Sabtu, 14 September 2019

Sistem Hukum Indonesia. Modul 3


MODUL 3
Sistem Hukum Islam
Dr. H. Nandang Alamsah Deliarnoor, S.H., M.Hum.
Hendra, S.IP., M.Si.
PENDAHULUAN
Sistem Hukum Islam merupakan salah satu bagian dari Sistem Hukum Indonesia. Eksistensi dari Sistem Hukum Islam sudah sejak dulu diakui dan digunakan sebagai salah satu norma/kaidah oleh Bangsa Indonesia sebagai bentuk pengakuan terhadap keyakinan agama mayoritas yang dianut oleh Bangsa Indonesia.
Setelah mempelajari modul tiga ini, Kita harus mampu memahami apa itu Hukum Islam? Apa itu sumber hukum Islam? Bagaimana praktiknya di Indonesia? Terakhir Kita harus memahami tentang Peradilan Agama sebagai Badan yang berwenang mengadili sengketa yang terjadi berlandaskan Hukum Islam.
Secara lebih khusus setelah mempelajari modul tiga ini, kita dapat menjelaskan:
1.      Pengertian Hukum Islam;
2.      Sumber Hukum Islam;
3.      Perkawinan dan Waris;
4.      Zakat, Wakaf dan Ekonomi Syariah;
5.      Peradilan Agama.
Agar tercapai maksud di atas maka modul tiga ini tersusun ke dalam 5 kegiatan belajar. Kegiatan belajar 1 akan dijelaskan pengertian hukum Islam termasuk juga perbandingan ideologi. Kegiatan belajar 2 akan dijelaskan sumber hukum Islam. Kegiatan belajar 3 akan dijelaskan Perkawinan dan Waris, Kegiatan belajar 4 dijelaskan mengenai Zakat. Wakaf dan Ekonomi Syariah dan di kegiatan belajar 5 dijelaskan mengenai Peradilan Agama.


















KEGIATAN BELAJAR 1
Pengertian Hukum Islam

A. PENGERTIAN SISTEM
Menurut Drs. H. Saidus Syahar, S.H., hukum islam berarti teori hukum islam yakni dalil-dalil ushulu alfiqhincl. dasar dan tujuan syari'at. Hukum islam sebagai bagian syari’at itu tidak berwatak sekuler, artinya ia tidak terlepas bahkan dikatakan merupakan kesatuan dengan agama Islam, karenanya penggunaan ratio dalam menetapkan (menemukan) hukum tidak selalu bebas, kebebasan akal ada batasnya. Hasbi Asy-Syiddiqy memberikan definisi hukum Islam dengan "koleksi daya upaya fuqaha dalam menerapkan syari’at Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pengertian hukum Islam dalam definisi ini mendekati kepada makna fiqh. Sedangkan Menurut Prof H. Muhammad Daud Ali, S.H.Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian dari agama Islam.
Teori hukum yang dianut oleh setiap negara islam tidak selalu sama (serupa), karena hal itu tergantung dari aliran hukum (mazhab) yang diikuti tiap-tiap negara (islam) itu, misalnya ada negara yang menyatakan bahwa mazhab tertentu merupakan mazhab negara, misalnya Iran dengan aliran Syi'ah, Hanbali (Wahhabi) di Saudi Arabia, Hanafi di Afganistan dan lain-lain;  atau menyatakan tidak terikat dengan mazhab fiqh yang ada seperti di Mesir, Turki dan lain-lain.
Dari pengertian tersebut terdapat beberapa konsep yang perlu dipahami dalam Hukum Islam
1.        Hukum
Hubungan yang diatur dalam hukum Islam adalah hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dan hubungan manusia deengan benda dalam masyarakat serta alam sekitarnya.Interaksi manusia dalam berbagai hubungan itu diatur oleh seperangkat ukuran tingkah laku yang di dalam bahasa Arab, disebut hukum jamaknya ahkam. Ada perbedaan antara syari'at di suatu pihak dan hukum dalam arti lazim dewasa ini dilain pihak. Perbedaannya adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1
Perbandingan Hukum dan Syarat
No
Aspek yang Dibandingkan
Hukum
Syari’at
1.       
Objek
Peraturan-peraturan lahir mengenai hubungan manusia dengan sesama

Meliputi pula peraturan-peraturan lahir mengenai hubungan manusia dengan Tuhan (ibadat)
2.       
Sumber Pokok
Perkiraan/ rasio manusia dan kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat
Wahyu dan/ atau  kesimpulan  - kesimpulan yang diambil dari wahyu (deduction of wahyu)
3.       
Sangksi
Semua sanksi hukum bersifat sekuler/ kedunian. Dengan menunjuk alat perlengkapan Negara, polisi, jaksa, penjara sebagai pelaksana sanksinya
Sanksinya “Pembalasan Tuhan”, baik didunia terutama diakhirat


2.        Hukm atau Ahkam
Perkataan hukum yang kita pergunakan sekarang dalam bahasa Indonesia berasal dari kata fuk (tanpa u antara huruf k dan m) dalam bahasa Arab. Artinya Norma atau kaidah yakni ukuran, tolak ukur, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan-perbuatan manusia dan benda.

Dalam sistem hukum Islam ada lima hukm atau kaidah yang dipergunakan sebagai patokan mengukur perbuatan manusia baik di bidang ibadah maupun di lapangan muamalah yaitu:
a.    Ja’iz atau mubah atau ibahah (kebebasan memilih untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan);
b.    Sunnat (anjuran untuk dilakukan karena jelas manfaatnya bagi pelaku);
c.    Makruh (Kaidah yang seyogyanya tidak dilakukan karena jelas tidak berguna dan akan merugikan orang yang melakukannya);
d.   Wajib (perintah yang harus dilakukan);
e.    Haram (larangan untuk dilakukan)

3.    Syariah atau Syariat
Syariah berasal dari kata al-syari ah yang berarti ‘sumber air’ atau jalan yang harus diikuti, yakni jalan ke arah sumber pokok bagi kehidupan. Secara terminologis, syariah didefinisikan dengan sebagai aturan-aturan yang ditetapkan oleh Allah agar digunakan oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhannya, dengan saudaranya sesama Muslim, dengan saudaranya sesama manusia, dengan alam, dan dalam kaitannya dengan kehidupannya. Dilihat dari segi ilmu hukum, syariat merupakan norma hukum dasar yang ditetapkan Allah, yang wajib diikuti oleh orang Islam berdasarkan iman yang berkaitan dengan akhlak, baik dalam hubungannya dengan Allah maupun dengan sesama manusia dan benda dalam masyarakat.
Syariat memuat ketetapan-ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya. Baik berupa larangan maupun berupa suruhan. meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia. Syariat terdapat pada Alqur’an dan kitab-kitab hadis.

4.      Fiqih atau fiqh
Adapun kata fikih' berasal dari kata al-figh yang berarti pemahaman atau pengetahuan tentang sesuatu. Secara terminologis fikih didefinisikan sebagai ilmu tentang hukum-hukum syara yang bersifat amaliyah (praktis) yang digali dari dalil-dalil terperinci.Karena norma-norma hukum dasar yang terdapat dalam Alqur'an itu masih bersifat umum, demikian juga halnya dengan aturan yang ditentukan oleh Nabi Muhammad SAW terutama mengenai muamalah, maka setelah Nabi Muhammad wafat, norma-norma hukum yang masih bersifat umum itu perlu dirinci lebih lanjut. Perumusan dan penggolongan norma-norma hukum dasar yang bersifat umum itu ke dalam kaidah-kaidah yang lebih kongkret agar dapat dilaksanakan dalam praktek, memerlukan disiplin ilmu dan cara-cara tertentu.
Ilmu pengetahuan baru yang khusus menguraikan syariat dalam kepustakaan dinamakan ilmu fiqih yang ke dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan ilmu hukum (fiqih) islam.Ilmu fiqih adalah ilmu yang bertugas menentukan dan menguraikan norma-norma hukum dasar yang terdapat di dalam Alquran dan ketentuan-ketentuan umum yang terdapat dalam Sunnah Nabi yang direkam dalam kitab-kitab hadis. Dengan kata lain ilmu fiqih adalah ilmu yang mempelajari atau memahami syariat dengan memusatkan perhatiannya pada perbuatan (hukum) manusia mukallaf, yaitu manusia yang berkewajiban melaksanakan hukum islam karena telah dewasa dan berakal sehat. Contoh hukum fiqih Islam yang ditulis dalam bahasa Indonesia oleh Orang Indonesia adalah, misalnya, Fiqh Islam karya H.Sulaiman Rasjid.
Dari uraian tersebut di atas jelas bahwa ada dua istilah yang dipergunakan untuk menunjukkan hukum Islam, yakni (1) Syariat Islam dan (2) Fikih Islam.
Pada pokoknya antara syariat dengan fikih terdapat perbedaan sebagaimana tertuang dalam tabel berikut:

Tabel 3.2
Perbedaan Istilah Syariat dan Fiqih
No.
Syariat

Fiqih
1.        
Syariat, terdapat dalam Alqur'an dan kitab-kitab hadist. Kalau kita berbicara syariat yang dimaksud adalah wahyu Allah dan Sunnah Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya.

Fiqih terdapat dalam kitab-kitab fiqih, yang dimaksud adalah pemahaman manusia yang memenuhi syarat tentang syariat dan hasil pemahaman itu.

2.        
Syariat bersifat fundamental dan mempunyai ruang lingkup yang lebih luas karena ke dalamnya. oleh banyak ahli, dimasukkan juga akidah dan akhlak

Fiqih bersifat instrumental, |ruang lingkupnya terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan manusia, yang biasanya disebut sebagai perbuatan hukum.

3.        
Syariat adalah ketetapan Allah dan ketentuan Rosul-Nya, karena itu berlaku abadi.

fiqih adalah karya manusia yang tidak berlaku abadi, dapat berubah dari masa ke masa.

4.        
Syariat hanya satu

fiqih' mungkin lebih dari satu seperti misalnya terlihat pada aliran – aliran hukum yang disebut dengan istilah mazahib atau mazhab-mazhab. Sebagai contoh: Misalnya A menerima titipan barang dari B, atau A meminjam barang dari B. Barang titipan atau barang pinjaman itu kemudian hilang di tangan A. Surat Al Baqarah (2): 283 ……Jika seorang dipercaya oleh orang lain, hendaklah orang yang dipercayai itu menunaikan amanah atau kepercayaan yang diberikan kepadanya itu...Hanafi, A harus mengganti kerugian yang diderita oleh B sejumlah harga barang itu waktu dibeli oleh B. tertinggi antara barang itu dibeli dan dihilangkan oleh A.

5.        
Syariat menunjukan kesatuan dalam Islam
Fiqih menunjukan keragamannya.

Perbandingan Ideologi.
Ideologi yang ada di dunia ini ada tiga, yaitu kapitalisme, sosialisme termasuk Komunis, dan islam. Masing-masing idcologi ini memiliki aqidah yang memancarkan aturan serta mempunyai tolak ukur bagi perbuatan manusia di dalam kehidupan, memiliki pandangan khas terhadap masyarakat dan memiliki metode tertentu dalam melaksanakan setiap aturannya.

Dari segi aqidah, ideologi komunis memandang bahwa segala sesuatu berasal dari materi yang berkembang dan mewujudkan benda-benda lainnya berdasarkan evolusi.Sedangkan ideologi kapitalis mengharuskan pemisahan agama dari kehidupan.sebagai akibatnya lahirlah ideologi sekuler, yang memisahkan agama dengan negara. Para kapitalis tidak ingin membahas apakah di sana terdapat pencipta eksistensinya maupun yang tidak hanya membahas bahwa tidak ada hak bagi pencipta untuk campur tangan dalam kehidupan ini. Oleh karena itu, dilihat dari aqidahnya atau mengingkariNya, yaitu memisahkan agama dari kehidupan.
Adapun Islam memandang bahwa Allah adalah pencipta bagi segala sesuatu. Dialah yang mengutus para Nabi dan Rasul dengan membawa agamaNya untuk seluruh ummat manusia; dan bahwa kelak manusia akan dihisab atas perbuatan-perbuatannya di hari kiamat. Karena itu, aqidah Islam mencakup Iman kepada Allah. malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, dan hari kiamat serta qadla-qadar baik buruknya dari Allah SWT.

Dari segi terpancarnya peraturan dari aqidah, ideologi Komunis memandang bahwa peraturan diambil dari alat-alat produksi.Sebab, pada masyarakat feodal, misalnya, kapaklah yang menjadi alat produksi. Dengan penggunaan kapak ini lalu ditetapkan sistem foedalisme. Apabila masyarakat berkembang menjadi masyarakat komunis, maka alat mesinlah yang menjadi sarana produksi.Dengan penggunaan mesin ini terbentuklah system Komunisme. Jadi, peraturan mabda itu diambil dari evolusi materi.
Lain halnya dengan ideologi kapitalis, yang memandang bahwa manusia - karena memisahkan agama dengan kehidupan -  harus membuat peraturan sendiri kehidupan. Karenanya, peraturan dalam sistem kapitalis diambil dari realita dan dinamika kehidupan manusia, dari sinilah masyarakat kapitalis membuat aturannya sendiri.
Sedangkan islam memandang bahwa Allah SWT telah menentukan bagi manusia suatu aturan hidup untuk dilaksanakan dalam kehidupan ini. Dia mengutus Sayyidina Muhammad SAW guna membawa aturanNya untuk disampaikan kepada manusia.Konsekuensinya, kehidupan ini harus dijalankan sesuai dengan aturan tersebut. Oleh karena itu, masyarakat yang telah menerima Islam senantiasa mempelajari persoalan hidup yang selalu berkembang, lalu berjihad memecahkan masalah yang dihadapinya berdasarkan kitab dan sunnah.

Dari segi tolok ukur bagi perbuatan-perbuatan dalam kehidupan, ideology komunis memandang bahwa dialetika materialisme – yaitu aturan materealisme –merupakan tolak ukur dalam kehidupan manusia. Dengan berkembangnya aturan materialism, berkembang pula tolak ukurnya. Sedangkan ideology kapitalis memandang bhawa tolok ukur perbuatan-perbuatan dalam kehidupan adalah “kemamfatan”. Dengan asa inilah perbuatan diukur dan ditegakan. Namun, Islam memandang bahwa tolok ukur perbuatan-perbuatan dalam kehidupan adalah halal dan haram, yakni perintah – perintah Allah dan larang-laranganNya. Jadi, yang halal dikerjakan dan yang haram ditinggalkan. Prinsip ini tidak mengalami perkembangan maupun perubahan. Islam tidak menjadikan mamfaat sebagai tolok ukur, melainkan hanya Syara semata.

Dari segi pandangannya terhadap masyarakat, ideology komunis berpendapat bahwa masyarakat adalah kumpulan unsure yang terdiri dari tanah, alat-alat produksi, alam dan manusia. Semua ini merupakan satu kesatuan yaitu materi. Takkala alam dan segala sesuatu yang ada didalamnya berkembang yang akhirnya menjadikan masyarakat berkembang secara keseluruhan.Oleh karena itu, masyarakat komunis tunduk kepada evolusi materi, sementara manusia harus terus berusaha untuk mempercepat transformasi yang bertolak belakang (antithesa) dengan kehendaknya. Ketika masyarakat berkembang, maka individu pun akan berkembang pula. Individu akan bergerak dan selalu terikat dengan gerakan masyarakat, seperti putaran gigi pada sebuah roda. Ideologi kapitalis memandang bahwa masyarakat terdiri dari individu-individu. Apabila urusan individu teratur, maka dengan sendirinya urusan dengan masyarakat akan teratur pula. Titik perhatiannya adalah individu-individu saja.Sementara tugas Negara adalah bekerja untuk kepentingan individu. Dari sinilah, ideologi ini dinamakan individualisme.
Sedangkan ideologi Islam memandang bahwa asas tempat masyarakat berpijak adalah aqidah serta pemikiran, perasaan dan peraturan yang terpancar dari aqidah tersebut. Oleh karena itu apabila pemikiran dan perasaan islam ini berkembang luas, serta diterapkannya peraturan Islam atas rakyat, maka barulah terbentuk masyarakat Islam. Dengan demikian, masyarakat itu sebenarmya terdiri dari kumpulan manusia, pemikiran, perasaan dan peraturan.
Islam juga memandang bahwa manusia satu dengan manusia lainnya akan membentuk suatu jama'ah, akan tetapi tidak akan membentuk sebuah masyarakat kecuali apabila mereka menganut pemikiran, memiliki perasaan, serta dengan diterapkannya peraturan di tengah-tengah mereka. Sebab, yang mewujudkan hubungan sesama manusia adalah faktor kemaslahatan dan bila masyarakat telah menyamakan pemikirannya tentang kemashlatan, juga perasannya sehingga rasa ridla dan marah menjadi sama, ditambah bila adanya kesatuan peraturan yang diterapkan yang mampu memecahkan persoalan, maka terbentuklah hubungan antar sesama anggota masyarakat. Apabila terdapat perbedaan dalam pemikiran masyarakat terhadap kemashlahatan, berbeda dalam perasaan berbeda dalam rasa ridla dan marah (benci), lalu berbeda pula peraturan yang memecahkan persoalan antar manusia, maka tidak akan terdapat hubungan dengan sesama manusia dan tidak akan terbentuk masyarakat. Oleh sebab itu masyarakat Islam terbentuk dari manusia,pemikiran, perasaan dan peraturan. Sebab, inilah yang mewujudkan adanya hubungan dan yang membuat jama’ah itu menjadi suatu masyarakat yang memiliki ciri khas.
Andai saja seluruh manusia itu memeluk Islam. sedangkan pemikiran - pemikiran yang dibawanya adalah kapitalisme  demokrasi. Sementara perasaan-perasaan yang dibawanya adalah spiritualisme semata (tanpa disertai aturan) atau nasionalisme, sedang aturan yang diterapkan adalah aturan kapitalisme-demokrasi, maka masyarakatnya menjadi masyarakat yang tidak islami sekalipun mayoritas penduduknya adalah orang-orang islam.

Dilihat dari segi penerapan aturan, ideologi Komunis mengajarkan bahwa hanya negaralah satu-satunya yang menerapkan peraturan melalui kekuataan militer dan undang-undang. Negaralah yang mengatur dan bertanggung masyarakat.Negara pula yang berhak mengubah peraturan.
Sedangkan ideologi Kapitalis memandang bahwa negaralah yang mengontrol kebebasan. Oleh karena itu , jika seseorang melanggar kebebasan individu lainnya, maka negaralah yang mencegah tindakan tersebut. Bahkan keberadaan negara adalah untuk menjamin adanya kebebasan. Akan tetapi apabila seseorang tidak menggangu kebebasan yang lain, sekalipun terdapat intimidasi serta perampasan terhadap hak-haknya, namun ia rela, maka hal tersebut tidak termasuk ke dalam kategori tindakan melanggar kebebasan, dalam hal ini negara tidak akan turut campur. Oleh karena itu, terwujudnya Negara adalah untuk member jaminan agar ada kebebasan.
Lain halnya dengan Islam yang memandang bahwa aturan dilaksanakan oleh setiap individu mukmin dengan dorongan taqwallah yang tumbuh dalam jiwanya, disamping teknis pelaksanaannya dijalankan oleh negara dengan keadilannya yang dapat dirasakan oleh jama'ah, dan adanya sikap tolong menolong antara ummat dengan negara dalam melakukan amar ma'ruf nahi munkar; serta diterapkan dengan kekuatan negara. Dalam Islam negaralah yang bertanggungjawab terhadap kepentingan individu, kecuali bagi mereka yang fisiknya lemah (tidak mampu). Selain itu, peraturan Islam tidak mengalami perubahan selamanya, tidak berevolusi. Negara, dalam hal ini Khalifah, juga memiliki wewenang untuk memilih dan menetapkan hukum-hukum syara jika ijtihad dalam satu atau lebih topik hukum menghasilkan beragam pendapat.
Dari sisi lain qiyadah fikriyah Islam tidak bertentangan dengan fitrah manusia, walau sangat mendalam tetapi mudah dipahami, serta merta membuka akal dan hati manusia, untuk memamahi serta mendalami isinya sekalipun rumit dengan penuh semangat dan kesungguhan. Hal ini disebabkan karena beragama adalah satu hal yang fithri dalam diri manusia. Setiap manusia menurut fitrahnya cenderung kepada agama. Tidak ada satu kekuatan manapun yang dapat menanggalkan fitrahnya ini pada manusia, sebab merupakan pembawaan yang kokoh. Sementara tabiat manusia merasakan bahwa dirinya serba kurang, selalu merasa bahwa ada kekuatan yang lebih sempurna dibandingkan dirinya yang harus diagungkan. Beragama merupakan kebutuhan terhadap Pencipta yang Maha Pengatur, yang muncul dari kelemahan manusia yang bersifat alami sejak manusia diciptakan.

RANGKUMAN

Menurut Drs. H. Saidus Syahar, S.H., hukum Islam berarti teori hukum islam yakni dalil-dalil ushulu alfiqhincl. dasar dan tujuan syari'at. Hukum islam sebagai bagian syari'at itu tidak berwatak sekuler, artinya ia tidak terlepas bahkan dikatakan merupakan kesatuan dengan agama Islam, karenanya penggunaan ratio dalam menetapkan (menemukan) hukum tidak selalu bebas, kebebasan akal ada batasnya. Hasbi Asy-Syiddiqy memberikan definisi hukum Islam dengan "koleksi daya upaya fuqaha dalam masyarakat". Pengertian hukum Islam dalam definisi ini mendekati kepada makna fiqh. Sedangkan Menurut Prof H. Muhammad Daud Ali, S.H.Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian dari agama Islam.
Dari pengertian tersebut terdapat beberapa konsep yang menjadi kata kunci dalam memahami hukum islam yaitu konsep hukum, hukm atau ahkam, Syariah atau Syariat, dan Fiqih atau fiqh.
Dari segi ideologi, antara komunis, Kapitalis dan Islam terdapat perbedaan apabila dilihat diri segi aqidah, terpancarnya peraturan dari aqidah, tolok ukur bagi perbuatan-perbuatan dalam pandangannya terhadap masyarakat dan dari segi penerapan aturan.












KEGIATAN BELAJAR 2
Sumber Hukum Islam

Dalam salah satu hadis, yang dalam kepustakaan terkenal dengan hadits Mu,az, diriwayatkan pada suatu ketika Nabi Muhammad mengirimkan seorang sahabatnya ke Yaman (dari Madinah) untuk menjadi Gubernur di sana. Sebelum berangkat, Nabi Muhammad menguji sahabatnya yang bernama Mu'az Bin Jabal itu, dengan menanyakan sumber hukum yang akan dipergunakan kelak untuk memecahkan berbagai masalah dan atau sengketa yang dijumpainya di daerah baru itu. Pertanyaan itu dijawab oleh Mu'az dengan mengatakan bahwa dia akan mempergunakan Al-Quran. Jawaban tersebut disusul oleh Nabi dengan pertanyaan: "jika tidak terdapat petunjuk khusus (mengenai suatu masalah) dalam Al-Quran bagaimana?". Mu'az menjawab: "saya akan mencarinya dalam Sunnah nabi. Nabi bertanya lagi: Kalau engkau tidak menemukan petunjuk pemecahannya dalam Sunnah Nabi bagaimana?". Mu'az menjawab: "jika demikian, saya akan berusaha sendiri mencari sumber pemecahannya dengan mempergunakan ra’yu atau akal saya dan akan mengikuti pendapat saya itu." Nabi sangat senang atas jawaban Mu'az tersebut dan berkata: Aku bersyukur kepada Allah yang telah menuntun utusan rasul-Nya.
Dari riwayat hadis tersebut, dapat disimpulkan bahwa sumber hukum Islam terdiri dari berasal dari Al-Quran, As Sunnah dan Akal pikiran. Ketiga sumber hukum islam tersebut merupakan satu rangkaian kesatuan, dengan urutan keutamaan seperti tercantum dalam kalimat tersebut di atas, artinya kedudukannya tidak boleh dibalik.
Sumber Hukum Islam
Al Quran
As Sunnah Atau al Hadis
Akal Pikiran Atau Ijtihad
Aqidah
Sunnah Rasul
Ijmak
Teritorial
Qiyas
Aqidah
Istidal
Teritorial
Istihsan
Istisab
Adat - Istiadat
Gambar 3.1
Sumber Hukum Islam



A.  AL-QURAN
Perkataan Al-Quran secara etimologis berasal dari kata kerja qara-a artinya (dia telah) membaca. Kata kerja qara-a ini berubah menjadi kata kerja suruhan iqra artinya bacalah, dan berubah lagi menjadi kata Qur'an. Secara harfiah kata Alquran berasal dari bahasa Arab al-qur an yangberarti pembacaan atau bacaan.
Al Qur'an adalah kitab suci yang memuat wahyu (firman Allah), Tuhan YME, asli seperti disampaikan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya sedikitnya 22 tahun 2 bulan 22 Hari, mula-mula di Makkah kemudian di Madinah untuk menjadi pedoman atau petunjuk bagi umat manusia dalam hidup dan kehidupannya mencapai kesejahteraan di dunia ini dan kebahagiaan di akhirat.
Selanjutnya menurut Sayyid Hussen Nasr, Al-Quran mempunyai tiga petunjuk bagi manusia: Pertama, adalah ajaran yang memberi pengetahuan tentang struktur (susunan) kenyataan alam semesta dan posisi berbagai makhluk, termasuk manusia, serta benda di jagad raya. Ia juga mengandung metafisika tentang Tuhan, Kosmologi dan pembahasan tentang kehidupan akhirat. Ia berisi segala pelajaran yang diperlukan manusia untuk mengetahui siapa dirinya, dimana ia berada sekarang (dunia) dan kemana ia akan pergi (akhirat). Ia berisi petunjuk tentang iman atau keyakinan, syariat atau hukum, akhlak atau moral yang perlu dipedomani manusia dalam kehidupan sehari-hari, Kedua, Al-Quran berisi petunjuk yang menyerupai sejarah manusia, rakyat biasa, raja-raja, orang-orang suci, para nabi sepanjang zaman dan segala cobaan yang menimpa mereka. Ketiga, Al-Quran berisi sesuatu yang sulit untuk dijelaskan dalam bahasa biasa. Ayat-ayat Al-Quran, karena berasal dari firman Tuhan, mengandung kekuatan yang berbeda dari apa yang dapat kita pelajari secara rasional.Ayat-ayat itu mempunyai kekuatan melindungi manusia. Itulah sebabnya mengapa kehadiran fisik Al-Quran sendiri membawa berkat bagi manusia.
Menurut para ahli, pada garis-garis besarnya Al-Quran memuat soal-soal yang berkenaan dengan (1) akidah, (2) syariat yang meliputi (a) ibadah, (b) muamalah, dan (3) akhlak dalam semua ruang lingkupnya, (4) kisah-kisah umat manusia di masa lalu, (5) berita-berita tentang zaman yang akan datang (kehidupan akhirat), dan (6) benih atau prinsip-prinsip ilmu pengetahuan, dasar-dasar hukum atau hukum-hukum dasar yang berlaku bagi alam semesta, termasuk manusia di dalamnya.
Menurut pandangan Islam, hukum-hukum yang terkandung dalam Al- Quran adalah:
1.         Hukum-hukum i 'tiqadiyah, yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban para subjek hukum untuk mempercayai Allah, malaikat- malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari pembalasan, kada dan kadar;
2.         Hukum-hukum akhlak, yaitu hukum-hukum Allah yang berhubungan dengan kewajiban seorang subjek hukum untuk "menghias dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang tercela:
3.         Hukum-hukum amaliyah, yakni hukum-hukum yang bersangkutan dengan perkataan, perbuatan, perjanjian, dan hubungan kerjasama antar sesama manusia. Hukum-hukum amaliyah ini dibagi lagi kedalam dua jenis yaitu:
a.         hukum ibadah yakni hukum yang mengatur hubungan dengan Allah dalam mendirikan shalat, melaksanakan ibadah puasa, mengeluarkan zakat dan melakukan ibadah haji; dan
b.        hukum- hukum muamalah, yakni semua hukum yang mengatur hubungan manusia dengan manusia, baik hubungan antar pribadi maupun hubungan antara manusia antar orang perorangan dengan masyarakat.
Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa konsep hukum " dalam Al- Quran jauh lebih luas dari konsep menurut hukum Barat. Sebab, selain kaidah-kaidah yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah dan hubungan antara manusia dengan manusia lain dalam masyarakat (syariah), meliputi juga hukum yang berkenaan dengan keyakinan dan sikap manusia terhadap terhadap lingkungannya yang biasa disebut dengan akidah, akhlak atau moral.

B.  As- Sunnah atau Al Hadis
Secara etimologis, kata sunnah berasal dari kata berbahasa Arab al- sunnah yang berarti cara, adat-istiadat (kebiasaan), dan perjalanan hidup (sirah) yang tidak dibedakan antara yang baik danyang buruk. Ini bisa dipahami dari sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim,"Barang siapa yang membuat cara (kebiasaan) yang baik dalam Islam, maka dia akan memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya, dan barang siapa yangmembuat dosanya dan dosa orang yang mengikutinya".
Secara terminologis, ada beberapa pemahaman tentang Sunnah. Menurut ahli hadis, Sunnah berarti sesuatu yang berasal dari Nabi Saw. yang berupa cara yang buruk dalam Islam, maka dia akan memperoleh perkataan, perbuatan, penetapan, sifat, dan perjalanan hidup beliau baik pada waktu sebelum diutus menjadi Nabi maupun sesudahnya.
Di dalam kepustakaan Islam, sering kita jumpai perkataan sunnah dalam makna yang berbeda-beda, tergantung pada penggunaan kata itu dalam hubungan kalimat. Kita akan menemui (1) perkataan sunnah dalam istilah sunnatullah yang berarti hukum atau ketentuan-ketentuan Allah mengenai alam semesta, yang di dalam dunia ilmu pengetahuan disebut "hukum alam" atau natural law. Kita akan bertemu dengan (2) perkataan sunnah dalam istilah sunnatur rasul yakni perkataan, perbuatan dan sikap diam Nabi Muhammad sebagai rasululloh yang menjadi sumber hukum Islam kedua setelah Al Quran. Kita akan berjumpa dengan (3) perkataan sunnah atau sunat dalam hubungannya dengan al-ahkam al khamsah yang merupakan salah satu kaidah dari lima kaidah hukum Islam yang bermakna anjuran jika dikerjakan mendapat pahala kebaikan kalau tidak dilakukan tidak berdosa atau tidak apa-apa. Kita akan menjumpai juga (4) perkataan sunnah dalam ungkapan ahlus sunnah wal jama'ah (sering disingkat dengan Sunni saja)yaitu golongan umat Islam yang berpegang kepada sunnah Nabi Muhammad, yang berbeda terutama dalam ajaran kepemimpinan politiknya (imamah), dengan golongan Syiah atau ditulis Shiit dalam kepustakaan atau media massa yaitu golongan umat Islam yang setia menjadi pengikut Ali Bin Ai Thalib serta keturunannya. Selain itu terdapat juga perkataan (5) sunnah dalam arti beramal ibadah sesuai contoh yang diberikan nabi sebagai lawan dari bid'ah yakni pembaruan atau cara baru.dalam beribadah yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya.
Sunnatur rasul atau Sunnnah Nabi Muhammad, seperti telah disebut di atas, menjadi sumber kedua hukum Islam. Dasar hukumnya adalah (1) syahadatain (baca: syahadaten): ucapan dua kalimat syahadat yaitu ikrar keyakinan yang menyatakan bahwa tidak ada Tuhan lain yang patut disembah selain Allah dan Muhammad adalah rasul-Nya. Dasar hukum lainnya adalah (2) Al Quran. Selain Surat Al-Nisa (4) ayat 59, juga Al Quran aurat Al-Imran (3) ayat 132 menjadi dasar hukum sunnah. Selain pesan Nabi mengenai Al Quran dan sunnahnya sebagai sumber hukum kedua adalah juga (3) Sunnah Nabi yang menyatakan bahwa "apa yang diharamkan Rasululloh, sama dengan apa yang diharamkan Alloh.
Semasa Nabi Muhammad masih hidup, orang-orang Islam bertanya langsung kepada beliau tentang apa saja yang tidak jelas jawabannya dalam Al Quran atau orang-orang itu menanyakan kepada Nabi tentang makna wahyu yang disampaikan oleh malaikat Jibril kepadanya. Nabi menjawab pertanyaan- pertanyaan itu atau menjelaskan sesuatu dengan memberikan contoh. Kadang-kadang kalau para sahabatnya melaporkan sesuatu, Nabi Muhammad diam saja, setelah mendengar laporan itu. Demikianlah, semua yang datang dari Nabi Muhammad dalam kedudukan beliau sebagai rasululloh baik berupa perkataan, perbuatan maupun persetujuan (:diam tanda setuju).
Seiring dengan dijadikannya Sunnah sebagai sumber hukum bagi kaumMuslim, maka pendapat dan praktik dari para sahabat pun banyak yang dijadikan sumber hukum, dengan alasan bahwa para sahabat adalah para pengamat langsungdari Sunnah Nabi. Karena mereka bertahun-tahun lamanya bersama Nabi, diharapkan mereka tentu mengetahui tidak hanya perkataan dan perilaku Nabi, tetapi juga ruh dan karakter dari 'Sunnah ideal" yang ditinggalkan Nabi bagi generasi selanjutnya. Meskipun pendapat mereka berbeda-beda, tetapi tetap ada pada ruh Sunnah Nabi, dandengan demikian tidak dapat dipisahkan dari Sunnah Nabi. Itulah sebabnya mengapapara ahli hukum mazhab-mazhab awal sering berargumentasi atas dasar keputusan keputusan hukum para sahabat. Inilah yang biasa dilakukan oleh Imam Malik danlmam Syafi'i misalnya. Generasi berikutnya, yaitu para tabi ini juga memainkan peran Islam,karena mereka memiliki hubungan dengan para sahabat. Keputusankeputusan hukum mereka merupakan sumber hukum bagi mazhab-mazhab awal. Imam Malik, misalnya, mengutip praktik dan pendapat para tabi in setelah mengutip Sunnah Nabi,dan begitu juga fuqaha' awal lainnya.
As-Sunnah yang dikumpulkan dalam kitab-kitab hadis itu, pada garis-garis besarnya, dapat digolong-golongkan menurut (a) jumlah orang yang meriwayatkan atau memberitakannya dan (b) menurut kualitas pribadi (kepribadian) perawinya.
a.         Menurut jumlah (sedikit atau banyaknya) orang yang meriwayatkan Sunnah Nabi itu, mulai dari Rasulullah sampai pada para peneliti yang mengumpulkannya, sunnah yang disebut juga hadis itu dibagi tiga yaitu : (1) Sunnah mutawirah atau hadis mutawatir adalah segala datang dari Rasulullah yang diriwayatkan oleh sekian banyak sahabat, sehingga karena banyaknya, mustahil mereka akan bersepakat untuk berdusta bersama-sama, (2) Sunnah masyhurah atau hadis masyhur adalah segala sesuatu yang berasal dari Rasulullah yang diriwayatkan oleh seorang, dua orang atau lebih sahabat, namun jumlahnya tidak sebanyak yang meriwayatkan hadis mutawatir. (3) Sunnah atau hadis ahad ialah segala sesuatu yang datang dari Rasulullah yang diriwayatkan oleh seorang, dua orang atau lebih sahabat, tetapijumlahnya tidak sama yang meriwayatkan hadis mutawatir Sesudah generasi sahabat tersebut, hadis itu diriwayatkan oleh seorang, dua orang atau lebih generasi tabi'in sesuatu yang dengan dan seterusnya sama oleh generasi tabi tabi'in. Sunnah atau hadis ahad adalah yang terbanyak jumlahnya dalam kitab-kitab hadis.
b.         Dilihat dari kualitas atau integritas pribadi orang-orang yang meriwayatkannya secara lisan dari generasi ke generasi berikutnya sunnah atau hadis yang terdapat dalam kitab-kitab hadis, dapat diklasifikasikan kedalam tiga kelompok yaitu (1) sahih adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, yaitu orang yang senantiasa berkata benar dan menjauhi perbuatan terlarang, mempunyai ketelitian yang sempurna. (2) Hadis hasan ialah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil (dapat dipercaya), tetapi kurang ketelitiannya. (3) Hadis da 'if atau lemah adalah hadis yang tidak memenuhi syarat yang dipunyai oleh hadis sahih dan hadis hasan.
C.   Akal Pikiran (Al-Ra'yu atau ljtihad)
Sumber hukumn ketiga adalah akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berusaha, berikhtiar dengan seluruh kemampuan yang ada padanya memahami kaida-kaidah hukum yang fundamental yang terdapat dalam Al Quran, kaidah-kaidah hukum yang bersifat umum yang terdapat dalam Sunnah Nabi dan merumuskannya menjadi garis-garis hukum yang dapat diterapkan pada suatu kasus tertentu.
Akal adalah kunci untuk memahami agarma, ajaran dan hukum Islam. Kita tidak akan dapat memahami Islam tanpa mempergunakan akal. Oleh karena itu, nabi Muhammad menyatakan dengan jelas bahwa agama adalah akal, tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal. Jika ungkapan ini dihubungkan dengan hukum dan hukuman itu berkaitan dengan akal, tidak ada hukum atau hukuman bagi orang yang tidak berakal atau gila. Aakal, karena itu, mempunyai kedudukan yang tinggi dalam sistem agama Islam, karena akal adalah wadah yang menampung aqidah, syariah dan akhlak.
Akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad yang menjadi sumber hukum Islam yang ketiga ini, dalam kepustakaan disebut arra'yu atau ijtihad saja. Dasar hukum untuk mempergunakan akal pikiran atau ra’yu untuk berijtihad dalam pengembangan hukum Islam adalah (1) Al Quran surat Al-Nisa (4) ayat 59 yang mewajibkan juga orang mengikuti ketentuan ulil amri (orang yang mempunyai kekuasaan atau penguasa") mereka, (2) hadis Mu'az bin Jabal yang menjelaskan bahwa Mu'az sebagai penguasa (ulil amri) di Yaman dibenarkan oleh Nabi mempergunakan ra yunya untuk berijtihad, dan (3) contoh yang diberikan oleh ulil amri lain yakni khalifah II Umar bin Khattab, beberapa tahun setelah Nabi Muhammad wafat, dalam memecahkan masalah berbagai persoalan hukum yang tumbuh dalam masyarakat, pada awal perkembangan Islam.
Secara etimologis, kata ijtihad berasal dari kata al-ijtihad yang berarti penumpahan segala upaya dan kemampuan atau berusaha dengan sungguh-sungguh.32 Secara terminologis, ijtihad berarti mencurahkan kesanggupan dalam mengeluarkan hukum syara yang bersifat amaliyyah dari dalil-dalilnya yang terperinci baik dalam Alquran maupun Sunnah.
Tidak semua orang dapat berijtihad. Yang dapat menjadi mujtahid yakni orang yang berhak berijtihad adalah mereka yang memenuhi antara lain syarat-syarat berikut ini.
a.         Menguasai bahasa Arab untuk memahami Al Quran dan kitab-kitab hadis yang tertulis dalam bahasa Arab.
b.         Mengetahui isi dan sistem hukum Al Quran serta ilmu-ilmu untuk memahami Al Quran.
c.         Mengetahui hadis-hadis hukum dan ilmu-ilmu hadis yang berkenaan dengan pembentukan hukum.
d.        Menguasai sumber-sumber hukum Islam dan cara-cara (metode) menarik garis-garis hukum dari sumber-sumber hukum Islam.
e.         Mengetahui dan menguasai kaidah-kaidah fiqih (qawa'id-al-fiqhiyyah, baca qawaidul fikkiyah).
f.          Mengetahui rahasia dan tujuan-tujuan hukum Islam.
g.         Jujur dan Ikhlas.
h.         Menguasai ilmu-ilmu sosial (antropologi, sosiologi) dan ilmu-ilmu yang relevan dengan masalah yang diijtihadi.
i.           Dilakukan secara kolektif (jama'i) bersama para ahli (disiplin ilmu) lain
Ada beberapa metode atau cara untuk melakukan ijtihad, baik ijtihad dilakukan sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Di antara metode atau cara berijtihad adalah:
a.         Ijmak
Adalah persetujuan atau kesesuaian pendapat para ahli mengenai suatu masalah pada suatu tempat di suatu masa. Persetujuan ini diperoleh dengan suatu cara di tempat yang sama. Di Indonesia misalnya, ijmak mengenai kebolehan beristri lebih dari seorang berdasarkan ayat Al Quran surat Al-Nisa (4) aayat 3. dengan syarat-syarat tertentu, selain dari kewajiban berlaku adil yang disebut dalam ayat tersebut, dituangkan dalam undang-undang perkawinan.
b.         Qiyas
Adalah menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya di dalam Al Quran dan As-Sunnah atau Al-Hadis dengan hal (lain) yang hukumnya disebut dalam Al Quran dan Sunnah rasul (yang terdapat dalam kitab-kitab hadis) karena persamaan illat (penyebab atau alasan) nya. Sebagai contoh dapat dikemukakan larangan meminum khamar (sejenis minuman yang memabukkan yang dibuat dari buah-buahan) yang terdapat dalam Al Quran surat Al-Maidah (5) ayat 90. Yang menyebabkan minuman itu dilarang adalah illat-nya yakni memabukkan. Sebab minuman yang memabukkan, dari apapun ia dibuat, hukumnya dengan khamar yaitu dilarang untuk diminum.
c.         Istidal
Adalah menarik kesimpulan dari dua hal yang berlainan. Misalnya menarik kesimpulan dari adat istiadat dan hukum agama yang diwahtukan sebelum Islam.
d.        Masalih al-mursalah atau disebut maslahat mursalah.
Adalah cara menemukan hukum sesuatu hal yang tidak terdapat ketentuannya baik di dalam Al Quran maupun dalam kitab-kitab hadis, berdasarkan pertimbangan kemaslahatan masyarakat atau kepentingan umum. Sebagai contoh dapat dikemukakan pembenaran pemungutan pajak penghasilan untuk kemaslahatan atau kepentingan masyarakat umum, yang sama sekali tidak disinggung di dalam Al Quran dan Sunnah Rasul. (yang terdapat dalam kitab-kitab hadis)
e.         Istihsan
Adalah cara menentukan hukum dengan jalan menyimpang dari ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan kepentingan sosial. Contohnya adalah pencabutan hak milik seseorang atas tanah untuk pelebaran jalan, pembuatan irigasi untuk mengairi sawah-sawah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial.
f.          Istisab Adalah menetapkan hukum sesuatu hal menurut keadaan yang terjadi sebelumnya, sampai ada dalil yang mengubahnya. Atau dengan perkataan lain dapat dikatakan istisab adalah melangsungkan berlakunya hukum yang telah ada karena belum ada ketentuan lain yang membatalkannya. Contohnya (a) A (pria) mengawini B (wanita) secara sah. A kemudian meninggalkan istrinya tanpa proses perceraian. C (pria) melamar B yang menurut kenyataannya tidak mempunyai suami. Walaupun B menerima lamaran itu, perkawinan antara C dan B tidak dapat dilangsungkan karena status B adalah (masih) istri A. Selama tidak dapat dibuktikan bahwa B telah diceraikan oleh A selama itu pula status hukum B adalah istri A
g.         Adat-istiadat atau urf yang tidak bertentangan dengan hukum Islam dapat dukukuhkan tetap terus berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan. Contohnya adalah kebiasaan yang berlaku di dunia perdagangan pada masyarakat tertentu melalui inden misalnya, jual beli buah-buahan di pohon yang dipetik sendiri oleh pembelinya dan lain-lain.






KEGIATAN BELAJAR 3
Perkawinan dan Waris Islam
A. PERKAWINAN
1. Pengertian Perkawinan
Menurut Prof. DR. Wirjono Prodjodikoro, S.H., perkawinan adalah hidup bersama dari seorang laki-laki dan perempuan yang memenuhi syarat-syarat tententu.
Menurut Prof. R. Subekti, S.H. “perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama”.
Pengertian Perkawinan menurut Hukum Islam menurut sebagian ulama hanafiah “nikah adalah akad yang memberikan faedah (mengakibatkan) kepemilikan untuk bersenang-senang secara sadar bagi seorang pria dan wanita”.
Di Indonesia ketentuan yang berkenaan dengan perkawinan telah diatur dalam peraturan perundang-undangan negara yang khusus berlaku bagi warga negara Indonesia. Aturan perkawinan yang dimaksud adalah dalam bentuk undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksanaannya dalam bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Undang-undang ini merupakan hukum materiil dari perkawinan, sedangkan hukum formalnya ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Sedangkan sebagai aturan pelengkap yang akan menjadi pedoman bagi hakim di lembaga Peradilan Agama adalah Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang telah ditetapkan dan di sebarluaskan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Pengertian perkawinan menurut peraturan perundang- undangan menurut pasal 1 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Prinsip-Prinsip Perkawinan
Dalam ajaran Islam ada beberapa prinsip-prinsip dalam perkawinan, yaitu:
a.      Kerelaan, persetuan dan pilihan;
b.      Hak dan kewajiban suami istri;
c.       Perkawinan untuk selamanya;
d.      Asas Monogami dan poligami.
Sedangkan Menurut UU No. 1 tahun 1974 pada prinsipnya perkawinan adalah sebagai berikut.
a.       Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan pribadinya, membantu dalam mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
b.      Dalam Undang-Udang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perturan perundang-undangan yang belaku. pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya denagn pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
c.       Undang-undang ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengijinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan Agama.
d.      Undang-Udang ini mengatur prinsip, bahwa calon sumai istri itu harus siap jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian, dan mendapat keturunan yantg baik dan sehat, untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur, karena perkawinan itu mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. maka untuk mengerem lajunya kelahiran yang lebih tinggi, harus dicegah terjadinya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur. Sebab batas umur yang lebuh rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi, berhubungan dengan itu, maka Undang-Udang Perkawinan ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.
e.       Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar tejadinya perceraian. Untuk memungkin perceraian harus ada alasan-alasan tertentu (pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975) serta harus dilakukan di depan siding Pengadilan Agama bagi orang Islam dan Pengadilan Negeri bagi golongan luar Islam.
f.       Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan bermasyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama suami istri.
1)      Harus ada persetujuan secara sukarela dari pihak-pihak yang mengadakan perkawinan. Caranyanya adalah diadakan peminangan terlebuh dahulu untuk mengetahui apakah kedua belah pihak setuju untuk melaksanakan perkawinan atau tidak.
2)      Tidak semua wanita dapat dikawini oleh seorang pria, sebab ada ketentuan larangan-larangan perkawinan antara pria dan wanita yang harus diindahkan.
3)      Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri.
4)      Perkawinan pada dasarnya adalah untuk membentuk satu keluarga atau rumah tangga tentram, damai, dan kekal untuk selam-lamanya.
5)      Hak dan kewajiban suami istri adalah seimbang dalam rumah tangga dimana tanggung jawab pimpinan keluarga ada pada suami.
 3. Hakikat Perkawinan
Menurut UU No. 1/1974 pasal 1, hakikat perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suant isteri. Jadi hakikat perkawinan bukan sekedar ikatan formal belaka, tetapi juga ikatan batin antara pasangan yang sudah resmi sebagai suami dan isteri.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2 hakikat perkawinan adalah untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakanya merupakan ibadah.
4. Asas Perkawinan
Menurut UU No. 1/1974  pasal 3 adalah asas monogami relatif, artinya boleh sepanjang hukum dan agamanya mengizinkan.  Asas tersebut sejalan dengan apa yang dimaksud dengan KHI. Sedangkan KUHPerdata menganut asas monogami mutlak karena ini berdasarkan kepada doktrin Kristen (Gereja).
5. Syarat Sahnya Perkawinan
Dalam pasal 2 UU No. 1/1974 bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.Setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.Hal ini sejalan dengan KHI, dalam pasal 4 KHI bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum Islam.Dan dalam pasal 5 KHI bahwa setiap perkawinan harus dicatat agar terjamin ketertiban perkawinan.Kemudian dalam pasal 6 KHI bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pengawalan pcgawai pencatatan nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pada pasal 6 s/d 12 UU No. 1/1974 syarat-syarat perkawinan, yaitu adanya persetujuan kedua calon mempelai, ada izin orang tua atau wali bagi calon yang belum berusia 21 tahun, usia calon pria berumur 19 tahun dan perempuan berumur 16 tahun, tidak ada hubungan darah yang tidak boleh kawin, tidak ada ikatan perkawinan dengan pihak lain, tidak ada larangan kawin menurut agama dan kepercayaannya untuk ketiga kalinya, tidak dalam waktu tunggu bagi wanita yang janda.
Sedangkan syarat perkawinan menurut KUHPerdata adalah syarat material absolut yaitu asas monogami, persetujuan kedua calon mempelai, usia pria 18 tahun dan wanita 15 tahun, bagi wanita yang pernah kawin harus 300 hari setelah perkawinan yang terdahulu dibubarkan. Sedang syarat material relatif, yaitu larangan untuk kawin dengan orang yang sangat dekat di dalam kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan, larangan untuk kawin dengan orang yang pernah melakukan zina, larangan memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian jika belum lewat waktu 1 tahun.Menurut pasal 14 KHI dalam melaksanakan perkawinan harus ada calon suami dan isteri, wali nikah, dua orang saksi serta sighat akad nikah.
6. Kedudukan Hukum Perkawinan dalam Agama Islam
Hukum Perkawinan dalam agama Islam mempunyai kedudukan yang sangat penting, olehkarena itu peraturan-peraturan tentang perkawinan ini diatur dan diterangkan dengan jelas dan terperinci. Hukum Perkawinan Islam pada dasarnya tidak hanya mengatur tatacara pelaksanaan perkawinan saja, melainkan juga segala persoalan yang erat hubungannya dengan perkawinan, misalnya: hak-hak dan kewajiban suami istri, pengaturan harta kekayaan dalam perkawinan, cara-cara untuk memutuskan perkawinan. biaya hidup yang harus diadakan sesudah putusnya perkwinan, Pemeliharaan anak, nafkah anak, pembegian harta perkawinan dan lain-lain.
B. WARIS DALAM ISLAM
Hukum kewarisan ialah himpunan aturan-aturan hukum yang mengatur tentang siapa ahli waris yang berhak mewarisi harta peninggalan seorang yang mati meninggalkan harta peninggalan. Sedangkan menurut menurut Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum IÅŸlam Hukum  kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing (Pasal 171 huruf a).
Sistem hukum kewarisan Islam adalah individual patrilinial dan mengandung tiga sifat tersendiri yaitu:
1.      Memberikan bagian-bagian tertentu pada individu-individu tertentu.
2.      Sisanya diberikan pada ahli waris yang merupakan keluarga pada garis bapa. Dan seandainya kepada mereka tidak dapat diberikan, maka akan diberikan pada ahli waris seibu.
3.      Wasiat dibatasi pada 1/3 dari jumlah harta peninggalan.
Seseorang akan mewaris, yaitu menerima bagian warisan dari harta peninggalan seseorang yang meninggal, dimungkinkan oleh salah satu dari sebab:
1.      Hubungan darah dekat (nasab);
2.      Hubungan Perkawinan;
3.      Wala' (perjanjian pertolongan memerdekakan perbudakan)
Perlu diketahui pula bahwa pembagian warisan menurut Islam adalah sebagai berikut.
1.      Anak laki-laki mendapat dua kali bagian anak perempuan.
2.      Ayah atau ibu mendapat seperenam bagian
3.      Kalau yang meninggal tidak mempunyai anak laki-laki, maka ibu mendapat seperenam bagian.
4.      Jika yang meninggal mempunyai saudara, maka ibu mendapat seperenam bagian.
5.      Jika yang meninggal tidak mempunyai saudara, maka ibu mendapat seperdelapan bagian.
6.      Jika istri yang meninggal, dan tidak meninggalkan anak, maka suami mendapat seperdua bagian.
7.      Jika istri yang meninggal, tetapi mempunyai anak, maka suami hanya mendapat seperempat bagian.
Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dimana kekuasaan Pengadilan Agama untuk memeriksa, mengadili, serta menyelesaikan sengketa waris dipulihkan kembali, maka kebutuhan terhadap hukum waris yang jelas, rinci, mudah dan pasti serta sesuai dengan tata kehidupan masyarakat Islam Indonesia yang bilateral semakin terasa mendesak. Untuk itu pulalah kemudian dikeluarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang diberlakukan dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, tanggal 10 Juni 1991.
Ada beberapa pihak yang terdapat dalam Hukum Waris Islam, diantaranya:
1.      pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal meninggalkan berdasarkan Putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan (Pasal 171 huruf b);
2.      ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris (Pasal 171 huruf c). Selanjutnya, mengenai ahli waris tersebut secara lebih rinci dijelaskan dalam Pasal 172-175. Pasal-pasal tersebut membahas bagaimana seseorang terhalang menjadi ahlí waris.Kelompok-kelompok ahli waris, kewajiban dan tanggung jawab ahli waris terhadap pewaris.
Besarnya bahagian waris islam dalam KHI diatur pada Bab III Pasal 176-191 yang dapat dijabarkan secara garis besar sebagai berikut.

1.      Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan (Pasal 176).
2.      Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian (Pasal 177). Maksud pasal ini ialah ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan suami dan ibu, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian (Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1994).
3.      Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian (Pasal 178 (1). Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersamasama dengan ayah (Pasal 178 (2)).
4.      Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagaian (Pasal 179).
5.      Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak maka janda mendapat seperdelapan bagian (Pasal 180)
6.      Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian (Pasal 181).
7.      Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sarma mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki dua berbanding satu dengan saudara perempuan (Pasal 182).
8.      Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya (Pasal 183).
9.      Bagi ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampu melaksanakan hak dan kewajibannya, maka baginya diangkat wali berdasarkan keputusan Hakim atas usul anggota keluarga (Pasal 184)
10.  Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada sipewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173 (Pasal 185 (1)). Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat denganyang diganti (Pasal 185 (2)).
11.  Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya (Pasal 186).
12.  Bilamana pewaris meninggalkan warisan harta peninggalan, maka oleh ahli waris semasa hidupnya  atau oleh para ahli waris dapat ditunjuk beberapa orang sebagai pelaksana pembagian harta warisan dengan tugas:
a.       Mencatat dalam suatu daftar harta peninggalan, baik berupa benda bergerak maupun tidak bergerak yang kemudian disahkan oleh para ahli waris yang bersangkutan, bila perlu dinilai harganya dengan uang ;
b.      Menghitung jumlah pengeluaran untuk kepentingan pewaris sesuai dengan Pasal 175 ayat (1) sub a, b, dan c (Pasal 187 (1)).
c.       Sisa dari pengeluaran dimalksud di atas adalah merupakan harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak (Pasal 187 (2))
13.  Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada diantara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian warisan (Pasal 188)
14.  Bila warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar, supaya dipertahankan kesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan (Pasal 189 (1)). Bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak dimungkinkan karena di antara para ahli waris yang bersangkutan ada yang memerlukan uang, maka lahan tersebut dapat dimiliki oleh seorang atau lebih ahli waris yang dengan kepada ahli waris yang berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing (Pasal 189 (2)).
15.  Bagi pewaris yang beristeri lebih dari seorang, maka masing-masing isteri berhak mendapat bagian atas gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya, sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak para ahli warisnya (Pasal 190).
16.  Bila pewaris tidak meninggalkanahli waris sama sekali atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan cara membayar harganya Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Mal untuk kepentingan Agama Islam dan kesejahteraan umum (Pasal 191).
RANGKUMAN
Di Indonesia ketentuan yang berkenaan dengan perkawinan telah diatur dalam peratuan perundang-undangan negara yang khusus berlaku bagi warganegara Indonesia. Aturan perkawinan yang dimaksud adalah dalam bentuk undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksanaannya dalam bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Undang-undang ini merupakan hukum materiil dari perkawinan, sedangkan hukum formalnya ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Sedangkan sebagai aturan pelengkap yang akan menjadi pedoman bagi hakim di lembaga Peradilan Agama adalah Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang telah ditetapkan dan di sebarluaskan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Sistem hukum kewarisan Islam adalah individual patrilinial Sescorang akan mewaris, yaitu menerima bagian warisan dari harta peninggalan seseorang yang meninggal, dimungkinkan oleh salah satu dari sebab:
a.      hubungan darah dekat (nasab);
b.      hubungan perkawinan;
c.       wala' (perjanjian pertolongan memerdekakan perbudakan).
Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dimana kekuasaan Pengadilan Agama untuk memeriksa, mengadili, serta menyelesaikan sengketa waris dipulihkan kembali, maka kebutuhan terhadap hukum waris yang jelas, rinci, mudah dan pasti serta sesuai dengan tata kehidupan masyarakat Islam Indonesia yang bilateral semakin terasa mendesak.











KEGIATAN BELAJAR 4
Zakat, Wakaf, dan Ekonomi Syariah

A. ZAKAT
Kata zakat secara etimologis berasal dari kata "al-zaka", artinya: menumbuhkan dan berkembang (QS.al-Baqarah [2]: 276), member keberkahan (QS. Saba [34]:39), dan menyucikan (QS. al-Taubah [9]:103) Dalam Al-Quran terdapat 32 kata "zakat" bergandengan dengan kata "shalat" dan sebanyak 82 kata dengan makna yang sinonim, yaitu sedekah dan infaq.Sedangkan zakat menurut terminologi adalah sejumlah harta tertentu yang diwajibkan oleh Allah Swt. untuk diberikan kepada orang yang berhak menerima zakat (mustahiq) yang disebutkan dalam Al-Qur'an.Selain itu, bisa juga berarti sejumlah harta tertentu dari harta tertentu yang diberikan kepada orang yang berhak menerimanya dengan syarat-syarat tertentu.
Secara umum tujuan dilaksanakannya zakat selain untuk menyucikan harta juga Sebagai wahana untuk menyejahterakan umat melalui pendistribusian sebagian harta orang kaya kepada kaum miskin, baik diperuntukkan secara konsumtif, yakni untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum semata maupun secara produktif, yakni zakat dikelola melalui bentuk usaha agar para mustahiq tersebut dapat berubahmenjadi muzakki di kemudian hari.
Pada dasarnya, zakat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu: zakat nafs (jiwa) atau lazim disebut zakat fitri (fitrah) dan zakat mal (harta). Zakat fitrah adalah zakat yang wajib dikeluarkan setiap Muslim sebelum hari raya Idul Fitri. Jumlah yang dikeluarkan sebanyak 2,5 kilogram atau 3,5 liter makanan pokok masyarakat setempat. Sedangkan zakat mal adalah zakat yang dikeluarkan untuk hasil-hasil perniagaan. pertanian, pertambangan, hasil laut, ternak, harta temuan, emas dan perak, dan hasil kerja (profesi), yang masing-masing memiliki perhitungan tersendiri.
Untuk melegitimasi zakat tersebut agar penerimaan dan pendistribusian zakat dikelola secara profesional dan bertanggung jawab, maka pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Dalam Pasal 2 Undang-Undang ini disebutkan bahwa yang menjadi wajib zakat adalah setiap warganegara Indonesia yang beragama Islam dan mampu atau badan yang dimiliki oleh orang Muslim berkewajiban menunaikan zakat. Dalam menjalankan kewajiban tersebut, maka permerintah turut langsung terlibat memberikan perlindungan, pembinaan, dan pelayanan kepada muzakki, mustahiq, dan amil zakat (Pasal 3).
Adapun asas dan tujuan pengelolaan zakat ini adalah berasaskan iman dan takwa, keterbukaan, dan kepastian hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 4). yang bertujuan untuk:
1.    meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntutan agama:
2.     meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejabteraan masyarakat dan keadilan sosial; dan
3.    meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat serta dapat dipertanggungjawabkan (Pasal 5)
Dalam perkembangannya, posisi amil zakat di Indonesia diambil alih oleh penguasa melalui organisasi pengelolaan zakat yang dikelompokkan menjadi dua lembaga, yaitu Badan Amil Zakat (Baznas) yang dibentuk oleh pemerintah dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk atas prakarsa masyarakat. Kedua lembaga tersebut terdiri atas unsur pertimbangan, unsur pengawas dan  pelaksana yang dikukuhkan, dibina, dan dilindungi oleh pemerintah yang, dan mempunyai tugas pokok mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama.Hal ini tercakup dalam Pasal 6, 7, dan 8.
Dalam menjalankan tugas tersebut Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat bertanggung jawab kepada pemerintah sesuai dengan tingkatnya (Pasal 9) dan sekaligus sebagai pengawas (Pasal 18), yaitu:
1.      Badan amil zakat nasional oleh Presiden atas usul Menteri;
2.      Badan amil zakat provinsi oleh gubernur atas usul kepala wilayah departemen agama provinsi:
3.      Badan amil zakat kabupaten/kota oleh bupati/walikota atas usul kepala kantordepartemen agama kabupaten/kota;
4.      Badan amil zakat kecamatan oleh camat atas usul kepala kantor urusan agama kecamatan (Pasal 6 ayat [2]).
Dalam melaksanakan tugasnya, tingkat badan amil zakat tersebut memiliki hubungan kerja yang bersifat koordinatif, konsultatif, dan informative (Pasal 6 ayat [3]).Pengumpulan zakat yang dimaksud dalam Undang-Undang ini adalah zakat mal dan zakat fitrah. Adapun harta yang dikenai zakat adalah; emas, perak, dan uang: perdagangan dan perusahaan; hasil pertanian, hasil perkebunan, dan hasil perikanan; hasil pertambangan; hasil peternakan; hasil pendapatan dan jasa; dan rikaz (Pasal 11 ayat [1 dan 2])
Sedangkan pendayagunaan zakat tersebut adalah untuk mustahiq sesuai dengan ketentuan agama pendayagunaan hasil pengumpulan zakat berdasarkan skala prioritas kebutuhan mustahiq dan dapat dimanfaatkan untuk usaha yang produktif, dan persyaratan dan prosedur pendayagunaan hasil pengumpulan zakat ini diatur dengan keputusan menteri agama (Pasal 16 ayat [1, 2,dan 3])
Badan amil zakat memberikan laporan tahunan pelaksanaan tugasnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atau kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan tingkatannya (Pasal 19).
B. WAKAF
Menurut Mohammad Daud Ali dalam bukunya Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, disebutkan kata waqf dalam Bahasa Indonesia menjadi wakaf, berasal dari kata kerja bahasa Arab waqafa yang berarti menghentikan, berdiam di tempat atau menahan. Pengertian menahan (sesuatu) dihubungkan dengan kekayaan, jadi wakaf adalah menahan suatu benda untuk diambil manfaatnya sesuai dengan ajaran Islam. Dalam Kamus istilah Fiqih, wakaf adalah memindahkan hak milik pribadi yang menjadi milik suatu badan yang memberi manfaat bagi masyarakat. Hal ini berdasarkan ketentuan agama dan tujuan taqarub kepada Allah SWT, untuk mendapatkan kebaikan dan keridloan-nya. Wakaf juga diartikan sebagai salah satu bentuk realisasi dari pelaksanaan perintah Allah dalam Al-quran, agar seseorang menafkahkan sebagian hartanya ke jalan Allah SWT, karena harta dalam pandangan Islam mempunyai fungsi sosial dan bukan merupakan milik mutlak seseorang. Harta benda yang ada pada diri seseorang adalah sesuatu yang dipercayakan Allah yang harus digunakan sesuai dengan ajaran-Nya.
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), menyebutkan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau sekelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian benda dari miliknya dan melembagakan untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan lainnya sesuai dengan ajaran Islam. Secara yuridis wakaf  merupakan perbuatan hukum yang menimbulkan atau mengakibatkan adanya harta yang terpisah dan bertujuan serta adanya nazhir yang mengelola harta tersebut. Sedangkan menurut UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf dijelaskan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Wakaf adalah salah satu bentuk ibadah dalam ajaran Islam yang memiliki potensi sosial serta ekonomi serta dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan umat.  Peranan wakaf di negara kita tidak dapat kita abaikan. Hampir bisa dipastikan bahwa setiap bangunan yang berfungsi keagamaan, sosial, apakah berupa tempat ibadah, komplek keguruan pendidikan, pusat-pusat penyiaran Islam maupun tempat-tempat amal kebajikan lainnya, lazimnya selama ini, berdiri di atas Objek wakaf.
Perwakafan merupakan kelembagaan yang sudah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai suatu pranata sosial keagamaan. Sebagaimana tercermin dalam konsideran Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 yang merupakan dasar hukum perwakafan Objek, dinyatakan bahwa wakaf sebagai lembaga keagamaan yang sifatnya sebagai sarana keagamaan.
Muhammad Daud Ali menyatakan bahwa wakaf telah mengakar dan menjadi tradisi umat Islam di mana pun. Di Indonesia, menurutnya, wakaf telah menjadi penunjang utama bagi perkembangan masyarakat, karena hampir semua rumah ibadah, perguruan Islam, dan lembaga-lembaga keagamaan Islam lainnya dibangun di atas Objek wakaf.
Dari beberapa pengertian tentang wakaf di atas dapatlah diketahui bahwa unsur-unsur wakaf itu adalah terdiri dari berikut ini.
1.      Orang yang berwakaf (wakif) yaitu pemilik harta benda yang diwakafkan.
2.      Harta yang diwakafkan (mauquf bih).
3.      Tujuan wakaf atau yang berhak menerima wakaf yang disebut mauquf alaihi.
4.      Persyaratan wakaf dari wakil yang disebut shighat atau ikrar wakaf.
Pasal 1 UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, memberikan penjelasan beberapa definisi istilah seputar wakaf ini.
1.        Wakaf, adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk jangka waktu tertentu  sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari'ah.
2.        Wakif, adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.
3.        Ikrar wakaf, adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau tulisan kepada Nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya.
4.        Nazhir, adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
5.        Harta benda wakaf, adalah harta benda yang memiliki daya tahan Jama dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syari'ah yang diwakafkan oleh wakif.
6.        Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, selanjutnya disingkat PPAIW, adalah pejabat berwenang yang ditetapkan oleh menteri untuk membuat akta ikrar wakaf.
Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa pihak yang mewakafkan harta bendanya disebut wakif. Dalam melaksanakan wakaf tersebut harus dilakukan ikrar wakaf yaitu pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan dan atau tulisan kepada nadzir untuk mewakafkan harta benda miliknya.
Pasal 226 KHI menyebutkan "Penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut benda wakaf dan Nadzir diajukan kepada Pengadilan Agama setempat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. " Pasal tersebut di atas memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk menyelesaikan perselisihan mengenai benda wakaf dan Nadzir. Kata perselisihan" pada pasal tersebut menunjukkan secara jelas bahwa masalah (perkara) wakaf dan Nadzir merupakan masalah contentiu. Sehingga perkara wakaf merupakan perkara contentius, sedangkan wakaf yang tidak diperselisihkan tidak dianggap sebagai perkara contentius sehingga bukan perkara, sekalipun dapat menimbulkan sengketa pada masa-masa sesudahnya.
Pasal 62 ayat (2) Undang-Undang Nomo 41 Tahun 2004 menyebutkan penyelesaian sengketa perwakafan dilakukan dengancara: musyawarah untuk mufakat, mediasi, arbitrase, atau pengadilan. Dan penjelasan pasal tersebut di atas berbunyi "Yang dimaksud dengan mediasi adalah penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang disepakati oleh para pihak yang bersengketa. Dalam hal mediasi tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka sengketa tersebut dapat dibawa kepada badan arbitrase syari ah.  Dalam hal badan arbitrase syari ah tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka sengketa tersebut dapat dibawa ke pengadilan agama dan/atau mahkamah syar'iyah.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan agama menegaskan kembali kewenangan Peradilan Agama dalam mengadili perkara sengketa wakaf sebagaimana disebutkan dalam Pasal 49 undang-undang tersebut yang berbunyi "Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang a) perkawinan, b) waris, c)wasiat, d) hibah, e) wakaf, f) zakat, g) infaq. h) sedekah, dan i) ekonomi syari'ah." Dengan demikian sengketa jenis apa pun yang berkaitan dengan wakaf. baik harus diselesaikan oleh Peradilan Agama
Penjelasan Pasal 62 ayat (2) Undang-Undang Nomo 41 Tahun 2004 menyebutkan "Dalam hal badan arbitrase syari ah tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka sengketa tersebut dapat dibawa ke pengadilan agama dan/atau mahkamah svar'iyah." Lalu bagaimana apabila ketentuan pidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 67 terjadi, lembaga peradilan manakah yang berwenang untuk mengadilinya?"
Penjelasan pasal tersebut berbunyi cukup jelas", sedangkan penjelasan Pasal 62 ayat (2) tidak menyebutkan lembaga peradilan lainnya selain lembaga peradilan agama dan /atau mahkamah syar'iyah. Oleh karena itu, sekalipun bunyi penjelasan pasal "cukup jelas", penulis berpendapat bahwa penyelesaian dikembalikan kepada lembaga peradilan yang mengadili perkara pidana, yaitu peradilan umum.
Untuk mengadili perkara wakaf, Peradilan Agama harus mempedomani ketentuan Pasal 54 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sehingga hukum acara yang berlaku secara umurm untuk Pengadilan Agama di Jawa dan Madura adalah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 130 HIR, dan untuk Pengadilan Agama di luar Jawa dan Madura adalah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 154 R. Bg., dan dalam melakukan peradilan, Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tetap tidak boleh diabaikan.
C. EKONOMI SYARIAH
Berdasarkan penjelasan Pasal 49 Huruf i Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama . yang dimaksud dengan Ekonomi Syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah yang lingkupnya meliputi:
1.        bank syariah;
2.        asuransi syariah;
3.        reasuransi syariah;
4.        reksa dana syariah:
5.        obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah:
6.        sekuritas syariah,
7.        pembiayaan syariah
8.        pegadaian syariah;
9.        dana pensiun lembaga keuangan syariah;
10.    bisnis syariah; dan
11.    lembaga keuangan mikro syariah.
Dari sudut pandang ajaran Islam, istilah syariah sama dengan syariat (tamarbuthoh dibelakang dibaca dengan ha) yang pengertiannya berkembang mengarah pada makna fiqh, dan bukan sekedar ayat-ayat atau hadits-hadits hukum. Dengan demikian yang dimaksud dengan Ekonomi Syariah adalah dalil-dalil pokok mengenai Ekonomi yang ada dalam Al Qur'an dan Hadits. Hal ini memberikan tuntutan kepada masyarakat Islam di Indonesia untuk membuat dan menerapkan system ekonomi berdasarkan dalil-dalil pokok yang ada dalam Al Qur'an dan Hadits. Dengan demikian, dua istilah tersebut, apabila disebut dengan istilah singkat ialah sebagai Sistem Ekonomi Syariah dan Hukum Ekonomi Syariah.
Pelaksanaan kegiatan bisnis berdasarkan prinsip ekonomi syariah mencapai perkembangan yang cukup signifikan di Indonesia, sekurang-sekurangnya dari aspek legislasi. Dalam hal ini akan dikemukakan pembentukan legislasi syariah di bidang perbankan, peradilan, surat berharga dan peraturan di bidang perseroan terbatas.
1.        Rintisan penerapan ekonomi (keuangan) syariah tingkat nasional diawali dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia, yang secara tegas memberikan pelayanan operasional perbankan dengan sistem bagi hasil (mudharabah). Beroperasinya sistem perbankan syariah memperoleh landasan hukum Undang-Undang Nomor 10 tentang Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Kemudian diperkuat lagi dengan UU No. 23 Tahun 1992 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, yang memungkinkan penerapan kebijakan moneter berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Kedua undang-undang tersebut menjadi landasan hukum bagi perbankan nasional untuk menerapkan sistem perbankan ganda (dual banking system), yaitu penggunaan perbankan konvensional dan syariah yang berjalan secara parallel.
2.        Pada 7 Mei 2008, berlaku UU No. 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebagai dasar hukum pengembangan instrument keuangan syariah. Dengan diakuinya SBSN sebagai alternatif instrument pembiayaan anggaran negara, maka sistem perundang-undang nasional telah memberikan landasan hukum bagi upaya memobilisasi dana public secara luas berdasarkan prinsip syariah. Upaya pengembangan instrument pembiayaan tersebut bertujuan untuk: (1) memperkuat dan meningkatkan sistem keuangan berbasis syariah di dalam negeri; (2) memperluas basis pembiayaan anggaran negara; (3) menciptakan bench mark instrument keuangan syariah baik di pasar keuangan syariah domestik maupun internasional; (4) memperluas dan mendiversifikasi basis investor; (5) mengembangkan alternatif instrumen investasi baik bagi investor dalam negeri maupun luar negeri yang mencari instrumen keuangan berbasis syariah; dan (6) mendorong pertumbuihan pasar keuangan syariah di Indonesia. SBSN (Sukuk Negara) yang merupakan surat berharga berdasarkan prinsip syariah, sehingga berbagai bentuk akad sukuk yang dikenal dalam ekonomi syariah (ijarah, mudharabah, musyarakah, istishna, dan lain-lain) dapat diterapkan berdasarkan UU No.. 19 Tahun 2008.
3.        Perkembangan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dilakukan oleh badan hukum perseroan terbatas merupakan salah satu alasan penggantian UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dengan UU No. 40 Tahun 2007. Perseroan terbatas yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, selain mempunyai Dewan Komisaris wajib mempunyai Dewan Pengawas Syariah (DPS), yang diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia. DPS bertugas memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Perseroan agar sesuai dengan prinsip syariah. DPS sebagai organ perseroan yang mendampingi atau melengkapi Dewan Komisaris bertugas melakukan pengawasan agar kegiatan perseroan tidak melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip ekonomi syariah (umpama larangan riha bunga uang atau return yang diperoleh dari penggunaan uang untuk mendapatkan uang maysir – unsure - spekulasi. judi, dan sikap untung-untungan dan gharar unsure ketidakpastian yang antara lain denngan penyerahan, kualitas dan kuantitas.
4.        Sejalan dengan perkembangan legislasi syariah di atas, maka legislasi di bidang badan peradilan juga perlu "menyesuaikan diri". UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006. Salah satu pertimbangan yuridis bagi perubahan tersebut adalah "perluasan kewenangan Pengadilan Agama dengan alasan "sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat, khususnya masyarakat muslim." Perluasan tersebut antara lain meliputi ekonomi syariah. Dengan demikian ruang lingkup yurisdiksi Pengadilan Agama mencakup bidang perkawinan. waris. wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, sedekah, dan ekonomi syariah.
RANGKUMAN
Kata zakat" secara etimologis berasal dari kata "al-zaka", artinya: menumbuhkan dan berkembang, memberi keberkahan, dan menyucikan. Sedangkan zakat menurut terminologi adalah sejumlah harta tertentu yang diwajibkan oleh Allah Swt. untuk diberikan kepada orang yang berhak menerima zakat (mustahiq) yang disebutkan dalam Al-Qur'an. Secara umum tujuan dilaksanakannya zakat selain untuk menyucikan harta juga sebagai wahana untuk menyejahterakan umat melalui pendistribusian sebagian harta orang kaya kepada kaum miskin, baik diperuntukkan secara konsumtif, yakni untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum semata maupun secara produktif, yakni zakat dikelola melalui bentuk usaha agar para mustahiq tersebut dapat berubah menjadi muzakki di kemudian hari. Adapun asas dan tujuan pengolahan zakat berasaskan iman dan takwa, keterbukaan, dan kepastian hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 4). Yang bertujuan untuk:
a.    meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntutan agama;
b.    meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial; dan
c.    meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat serta dapat dipertanggungjawabkan (Pasal 5).
Wakaf adalah memindahkan hak milik pribadi yang menjadi milik suatu badan yang memberi manfaat bagi masyarakat. Wakaf adalah salah satu bentuk ibadah dalam ajaran Islam yang memiliki potensi sosial serta ekonomi serta dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan umat.
Ekonomi Syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah yang lingkupnya meliputi: bank syariah; asuransi syariah,reasuransi syariah, reksa dana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah. Sekuritas syariah.pembiayaan syariah, pegadaian syariah. dana pensiun lembaga keuangan syariah, bisnis syariah: dan lembaga keuangan mikro syariah.




















KEGIATAN BELAJAR 5
Peradilan Agama

Peradilan agama dapat dirumuskan sebagai: kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan. Berdasarkan pengertian peradilan itu, cakupan dan batasan Peradilan Agama meliputi komponen-komponen sebagai berikut:
1.      Kekuasaan negara, yaitu kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan kekuasaan negara lainnya dan dari pihak luar. Secara operasional kekuasaan itu terdiri atas kekuasaan absolut (absolute competensie) dan kekuasaan relatif (relatif competentie).
2.      Badan peradilan agama. sebagai satuan penyelenggara kekuasaan kehakiman. Ta meliputi Hierarkie, susunan, pimpinan, hakim, panitera, dan unsur lain dalam organisasi pengadilan.
3.      Prosedur berperkara di pengadilan. yang mencakup jenis perkara, hukum prosedural (hukum acara) dan produk-produknya (putusan dan penetapan). Prosedur itu meliputi tahapan kegiatan menerima, memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepengadilan.
4.      Perkara-perkara dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat. Hibah wakaf, dan sedekah. Ia mencakup variasi dan frekuensi sebarannya dalam berbagai pengadilan.
5.      Orang-orang yang beragama Islam, sebagai pihak yang berperkara (berselisih atau bersengketa) atau para pencari keadilan.
6.      Hukum Islam, sebagai hukum substansial yang dijadikan rujukan dalam proses peradilan.
7.      Penegakan hukum dan keadilan sebagai tujuan.
Peradilan agama adalah proses pemberian kcadilan berdasarkan hukum agama Islam kepada orang-orang Islam yang dilakukan di Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Peradilan agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman khusus (special court) diatur oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagai pengganti peraturan perundang-undangan sebelumnya memuat beberapa perubahan penting dalam penyelenggaraan Peradilan Islam di Indonesia. Perubahan-perubahan tersebut diantaranya berkenaan dengan:
1.      Dasar Hukum Penyelenggaraan Peradilan.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 penyelenggaraan Peradilan Islam didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sama (kesatuan hukum) Dengan perkataan lain, penyelenggaraan peradilan itu didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang seragam.
2.      Kedudukan Pengadilan.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 kedudukan Pengadilan agama sejajar dengan Pengadilan Negeri (pengadilan tingkat pertama dalam lingkungan Peradilan Umum) dalam arti yang sesungguhnya.
3.      Susunan Pengadilan.
Menurut ketentuan pasal 6, 7, dan 8 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama terdiri atas Pengadilan Agama (PA), sebagai pengadialn tingkat pertama, dan Pengadilan Agama (PTA) sebagai pengadilan tingkat banding. Pengadilan Agama dibentuk dengan Keputusan Presiden, sedangkan Pengadilan Tinggi Agama dibentuk dengan Undang-Undang.
4.      Kedudukan Hakim.
Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman (pasal 11 ayat (1)). Ia merupakan unsur yang sangat penting bahkan menentukan. Menurut ketentuan pasal 15 ayat (1) hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Menteri Agama dengan persetujuan Ketua Mahkamah Agung. Hal yang sama berlaku bagi hakim dalam lingkungan peradilan umum.
5.      Kekuasaan Pengadilan.
Menurut ketentaun pasal 49 ayat (1) dinyatakan Pengadilan Agamabertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang a. perkawinan; b. Kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum islam; c. wakaf dan sedekah.
6.      Hukum Acara.
Menurut ketentuan Pasal 54, "Hukum acara yang berlaku pada pengadialn dalam lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkunga peradilan umum kecuali yang  telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini". Hal itu menunjukkan bahwa hukum acara yang berlaku adalah hukum tertulis sebagaimana yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, di samping adanya kekecualian dan kekhususan yang diatur dalam undang-undang tersebut. Kekhususan itu meliputi prosedur cerai talak, cerai gugat, cerai dengan alasan zina, dan biaya perkara.
7.      Penyelenggaraan Administrasi.
Sebagaimana diatur dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, pembinaan teknis peradilan dilakukan oleh Mahkamah Agung; sedangkan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan dilakukan oleh Menteri Agama. Berkenaan dengan hal itu, pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama terdapat dua “unit organisasi" dan dua jenis administrasi. Unit organisasi itu adalah kepaniteraan dan sekretariat. Sedangkan kedua jenis administrasi itu adalah administrasi peradilan dan administrasi umum.
8.      Perlindungan terhadap Wanita.
Pengkhususan perlindungan terhadap wanita, dalam hal ini pihak istri, baik sebagai termohon maupun penggugat. menunjukkan bahwa dalam kehidupan keluarga, istri dalam posisi yang lemah.
Menurut Prof. H. Muhammad Daud Ali, dengan adanya Undang-Undang Peradilan Agama terjadi perubahan penting dan mendasar dalam lingkungan peradilan agama yang diantaranya dapat disebut hal-hal sebagai berikut:
1.      Peradilan Agama telah menjadi peradilan mandiri, kedudukannya benar-benar telah sejajar dan sederajat| dengan Peradilan Umum. Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.
2.      Nama, susunan, wewenang (kekuasaan) dan hukum acaranya telah sama dan seragam di seluruh Indonesia. Terciptanya unifikasi Hukum Acara Peradilan Agama askan memudahkan terwujudnya ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan dalam lingkungan Peradilan Agama,
3.      Perlindungan terhadap wanita lebih ditingkatkan, dengan jalan, antara lain, memberikan hak yang sama kepada istri dalam berproses dan membela kepentingannya di muka Pengadilan Agama.
4.      Lebih memantapkan upaya penggalian berbagai asas dan kaidah hukum Islam sebagai salah satu kaidah hukum Islam sebagai salah satu bahan baku dalam penyusunan dan pembinaan hukum nasional melalui jurisprudensi
5.      Ketentuan-ketentuan dalam  Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (1970) terutama yang disebut pada Pasal 10 ayat (I) mengenai kedudukan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama dan Pasal 12 tentang susunan kekuasaan dan (Hukum) acaranya telah terwujud.
6.      Pembangunan hukum nasional berwawasan nusantara yang sekaligus pula berwawasan bhineka tunggal Ika dalam bentuk Undang-Undang Peradilan Agama telah terlaksana.
Pada tanggal 28 Februari 2006, UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah diamandemen melalui UU No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2006 Nomor 22). Perubahan tersebut dilakukan karena UU No. 7 tahun 1989 tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan menurut UUD 1945.Sesuai amanat konstitusi Pasal 24 ayat (2), bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan yang berada di Mahkamah Agung bersama peradilan lainnya di lingkungan Peradilan Umum,Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer, Begitu juga ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,bahwa badan peradilan yang berada di Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Peradilan Agama,Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Oleh karena itu berlaku kebijakan satu atap. Sejak tahun 2004 Peradilan Agama berpindah induk dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung.
UU No. 4 tahun 2004 secara tegas telah mengatur pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dari semua lingkungan peradilan ke Mahkamah Agung. Dengan demikian organisasi, administrasi, financial badan peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang sebelumnya berada di bawah Departemen Agama berdasarkan UU No. 7 tahun 1989disesuaikan dengan UU No. 3 tahun 2006.
UU No. 4 tahun 2004 menegaskan adanya pengadilan khusus yang dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan dengan undang-undang. Oleh karena itu, keberadaan pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama diatur pula dalam UU No. 3 tahun 2006, yaitu Peradilan Syari'ah Islam di Nangroe Aceh Darussalam.
Kewenangan Peradilan Agama yang semula bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan, b.Kewarisan, wasiat dan hibah, c. Waqaf dan sedekah. Berdasarkan UU No. 3 tahun 2006 kewenangannya diperluas dalam bidang ekonomi syari'ah meliputi: Bank Syari'ah, Asuransi, Asuransi Syari'ah, Reasuransi Syari ah dan Surat Berharga Berjangka Menengah Syari'ah, Sekuritas Syari'ah, Pengadilan Syari'ah, Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK)Syari'ah, Bisnis Syari'ah dan Lembaga Keuangan Mikro Syari'ah.
Kewenangan lain yang diatur dalam UU No. 3 tahun 2006, bahwa Peradilan Agama berwenang memeriksa dan memutus sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait dengan objek sengketa yang diatur Pasal 49, apabila subjek sengketa orang-orang yang beragama Islam. Tambahan lain tentang kewenangan Peradilan Agama adalah bahwa Pengadilan Agama memberikan itsbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah. Pengadilan Agama juga dapat memberikan keterangan atau nasehat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu shalat.
Menurut Daniel S. Lev,54 eksistensi Peradilan Agama di Indonesia dapat dilihat sebagai penyempurnaan fungsi haratsah al-din" yaitu memelihara agama yang dilaksanakan oleh Pemerintah RI melalui Departemen Agama, disamping "siyasah al-dun-ya atau mengatur dunia yang dilaksanakan oleh departemen-departemen lain.

RANGKUMAN

Peradilan agama dapat dirumuskan sebagai: kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan. cakupan dan batasan Peradilan Agama meliputi komponen-komponen sebagai berikut.
1.      Kekuasaan negara;
2.      Badan peradilan agama;
3.      Prosedur berperkara di pengadilan;
4.      Perkara-perkara;
5.      Orang-orang yang beragama Islam;
6.      Hukum Islam;
7.      Penegakan hukum dan keadilan sebagai tujuan.
Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: Perkawinan, Kewarisan, wasiat dan hibah, Waqaf dan sedekah, Bank Syari'ah, Asuaransi, Asuransi Syari'ah, Reasuransi Syari ah dan Surat Berharga Berjangka Menengah Syari'ah, Sekuritas Syari'ah, Pengadilan Syari'ah, Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) Syari'ah, Bisnis Syari'ah dan Lembaga Keuangan Mikro Syari'ah.Kewenangan lain yang dimiliki oleh Peradilan Agama adalah berwenang memeriksa dan memutus sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait dengan objek sengketa yang diatur Pasal 49,apabila subjek  sengketa orang-orang yang beragama Islam.Tambahan lain tentang kewenangan Peradilan Agama adalah bahwaPengadilan Agama memberikan itsbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah.Pengadilan Agama jugadapat memberikan keterangan atau nasehat mengenai perbedaan penentuan aralh kiblat dan penetuan waktu shalat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar