Minggu, 15 September 2019

Sistem Hukum Indonesia. Modul 8


MOOUL 8
Hukum Acara
Dr. H. Nandang Alamsah Deliarnoor, S.H., M.Hum.

P E N D A H U L U A N

Berdasarkan bagan travesium Crince Le Roy muara dari ketiga cabang  hukum yang dijelaskan dalam modul 5 sampai dengan 7 yaitu hukum perdata, hukum administrasi negara dan hukum pidana ini adalah hukum acara masing-masing cabang hukum tersebut. Oleh karena itu di modul 8 akan dijelaskan bagaimana hukum acara perdata, hukum acara administrasi dan hukum acara pidana serta the last but not list perkembangan beracara di Mahkamah Konstitusi sebagai hukum acaranya dari hukum tata negara sebagai fenomena menarik akhir-akhir ini, Namun berdasarkan kebutuhan praktis beracara di peradilan agama khususnya bagi umat Islam sangat dibutuhkan, maka dalam Modul 8 ini ditambah satu materi tentang hukum acara di peradi1an agama.
Oleh karena itu, dalam modul ini akan dijelaskan berturut-turut dalam kegiatan belajar sebagai berikut:
1.Hukum Acara Perdata;
2.Hukurn Acara Pidana;
3.Hukum acara di Peradilan Tata Usaha Negara;
4.Hukum Acara di Mahkamah Konstitusi;
5.Hukum Acara di Peradilan Agama









KEGIATAN BELAJAR 1

Hukum Acara Perdata

A. PENGERTIAN HUKUM ACARA PERDATA

Hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang menentukan bagaimana cara-cara mengajukan/menggugat ke depan pengadilan perkara-perkara keperdataan dalam arti luas (meliputi juga hukum dagang) dan cara melaksanakan putusan-putusan atau vonis hakim.
Hukum acara perdata adalah hukum formal yang berfungsi untuk mempertahankan dan melaksanakan isi hukum materiil, baik hukum dagang materiil maupun hukum perdata materiil.

Pada zaman Belanda, hukum acara perdata dapat dibagi menjadi dua bagian:
1.       HIR (Herzene Inlands Reglement), merupakan hukum acara perdata yang berlaku di daerah Jawa dan Madura;
2.        Rbg (Reglement Buitergewesten}, merupakan hukum acara perdata yang berlaku di daerah luar Jawa dan Madura.

B. ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA
1.    Asas Hakim Bersifat Menunggu
Dalarn perkara perdata, inisiatif untuk mengajukan perkara ke pengadilan sepenuhnya terletak pada pihak yang berkepentingan. Jadi apakah perkara tersebut akan diproses atau tidak atau tuntutan hak akan diajukan atau tidak, hal ini sepenuhnya diserahkan pad a pihak yang berkepentingan. Jadi hakim sikapnya menunggu tuntutan hak yang diajukan kepadanya. Setelah ada tuntutan hak dalam bentuk surat gugatan yang telah ditandatangani oleh penggugat atau kuasa hukumnya maka baru perkara tersebut diproses oleh pengadilan (pasal 118 HIR, 14 Rbg).

2.    Asas Hakim Dilarang Menolak Perkara
Apabila suatu perkara sudah masuk ke pengadilan, hakim tidak boleh menoJak perkara tersebut dengan aJasan hukumnya tidak ada atau kurang jelas.Hakirn dilarang menolak perkara karena hakim dianggap tahu hukumnya. Apabila ia tidak dapat menemukan hukumnya maka ia wajib menggali hukum yang hidup di tengah masyarakat atau mencarinya dalam yurisprudensi.
3.    Asas Hakim Bersifat Aktif
Hakim membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya untuk mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
4.    Asas Persidangan yang Terbuka
Asas ini dimaksudkan agar kontrol sosial dari masyarakat atas jalannya sidang pemeriksaan perkara dengan tujuan untuk memperoleh keputusan hakim yang objektif, tidak berat sebelah, dan tidak mernihak.
5.        Asas Bahwa Kedua Belah Pihak Harus Didengar
Dalam memeriksa perkara perdata, para pihak hams diperlakukan sama dan didengar bersama-sama serta tidak mernihak. Pengadilan mengadili menurut hukum yang tidak membedakan orang.Asas ini mengandung arti bahwa di dalam hukum acara perdata, hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak saja; pihak lawan harus diberi kesempatan untuk memberikan keterangan dan untuk mengeluarkan pendapatnya.Hal ini berarti pula bahwa pengajuan dan pemeriksaan alat bukti harus dilakukan di muka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak (Pasal 132 a, 121 ayat 2 HIR dan Pasal 157 Rbg).

6.        Asas Putusan Hakim Harus Disertai Alasan-alasan
Apabila proses pemeriksaan perkara sudah selesai maka hakim memutuskan perkara tersebut dan keputusan hakim ini harus memuat alas an­alasan yang menjadi dasar untuk mengadilinya. Alasan-alasan itu dicantumkan sebagai pertanggungjawaban hakim dari keputusannya kepada para pihak dan kepada masyarakat. Karena adanya alasan-alasan itulah maka putusan mempunyai nilai objektif dan putusan itu berwibawa dan bukan karena hakim yang menjatuhkannya.

7.        Asas "Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan"
Yang dimaksud sederhana adalah acara yang jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit.Kata cepat menunjukkan pada jalannya peradilan.Terlalu banyak formalitas merupakan hambatan bagi jalannya peradilan.Tidak jarang suatu perkara tertunda bertahun-tahun karena saksi tidak datang atau para pihak bergantian tidak datang atau minta mundur, bahkan perkara dilanjutkan oleh ahli warisnya.Ditentukan biaya yang ringan agar terpikul oleh masyarakat.Biaya yang tinggi menyebabkan keenganan yang berkepentingan untuk mengajukan perkara ke pengadilan.
8.        Asas Objektivitas
Maksud asas ini adalah bahwa hakim tidak boleh bersikap berat sebelah dan memihak.Untuk menjamin dilaksanakannya asas ini para pihak bisa mengajukan keberatan jika ternyata memang sikap hakim itu tidak objektif.
C. PROSES BERPERKARA DALAM HUKUM ACARA PERDATA
Proses berperkara (pengajuan gugatan) dalam hukum acara perdata diawali dengan pemberian kuasa untuk mengajukan gugatan perdata yang disertai dengan permohonan Sita Jaminan (Conservatoir Beslag). Gugatan perdata ini bisa diajukan secara lisan di depan Ketua Pengadilan Negeri. Conservatoir Beslag mempunyai sifat droit de suite yang artinya hukum akan mengikuti bendanya ke manapun (tidak bisa dialihkan)
Pada tingkatan Pengadilan Negeri, ada tawaran damai atau tidak damai.Untuk memenuhi tawaran damai, dibuat akta perdamaian.Bila tidak dipenuhi, maka dapat dibuat permohonan eksekusi putusan.Setelah itu dibuat penetapan aanmaning (peringatan) yang kemudian dilanjutkan dengan penetapan sita eksekusi (berita acara eksekusi) dan kemudian penetapan hari/tanggal/tempat 1elang oleh Kantor Lelang Negara.Selanjutnya, dilakukan pengumuman/iklan lelang dan akhirnya lelang eksekusi.
Hal-hal yang dimuat dalam gugatan adalah berikut ini.
1.      Alasan hukum yang berisi hubungan hukum dan dasar hukum gugatan.
2.      Sesuai dengan hukum acara, misalnya locus delicti (gugatan diajukan di Pengadilan Negeri di tempat tergugat tinggal).
3.      Permohonan
Jika tidak ditempuh jalan damai, maka berlaku hukum acara perdata (proses berperkara) yang mencakup langkah-langkah sebagai berikut.
1.                      Jawaban: bersifat wajib diajukan oleh Tergugat, terdiri dari:
a.        Permohonan Conservatoir Beslag.
b.        Penetapan Conservatoir Beslag.
c.        Berita Acara Sita oleh Juru Sita.
-                 Konvensi > Gugatan yang pertama (diajukan oleh Penggugat kepada Tergugat)
-                 Rekonvensi : gugatan balik dari Tergugat kepada Penggugat.

2.                      Replik: jawaban dari Penggugat terhadap Jawaban Tergugat.
3.                      Duplik: balasan Jawaban Tergugat terhadap Replik Penggugat.
4.                      Pembuktian.
5.                      Kesimpulan: tertulis, dibuat oleh Penggugat maupun Tergugat kemudian diberikan kepada hakim.
6.                      Hakim memberikan putusan.

Pada tingkat banding, dibuat Memori Banding dan Kontramemori Banding dan diikuti oleh putusan hakim.
Pada tingkat kasasi, diajukan Memori Kasasi dan Kontramemori Kasasi yang selanjutnya diikuti oleh putusan hakim. Terhadap hasil putusan hakim pada tingkat kasasi, dapat diajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) dengan syarat ada bukti baru (novum) yang tidak didapat pada persidangan sebelumnya.

D. KETENTUAN SAKSI DALAM HUKUM ACARA PERDATA
1.        Harus mengenai peristiwa-peristiwa yang dilihat dengan mata sendiri atau yang dialami sendiri oleh seorang saksi (testimonium de auditu).
2.        Bukanlah suatu alat pembuktian yang sempuma dan mengikat hakim, tetapi terserah kepada hakim untuk menerimanya atau tidak.
3.        Saksi yang sangat rapat hubungan kekeluargaannya dengan pihak yang berperkara, dapat ditolak oleh pihak lawan, sedangkan saksi itu sendiri dapat meminta dibebaskan dari kewajibannya untuk memberikan kesaksian.
4.        Keterangan 1 orang saksi tidak cukup, artinya hakim tidak boleh mendasarkan putusan tentang kalah menangnya suatu pihak atas keterangan I orang saksi saja. Jadi kesaksian itu selalu harus ditarnbah dengan suatu alat pernbuktian lain
KEGIATAN BELAJAR 2
Hukum Acara Pidana
A. PENDAHULUAN
Hukum acara pidana adalah keseluruhan peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya alat-alat penegak hukum melaksanakan dan mempertahankan hukum pidana materiil dan diatur dalam KUHAP yang telah disahkan dalam bentuk Undang-undang, yakni UU No.8 Tahun 1981.
Alat-alat penegak hukum adalah kepolisian negara, kejaksaan, pengadilan, serta pegawai (pejabat) negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang, contoh: PNS yang menegakkan hukum lingkungan (UU No. 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup), petugas pajak, di lingkungan Pemerintah Daerah dikenal adanya petugas Pamong Praja.
Dalam menyelesaikan perkara, alat penegak hukum harus berdasarkan pada ketentuan-ketentuan dari berikut ini.
1.    Hukum acara pidana yang tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-undang No.8 Tahun 1981.
2.    Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
2.    Undang-undang No.2 Tahun 2002 tentang Pokok Kepolisian.
3.    Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Pokok Kejaksaan.
4.    Undang-undang NO.5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.

Van Bemmelen melukiskan hukurn acara pidana sebagai berikut: ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleb negara karena adanya dugaan terjadinya pelanggaran undang-undang pidana:
1.    negara melalui penyidiknya atau alatnya melakukan penyidikan yang benar;
2.    sedapatnya menyidik pelaku perbuatan tersebut;
3.    mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap pelaku dan kalau perlu menahannya
4.    mengurnpulkan bahan-bahan bukti yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakirn dan mernbawa terdakwa ke depan pengadilan/hakim tersebut;
5.    hakim rnernberikan keputusan terbukti atau tidaknya perbuatan yang dituduhkan pada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib;
6.    akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib tersebut.

Penyidik: polisi atau pejabat pemerintah yang berwenang yang rnelakukan serangkaian tindakan rnenurut UU untuk mencari dan rnengumpulkan bukti.
Penyelidik: polisi yang rnelakukan serangkaian tindakan pendahuluan yang menentukan perlu tidaknya dilakukan penyidikan.

B. ALAT-ALAT BUKTI DALAM KUHAP
Menurut pasal184 KUHAP, aJat bukti itu terdiri dari:
1.        Keterangan saksi
2.        Keterangan abli : apa yang dinyatakan seorang ahli di dalam sidang.
3.        Surat
4.        Petunjuk: perbuatan, kejadian atau keadaan yang karen a persesuaiaonya balk antara yang satu dengan yang lain rnaupun dengao tindak pidana itu sendiri rnenandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
Petunjuk ini hanya diperoleh dari:
a.    Keterangan saksi
b.    Surat
c.    Keterangan terdakwa (apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri).
d.   Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.Keterangan terdakwa tidak cukup untuk membuktikan bahwa dirinya bersalah melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lainnya.
5.    Keterangan terdakwa
C.  PERBEDAAN ANTARA HUKUM ACARA PERDATA DENGAN HUKUM ACARA PIDANA
Tabel 8.1
Perbedaan Hukum Acara Perdata dengan Hukum Acara Pidana
No.
Aspek yang
HukumAcara
Hukum Acara Pidana
Dibedakan
Perdata
1.
Alat bukti
  Surat, saksi,
Keterangan saksi,
persangkaan,
keterangan ahli, surat,
pengakuan, dan
petunjuk, dan keterangan
  Sumpah
terdakwa
2.
  Mengadili
  Hakim Perdata
Hakim Pidana
3.
Pelaksanaannya
  Pelanggaran Terhadap
Pelanggaran terhadap hukum
Hukum ini baru diambil
 ini, tindakan diambil oleh alat
tindakan setelah adanya
Perlengkapan Negara tampa harus
Pengaduan
Adanya pengaduan dari pihak lain
(pelaksanaan pidana seluruhnya
Ditentukan oleh Negara)
4.
Penarikan
  Dikenal Penarikan suatu
Tidak dikenal penarikan
kernbali suatu
  Perkara sebelum ditentukannya
suatu perkara
perkara
  Putusan Hakim
5.
  Kedudukan Para
Kedudukannya sama antara
  Kedudukan antara Penuntut umum
  Pihak
Penggugat dan Tergugat
  Dengan pihak yang diduga melaku
  (Subordinat)
  -kan tindakan tindak kejahatan
  Dilapangan tidak seimbang wa-
  Laupun dalam teorinya mempunyai
  Kedudukan yang sama. Jaksa
  Mewakili Negara
6.
Jenis Hukuman
  Ganti Rugi
  Hukuman Pokok dan
  Hukuman Tambahan

Perbedaan antara ganti rugi dan denda :
1.    Ganti rugi merupakan hasil kesepakatan dari kedua belah pihak dan pengganti kerugian diberikan kepada pihak yang menang.
2.    Denda, mau tidak mau harus dipenuhi. Jenis dan besar denda diatur oleh negara (ditentukan dalam UU), pelunasan denda diberikan kepada kas negara.

D. ASAS-ASAS DALAM SISTEM HUKUM ACARA PIDANA
1.        Asas Peradilan Dilakukan Berdasarkan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Asas ini tercantum dalam Pasal 4 KUHAP dan Pasal ini sesuai dengan Pas a] 29 UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut.
a.       Negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.
b.      Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-rnasing dan untuk beribadat menu rut kepercayaan dan agamanya itu.

2.        Asas Bahwa Segala Campur Tangan dalam Urusan Peradilan oleh Pihak-pihak Lain Di Luar Kehakiman Dilarang, Kecuali dalam Hal­ Hal yang Disebutkan dalam Undang-Undang Dasar
Dengan asas ini dimaksudkan bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka ini mengandung pengertian di dalamnya terdapat kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan kekuasaan negara lainnya, dan bebas dari paksaan, direktiva at au rekomendasi yang datang dari extra judicial kecuali dalam hal­ hal yang dibolehkan oleh undang-undang
3.        Asas Bahwa Pengadilan Mengadili Berdasarkan Hukum dengan Tidak Membeda-bedakan Orang
Tujuan dari asas ini adalah menjarnin hak asasi manusia yang mendapat perlindungan di dalam negara yang berdasarkan Pancasila.
4.         Asas Praduga Tidak Bersalah
Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut danlatau dihadapkan ke depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya keputusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Asas ini dimaksudkan untuk menjamin hak asasi manusia.
5.         Asas Pemeriksaan Perkara oleh Majelis Hakim
Semua pengadilan memeriksa dan mernutuskan dengan sekurang­ kurangnya tiga hakim, kecuali bila undang-undang menentukan lain. Asas ini diharapkan hakim dalam meutuskan perkara bersikap objektif fan tidak berat sebelah.

6.        Asas Bahwa Orang yang Bersangkut Perkara Berhak Memperoleh Bantuan Hukum
Hak ini diberikan semata-mata untuk kepentingan pembelaan tersangka atau terdakwa. Maksudnya untuk menghindari kemungkinan bahwa seorang terdakwa tidak mengetahui dan tidak mengerti apa yang didakwakan kepadanya. Karena memang dia tidak mengerti strategi dan taktik untuk membela hak-hak pribadinya.

7.         Asas Hak Untuk Meminta Peninjauan Kembali
Artinya bahwa terhadap keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat dirninta kembali peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung dengan syarat-syarat tertentu yaitu syarat formal dan syarat materiilnya.
Syarat formal adalah menyangkut berhak atau tidaknya si pernohon mengajukan peninjauan kembali tersebut.Sedangkan syarat materiil adalah syarat yang menyangkut keputusan pengadilan yang diminta untuk ditinjau kembali itu, karena misalnya ditemukan alat bukti yang baru (novum) dan tidak disampaikan waktu pemeriksaan perkara tersebut.

8.         Asas Perintah Tertulis Untuk Penangkapan
Artinya bahwa perintah penangkapan harus dilakukan oleh petugas kepolisian dengan memperlihatkan surat tugas dan surat perintah penangkapan kepada tersangka.
Asas ini memberikan jaminan kepada orang yang disangka melakukan tindakan pidana, bahwa dia tidak: ditangkap secara gelap oleh oknurn-oknum yang tidak bertanggung jawab, tetapi dia ditangkap secara legal dan resmi oleh petugas kepolisian. Surat tugas penangkapan haws berisikan alasan-alasan penangkapan dan uraian singkat tentang perkara yang dipersangkakan dan tempat dia akan diperiksa.
9.         Asas Perintah Tertulis Untuk Penahanan
Perintah penahanan dan penahanan lanjutan harus mernenuhi syarat-syarat undang-undang, yaitu:
a.       untuk kepentingan penyidikan, penuntutan atau perneriksaan.
b.      karena dikhawatirkan tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak at au menghilangkan barang bukti.
Syarat penahanan sarna dengan syarat penangkapan, yaitu dengan memberikan surat penahanan kepada tersangka atau terdakwa atau surat penetapan hakirn dan mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa, menyebutkan alasan-alasan penahanan dan uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan dan tempat penahanan. Kernudian tembusan surat penahanan disampaikan pada keluarganya.

E. PRAPERADILAN
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutuskan menurut cara yang diatur dalam undang-undang tentang:
1.      sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
2.      sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tersangka atau pennintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
3.      permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau kuasa hukum tersangka yang perkaranya tidak dibawa ke pengadilan

Jadi apabila pihak kepolisian melakukan penangkapan, penahanan, penuntutan tindakan-tindakan lain yang:
1.         tidak didasarkan kepada peraturan undang-undang;
2.         adanya kekeliruan mengenai orangnya;
3.         adanya kekeliruan dalam menetapkan peraturan undang-undang;
4.         maka seseorang dapat melakukan aksi praperadilan di pengadilan negeri setempat.

Orang yang berhak mengajukan praperadilan berdasarkan ketentuan pasal 79,80, dan 81 KUHAP adalah berikut ini.
1.      Tersangka atau keluarga tersangka ataupun kuasa hukumnya apabila mengenai sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan
2.      Penyidik atau penuntut urn urn atau pihak ketiga yang berkepentingan untuk merneriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau tuntutan.
3.      Tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan mengajukan ganti rugi itu kepada pihak ketua pengadilan setempat dengan menyebutkan alasan­ alasannya.

Lamanya masa penahanan tersangka atau terdakwa,
1.      Oleh Kepolisian : 30 hari dan dapat diperpanjang 30 hari lagi.
2.      Oleh Jaksa Penuntut Umum: 20 hari dan dapat diperpanjang 30 hari (oleh Ketua Pengadilan Negeri).
3.      Oleh Pengadilan Negeri : 30 hari dan dapat diperpanjang 60 hari lagi.
4.      Oleh Pengadilan Tinggi : 30 hari dan dapat diperpanjang 60 hari lagi.
5.      Oleh Mahkamah Agung: 50 hari dan dapat diperpanjang 60 hari lagi

R A N G K U M A N
Hukum acara pidana adalah keseluruhan peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya alat-alat penegak hukum melaksanakan dan mempertahankan hukum pidana materiil dan diatur dalam KUHAP yang telah disahkan dalam bentuk Undang-undang, yakni UU No. 8 Tahun 1981. Dalam pelaksanaan penegakan hukum diperlukan adanya alat penegak hokum, alat-alat penegak hukum tersebut diantaranya adalah kepolisian negara, kejaksaan, pengadilan, serta pegawai (pejabat) negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Asas-asas dalam hukum acara pidana diantaranya adalah:
1.      Asas peradilan dilakukan berdasarkan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa;
2.      Asas bahwa segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak­ pihak lain di luar kehakirnan dilarang, kecuali dalam hal-hal yang disebutkan dalarn Undang-undang Dasar;
3.      Asas bahwa pengadilan mengadili berdasarkan hukum dengan tidak membeda-bedakan orang;
4.      Asas praduga tidak bersalah;
5.      Asas pemeriksaan perkara oleh majelis hakim;
6.      Asas bahwa orang yang bersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum;
7.      Asas hak untuk merninta peninjauan kembali;
8.      Asas perintah tertulis untuk penangkapan;
9.      Asas perintah tertulis untuk penahanan

KEGIATAN BELAJAR 3
Hukum Acara di Peradilan Tata Usaha Negara

A.    PENGERTIAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA  MENU RUT UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986
Keputusan Tata Usaha Negara menurut Pasal 1 ayat 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
1.    Penetapan tertulis merupakan yang diharuskan oleh karena sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis apabila sudah jelas :
a.    Badan atau Pejabat TUN mana yang mengeluarkan.
b.    Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu.
c.    Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan didalamnya.
2.      Bersifat konkrit artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan TUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertntu at au dapat ditentukan, misalnya keputusan mengenai IMB si A, izin usaha bagi si B dsb.
3.      Bersifat individual artinya Keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Kalau yang dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu disebutkan satu persatu misalnya pelebaran jalan disebutkan nama­ nama yang terkena pelebaran jalan tersebut.
4.      Bersifat final artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau intsansi lain belum bersifat final karena belum menimbulkan hak dan kewajiban, misalnya keputusan pengangkatan seorang Pegawai Negeri memerlukan persetujuan BAKN.
Menurut Prajudi Atmosudirdjo," terdapat empat macam bentuk pelaksanaan ketetapan.
1.    Penetapan (beschikking, administrative discretion).
Adalah perbuatan hukum sepihak yang bersifat Administrasi Negara, dilakukan oleh pejabat atau instansi penguasa negara yang berwenang dan berwajib khusus untuk itu.
2.    Rencana (plan)
Adalah salah satu bentuk daripada perbuatan hukum Administrasi Negara yang meneipta hubungan hukum (yang mengikat) antara penguasa dan para warganegara masyarakat.Sedangkan dari segi Hukum Adrninistrasi Negara, maka suatu rene ana adalah seperangkat tindakan-tindakan yang terpadu, dengan tujuan agar terciptalah suatu keadaan yang tertib bilamana tindakan-tindakan tersebut telah selesai direalisasikan.
3.    Norma Jabaran (concrete normgevingy
Adalah suatu perbuatan hukum (rechtshandeling) daripada Penguasa Adrninistrasi Negara untuk mernbuat agar suatu ketentuan Undang­ Undang mempunyai isi yang konkrit dan praktis dan dapat diterapkan menurut keadaan waktu dan tempat.Setiap undang-undang dan pada umumnyajuga peraturan pemerintah, hanya memuat ketentuan-ketentuan yang bersifat prinsip atau umum.Oleh karena itu maka setiap ketentuan undang-undang (dalam arti luas) yang bersifat umum perlu d:ijabarkan lebih lanjut oleh Administrasi Negara.

4.    Legislasi Semu (pseudo-wetgeving)

Adalah penciptaan daripada aturan-aturan hukum oleh pejabat Administrasi Negara yang berwenang yang sebenarnya dimaksudkan sebagai garis-garis pedoman (richtlijen) pelaksanaan kebijakan (policy) untuk menjalankan suatu ketentuan undang-undang, akan tetapi dipublikasikan secara luas.
B.  KEPUTUSAN ATAU PENETAPAN TATA USAHA NEGARA SEBAGAI PANGKAL SENGKETA
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 4 UU No.5 Tahun 1986, bahwa sengketa Tata Us aha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) , termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan demikian, Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), merupakan dasar lahirnya sengketa Tata Usaha Negara. Pasal 1 angka 3 merumuskan Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi sese orang atau badan hukum perdata.
C.  ORGANISASIPERADILAN TATA USAHA NEGARA (PTUN)
Berdasarkan ketentuan Pasal 8 UU No.5 Tahun 1986, pengadilan tata usaha negara terdiri atas Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi Tata Us aha Negara (PTTUN) sebagai tingkat banding. Struktur ini sarna dengan struktur peradilan urnum. Namun, yang membedakannya adalah alur perkara. Alur perkara dalam peradilan umum berbeda dengan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Perbedaan itu disebabkan dalam jalur PTUN terdapat saluran upaya administratif.
Peradilan Tata Us aha Negara dibentuk berdasarkan keputusan Presiden (Pasal 9 UU No.5 Tahun 1986). Sedangkan PTTUN dibentuk dengan undang­ undang
D. UPAYA ADMINISTRATIF
Tidak setiap Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dapat langsung digugat melalui peradilan tata usaha negara. Terhadap KTUN yang mengenal upaya administratif disyaratkan untuk menggunakan saluran upaya administratif.
Untuk KTUN yang memungkinkan adanya upaya administratif, gugatan lang sung ditujukan kepada pengadilan tinggi tata usaha negara (PTTUN) (pasal 51 ayat 3), sedangkan bagi KTUN yang tidak mengenal adanya upaya administratif, gugatan ditujukan kepada PTUN (tingkat pertama). Dengan demikian, terdapat dua j alur berperkara di muka peradilan Tata U saha N egara (PTUN).
E. TENGGANG WAKTU PENGAJUAN GUGATAN
Tenggang waktu mengajukan gugatan diberikan saat yang bervariasi dalam menghitung sejak waktu dimulainya. Terdapat empat kriteria tentang tenggang waktu pengajuan gugatan.
1.      Sembilan puluh had sejak hari diterimanya Keputusan Tata Usaha Negara.
2.      Setelah lewatnya tenggang waktu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang memberi kesempatan kepada Administrasi Negara untuk memberikan keputusannya namun ia tidak berbuat apa-apa,
3.      Setelah lewat waktu ernpat bulan, apabila peraturan perundang-undangan tidak memberikan kepada Administrasi Negara untuk memberikan keputusan dan ternyata tidak berbuat apa-apa.
4.      Sembilan puluh had sejak pengumuman keputusan TUN, jika keputusan TUN itu harus diumumkan,

F. DASAR-DASAR PENGUJIAN
Dasar hukum untuk menguji KTUN menurut Pasal 53 ayat 2 UU No.5 Tahun 1986, pada pokoknya berkenaan dengan:
1.      perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
2.      penyalahgunaan wewenang;
3.      sewenang-wenang.

Ketentuan ini oleh UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 diubah menjadi:
1.      KTUN yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang­ undangan yang berlaku;
2.      KTUN yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

G. PENUNDAANPELAKSANAAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA
Pasal 67 ayat I UU No. 5 Tahun 1986, menyebutkan hal-hal yang berkenaan dengan penundaan keputusan TUN untuk dilaksanakan diantaranya:
1.      gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya keputusan.
2.      mernberikan hak kepada penggugat dalam keadaan tertentu diperkenankan menyimpang seperti yang tercantum dalam ayat 1. jika terdapat keadaan yang mendesak yang mengakibatkan kerugian si penggugat.

H. ACARA PEMERIKSAAN PENDAHULUAN (PASAL 62 DAN 63)
Sebelum had persidangan ditentukan dan sengketa diperiksa di persidangan untuk diputuskan, ternyata terdapat kewenangan pengadilan untuk memeriksa atau melakukan pemeriksaan pendahuluan. Pemeriksaan tennaksud dapat berupa berikut ini
1.         Rapat Permusyawaratan (Prosedur Dismisal)
Di dalam rapat permusyawaratan (Pasal 62), Ketua Pengadilan dalam hal ini Ketua PTUN (tingkat pertama) berwenang memutuskan bahwa gugatan yang diajukan sebelum diperiksa di persidangan dapat dinyatakan tidak diterima atau tidak mempunyai dasar yang kuat. Hal ini disebabkan oleh:
a.       pokok gugatan (fakta yang dijadikan dasar gugatan) itu tidak terrnasuk wewenang pengadilan;
b.      syarat-syarat gugatan (Pasal 56) tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun telah diberitahukan dan diperingatkan;
c.       gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak.
Hasil dari rapat permusyawaratan dapat berupa penerimaan atau penolakan terhadap gugatan.
2.         Pemeriksaan Persiapan
Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, hakim wajib mengadakan pemeriksaan persiapan untuk me1engkapi gugatan yang kurang jelas (Pasal 63). Dalam hal ini hakim bertindak:
a.       mernberi nasehat kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan dan rnelengkapi dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu 30 hari.
b.      dapat diminta penjelasan kepada badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan.
Bilamana penggugat tidak menyempurnakan gugatannya sesuai dengan yang dinasehatkan oleh hakim dalam jangka waktu 30 hari, maka hakim menyatakan gugatan itu tidak dapat diterima. Untuk ini tidak ada upaya hukum terkecuali penggugat hams mengajukan gugatan baru.
Persamaan antara rapat permusyawaratan dengan pemeriksaan ialah kedua hal itu merupakan suatu pemeriksaan pendahuluan, sebelum sengketa diperiksa dan diputus di persidangan Pengadilan Tata Usaha Negara (tingkat pertama).
Perbedaannya adalah pada rapat permusyawaratan ditujukan kepada penggugat untuk memperbaiki gugatannya tanpa ditetapkan jangka waktunya walaupun pada waktu mengucapkan penetapannya kedua belah pihak dipanggil, adanya penetapan, perlawanan, pemeriksaan secara singkat untuk perlawanan. Sedangkan dalam pemeriksaan persiapan, walaupun ditujukan kepada penggugat untuk memperbaiki dan melengkapi gugatannya dalam tenggang waktu 30 hari, akan tetapi badan atau pejabat adrninistrasi negara yang akan menjadi tergugat terlebih dahulu dirninta penjelasannya, untuk memberikan informasi atau data yang diperlukan oleh penggugat dan adanya gugatan baru, bilarnana penggugat tidak mengindahkan nasihat hakim.
I.     ACARA PEMERIKSAAN PERKARA DI PTUN
Acara atau pemeriksaan perkara di PTUN dapat digunakan antara lain berikut ini.
1.         Acara Biasa
a.    Tindakan sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan, di antaranya:
·       Pengajuan gugatan oleh si penggugat (Pasa153 sId 56).
·       Biaya perkara.
·       Pencatatan perkara dalam daftar (Pasal 59 ayat 2).
·       Pemeriksaan Pendahuluan (Pasa162 dan 63).
·       Penetapan hari sidang (Pasa159 ayat 3 dan Pasa164).
·       Panggilan para pihak yang berperkara.

b.   Perneriksaan di sidang pen gadi 1 an, di antaranya:
·       pemeriksaan berkas,
·       putusan pengadilan.

c.       Acara Luar Biasa (bukan acara biasa)
·       Acara Cepat (Pasal 64 ayat 2, Pasal 98 ayat 9).
·       Acara Singkat (Pasal 62 ayat 4) .

J. ALAT PEMBUKTIAN DI PTUN
Alat pembuktian di Pengadilan Tata Usaha Negara ada lima.
1.      Tulisan atau surat-surat.
2.      Keterangan Ahli.
3.      Keterangan Saksi.
4.      Pengakuan Para Pihak.
5.      Pengetahuan Hakim.


K. KEPUTUSAN YANG TIDAK DAPAT DI-PTUN-KAN

Mengenai upaya hukum ke PTUN, yang perlu diperhatikan adalah tidak semua bentuk keputusan atau ketetapan Administrasi Negara dapat diajukan ke Pengadilan Tata Us aha Negara (PTUN). Menurut UU No.5 Tahun 1986, maka bentuk keputusan atau ketetapan yang merugikan itu dapat di ajukan ke Pengadilan Negeri. Dengan demikian, berdasarkan Pasal 2 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Us aha Negara, yang tidak terrnasuk dalam pengertian.
 Keputusan Tata Usaha Negara, antara lain sebagai berikut.
1.      Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.
2.      Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.
3.      Keputusan Tata Us aha Negara yang masib memerlukan persetujuan.
4.      Keputusan Tata Usaba Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.
5.      Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang­ undangan yang berlaku.
6.      Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia.
7.      Keputusan Kornisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pernilihan umum.
Keputusan TUN yang merupakan perbuatan hukum perdata, misalnya keputusan yang menyangkut masalah jual beli yang dilakukan autara intsansi pemerintah dan perseorangan yang didasarkan pada ketentuan hukum perdata.
Keputusan TUN yang berupa "pengaturan yang bersifat umum" adalah pengaturan yang memuat norma-norma hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan yang kekuatan berlakunya mengikat setiap orang.
Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final karena belum menimbulkan hak dan kewajiban, misalnya keputusan pengangkatan seorang Pegawai Negeri memerlukan persetujuan BAKN seperti yang telah dijelaskan di atas. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan akan tetapi sudah menimbulkan kerugian dapat digugat di Pengadilan Negeri.
Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang­ undangan yang berlaku umpamanya:
1.        keputusan Badan Pertanahan Nasional yang mengeluarkan sertifikat tanah atas nama seseorang yang didasarkan atas pertimbangan putusan pengadilan perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
2.        keputusan pemecatan notaris oleh Menteri setelah menerima usul Ketua Pengadilan Negeri atas dasar kewenangannya menurut ketentuan Undang­ undang Peradilan Umum
L. ASAS DALAM HUKUM ACARA DI PTUN
1.        "Asas praduga rechtmatig (benar menurut hukum, presumptio iustea causa), as as ini menganggap bahwa setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap berdasarkan hukum (benar) sampai ada pembatalan. Dalam asas ini gugatan tidak menunda pelaksanaan KTUN yang digugat (Pasal 67 ayat (1) UU No.5 tahun 1986);
2.        "Asas pembuktian bebas". Hakimlah yang menetapkan beban pembuktian. Hal ini berbeda dengan ketentuan 1865 B W (lihat Pasal 10 1, dibatasi ketentun Pasal100;
3.        "Asas keaktifan hakim (dominus litis)". Keaktifan hakim dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para pihak yang tidak berimbang (lihat Pasal 58, 63, ayat (1) dan (2), Pasal 80 dan Pasal 85)
4.        "Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat (erga omnes)".Sengketa TUN adalah sengketa hukum publik. Dengan demikian putusan pengadilan berlaku bagi siapa saja-tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa;
5.        Dan asas-asas peradilan lainnya, mislny : asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan, objektif.
6.        "Asas para pihak harus didengar (audi et alteram partem) ". para pihak mempunyai kedudukan yang sarna;
7.        "Asas kesatuan beracara" (dalam perkara yang sejenis);
8.        "Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang bebas" (Pasal 24 UDD 1945 JO.Pasall UU NO.4 2004);
9.        "Asas sidang terbuka untuk umum" putusan mempunyai kekuatan hukum
10.    "Asas pengadilan berjenjang" (tingkat pertama (PTUN) , banding (PT TUN), dan Kasasi (MA), dimungkinkan pula PK (MA);
11.    "Asas pengadilan sebagai upaya terakhir iultimum remidiumf", sengketa sedapat mungkin diselesaikan melalui upaya administrasi (musyawarah mufakat), jika belum puas, maka ditempuh upaya peradilan (Pasa148 UU PTUN);
12.    "Asas objektivitas", lihat Pasal 78 dan 79 UU PTUN).
13.    Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan.
R A N G K U M A N
Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan at au Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang­ undangan yang berLaku, yang bersifat konkrit, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Menurut Prajudi Atmosudirdjo, terdapat empat macam bentuk pelaksanaan ketetapan, yaitu:
1.      penetapan (beschikking, administrative discretion);
2.      rencana (plan);
3.      norma jabaran (concrete normgeving);
4.      legislasi semu tpseudo-wetgevingv.

Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Us aha Negara (KTUN) , termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang­ undangan yang berlaku.Berdasarkan ketentuan Pasal 8 UU No.5 Tahun 1986, pengadilan tata usaha negara terdiri atas Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) sebagai tingkat banding.Tidak setiap Keputusan Tara Usaha Negara (KTUN) dapat langsung digugat melalui peradilan tata usaha negara. Terhadap KTUN yang mengenal upaya administratif disyaratkan untuk rnenggunakan saluran upaya admini stratif.
Dasar hukum untuk menguji KTUN menurutUU No.9 Tahun 2004 ten tang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 pada pokoknya berkenaan dengan:
1.      KTUN yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang­ undangan yang berlaku;
2.      KTUN yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Proses beracara di PTUN terdiri dari rangkaian acara sebagai berikut:
1.      Acara Pemeriksaan Pendahuluan, yang terdiri dari: a)rapat permusyawaratan (prosedur dismisal); blpemeriksaan persiapan
2.      Acara Pemeriksaan Perkara di PTUN, yang terdiri dari Acara Biasa atau Acara Luar Biasa.
Alat pembuktian di Pengadilan Tata Usaha Negara ada lima, yaitu:
a.       tulisan atau surat-surat;
b.      keterangan ahli;
c.       keterangan saksi;
d.      pengakuan para pihak;
e.       pengetahuan hakim.










KEGIATAN BELAJAR 4
Hukum Acara di Mahkamah Konstitusi
A. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Berdasarkan UU No. 24 tahun 2003, perkara yang putusannya menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah:
1.      Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.      Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3.      Pernbubaran partai politik;
4.      Perselisihan tentang hasil pernilihan umum; atau
5.      Pendapat DPR bahwa Presiden danlatau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden danJatau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

B. PERMOHONAN PERKARA DI MAHKAMAH KONSTITUSI
Ketentuan berlaku terkait langkah-langkah dalam proses permohonan pengajuan perkara di Mahkamah konstitusi diantaranya diatur dalam Pasa132, 33, dan pasal 34 UU No. 8 Tahun 2011, secara berurutan pengajuan permohonan tersebut adalah sebagai berikut,
1.    Setiap permohonan perkara yang diajukan pada Mahkamah Konstitusi diperiksa oleh Panitera Mahkamah Konstitusi, apabila permohonan tersebut belum lengkap diberi tenggang waktu selama 7 hari untuk memperbaiki dokumen permohonan tersebut.
2.    Apabila permohonan yang telah memenuhi kelengkapan dan dapat diterima, maka dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dan kepada pemohon diberikan tanda terima.Apabila kelengkapan Permohonan tidak dipenuhi dalam jangka waktu sebagaimana yang telah ditentukan diatas, Panitera Mahkamah Konstitusi menerbitkan akta yang menyatakan bahwa Permohonan tidak diregistrasi dalam B uku Registrasi Perkara Konstitusi dan diberitahukan kepada pemohon disertai dengan pengembalian berkas Permohonan.
3.    Mahkamah Konstitusi menyampaikan salinan Permohonan kepada DPR dan Presiden dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal Permohonan dicatat dalam B uku Registrasi Perkara Konstitusi.
4.    Mahkamah Konstitusi rnenetapkan hari siding pertarna daLam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak Permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
5.    Penetapan hari sidang diberitahukan kepada pernohon, termohon, dan pihak terkait serta diumurnkan kepada masyarakat.Pengumuman dilakukan dengan menempeLkannya di papan pengumuman yang khusus dibuat untuk itu dan/atau melalui media cetak atau media elektronik.
6.    Pemberitahuan penetapan hari sidang harus sudah diterima oleh para pihak yang berperkara dalamjangka waktu paling Lama 5 (lima) hari kerja sebelum hari persidangan.
Penarikan atau terhadap permohonan perkara di Mahkamah Konstitusi dapat dilakukan selama pemeriksaan oLeh Mahkamah Konstitusi dilakukan. Permohonan yang telah ditarik tidak dapat diajukan kembali ke Mahkamah Konstitusi.

C. PROSES BERPERKARA DI MAHKAMAH KONSTITUSI

Dalam menjalankan proses berperkara di Mahkamah Konstitusi terdapat perbedaan apabila dibandingkan dengan peproses acara pada pengadilan lainnya. Perbedaan tersebut terdapat pada hakirn yang mengambil keputusan dalam sidang di Mahkamah Konstitusi seperti yang diatur dalam ayat (1) dan ayat (4) Pasa128 UU No. 24 tahun 2003 yaitu sebagai berikut.
1.        Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili, dan me mutus dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi dengan 9 (sembilan) orang hakim konstitusi, kecuali dalam keadaan luar biasa dengan 7 (tujuh) orang hakim konstitusi yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi.
2.        Sebelum sidang pleno sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi dapat membentuk panel hakim yang anggotanya terdiri atas sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim konstitusi untuk memeriksa yang hasilnya dibahas dalam sidang pleno untuk diambil putusan.

Para pihak, saksi, dan ahli wajib hadir memenuhi panggilan Mahkamah Konstitusi. Pihak yang merupakan lembaga negara dapat diwakili oleh pejabat yang ditunjuk atau kuasanya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

1.    Acara pemeriksaan pendahuluan
Dalam acara pemeriksaan pendahuluan (berdasarkan Pasal 39 UU No. 24 tahun 2003) terdapat dua pembahasan pokok yaitu berikut ini.
a.         Sebelum mulai memeriksa pokok perkara, Mahkamah Konstitusi mengadakan pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi permohonan.
b.        Dalarn pemeriksaan pokok perkara Mahkamah Konstitusi wajib memberi nasihat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan dalamjangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari.

2. Acara Pemeriksaan Persidangan

Acara pemeriksaan persidangan terdiri dari beberapa kegiatan, berdasarkan Pasal 41 UU No. 24 tahun 2003, yang dijalankan dalam acara pemeriksaan persidangan adalah sebagai berikut:
a.         pemeriksaan pokok Perrnohonan;
b.        pemeriksaan alat bukti tertulis;
c.         rnendengarkan keterangan para pihak yang berperkara;
d.        mendengarkan keterangan saksi;
e.         rnendengarkan keterangan ahli;
f.         mendengarkan keterangan pihak terkait;
g.        pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan, dan/atau peristiwa yang sesuai dengan alat bukti lain yang dapat dijadikan petunjuk; dan
h.        pemeriksaan alat bukti lain yang berupa infonnasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan alat bukti itu.

3.    Acara Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
Dalam permohonan, pemohon wajib menguraikan dengan jelas terkait pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tabun 1945; danlataumateri muatan dalam ayat, pas al, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945. Dengan dernikian dalam pengujian Undang-Undang terhadap Undang Undang Dasar yang dapat diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi adalah pengujian formil. Terkait pemberlakuan Undang-Undang yang sedang dalam proses pengujian oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku hingga Undang-Undang tersebut dinyatakan dicabut penberlakuannya.
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disampaikan kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, dan Mahkamah Agung. Jika diperlukan perubahan terhadap undang-undang yang telah diuji, DPR atau Presiden segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Terhadap materi muatan ayat, pasal, dania tau bagian dalam undang­ undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.Ketentuan dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
4.    Acara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara
Pada acara sengketa kewenangan lembaga negara yang menjadi pokok pembahasan adalah kewenagan dari suatu lembaga negara yang dianggap menyimpang atau bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Lembaga negara yang dimaksud adalah lembaga negara dalam arti sempit, yaitu hanya Jembaga negara yang tertulis didalam konstitusi.

5.    Acara Pembubaran Partai Politik
Perkara terkait pembubaran partai politik membahas mengenai ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan partai politik yang bersangkutan, yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

6.    Acara Perselisihan tentang Hasil Pemilihan Umum
Terkait perselisihan basil pemilihan umum, yang dapat menjadi pemohon adalah:
a.         perorangan warga negara Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum;
b.        pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pernilihan umum Presiden dan Wakil Presiden; dan
c.         partai politik peserta pernilihan umum.

Permohonan hanya dapat diajukan terhadap penetapan basil pemilihan umum yang dilakukan secara nasional oleh Komisi Pernilihan Umum yang rnempengaruhi:
a.         Terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah;
b.        Penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta terpilihnya pasangan calon Pre sid en dan Wakil Presiden;
c.         Perolehan kursi partai politik peserta pernilihan umum di suatu daerah pemilihan.

Permohonan hanya dapat diajukan dalamjangka waktu paling lambat 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak Komisi Pemilihan Umum mengumurukan penetapan hasil pernilihan umum secara nasional.
Pokok pembahasan dalam perselisihan tentang basil pemilihan umum adalah kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum. Inti dari permohonan perkara dalam perselisihan tentang hasil pemilihan umum terkait pembatalan hasil penghitungan suara yang diurnumkan oleh Kornisi Pernilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar.

7.    Acara Presiden dan/atau Wakil Presiden Diduga Telab Melakukan Pelanggaran Hukum

Pemohon dalam perkara dugaan penyimpangan yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah DPR. Dalam pernyataan permohonannya pada Mahkamah Konstitusi DPR harus mencantumkan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan I atau Wakil Presiden, yang diantaranya adalah:
a.         Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela;
b.        danlatau Presiden danlatau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam pengajuan permohonan yang dilakukan DPR, DPR wajib menyertakan keputusan DPR dan proses pengambilan keputusan mengenai pendapat DPR terkait pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan I atau Wakil Presiden terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, risalab dan/atau berita acara rapat DPR, disertai bukti rnengenai dugaan tersebut. Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pendapat DPR wajib disampaikan kepada DPR dan Presiden danlatau Wakil Presiden.

D. ALAT BUKTI
Alat-alat bukti yang dapat dipergunakan dalarn berperkara di Mahkarnah Konstitusi seperti yang termuat dalam Pasal 36 UU No. 24 tabun 2003, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      surat atau tulisan;
2.      keterangan saksi;
3.      keterangan ahli;
4.      keterangan para pihak;
5.      petunjuk; dan
6.      alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disirnpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu

Terkait Saksi dan ahli, dalam proses peradilan di Mahkamah Konstitusi terdapat tiga jenis yaitu, saksi dan ahli dapat diajukan oleh para pihak yang berperkara, pihak terkait, atau dihadirkan oleh Mahkamah Konstitusi. Saksi dan ahli pada peradilan di Mahkamah Konstitusi harus keterangan di bawah sumpah atau janji, selain itu saksi dan ahli tersebut, masing-rnasing berjumlah paling sedikit 2 (dua) orang.
Mahkamah Konstitusi menentukan sah atau tidak sahnya alat bukti dalam persidangan Mahkamah Konstitusi. Dalam penilaian alat-alat bukti yang diajukan ke persidangan Mahkamah Konstitusi dilakukan dengan memperhatikan persesuaian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain. Karena itu, para pihak, saksi, dan ahli wajib hadir memenuhi panggilan.
Ada juga yang berpendapat bahwa sumber hukum acara di Mahkarnah Konstitusi adalah:
1.      UUD 1945;
2.      UU No. 24 Tahun 2003 dan UU No.8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas UU No. 24 Tahun 2003;5
3.      Peraturan-Peraturan Mahkamah Konstitusi;
4.      Putusan MK; dan
5.      Konvensi/Perjanjian Internasional

E. PENGAMBILAN PUTUSAN
Dalam pengambilan putusan pada acara perkara di Mahkamah Konstitusi terdapat beberapa dasar pertimbangan berdasarkan pada Pasal45 UU No. 24 tahun 2003, yang diantaranya adalah berikut ini.
1.    Mahkarnah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim,
2.    Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan perrnohonan harus didasarkan pada sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti.
3.    Putusan diambil secara musyawarah untuk mufakat dalam sidang pleno hakim koostitusi yang dipimpin oleh ketua sidang.
4.    Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim konstitusi wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap permohonan.
5.    Dalam hal musyawarah sidang pleno setelah diusahakan dengan sungguh­ sungguh tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak, atauapabila tidak dapat diambil dengan suara terbanyak, suara terakhir ketua sidang pleno hakim konstitusi menenrukan terbanyak, atauapabila tidak dapat diambil dengan suara terbanyak, suara terakhir ketua sidang pleno hakim konstitusi menentukan.
6.    Putusan Mahkamah Konstitusi dapat dijatuhkan pada hari itu juga atau ditunda pada hari lain yang harus diberitahukan kepada para pihak.
7.    Dalam hal putusan tidak tercapai mufakat bulat, pendapat anggota Majelis Hakim yang berbeda dimuat dalam putusan.
8.    Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh pemohon atau melebihi Pennohonan pemohon, kecuali terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok Permohonan. Perihal amar dalam perkara yang ditangani oleh Mahkamah Konstitusi maka Mahkamah konstitusi tidak berhak menangani perkara tersebut atau Mahkamah Konstitusi harus menyatakan bahwa perkara tersebut harus ditarik kembali oleh pemohon

R A N G K U M A N
Berdasarkan UU No. 24 tahun 2003, perkara yang putusannya menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:
1.    Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.    Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3.    Pembubaran partai politik;
4.    Perselisihan ten tang hasil pemilihan umum; atau

Pendapat DPR bahwa Presiden dania tau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercel a , dania tau tidak lagi mernenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam menjalankan proses berperkara di Mahkamah Konstitusi terdapat dua acara pokok persidangan yaitu, acara pemeriksaan pendahuluan dan acara pemeriksaan persidangan. Alat-alat bukti yang dapat dipergunakan dalam berperkara di Mahkamah Konstitusi seperti yang termuat dalarn Pasal 36 UU No. 24 tahun 20m, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.    surat atau tulisan;
2.    keterangan saksi;
3.    keterangan ahli;
4.    keterangan para pihak;
5.    petunjuk; dan
6.    alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disirnpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.

Dalam pengarnbilan putusan pada acara perkara di Mahkamah Konstitusi terdapat beberapa dasar pertimbangan berdasarkan pada Pasa1 45 UU No. 24 tahun 2003, yang diantaranya adalah:

1.    Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang­ Undang Dasar Negara Repub1ik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim.
2.    Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan hams didasarkan pada sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti.
3.    Putusan diambil secara musyawarah untuk mufakat dalam sidang pleno hakim konstitusi yang dipimpin oleh ketua sidang.
4.    Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim konstitusi wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap permohonan.
5.    Dalam hal musyawarah sidang plene setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak, atau apabila tidak dapat diambil dengan suara terbanyak, suara terakhir ketua sidang plene hakim konstitusi menentukan.
6.    Putusan Mahkamah Konstitusi dapat dijatubkan pada hari itu juga atau ditunda pada hari lain yang hams diberitahukan kepada para pihak.
7.    Dalam hal putusan tidak tercapai mufakat bulat, pendapat anggota Majelis Hakim yang berbeda dimuat dalam putusan.
8.    Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan yang tidak dirninta oleh pemobon atau melebihi Permohonan pemohon, kecuali terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok Permohonan. Perihal amar dalam perkara yang ditangani oleh Mahkamah Konstitusi maka Mahkamah konstitusi tidak berhak menangani perkara tersebut atau Mahkamah Konstitusi harus menyatakan bahwa perkara tersebut harus ditarik kembali oleh pemohon.



















KEGIATAN BELAJAR 5
Hukum Acara di Peradilan Agama
A. PENGERTIAN
Pengertian dari Peradilan Agama secara jelas terdapat pada Pasal 2 UU No.3 Tahun 2006, yang dimana "Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam.Undang-Undang ini". Lingkup dari kewenangan Pengadilan Agama yang terdapat pada Pasal 49 UU No. 3 Tabun 2006 diantaranya adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
1.      perkawinan;
2.      kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;
3.      wakaf dan shadaqah.

Pada kewenangan dalam bidang perkawinan ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku. Semen tara itu, untuk kewenangan dalam bidang kewarisan ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan terse but.
Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak mil ik atau keperdataan lain, maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum (terdapat pada Pasal 50 UU No.3 Tahun 2006).
Kewenangan lain yang dapat dimiliki oleh Peradilan Agama berdasarkan Pasal 52UU No. 3 Tahun 2006 ialah Pengadilan Agama dapat memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasihat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta. Selain tugas dan kewenangan yang dimilinya tersebut, Pengadilan Agama dapat diserahi togas dan kewenangan lain oleh atau berdasarkan undang-undang.
Hirarki Peradilan Agama diatur dalam UU No.7 Tahun1989 Pasal 3, dimana Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh:
1.        Pengadilan Agama;
2.        Pengadilan Tinggi Agama;
3.        Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.

Berdasarkan pada Pasal 4 UU No. 3 Tahun 2006, kedudukan dari Pengadilan Agama berkedudukan di ibu kota Kabupaten/Kota dan daerah hukurnnya meliputi silayah Kabupaten/Kota. Sementara itu, Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibu kota Provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi. Pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi, dan finansial pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung, terlihat dari pengaturan yang terdapat pada huruf a Pasal 5 UU No.3 Tahun 2006. Pada huruf b Pasa15 UU No.3 Tahun 2006 dijelaskan bahwa pembinaan tersebut tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara,
Tugas dan wewenang dalam tingkatan peradilan, terdapat pada Pasal 51 UU No.3 Tahun 2006, yang menjelaskan bahwa Pengadilan Tinggi Agama bertugas dan berwenang mengadili perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat banding. Selain itu, Pengadilan Tinggi Agama juga bertugas dan berwenang mengadili di tingkat pertama dan terakbir sengketa kewenangan mengadili antar-Pengadilan Agama di daerah
Proses acara yang dijalankan oleh Peradilan Agama sebagaimana diatur dalam Pasa154UU No.3 Tahun 2006 yang menjelaskan bahwa, Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pad a Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang­ Undang No.3 Tahun 2006 tersebut. Oleh karena itu asas-asas beracara dalam hukum perdata berlaku juga untuk beracara di peradilan agama, Namun terdapat satu as as kekhususan sebagaimana tercantum dalam UU No.7 Tahun 1989 bahwa hanya mereka yang dirinya mengaku beragama islam yang tunduk dan dapat ditundukkan kepada kekuasaan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
Hal yang mendasar dalarn berjalannya peradilan di lingkungan Peradilan agama sebagairnana yang terdapat pada Pasal 57 UU No.3 Tahun 2006 adalah:
1.      Peradilan dilakukan DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MARA ESA
2.      Tiap penetapan dan putusan dirnulai dengan kalimat BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM diikuti dengan DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.

B. PROSES BERPERKARA DI PERADILAN AGAMA
Berjalannya acara di lingkungan Peradilan Agama yang secara khusus diatur oleh UU No.3 Tahun 2006 ialah proses acara dalam bidang perceraian yang biasa disebut dengan cerai atau talak. Hal tersebut terlihat pada Pasal 65UU No.3 Tabun 2006 yang rnenjelaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendarnaikan kedua belah pihak. Terdapat tiga acara yang diatur oleh UU No.3 Tahun 2006, yaitu cerai talak yang dilakukan oleh suarni, cerai gugat yang dilakukan oleh istri dan cerai dengan alasan zina, Berikut ini akan dijelaskan perbedaan dari ketiga acara perceraian tersebut

Berikut iru akan dijelaskan perbedaan dan ketiga acara perceraian tersebut,
1.         Cerai Talak yang Dilakukan Oleh Suami
Cerai Talak yang dilakukan oleb suami dijelaskan dalarn Pasal 66, 67, 68 UU No.3 Tahun 2006, yang memuat penjelasan sebagai berikut:
a.       Permohonan berperkara bagi seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya harus mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.
b.      Permohonan yang diajukan kepada Pengadilan yang berada didaerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon, kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
c.       Dalam hal termohon bertempat kediarnan di luar negeri, permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya rneliputi tempat kediaman pemohon.
d.      Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
e.       Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sarna dengan permohonan cerai talak ataupun sesudab ikrar talak diucapkan.
f.       Perrnohonan yang diajukan harus memuat nama, umur, dan tempat kediaman pemohon, yaitu suarni, dan termohon, yaitu istri juga alasan­ alasan yang menjadi dasar cerai talak.
g.      Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh Majelis Hakim selarnbat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat permohonan cerai talak didaftarkan di Kepaniteraan.Pemeriksaan perrnohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup.
2.         Cerai Gugat yang Dilakukan Oleh Istri
Cerai Gugat yang dilakukan oleh istri dijelaskan dalam Pasal 73, 74, 75, 76, 77, 78 UU No.3 Tahun 2006, yang mernuat penjelasan sebagai berikut:
a.       Gugatan perceraian yang diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan,diajukan di daerah tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.
b.      Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukurnnya meliputi tempat kediaman tergugat.
c.       Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
d.      Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu pihak mendapat pidana penjara, maka untuk memperoleh putusan perceraian, sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang berwenang yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
e.       Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa tergugat mendapat cacat badan at au penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami, maka Hakim dapat memerintahkan tergugat untuk memeriksakan diri kepada dokter.
f.       Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi –saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami istri.
g.      Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami istri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-rnasing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakam.
h.      Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas perrnohonan penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.
i.        Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat, Pengadilan dapat:
1)      menentukan nafkah yang ditanggung oleh suami;
2)      menentukan hal-hal yang perlu unruk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak;
3)      menentukan hal-hal yang perlu untuk menjarnin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang­ barang yang menjadi hak suami alan barang-barang yang menjadi hak istri.


3.        Cerai dengan Alasan Zina
Cerai dengan alasan dijelaskan dalam Pasa187 dan 88UU No.3 Tabun 2006, yang memuat penjelasan sebagai berikut:
a.        Apabila permohonan at au gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu pihak rnelakukan zina, sedangkan pernohon atau penggugat tidak dapat rnelengkapi bukti-bukti dan termohon atau tergugat rnenyanggah alasan tersebut, dan Hakim berpendapat bahwa permohonan atau gugatan itu bukan tiada pernbuktian sarna sekali serta upaya peneguhan alat bukti tidak mungkin lagi diperoleh baik dad pernohon atau penggugat rnaupun dari terrnohon atau tergugat, rnaka Hakim karena jabatannya dapat menyurub pemohon atau penggugat untuk bersumpah.
b.        Pihak terrnohon atau tergugat diberi kesempatan pula untuk meneguhkan sanggahannya dengan cara yang sarna.
c.        Apabila surnpah dilakukan oleh suami, maka penyelesaiannya dapat dilaksanakan dengan cara li'an.
d.       Apabila sumpah dilakukan oleh istri rnaka penyelesaiannya dilaksanakan dengan hukum acara yang berlaku.


C. UPAYA PERDAMAIAN DALAM PERKARA PERCERAIAN

Hadirnya perkara perceraian tentunya perlu juga diupayakan agar dapat diselesaikan secara kekeluargaan dan menghasilkan perdamaian (rujuk kembali). Upaya perdamaian yang dilakukan dalam perkara perceraian di lingkungan Pengadilan Agama dilakukan sejak sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian dimana Hakim berusaha mendamaikan kedua pihak. Dalam sidang perdamaian tersebut, suami istri harus datang secara pribadi, kecuali apabila salab satu pihak bertempat kediaman di luar negeri, dan tidak dapat datang menghadap secara pribadi dapat diwakili oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. Apabila kedua pihak bertempat kediaman di luar negeri, maka penggugat pada sidang perdamaian tersebut harus menghadap secara pribadi.Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan. Apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan yang ada dan telah diketahui oleh penggugat sebelum perdamaian tercapai, upaya-upaya perdamaian tersebut diatur dalam Pasal 82 dan 83 DU No.3 Tahun 2006.
D. PUTUSAN PERCERAIAN
Putusan dalarn perkara perceraian diatur lebih lanjut dalam Pasal 81 UU No.3 Tahun 2006, yang dimana suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
E. GUGURNYA PERKARA PERCERAIAN
Proses perceraian dapat saja gugur atau batal bilamana suami atau istri meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan Agama seperti yang telah diatur dalam Pasal 79 UU No.3 Tahun 2006.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar