka kembali ke Aturan Peralihan UUD 945. Aturan peralihan kembali merujuk Pasal 131 ayat 2 sub. b. I.S menyebutkan bahwa bagi golongan hukum Indonesia asli dan Timur Asing beriaku hukum adat mereka, tetapi bila kepentingan social mereka membutuhkannya, maka pembuat Undang-undang dapat menentukan bagi mereka:
1. Hukum Eropa;
2. Hukum Eropa yang telah diubah
3. Hukum bagi beberapa golongan bersama dan
4. Hukum baru yaitu hukum yang merupakan sintese antara adat dan hukum mereka yaitu hukum Eropa.
Pasal 131 ini ditujukan pada Undang-undangnya. bukan pada hakim yang menyelesaikan sengketa Eropa dan Bumi Putera.
Pasal 131 ayat (6) menyebutkan bahwa bila terjadi perselisihan sebelum terjadi kodifikasi maka yang berlaku adalah hukum adat mereka, dengan syarat bila  berhubungan dengan Eropa maka yang berlaku adalah hukum Eropa Selanjutnya keluar UU No 19 tahun 1964 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang dalam Pasal 23 menyebutkan bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat dasar-dasar dan alasan-alasan putusan itu juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu  dari përaturan yang bersangkutan sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dan untuk mengadili UU No. 19 tahun 1964 ini direvisi jadi UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman karena dalam uu No. 19 tersebut tersirat adanya campur tangan presiden yang terlalu besar dalam kekuasaan yudikatif Dalam Bagian Penjelasan Umum U No. 14 tahun 1970 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan hukum yang tidak tertulis itu adalah hukum adat.
Dalam UU No. 14 tahun 1970 Pasal 27 (1) ditegaskan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat.
Dengan demikian dasar hukum berlakunya hukum adat sekaligus hukum kebiasaan adalah pasal 2 aturan peralihan UUD 1945 sebagai landasan politik hukum yang berlaku di Indonesia, yang selanjutnya dijabarkan dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 UU No. 14 Tahun 1970 jo. UU No. 35 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, khususnya pada pasal 23 dan pasal 27 UU No. 14 Tahun 1970, kemudian diganti dengan UU No. 4 Tahun 2004 yang berlandaskan Pasal 18 A UUD 1945 hasil Amandemen.

C. PERBEDAAN SISTEM HUKUM BARAT DENGAN SISTEM HUKUM ADAT
Menurut Prof. Soepomo adalah sebagai berikut Dalam sistem hukum barat mengenal adanya zakalijke rechten dan persoonlijke rechten. Zakalijke rechten adalah suatu hak kebendaan yang sifatnya mutlak dan dapat berlaku bagi siapapun juga sementara itu persoonlijke rechten adalah suatu hak relatif alau perorangan dan hanya dapat dipertahankan kepada perseorangan tertentu saja dalam lingkup perundangan. Zakalijke rechten terdiri atas;
1.    hak atas kepribadian
contohnya: hak nama, hak hidup
2.    hak dalam lapangan hukum keluarga
contohnya: hak untuk mempertahankan suami-istri
3.    hak kebendaan
contohnya hak memungut hasil hipotek
Hak kebendaan ini sifatnya berbeda dengan hukum adat dan mempunyai ciri-ciri – ciri :
1.    Droit de Suite yaitu mengikuti ke mampuan bendanya. Contohnya hipotek walaupun telah telah dioper, selama belum dicabut maka pemilik hipotek itu masih tetap yang semula.
2.    Droit de Preferent yaitu mendahulukan seseorang yang memilikinya terlebih dahulu. Contohnya barang yang sudah dijual kepada yang pertama lebih didahulukan walaupun sudah dijual lagi kepada pembeli yang kedua.
Dalam hukum adat tidak mengenal hak-hal tersebut dan apabila terjadi persengketaan di pengadilan, maka seluruhnya tergantung pada putusan hakim, hakim akan melihat mana yang diputuskan adil.
1.      Hukum Barat mengenal hukun publik dan hukum privat sedangkan dalam hukum adat tidak mengenal hal tersebut.
2.      Hukum Barat membedakan pelanggaran-pelanggaran hukum itu menjadi dua golongan yaitu pelanggaran yang bersifat pidana dan perdata, sedangkan dalam hukum adat tidak mengenal penggolongan pelanggaran seperti itu.

Beberapa contoh kongkrit perbedaan sistem bukum adat dan barat seperti adanya beberapa macam jual beli yaitu:
1.      Jual sende Jual gadai, setelah ditebus menjadi milik penggadai (pemilik semula)
2.    Jual lepas jual tanpa ada ikatan apa-apa lagi
3.    Jual tahunan: jual hanya untuktahun setelah itu kembali lagi pada pemilik semula
Dalam hukum barat yang berlaku hanya jual lepas saja. yaitu tanpa ada ikatan apa apa lagi. Perbedaan-perbedaan fundamental dalam sistem ini, pada hakikatnya disebabkan karena:
1.    corak serta sifat yang berlainan antara keduanya
2.    pandangan hidup yang mendukung berlainan

RANGKUMAN
Pada awalnya pemerintah belanda ingin menerapkan Hukum Belanda di daerah Hindia Belanda, akan tetapi Hukum Adat didaerah Hindia Belanda menjadi masalah karena Belanda memiliki keinginan untuk memanfaatkan Hukum Adat sebagai pendukung berbagai tujuan dan kepentingan Belanda dalam rangka menjalankan politik ekonominya.
Karena akibat dari adanya perbedaan pandangan mengenai Hukum Adat yang berlaku di Indonesia, dimana terdapat pandangan berdasarkan pada konsep "receptio in comlexu yakni bahwa hukum adat adalah resepsi dari hukum agama secara bulat. Pandangan tersebut ditentang oleh Snouck Hurgronje dan Van Vollenhoven yang berpendapat bahwa hukum adat (adatrecht) berbeda dengan hukum agama (godienstige wetten = perundangan agama) sebab hukum adat tidak melulu berasal dari resepsi hukum agama, karena didalam hukum adat terdapat unsur asli dan unsure agama.
Oleh karena itu. pada 1927 Pemerintah Hindia Belanda mengubah haluannya, menolak penyatuan hukum (unifikasi) terhadap Hukum Adat mulai berganti haluan kearah kodifikasi Hukum Adat. Hingga Hukum adat masih berlaku di Indoncsia, yang menjadi dasar pemberlakuan Hukum Adat adalah Aturan Peralihan UUD 1945 Pasal yang mengakomodir berlakunya kembali hukum adat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar