MODUL 3
Sistem Hukum
Islam
Dr. H. Nandang Alamsah Deliarnoor, S.H., M.Hum.
Hendra, S.IP., M.Si.
PENDAHULUAN
Sistem
Hukum Islam merupakan salah satu bagian dari Sistem Hukum Indonesia. Eksistensi
dari Sistem Hukum Islam sudah sejak dulu diakui dan digunakan sebagai salah
satu norma/kaidah oleh Bangsa Indonesia sebagai bentuk pengakuan terhadap
keyakinan agama mayoritas yang dianut oleh Bangsa Indonesia.
Setelah
mempelajari modul tiga ini, Kita harus mampu memahami apa itu Hukum Islam? Apa
itu sumber hukum Islam? Bagaimana praktiknya di Indonesia? Terakhir Kita harus
memahami tentang Peradilan Agama sebagai Badan yang berwenang mengadili
sengketa yang terjadi berlandaskan Hukum Islam.
Secara
lebih khusus setelah mempelajari modul tiga ini, kita dapat menjelaskan:
1.
Pengertian Hukum
Islam;
2.
Sumber Hukum
Islam;
3.
Perkawinan dan
Waris;
4.
Zakat, Wakaf dan
Ekonomi Syariah;
5.
Peradilan Agama.
Agar
tercapai maksud di atas maka modul tiga ini tersusun ke dalam 5 kegiatan
belajar. Kegiatan belajar 1 akan dijelaskan pengertian hukum Islam termasuk
juga perbandingan ideologi. Kegiatan belajar 2 akan dijelaskan sumber hukum
Islam. Kegiatan belajar 3 akan dijelaskan Perkawinan dan Waris, Kegiatan
belajar 4 dijelaskan mengenai Zakat. Wakaf dan Ekonomi Syariah dan di kegiatan
belajar 5 dijelaskan mengenai Peradilan Agama.
KEGIATAN
BELAJAR 1
Pengertian
Hukum Islam
A.
PENGERTIAN SISTEM
Menurut
Drs. H. Saidus Syahar, S.H., hukum islam berarti teori hukum islam yakni
dalil-dalil ushulu alfiqhincl. dasar dan tujuan syari'at. Hukum islam sebagai bagian
syari’at itu tidak berwatak sekuler, artinya ia tidak terlepas bahkan dikatakan
merupakan kesatuan dengan agama Islam, karenanya penggunaan ratio dalam
menetapkan (menemukan) hukum tidak selalu bebas, kebebasan akal ada batasnya.
Hasbi Asy-Syiddiqy memberikan definisi hukum Islam dengan "koleksi daya
upaya fuqaha dalam menerapkan syari’at Islam sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Pengertian hukum Islam dalam definisi ini mendekati kepada makna
fiqh. Sedangkan Menurut Prof H. Muhammad Daud Ali, S.H.Hukum Islam adalah hukum
yang bersumber dari dan menjadi bagian dari agama Islam.
Teori
hukum yang dianut oleh setiap negara islam tidak selalu sama (serupa), karena
hal itu tergantung dari aliran hukum (mazhab) yang diikuti tiap-tiap negara
(islam) itu, misalnya ada negara yang menyatakan bahwa mazhab tertentu
merupakan mazhab negara, misalnya Iran dengan aliran Syi'ah, Hanbali (Wahhabi)
di Saudi Arabia, Hanafi di Afganistan dan lain-lain; atau menyatakan tidak terikat dengan mazhab
fiqh yang ada seperti di Mesir, Turki dan lain-lain.
Dari
pengertian tersebut terdapat beberapa konsep yang perlu dipahami dalam Hukum
Islam
1.
Hukum
Hubungan yang diatur dalam hukum Islam
adalah hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan dirinya
sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dan hubungan manusia deengan
benda dalam masyarakat serta alam sekitarnya.Interaksi manusia dalam berbagai
hubungan itu diatur oleh seperangkat ukuran tingkah laku yang di dalam bahasa
Arab, disebut hukum jamaknya ahkam. Ada perbedaan antara syari'at di suatu
pihak dan hukum dalam arti lazim dewasa ini dilain pihak. Perbedaannya adalah sebagai
berikut:
Tabel
3.1
Perbandingan
Hukum dan Syarat
No
|
Aspek
yang Dibandingkan
|
Hukum
|
Syari’at
|
1.
|
Objek
|
Peraturan-peraturan lahir mengenai hubungan
manusia dengan sesama
|
Meliputi pula peraturan-peraturan lahir
mengenai hubungan manusia dengan Tuhan (ibadat)
|
2.
|
Sumber
Pokok
|
Perkiraan/ rasio manusia dan
kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat
|
Wahyu dan/ atau kesimpulan
- kesimpulan yang diambil dari wahyu (deduction of wahyu)
|
3.
|
Sangksi
|
Semua sanksi hukum bersifat sekuler/
kedunian. Dengan menunjuk alat perlengkapan Negara, polisi, jaksa, penjara
sebagai pelaksana sanksinya
|
Sanksinya “Pembalasan Tuhan”, baik
didunia terutama diakhirat
|
2.
Hukm
atau Ahkam
Perkataan hukum
yang kita pergunakan sekarang dalam bahasa Indonesia berasal dari kata fuk
(tanpa u antara huruf k dan m) dalam bahasa Arab. Artinya Norma atau kaidah
yakni ukuran, tolak ukur, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk menilai
tingkah laku atau perbuatan-perbuatan manusia dan benda.
Dalam sistem
hukum Islam ada lima hukm atau kaidah yang dipergunakan sebagai patokan
mengukur perbuatan manusia baik di bidang ibadah maupun di lapangan muamalah
yaitu:
a.
Ja’iz
atau mubah atau ibahah (kebebasan memilih untuk melakukan atau tidak melakukan
suatu perbuatan);
b.
Sunnat
(anjuran untuk dilakukan karena jelas manfaatnya bagi pelaku);
c.
Makruh
(Kaidah yang seyogyanya tidak dilakukan karena jelas tidak berguna dan akan
merugikan orang yang melakukannya);
d.
Wajib
(perintah yang harus dilakukan);
e.
Haram
(larangan untuk dilakukan)
3.
Syariah
atau Syariat
Syariah berasal
dari kata al-syari ah yang berarti ‘sumber air’ atau jalan yang harus diikuti,
yakni jalan ke arah sumber pokok bagi kehidupan. Secara terminologis, syariah
didefinisikan dengan sebagai aturan-aturan yang ditetapkan oleh Allah agar
digunakan oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhannya, dengan saudaranya
sesama Muslim, dengan saudaranya sesama manusia, dengan alam, dan dalam
kaitannya dengan kehidupannya. Dilihat dari segi ilmu hukum, syariat merupakan
norma hukum dasar yang ditetapkan Allah, yang wajib diikuti oleh orang Islam
berdasarkan iman yang berkaitan dengan akhlak, baik dalam hubungannya dengan
Allah maupun dengan sesama manusia dan benda dalam masyarakat.
Syariat memuat ketetapan-ketetapan
Allah dan ketentuan Rasul-Nya. Baik berupa larangan maupun berupa suruhan.
meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia. Syariat terdapat pada Alqur’an
dan kitab-kitab hadis.
4.
Fiqih
atau fiqh
Adapun kata
fikih' berasal dari kata al-figh yang berarti pemahaman atau pengetahuan
tentang sesuatu. Secara terminologis fikih didefinisikan sebagai ilmu tentang
hukum-hukum syara yang bersifat amaliyah (praktis) yang digali dari dalil-dalil
terperinci.Karena norma-norma hukum dasar yang terdapat dalam Alqur'an itu
masih bersifat umum, demikian juga halnya dengan aturan yang ditentukan oleh
Nabi Muhammad SAW terutama mengenai muamalah, maka setelah Nabi Muhammad wafat,
norma-norma hukum yang masih bersifat umum itu perlu dirinci lebih lanjut.
Perumusan dan penggolongan norma-norma hukum dasar yang bersifat umum itu ke
dalam kaidah-kaidah yang lebih kongkret agar dapat dilaksanakan dalam praktek, memerlukan
disiplin ilmu dan cara-cara tertentu.
Ilmu pengetahuan
baru yang khusus menguraikan syariat dalam kepustakaan dinamakan ilmu fiqih
yang ke dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan ilmu hukum (fiqih)
islam.Ilmu fiqih adalah ilmu yang bertugas menentukan dan menguraikan
norma-norma hukum dasar yang terdapat di dalam Alquran dan ketentuan-ketentuan
umum yang terdapat dalam Sunnah Nabi yang direkam dalam kitab-kitab hadis.
Dengan kata lain ilmu fiqih adalah ilmu yang mempelajari atau memahami syariat
dengan memusatkan perhatiannya pada perbuatan (hukum) manusia mukallaf, yaitu manusia
yang berkewajiban melaksanakan hukum islam karena telah dewasa dan berakal
sehat. Contoh hukum fiqih Islam yang ditulis dalam bahasa Indonesia oleh Orang
Indonesia adalah, misalnya, Fiqh Islam karya H.Sulaiman Rasjid.
Dari uraian
tersebut di atas jelas bahwa ada dua istilah yang dipergunakan untuk
menunjukkan hukum Islam, yakni (1) Syariat Islam dan (2) Fikih Islam.
Pada pokoknya
antara syariat dengan fikih terdapat perbedaan sebagaimana tertuang dalam tabel
berikut:
Tabel 3.2
Perbedaan Istilah Syariat dan Fiqih
No.
|
Syariat
|
Fiqih
|
1.
|
Syariat, terdapat dalam Alqur'an dan
kitab-kitab hadist. Kalau kita berbicara syariat yang dimaksud adalah wahyu
Allah dan Sunnah Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya.
|
Fiqih terdapat dalam kitab-kitab fiqih,
yang dimaksud adalah pemahaman manusia yang memenuhi syarat tentang syariat dan
hasil pemahaman itu.
|
2.
|
Syariat bersifat fundamental dan
mempunyai ruang lingkup yang lebih luas karena ke dalamnya. oleh banyak ahli,
dimasukkan juga akidah dan akhlak
|
Fiqih bersifat
instrumental, |ruang lingkupnya terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan
manusia, yang biasanya disebut sebagai perbuatan hukum.
|
3.
|
Syariat adalah ketetapan Allah dan
ketentuan Rosul-Nya, karena itu berlaku abadi.
|
fiqih adalah karya manusia yang tidak
berlaku abadi, dapat berubah dari masa ke masa.
|
4.
|
Syariat
hanya satu
|
fiqih' mungkin lebih dari satu seperti
misalnya terlihat pada aliran – aliran hukum yang disebut dengan istilah
mazahib atau mazhab-mazhab. Sebagai contoh: Misalnya A menerima titipan
barang dari B, atau A meminjam barang dari B. Barang titipan atau barang pinjaman
itu kemudian hilang di tangan A. Surat Al Baqarah (2): 283 ……Jika seorang
dipercaya oleh orang lain, hendaklah orang yang dipercayai itu menunaikan amanah
atau kepercayaan yang diberikan kepadanya itu...Hanafi, A harus mengganti kerugian
yang diderita oleh B sejumlah harga barang itu waktu dibeli oleh B. tertinggi
antara barang itu dibeli dan dihilangkan oleh A.
|
5.
|
Syariat
menunjukan kesatuan dalam Islam
|
Fiqih menunjukan keragamannya.
|
Perbandingan
Ideologi.
Ideologi yang
ada di dunia ini ada tiga, yaitu kapitalisme, sosialisme termasuk Komunis, dan islam.
Masing-masing idcologi ini memiliki aqidah yang memancarkan aturan serta
mempunyai tolak ukur bagi perbuatan manusia di dalam kehidupan, memiliki
pandangan khas terhadap masyarakat dan memiliki metode tertentu dalam
melaksanakan setiap aturannya.
Dari
segi aqidah,
ideologi komunis memandang bahwa segala sesuatu berasal dari materi yang
berkembang dan mewujudkan benda-benda lainnya berdasarkan evolusi.Sedangkan
ideologi kapitalis mengharuskan pemisahan agama dari kehidupan.sebagai
akibatnya lahirlah ideologi sekuler, yang memisahkan agama dengan negara. Para
kapitalis tidak ingin membahas apakah di sana terdapat pencipta eksistensinya
maupun yang tidak hanya membahas bahwa tidak ada hak bagi pencipta untuk campur
tangan dalam kehidupan ini. Oleh karena itu, dilihat dari aqidahnya atau
mengingkariNya, yaitu memisahkan agama dari kehidupan.
Adapun Islam
memandang bahwa Allah adalah pencipta bagi segala sesuatu. Dialah yang mengutus
para Nabi dan Rasul dengan membawa agamaNya untuk seluruh ummat manusia; dan
bahwa kelak manusia akan dihisab atas perbuatan-perbuatannya di hari kiamat.
Karena itu, aqidah Islam mencakup Iman kepada Allah. malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, dan hari kiamat serta qadla-qadar baik
buruknya dari Allah SWT.
Dari segi terpancarnya peraturan dari aqidah, ideologi
Komunis memandang bahwa peraturan diambil dari alat-alat produksi.Sebab, pada masyarakat
feodal, misalnya, kapaklah yang menjadi alat produksi. Dengan penggunaan kapak
ini lalu ditetapkan sistem foedalisme. Apabila masyarakat berkembang menjadi
masyarakat komunis, maka alat mesinlah yang menjadi sarana produksi.Dengan
penggunaan mesin ini terbentuklah system Komunisme. Jadi, peraturan mabda itu
diambil dari evolusi materi.
Lain halnya
dengan ideologi kapitalis, yang memandang bahwa manusia - karena memisahkan
agama dengan kehidupan - harus membuat
peraturan sendiri kehidupan. Karenanya, peraturan dalam sistem kapitalis
diambil dari realita dan dinamika kehidupan manusia, dari sinilah masyarakat
kapitalis membuat aturannya sendiri.
Sedangkan islam
memandang bahwa Allah SWT telah menentukan bagi manusia suatu aturan hidup
untuk dilaksanakan dalam kehidupan ini. Dia mengutus Sayyidina Muhammad SAW
guna membawa aturanNya untuk disampaikan kepada manusia.Konsekuensinya,
kehidupan ini harus dijalankan sesuai dengan aturan tersebut. Oleh karena itu,
masyarakat yang telah menerima Islam senantiasa mempelajari persoalan hidup
yang selalu berkembang, lalu berjihad memecahkan masalah yang dihadapinya berdasarkan
kitab dan sunnah.
Dari segi tolok ukur bagi perbuatan-perbuatan dalam
kehidupan,
ideology komunis memandang bahwa dialetika materialisme – yaitu aturan
materealisme –merupakan tolak ukur dalam kehidupan manusia. Dengan
berkembangnya aturan materialism, berkembang pula tolak ukurnya. Sedangkan
ideology kapitalis memandang bhawa tolok ukur perbuatan-perbuatan dalam
kehidupan adalah “kemamfatan”. Dengan asa inilah perbuatan diukur dan
ditegakan. Namun, Islam memandang bahwa tolok ukur perbuatan-perbuatan dalam
kehidupan adalah halal dan haram, yakni perintah – perintah Allah dan
larang-laranganNya. Jadi, yang halal dikerjakan dan yang haram ditinggalkan.
Prinsip ini tidak mengalami perkembangan maupun perubahan. Islam tidak
menjadikan mamfaat sebagai tolok ukur, melainkan hanya Syara semata.
Dari segi pandangannya terhadap masyarakat, ideology komunis
berpendapat bahwa masyarakat adalah kumpulan unsure yang terdiri dari tanah,
alat-alat produksi, alam dan manusia. Semua ini merupakan satu kesatuan yaitu
materi. Takkala alam dan segala sesuatu yang ada didalamnya berkembang yang
akhirnya menjadikan masyarakat berkembang secara keseluruhan.Oleh karena itu,
masyarakat komunis tunduk kepada evolusi materi, sementara manusia harus terus
berusaha untuk mempercepat transformasi yang bertolak belakang (antithesa)
dengan kehendaknya. Ketika masyarakat berkembang, maka individu pun akan berkembang
pula. Individu akan bergerak dan selalu terikat dengan gerakan masyarakat, seperti
putaran gigi pada sebuah roda. Ideologi kapitalis memandang bahwa masyarakat
terdiri dari individu-individu. Apabila urusan individu teratur, maka dengan
sendirinya urusan dengan masyarakat akan teratur pula. Titik perhatiannya
adalah individu-individu saja.Sementara tugas Negara adalah bekerja untuk
kepentingan individu. Dari sinilah, ideologi ini dinamakan individualisme.
Sedangkan
ideologi Islam memandang bahwa asas tempat masyarakat berpijak adalah aqidah
serta pemikiran, perasaan dan peraturan yang terpancar dari aqidah tersebut.
Oleh karena itu apabila pemikiran dan perasaan islam ini berkembang luas, serta
diterapkannya peraturan Islam atas rakyat, maka barulah terbentuk masyarakat
Islam. Dengan demikian, masyarakat itu sebenarmya terdiri dari kumpulan
manusia, pemikiran, perasaan dan peraturan.
Islam juga
memandang bahwa manusia satu dengan manusia lainnya akan membentuk suatu
jama'ah, akan tetapi tidak akan membentuk sebuah masyarakat kecuali apabila
mereka menganut pemikiran, memiliki perasaan, serta dengan diterapkannya
peraturan di tengah-tengah mereka. Sebab, yang mewujudkan hubungan sesama
manusia adalah faktor kemaslahatan dan bila masyarakat telah menyamakan
pemikirannya tentang kemashlatan, juga perasannya sehingga rasa ridla dan marah
menjadi sama, ditambah bila adanya kesatuan peraturan yang diterapkan yang
mampu memecahkan persoalan, maka terbentuklah hubungan antar sesama anggota
masyarakat. Apabila terdapat perbedaan dalam pemikiran masyarakat terhadap
kemashlahatan, berbeda dalam perasaan berbeda dalam rasa ridla dan marah
(benci), lalu berbeda pula peraturan yang memecahkan persoalan antar manusia,
maka tidak akan terdapat hubungan dengan sesama manusia dan tidak akan
terbentuk masyarakat. Oleh sebab itu masyarakat Islam terbentuk dari
manusia,pemikiran, perasaan dan peraturan. Sebab, inilah yang mewujudkan adanya
hubungan dan yang membuat jama’ah itu menjadi suatu masyarakat yang memiliki
ciri khas.
Andai saja
seluruh manusia itu memeluk Islam. sedangkan pemikiran - pemikiran yang dibawanya
adalah kapitalisme demokrasi. Sementara perasaan-perasaan
yang dibawanya adalah spiritualisme semata (tanpa disertai aturan) atau
nasionalisme, sedang aturan yang diterapkan adalah aturan kapitalisme-demokrasi,
maka masyarakatnya menjadi masyarakat yang tidak islami sekalipun mayoritas
penduduknya adalah orang-orang islam.
Dilihat dari segi penerapan aturan, ideologi
Komunis mengajarkan bahwa hanya negaralah satu-satunya yang menerapkan
peraturan melalui kekuataan militer dan undang-undang. Negaralah yang mengatur
dan bertanggung masyarakat.Negara pula yang berhak mengubah peraturan.
Sedangkan
ideologi Kapitalis memandang bahwa negaralah yang mengontrol kebebasan. Oleh
karena itu , jika seseorang melanggar kebebasan individu lainnya, maka negaralah
yang mencegah tindakan tersebut. Bahkan keberadaan negara adalah untuk menjamin
adanya kebebasan. Akan tetapi apabila seseorang tidak menggangu kebebasan yang
lain, sekalipun terdapat intimidasi serta perampasan terhadap hak-haknya, namun
ia rela, maka hal tersebut tidak termasuk ke dalam kategori tindakan melanggar
kebebasan, dalam hal ini negara tidak akan turut campur. Oleh karena itu,
terwujudnya Negara adalah untuk member jaminan agar ada kebebasan.
Lain halnya
dengan Islam yang memandang bahwa aturan dilaksanakan oleh setiap individu
mukmin dengan dorongan taqwallah yang tumbuh dalam jiwanya, disamping teknis
pelaksanaannya dijalankan oleh negara dengan keadilannya yang dapat dirasakan
oleh jama'ah, dan adanya sikap tolong menolong antara ummat dengan negara dalam
melakukan amar ma'ruf nahi munkar; serta diterapkan dengan kekuatan negara.
Dalam Islam negaralah yang bertanggungjawab terhadap kepentingan individu,
kecuali bagi mereka yang fisiknya lemah (tidak mampu). Selain itu, peraturan
Islam tidak mengalami perubahan selamanya, tidak berevolusi. Negara, dalam hal
ini Khalifah, juga memiliki wewenang untuk memilih dan menetapkan hukum-hukum
syara jika ijtihad dalam satu atau lebih topik hukum menghasilkan beragam
pendapat.
Dari sisi lain
qiyadah fikriyah Islam tidak bertentangan dengan fitrah manusia, walau sangat
mendalam tetapi mudah dipahami, serta merta membuka akal dan hati manusia,
untuk memamahi serta mendalami isinya sekalipun rumit dengan penuh semangat dan
kesungguhan. Hal ini disebabkan karena beragama adalah satu hal yang fithri
dalam diri manusia. Setiap manusia menurut fitrahnya cenderung kepada agama.
Tidak ada satu kekuatan manapun yang dapat menanggalkan fitrahnya ini pada
manusia, sebab merupakan pembawaan yang kokoh. Sementara tabiat manusia
merasakan bahwa dirinya serba kurang, selalu merasa bahwa ada kekuatan yang
lebih sempurna dibandingkan dirinya yang harus diagungkan. Beragama merupakan
kebutuhan terhadap Pencipta yang Maha Pengatur, yang muncul dari kelemahan
manusia yang bersifat alami sejak manusia diciptakan.
RANGKUMAN
Menurut Drs. H. Saidus Syahar, S.H., hukum Islam
berarti teori hukum islam yakni dalil-dalil ushulu alfiqhincl. dasar dan tujuan
syari'at. Hukum islam sebagai bagian syari'at itu tidak berwatak sekuler, artinya
ia tidak terlepas bahkan dikatakan merupakan kesatuan dengan agama Islam,
karenanya penggunaan ratio dalam menetapkan (menemukan) hukum tidak selalu
bebas, kebebasan akal ada batasnya. Hasbi Asy-Syiddiqy memberikan definisi
hukum Islam dengan "koleksi daya upaya fuqaha dalam masyarakat".
Pengertian hukum Islam dalam definisi ini mendekati kepada makna fiqh.
Sedangkan Menurut Prof H. Muhammad Daud Ali, S.H.Hukum Islam adalah hukum yang
bersumber dari dan menjadi bagian dari agama Islam.
Dari pengertian tersebut terdapat beberapa konsep
yang menjadi kata kunci dalam memahami hukum islam yaitu konsep hukum, hukm
atau ahkam, Syariah atau Syariat, dan Fiqih atau fiqh.
Dari segi ideologi, antara komunis, Kapitalis dan
Islam terdapat perbedaan apabila dilihat diri segi aqidah, terpancarnya
peraturan dari aqidah, tolok ukur bagi perbuatan-perbuatan dalam pandangannya
terhadap masyarakat dan dari segi penerapan aturan.
KEGIATAN BELAJAR 2
Sumber Hukum Islam
Dalam salah satu
hadis, yang dalam kepustakaan terkenal dengan hadits Mu,az, diriwayatkan pada
suatu ketika Nabi Muhammad mengirimkan seorang sahabatnya ke Yaman (dari
Madinah) untuk menjadi Gubernur di sana. Sebelum berangkat, Nabi Muhammad
menguji sahabatnya yang bernama Mu'az Bin Jabal itu, dengan menanyakan sumber
hukum yang akan dipergunakan kelak untuk memecahkan berbagai masalah dan atau
sengketa yang dijumpainya di daerah baru itu. Pertanyaan itu dijawab oleh Mu'az
dengan mengatakan bahwa dia akan mempergunakan Al-Quran. Jawaban tersebut
disusul oleh Nabi dengan pertanyaan: "jika tidak terdapat petunjuk khusus
(mengenai suatu masalah) dalam Al-Quran bagaimana?". Mu'az menjawab:
"saya akan mencarinya dalam Sunnah nabi. Nabi bertanya lagi: Kalau engkau
tidak menemukan petunjuk pemecahannya dalam Sunnah Nabi bagaimana?". Mu'az
menjawab: "jika demikian, saya akan berusaha sendiri mencari sumber
pemecahannya dengan mempergunakan ra’yu atau akal saya dan akan mengikuti
pendapat saya itu." Nabi sangat senang atas jawaban Mu'az tersebut dan
berkata: Aku bersyukur kepada Allah yang telah menuntun utusan rasul-Nya.
Dari riwayat
hadis tersebut, dapat disimpulkan bahwa sumber hukum Islam terdiri dari berasal
dari Al-Quran, As Sunnah dan Akal pikiran. Ketiga sumber hukum islam tersebut
merupakan satu rangkaian kesatuan, dengan urutan keutamaan seperti tercantum
dalam kalimat tersebut di atas, artinya kedudukannya tidak boleh dibalik.
Sumber Hukum Islam
|
||||||||
Al Quran
|
As Sunnah Atau al Hadis
|
Akal Pikiran Atau Ijtihad
|
||||||
Aqidah
|
Sunnah Rasul
|
Ijmak
|
||||||
Teritorial
|
Qiyas
|
|||||||
Aqidah
|
Istidal
|
|||||||
Teritorial
|
Istihsan
|
|||||||
Istisab
|
||||||||
Adat - Istiadat
|
||||||||
Gambar 3.1
|
||||||||
Sumber Hukum Islam
|
A.
AL-QURAN
Perkataan
Al-Quran secara etimologis berasal dari kata kerja qara-a artinya (dia telah)
membaca. Kata kerja qara-a ini berubah menjadi kata kerja suruhan iqra artinya
bacalah, dan berubah lagi menjadi kata Qur'an. Secara harfiah kata Alquran berasal
dari bahasa Arab al-qur an yangberarti pembacaan atau bacaan.
Al
Qur'an adalah kitab suci yang memuat wahyu (firman Allah), Tuhan YME, asli
seperti disampaikan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya
sedikitnya 22 tahun 2 bulan 22 Hari, mula-mula di Makkah kemudian di Madinah
untuk menjadi pedoman atau petunjuk bagi umat manusia dalam hidup dan
kehidupannya mencapai kesejahteraan di dunia ini dan kebahagiaan di akhirat.
Selanjutnya
menurut Sayyid Hussen Nasr, Al-Quran mempunyai tiga petunjuk bagi manusia:
Pertama, adalah ajaran yang memberi pengetahuan tentang struktur (susunan)
kenyataan alam semesta dan posisi berbagai makhluk, termasuk manusia, serta
benda di jagad raya. Ia juga mengandung metafisika tentang Tuhan, Kosmologi dan
pembahasan tentang kehidupan akhirat. Ia berisi segala pelajaran yang
diperlukan manusia untuk mengetahui siapa dirinya, dimana ia berada sekarang
(dunia) dan kemana ia akan pergi (akhirat). Ia berisi petunjuk tentang iman
atau keyakinan, syariat atau hukum, akhlak atau moral yang perlu dipedomani
manusia dalam kehidupan sehari-hari, Kedua, Al-Quran berisi petunjuk yang
menyerupai sejarah manusia, rakyat biasa, raja-raja, orang-orang suci, para
nabi sepanjang zaman dan segala cobaan yang menimpa mereka. Ketiga, Al-Quran
berisi sesuatu yang sulit untuk dijelaskan dalam bahasa biasa. Ayat-ayat
Al-Quran, karena berasal dari firman Tuhan, mengandung kekuatan yang berbeda
dari apa yang dapat kita pelajari secara rasional.Ayat-ayat itu mempunyai
kekuatan melindungi manusia. Itulah sebabnya mengapa kehadiran fisik Al-Quran
sendiri membawa berkat bagi manusia.
Menurut
para ahli, pada garis-garis besarnya Al-Quran memuat soal-soal yang berkenaan
dengan (1) akidah, (2) syariat yang meliputi (a) ibadah, (b) muamalah, dan (3)
akhlak dalam semua ruang lingkupnya, (4) kisah-kisah umat manusia di masa lalu,
(5) berita-berita tentang zaman yang akan datang (kehidupan akhirat), dan (6)
benih atau prinsip-prinsip ilmu pengetahuan, dasar-dasar hukum atau hukum-hukum
dasar yang berlaku bagi alam semesta, termasuk manusia di dalamnya.
Menurut
pandangan Islam, hukum-hukum yang terkandung dalam Al- Quran adalah:
1.
Hukum-hukum i 'tiqadiyah, yaitu
hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban para subjek hukum untuk mempercayai
Allah, malaikat- malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari
pembalasan, kada dan kadar;
2.
Hukum-hukum akhlak, yaitu hukum-hukum
Allah yang berhubungan dengan kewajiban seorang subjek hukum untuk
"menghias dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan diri dari
sifat-sifat yang tercela:
3.
Hukum-hukum amaliyah, yakni hukum-hukum
yang bersangkutan dengan perkataan, perbuatan, perjanjian, dan hubungan
kerjasama antar sesama manusia. Hukum-hukum amaliyah ini dibagi lagi kedalam
dua jenis yaitu:
a.
hukum ibadah yakni hukum yang mengatur
hubungan dengan Allah dalam mendirikan shalat, melaksanakan ibadah puasa,
mengeluarkan zakat dan melakukan ibadah haji; dan
b.
hukum- hukum muamalah, yakni semua hukum
yang mengatur hubungan manusia dengan manusia, baik hubungan antar pribadi
maupun hubungan antara manusia antar orang perorangan dengan masyarakat.
Dari
uraian tersebut dapat diketahui bahwa konsep hukum " dalam Al- Quran jauh
lebih luas dari konsep menurut hukum Barat. Sebab, selain kaidah-kaidah yang
mengatur hubungan antara manusia dengan Allah dan hubungan antara manusia
dengan manusia lain dalam masyarakat (syariah), meliputi juga hukum yang
berkenaan dengan keyakinan dan sikap manusia terhadap terhadap lingkungannya
yang biasa disebut dengan akidah, akhlak atau moral.
B.
As- Sunnah atau Al Hadis
Secara
etimologis, kata sunnah berasal dari kata berbahasa Arab al- sunnah yang
berarti cara, adat-istiadat (kebiasaan), dan perjalanan hidup (sirah) yang
tidak dibedakan antara yang baik danyang buruk. Ini bisa dipahami dari sabda
Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim,"Barang siapa yang membuat cara
(kebiasaan) yang baik dalam Islam, maka dia akan memperoleh pahalanya dan
pahala orang yang mengikutinya, dan barang siapa yangmembuat dosanya dan dosa
orang yang mengikutinya".
Secara
terminologis, ada beberapa pemahaman tentang Sunnah. Menurut ahli hadis, Sunnah
berarti sesuatu yang berasal dari Nabi Saw. yang berupa cara yang buruk dalam
Islam, maka dia akan memperoleh perkataan, perbuatan, penetapan, sifat, dan
perjalanan hidup beliau baik pada waktu sebelum diutus menjadi Nabi maupun
sesudahnya.
Di
dalam kepustakaan Islam, sering kita jumpai perkataan sunnah dalam makna yang
berbeda-beda, tergantung pada penggunaan kata itu dalam hubungan kalimat. Kita
akan menemui (1) perkataan sunnah dalam istilah sunnatullah yang berarti hukum
atau ketentuan-ketentuan Allah mengenai alam semesta, yang di dalam dunia ilmu
pengetahuan disebut "hukum alam" atau natural law. Kita akan bertemu
dengan (2) perkataan sunnah dalam istilah sunnatur rasul yakni perkataan,
perbuatan dan sikap diam Nabi Muhammad sebagai rasululloh yang menjadi sumber
hukum Islam kedua setelah Al Quran. Kita akan berjumpa dengan (3) perkataan
sunnah atau sunat dalam hubungannya dengan al-ahkam al khamsah yang merupakan
salah satu kaidah dari lima kaidah hukum Islam yang bermakna anjuran jika
dikerjakan mendapat pahala kebaikan kalau tidak dilakukan tidak berdosa atau
tidak apa-apa. Kita akan menjumpai juga (4) perkataan sunnah dalam ungkapan
ahlus sunnah wal jama'ah (sering disingkat dengan Sunni saja)yaitu golongan
umat Islam yang berpegang kepada sunnah Nabi Muhammad, yang berbeda terutama
dalam ajaran kepemimpinan politiknya (imamah), dengan golongan Syiah atau
ditulis Shiit dalam kepustakaan atau media massa yaitu golongan umat Islam yang
setia menjadi pengikut Ali Bin Ai Thalib serta keturunannya. Selain itu
terdapat juga perkataan (5) sunnah dalam arti beramal ibadah sesuai contoh yang
diberikan nabi sebagai lawan dari bid'ah yakni pembaruan atau
cara baru.dalam beribadah yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para
sahabatnya.
Sunnatur
rasul atau Sunnnah Nabi Muhammad, seperti telah disebut di atas, menjadi sumber
kedua hukum Islam. Dasar hukumnya adalah (1) syahadatain (baca: syahadaten):
ucapan dua kalimat syahadat yaitu ikrar keyakinan yang menyatakan bahwa tidak
ada Tuhan lain yang patut disembah selain Allah dan Muhammad adalah rasul-Nya.
Dasar hukum lainnya adalah (2) Al Quran. Selain Surat Al-Nisa (4) ayat 59, juga
Al Quran aurat Al-Imran (3) ayat 132 menjadi dasar hukum sunnah. Selain pesan
Nabi mengenai Al Quran dan sunnahnya sebagai sumber hukum kedua adalah juga (3)
Sunnah Nabi yang menyatakan bahwa "apa yang diharamkan Rasululloh, sama dengan
apa yang diharamkan Alloh.
Semasa
Nabi Muhammad masih hidup, orang-orang Islam bertanya langsung kepada beliau
tentang apa saja yang tidak jelas jawabannya dalam Al Quran atau orang-orang
itu menanyakan kepada Nabi tentang makna wahyu yang disampaikan oleh malaikat
Jibril kepadanya. Nabi menjawab pertanyaan- pertanyaan itu atau menjelaskan
sesuatu dengan memberikan contoh. Kadang-kadang kalau para sahabatnya
melaporkan sesuatu, Nabi Muhammad diam saja, setelah mendengar laporan itu.
Demikianlah, semua yang datang dari Nabi Muhammad dalam kedudukan beliau
sebagai rasululloh baik berupa perkataan, perbuatan maupun persetujuan (:diam
tanda setuju).
Seiring
dengan dijadikannya Sunnah sebagai sumber hukum bagi kaumMuslim, maka pendapat
dan praktik dari para sahabat pun banyak yang dijadikan sumber hukum, dengan
alasan bahwa para sahabat adalah para pengamat langsungdari Sunnah Nabi. Karena
mereka bertahun-tahun lamanya bersama Nabi, diharapkan mereka tentu mengetahui
tidak hanya perkataan dan perilaku Nabi, tetapi juga ruh dan karakter dari
'Sunnah ideal" yang ditinggalkan Nabi bagi generasi selanjutnya. Meskipun
pendapat mereka berbeda-beda, tetapi tetap ada pada ruh Sunnah Nabi, dandengan
demikian tidak dapat dipisahkan dari Sunnah Nabi. Itulah sebabnya mengapapara
ahli hukum mazhab-mazhab awal sering berargumentasi atas dasar keputusan keputusan
hukum para sahabat. Inilah yang biasa dilakukan oleh Imam Malik danlmam Syafi'i
misalnya. Generasi berikutnya, yaitu para tabi ini juga memainkan peran Islam,karena
mereka memiliki hubungan dengan para sahabat. Keputusan – keputusan
hukum mereka merupakan sumber hukum bagi mazhab-mazhab awal. Imam Malik,
misalnya, mengutip praktik dan pendapat para tabi in setelah mengutip Sunnah
Nabi,dan begitu juga fuqaha' awal lainnya.
As-Sunnah
yang dikumpulkan dalam kitab-kitab hadis itu, pada garis-garis besarnya, dapat
digolong-golongkan menurut (a) jumlah orang yang meriwayatkan atau
memberitakannya dan (b) menurut kualitas pribadi (kepribadian) perawinya.
a.
Menurut jumlah (sedikit atau banyaknya)
orang yang meriwayatkan Sunnah Nabi itu, mulai dari Rasulullah sampai pada para
peneliti yang mengumpulkannya, sunnah yang disebut juga hadis itu dibagi tiga
yaitu : (1) Sunnah mutawirah atau hadis mutawatir adalah segala datang dari
Rasulullah yang diriwayatkan oleh sekian banyak sahabat, sehingga karena
banyaknya, mustahil mereka akan bersepakat untuk berdusta bersama-sama, (2)
Sunnah masyhurah atau hadis masyhur adalah segala sesuatu yang berasal dari
Rasulullah yang diriwayatkan oleh seorang, dua orang atau lebih sahabat, namun
jumlahnya tidak sebanyak yang meriwayatkan hadis mutawatir. (3) Sunnah atau
hadis ahad ialah segala sesuatu yang datang dari Rasulullah yang diriwayatkan
oleh seorang, dua orang atau lebih sahabat, tetapijumlahnya tidak sama yang
meriwayatkan hadis mutawatir Sesudah generasi sahabat tersebut, hadis itu
diriwayatkan oleh seorang, dua orang atau lebih generasi tabi'in sesuatu yang
dengan dan seterusnya sama oleh generasi tabi tabi'in. Sunnah atau hadis ahad
adalah yang terbanyak jumlahnya dalam kitab-kitab hadis.
b.
Dilihat dari kualitas atau integritas
pribadi orang-orang yang meriwayatkannya secara lisan dari generasi ke generasi
berikutnya sunnah atau hadis yang terdapat dalam kitab-kitab hadis, dapat
diklasifikasikan kedalam tiga kelompok yaitu (1) sahih adalah hadis yang
diriwayatkan oleh perawi yang adil, yaitu orang yang senantiasa berkata benar
dan menjauhi perbuatan terlarang, mempunyai ketelitian yang sempurna. (2) Hadis
hasan ialah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil (dapat dipercaya),
tetapi kurang ketelitiannya. (3) Hadis da 'if atau lemah adalah hadis yang
tidak memenuhi syarat yang dipunyai oleh hadis sahih dan hadis hasan.
C.
Akal Pikiran (Al-Ra'yu atau ljtihad)
Sumber hukumn ketiga adalah akal pikiran
manusia yang memenuhi syarat untuk berusaha, berikhtiar dengan seluruh
kemampuan yang ada padanya memahami kaida-kaidah hukum yang fundamental yang
terdapat dalam Al Quran, kaidah-kaidah hukum yang bersifat umum yang terdapat
dalam Sunnah Nabi dan merumuskannya menjadi garis-garis hukum yang dapat
diterapkan pada suatu kasus tertentu.
Akal adalah kunci untuk memahami agarma,
ajaran dan hukum Islam. Kita tidak akan dapat memahami Islam tanpa
mempergunakan akal. Oleh karena itu, nabi Muhammad menyatakan dengan jelas
bahwa agama adalah akal, tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal. Jika
ungkapan ini dihubungkan dengan hukum dan hukuman itu berkaitan dengan akal,
tidak ada hukum atau hukuman bagi orang yang tidak berakal atau gila. Aakal,
karena itu, mempunyai kedudukan yang tinggi dalam sistem agama Islam, karena
akal adalah wadah yang menampung aqidah, syariah dan akhlak.
Akal pikiran manusia yang memenuhi
syarat untuk berijtihad yang menjadi sumber hukum Islam yang ketiga ini, dalam
kepustakaan disebut arra'yu atau ijtihad saja. Dasar hukum untuk mempergunakan
akal pikiran atau ra’yu untuk berijtihad dalam pengembangan hukum Islam adalah
(1) Al Quran surat Al-Nisa (4) ayat 59 yang mewajibkan juga orang mengikuti
ketentuan ulil amri (orang yang mempunyai kekuasaan atau penguasa")
mereka, (2) hadis Mu'az bin Jabal yang menjelaskan bahwa Mu'az sebagai penguasa
(ulil amri) di Yaman dibenarkan oleh Nabi mempergunakan ra yunya untuk
berijtihad, dan (3) contoh yang diberikan oleh ulil amri lain yakni khalifah II
Umar bin Khattab, beberapa tahun setelah Nabi Muhammad wafat, dalam memecahkan masalah
berbagai persoalan hukum yang tumbuh dalam masyarakat, pada awal perkembangan
Islam.
Secara etimologis, kata ijtihad berasal
dari kata al-ijtihad yang berarti penumpahan segala upaya dan kemampuan atau
berusaha dengan sungguh-sungguh.32 Secara terminologis, ijtihad berarti
mencurahkan kesanggupan dalam mengeluarkan hukum syara yang bersifat amaliyyah
dari dalil-dalilnya yang terperinci baik dalam Alquran maupun Sunnah.
Tidak semua orang dapat berijtihad. Yang
dapat menjadi mujtahid yakni orang yang berhak berijtihad adalah mereka yang
memenuhi antara lain syarat-syarat berikut ini.
a.
Menguasai bahasa Arab untuk memahami Al
Quran dan kitab-kitab hadis yang tertulis dalam bahasa Arab.
b.
Mengetahui isi dan sistem hukum Al Quran
serta ilmu-ilmu untuk memahami Al Quran.
c.
Mengetahui hadis-hadis hukum dan
ilmu-ilmu hadis yang berkenaan dengan pembentukan hukum.
d.
Menguasai sumber-sumber hukum Islam dan
cara-cara (metode) menarik garis-garis hukum dari sumber-sumber hukum Islam.
e.
Mengetahui dan menguasai kaidah-kaidah
fiqih (qawa'id-al-fiqhiyyah, baca qawaidul fikkiyah).
f.
Mengetahui rahasia dan tujuan-tujuan
hukum Islam.
g.
Jujur dan Ikhlas.
h.
Menguasai ilmu-ilmu sosial (antropologi,
sosiologi) dan ilmu-ilmu yang relevan dengan masalah yang diijtihadi.
i.
Dilakukan secara kolektif (jama'i)
bersama para ahli (disiplin ilmu) lain
Ada beberapa metode atau cara untuk
melakukan ijtihad, baik ijtihad dilakukan sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan
orang lain. Di antara metode atau cara berijtihad adalah:
a.
Ijmak
Adalah persetujuan atau
kesesuaian pendapat para ahli mengenai suatu masalah pada suatu tempat di suatu
masa. Persetujuan ini diperoleh dengan suatu cara di tempat yang sama. Di
Indonesia misalnya, ijmak mengenai kebolehan beristri lebih dari seorang
berdasarkan ayat Al Quran surat Al-Nisa (4) aayat 3. dengan syarat-syarat tertentu,
selain dari kewajiban berlaku adil yang disebut dalam ayat tersebut, dituangkan
dalam undang-undang perkawinan.
b.
Qiyas
Adalah menyamakan hukum
suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya di dalam Al Quran dan As-Sunnah atau
Al-Hadis dengan hal (lain) yang hukumnya disebut dalam Al Quran dan Sunnah
rasul (yang terdapat dalam kitab-kitab hadis) karena persamaan illat (penyebab
atau alasan) nya. Sebagai contoh dapat dikemukakan larangan meminum khamar
(sejenis minuman yang memabukkan yang dibuat dari buah-buahan) yang terdapat
dalam Al Quran surat Al-Maidah (5) ayat 90. Yang menyebabkan minuman itu
dilarang adalah illat-nya yakni memabukkan. Sebab minuman yang memabukkan, dari
apapun ia dibuat, hukumnya dengan khamar yaitu dilarang untuk diminum.
c.
Istidal
Adalah menarik
kesimpulan dari dua hal yang berlainan. Misalnya menarik kesimpulan dari adat
istiadat dan hukum agama yang diwahtukan sebelum Islam.
d.
Masalih al-mursalah atau disebut
maslahat mursalah.
Adalah cara menemukan
hukum sesuatu hal yang tidak terdapat ketentuannya baik di dalam Al Quran
maupun dalam kitab-kitab hadis, berdasarkan pertimbangan kemaslahatan
masyarakat atau kepentingan umum. Sebagai contoh dapat dikemukakan pembenaran
pemungutan pajak penghasilan untuk kemaslahatan atau kepentingan masyarakat
umum, yang sama sekali tidak disinggung di dalam Al Quran dan Sunnah Rasul.
(yang terdapat dalam kitab-kitab hadis)
e.
Istihsan
Adalah cara menentukan
hukum dengan jalan menyimpang dari ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan
kepentingan sosial. Contohnya adalah pencabutan hak milik seseorang atas tanah
untuk pelebaran jalan, pembuatan irigasi untuk mengairi sawah-sawah dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan sosial.
f.
Istisab Adalah menetapkan hukum sesuatu
hal menurut keadaan yang terjadi sebelumnya, sampai ada dalil yang mengubahnya.
Atau dengan perkataan lain dapat dikatakan istisab adalah melangsungkan
berlakunya hukum yang telah ada karena belum ada ketentuan lain yang
membatalkannya. Contohnya (a) A (pria) mengawini B (wanita) secara sah. A
kemudian meninggalkan istrinya tanpa proses perceraian. C (pria) melamar B yang
menurut kenyataannya tidak mempunyai suami. Walaupun B menerima lamaran itu,
perkawinan antara C dan B tidak dapat dilangsungkan karena status B adalah
(masih) istri A. Selama tidak dapat dibuktikan bahwa B telah diceraikan oleh A
selama itu pula status hukum B adalah istri A
g.
Adat-istiadat atau urf yang tidak
bertentangan dengan hukum Islam dapat dukukuhkan tetap terus berlaku bagi
masyarakat yang bersangkutan. Contohnya adalah kebiasaan yang berlaku di dunia
perdagangan pada masyarakat tertentu melalui inden misalnya, jual beli
buah-buahan di pohon yang dipetik sendiri oleh pembelinya dan lain-lain.
KEGIATAN
BELAJAR 3
Perkawinan
dan Waris Islam
A. PERKAWINAN
1. Pengertian Perkawinan
Menurut
Prof. DR. Wirjono Prodjodikoro, S.H., perkawinan adalah hidup bersama dari seorang laki-laki dan perempuan yang memenuhi
syarat-syarat tententu.
Menurut
Prof. R. Subekti, S.H. “perkawinan ialah
pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu
yang lama”.
Pengertian
Perkawinan menurut Hukum Islam menurut sebagian ulama hanafiah “nikah adalah akad yang memberikan faedah
(mengakibatkan) kepemilikan untuk bersenang-senang secara sadar bagi seorang
pria dan wanita”.
Di
Indonesia ketentuan yang berkenaan dengan perkawinan telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan negara yang khusus berlaku bagi warga negara
Indonesia. Aturan perkawinan yang dimaksud adalah dalam bentuk undang-undang
yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksanaannya dalam
bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Undang-undang
ini merupakan hukum materiil dari perkawinan, sedangkan hukum formalnya
ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006. Sedangkan sebagai aturan pelengkap yang akan menjadi pedoman bagi
hakim di lembaga Peradilan Agama adalah Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang
telah ditetapkan dan di sebarluaskan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam.
Pengertian
perkawinan menurut peraturan perundang- undangan menurut pasal 1 UU No. 1/1974
tentang Perkawinan, yang dimaksud perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.
2.
Prinsip-Prinsip Perkawinan
Dalam
ajaran Islam ada beberapa prinsip-prinsip dalam perkawinan, yaitu:
a.
Kerelaan,
persetuan dan pilihan;
b.
Hak
dan kewajiban suami istri;
c.
Perkawinan
untuk selamanya;
d.
Asas
Monogami dan poligami.
Sedangkan
Menurut UU No. 1 tahun 1974 pada prinsipnya perkawinan adalah sebagai berikut.
a. Tujuan
perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri
perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan
pribadinya, membantu dalam mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
b. Dalam
Undang-Udang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan
disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perturan
perundang-undangan yang belaku. pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama
halnya denagn pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang,
misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan,
suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
c. Undang-undang
ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan,
karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengijinkannya, seorang suami
dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami
dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak
yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan
tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan Agama.
d. Undang-Udang
ini mengatur prinsip, bahwa calon sumai istri itu harus siap jiwa raganya untuk
dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan
secara baik tanpa berakhir dengan perceraian, dan mendapat keturunan yantg baik
dan sehat, untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri
yang masih dibawah umur, karena perkawinan itu mempunyai hubungan dengan
masalah kependudukan. maka untuk mengerem lajunya kelahiran yang lebih tinggi,
harus dicegah terjadinya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah
umur. Sebab batas umur yang lebuh rendah bagi seorang wanita untuk kawin,
mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan batas
umur yang lebih tinggi, berhubungan dengan itu, maka Undang-Udang Perkawinan
ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah
19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.
e. Karena
tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dan
sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar tejadinya
perceraian. Untuk memungkin perceraian harus ada alasan-alasan tertentu (pasal
19 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975) serta harus dilakukan di depan siding
Pengadilan Agama bagi orang Islam dan Pengadilan Negeri bagi golongan luar
Islam.
f. Hak
dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam
kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan bermasyarakat, sehingga dengan
demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan
bersama suami istri.
1) Harus
ada persetujuan secara sukarela dari pihak-pihak yang mengadakan perkawinan.
Caranyanya adalah diadakan peminangan terlebuh dahulu untuk mengetahui apakah
kedua belah pihak setuju untuk melaksanakan perkawinan atau tidak.
2) Tidak
semua wanita dapat dikawini oleh seorang pria, sebab ada ketentuan
larangan-larangan perkawinan antara pria dan wanita yang harus diindahkan.
3) Perkawinan
harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, baik yang
menyangkut kedua belah pihak maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan
perkawinan itu sendiri.
4) Perkawinan
pada dasarnya adalah untuk membentuk satu keluarga atau rumah tangga tentram,
damai, dan kekal untuk selam-lamanya.
5) Hak
dan kewajiban suami istri adalah seimbang dalam rumah tangga dimana tanggung
jawab pimpinan keluarga ada pada suami.
3. Hakikat
Perkawinan
Menurut
UU No. 1/1974 pasal 1, hakikat perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suant isteri. Jadi hakikat
perkawinan bukan sekedar ikatan formal belaka, tetapi juga ikatan batin antara
pasangan yang sudah resmi sebagai suami dan isteri.
Dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2 hakikat perkawinan adalah untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakanya merupakan ibadah.
4.
Asas Perkawinan
Menurut
UU No. 1/1974 pasal 3 adalah asas
monogami relatif, artinya boleh sepanjang hukum dan agamanya mengizinkan. Asas tersebut sejalan dengan apa yang dimaksud
dengan KHI. Sedangkan KUHPerdata menganut asas monogami mutlak karena ini
berdasarkan kepada doktrin Kristen (Gereja).
5.
Syarat Sahnya Perkawinan
Dalam
pasal 2 UU No. 1/1974 bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya.Setiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.Hal ini sejalan dengan KHI, dalam pasal 4 KHI
bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum Islam.Dan dalam
pasal 5 KHI bahwa setiap perkawinan harus dicatat agar terjamin ketertiban
perkawinan.Kemudian dalam pasal 6 KHI bahwa perkawinan yang dilakukan di luar
pengawalan pcgawai pencatatan nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pada
pasal 6 s/d 12 UU No. 1/1974 syarat-syarat perkawinan, yaitu adanya persetujuan
kedua calon mempelai, ada izin orang tua atau wali bagi calon yang belum
berusia 21 tahun, usia calon pria berumur 19 tahun dan perempuan berumur 16
tahun, tidak ada hubungan darah yang tidak boleh kawin, tidak ada ikatan perkawinan
dengan pihak lain, tidak ada larangan kawin menurut agama dan kepercayaannya
untuk ketiga kalinya, tidak dalam waktu tunggu bagi wanita yang janda.
Sedangkan
syarat perkawinan menurut KUHPerdata adalah syarat material absolut yaitu asas
monogami, persetujuan kedua calon mempelai, usia pria 18 tahun dan wanita 15
tahun, bagi wanita yang pernah kawin harus 300 hari setelah perkawinan yang
terdahulu dibubarkan. Sedang syarat material relatif, yaitu larangan untuk
kawin dengan orang yang sangat dekat di dalam kekeluargaan sedarah atau karena
perkawinan, larangan untuk kawin dengan orang yang pernah melakukan zina,
larangan memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian jika belum lewat
waktu 1 tahun.Menurut pasal 14 KHI dalam melaksanakan perkawinan harus ada
calon suami dan isteri, wali nikah, dua orang saksi serta sighat akad nikah.
6.
Kedudukan Hukum Perkawinan dalam Agama
Islam
Hukum
Perkawinan dalam agama Islam mempunyai kedudukan yang sangat penting,
olehkarena itu peraturan-peraturan tentang perkawinan ini diatur dan
diterangkan dengan jelas dan terperinci. Hukum Perkawinan Islam pada dasarnya
tidak hanya mengatur tatacara pelaksanaan perkawinan saja, melainkan juga
segala persoalan yang erat hubungannya dengan perkawinan, misalnya: hak-hak dan
kewajiban suami istri, pengaturan harta kekayaan dalam perkawinan, cara-cara
untuk memutuskan perkawinan. biaya hidup yang harus diadakan sesudah putusnya
perkwinan, Pemeliharaan anak, nafkah anak, pembegian harta perkawinan dan
lain-lain.
B.
WARIS DALAM ISLAM
Hukum
kewarisan ialah himpunan aturan-aturan hukum yang mengatur tentang siapa ahli
waris yang berhak mewarisi harta peninggalan seorang yang mati meninggalkan
harta peninggalan. Sedangkan menurut menurut Instruksi Presiden No. 1 Tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum IÅŸlam Hukum
kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli
waris dan berapa bagiannya masing-masing (Pasal 171 huruf a).
Sistem
hukum kewarisan Islam adalah individual patrilinial dan mengandung tiga sifat
tersendiri yaitu:
1.
Memberikan
bagian-bagian tertentu pada individu-individu tertentu.
2.
Sisanya
diberikan pada ahli waris yang merupakan keluarga pada garis bapa. Dan
seandainya kepada mereka tidak dapat diberikan, maka akan diberikan pada ahli
waris seibu.
3.
Wasiat
dibatasi pada 1/3 dari jumlah harta peninggalan.
Seseorang
akan mewaris, yaitu menerima bagian warisan dari harta peninggalan seseorang
yang meninggal, dimungkinkan oleh salah satu dari sebab:
1.
Hubungan
darah dekat (nasab);
2.
Hubungan
Perkawinan;
3.
Wala'
(perjanjian pertolongan memerdekakan perbudakan)
Perlu
diketahui pula bahwa pembagian warisan menurut Islam adalah sebagai berikut.
1.
Anak
laki-laki mendapat dua kali bagian anak perempuan.
2.
Ayah
atau ibu mendapat seperenam bagian
3.
Kalau
yang meninggal tidak mempunyai anak laki-laki, maka ibu mendapat seperenam
bagian.
4.
Jika
yang meninggal mempunyai saudara, maka ibu mendapat seperenam bagian.
5.
Jika
yang meninggal tidak mempunyai saudara, maka ibu mendapat seperdelapan bagian.
6.
Jika
istri yang meninggal, dan tidak meninggalkan anak, maka suami mendapat seperdua
bagian.
7.
Jika
istri yang meninggal, tetapi mempunyai anak, maka suami hanya mendapat
seperempat bagian.
Sejak
dikeluarkannya Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dimana
kekuasaan Pengadilan Agama untuk memeriksa, mengadili, serta menyelesaikan
sengketa waris dipulihkan kembali, maka kebutuhan terhadap hukum waris yang
jelas, rinci, mudah dan pasti serta sesuai dengan tata kehidupan masyarakat
Islam Indonesia yang bilateral semakin terasa mendesak. Untuk itu pulalah
kemudian dikeluarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang diberlakukan dengan
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, tanggal 10 Juni 1991.
Ada beberapa pihak
yang terdapat dalam Hukum Waris Islam, diantaranya:
1.
pewaris
adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal
meninggalkan berdasarkan Putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli
waris dan harta peninggalan (Pasal 171 huruf b);
2. ahli waris adalah orang yang pada
saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan
pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli
waris (Pasal 171 huruf c). Selanjutnya, mengenai ahli waris tersebut secara
lebih rinci dijelaskan dalam Pasal 172-175. Pasal-pasal tersebut membahas
bagaimana seseorang terhalang menjadi ahlà waris.Kelompok-kelompok ahli waris,
kewajiban dan tanggung jawab ahli waris terhadap pewaris.
Besarnya
bahagian waris islam dalam KHI diatur pada Bab III Pasal 176-191 yang dapat
dijabarkan secara garis besar sebagai berikut.
1. Anak
perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian, bila dua orang atau
lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak
perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah
dua berbanding satu dengan anak perempuan (Pasal 176).
2. Ayah
mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak bila ada anak,
ayah mendapat seperenam bagian (Pasal 177). Maksud pasal ini ialah ayah
mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, tetapi
meninggalkan suami dan ibu, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian
(Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1994).
3. Ibu
mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila tidak
ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian
(Pasal 178 (1). Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh
janda atau duda bila bersamasama dengan ayah (Pasal 178 (2)).
4. Duda
mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris
meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagaian (Pasal 179).
5. Janda
mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila
pewaris meninggalkan anak maka janda mendapat seperdelapan bagian (Pasal 180)
6. Bila
seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan
saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka
itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian
(Pasal 181).
7. Bila
seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia mempunyai satu
saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat separoh bagian. Bila
saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau
seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sarma mendapat dua pertiga
bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki
kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki dua berbanding satu dengan
saudara perempuan (Pasal 182).
8. Para
ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan,
setelah masing-masing menyadari bagiannya (Pasal 183).
9. Bagi
ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampu melaksanakan hak dan
kewajibannya, maka baginya diangkat wali berdasarkan keputusan Hakim atas usul
anggota keluarga (Pasal 184)
10. Ahli
waris yang meninggal lebih dahulu dari pada sipewaris maka kedudukannya dapat
digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173 (Pasal
185 (1)). Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli
waris yang sederajat denganyang diganti (Pasal 185 (2)).
11. Anak
yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan
ibunya dan keluarga dari pihak ibunya (Pasal 186).
12. Bilamana
pewaris meninggalkan warisan harta peninggalan, maka oleh ahli waris semasa
hidupnya atau oleh para ahli waris dapat
ditunjuk beberapa orang sebagai pelaksana pembagian harta warisan dengan tugas:
a. Mencatat
dalam suatu daftar harta peninggalan, baik berupa benda bergerak maupun tidak
bergerak yang kemudian disahkan oleh para ahli waris yang bersangkutan, bila
perlu dinilai harganya dengan uang ;
b. Menghitung
jumlah pengeluaran untuk kepentingan pewaris sesuai dengan Pasal 175 ayat (1)
sub a, b, dan c (Pasal 187 (1)).
c. Sisa
dari pengeluaran dimalksud di atas adalah merupakan harta warisan yang harus
dibagikan kepada ahli waris yang berhak (Pasal 187 (2))
13. Para
ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan
permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan.
Bila ada diantara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang
bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan
pembagian warisan (Pasal 188)
14. Bila
warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2
hektar, supaya dipertahankan kesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan
untuk kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan (Pasal 189 (1)).
Bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak dimungkinkan karena di
antara para ahli waris yang bersangkutan ada yang memerlukan uang, maka lahan
tersebut dapat dimiliki oleh seorang atau lebih ahli waris yang dengan kepada
ahli waris yang berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing (Pasal 189 (2)).
15. Bagi
pewaris yang beristeri lebih dari seorang, maka masing-masing isteri berhak
mendapat bagian atas gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya, sedangkan
keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak para ahli warisnya (Pasal 190).
16. Bila
pewaris tidak meninggalkanahli waris sama sekali atau ahli warisnya tidak
diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan cara membayar
harganya Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Mal untuk
kepentingan Agama Islam dan kesejahteraan umum (Pasal 191).
RANGKUMAN
Di Indonesia ketentuan
yang berkenaan dengan perkawinan telah diatur dalam peratuan perundang-undangan
negara yang khusus berlaku bagi warganegara Indonesia. Aturan perkawinan yang
dimaksud adalah dalam bentuk undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 dan peraturan pelaksanaannya dalam bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975. Undang-undang ini merupakan hukum materiil dari perkawinan, sedangkan
hukum formalnya ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Sedangkan sebagai aturan pelengkap yang akan
menjadi pedoman bagi hakim di lembaga Peradilan Agama adalah Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia yang telah ditetapkan dan di sebarluaskan melalui Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Sistem hukum kewarisan
Islam adalah individual patrilinial Sescorang akan mewaris, yaitu menerima
bagian warisan dari harta peninggalan seseorang yang meninggal, dimungkinkan
oleh salah satu dari sebab:
a.
hubungan
darah dekat (nasab);
b.
hubungan
perkawinan;
c.
wala'
(perjanjian pertolongan memerdekakan perbudakan).
Sejak dikeluarkannya
Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dimana kekuasaan Pengadilan
Agama untuk memeriksa, mengadili, serta menyelesaikan sengketa waris dipulihkan
kembali, maka kebutuhan terhadap hukum waris yang jelas, rinci, mudah dan pasti
serta sesuai dengan tata kehidupan masyarakat Islam Indonesia yang bilateral
semakin terasa mendesak.
KEGIATAN
BELAJAR 4
Zakat,
Wakaf, dan Ekonomi Syariah
A. ZAKAT
Kata
zakat secara etimologis berasal dari kata "al-zaka", artinya: menumbuhkan
dan berkembang (QS.al-Baqarah [2]: 276), member keberkahan (QS. Saba [34]:39),
dan menyucikan (QS. al-Taubah [9]:103) Dalam Al-Quran terdapat 32 kata
"zakat" bergandengan dengan kata "shalat" dan sebanyak 82
kata dengan makna yang sinonim, yaitu sedekah dan infaq.Sedangkan zakat menurut
terminologi adalah sejumlah harta tertentu yang diwajibkan oleh Allah Swt.
untuk diberikan kepada orang yang berhak menerima zakat (mustahiq) yang
disebutkan dalam Al-Qur'an.Selain itu, bisa juga berarti sejumlah harta
tertentu dari harta tertentu yang diberikan kepada orang yang berhak
menerimanya dengan syarat-syarat tertentu.
Secara
umum tujuan dilaksanakannya zakat selain untuk menyucikan harta juga Sebagai
wahana untuk menyejahterakan umat melalui pendistribusian sebagian harta orang
kaya kepada kaum miskin, baik diperuntukkan secara konsumtif, yakni untuk
memenuhi kebutuhan makan dan minum semata maupun secara produktif, yakni zakat
dikelola melalui bentuk usaha agar para mustahiq tersebut dapat berubahmenjadi
muzakki di kemudian hari.
Pada
dasarnya, zakat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu: zakat nafs (jiwa) atau lazim
disebut zakat fitri (fitrah) dan zakat mal (harta). Zakat fitrah adalah zakat
yang wajib dikeluarkan setiap Muslim sebelum hari raya Idul Fitri. Jumlah yang
dikeluarkan sebanyak 2,5 kilogram atau 3,5 liter makanan pokok masyarakat
setempat. Sedangkan zakat mal adalah zakat yang dikeluarkan untuk hasil-hasil
perniagaan. pertanian, pertambangan, hasil laut, ternak, harta temuan, emas dan
perak, dan hasil kerja (profesi), yang masing-masing memiliki perhitungan
tersendiri.
Untuk
melegitimasi zakat tersebut agar penerimaan dan pendistribusian zakat dikelola
secara profesional dan bertanggung jawab, maka pemerintah mengeluarkan
Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Dalam
Pasal 2 Undang-Undang ini disebutkan bahwa yang menjadi wajib zakat adalah
setiap warganegara Indonesia yang beragama Islam dan mampu atau badan yang
dimiliki oleh orang Muslim berkewajiban menunaikan zakat. Dalam menjalankan
kewajiban tersebut, maka permerintah turut langsung terlibat memberikan perlindungan,
pembinaan, dan pelayanan kepada muzakki, mustahiq, dan amil zakat (Pasal 3).
Adapun
asas dan tujuan pengelolaan zakat ini adalah berasaskan iman dan takwa,
keterbukaan, dan kepastian hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945 (Pasal 4). yang bertujuan untuk:
1.
meningkatkan
pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntutan agama:
2.
meningkatkan fungsi dan peranan pranata
keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejabteraan masyarakat dan keadilan sosial;
dan
3.
meningkatkan
hasil guna dan daya guna zakat serta dapat dipertanggungjawabkan (Pasal 5)
Dalam
perkembangannya, posisi amil zakat di Indonesia diambil alih oleh penguasa
melalui organisasi pengelolaan zakat yang dikelompokkan menjadi dua lembaga,
yaitu Badan Amil Zakat (Baznas) yang dibentuk oleh pemerintah dan Lembaga Amil
Zakat (LAZ) yang dibentuk atas prakarsa masyarakat. Kedua lembaga tersebut
terdiri atas unsur pertimbangan, unsur pengawas dan pelaksana yang dikukuhkan, dibina, dan
dilindungi oleh pemerintah yang, dan mempunyai tugas pokok mengumpulkan,
mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama.Hal ini
tercakup dalam Pasal 6, 7, dan 8.
Dalam
menjalankan tugas tersebut Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat bertanggung
jawab kepada pemerintah sesuai dengan tingkatnya (Pasal 9) dan sekaligus
sebagai pengawas (Pasal 18), yaitu:
1.
Badan
amil zakat nasional oleh Presiden atas usul Menteri;
2.
Badan
amil zakat provinsi oleh gubernur atas usul kepala wilayah departemen agama
provinsi:
3.
Badan
amil zakat kabupaten/kota oleh bupati/walikota atas usul kepala
kantordepartemen agama kabupaten/kota;
4.
Badan
amil zakat kecamatan oleh camat atas usul kepala kantor urusan agama kecamatan
(Pasal 6 ayat [2]).
Dalam
melaksanakan tugasnya, tingkat badan amil zakat tersebut memiliki hubungan
kerja yang bersifat koordinatif, konsultatif, dan informative (Pasal 6 ayat
[3]).Pengumpulan zakat yang dimaksud dalam Undang-Undang ini adalah zakat mal
dan zakat fitrah. Adapun harta yang dikenai zakat adalah; emas, perak, dan
uang: perdagangan dan perusahaan; hasil pertanian, hasil perkebunan, dan hasil
perikanan; hasil pertambangan; hasil peternakan; hasil pendapatan dan jasa; dan
rikaz (Pasal 11 ayat [1 dan 2])
Sedangkan
pendayagunaan zakat tersebut adalah untuk mustahiq sesuai dengan ketentuan
agama pendayagunaan hasil pengumpulan zakat berdasarkan skala prioritas
kebutuhan mustahiq dan dapat dimanfaatkan untuk usaha yang produktif, dan
persyaratan dan prosedur pendayagunaan hasil pengumpulan zakat ini diatur dengan
keputusan menteri agama (Pasal 16 ayat [1, 2,dan 3])
Badan
amil zakat memberikan laporan tahunan pelaksanaan tugasnya kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atau kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
sesuai dengan tingkatannya (Pasal 19).
B. WAKAF
Menurut
Mohammad Daud Ali dalam bukunya Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf,
disebutkan kata waqf dalam Bahasa Indonesia menjadi wakaf, berasal dari kata
kerja bahasa Arab waqafa yang berarti menghentikan, berdiam di tempat atau
menahan. Pengertian menahan (sesuatu) dihubungkan dengan kekayaan, jadi wakaf
adalah menahan suatu benda untuk diambil manfaatnya sesuai dengan ajaran Islam.
Dalam Kamus istilah Fiqih, wakaf adalah memindahkan hak milik pribadi yang
menjadi milik suatu badan yang memberi manfaat bagi masyarakat. Hal ini
berdasarkan ketentuan agama dan tujuan taqarub kepada Allah SWT, untuk
mendapatkan kebaikan dan keridloan-nya. Wakaf juga diartikan sebagai salah satu
bentuk realisasi dari pelaksanaan perintah Allah dalam Al-quran, agar seseorang
menafkahkan sebagian hartanya ke jalan Allah SWT, karena harta dalam pandangan
Islam mempunyai fungsi sosial dan bukan merupakan milik mutlak seseorang. Harta
benda yang ada pada diri seseorang adalah sesuatu yang dipercayakan Allah yang
harus digunakan sesuai dengan ajaran-Nya.
Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), menyebutkan
bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau sekelompok orang atau badan
hukum yang memisahkan sebagian benda dari miliknya dan melembagakan untuk
selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan lainnya sesuai dengan
ajaran Islam. Secara yuridis wakaf merupakan
perbuatan hukum yang menimbulkan atau mengakibatkan adanya harta yang terpisah
dan bertujuan serta adanya nazhir yang mengelola harta tersebut. Sedangkan
menurut UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf dijelaskan bahwa wakaf adalah
perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta
benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu
sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum
menurut syariah.
Wakaf
adalah salah satu bentuk ibadah dalam ajaran Islam yang memiliki potensi sosial
serta ekonomi serta dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan umat. Peranan wakaf di negara kita tidak dapat kita
abaikan. Hampir bisa dipastikan bahwa setiap bangunan yang berfungsi keagamaan,
sosial, apakah berupa tempat ibadah, komplek keguruan pendidikan, pusat-pusat
penyiaran Islam maupun tempat-tempat amal kebajikan lainnya, lazimnya selama
ini, berdiri di atas Objek wakaf.
Perwakafan
merupakan kelembagaan yang sudah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai
suatu pranata sosial keagamaan. Sebagaimana tercermin dalam konsideran
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 yang merupakan dasar hukum perwakafan
Objek, dinyatakan bahwa wakaf sebagai lembaga keagamaan yang sifatnya sebagai
sarana keagamaan.
Muhammad
Daud Ali menyatakan bahwa wakaf telah mengakar dan menjadi tradisi umat Islam di
mana pun. Di Indonesia, menurutnya, wakaf telah menjadi penunjang utama bagi perkembangan
masyarakat, karena hampir semua rumah ibadah, perguruan Islam, dan
lembaga-lembaga keagamaan Islam lainnya dibangun di atas Objek wakaf.
Dari
beberapa pengertian tentang wakaf di atas dapatlah diketahui bahwa unsur-unsur
wakaf itu adalah terdiri dari berikut ini.
1.
Orang
yang berwakaf (wakif) yaitu pemilik harta benda yang diwakafkan.
2.
Harta
yang diwakafkan (mauquf bih).
3.
Tujuan
wakaf atau yang berhak menerima wakaf yang disebut mauquf alaihi.
4.
Persyaratan
wakaf dari wakil yang disebut shighat atau ikrar wakaf.
Pasal
1 UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, memberikan penjelasan beberapa definisi
istilah seputar wakaf ini.
1.
Wakaf,
adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian
harta benda miliknya untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan
ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari'ah.
2.
Wakif,
adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.
3.
Ikrar wakaf, adalah pernyataan kehendak
wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau tulisan kepada Nazhir untuk
mewakafkan harta benda miliknya.
4.
Nazhir,
adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan
dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
5.
Harta benda wakaf,
adalah harta benda yang memiliki daya tahan Jama dan/atau manfaat jangka
panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syari'ah yang diwakafkan oleh
wakif.
6.
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf,
selanjutnya disingkat PPAIW, adalah pejabat berwenang yang ditetapkan oleh
menteri untuk membuat akta ikrar wakaf.
Dalam
undang-undang tersebut dijelaskan bahwa pihak yang mewakafkan harta bendanya
disebut wakif. Dalam melaksanakan wakaf tersebut harus dilakukan ikrar wakaf
yaitu pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan dan atau tulisan
kepada nadzir untuk mewakafkan harta benda miliknya.
Pasal
226 KHI menyebutkan "Penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut
benda wakaf dan Nadzir diajukan kepada Pengadilan Agama setempat sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. " Pasal tersebut di
atas memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk menyelesaikan
perselisihan mengenai benda wakaf dan Nadzir. Kata perselisihan" pada
pasal tersebut menunjukkan secara jelas bahwa masalah (perkara) wakaf dan Nadzir
merupakan masalah contentiu. Sehingga perkara wakaf merupakan perkara
contentius, sedangkan wakaf yang tidak diperselisihkan tidak dianggap sebagai
perkara contentius sehingga bukan perkara, sekalipun dapat menimbulkan sengketa
pada masa-masa sesudahnya.
Pasal
62 ayat (2) Undang-Undang Nomo 41 Tahun 2004 menyebutkan penyelesaian sengketa
perwakafan dilakukan dengancara: musyawarah untuk mufakat, mediasi, arbitrase,
atau pengadilan. Dan penjelasan pasal tersebut di atas berbunyi "Yang
dimaksud dengan mediasi adalah penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak
ketiga (mediator) yang disepakati oleh para pihak yang bersengketa. Dalam hal
mediasi tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka sengketa tersebut dapat
dibawa kepada badan arbitrase syari ah. Dalam
hal badan arbitrase syari ah tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka
sengketa tersebut dapat dibawa ke pengadilan agama dan/atau mahkamah syar'iyah.
Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan agama menegaskan kembali kewenangan Peradilan Agama dalam
mengadili perkara sengketa wakaf sebagaimana disebutkan dalam Pasal 49
undang-undang tersebut yang berbunyi "Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang a) perkawinan, b)
waris, c)wasiat, d) hibah, e) wakaf, f) zakat, g) infaq. h) sedekah, dan i)
ekonomi syari'ah." Dengan demikian sengketa jenis apa pun yang berkaitan
dengan wakaf. baik harus diselesaikan oleh Peradilan Agama
Penjelasan
Pasal 62 ayat (2) Undang-Undang Nomo 41 Tahun 2004 menyebutkan "Dalam hal
badan arbitrase syari ah tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka sengketa
tersebut dapat dibawa ke pengadilan agama dan/atau mahkamah svar'iyah."
Lalu bagaimana apabila ketentuan pidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 67
terjadi, lembaga peradilan manakah yang berwenang untuk mengadilinya?"
Penjelasan
pasal tersebut berbunyi cukup jelas", sedangkan penjelasan Pasal 62 ayat
(2) tidak menyebutkan lembaga peradilan lainnya selain lembaga peradilan agama
dan /atau mahkamah syar'iyah. Oleh karena itu, sekalipun bunyi penjelasan pasal
"cukup jelas", penulis berpendapat bahwa penyelesaian dikembalikan
kepada lembaga peradilan yang mengadili perkara pidana, yaitu peradilan umum.
Untuk
mengadili perkara wakaf, Peradilan Agama harus mempedomani ketentuan Pasal 54
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sehingga hukum acara yang berlaku secara
umurm untuk Pengadilan Agama di Jawa dan Madura adalah sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 130 HIR, dan untuk Pengadilan Agama di luar Jawa dan Madura adalah sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 154 R. Bg., dan dalam melakukan peradilan, Pasal 28 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tetap tidak boleh diabaikan.
C. EKONOMI SYARIAH
Berdasarkan
penjelasan Pasal 49 Huruf i Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan
Agama . yang dimaksud dengan Ekonomi Syariah adalah perbuatan atau kegiatan
usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah yang lingkupnya meliputi:
1.
bank
syariah;
2.
asuransi
syariah;
3.
reasuransi
syariah;
4.
reksa
dana syariah:
5.
obligasi
syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah:
6.
sekuritas
syariah,
7.
pembiayaan
syariah
8.
pegadaian
syariah;
9.
dana
pensiun lembaga keuangan syariah;
10.
bisnis
syariah; dan
11.
lembaga
keuangan mikro syariah.
Dari
sudut pandang ajaran Islam, istilah syariah sama dengan syariat (tamarbuthoh
dibelakang dibaca dengan ha) yang pengertiannya berkembang mengarah pada makna
fiqh, dan bukan sekedar ayat-ayat atau hadits-hadits hukum. Dengan demikian
yang dimaksud dengan Ekonomi Syariah adalah dalil-dalil pokok mengenai Ekonomi
yang ada dalam Al Qur'an dan Hadits. Hal ini memberikan tuntutan kepada
masyarakat Islam di Indonesia untuk membuat dan menerapkan system ekonomi
berdasarkan dalil-dalil pokok yang ada dalam Al Qur'an dan Hadits. Dengan
demikian, dua istilah tersebut, apabila disebut dengan istilah singkat ialah
sebagai Sistem Ekonomi Syariah dan Hukum Ekonomi Syariah.
Pelaksanaan
kegiatan bisnis berdasarkan prinsip ekonomi syariah mencapai perkembangan yang
cukup signifikan di Indonesia, sekurang-sekurangnya dari aspek legislasi. Dalam
hal ini akan dikemukakan pembentukan legislasi syariah di bidang perbankan,
peradilan, surat berharga dan peraturan di bidang perseroan terbatas.
1.
Rintisan penerapan ekonomi (keuangan)
syariah tingkat nasional diawali dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia,
yang secara tegas memberikan pelayanan operasional perbankan dengan sistem bagi
hasil (mudharabah). Beroperasinya sistem perbankan syariah memperoleh landasan
hukum Undang-Undang Nomor 10 tentang Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan. Kemudian diperkuat lagi dengan UU No. 23 Tahun 1992 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank
Indonesia, yang memungkinkan penerapan kebijakan moneter berdasarkan
prinsip-prinsip syariah. Kedua undang-undang tersebut menjadi landasan hukum
bagi perbankan nasional untuk menerapkan sistem perbankan ganda (dual banking
system), yaitu penggunaan perbankan konvensional dan syariah yang berjalan secara
parallel.
2.
Pada 7 Mei 2008, berlaku UU No. 19 Tahun
2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebagai dasar hukum
pengembangan instrument keuangan syariah. Dengan diakuinya SBSN sebagai
alternatif instrument pembiayaan anggaran negara, maka sistem perundang-undang
nasional telah memberikan landasan hukum bagi upaya memobilisasi dana public
secara luas berdasarkan prinsip syariah. Upaya pengembangan instrument
pembiayaan tersebut bertujuan untuk: (1) memperkuat dan meningkatkan sistem
keuangan berbasis syariah di dalam negeri; (2) memperluas basis pembiayaan
anggaran negara; (3) menciptakan bench mark instrument keuangan syariah baik di
pasar keuangan syariah domestik maupun internasional; (4) memperluas dan
mendiversifikasi basis investor; (5) mengembangkan alternatif instrumen
investasi baik bagi investor dalam negeri maupun luar negeri yang mencari
instrumen keuangan berbasis syariah; dan (6) mendorong pertumbuihan pasar
keuangan syariah di Indonesia. SBSN (Sukuk Negara) yang merupakan surat
berharga berdasarkan prinsip syariah, sehingga berbagai bentuk akad sukuk yang
dikenal dalam ekonomi syariah (ijarah, mudharabah, musyarakah, istishna, dan
lain-lain) dapat diterapkan berdasarkan UU No.. 19 Tahun 2008.
3.
Perkembangan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah yang dilakukan oleh badan hukum perseroan terbatas merupakan
salah satu alasan penggantian UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
dengan UU No. 40 Tahun 2007. Perseroan terbatas yang menjalankan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah, selain mempunyai Dewan Komisaris wajib mempunyai
Dewan Pengawas Syariah (DPS), yang diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS) atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia. DPS bertugas memberikan
nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Perseroan agar sesuai
dengan prinsip syariah. DPS sebagai organ perseroan yang mendampingi atau melengkapi
Dewan Komisaris bertugas melakukan pengawasan agar kegiatan perseroan tidak
melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip ekonomi syariah
(umpama larangan riha bunga uang atau return yang diperoleh dari penggunaan
uang untuk mendapatkan uang maysir – unsure - spekulasi. judi, dan sikap
untung-untungan dan gharar unsure ketidakpastian yang antara lain denngan
penyerahan, kualitas dan kuantitas.
4.
Sejalan dengan perkembangan legislasi
syariah di atas, maka legislasi di bidang badan peradilan juga perlu
"menyesuaikan diri". UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006. Salah satu pertimbangan yuridis bagi
perubahan tersebut adalah "perluasan kewenangan Pengadilan Agama dengan
alasan "sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat,
khususnya masyarakat muslim." Perluasan tersebut antara lain meliputi
ekonomi syariah. Dengan demikian ruang lingkup yurisdiksi Pengadilan Agama
mencakup bidang perkawinan. waris. wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, sedekah,
dan ekonomi syariah.
RANGKUMAN
Kata zakat" secara
etimologis berasal dari kata "al-zaka", artinya: menumbuhkan dan
berkembang, memberi keberkahan, dan menyucikan. Sedangkan zakat menurut
terminologi adalah sejumlah harta tertentu yang diwajibkan oleh Allah Swt.
untuk diberikan kepada orang yang berhak menerima zakat (mustahiq) yang
disebutkan dalam Al-Qur'an. Secara umum tujuan dilaksanakannya zakat selain
untuk menyucikan harta juga sebagai wahana untuk menyejahterakan umat melalui
pendistribusian sebagian harta orang kaya kepada kaum miskin, baik
diperuntukkan secara konsumtif, yakni untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum
semata maupun secara produktif, yakni zakat dikelola melalui bentuk usaha agar
para mustahiq tersebut dapat berubah menjadi muzakki di kemudian hari. Adapun
asas dan tujuan pengolahan zakat berasaskan iman dan takwa, keterbukaan, dan
kepastian hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 4).
Yang bertujuan untuk:
a.
meningkatkan
pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntutan agama;
b.
meningkatkan
fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan
masyarakat dan keadilan sosial; dan
c.
meningkatkan
hasil guna dan daya guna zakat serta dapat dipertanggungjawabkan (Pasal 5).
Wakaf
adalah memindahkan hak milik pribadi yang menjadi milik suatu badan yang
memberi manfaat bagi masyarakat. Wakaf adalah salah satu bentuk ibadah dalam
ajaran Islam yang memiliki potensi sosial serta ekonomi serta dapat digunakan
untuk meningkatkan kesejahteraan umat.
Ekonomi
Syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip
syariah yang lingkupnya meliputi: bank syariah; asuransi syariah,reasuransi
syariah, reksa dana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka
menengah syariah. Sekuritas syariah.pembiayaan syariah, pegadaian syariah. dana
pensiun lembaga keuangan syariah, bisnis syariah: dan lembaga keuangan mikro
syariah.
KEGIATAN
BELAJAR 5
Peradilan
Agama
Peradilan agama
dapat dirumuskan sebagai: kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa,
mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu antara
orang-orang yang beragama Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Berdasarkan pengertian peradilan itu, cakupan dan batasan Peradilan Agama
meliputi komponen-komponen sebagai berikut:
1. Kekuasaan
negara, yaitu kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan kekuasaan
negara lainnya dan dari pihak luar. Secara operasional kekuasaan itu terdiri
atas kekuasaan absolut (absolute competensie)
dan kekuasaan relatif (relatif
competentie).
2. Badan
peradilan agama. sebagai satuan penyelenggara kekuasaan kehakiman. Ta meliputi
Hierarkie, susunan, pimpinan, hakim, panitera, dan unsur lain dalam organisasi
pengadilan.
3. Prosedur
berperkara di pengadilan. yang mencakup jenis perkara, hukum prosedural (hukum
acara) dan produk-produknya (putusan dan penetapan). Prosedur itu meliputi
tahapan kegiatan menerima, memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan
perkara-perkara yang diajukan kepengadilan.
4. Perkara-perkara
dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat. Hibah wakaf, dan sedekah. Ia
mencakup variasi dan frekuensi sebarannya dalam berbagai pengadilan.
5. Orang-orang
yang beragama Islam, sebagai pihak yang berperkara (berselisih atau
bersengketa) atau para pencari keadilan.
6. Hukum
Islam, sebagai hukum substansial yang dijadikan rujukan dalam proses peradilan.
7. Penegakan
hukum dan keadilan sebagai tujuan.
Peradilan agama
adalah proses pemberian kcadilan berdasarkan hukum agama Islam kepada
orang-orang Islam yang dilakukan di Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi
Agama. Peradilan agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman khusus (special
court) diatur oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 sebagai pengganti peraturan perundang-undangan sebelumnya
memuat beberapa perubahan penting dalam penyelenggaraan Peradilan Islam di
Indonesia. Perubahan-perubahan tersebut diantaranya berkenaan dengan:
1. Dasar Hukum Penyelenggaraan
Peradilan.
Dengan berlakunya
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 penyelenggaraan Peradilan Islam didasarkan
atas peraturan perundang-undangan yang sama (kesatuan hukum) Dengan perkataan
lain, penyelenggaraan peradilan itu didasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang seragam.
2. Kedudukan Pengadilan.
Berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 kedudukan Pengadilan agama sejajar dengan
Pengadilan Negeri (pengadilan tingkat pertama dalam lingkungan Peradilan Umum)
dalam arti yang sesungguhnya.
3. Susunan Pengadilan.
Menurut ketentuan pasal
6, 7, dan 8 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama terdiri atas Pengadilan Agama (PA), sebagai pengadialn tingkat
pertama, dan Pengadilan Agama (PTA) sebagai pengadilan tingkat banding.
Pengadilan Agama dibentuk dengan Keputusan Presiden, sedangkan Pengadilan Tinggi
Agama dibentuk dengan Undang-Undang.
4. Kedudukan Hakim.
Menurut Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989, hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan
kehakiman (pasal 11 ayat (1)). Ia merupakan unsur yang sangat penting bahkan
menentukan. Menurut ketentuan pasal 15 ayat (1) hakim diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Menteri Agama dengan
persetujuan Ketua Mahkamah Agung. Hal yang sama berlaku bagi hakim dalam
lingkungan peradilan umum.
5. Kekuasaan Pengadilan.
Menurut ketentaun pasal
49 ayat (1) dinyatakan Pengadilan Agamabertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang a. perkawinan; b. Kewarisan, wasiat,
dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum islam; c. wakaf dan sedekah.
6.
Hukum
Acara.
Menurut ketentuan Pasal
54, "Hukum acara yang berlaku pada pengadialn dalam lingkungan peradilan
agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkunga
peradilan umum kecuali yang telah diatur
secara khusus dalam Undang-Undang ini". Hal itu menunjukkan bahwa hukum
acara yang berlaku adalah hukum tertulis sebagaimana yang berlaku pada
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, di samping adanya kekecualian dan
kekhususan yang diatur dalam undang-undang tersebut. Kekhususan itu meliputi
prosedur cerai talak, cerai gugat, cerai dengan alasan zina, dan biaya perkara.
7. Penyelenggaraan Administrasi.
Sebagaimana diatur
dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, pembinaan teknis peradilan
dilakukan oleh Mahkamah Agung; sedangkan pembinaan organisasi, administrasi,
dan keuangan dilakukan oleh Menteri Agama. Berkenaan dengan hal itu, pada
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama terdapat dua “unit organisasi"
dan dua jenis administrasi. Unit organisasi itu adalah kepaniteraan dan
sekretariat. Sedangkan kedua jenis administrasi itu adalah administrasi
peradilan dan administrasi umum.
8.
Perlindungan
terhadap Wanita.
Pengkhususan
perlindungan terhadap wanita, dalam hal ini pihak istri, baik sebagai termohon
maupun penggugat. menunjukkan bahwa dalam kehidupan keluarga, istri dalam
posisi yang lemah.
Menurut Prof. H.
Muhammad Daud Ali, dengan adanya Undang-Undang Peradilan Agama terjadi
perubahan penting dan mendasar dalam lingkungan peradilan agama yang
diantaranya dapat disebut hal-hal sebagai berikut:
1. Peradilan
Agama telah menjadi peradilan mandiri, kedudukannya benar-benar telah sejajar
dan sederajat| dengan Peradilan Umum. Peradilan Militer, dan Peradilan Tata
Usaha Negara.
2. Nama,
susunan, wewenang (kekuasaan) dan hukum acaranya telah sama dan seragam di
seluruh Indonesia. Terciptanya unifikasi Hukum Acara Peradilan Agama askan
memudahkan terwujudnya ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan
dalam lingkungan Peradilan Agama,
3. Perlindungan
terhadap wanita lebih ditingkatkan, dengan jalan, antara lain, memberikan hak
yang sama kepada istri dalam berproses dan membela kepentingannya di muka
Pengadilan Agama.
4. Lebih
memantapkan upaya penggalian berbagai asas dan kaidah hukum Islam sebagai salah
satu kaidah hukum Islam sebagai salah satu bahan baku dalam penyusunan dan
pembinaan hukum nasional melalui jurisprudensi
5. Ketentuan-ketentuan
dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman
(1970) terutama yang disebut pada Pasal 10 ayat (I) mengenai kedudukan
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama dan Pasal 12 tentang susunan
kekuasaan dan (Hukum) acaranya telah terwujud.
6. Pembangunan
hukum nasional berwawasan nusantara yang sekaligus pula berwawasan bhineka
tunggal Ika dalam bentuk Undang-Undang Peradilan Agama telah terlaksana.
Pada tanggal 28
Februari 2006, UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah diamandemen
melalui UU No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 tahun 1989
(Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2006 Nomor 22). Perubahan tersebut
dilakukan karena UU No. 7 tahun 1989 tidak sesuai lagi dengan perkembangan
kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan menurut UUD 1945.Sesuai
amanat konstitusi Pasal 24 ayat (2), bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu
lingkungan peradilan yang berada di Mahkamah Agung bersama peradilan lainnya di
lingkungan Peradilan Umum,Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer,
Begitu juga ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman,bahwa badan peradilan yang berada di Mahkamah Agung meliputi badan
peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Peradilan Agama,Peradilan Militer
dan Peradilan Tata Usaha Negara. Oleh karena itu berlaku kebijakan satu atap.
Sejak tahun 2004 Peradilan Agama berpindah induk dari Departemen Agama ke
Mahkamah Agung.
UU No. 4 tahun
2004 secara tegas telah mengatur pengalihan organisasi, administrasi, dan
finansial dari semua lingkungan peradilan ke Mahkamah Agung. Dengan demikian
organisasi, administrasi, financial badan peradilan di lingkungan Peradilan
Agama yang sebelumnya berada di bawah Departemen Agama berdasarkan UU No. 7
tahun 1989disesuaikan dengan UU No. 3 tahun 2006.
UU No. 4 tahun
2004 menegaskan adanya pengadilan khusus yang dibentuk dalam salah satu
lingkungan peradilan dengan undang-undang. Oleh karena itu, keberadaan
pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama diatur pula dalam UU No. 3
tahun 2006, yaitu Peradilan Syari'ah Islam di Nangroe Aceh Darussalam.
Kewenangan
Peradilan Agama yang semula bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara-perkara tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang: a. Perkawinan, b.Kewarisan, wasiat dan hibah, c. Waqaf dan
sedekah. Berdasarkan UU No. 3 tahun 2006 kewenangannya diperluas dalam bidang
ekonomi syari'ah meliputi: Bank Syari'ah, Asuransi, Asuransi Syari'ah,
Reasuransi Syari ah dan Surat Berharga Berjangka Menengah Syari'ah, Sekuritas
Syari'ah, Pengadilan Syari'ah, Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK)Syari'ah,
Bisnis Syari'ah dan Lembaga Keuangan Mikro Syari'ah.
Kewenangan lain
yang diatur dalam UU No. 3 tahun 2006, bahwa Peradilan Agama berwenang
memeriksa dan memutus sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait dengan
objek sengketa yang diatur Pasal 49, apabila subjek sengketa orang-orang yang
beragama Islam. Tambahan lain tentang kewenangan Peradilan Agama adalah bahwa
Pengadilan Agama memberikan itsbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal
bulan pada tahun Hijriyah. Pengadilan Agama juga dapat memberikan keterangan
atau nasehat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu shalat.
Menurut Daniel
S. Lev,54 eksistensi Peradilan Agama di Indonesia dapat dilihat sebagai penyempurnaan
fungsi haratsah al-din" yaitu memelihara agama yang dilaksanakan oleh
Pemerintah RI melalui Departemen Agama, disamping "siyasah al-dun-ya atau
mengatur dunia yang dilaksanakan oleh departemen-departemen lain.
RANGKUMAN
Peradilan
agama dapat dirumuskan sebagai: kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa,
mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu antara
orang-orang yang beragama Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan. cakupan
dan batasan Peradilan Agama meliputi komponen-komponen sebagai berikut.
1. Kekuasaan
negara;
2. Badan
peradilan agama;
3. Prosedur
berperkara di pengadilan;
4. Perkara-perkara;
5. Orang-orang
yang beragama Islam;
6. Hukum
Islam;
7.
Penegakan hukum dan keadilan
sebagai tujuan.
Peradilan
Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara-perkara tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di
bidang: Perkawinan, Kewarisan, wasiat dan hibah, Waqaf dan sedekah, Bank
Syari'ah, Asuaransi, Asuransi Syari'ah, Reasuransi Syari ah dan Surat Berharga
Berjangka Menengah Syari'ah, Sekuritas Syari'ah, Pengadilan Syari'ah, Dana
Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) Syari'ah, Bisnis Syari'ah dan Lembaga Keuangan
Mikro Syari'ah.Kewenangan lain yang dimiliki oleh Peradilan Agama adalah
berwenang memeriksa dan memutus sengketa milik atau keperdataan lain yang
terkait dengan objek sengketa yang diatur Pasal 49,apabila subjek sengketa orang-orang yang beragama
Islam.Tambahan lain tentang kewenangan Peradilan Agama adalah bahwaPengadilan
Agama memberikan itsbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada
tahun Hijriyah.Pengadilan Agama jugadapat memberikan keterangan atau nasehat
mengenai perbedaan penentuan aralh kiblat dan penetuan waktu shalat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar