MOOUL 8
Hukum Acara
Dr. H. Nandang Alamsah Deliarnoor, S.H., M.Hum.
P
E N D A H U L U A N
Berdasarkan
bagan travesium Crince Le Roy muara dari ketiga cabang hukum yang dijelaskan dalam modul 5 sampai
dengan 7 yaitu hukum perdata, hukum administrasi negara dan hukum pidana ini
adalah hukum acara masing-masing cabang hukum tersebut. Oleh karena itu di
modul 8 akan dijelaskan bagaimana hukum acara perdata, hukum acara administrasi
dan hukum acara pidana serta the last but not list perkembangan beracara di
Mahkamah Konstitusi sebagai hukum acaranya dari hukum tata negara sebagai
fenomena menarik akhir-akhir ini, Namun berdasarkan kebutuhan praktis beracara
di peradilan agama khususnya bagi umat Islam sangat dibutuhkan, maka dalam
Modul 8 ini ditambah satu materi tentang hukum acara di peradi1an agama.
Oleh karena itu, dalam modul ini akan dijelaskan berturut-turut dalam kegiatan belajar sebagai
berikut:
1.Hukum
Acara Perdata;
2.Hukurn
Acara Pidana;
3.Hukum
acara di Peradilan Tata Usaha Negara;
4.Hukum
Acara di Mahkamah Konstitusi;
5.Hukum
Acara di Peradilan Agama
KEGIATAN BELAJAR 1
Hukum Acara
Perdata
A.
PENGERTIAN HUKUM ACARA PERDATA
Hukum acara perdata adalah
rangkaian peraturan-peraturan hukum yang menentukan bagaimana cara-cara
mengajukan/menggugat ke depan pengadilan perkara-perkara keperdataan dalam arti
luas (meliputi juga hukum dagang) dan cara melaksanakan putusan-putusan atau vonis
hakim.
Hukum acara perdata adalah hukum
formal yang berfungsi untuk mempertahankan dan melaksanakan isi hukum materiil,
baik hukum dagang materiil maupun hukum perdata materiil.
Pada
zaman Belanda, hukum acara perdata dapat dibagi menjadi dua bagian:
1. HIR (Herzene Inlands Reglement), merupakan hukum acara perdata
yang berlaku di daerah Jawa dan Madura;
2.
Rbg
(Reglement Buitergewesten}, merupakan
hukum acara perdata yang berlaku di daerah luar Jawa dan Madura.
B.
ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA
1.
Asas Hakim Bersifat Menunggu
Dalarn
perkara perdata, inisiatif untuk mengajukan perkara ke pengadilan sepenuhnya
terletak pada pihak yang berkepentingan. Jadi apakah perkara tersebut akan diproses
atau tidak atau tuntutan hak akan diajukan atau tidak, hal ini sepenuhnya
diserahkan pad a pihak yang berkepentingan. Jadi hakim sikapnya menunggu
tuntutan hak yang diajukan kepadanya. Setelah ada tuntutan hak dalam bentuk
surat gugatan yang telah ditandatangani oleh penggugat atau kuasa hukumnya maka
baru perkara tersebut diproses oleh pengadilan (pasal 118 HIR, 14 Rbg).
2.
Asas Hakim Dilarang Menolak Perkara
Apabila suatu perkara sudah masuk ke pengadilan, hakim tidak
boleh menoJak perkara tersebut dengan aJasan hukumnya tidak ada atau kurang
jelas.Hakirn dilarang menolak perkara karena hakim dianggap tahu hukumnya.
Apabila ia tidak dapat menemukan hukumnya maka ia wajib menggali hukum yang
hidup di tengah masyarakat atau mencarinya dalam yurisprudensi.
3.
Asas Hakim Bersifat Aktif
Hakim membantu para pencari keadilan dan berusaha
sekeras-kerasnya untuk mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk
tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
4.
Asas Persidangan yang Terbuka
Asas ini dimaksudkan agar kontrol sosial dari masyarakat
atas jalannya sidang pemeriksaan perkara dengan tujuan untuk memperoleh
keputusan hakim yang objektif, tidak berat sebelah, dan tidak mernihak.
5.
Asas Bahwa
Kedua Belah Pihak Harus Didengar
Dalam memeriksa perkara perdata, para pihak hams
diperlakukan sama dan didengar bersama-sama serta tidak mernihak. Pengadilan
mengadili menurut hukum yang tidak membedakan orang.Asas ini mengandung arti
bahwa di dalam hukum acara perdata, hakim tidak boleh menerima keterangan dari
salah satu pihak saja; pihak lawan harus diberi kesempatan untuk memberikan
keterangan dan untuk mengeluarkan pendapatnya.Hal ini berarti pula bahwa
pengajuan dan pemeriksaan alat bukti harus dilakukan di muka sidang yang
dihadiri oleh kedua belah pihak (Pasal 132 a, 121 ayat 2 HIR dan Pasal 157
Rbg).
6.
Asas Putusan
Hakim Harus Disertai Alasan-alasan
Apabila proses pemeriksaan perkara sudah selesai maka
hakim memutuskan perkara tersebut dan keputusan hakim ini harus memuat alas analasan
yang menjadi dasar untuk mengadilinya. Alasan-alasan itu dicantumkan sebagai
pertanggungjawaban hakim dari keputusannya kepada para pihak dan kepada
masyarakat. Karena adanya alasan-alasan itulah maka putusan mempunyai nilai
objektif dan putusan itu berwibawa dan bukan karena hakim yang menjatuhkannya.
7.
Asas "Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan"
Yang dimaksud sederhana adalah acara yang jelas, mudah
dipahami dan tidak berbelit-belit.Kata cepat menunjukkan pada jalannya
peradilan.Terlalu banyak formalitas merupakan hambatan bagi jalannya
peradilan.Tidak jarang suatu perkara tertunda bertahun-tahun karena saksi tidak
datang atau para pihak bergantian tidak datang atau minta mundur, bahkan
perkara dilanjutkan oleh ahli warisnya.Ditentukan biaya yang ringan agar
terpikul oleh masyarakat.Biaya yang tinggi menyebabkan keenganan yang
berkepentingan untuk mengajukan perkara ke pengadilan.
8.
Asas Objektivitas
Maksud asas ini adalah bahwa hakim tidak boleh bersikap
berat sebelah dan memihak.Untuk menjamin dilaksanakannya asas ini para pihak
bisa mengajukan keberatan jika ternyata memang sikap hakim itu tidak objektif.
C. PROSES
BERPERKARA DALAM HUKUM ACARA PERDATA
Proses
berperkara (pengajuan gugatan) dalam hukum acara perdata diawali dengan
pemberian kuasa untuk mengajukan gugatan perdata yang disertai dengan
permohonan Sita Jaminan (Conservatoir Beslag). Gugatan perdata ini bisa
diajukan secara lisan di depan Ketua Pengadilan Negeri. Conservatoir Beslag
mempunyai sifat droit de suite yang artinya hukum akan mengikuti bendanya ke
manapun (tidak bisa dialihkan)
Pada
tingkatan Pengadilan Negeri, ada tawaran damai atau tidak damai.Untuk memenuhi
tawaran damai, dibuat akta perdamaian.Bila tidak dipenuhi, maka dapat dibuat
permohonan eksekusi putusan.Setelah itu dibuat penetapan aanmaning (peringatan)
yang kemudian dilanjutkan dengan penetapan sita eksekusi (berita acara
eksekusi) dan kemudian penetapan hari/tanggal/tempat 1elang oleh Kantor Lelang
Negara.Selanjutnya, dilakukan pengumuman/iklan lelang dan akhirnya lelang
eksekusi.
Hal-hal
yang dimuat dalam gugatan adalah berikut ini.
1.
Alasan hukum yang berisi hubungan
hukum dan dasar hukum gugatan.
2.
Sesuai dengan hukum acara, misalnya
locus delicti (gugatan diajukan di Pengadilan Negeri di tempat tergugat
tinggal).
3.
Permohonan
Jika tidak
ditempuh jalan damai, maka berlaku hukum acara perdata (proses berperkara) yang
mencakup langkah-langkah sebagai berikut.
1.
Jawaban: bersifat wajib diajukan
oleh Tergugat, terdiri dari:
a.
Permohonan Conservatoir Beslag.
b.
Penetapan Conservatoir Beslag.
c.
Berita Acara Sita oleh Juru Sita.
-
Konvensi > Gugatan yang pertama
(diajukan oleh Penggugat kepada Tergugat)
-
Rekonvensi : gugatan balik dari
Tergugat kepada Penggugat.
2.
Replik: jawaban dari Penggugat
terhadap Jawaban Tergugat.
3.
Duplik: balasan Jawaban Tergugat
terhadap Replik Penggugat.
4.
Pembuktian.
5.
Kesimpulan: tertulis, dibuat oleh
Penggugat maupun Tergugat kemudian diberikan kepada hakim.
6.
Hakim memberikan putusan.
Pada
tingkat banding, dibuat Memori Banding dan Kontramemori Banding dan diikuti
oleh putusan hakim.
Pada
tingkat kasasi, diajukan Memori Kasasi dan Kontramemori Kasasi yang selanjutnya
diikuti oleh putusan hakim. Terhadap hasil putusan hakim pada tingkat kasasi,
dapat diajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) dengan syarat ada bukti baru
(novum) yang tidak didapat pada persidangan sebelumnya.
D.
KETENTUAN SAKSI DALAM HUKUM ACARA PERDATA
1.
Harus
mengenai peristiwa-peristiwa yang dilihat dengan mata sendiri atau yang dialami
sendiri oleh seorang saksi (testimonium de auditu).
2.
Bukanlah
suatu alat pembuktian yang sempuma dan mengikat hakim, tetapi terserah kepada
hakim untuk menerimanya atau tidak.
3.
Saksi
yang sangat rapat hubungan kekeluargaannya dengan pihak yang berperkara, dapat
ditolak oleh pihak lawan, sedangkan saksi itu sendiri dapat meminta dibebaskan
dari kewajibannya untuk memberikan kesaksian.
4.
Keterangan
1 orang saksi tidak cukup, artinya hakim tidak boleh mendasarkan putusan tentang
kalah menangnya suatu pihak atas keterangan I orang
saksi saja. Jadi kesaksian itu selalu harus ditarnbah dengan suatu alat
pernbuktian lain
KEGIATAN BELAJAR 2
Hukum Acara Pidana
A. PENDAHULUAN
Hukum acara pidana adalah keseluruhan peraturan hukum yang
mengatur bagaimana caranya alat-alat penegak hukum melaksanakan dan
mempertahankan hukum pidana materiil dan diatur dalam KUHAP yang telah disahkan
dalam bentuk Undang-undang, yakni UU No.8 Tahun 1981.
Alat-alat penegak hukum adalah kepolisian negara, kejaksaan,
pengadilan, serta pegawai (pejabat) negeri sipil tertentu yang diberi wewenang
khusus oleh undang-undang, contoh: PNS yang menegakkan hukum lingkungan (UU No.
32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup), petugas pajak, di lingkungan
Pemerintah Daerah dikenal adanya petugas Pamong Praja.
Dalam menyelesaikan perkara, alat penegak hukum harus
berdasarkan pada ketentuan-ketentuan dari berikut ini.
1.
Hukum acara pidana yang tercantum
dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-undang No.8 Tahun
1981.
2.
Undang-undang No.4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman.
2.
Undang-undang No.2 Tahun 2002
tentang Pokok Kepolisian.
3.
Undang-undang No. 16 Tahun 2004
tentang Pokok Kejaksaan.
4.
Undang-undang NO.5 Tahun 2004
tentang Mahkamah Agung.
Van Bemmelen melukiskan hukurn acara pidana sebagai berikut:
ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleb
negara karena adanya dugaan terjadinya pelanggaran undang-undang pidana:
1.
negara melalui penyidiknya atau
alatnya melakukan penyidikan yang benar;
2.
sedapatnya menyidik pelaku perbuatan
tersebut;
3.
mengambil tindakan-tindakan yang
perlu guna menangkap pelaku dan kalau perlu menahannya
4.
mengurnpulkan bahan-bahan bukti yang
telah diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakirn dan
mernbawa terdakwa ke depan pengadilan/hakim tersebut;
5.
hakim rnernberikan keputusan
terbukti atau tidaknya perbuatan yang dituduhkan pada terdakwa dan untuk itu
menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib;
6.
akhirnya melaksanakan keputusan
tentang pidana dan tindakan tata tertib tersebut.
Penyidik: polisi atau pejabat pemerintah yang berwenang yang
rnelakukan serangkaian tindakan rnenurut UU untuk mencari dan rnengumpulkan
bukti.
Penyelidik: polisi yang rnelakukan serangkaian tindakan
pendahuluan yang menentukan perlu tidaknya dilakukan penyidikan.
B. ALAT-ALAT BUKTI DALAM KUHAP
Menurut pasal184 KUHAP, aJat bukti
itu terdiri dari:
1.
Keterangan saksi
2.
Keterangan abli : apa yang
dinyatakan seorang ahli di dalam sidang.
3.
Surat
4.
Petunjuk: perbuatan, kejadian atau
keadaan yang karen a persesuaiaonya balk antara yang satu dengan yang lain
rnaupun dengao tindak pidana itu sendiri rnenandakan bahwa telah terjadi suatu
tindak pidana dan siapa pelakunya.
Petunjuk ini hanya diperoleh dari:
a.
Keterangan saksi
b.
Surat
c.
Keterangan terdakwa (apa yang
terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia
ketahui sendiri atau alami sendiri).
d.
Keterangan terdakwa hanya dapat
digunakan terhadap dirinya sendiri.Keterangan terdakwa tidak cukup untuk
membuktikan bahwa dirinya bersalah melainkan harus disertai dengan alat bukti
yang lainnya.
5. Keterangan
terdakwa
C. PERBEDAAN
ANTARA HUKUM ACARA PERDATA DENGAN HUKUM ACARA PIDANA
Tabel
8.1
|
|||
Perbedaan
Hukum Acara Perdata dengan Hukum Acara Pidana
|
|||
No.
|
Aspek yang
|
HukumAcara
|
Hukum Acara Pidana
|
Dibedakan
|
Perdata
|
||
1.
|
Alat bukti
|
Surat, saksi,
|
Keterangan saksi,
|
persangkaan,
|
keterangan ahli, surat,
|
||
pengakuan, dan
|
petunjuk, dan keterangan
|
||
Sumpah
|
terdakwa
|
||
2.
|
Mengadili
|
Hakim Perdata
|
Hakim Pidana
|
3.
|
Pelaksanaannya
|
Pelanggaran Terhadap
|
Pelanggaran terhadap hukum
|
Hukum ini baru diambil
|
ini, tindakan diambil oleh alat
|
||
tindakan setelah adanya
|
Perlengkapan Negara tampa harus
|
||
Pengaduan
|
Adanya pengaduan dari pihak lain
|
||
(pelaksanaan pidana seluruhnya
|
|||
Ditentukan oleh Negara)
|
|||
4.
|
Penarikan
|
Dikenal Penarikan suatu
|
Tidak dikenal penarikan
|
kernbali suatu
|
Perkara sebelum ditentukannya
|
suatu perkara
|
|
perkara
|
Putusan Hakim
|
||
5.
|
Kedudukan Para
|
Kedudukannya sama antara
|
Kedudukan antara Penuntut umum
|
Pihak
|
Penggugat dan Tergugat
|
Dengan pihak yang diduga melaku
|
|
(Subordinat)
|
-kan tindakan tindak kejahatan
|
||
Dilapangan tidak seimbang wa-
|
|||
Laupun dalam teorinya mempunyai
|
|||
Kedudukan yang sama. Jaksa
|
|||
Mewakili Negara
|
|||
6.
|
Jenis
Hukuman
|
Ganti Rugi
|
Hukuman Pokok dan
|
Hukuman Tambahan
|
Perbedaan antara ganti rugi dan
denda :
1.
Ganti rugi merupakan hasil
kesepakatan dari kedua belah pihak dan pengganti kerugian diberikan kepada
pihak yang menang.
2.
Denda, mau tidak mau harus dipenuhi.
Jenis dan besar denda diatur oleh negara (ditentukan dalam UU), pelunasan denda
diberikan kepada kas negara.
D.
ASAS-ASAS DALAM SISTEM HUKUM ACARA PIDANA
1.
Asas Peradilan Dilakukan Berdasarkan
Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Asas ini
tercantum dalam Pasal 4 KUHAP dan Pasal ini sesuai dengan Pas a] 29 UUD 1945
yang berbunyi sebagai berikut.
a.
Negara berdasarkan Ketuhanan yang
Maha Esa.
b.
Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-rnasing dan untuk beribadat
menu rut kepercayaan dan agamanya itu.
2.
Asas Bahwa Segala Campur Tangan
dalam Urusan Peradilan oleh Pihak-pihak Lain Di Luar Kehakiman Dilarang, Kecuali
dalam Hal Hal yang Disebutkan dalam Undang-Undang Dasar
Dengan
asas ini dimaksudkan bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka ini mengandung
pengertian di dalamnya terdapat kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur
tangan kekuasaan negara lainnya, dan bebas dari paksaan, direktiva at au
rekomendasi yang datang dari extra judicial kecuali dalam hal hal yang
dibolehkan oleh undang-undang
3.
Asas Bahwa Pengadilan Mengadili Berdasarkan Hukum dengan
Tidak Membeda-bedakan Orang
Tujuan dari asas ini adalah menjarnin
hak asasi manusia yang mendapat perlindungan di dalam negara yang berdasarkan
Pancasila.
4.
Asas Praduga Tidak Bersalah
Setiap orang yang disangka,
ditangkap, ditahan, dituntut danlatau dihadapkan ke depan pengadilan, wajib
dianggap tidak bersalah sebelum adanya keputusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Asas ini dimaksudkan
untuk menjamin hak asasi manusia.
5.
Asas Pemeriksaan Perkara oleh
Majelis Hakim
Semua
pengadilan memeriksa dan mernutuskan dengan sekurang kurangnya tiga hakim,
kecuali bila undang-undang menentukan lain. Asas ini diharapkan hakim dalam
meutuskan perkara bersikap objektif fan tidak berat sebelah.
6.
Asas Bahwa Orang yang Bersangkut
Perkara Berhak Memperoleh Bantuan Hukum
Hak ini
diberikan semata-mata untuk kepentingan pembelaan tersangka atau terdakwa.
Maksudnya untuk menghindari kemungkinan bahwa seorang terdakwa tidak mengetahui
dan tidak mengerti apa yang didakwakan kepadanya. Karena memang dia tidak
mengerti strategi dan taktik untuk membela hak-hak pribadinya.
7.
Asas Hak Untuk Meminta Peninjauan
Kembali
Artinya
bahwa terhadap keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
dapat dirninta kembali peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung dengan
syarat-syarat tertentu yaitu syarat formal dan syarat materiilnya.
Syarat
formal adalah menyangkut berhak atau tidaknya si pernohon mengajukan peninjauan
kembali tersebut.Sedangkan syarat materiil adalah syarat yang menyangkut
keputusan pengadilan yang diminta untuk ditinjau kembali itu, karena misalnya
ditemukan alat bukti yang baru (novum) dan tidak disampaikan waktu pemeriksaan
perkara tersebut.
8.
Asas Perintah Tertulis Untuk
Penangkapan
Artinya
bahwa perintah penangkapan harus dilakukan oleh petugas kepolisian dengan
memperlihatkan surat tugas dan surat perintah penangkapan kepada tersangka.
Asas ini
memberikan jaminan kepada orang yang disangka melakukan tindakan pidana, bahwa
dia tidak: ditangkap secara gelap oleh oknurn-oknum yang tidak bertanggung
jawab, tetapi dia ditangkap secara legal dan resmi oleh petugas kepolisian.
Surat tugas penangkapan haws berisikan alasan-alasan penangkapan dan uraian
singkat tentang perkara yang dipersangkakan dan tempat dia akan diperiksa.
9.
Asas Perintah Tertulis Untuk
Penahanan
Perintah
penahanan dan penahanan lanjutan harus mernenuhi syarat-syarat undang-undang,
yaitu:
a.
untuk kepentingan penyidikan,
penuntutan atau perneriksaan.
b.
karena dikhawatirkan tersangka atau
terdakwa akan melarikan diri, merusak at au menghilangkan barang bukti.
Syarat
penahanan sarna dengan syarat penangkapan, yaitu dengan memberikan surat
penahanan kepada tersangka atau terdakwa atau surat penetapan hakirn dan
mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa, menyebutkan alasan-alasan
penahanan dan uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau
didakwakan dan tempat penahanan. Kernudian tembusan surat penahanan disampaikan
pada keluarganya.
E. PRAPERADILAN
Praperadilan
adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutuskan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang tentang:
1.
sah atau tidaknya suatu penangkapan
dan/atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain
atas kuasa tersangka;
2.
sah atau tidaknya penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan tersangka atau pennintaan demi tegaknya
hukum dan keadilan;
3.
permintaan ganti rugi atau
rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau kuasa hukum tersangka yang
perkaranya tidak dibawa ke pengadilan
Jadi apabila pihak kepolisian
melakukan penangkapan, penahanan, penuntutan tindakan-tindakan lain yang:
1.
tidak didasarkan kepada peraturan
undang-undang;
2.
adanya kekeliruan mengenai orangnya;
3.
adanya kekeliruan dalam menetapkan
peraturan undang-undang;
4.
maka seseorang dapat melakukan aksi
praperadilan di pengadilan negeri setempat.
Orang yang
berhak mengajukan praperadilan berdasarkan ketentuan pasal 79,80, dan 81 KUHAP
adalah berikut ini.
1.
Tersangka atau keluarga tersangka
ataupun kuasa hukumnya apabila mengenai sah atau tidaknya penangkapan atau
penahanan
2.
Penyidik atau penuntut urn urn atau
pihak ketiga yang berkepentingan untuk merneriksa sah atau tidaknya penghentian
penyidikan atau tuntutan.
3.
Tersangka atau pihak ketiga yang
berkepentingan mengajukan ganti rugi itu kepada pihak ketua pengadilan setempat
dengan menyebutkan alasan alasannya.
Lamanya masa penahanan tersangka
atau terdakwa,
1.
Oleh Kepolisian : 30 hari dan dapat
diperpanjang 30 hari lagi.
2.
Oleh Jaksa Penuntut Umum: 20 hari
dan dapat diperpanjang 30 hari (oleh Ketua Pengadilan Negeri).
3.
Oleh Pengadilan Negeri : 30 hari dan
dapat diperpanjang 60 hari lagi.
4.
Oleh Pengadilan Tinggi : 30 hari dan
dapat diperpanjang 60 hari lagi.
5.
Oleh Mahkamah Agung: 50 hari dan
dapat diperpanjang 60 hari lagi
R
A N G K U M A N
Hukum acara pidana adalah keseluruhan peraturan hukum yang
mengatur bagaimana caranya alat-alat penegak hukum melaksanakan dan
mempertahankan hukum pidana materiil dan diatur dalam KUHAP yang telah disahkan
dalam bentuk Undang-undang, yakni UU No. 8 Tahun 1981. Dalam pelaksanaan
penegakan hukum diperlukan adanya alat penegak hokum, alat-alat penegak hukum
tersebut diantaranya adalah kepolisian negara, kejaksaan, pengadilan, serta
pegawai (pejabat) negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang.
Asas-asas dalam hukum acara pidana
diantaranya adalah:
1. Asas peradilan dilakukan berdasarkan
demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa;
2. Asas bahwa segala campur tangan
dalam urusan peradilan oleh pihak pihak lain di luar kehakirnan dilarang,
kecuali dalam hal-hal yang disebutkan dalarn Undang-undang Dasar;
3. Asas bahwa pengadilan mengadili
berdasarkan hukum dengan tidak membeda-bedakan orang;
4. Asas praduga tidak bersalah;
5. Asas pemeriksaan perkara oleh
majelis hakim;
6. Asas bahwa orang yang bersangkut
perkara berhak memperoleh bantuan hukum;
7. Asas hak untuk merninta peninjauan
kembali;
8. Asas perintah tertulis untuk
penangkapan;
9. Asas perintah tertulis untuk
penahanan
KEGIATAN BELAJAR 3
Hukum
Acara di Peradilan Tata Usaha Negara
A. PENGERTIAN
KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA MENU RUT
UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986
Keputusan
Tata Usaha Negara menurut Pasal 1 ayat 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha
Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual,
dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata.
1.
Penetapan
tertulis merupakan yang diharuskan oleh karena sebuah memo atau nota dapat
memenuhi syarat tertulis apabila sudah jelas :
a.
Badan atau Pejabat TUN mana yang
mengeluarkan.
b.
Maksud serta mengenai hal apa isi
tulisan itu.
c.
Kepada siapa tulisan itu ditujukan
dan apa yang ditetapkan didalamnya.
2. Bersifat konkrit artinya objek yang
diputuskan dalam Keputusan TUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertntu at
au dapat ditentukan, misalnya keputusan mengenai IMB si A, izin usaha bagi si B
dsb.
3. Bersifat individual artinya
Keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat
maupun hal yang dituju. Kalau yang dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap
nama orang yang terkena keputusan itu disebutkan satu persatu misalnya pelebaran
jalan disebutkan nama nama yang terkena pelebaran jalan tersebut.
4.
Bersifat
final artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum.
Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau intsansi lain
belum bersifat final karena belum menimbulkan hak dan kewajiban, misalnya
keputusan pengangkatan seorang Pegawai Negeri memerlukan persetujuan BAKN.
Menurut Prajudi Atmosudirdjo," terdapat empat macam
bentuk pelaksanaan ketetapan.
1.
Penetapan (beschikking,
administrative discretion).
Adalah perbuatan hukum sepihak yang
bersifat Administrasi Negara, dilakukan oleh pejabat atau instansi penguasa
negara yang berwenang dan berwajib khusus untuk itu.
2.
Rencana (plan)
Adalah salah satu bentuk daripada
perbuatan hukum Administrasi Negara yang meneipta hubungan hukum (yang
mengikat) antara penguasa dan para warganegara masyarakat.Sedangkan dari segi
Hukum Adrninistrasi Negara, maka suatu rene ana adalah seperangkat
tindakan-tindakan yang terpadu, dengan tujuan agar terciptalah suatu keadaan yang
tertib bilamana tindakan-tindakan tersebut telah selesai direalisasikan.
3.
Norma Jabaran (concrete normgevingy
Adalah suatu perbuatan hukum
(rechtshandeling) daripada Penguasa Adrninistrasi Negara untuk mernbuat agar
suatu ketentuan Undang Undang mempunyai isi yang konkrit dan praktis dan dapat
diterapkan menurut keadaan waktu dan tempat.Setiap undang-undang dan pada
umumnyajuga peraturan pemerintah, hanya memuat ketentuan-ketentuan yang
bersifat prinsip atau umum.Oleh karena itu maka setiap ketentuan undang-undang
(dalam arti luas) yang bersifat umum perlu d:ijabarkan lebih lanjut oleh
Administrasi Negara.
4.
Legislasi Semu (pseudo-wetgeving)
Adalah
penciptaan daripada aturan-aturan hukum oleh pejabat Administrasi Negara yang
berwenang yang sebenarnya dimaksudkan sebagai garis-garis pedoman (richtlijen)
pelaksanaan kebijakan (policy) untuk menjalankan suatu ketentuan undang-undang,
akan tetapi dipublikasikan secara luas.
B. KEPUTUSAN
ATAU PENETAPAN TATA USAHA NEGARA SEBAGAI PANGKAL SENGKETA
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 4 UU No.5 Tahun 1986,
bahwa sengketa Tata Us aha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata
Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat
Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) , termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan demikian, Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN),
merupakan dasar lahirnya sengketa Tata Usaha Negara. Pasal 1 angka 3 merumuskan
Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan
oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha
Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkret,
individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi sese orang atau badan
hukum perdata.
C.
ORGANISASIPERADILAN TATA USAHA NEGARA (PTUN)
Berdasarkan ketentuan Pasal 8 UU No.5 Tahun 1986, pengadilan
tata usaha negara terdiri atas Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai
Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi Tata Us aha Negara (PTTUN)
sebagai tingkat banding. Struktur ini sarna dengan struktur peradilan urnum.
Namun, yang membedakannya adalah alur perkara. Alur perkara dalam peradilan
umum berbeda dengan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Perbedaan itu
disebabkan dalam jalur PTUN terdapat saluran upaya administratif.
Peradilan Tata Us aha Negara dibentuk berdasarkan keputusan
Presiden (Pasal 9 UU No.5 Tahun 1986). Sedangkan PTTUN dibentuk dengan undang
undang
D. UPAYA ADMINISTRATIF
Tidak
setiap Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dapat langsung digugat melalui
peradilan tata usaha negara. Terhadap KTUN yang mengenal upaya administratif
disyaratkan untuk menggunakan saluran upaya administratif.
Untuk KTUN
yang memungkinkan adanya upaya administratif, gugatan lang sung ditujukan
kepada pengadilan tinggi tata usaha negara (PTTUN) (pasal 51 ayat 3), sedangkan
bagi KTUN yang tidak mengenal adanya upaya administratif, gugatan ditujukan
kepada PTUN (tingkat pertama). Dengan demikian, terdapat dua j alur
berperkara di muka peradilan Tata U saha N egara (PTUN).
E. TENGGANG WAKTU PENGAJUAN GUGATAN
Tenggang
waktu mengajukan gugatan diberikan saat yang bervariasi dalam menghitung sejak
waktu dimulainya. Terdapat empat kriteria tentang tenggang waktu pengajuan
gugatan.
1. Sembilan puluh had sejak hari
diterimanya Keputusan Tata Usaha Negara.
2. Setelah lewatnya tenggang waktu yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang memberi kesempatan kepada
Administrasi Negara untuk memberikan keputusannya namun ia tidak berbuat
apa-apa,
3. Setelah lewat waktu ernpat bulan,
apabila peraturan perundang-undangan tidak memberikan kepada Administrasi
Negara untuk memberikan keputusan dan ternyata tidak berbuat apa-apa.
4.
Sembilan puluh had sejak pengumuman
keputusan TUN, jika keputusan TUN itu harus diumumkan,
F. DASAR-DASAR PENGUJIAN
Dasar hukum untuk menguji KTUN
menurut Pasal 53 ayat 2 UU No.5 Tahun 1986, pada pokoknya berkenaan dengan:
1.
perbuatan yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan;
2.
penyalahgunaan wewenang;
3.
sewenang-wenang.
Ketentuan ini oleh UU No. 9 Tahun
2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 diubah menjadi:
1.
KTUN yang digugat itu bertentangan
dengan peraturan perundang undangan yang berlaku;
2.
KTUN yang digugat itu bertentangan
dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
G. PENUNDAANPELAKSANAAN
KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA
Pasal 67
ayat I UU No. 5 Tahun 1986, menyebutkan hal-hal yang berkenaan dengan penundaan
keputusan TUN untuk dilaksanakan diantaranya:
1.
gugatan tidak menunda atau
menghalangi dilaksanakannya keputusan.
2.
mernberikan hak kepada penggugat
dalam keadaan tertentu diperkenankan menyimpang seperti yang tercantum dalam
ayat 1. jika terdapat keadaan yang mendesak yang mengakibatkan kerugian si
penggugat.
H. ACARA PEMERIKSAAN PENDAHULUAN (PASAL 62 DAN 63)
Sebelum had persidangan ditentukan dan sengketa diperiksa di
persidangan untuk diputuskan, ternyata terdapat kewenangan pengadilan untuk
memeriksa atau melakukan pemeriksaan pendahuluan. Pemeriksaan tennaksud dapat
berupa berikut ini
1.
Rapat Permusyawaratan (Prosedur Dismisal)
Di dalam
rapat permusyawaratan (Pasal 62), Ketua Pengadilan dalam hal ini Ketua PTUN
(tingkat pertama) berwenang memutuskan bahwa gugatan yang diajukan sebelum
diperiksa di persidangan dapat dinyatakan tidak diterima atau tidak mempunyai
dasar yang kuat. Hal ini disebabkan oleh:
a.
pokok gugatan (fakta yang dijadikan
dasar gugatan) itu tidak terrnasuk wewenang pengadilan;
b.
syarat-syarat gugatan (Pasal 56)
tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun telah diberitahukan dan diperingatkan;
c.
gugatan tersebut tidak didasarkan
pada alasan-alasan yang layak.
Hasil dari rapat permusyawaratan dapat berupa penerimaan
atau penolakan terhadap gugatan.
2.
Pemeriksaan Persiapan
Sebelum
pemeriksaan pokok sengketa dimulai, hakim wajib mengadakan pemeriksaan persiapan
untuk me1engkapi gugatan yang kurang jelas (Pasal 63). Dalam hal ini hakim
bertindak:
a.
mernberi nasehat kepada penggugat
untuk memperbaiki gugatan dan rnelengkapi dengan data yang diperlukan dalam
jangka waktu 30 hari.
b.
dapat diminta penjelasan kepada badan
atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan.
Bilamana
penggugat tidak menyempurnakan gugatannya sesuai dengan yang dinasehatkan oleh
hakim dalam jangka waktu 30 hari, maka hakim menyatakan gugatan itu tidak dapat
diterima. Untuk ini tidak ada upaya hukum terkecuali penggugat hams mengajukan
gugatan baru.
Persamaan antara rapat permusyawaratan dengan pemeriksaan
ialah kedua hal itu merupakan suatu pemeriksaan pendahuluan, sebelum sengketa
diperiksa dan diputus di persidangan Pengadilan Tata Usaha Negara (tingkat
pertama).
Perbedaannya adalah pada rapat permusyawaratan ditujukan
kepada penggugat untuk memperbaiki gugatannya tanpa ditetapkan jangka waktunya
walaupun pada waktu mengucapkan penetapannya kedua belah pihak dipanggil,
adanya penetapan, perlawanan, pemeriksaan secara singkat untuk perlawanan.
Sedangkan dalam pemeriksaan persiapan, walaupun ditujukan kepada penggugat
untuk memperbaiki dan melengkapi gugatannya dalam tenggang waktu 30 hari, akan
tetapi badan atau pejabat adrninistrasi negara yang akan menjadi tergugat
terlebih dahulu dirninta penjelasannya, untuk memberikan informasi atau data
yang diperlukan oleh penggugat dan adanya gugatan baru, bilarnana penggugat
tidak mengindahkan nasihat hakim.
I.
ACARA PEMERIKSAAN PERKARA DI PTUN
Acara atau pemeriksaan perkara di PTUN dapat digunakan
antara lain berikut ini.
1.
Acara Biasa
a.
Tindakan sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan, di
antaranya:
·
Pengajuan gugatan oleh si penggugat
(Pasa153 sId 56).
·
Biaya perkara.
·
Pencatatan perkara dalam daftar
(Pasal 59 ayat 2).
·
Pemeriksaan Pendahuluan (Pasa162 dan
63).
·
Penetapan hari sidang (Pasa159 ayat
3 dan Pasa164).
·
Panggilan para pihak yang
berperkara.
b.
Perneriksaan di sidang pen gadi 1 an, di antaranya:
·
pemeriksaan berkas,
·
putusan pengadilan.
c.
Acara Luar Biasa (bukan acara biasa)
·
Acara Cepat (Pasal 64 ayat 2, Pasal
98 ayat 9).
·
Acara Singkat (Pasal 62 ayat 4) .
J. ALAT PEMBUKTIAN DI PTUN
Alat pembuktian di Pengadilan Tata
Usaha Negara ada lima.
1.
Tulisan atau surat-surat.
2.
Keterangan Ahli.
3.
Keterangan Saksi.
4.
Pengakuan Para Pihak.
5.
Pengetahuan Hakim.
K.
KEPUTUSAN YANG TIDAK DAPAT DI-PTUN-KAN
Mengenai
upaya hukum ke PTUN, yang perlu diperhatikan adalah tidak semua bentuk
keputusan atau ketetapan Administrasi Negara dapat diajukan ke Pengadilan Tata
Us aha Negara (PTUN). Menurut UU No.5 Tahun 1986, maka bentuk keputusan atau
ketetapan yang merugikan itu dapat di ajukan ke Pengadilan Negeri. Dengan
demikian, berdasarkan Pasal 2 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Us aha
Negara, yang tidak terrnasuk dalam pengertian.
Keputusan Tata Usaha Negara, antara lain
sebagai berikut.
1.
Keputusan Tata Usaha Negara yang
merupakan perbuatan hukum perdata.
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang
merupakan pengaturan yang bersifat umum.
3. Keputusan Tata Us aha Negara yang
masib memerlukan persetujuan.
4. Keputusan Tata Usaba Negara yang
dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana, atau peraturan perundang-undangan lain yang
bersifat hukum pidana.
5.
Keputusan
Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.
6.
Keputusan
Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia.
7.
Keputusan
Kornisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pernilihan
umum.
Keputusan
TUN yang merupakan perbuatan hukum perdata, misalnya keputusan yang menyangkut
masalah jual beli yang dilakukan autara intsansi pemerintah dan perseorangan
yang didasarkan pada ketentuan hukum perdata.
Keputusan
TUN yang berupa "pengaturan yang bersifat umum" adalah pengaturan
yang memuat norma-norma hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan yang kekuatan
berlakunya mengikat setiap orang.
Keputusan
yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum
bersifat final karena belum menimbulkan hak dan kewajiban, misalnya keputusan
pengangkatan seorang Pegawai Negeri memerlukan persetujuan BAKN seperti yang
telah dijelaskan di atas. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan akan
tetapi sudah menimbulkan kerugian dapat digugat di Pengadilan Negeri.
Keputusan
Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku umpamanya:
1.
keputusan
Badan Pertanahan Nasional yang mengeluarkan sertifikat tanah atas nama
seseorang yang didasarkan atas pertimbangan putusan pengadilan perdata yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
2.
keputusan
pemecatan notaris oleh Menteri setelah menerima usul Ketua Pengadilan Negeri
atas dasar kewenangannya menurut ketentuan Undang undang Peradilan Umum
L. ASAS DALAM HUKUM ACARA DI PTUN
1.
"Asas praduga rechtmatig (benar
menurut hukum, presumptio iustea causa), as as ini menganggap bahwa setiap
tindakan penguasa selalu harus dianggap berdasarkan hukum (benar) sampai ada
pembatalan. Dalam asas ini gugatan tidak menunda pelaksanaan KTUN yang digugat
(Pasal 67 ayat (1) UU No.5 tahun 1986);
2.
"Asas pembuktian bebas".
Hakimlah yang menetapkan beban pembuktian. Hal ini berbeda dengan ketentuan
1865 B W (lihat Pasal 10 1, dibatasi ketentun Pasal100;
3.
"Asas keaktifan hakim (dominus
litis)". Keaktifan hakim dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para
pihak yang tidak berimbang (lihat Pasal 58, 63, ayat (1) dan (2), Pasal 80 dan
Pasal 85)
4.
"Asas putusan pengadilan
mempunyai kekuatan mengikat (erga omnes)".Sengketa TUN adalah sengketa
hukum publik. Dengan demikian putusan pengadilan berlaku bagi siapa saja-tidak
hanya bagi para pihak yang bersengketa;
5.
Dan asas-asas peradilan lainnya,
mislny : asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan, objektif.
6.
"Asas para pihak harus didengar
(audi et alteram partem) ". para pihak mempunyai kedudukan yang sarna;
7.
"Asas kesatuan beracara"
(dalam perkara yang sejenis);
8.
"Asas penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman yang bebas" (Pasal 24 UDD 1945 JO.Pasall UU NO.4 2004);
9.
"Asas sidang terbuka untuk
umum" putusan mempunyai kekuatan hukum
10.
"Asas pengadilan
berjenjang" (tingkat pertama (PTUN) , banding (PT TUN), dan Kasasi (MA),
dimungkinkan pula PK (MA);
11.
"Asas pengadilan sebagai upaya
terakhir iultimum remidiumf", sengketa sedapat mungkin diselesaikan
melalui upaya administrasi (musyawarah mufakat), jika belum puas, maka ditempuh
upaya peradilan (Pasa148 UU PTUN);
12.
"Asas objektivitas", lihat
Pasal 78 dan 79 UU PTUN).
13.
Asas peradilan cepat, sederhana dan
biaya ringan.
R A N G K U M A N
Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis
yang dikeluarkan oleh badan at au Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi
tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang undangan yang
berLaku, yang bersifat konkrit, individual, dan final yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Menurut Prajudi Atmosudirdjo,
terdapat empat macam bentuk pelaksanaan ketetapan, yaitu:
1.
penetapan (beschikking,
administrative discretion);
2.
rencana (plan);
3.
norma jabaran (concrete normgeving);
4.
legislasi semu tpseudo-wetgevingv.
Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam
bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan
atau pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan Tata Us aha Negara (KTUN) , termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang undangan yang berlaku.Berdasarkan
ketentuan Pasal 8 UU No.5 Tahun 1986, pengadilan tata usaha negara terdiri atas
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai Pengadilan Tingkat Pertama dan
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) sebagai tingkat banding.Tidak
setiap Keputusan Tara Usaha Negara (KTUN) dapat langsung digugat melalui
peradilan tata usaha negara. Terhadap KTUN yang mengenal upaya administratif
disyaratkan untuk rnenggunakan saluran upaya admini stratif.
Dasar hukum untuk menguji KTUN menurutUU No.9 Tahun 2004 ten
tang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 pada pokoknya berkenaan
dengan:
1.
KTUN yang digugat itu bertentangan
dengan peraturan perundang undangan yang berlaku;
2.
KTUN yang digugat itu bertentangan
dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Proses beracara di PTUN terdiri dari
rangkaian acara sebagai berikut:
1.
Acara Pemeriksaan Pendahuluan, yang
terdiri dari: a)rapat permusyawaratan (prosedur dismisal); blpemeriksaan
persiapan
2.
Acara Pemeriksaan Perkara di PTUN,
yang terdiri dari Acara Biasa atau Acara Luar Biasa.
Alat pembuktian di Pengadilan Tata
Usaha Negara ada lima, yaitu:
a.
tulisan atau surat-surat;
b.
keterangan ahli;
c.
keterangan saksi;
d.
pengakuan para pihak;
e.
pengetahuan hakim.
KEGIATAN BELAJAR 4
Hukum Acara di Mahkamah Konstitusi
A. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Berdasarkan UU No. 24 tahun 2003, perkara yang putusannya
menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah:
1.
Pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
3.
Pernbubaran partai politik;
4.
Perselisihan tentang hasil
pernilihan umum; atau
5.
Pendapat DPR bahwa Presiden danlatau
Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
danJatau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
B. PERMOHONAN PERKARA DI MAHKAMAH KONSTITUSI
Ketentuan
berlaku terkait langkah-langkah dalam proses permohonan pengajuan perkara di
Mahkamah konstitusi diantaranya diatur dalam Pasa132, 33, dan pasal 34 UU No. 8
Tahun 2011, secara berurutan pengajuan permohonan tersebut adalah sebagai
berikut,
1.
Setiap permohonan perkara yang
diajukan pada Mahkamah Konstitusi diperiksa oleh Panitera Mahkamah Konstitusi,
apabila permohonan tersebut belum lengkap diberi tenggang waktu selama 7 hari
untuk memperbaiki dokumen permohonan tersebut.
2.
Apabila permohonan yang telah
memenuhi kelengkapan dan dapat diterima, maka dicatat dalam Buku Registrasi
Perkara Konstitusi dan kepada pemohon diberikan tanda terima.Apabila
kelengkapan Permohonan tidak dipenuhi dalam jangka waktu sebagaimana yang telah
ditentukan diatas, Panitera Mahkamah Konstitusi menerbitkan akta yang menyatakan
bahwa Permohonan tidak diregistrasi dalam B uku Registrasi Perkara Konstitusi
dan diberitahukan kepada pemohon disertai dengan pengembalian berkas
Permohonan.
3.
Mahkamah Konstitusi menyampaikan
salinan Permohonan kepada DPR dan Presiden dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh)
hari kerja sejak tanggal Permohonan dicatat dalam B uku Registrasi Perkara
Konstitusi.
4.
Mahkamah Konstitusi rnenetapkan hari
siding pertarna daLam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja
sejak Permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
5.
Penetapan hari sidang diberitahukan
kepada pernohon, termohon, dan pihak terkait serta diumurnkan kepada
masyarakat.Pengumuman dilakukan dengan menempeLkannya di papan pengumuman yang
khusus dibuat untuk itu dan/atau melalui media cetak atau media elektronik.
6.
Pemberitahuan penetapan hari sidang
harus sudah diterima oleh para pihak yang berperkara dalamjangka waktu paling
Lama 5 (lima) hari kerja sebelum hari persidangan.
Penarikan atau terhadap permohonan perkara di Mahkamah
Konstitusi dapat dilakukan selama pemeriksaan oLeh Mahkamah Konstitusi
dilakukan. Permohonan yang telah ditarik tidak dapat diajukan kembali ke
Mahkamah Konstitusi.
C. PROSES BERPERKARA DI MAHKAMAH KONSTITUSI
Dalam
menjalankan proses berperkara di Mahkamah Konstitusi terdapat perbedaan apabila
dibandingkan dengan peproses acara pada pengadilan lainnya. Perbedaan tersebut
terdapat pada hakirn yang mengambil keputusan dalam sidang di Mahkamah
Konstitusi seperti yang diatur dalam ayat (1) dan ayat (4) Pasa128 UU No. 24
tahun 2003 yaitu sebagai berikut.
1.
Mahkamah
Konstitusi memeriksa, mengadili, dan me mutus dalam sidang pleno Mahkamah
Konstitusi dengan 9 (sembilan) orang hakim konstitusi, kecuali dalam keadaan
luar biasa dengan 7 (tujuh) orang hakim konstitusi yang dipimpin oleh Ketua
Mahkamah Konstitusi.
2.
Sebelum
sidang pleno sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Mahkamah Konstitusi dapat membentuk panel hakim yang anggotanya terdiri
atas sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim konstitusi untuk memeriksa yang
hasilnya dibahas dalam sidang pleno untuk diambil putusan.
Para pihak, saksi, dan ahli wajib hadir memenuhi panggilan
Mahkamah Konstitusi. Pihak yang merupakan lembaga negara dapat diwakili oleh
pejabat yang ditunjuk atau kuasanya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
1.
Acara pemeriksaan pendahuluan
Dalam acara pemeriksaan pendahuluan
(berdasarkan Pasal 39 UU No. 24 tahun 2003) terdapat dua pembahasan pokok yaitu
berikut ini.
a.
Sebelum
mulai memeriksa pokok perkara, Mahkamah Konstitusi mengadakan pemeriksaan
kelengkapan dan kejelasan materi permohonan.
b.
Dalarn
pemeriksaan pokok perkara Mahkamah Konstitusi wajib memberi nasihat kepada
pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan dalamjangka waktu
paling lambat 14 (empat belas) hari.
2.
Acara Pemeriksaan Persidangan
Acara
pemeriksaan persidangan terdiri dari beberapa kegiatan, berdasarkan Pasal 41 UU
No. 24 tahun 2003, yang dijalankan dalam acara pemeriksaan persidangan adalah
sebagai berikut:
a.
pemeriksaan pokok Perrnohonan;
b.
pemeriksaan alat bukti tertulis;
c.
rnendengarkan keterangan para pihak
yang berperkara;
d.
mendengarkan keterangan saksi;
e.
rnendengarkan keterangan ahli;
f.
mendengarkan keterangan pihak
terkait;
g.
pemeriksaan rangkaian data,
keterangan, perbuatan, keadaan, dan/atau peristiwa yang sesuai dengan alat
bukti lain yang dapat dijadikan petunjuk; dan
h.
pemeriksaan alat bukti lain yang
berupa infonnasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan alat bukti itu.
3.
Acara Pengujian undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar
Dalam
permohonan, pemohon wajib menguraikan dengan jelas terkait pembentukan
undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tabun 1945; danlataumateri muatan dalam ayat, pas al,
dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik IndonesiaTahun 1945. Dengan dernikian dalam pengujian
Undang-Undang terhadap Undang Undang Dasar yang dapat diputuskan oleh Mahkamah
Konstitusi adalah pengujian formil. Terkait pemberlakuan Undang-Undang yang
sedang dalam proses pengujian oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku hingga
Undang-Undang tersebut dinyatakan dicabut penberlakuannya.
Putusan
Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disampaikan kepada DPR, Dewan
Perwakilan Daerah, Presiden, dan Mahkamah Agung. Jika diperlukan perubahan
terhadap undang-undang yang telah diuji, DPR atau Presiden segera
menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Terhadap
materi muatan ayat, pasal, dania tau bagian dalam undang undang yang telah
diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.Ketentuan dapat dikecualikan
jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
4.
Acara Sengketa Kewenangan Lembaga
Negara
Pada acara
sengketa kewenangan lembaga negara yang menjadi pokok pembahasan adalah
kewenagan dari suatu lembaga negara yang dianggap menyimpang atau bertentangan
dengan peraturan yang berlaku. Lembaga negara yang dimaksud adalah lembaga
negara dalam arti sempit, yaitu hanya Jembaga negara yang tertulis didalam
konstitusi.
5.
Acara Pembubaran Partai Politik
Perkara terkait pembubaran partai
politik membahas mengenai ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan partai politik yang
bersangkutan, yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
6.
Acara Perselisihan tentang Hasil
Pemilihan Umum
Terkait perselisihan basil pemilihan umum, yang dapat
menjadi pemohon adalah:
a.
perorangan warga negara Indonesia
calon anggota Dewan Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum;
b.
pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden peserta pernilihan umum Presiden dan Wakil Presiden; dan
c.
partai politik peserta pernilihan
umum.
Permohonan
hanya dapat diajukan terhadap penetapan basil pemilihan umum yang dilakukan
secara nasional oleh Komisi Pernilihan Umum yang rnempengaruhi:
a.
Terpilihnya calon anggota Dewan
Perwakilan Daerah;
b.
Penentuan pasangan calon yang masuk
pada putaran kedua pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta terpilihnya
pasangan calon Pre sid en dan Wakil Presiden;
c.
Perolehan kursi partai politik
peserta pernilihan umum di suatu daerah pemilihan.
Permohonan
hanya dapat diajukan dalamjangka waktu paling lambat 3 x 24 (tiga kali dua
puluh empat) jam sejak Komisi Pemilihan Umum mengumurukan penetapan hasil
pernilihan umum secara nasional.
Pokok
pembahasan dalam perselisihan tentang basil pemilihan umum adalah kesalahan
hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum. Inti dari
permohonan perkara dalam perselisihan tentang hasil pemilihan umum terkait
pembatalan hasil penghitungan suara yang diurnumkan oleh Kornisi Pernilihan
Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar.
7.
Acara Presiden dan/atau Wakil Presiden Diduga Telab
Melakukan Pelanggaran Hukum
Pemohon
dalam perkara dugaan penyimpangan yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden adalah DPR. Dalam pernyataan permohonannya pada Mahkamah Konstitusi
DPR harus mencantumkan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan I
atau Wakil Presiden, yang diantaranya adalah:
a.
Presiden dan/atau Wakil Presiden
telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela;
b.
danlatau Presiden danlatau Wakil
Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam
pengajuan permohonan yang dilakukan DPR, DPR wajib menyertakan keputusan DPR
dan proses pengambilan keputusan mengenai pendapat DPR terkait pelanggaran yang
dilakukan oleh Presiden dan I atau Wakil Presiden terhadap Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, risalab dan/atau berita acara rapat DPR,
disertai bukti rnengenai dugaan tersebut. Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai
pendapat DPR wajib disampaikan kepada DPR dan Presiden danlatau Wakil Presiden.
D. ALAT BUKTI
Alat-alat
bukti yang dapat dipergunakan dalarn berperkara di Mahkarnah Konstitusi seperti
yang termuat dalam Pasal 36 UU No. 24 tabun 2003, diantaranya adalah sebagai
berikut:
1.
surat atau tulisan;
2.
keterangan saksi;
3.
keterangan ahli;
4.
keterangan para pihak;
5.
petunjuk; dan
6.
alat bukti lain berupa informasi
yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disirnpan secara elektronik dengan
alat optik atau yang serupa dengan itu
Terkait Saksi dan ahli, dalam proses peradilan di Mahkamah
Konstitusi terdapat tiga jenis yaitu, saksi dan ahli dapat diajukan oleh para
pihak yang berperkara, pihak terkait, atau dihadirkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Saksi dan ahli pada peradilan di Mahkamah Konstitusi harus keterangan di bawah
sumpah atau janji, selain itu saksi dan ahli tersebut, masing-rnasing berjumlah
paling sedikit 2 (dua) orang.
Mahkamah Konstitusi menentukan sah atau tidak sahnya alat
bukti dalam persidangan Mahkamah Konstitusi. Dalam penilaian alat-alat bukti
yang diajukan ke persidangan Mahkamah Konstitusi dilakukan dengan memperhatikan
persesuaian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain. Karena
itu, para pihak, saksi, dan ahli wajib hadir memenuhi panggilan.
Ada juga
yang berpendapat bahwa sumber hukum acara di Mahkarnah Konstitusi adalah:
1.
UUD 1945;
2.
UU No. 24 Tahun 2003 dan UU No.8
Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas UU No. 24 Tahun 2003;5
3.
Peraturan-Peraturan Mahkamah
Konstitusi;
4.
Putusan MK; dan
5.
Konvensi/Perjanjian Internasional
E. PENGAMBILAN PUTUSAN
Dalam
pengambilan putusan pada acara perkara di Mahkamah Konstitusi terdapat beberapa
dasar pertimbangan berdasarkan pada Pasal45 UU No. 24 tahun 2003, yang
diantaranya adalah berikut ini.
1.
Mahkarnah Konstitusi memutus perkara
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai
dengan alat bukti dan keyakinan hakim,
2.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang
mengabulkan perrnohonan harus didasarkan pada sekurang-kurangnya 2 (dua) alat
bukti.
3.
Putusan diambil secara musyawarah
untuk mufakat dalam sidang pleno hakim koostitusi yang dipimpin oleh ketua
sidang.
4.
Dalam sidang permusyawaratan, setiap
hakim konstitusi wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis
terhadap permohonan.
5.
Dalam hal musyawarah sidang pleno
setelah diusahakan dengan sungguh sungguh tidak dapat dicapai mufakat bulat,
putusan diambil dengan suara terbanyak, atauapabila tidak dapat diambil dengan
suara terbanyak, suara terakhir ketua sidang pleno hakim konstitusi menenrukan terbanyak,
atauapabila tidak dapat diambil dengan suara terbanyak, suara terakhir ketua
sidang pleno hakim konstitusi menentukan.
6.
Putusan Mahkamah Konstitusi dapat
dijatuhkan pada hari itu juga atau ditunda pada hari lain yang harus
diberitahukan kepada para pihak.
7.
Dalam hal putusan tidak tercapai
mufakat bulat, pendapat anggota Majelis Hakim yang berbeda dimuat dalam
putusan.
8.
Putusan Mahkamah Konstitusi tidak
boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh pemohon atau melebihi
Pennohonan pemohon, kecuali terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok
Permohonan. Perihal amar dalam perkara yang ditangani oleh Mahkamah Konstitusi
maka Mahkamah konstitusi tidak berhak menangani perkara tersebut atau Mahkamah
Konstitusi harus menyatakan bahwa perkara tersebut harus ditarik kembali oleh
pemohon
R A N G K U M A N
Berdasarkan UU No. 24 tahun 2003, perkara yang putusannya
menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:
1.
Pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
3.
Pembubaran partai politik;
4.
Perselisihan ten tang hasil
pemilihan umum; atau
Pendapat
DPR bahwa Presiden dania tau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lainnya, atau perbuatan tercel a , dania tau tidak lagi mernenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam menjalankan proses berperkara di Mahkamah Konstitusi
terdapat dua acara pokok persidangan yaitu, acara pemeriksaan pendahuluan dan
acara pemeriksaan persidangan. Alat-alat bukti yang dapat dipergunakan dalam
berperkara di Mahkamah Konstitusi seperti yang termuat dalarn Pasal 36 UU No.
24 tahun 20m, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
surat atau tulisan;
2.
keterangan saksi;
3.
keterangan ahli;
4.
keterangan para pihak;
5.
petunjuk; dan
6.
alat bukti lain berupa informasi
yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disirnpan secara elektronik dengan
alat optik atau yang serupa dengan itu.
Dalam pengarnbilan putusan pada acara perkara di Mahkamah
Konstitusi terdapat beberapa dasar pertimbangan berdasarkan pada Pasa1 45 UU
No. 24 tahun 2003, yang diantaranya adalah:
1.
Mahkamah Konstitusi memutus perkara
berdasarkan Undang Undang Dasar Negara Repub1ik Indonesia Tahun 1945 sesuai
dengan alat bukti dan keyakinan hakim.
2.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang
mengabulkan permohonan hams didasarkan pada sekurang-kurangnya 2 (dua) alat
bukti.
3.
Putusan diambil secara musyawarah
untuk mufakat dalam sidang pleno hakim konstitusi yang dipimpin oleh ketua
sidang.
4.
Dalam sidang permusyawaratan, setiap
hakim konstitusi wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis
terhadap permohonan.
5.
Dalam hal musyawarah sidang plene
setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai mufakat bulat,
putusan diambil dengan suara terbanyak, atau apabila tidak dapat diambil dengan
suara terbanyak, suara terakhir ketua sidang plene hakim konstitusi menentukan.
6.
Putusan Mahkamah Konstitusi dapat
dijatubkan pada hari itu juga atau ditunda pada hari lain yang hams
diberitahukan kepada para pihak.
7.
Dalam hal putusan tidak tercapai
mufakat bulat, pendapat anggota Majelis Hakim yang berbeda dimuat dalam
putusan.
8.
Putusan Mahkamah Konstitusi tidak
boleh memuat amar putusan yang tidak dirninta oleh pemobon atau melebihi
Permohonan pemohon, kecuali terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok
Permohonan. Perihal amar dalam perkara yang ditangani oleh Mahkamah Konstitusi
maka Mahkamah konstitusi tidak berhak menangani perkara tersebut atau Mahkamah
Konstitusi harus menyatakan bahwa perkara tersebut harus ditarik kembali oleh
pemohon.
KEGIATAN BELAJAR 5
Hukum Acara di Peradilan Agama
A.
PENGERTIAN
Pengertian
dari Peradilan Agama secara jelas terdapat pada Pasal 2 UU No.3 Tahun 2006,
yang dimana "Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu
sebagaimana dimaksud dalam.Undang-Undang ini". Lingkup dari kewenangan
Pengadilan Agama yang terdapat pada Pasal 49 UU No. 3 Tabun 2006 diantaranya
adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
1. perkawinan;
2. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang
dilakukan berdasarkan hukum Islam;
3. wakaf dan shadaqah.
Pada kewenangan dalam bidang perkawinan ialah hal-hal yang
diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku.
Semen tara itu, untuk kewenangan dalam bidang kewarisan ialah penentuan
siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan,
penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta
peninggalan terse but.
Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak mil ik atau
keperdataan lain, maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut
harus diputus lebih dahulu oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum
(terdapat pada Pasal 50 UU No.3 Tahun 2006).
Kewenangan lain yang dapat dimiliki oleh Peradilan Agama
berdasarkan Pasal 52UU No. 3 Tahun 2006 ialah Pengadilan Agama dapat memberikan
keterangan, pertimbangan, dan nasihat tentang hukum Islam kepada instansi
pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta. Selain tugas dan kewenangan
yang dimilinya tersebut, Pengadilan Agama dapat diserahi togas dan kewenangan
lain oleh atau berdasarkan undang-undang.
Hirarki Peradilan Agama diatur dalam UU No.7 Tahun1989 Pasal
3, dimana Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh:
1.
Pengadilan Agama;
2.
Pengadilan Tinggi Agama;
3.
Kekuasaan Kehakiman di lingkungan
Peradilan Agama berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara
Tertinggi.
Berdasarkan
pada Pasal 4 UU No. 3 Tahun 2006, kedudukan dari Pengadilan Agama berkedudukan
di ibu kota Kabupaten/Kota dan daerah hukurnnya meliputi silayah
Kabupaten/Kota. Sementara itu, Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibu kota
Provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi. Pembinaan teknis
peradilan, organisasi, administrasi, dan finansial pengadilan dilakukan oleh
Mahkamah Agung, terlihat dari pengaturan yang terdapat pada huruf a Pasal 5 UU
No.3 Tahun 2006. Pada huruf b Pasa15 UU No.3 Tahun 2006 dijelaskan bahwa
pembinaan tersebut tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan
memutus perkara,
Tugas
dan wewenang dalam tingkatan peradilan, terdapat pada Pasal 51 UU No.3 Tahun
2006, yang menjelaskan bahwa Pengadilan Tinggi Agama bertugas dan berwenang
mengadili perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat
banding. Selain itu, Pengadilan Tinggi Agama juga bertugas dan berwenang
mengadili di tingkat pertama dan terakbir sengketa kewenangan mengadili
antar-Pengadilan Agama di daerah
Proses acara yang dijalankan oleh
Peradilan Agama sebagaimana diatur dalam Pasa154UU No.3 Tahun 2006 yang
menjelaskan bahwa, Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pad a Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang
Undang No.3 Tahun 2006 tersebut. Oleh karena itu asas-asas beracara dalam hukum
perdata berlaku juga untuk beracara di peradilan agama, Namun terdapat satu as
as kekhususan sebagaimana tercantum dalam UU No.7 Tahun 1989 bahwa hanya mereka
yang dirinya mengaku beragama islam yang tunduk dan dapat ditundukkan kepada
kekuasaan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
Hal
yang mendasar dalarn berjalannya peradilan di lingkungan Peradilan agama
sebagairnana yang terdapat pada Pasal 57 UU No.3 Tahun 2006 adalah:
1.
Peradilan dilakukan DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MARA ESA
2.
Tiap penetapan dan putusan dirnulai
dengan kalimat BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM diikuti dengan DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.
B. PROSES BERPERKARA DI PERADILAN
AGAMA
Berjalannya
acara di lingkungan Peradilan Agama yang secara khusus diatur oleh UU No.3
Tahun 2006 ialah proses acara dalam bidang perceraian yang biasa disebut dengan
cerai atau talak. Hal tersebut terlihat pada Pasal 65UU No.3 Tabun 2006 yang
rnenjelaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan
setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendarnaikan
kedua belah pihak. Terdapat tiga acara yang diatur oleh UU No.3 Tahun 2006,
yaitu cerai talak yang dilakukan oleh suarni, cerai gugat yang dilakukan oleh
istri dan cerai dengan alasan zina, Berikut ini akan dijelaskan perbedaan dari
ketiga acara perceraian tersebut
Berikut
iru akan dijelaskan perbedaan dan ketiga acara perceraian tersebut,
1.
Cerai Talak yang Dilakukan Oleh Suami
Cerai
Talak yang dilakukan oleb suami dijelaskan dalarn Pasal 66, 67, 68 UU No.3
Tahun 2006, yang memuat penjelasan sebagai berikut:
a. Permohonan berperkara bagi seorang
suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya harus mengajukan
permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar
talak.
b. Permohonan yang diajukan kepada
Pengadilan yang berada didaerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon,
kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang
ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
c. Dalam hal termohon bertempat
kediarnan di luar negeri, permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah
hukumnya rneliputi tempat kediaman pemohon.
d.
Dalam
hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan
diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan
mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
e.
Permohonan
soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri
dapat diajukan bersama-sarna dengan permohonan cerai talak ataupun sesudab
ikrar talak diucapkan.
f.
Perrnohonan
yang diajukan harus memuat nama, umur, dan tempat kediaman pemohon, yaitu
suarni, dan termohon, yaitu istri juga alasan alasan yang menjadi dasar cerai
talak.
g.
Pemeriksaan
permohonan cerai talak dilakukan oleh Majelis Hakim selarnbat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari setelah berkas atau surat permohonan cerai talak didaftarkan
di Kepaniteraan.Pemeriksaan perrnohonan cerai talak dilakukan dalam sidang
tertutup.
2.
Cerai Gugat yang Dilakukan Oleh Istri
Cerai
Gugat yang dilakukan oleh istri dijelaskan dalam Pasal 73, 74, 75, 76, 77, 78
UU No.3 Tahun 2006, yang mernuat penjelasan sebagai berikut:
a.
Gugatan perceraian yang diajukan
oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan,diajukan di daerah tempat kediaman
penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat
kediaman bersama tanpa izin tergugat.
b.
Dalam hal penggugat bertempat
kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan yang
daerah hukurnnya meliputi tempat kediaman tergugat.
c.
Dalam hal penggugat dan tergugat
bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada
Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
d.
Apabila gugatan perceraian
didasarkan atas alasan salah satu pihak mendapat pidana penjara, maka untuk
memperoleh putusan perceraian, sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan
salinan putusan Pengadilan yang berwenang yang memutuskan perkara disertai
keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
e.
Apabila gugatan perceraian
didasarkan atas alasan bahwa tergugat mendapat cacat badan at au penyakit
dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami, maka Hakim dapat
memerintahkan tergugat untuk memeriksakan diri kepada dokter.
f.
Apabila gugatan perceraian
didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus
didengar keterangan saksi –saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang
yang dekat dengan suami istri.
g.
Pengadilan setelah mendengar
keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami istri dapat
mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-rnasing pihak ataupun orang
lain untuk menjadi hakam.
h.
Selama berlangsungnya gugatan
perceraian, atas perrnohonan penggugat atau tergugat atau berdasarkan
pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan
suami istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.
i.
Selama berlangsungnya gugatan
perceraian, atas permohonan penggugat, Pengadilan dapat:
1)
menentukan nafkah yang ditanggung
oleh suami;
2)
menentukan hal-hal yang perlu unruk
menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak;
3)
menentukan hal-hal yang perlu untuk
menjarnin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri
atau barang barang yang menjadi hak suami alan barang-barang yang menjadi hak
istri.
3.
Cerai dengan
Alasan Zina
Cerai dengan alasan dijelaskan
dalam Pasa187 dan 88UU No.3 Tabun 2006, yang memuat penjelasan sebagai berikut:
a.
Apabila
permohonan at au gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu pihak rnelakukan
zina, sedangkan pernohon atau penggugat tidak dapat rnelengkapi bukti-bukti dan
termohon atau tergugat rnenyanggah alasan tersebut, dan Hakim berpendapat bahwa
permohonan atau gugatan itu bukan tiada pernbuktian sarna sekali serta upaya
peneguhan alat bukti tidak mungkin lagi diperoleh baik dad pernohon atau
penggugat rnaupun dari terrnohon atau tergugat, rnaka Hakim karena jabatannya dapat
menyurub pemohon atau penggugat untuk bersumpah.
b.
Pihak
terrnohon atau tergugat diberi kesempatan pula untuk meneguhkan sanggahannya
dengan cara yang sarna.
c.
Apabila
surnpah dilakukan oleh suami, maka penyelesaiannya dapat dilaksanakan dengan
cara li'an.
d.
Apabila
sumpah dilakukan oleh istri rnaka penyelesaiannya dilaksanakan dengan hukum
acara yang berlaku.
C. UPAYA PERDAMAIAN DALAM PERKARA
PERCERAIAN
Hadirnya
perkara perceraian tentunya perlu juga diupayakan agar dapat diselesaikan
secara kekeluargaan dan menghasilkan perdamaian (rujuk kembali). Upaya
perdamaian yang dilakukan dalam perkara perceraian di lingkungan Pengadilan
Agama dilakukan sejak sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian dimana
Hakim berusaha mendamaikan kedua pihak. Dalam sidang perdamaian tersebut, suami
istri harus datang secara pribadi, kecuali apabila salab satu pihak bertempat
kediaman di luar negeri, dan tidak dapat datang menghadap secara pribadi dapat
diwakili oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. Apabila kedua
pihak bertempat kediaman di luar negeri, maka penggugat pada sidang perdamaian
tersebut harus menghadap secara pribadi.Selama perkara belum diputuskan, usaha
mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan. Apabila tercapai perdamaian,
maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan yang ada
dan telah diketahui oleh penggugat sebelum perdamaian tercapai, upaya-upaya
perdamaian tersebut diatur dalam Pasal 82 dan 83 DU No.3 Tahun 2006.
D. PUTUSAN PERCERAIAN
Putusan dalarn perkara perceraian diatur lebih lanjut dalam
Pasal 81 UU No.3 Tahun 2006, yang dimana suatu perceraian dianggap terjadi
beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak putusan Pengadilan memperoleh
kekuatan hukum tetap.
E. GUGURNYA PERKARA PERCERAIAN
Proses perceraian dapat saja gugur atau batal bilamana suami
atau istri meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan Agama seperti yang telah
diatur dalam Pasal 79 UU No.3 Tahun 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar